Anda di halaman 1dari 7

RESUME

SEJARAH HUKUM ISLAM

A. Sejarah Hukum Islam

a) Era Nabi Muhammad SAW (570-632M)

Pada tahun 610 M, Nabi Muhammad menerima wahyu al-Qur’an untuk pertama kalinya
di Mekah dan dua tahun kemudian mulai mengajarkannya. Fase pertama disampaikan ke orang
terdekatnya seperti Khadijah, adik sepupunya Waraqah Ibnu Naufal yang beragama Kristen.

Kemudian pada tahun 612 M, Nabi Muhammad mulai menyebarkan wahyu yang ia
terimake pihak luar (Ali bin Abu Thalib, Abu Bakar, Utsman bin Affan, perempuan-perempuan
miskin, ada juga yang menjadi pengikut Muhammad lantaran tidak suka ketidakadilan di
Mekah).

Pesan Nabi Muhammad di masyarakat Qurays tentang keadilan sosial. Seperti larangan
menumpuk kekayaan pribadi, dorongan membagi kekayaan dan menciptakan masyarakat yang
menghormati warganya yang lemah. Al-Qur’an ketika hadir berbentuk sastra baru dan karta
besar prosa serta puisi Arab. Penganut Islam pertama kali tidak terlepas dari keindahan al-
Qur’an, seperti Umar ibnu Khattab.

Nabi Muhammad tidak mencoba untuk memutuskan hubungan masa lalu atau dengan
masyarakat penganut kepercayaan lain. Nabi Muhammad ingin menanamkan kitab baru di tanah
Arab. Dalam masyarakat pra modern, koninuitas itu sangat penting.

Pada tahun 616 M, resistensi muncul dari tokoh Quraisy saat merespons bergabungnya
70 keluarga dalam barisan Nabi Muhammad serta ajaran yang disampaikan Nabi (tidak boleh
menyembah berhala dll). Puncaknya embargo bisnis kelompok Quraisy dengan kelompok Islam
yang mengakibatkan wafatnya Siti Khadijah, istri Nabi Muhammad.

Kemudian 622 M, Nabi Muhammad dan pengikutnya melakukan hijrah ke Yastrib


(Madinah). Hijrah berarti menandai dimulainya era Islam, karena mulai saat itu Nabi
Muhammad bisa menerapkan tujuan Al-Qur’an sepenuhnya. Proses hijrah kelompok Islam saat
itu merupakan bentuk pukulan keras terhadap Quraisy. Karena hijrah tidak sekedar migrasi, masa
pra Islam, kesukuan merupakan hal yang suci. Belum pernah ada preseden satu kelompok suku
meninggalkan suku asalnya dan bergabung dengan suku lainnya. Ini dianggap penghinaan.

Januari 624 M, Nabi Muhammad memerintahkan jamaah salat untuk berbalik dari arah
Jerussalem dengan menghadap ke Kakbah. 624 M, umat Islam memperoleh kemenangan besar
pada perang Badar. 625 M, Islam kalah di tangan pasukan Mekah pada perang Uhud. Suku
Yahudi Qainuqa’ dan Nadhir diusir dari Madinah karena bersekongkol dengan Mekah. 627 M,
perang Khandaq, Islam mengalahkan pasukan Mekah. 628 M, perjanjian Hudaibiyah antara
Mekah dan Madinah. Momentum itu menjadikan Nabi Muhammad sebagai sosok yang paling
kuat di Arabia karena bisa menarik banyak suku bergabung. 630 M, Mekah melanggar perjanjian
Hudaibiyah dilanjutkan dengan peristiwa futuhu Makkah. 632 M, Nabi Muhammad wafat.

b) Khulafaur Rasyidin
1. Era Abu Bakar As-Shiddiq (632-634M)

Di era ini dimulai pengumpulan ayat Al-Qur’an oleh Zaid bin Tsabit (Sekretaris Nabi
SAW). Hasil pengumpulan disimpan oleh istri Nabi, Hafsah. Di era Abu Bakar As-Shiddiq
muncul pemisahan suku-suku di Arabia dari Islam dengan aksi riddah (murtad). Abu Bakar
berhasil menyatukan kembali. Persoalan keagamaan yang muncul merujuk pada Al-Qur’an dan
Ijma’ Jama’i.

2. Era Umar bin Khattab (634-644M)

Di era Umar bin Khattab, pasukan Islam berhasil menduduki Iraq, Syria, dan Mesir. Pada
tahun 638 M, berhasil menduduki Jerussalem. Tahun 638 M dimulai penanggalan Islam Hijriah.
Di era Umar bin Khattab inovasi hukum Islam mulai muncul seiring perkembangan kondisi
masyarakat. Sejumlah ijtihad dengan model “istihsan” dilakukan di era ini.

 Soal talak 3 di era Rasulullah, bila diucapkan sekaligus maka dianggap talak 1. Namun di
era Umar bin Khattab, talak 3 yang diucapkan sekaligus dianggap dan berlaku talak 3.
Tujuannya agar suami hati-hati dalam menjatuhkan talak kepada istri.
 Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi pelaku pencurian dikarenakan pada saat itu
di semenanjung Arabia mengalami kelaparan.
 Larangan nikah campur (Islam dengan ahlul kitab) untuk melindungi perempuan Islam.
Padahal di Al-Qur’an diperbolehkan (5:5).
 Hukum beracara pidana mulai diletakkan di era Umar, 1) harus memperhatikan berkas
perkara, 2) hakim berdiri di kedua belah pihak, 3) hakim mendorong perdamaian di
antara kedua belah pihak, 4) hakim dapat membandingkan antara kasus yang dihadapi
dengan putusan hukum sejenis di waktu sebelumnya.
 Era Umar melanjutkan tradisi dalam perumusan hukum Islam di era Abu Bakar Ash-
Shiddiq.
3. Utsman bin Affan (644-656M)

Tidak ada perkembangan hukum Islam yang menonjol di era ini. Di samping factor
kesehatan Utsman, karakter kepemimpinan Utsman yang tidak tegas menjadikan era ini tidak ada
perkembangan signifikan dalam konteks hukum Islam. Di era ini yang paling menonjol dengan
adanya kodifikasi al-Qur’an dengan keberadaan “Mushaf Utsmani”.

4. Ali bin Abi Thalib (655-661M)

Di era ini gejolak mewarnai pemerintahan Ali. Salah satu penyebabnya pemecatan
sejumlah gubernur yang dinilai tidak tepat saat era Utsman bin Affan. Menarik tanah yang dibagi
di era Utsman kepada penduduk. Menerapkan sistem distribusi pajak seperti era Umar.

Munculnya pemberontakan Tholhah, Zubair dan Aisyah yang dipicu karena Ali tidak
menghukum pembunuh Utsman. Ini dikenal dengan perang jamal (perang unta) lantaran Aisyah
menunggangi unta.

Perlawanan muncul dari gubernur Damaskus (Muawiyah). Di akhir era ini ada 3
kekuatan yaitu Khawarij, Syiah, dan Muawiyah.

c) Dinasti Bani Umayyah (661-1031 M)


1. Perbedaan Khilafah dan Dinasti

Paska era khulafa’ al-rasyidun pemerintahan Islam menganut sistem monarkhi/kerajaan


(monarchiheridetis). Berbeda di era khulafa al-rasyidun yang bercirikan pemilihan khalifa dan
pengambilan keputusan dilakukan dengan cara musyawarah. Sistem monarkhi dalam peradaban
Islam ditandai dengan permintaan kesetiaan rakyat kepada rajanya. Ini ditandai saat muawiyah
meminta rakyatnya untuk setia kepada anaknya, Yazid. Duplikasi di Bizantium dan Persia.
Secara penyebutan tetap dengan sebutan “Khalifa” namun dinisbatkan dengan “Khalifatullah”
(penguasa yang diangkat Allah).

Pilihan menjadi politik dinasti tidak terlepas dari setting politik saat itu. Di antaranya
trauma peristiwa fitnah pertama. Muawiyah sadar dengan situasi tersebut. Pilihan ini juga
sebagai upaya untuk keluar dari tradisi Arab yang menekankan pada senioritas. Politik dinasti
menimbulkan resistensi berupa gerakan oposisi dari kelompok syiah dan khawarij (fitnah ii).
Penolakan dari Husain bin Ali (perang karbala), pemberontakan Mukhtar di Kufah (685-687),
pemberintakan Abdullah Ibn Zubari di Hijaz (w. 692 M).

2. Peristiwa Penting Era Dinasti Bani Umayyah


 705-717 M, di era kekhalifahan al-Walid, tentara Muslim menaklukan Afrika dan
membangun kerajaan di Spanyol. (Peristiwa ini juga penanda dimulainya peradaban
dinasti Bani Umayyah di Andalusia).
 717-720 M, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, salah satu legacy yang menonjol dari
khalifah Umar yakni 1) meretas hubungan yang harmoni pemerintah dengan kelompok
syiah, 2) kebebasan beribadah, 3) kesetaraan mawali (orang Islam non Arab) dengan
muslim Arab.
3. Fenomena Gerakan Religius
 Pertentangan yang tajam antara kelompok syiah, khawarij termasuk muwali
memunculkan gerakan religious. Gerakan ini bermula dari debat intensif mengenai
kepemimpinan politik dan umat setelah perang saudara yang cukup memberi peran
penting dalam Islam.
 Gerkana teologi Qadariyyah yang dipelopori ahli hadits Hasan al-Basri (w. 738 M) yang
mencontoh pelaku Nabi Muhammad dengan gaya hidup zuhud. Titik gerakan ini, umat
manusia diberi kebebasan berkehendak dan bertanggungjawab atas tindakan mereka.
Mereka tidak ditakdirkan untuk melakukan sesuatu. Kelompok ini menerima Dinasti
Bani Umayyah dengan argumentasi dinasti ini mampu mempertahankan kesatuan ummat.
Makanya, kelompok ini menentang kelompok khawarij.
 Gerakan mu’tazilah yang berarti mengambil posisi di dua titik ektrem. Gerakan ini
dipelopori Washil ibn Atho’ (w. 748M). Secara teologis memiliki irisan dengan
kelompok Qodariyah, namun kelompok ini mengutamakan akan keadilan Tuhan.
Bercirikan mengedeoankan rasionalitas dalam berteologi, kelompok ini merupakan “jalan
tengah” dari dua kelompok yang berseteru antara syiah dan khawarij.
 Gerakan murji’ah yang menolak memberi penilaian antara Ali dan Muawiyah. Mereka
beralasan kecenderungan batiniah manusialah yang dinilai. Muslim harus menunda
penilaian, sesuai ajaran al-Qur’an. Menilai dinasti umayyah tidak boleh terlalu dini
sebelum benar-benar melakukan kesalahan. Pengikut kelompok ini yang terkenal Abu
Hanifah (699-767) yang dikenal sebagai ahli hukum Islam/Fiqh.

d) Bani Abbasiyah (750-1258 M)

Nama Abbasiyah diambil dari pendiri dan penguasa dinasti ini yang merupakan
keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yakni Abdullah al-Saffah ibn Muhammad
ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas.

Tidak ada pola yang tunggal dalam pengelolaan pemerintahan di dinasti ini. Oleh
karenanya, pembakakan dinasti ini menjadi lima periode, yaitu 1) 750-847M : Pengaruh Persia I,
2) 847-945 M : Pengaruh Turki I, 3) 945-1055 M : Persia II, 4) 1055-1194 M : Turki II, 5) 1194-
1258 M : Tidak terpengaruh lainnya. Hanya di Baghdad.

e) Masa Kemunduran Hukum Islam (Abad 10-Akhir Abad 19M)

Di era ini ditandai dengan taqlid dan ittiba’. Taqlid adalah sikap mengikuti pendapat
suatu mazhab tanpa berusaha mengetahui dasar hukumnya. Dan ittiba’ merupakan sikap
mengikuti pendapat imam/mazhab dengan suatu dasar, mengetahui dasar hukumnya.

f) Gerakan Pembaharuan Hukum Islam (Abad 19M)

Gerakan yang mendorong ijtihad kembali dibuka. Pintu ijtihad tidak lagi ditutup. Tokoh-
tokohnya adalah:

 Ibnu Taimiyyah
 Abdul Wahab
 Jamaludin al-Afghani
 Rasyid Rida

B. Hukum Islam pada Masa Kerajaan Islam

Akar sejarah hukum Islam di kawasan Nusantara, menurut sebagian ahli sejarah, dimulai
pada abad pertama hijriyah atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi.
Berkembangnya komunitas muslim diwilayah itu diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama
di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samuedera Pasai.
Kerajaan ini terletak di wilayah Aceh Utara. Madzhab hukum islam di kerajaan ini adalah
madzhab Syafi’i. dari kerajaan Samudera pasai, madzhab syafi’I tersebar keseluruh wilayah
Nusantara.

C. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda

Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran
Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC.
Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi
fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang
menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping
menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan
fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka
bawa. Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini
disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka.
Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini
telah mereka jalankan.

Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang
peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas
Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali
memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda
berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu
menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat
jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah
sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu.
Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi
keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.

D. Hukum Islam pada Masa Kedudukan Jepang

Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer
Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang
mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepang meneruskan segala kekuasaan yang
sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja
berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di
masa pendudukan Belanda.

Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan


untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:

1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama
mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa
Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober
1943.
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan
Pengadilan Agama

Anda mungkin juga menyukai