Anda di halaman 1dari 4

UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)

Nama : Elmi Aini Maliki


NPM : 2250367019
Kelas : Non Reguler – S1 Kesmas
Mata Kuliah : PSKM
Dosen Pengampu: Dr. Budiman,.S.Pd,.SKM,.S.Kep.Ners.MKes,.MH.Kes

1. A. Pelaksanaan Surveilans Difteri


Pelaksanaan difteri di Indonesia sudah sesuai dengan pedoman yang ada sehingga pada
kasus difteri tahun 2021 (235 kasus) mengalami penurunan di bandingkan dengan tahun 2020
(259 kasus) menurut data Riskesdas 2018, dimana ditetapkan KLB difteri bila ditemukan satu
supek difteri dengan didukung oleh hasil laboratorium positif. Penetapan kasus KLB ini
sendiri merupakan Langkah tepat dan cepat dalam menangani dan mencegah penularan kasus
suspek difteri . yaitu dengan langkah surveilans KLB difteri sebagai berikut :
- Setiap KLB dilakukan penyelidikan epidemiologi
- Melakukan tatalaksanan rumah sakit
- Suspek difteri melakukan pemeriksaan laboratorium
- Kontak erat di beri kemoprofilaksis
- Kontak erat di lakukan pengambilan sampel (jika diperlukan)
- Suspek difteri dilakukan ORI
- Pelaksanaan ORI harus sampai selesai (walaupun status KLB diteri telah berakhir)
- Laporan kasus dilakukan 24 jam
Namun Langkah-langkah tersebut juga harus di dukung oleh banyak peran seperti
kesadaran masyarakat dalam cepat tanggap melaporkan kerabat atau anggota yang mengalami
gejala dan melakukan imuniasi lengkap, tenaga kesehatan yang harus teliti dalam menjaga
kualitas vaksin, penangan kasus dan melakukan penyuluhan serta peran pemerintah untuk
melakukan komitmen dan mendukung pencegahan difteri dengan memenuhi dan
meningkatkan sumber daya yang dibutuhkan.
B. Pelaksanaan Surveilans AFP
Pelaksanaan AFP (Acute Paralysis Polio) di Indonesia sudah sesuai dengan pedoman
yang ada sehingga pada kasus AFP tahun 2021 terdapat rate sebesar 1,4 per 100.000 penduduk
kurang dari 15 tahun, dengan presentase specimen 68,1% menurut data Riskesdas 2018.
Penentapan KLB AFP di lakukan bila ditemukan satu supek AFP dengan didukung oleh hasil
laboratorium ditemukan cirus polio liar (VPL). Penetapan kasus KLB ini sendiri merupakan
Langkah tepat dalam menangani dan mencegah penularan kasus suspek AFP. yaitu dengan
kegiatan surveilans AFP sebagai berikut :
- Penemuan kasus dengan 3 indikator utama :
 Non polio AFP rate (<15 tahun) : ≥ 2/100.000 penduduk
 Specimen adekuat >80% (masih belum tercapai)
 Zero reporting >90%
- Pelacakan kasus
- Pengumpulan specimen kasus AFP
- Hot case
- Survey status imunisasi polio
- Nomor EPID
- Nomor Laboratorium kasus dan kontak
- Kunjungan ulang 60 hari
- Pelaporan
- Umpan balik dan penyebarluasan informasi

Langkah-langkah tersebut juga harus di dukung oleh banyak peran seperti


masyarakat dalam cepat tanggap melaporkan kerabat atau anggota yang mengalami gejala
dan melakukan imuniasi polio, tenaga kesehatan yang harus teliti dalam menjaga kualitas
vaksin, pelacakan yang cepat tanggap, penangan kasus dan melakukan penyuluhan serta
peran pemerintah untuk melakukan komitmen dan mendukung penanganan AFP dengan
memenuhi dan meningkatkan sumber daya yang dibutuhkan.

2. A. Kekurangan dan kelebihan pelaksanaan surveilans Difteri saat ini


 Kekurangan :
a) Kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat.
b) Keterbatasan aksesibilitas layanan kesehatan di beberapa daerah.
c) Kurangnya pelaporan kasus yang akurat.
d) Kurangnya komitmen dalam melakukan imunasi lengkap.
e) Pelaksanaan ORI perlu ditingkatkan
f) Keterbatasan petugas surveilans daerah.

 Kelebihan :
a) Deteksi dan respons cepat dengan melakukan penetapan KLB pada satu kasus.
b) Pemantauan epidemiologi dan pengambilan keputusan yang informasional untuk
pengendalian kasus difteri.
c) Penelusuran kontak yang efektif untuk memutus rantai penularan.
d) Evaluasi efektivitas program vaksinasi dari informasi cakupan imunasi.

B. Kekurangan dan kelebihan pelaksanaan surveilans AFP saat ini

 Kekurangan :
a) Kurangnya pelaporan kasus yang akurat
b) Keterbatasan aksesibilitas layanan kesehatan.
c) Kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat.
d) Keterbatasan diagnostic.
e) Keterbatasan petugas surveilans daerah.

 Kelebihan :
a) Deteksi dini dan respons cepat.
b) Pemantauan epidemiologi untuk pengendalian kasus AFP.
c) Evaluasi program imunisasi polio dari data cakupan imunisasi.
d) Pengendalian polio.

3. A. Solusi kendala pelaksanaan surveilans Difteri


- Kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat.
Melakukan penyuluhan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sekitar terutama
puskesmas mengenai pencegahan dan penanganan kasus difteri serta penyuluhan
untuk melakukan imunasi lengkap.
- Keterbatasan aksesibilitas layanan kesehatan di beberapa daerah.
Pemerintah daerah memberikan dukungan berupa mengalokasikan anggaran untuk
melakukan perbaikan infrastruktur yang baik sebagai akses pelayanan kesehatan
terutama di daerah pedesaan.
- Kurangnya komitmen dalam melakukan imunasi lengkap.
Tenaga kesehatan melakukan sosialisasi dan penyuluhan mengenai pelaksanaan
imunasasi lengkap dan juga dilakukan pemberdayaan kader setempat untuk
melakukan pengawasan dan lebih merangkul warga sekitar dalam melakukan
imunisasi lengkap.
- Pelaksanaan ORI perlu ditingkatkan
Pelaksanaan ORI pada kasus difteri harus dilaksanakan sampai selesai walau kasus
KLB sudah dinyatakan selesai. Pelaksanaan ORI dilakukan dengan pemantauan oleh
tenaga kesehatan untuk memastikan ORI dilaksanakan dan dijadikan sebagai
evaluasi dengan melaksanakan RCA.
- Keterbatasan petugas surveilans daerah.
Pemberdayaan tenaga kesehatan oleh pemerintah dengan mengalokasikan dan
pemerataan tenaga kesehatan terampil di daerah-daerah yang masih kurang petugas
surveilans-nya. Juga dilakukan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam penanganan
kasus difteri.

B. Solusi kendala pelaksanaan surveilans AFP


- Kurangnya pelaporan kasus yang akurat.
Hal ini dikarenakan masih ada suspek AFP yang tidak melakukan kunjungan ulang
60 hari, maka harus dilakukan pemantauan dan pengawasan oleh tanaga kesehatan
untuk mengatahui adanya sisa kelumpuhan. Bila ada sisa kelumpuhan maka suspek
harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
- Keterbatasan aksesibilitas layanan kesehatan.
Pemerintah daerah memberikan dukungan berupa mengalokasikan anggaran untuk
melakukan perbaikan infrastruktur yang baik sebagai akses pelayanan kesehatan
terutama di daerah pedesaan.
- Kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat.
Melakukan penyuluhan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sekitar terutama
puskesmas mengenai pencegahan dan penanganan kasus AFP serta penyuluhan untuk
melakukan imunasi lengkap.
- Keterbatasan diagnostik.
Dilakukan deteksi dini < 2 bulan agar specimen masih bisa di periksa di
laboratorium. Maka harus lebih ditingkatkan lagi kepada masyarakat mengenai
gejala polio agar deteksi dan diagnose lebih akurat untuk diberikan penanganan yang
tepat.
- Keterbatasan petugas surveilans daerah.
Pemberdayaan tenaga kesehatan oleh pemerintah dengan mengalokasikan dan
pemerataan tenaga kesehatan terampil di daerah-daerah yang masih kurang petugas
surveilans-nya. Juga dilakukan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam penanganan
kasus difteri.

Anda mungkin juga menyukai