Anda di halaman 1dari 5

Refleksi Pembebasan Al Aqsha, Dari Al Ghazzali sampai Syekh Al Jilani

Pompy Syaiful Rizal

Pendudukan Baitul maqdis oleh kaum kafir setelah menjadi bagian dari kaum muslimin setelah Penaklukan dimasa
Amirul Mukminin Umar bin Khattab terjadi tiga kali dalam sejarah. Pertama tahun 1099 M Oleh Pasukan Salib,
didirikan Kerajaan Kristen Jerusalem (Latin) 1187 M dapat dibebaskan kembali ke pelukan Kaum Muslimin. Kedua,
tahun 1228 M, Diserahkan oleh Al Kamil kepada Fediric II Namun masa ini tak lama, segera diambil alih lagi. Yang
ketiga, sejak thn 1917 Sampai Sekarang dikuasai Zionist Israel. Tulisan ini mencoba menganalisis dan
membandingkan Peristiwa Pertama dan Ketiga, Sebab kekalahan dan bagaimana Mengembalikan kembali Baitul
Maqdis ke tangan Kaum muslimin.

A. Latar Belakang Sebab Kekalahan Kaum Muslimin dari Pasukan Salib dan
Didudukinya Baitul Maqdis 1099 M

1. Krisis Politik dan Kekuasaan

Abad 9 M, Kaum muslimin mulai nampak kemunduran dan kelemahanya. Khilafah Abbasiyah
mengalami penurunan yang tajam. Kekuasaan Politiknya hampir tidak dirasakan, karena dibawah kontrol
dan kekuasaan Berturut turut dari Militer Turki, Buwaih, sampai Seljuk. Khalifah hanya sebagai Simbol
semata. Keadaan ini yang membuat wilayah wilayah memilih independent dan bahkan melepaskan diri
dari kekhilafahan. Ditambah lagi, semenjak dua pucuk pimpinan (Wazir Nizham Mulk dan Sultan Malik
Shah) Seljuk meninggal, daerah kekuasaan yang luas diperebutkan oleh masing masing anaknya. Dalam
kurun lima tahun, Bani Saljuq pecah menjadi lima bagian dan menjadi ajang perebutan keturunan dan
orang-orang terdekat Maliksyah: Saljuq Iraq, Saljuq Khurasan, Saljuq Halab (Aleppo), Saljuq Damaskus,
dan Saljuq Asia Kecil (Romawi) (Alwi Alatas)

Sejak abad 4 H, Daulah Fathimiyah berhasil mengokohkan kedudukannya di Mesir dan Selatan
Jazirah Arab. Mereka menjalankan segala kebijakan untuk meruntuhkan Daulah Abbasiyah dan
melenyapkan pemikiran Islam/Sunni dan menggantikannya dengan pemikiran Syiah.

2. Krisis Pemikiran dan Keterpecahan


Ditutupnya Pintu Ijtihad di akhir abad ke 10 justru membuat pertentangan antara mazhab
semakin tajam. Pada awal perkembangannya, kelompok-kelompok mazhab ini hanyalah merupakan
madrasah pemikiran, seperti Madrasah Sufyan ats-Tsauri, Madrasah Abu Hanifah, Madrasah Syafi`i, dan
Madrasah Ahmad bin Hanbal. Namun, pada fase-fase berikutnya, madrasah-madrasah pemikiran tersebut
berubah menjadi ‘mazhab’, serupa dengan partai dan kelompok dimana loyalitas (wala’) mereka yang
lebih cenderung kepada afiliasi mazhab, bukan kepada fikrah mazhab atau umat yang menjadi
pengikutnya. Problem terbesar yang timbul dari dampak negatif “mazhabisme” adalah setiap mazhab
menganggap dirinya sebagai satu satunya representasi kebenaran dalam panggung kehidupan dunia
Islam. Tercatat Beberapa kali pertikaian antara Pengikut Mazhab Hambali dan Syafi’i sampai menimbulkan
puluhan korban meninggal (Ibnu Katsir)
Selain permasalahan Mazhab, berkembang pula aliran aliran tasawuf yang sesat dan
meninggalkan syariat. Pada mulanya, tawasuf muncul sebagai madrasah pendidikan (madaris
tarbawiyyah), seperti madrasah-madrasah fiqih, dengan tujuan membersihkan jiwa dan membangun
akhlaq. Sebagai contoh adalah Madrasah Muhasibi yang didirikan oleh al-Harits al-Muhasibi; Madrasah
Junaidi yang didirikan oleh al-Junaid al-Baghdadi, Madrasah Nisaburi yang didirikan oleh Abu Ja`far an-
Nisaburi, dan Madrasah Sary as Saqathi (Majid Al Kilani). Penyimpangan tasawuf terjadi dalam beberapa
bentuk: pergeseran pemahaman dan praktik sehingga menjadi sesat, seperti yang terjadi pada aliran al-
Malamatiyah; mempertentangkan tasawuf dengan syariat, seperti yang dilakukan aliran pengikut al-
Hallaj; tasawuf palsu tanpa ilmu dan hanya memperhatikan penampilan lahir sebagai sufi.

Aliran aliran kebatinan dan Filsafat pun semakin berkembang pesat dan semakin memperburuk
keadaan. Aliran kebatinan, pada awalnya, merupakan rangkaian upaya yang dilakukan oleh para pewaris
elit aristokrasi Persia yang kehilangan kekuasaan mereka setelah runtuhnya kekuasaan Kisra dan
Zurdusytiyah, dengan tujuan untuk membangkitkan kembali kejayaan masa lalunya. Filsafat masuk ke
ranah pemikiran Islam sejak abad 2 H seiring aktivitas penerjemahan ilmu pengetahuan Yunani dan India
ke dalam bahasa Arab. Namun, sejak abad 4 H, filsafat tampil dengan karakteristik baru yang mengancam
kemurnian aqidah Islam, konsep kenabian (nubuwwah) dan kerasulan (risalah).

3. Krisis Sosial dan Ketimpangan Ekonomi


Ditengah kondisi Ekonomi yang sulit, Musim kering berkepanjangan dan menyebabkan paceklik
sehingga sebagian masyarakat terpaksa memakan bangkai Binatang. Namun penguasa bersikap
berkebalikan. Perlengkapan pernikahan Putri Sultan Maliksyah tahun 480 H: 130 ekor unta dihiasi kain
sutra Romawi dan sebagian besar perabotan berlapis emas dan perak, 74 ekor keledai berhias kain sutra
mahal dan tali pengikat berlapis emas dan perak, 33 ekor kuda dengan perlengkapan tunggang terbuat
dari emas dan bertabur permata, dan pelaminan besar berbalut kain sutra dan bertabur permata (Ibnu
Kaatsir) .

Di tengah hancurnya sendi-sendi sosial, masyarakat dari berbagai lapisan justru sibuk dengan isu-
isu harian, rutinitas berskala kecil seputar makanan, pakaian, tempat tinggal, persaingan dagang, hiburan,
dan sarana pelampiasan nafsu. Alhasil, kemunafikan tumbuh subur, nilai-nilai sosial hancur, moral
terpuruk. Perbincangan mengenai idealisme dan isu-isu besar Hanya menjadi sarana bagi para orator,
peneramah, dan guru untuk mengais rezeki, atau sekadar wacana dan idealisme kosong yang dicibir dan
tidak menarik

4. Dimulainya Perang Salib dan Jatuhnya Baitul Maqdis


Kondisi Umat Muslim yang demikian jatuhnya sampai ke telinga Kaisar Bizantium Alexius
Comnanus, Saat yang tepat untuk merebut kembali Wilayahnya yang telah di ambil alih oleh Kaum
Muslimin. Momen ini tak disia siakan, Alexius menemui Paus urbanus II untuk diminta bantuan untuk
membantu bizantium merebut tanahnya Kembali. Puas Urban II menyambut gembira, Impian
menyerukan persatuan Kristen dan Ortodox sembari memperkuat posisi politiknya yang saat itu konflik
dengan Raja raja Kristen menemukan jalanya.

Serangan pasukan Salib ke wilayah-wilayah Islam dimulai saat masyarakat Muslim sedang
menderita kerusakan dan kelemahan dalam pelbagai bidang. Sementara para pemimpin Muslim terlibat
konflik, pertikaian, dan perpecahan. Serangan pasukan Salib semakin agresif sehingga berhasil menguasai
wilayah Islam yang sangat luas. Pada tahun 491 H mereka menguasai Anthakiya. Puncaknya, pada tahun
492 H Baitul Maqdis jatuh ke tangan pasukan Salib nyaris tanpa perlawanan. Ketika pasukan Salib berhasil
menguasai Ramallah, al-Quds, dan Asqalan, mereka melakukan banyak pembunuhan di kota-kota
tersebut. Di sekitar Masjid al-Aqsha saja mereka membantai 70,000 orang Muslim dengan keji dan tanpa
pandang bulu.

Para Sultan dan penguasa tidak melakukan tindakan apapun untuk menghentikan invasi pasukan
Salib yang terus meluas. Seluruh lapisan masyarakat tetap tenggelam dengan urusan-urusan pribadi dan
masalahmasalah sepele. Mereka justru terus bersaing dan bertikai dalam hal-hal itu. Delegasi Syam
dipimpin al-Qadhi Abu Sa`ad al-Harawi menghadap Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Reaksi sesaat muncul
dari Khalifah yang segera memerintahkan para ulama dan tokoh untuk membangkitkan semangat.
Pertemuan resmi dan tidak resmi dilakukan berkali-kali. Tapi hasil akhirnya nihil. Seperti digambarkan
sejarawan Ibn Taghri Bardi, “Akhirnya, al-Qadhi Abu Sa`ad dan delegasi meninggalkan Baghdad menuju
Syam tanpa mendapatkan bantuan sedikitpun.

Pada tahun yang sama, ketika terjadi penyerbuan dan pembantaian di kota suci (al-Quds), tiga
Sultan Bani Saljuq keturunan Maliksyah, yaitu Muhammad, Sinjar, dan Barkiyaruq malah terlibat konflik
dan saling serang demi mempertahankan kedudukan dan kekuasaan masin masing.

B. Upaya Membangkitkan Kembali Ummat dan Merebut Al Aqsha

Tokoh-tokoh yang masih lurus dan tulus menyikapi kemunduran tersebut dengan penuh kecewa dan
merasa jijik. Reaksi mereka terbagi dua: pertama, mengasingkan diri dan pasif (`uzlah salbiyyah) sambil
menunggu suratan takdir yang diterimanya; kedua, melangkah mundur (al-insihab) dari lingkungan yang
penuh syubhat untuk fokus pada upaya membenahi diri (al-isytighal bi khashshat an-nafs) guna
mengevaluasi kesalahan pemikiran selama ini, agar dapat terjun kembali (al-`audah) ke tengah
masyarakat dan menjalankan proses perbaikan atau ishlah.

1. Gerakan Imam Ghazali merubah dan membangkitkan masyarakat


Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazzali, lahir tahun 450 H di Thus, Iran. Imam al-
Juwaini mengangkat al-Ghazzali sebagai asistennya di usia muda berkat kecerdasan dan perkembangan
keilmuannya yang begitu pesat. Di fase inilah, al-Ghazzali menulis karyanya, al-Manhul, yang
mendapatkan apresiasi begitu tinggi dari sang Guru, dan diangkat menjadi Pengajar di Nizhamiyah.
Beberapa tahun kemudian Al-Ghazzali melepaskan semua jabatannya. Ia pergi menuju Syam dan tinggal
di sana selama sepuluh tahun, dengan beberapa kali pindah tempat antara Damaskus, Baitul Maqdis, dan
Hijaz, kemudian Pulang ke kampung halamanya thus. Dalam kurun waktu tersebut al-Ghazzali benar-
benar mengevaluasi seluruh pemikiran dan keyakinannya, dan berusaha memperbaiki perilaku dan
kecenderungan jiwanya. Akhirnya, al-Ghazzali berhasil membangun konsepnya sendiri, yang ia yakini
kebenarannya dan merasa puas dengannya. Di puncak kepuasannya itu, al-Ghazzali mengarang buku yang
berjudul al-Munqidz min adh-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan). Rakyat menderita karena kerusakan
penguasa. Penguasa menjadi rusak karena kerusakan ulama. Ulama menjadi rusak karena dikuasai
cinta harta dan kehormatan (Al Ghazali). Kemudian Beliau mendirikan Madrasahnya sendiri untuk
memulai Gerakan Ishlah dan Audahnya
Dua tujuan pendidikan yang ditetapkan dan hendak dicapai oleh Madrasah al-Ghazzali:
1. Melahirkan generasi baru ulama dan elit pemimpin umat yang akan berbuat dengan satu
kerangka pemikiran dan tidak terpecah belah, saling melengkapi dan tidak saling menghambat, memiliki
tujuan tulus untuk Allah Swt, dan sesuai dengan tuntunan risalah Islam.
2. Memfokuskan perhatian pada upaya mengatasi penyakit-penyakit kritis yang menggerogoti
umat dari dalam, bukan sibuk dengan gejala-gejala yang ditimbulkan olehnya, temasuk ancaman segenap
agresor asing.
Dari sinilah akan lahir generasi baru yang mengubah kondisi ummat dan membangkitkanya,

2. Perkembangan dan Penyebaran Gerakan Ishlah


Al-Ghazzali memandang amar ma`ruf nahy munkar sebagai kutub terbesar yang paling
menentukan dalam agama. Ia merupakan tugas dan misi seluruh nabi dan rasul. Dalam hal ini, al-Ghazzali
menyeru para ulama dengan lantang agar menempatkan diri di hadapan penguasa sebagai penyeru
kebaikan dan pencegah kemunkaran, dengan tujuan untuk mengokohkan prinsip yang diyakininya bahwa
‘kekuasaan harus berada di bawah kendali aqidah’. Bisa dikatakan, al-Ghazzali merupakan satu-satunya
ulama pada masa itu yang berani menolak berbagai kebijakan ekonomi tidak adil yang ditetapkan oleh
sultan dan penguasa, Al-Ghazzali menyebut terang-terangan para penguasa dan sultan saat itu sebagai
orang-orang yang zalim dan menyimpang dari aturan-aturan Allah. Bagi al-Ghazzali, ulama-ulama tulus
haram bergaul dan menjalin hubungan baik dengan para penguasa zalim itu hingga mereka kembali
tunduk kepada syariat Allah.

Banyak ulama lintas mazhab yang berguru kepada al-Ghazzali. Uniknya, termasuk tokoh-tokoh
utama mazhab Hanbali, yang sebelumnya sulit mengakui keunggulan tokoh lain diluar mazhab mereka.
Ibn Katsir dan sejumlah sejarawan lainnya, menyebut beberapa tokoh besar mazhab Hanbali selalu
mengikuti kajian yang diampu al-Ghazzali, seperti Abu alKhaththab dan Ibn `Aqil. Mereka begitu
mengagumi kekuatan narasi dan pengetahuan luas al-Ghazzali

Pendidikan yang diterapkan Madrasah al-Ghazzali menginspirasi kemunculan sejumlah madrasah


dan lembaga pendidikan model baru yang mengadopsi sistem pendidikan yang dikembangkan oleh al-
Ghazzali. Kurikulum, metode dan sistem pengajaran di madrasah madrasah ini bercorak islami,
mengintegrasikan bidang-bidang aqidah, tazkiyah, dan fiqih.

Gerakan Madrasah Al Ghazali berpengaruh dan berkembang luas. Madrasah-madrasah ishlah di


kota-kota besar menjadi pusat pendidikan yang menampung pelajar-pelajar unggulan dari madrasah-
madarasah pelosok atau cabang dan menyiapkan mereka untuk menjadi pemimpin pemimpin umat di
segala bidang.

3. Generasi ke 2 Gerakan Ishlah : Syekh Abdul Qadir Al Jilani


Ghazzali berada di puncak popularitasnya saat Abdul Qadir al-Jilani masih muda. Banyak tokoh-
tokoh besar mazhab Hanbali, termasuk guru-guru Abdul Qadir, yang menimba ilmu kepada al-Ghazzali.
Saat al-Ghazzali wafat pada tahun 505 H, Abdul Qadir berusia 35 tahun Selain menguasai ilmu fiqih,
Alqur’an, dan sastra, Abdul Qadir juga sangat tertarik kepada dunia zuhud dan tasawuf. Abdul Qadir
kemudian aktif mengajar dalam berbagai bidang keilmuan. Abdul Qadir kemudian dikenal sebagai
pengusung gerakan dan gagasan ishlah di Baghdad sejak tahun 521 H / 1127 M Madrasahnya dikenal
denganMadrasah Qadiriah
Madrasah Qadiriyah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap isu keumatan, terutama
yang terdampak langsung oleh perang Salib. Banyak kader madrasah yang dikirim dan mendedikasikan
dirinya di Syam juga menampung anak-anak pengungsi dari wilayah Syam sebagai upaya menyiapkan
generasi baru untuk menghadapi tantangan pasukan Salib. Murid-murid ini mendapatkan pendidikan
intensif lalu, setelah tamat, dikembalikan ke daerah masing-masing.

materi-materi pengajian Abdul Qadir lebih banyak berkisar pada empat isu utama yaitu: kritik
terhadap ulama, kritik terhadap penguasa, kritik terhadap moralitas masyarakat, dan menyeru kepada
keadilan.

Komunikasi intensif dan koordinasi antarmadrasah ishlah terbentuk antara tahun 546-550 H. Pada
rentang masa tersebut diselenggarakan beberapa kali pertemuan di tempat yang berbeda dan dihadiri
oleh sejumlah tokoh madrasah ishlah dan pembaruan dari berbagai pelosok dunia Islam.

4.Lahirnya Generasi Nurudin Zanki dan Sholahudin Al Ayyubi


Pengaruh Gerakan Ishlah di Baghdad dan Syam semakin tajam dan sampai bilik bilik istana
kesultanan. Di antara murid-murid Madrasah Qadiriyah yang berperan besar di Syam adalah Ibn Naja
(penasihat politik dan militer Shalahuddin al-Ayyubi), alHafizh ar-Rahawi, Musa bin Abdul Qadir al-Jilani,
Ibn Qudamah al-Maqdisi (penasihat Shalahuddin al-Ayyubi), Abdul Ghani al-Maqdisi, dll

Madrasah Qadiriyah di Baghdad aktif merekrut anak-anak para pengungsi dari wilayah-wilayah
yang dikuasai pasukan Salib. Anak-anak tersebut diberi fasilitas asrama dan pendidikan gratis. Setelah
menamatkan pendidikan, mereka kemudian dipulangkan ke wilayah-wilayah konflik sebagai kader-kader
ishlah dan pembaruan.

Banyak ulama dari pelbagai pelosok sengaja pindah ke Syam untuk mengajar di madarasah-
madrasah yang dibangun Nuruddin dan Shalahuddin. Mereka antara lain, Musa bin Syaikh Abdul Qadir
yang aktif mengajar di Damaskus hingga wafat tahun 618 H; As`ad bin al-Manja bin Barakat, murid Syaikh
Abdul Qadir, mengajar di Harran hingga wafat tahun 606 H; Hamid bin Mahmud, murid Syaikh Abdul
Qadir, mengajar di madrasah lain di Harran hingga wafat tahun 570 H. Muwaffaquddin Ibn Qudamah aktif
mengajar di era Shalahuddin al-Ayyubi. Syaikh Abu an-Najib as-Suhrawardi, alumni Madrasah
Suhrawardiyah, aktif mengajar di Damaskus. Syaikh Abdurrahman bin Usman bin ash-Shalah mengajar di
Madrasah Asadiyah di Halab (Aleppo) hingga wafat tahun 618 H. Quthbuddin anNisaburi meninggalkan
Nisabur ke Baghdad, lalu mengajar di Madrasah Nuruddin dan Asaduddin di Damaskus hingga wafat Tahun
578 H, dst.

Banyak sekali alumni alumni madrasah ishlah kemudian menjadi orang orang berpengaruh dan
masuk kedalam pemerintahan, militer dll di Kesultanan Zankiyah. Sejak itulah Gelora Jihad mulai
membahana kembali. Pasukan Nuruddin Zanki menaklukkan kembali daerah daerah yang telah dikuasai
pasukan salib. Aleppo, Hamimah, Edessa dan Antiokya berhasil dikuasai. Disusul mesir, Daulah
Fatimiyah yang sudah lemah berhasil di taklukkan. Akhirnya, Dari Generasi Emas Nuruddin Zanki
dan Sholahudin Al Ayyubi ini berhasil Kembali membebaskan Tanah Suci palestina.

Nurudin Zanki dan Salahuddin tidak lahir diruang hampa, dan bukan hanya mereka secara
personal, Namun generasinya disiapkan 80tahun sebelumnya, Generasi Pembebas Baitul Maqdis

Anda mungkin juga menyukai