Anda di halaman 1dari 20

KAEDAH TENTANG LATAR BELAKANG TURUNNYA AYAT AL-

QUR’AN (ASBAB AL-NUZUL)


Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Qawa‟id Tafsir
Dosen Pengampu: Dr. Wardani, M. Ag.
Oleh:

Kelompok 7

Abdu Rahim M: 190103020429

Ninda Safitri: 190103020404

Raudatul Husna: 190103020210

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
BANJARMASIN
2021
PENDAHULUAN

Ilmu Asbab al-nuzul merupakan rangkaian pristiwa berdasar pada riwayat


para sahabat dan tabi‟in. Penukilan pada al-Qur‟an dan sunnah yang mana tidak
ada ruang bagi akal di dalamnya kecuali dengan melakukan tarjih di antara
berbagai dalil atau menghimpun dalil-dalil tersebut.1

Alwahidi Mengatakan, Tidak mungkin mengetahui tafsir suatu ayat tanpa


mengetahui kisah dan sebab turunnya. Ibnu Daqiqil pun pernah mengatakan
bahwasanya penjelasan tentang sebab turunnya ayat merupakan cara yang
efeketif untuk memahami isi dan kandungan ayat. Dari pendapat tersebut dapat
kita pahami bahwasanya mengetahui Asbab al-nuzul suatu ayat sangatlah penting
dalam memahami makna yang terkandung dalam al-Qur‟an.2

Oleh sebab itu agar terhindar dari kesalahan dalam memahami ayat al-
Qur‟an dengan menyertakan Asbab al-nuzul suatu ayat perlu kiranya kita ketahui
kaidah Asbabun Nuzul tersebut. Dengan mengetahuinya dapat memunculkan
pemahaman dan penetapan hukum suatu ayat. Sehingga jika ada pendapat yang
tidak sesuai dalam mengungkap makna al-Qur‟an, maka pendapat tersebut dapat
digugurkan demi kaidah yang ada. Adapun apa saja rumusan akidah Asbabun
Nuzul tersebut selengkapnya akan dibahas dalam makalah ini.

1
Imam suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat al-Qur‟an, terj. Ali Nurdin
(Jakarta: Qisthi Press, 2017), 1.
2
Ach. Fawaid, Asbabun Nuzul, cet-1 (Yogyakarta: Noktah, 2020), 6.

1
PEMBAHASAN

A. Pengertian Asbab al-Nuzul


Secara etimologi, asbab al-nuzul dapat diartikan sebagai sebab-
sebab turunnya suatu ayat. Secara terminologi menurut para ahli asbab al-
nuzul dapat diartikan sebagai berikut:

1. Shubhi al-Shalih asbab al-nuzul diartikan sebagai suatu hal yang menjadi
sebab dari turunnya ayat atau beberapa ayat, pertanyaan yang menjadi
sebab dari turunnya ayat sebagai jawaban maupun penjelasan yang
diturunkan ketika terjadinya suatu peristiwa.
2. Menurut Qaththan asbab al-nuzul diartikan sebagai sesuatu yang karena
sebab itu Al-Qur‟an diturunkan sebagai penerang maupun penjelas status
hukum, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun suatu
pertanyaan.3
3. Az-Zarqani di bukunya yang berjudul Manahil al-„Urfan fī „Ulum Al-
Qur‟an, asbab al-nuzul diartikan sebagai sesuatu hal yang karena itu satu
ayat atau beberapa ayat diturunkan untuk membicarakan atau menjelaskan
hukum pristiwa tersebut pada masa terjadinya pristiwa itu.4
Masih banyak definisi yang dikemukakan oleh para ulama terkait
asbab al-nuzul, salah satu yang cukup populer yaitu peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada masa turunya ayat, baik sebelum maupun sesudah
turunnya, di mana kandungan ayat tersebut berkaitan/dapat dikaitkan
dengan peristiwa itu.
Peristiwa yang dimaksud bisa jadi berupa kejadian tertentu, bisa
juga dalam bentuk pertanyaan yang diajukan, sedang yang dimaksud
dengan sesudah turunnya ayat adalah bahwa peristiwa tersebut terjadi pada
masa turunnya al-Qur‟an, yakni dalam rentang waktu dua puluh dua tahun,
yakni masa yang bermula dari turunnya al-Qur‟an pertama kali sampai

3
Amreoni Drajat, Ulumul Qur‟an Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, Cet-1 (Medan:
Kencana, 2017), 49.
4
Ahmad Zaini, “Asbab al-nuzul Dan Urgensinya Dalam Memahami Makna Al-Qur‟an”
Hermeunetik, Vol. 8, No.1, Juni 2014, 4.

2
ayat terakhir turun. Definisi di atas dirumuskan seperti itu oleh para ulama
untuk menghindari pemahaman makna kata sebab dalam konteks sebab
dan akibat. Memang diyakini oleh semua pihak bahwa firman Allah
bersifat Qadim (tidak didahului oleh sesuatu), sedang sebab bersifat hadis
(baru). Jika ini dipahami dalam arti sebab, maka itu mengesankan bahwa
Kalam Allah itu turun setelah terjadinya sebab dan tanpa sebab ia tidak
akan turun padahal kalam-Nya diyakini qadim. Terlepas dari definisi di
atas, riwayat-riwayat menunjukkan bahwa asbab al-nuzul dapat
merupakan jawaban atas pertanyaan dan dapat juga berupa komentar atau
petunjuk hukum atas satu atau lebih kejadian, baik komentar itu hadir
sesaat sebelum maupun sesudah turunnya ayat. Dari sini bila ada satu
peristiwa yang terjadi pada masa kerasulan, yang kandungan ayatnya dapat
menjelaskan hukumnya atau ayat itu merupakan tuntunan menyangkut
peristiwa itu, betapapun banyaknya peristiwa, maka ini pun masing-
masing dapat dinamai asbab al-nuzul.
Semua ulama mengakui peranan asbab al-nuzul dalam memahami
kandungan ayat, atau memperjelasnya, bahkan ada ayat yang tidak dapat
dipahami dengan benar tanpa mengetahui sebab-nya, seperti firman-Nya
dalam QS. at Taubah [9]:118:

Artinya: “Terhadap tiga orang yang ditinggalkan hingga apabila bumi


seluruhnya telah menjadi sempit atas mereka (padahal bumi lapang) dan
jiwa mereka pun telah terasa sempit oleh diri mereka sendiri, serta
mereka telah menduga bahwa tidak ada tempat lari dari Allah, kecuali
berlindung-Nya. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka
tetap dalam bertaubat. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, lagi
Maha Penyayang.”

3
Ayat ini tidak dapat dipahami secara baik tanpa mengetahui
sebabnya, karena aneka pertanyaan dapat muncul. Misalnya, siapa ketiga
orang itu? Mengapa mereka di tinggal? Ditinggal dari mana dan dalam
perjalanan ke mana? Apa makna sempitnya bumi buat mereka dan
mengapa mereka merasa bahwa bumi telah sempit? Dan lain-lain
pertanyaan yang jawabannya hanya ditemukan melalui asbab al-nuzul.
Dari redaksi riwayat yang menampilkan asbab al-nuzul tersirat sifat sebab
itu. Jika perawinya menyebut satu peristiwa, kemudian dia menyatakan:
“fa nazalat al-Ayat” atau menegaskan bahwa “Ayat ini turun disebabkan
oleh ini, yakni menyebut peristiwa tertentu, maka itu berarti ayat tersebut
turun semasa atau berbarengan dengan peristiwa yang disampaikan. Tetapi
kalau redaksinya menyatakan: nazalat al-Ayat fi..., yang menegaskan
bahwa “Ayat ini turun menyangkut...,” baru kemudian menyebut
peristiwa, maka itu berarti bahwa kandungan ayat itu mencakup peristiwa
itu.5
B. Cara Menentukan Asbab al-Nuzul
Sumber pengetahuan tentang asbab al-nuzul diperoleh dari riwayat
sahih baik dari al-Qur‟an, hadis maupun dari perkataan para sahabat.
Menurut Al-Wahidi, yang kemudian dikutip oleh Manna‟ Khalil Al-Qattan
menyatakan bahwa tidaklah diterima informasi tentang asbab al-nuzul
kecuali memiliki dasar periwayatan yang valid baik dari Nabi maupun
para sahabat yang menyaksikan langsung turunnya suatu ayat. Oleh
karenanya, untuk menentukan validitas asbab al-nuzul diperlukan kritik
sanad sebagaimana dalam ilmu hadis, sehingga akan didapatkan sumber
yang kuat dengan memilah sumber yang secara historis lemah karena sulit
dibenarkan oleh fakta-fakta. Otentik dan tidaknya sumber asbab al-nuzul
dapat dikaji dengan penelusuran para perawi yang meriwayatkan kejadian-
kejadian dan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat. Maka
informasi terkait asbab al-nuzul perlu dikaji secara kritis untuk

5
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur‟an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 235-238.

4
menentukan kesahihan (otentitas) berita tersebut. Secara metodologis,
validitas sumber asbab al-nuzul bisa dilakukan sama dengan metode
takhrij hadis. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Shalah bahwa
syarat diterimanya informasi tentang asbab al-nuzul adalah sanad yang
bersambung, jika hal itu bersumber dari sahabat, maka sahabat tersebut
adalah menyaksikan sebab turunnya ayat dan dinyatakan dengan kata-kata
yang secara tegas (qat‟i) menunjuk kepada adanya asbab al-nuzul. Jika
sanad hadis tentang asbab al-nuzul itu tidak bersambung atau tidak
menyatakan secara tegas adanya asbab al-nuzul, maka tidak diterima
sebagai asbab al-nuzul suatu ayat.6
C. Kaedah-Kaedah Asbab al-Nuzul
1. Kaidah pertama

“Informasi tentang asbab al-nuzul harus didasarkan atas periwayatan dan


pendengaran langsung.”
Informasi tentang asbab al-nuzul harus bersumber dari orang yang
menyaksikan langsung peristiwa turunnya ayat itu. Mengetahui dengan
pasti sebab turunnya, dan mencari informasi tentang turunnya. Mereka
yang memiliki kewenangan seperti itu tentulah hanya para sahabat
Rasulullah dan tidak mungkin dilakukan berdasarkan ijtihad. Bila
informasi asbab al-nuzul dari tabi‟in, maka ada ulama yang menerimanya,
karena informasi itu statusnya dipandang mursal (dipandang sampai
kepada Rasul Saw karena diriwayatkan tabi‟in dari sahabat yang berarti
memperolehnya dari Nabi Saw), dengan syarat informasi itu dapat
dipastikan mengenai asbab al-nuzul, penyadarannya kepada sahabat oleh
tabi‟in itu shahih, dan yang menyandarkannya dikenal sebagai
berkecimpung dalam tafsir. Tabi‟in misalnya Mujahid, „Ikrimah, dan Sa‟id
bin Jubair.

6
Niswatur Rohmah, “Studi Analisis Kaidah Asbab Al-Nuzul: Kelebihan dan
Kekurangannya, Jurnal Ilmu Alquran Dan Tafsir, Vol: 04 No. 02, November 2019, 161-162.

5
2. Kaidah ke-dua

“Asbab al-nuzul itu harus selalu berstatus marfu‟.”


Asbab al-nuzul ayat harus berupa kesaksian dari seseorang yang
mengalami sendiri peristiwa itu atau mendengarnya langsung dari orang
lain. Nabi Saw sendiri tidak menginformasikannya yang
menginformasikannya adalah sahabat. Informasi seperti itu disebut marfu‟
“terangkat” kepada Nabi Saw. Asbab al-nuzul terbagi dua, yaitu:
a. Sharih (jelas), yang dimaksud dengan asbab al-nuzul yang sharih
adalah suatu informasi yang dinyatakan dengan tegas oleh seorang
sahabat sebagai asbab al-nuzul, dengan ungkapan “sebab turunnya
ayat ini adalah demikian” atau ia menyebutkan suatu peristiwa atau
sebuah pertanyaan, lalu diikuti dengan ungkapan “lalu turunlah” dan
turunlah kemudian turunlah atau lalu Allah Swt mewahyukan kepada
Nabi-Nya. Contoh asbab al-nuzul sharih:

“Apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari al-Barra‟ yang


mengatakan: „Ketika ayat tentang kewajiban berpuasa bulan
Ramadhan turun, mereka tidak mendekati istri-istri mereka pada
seluruh bulan Ramadhan itu. Lalu ada beberapa orang yang merasa
telah berbuat dosa (karena mendekati istrinya). Maka Allah Swt

menurunkan ayat 187 QS. al-Baqarah yang menyatakan:

.”

b. Ghairu sharih (tidak jelas), yaitu ungkapan yang menyatakan “ayat ini
turun berkenaan dengan atau yang semacamnya.” Ungkapan seperti

6
ini mengandung dua kemungkinan, yaitu merupakan asbab al-nuzul,
atau merupakan penafsiran. Contoh redaksi asbab al-nuzul ghairu
sharih:

“Al-Bukhari menginformasikan dari Nafi‟ ra yang berkata, „Ibn Umar


ra bila membaca al-Qur‟an tidak berbicara sampai selesai. Pada
suatu hari, saya menjumpainya sedang membaca surah al-Baqarah.
Ketika ia sampai pada satu ayat, ia berkata, „Tahukah engkau ayat ini
turun berkenaan dengan persoalan apa?‟ saya menjawab, tidak tahu,
ia berkata, ayat ini turun berkenaan dengan ini dan ini,‟ kemudian ia
berlalu.”

Berdasarkan pembagian di atas, kita dapat menyatakan bahwa


bentuk Asbab al-nuzul yang pertama (sharih) disepakati hukumnya
marfu‟. Sedangkan bentuk sabab nuzul kedua (ghairu sharih)
diperdebatkan oleh ulama.

3. Kaidah ke-tiga

“Al-Qur‟an adalakalnya turun bersamaan ketetapan hukum, adakalanya


mendahuluinya, dan adakalanya sebaliknya.”
Ayat-ayat al-Qur‟an adakalanya turun dengan membawa ketetapan
hukum dan disertai perintah untukk menjalankannya, yaitu hukum itu
dimulai dengan turunnya ayat-ayat yang menerangkannya. Demikianlah
turunnya kebanyakan ayat-ayat al-Qur‟an. Namun, terkadang ayat-ayat

7
yang turun itu hanya berisi isyarat hukum, belum disertai perintah untuk
melaksanakannya dalam waktu dekat atau lama. Dan kadang-kadang ada
ayat-ayat yang turun yang berbicara tentang sebuah hukum tetapi
pelaksanaannya baru beberapa saat kemudian. Contoh ayat al-Qur‟an yang
turun disertai ketetapan hukum:

“Dihalalkan bagi kalian pada malam bulan puasa untuk melakukan


hubungan badan dengan istri kalian..” (QS. al-Baqarah [2]: 187). Ibn
„Abbas berkata dari riwayat al-Walibi , „Hal itu terjadi karena kaum
muslimin biasanya dalam bulan ramadhan, apabila telah melakukan
shalat „isya, meraka mengharamkan istri dan makan-minum sampai pada
berpelukan. Kemudian ada sejumlah kaum muslimin tidak senghaja
memakan makanan dan berhubungan dengan istri mereka adalah „Umar
ibn Khaththab. Lalu mereka mengadu kepada Rasulullah Saw tentang
peristiwa yang menimpa mereka, maka turunlah ayat itu.”
4. Kaidah ke-empat

“Pada dasarnya asbab al-nuzul tidak berulang.”


Apa yang dinyatakan kaidah ini merupakan prinsip dasar. Namun,
terkadang ada pengecualian dari prinsip dasar itu sehingga ada yang
menyatakan bahwa asbab al-nuzul terulang berdasarkan ada beberapa
sebab turun dari ayat itu. Hal itu karena sebab-sebab turun, jarak waktu
terjadinya berjauhan, yang menyebabkan tidak dapat dikatakan bahwa

8
sebuah ayat turun setelah semua sebab-sebab itu. Pada keadaan seperti itu
tidak ada jalan lain keceuali menyatakan bahwa ayat itu turun berulang.
Pengulangan seperti itu berfungsi untuk mengingatkan hukum yang telah
ada, menekankannya, atau untuk menjelaskan bahwa peristiwa (yang
disebutkan asbab al-nuzul) termasuk di dalam cakupan makna ayat.
Contohnya firman Allah Swt dalam QS. al-Rum [30]: 1-4:

“Alif Lam Mim [1] Bangsa Romawi telah dikalahkan [2] Di negeri yang
terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan menang [3] Dalam
beberapa tahun (lagi). Bagi Allahlah urusan sebelum dan setelah (mereka
menang). Dan pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah
orang-orang yang beriman.”
Imam al-Turmudzi meriwayatkan hadis dari Abi sa‟id ra, yang berkata:

“Setelah perang Badar, Romawi mengalahkan Persi. Ini membuat kaum


mukminin kagum sekali. Maka turunlah ayat 1 sampai 4 surah al-Rum.
Kaum muslimin pun senang dengan kemenangan romawi atas persi.”
Hadis ini menunjukkan bahwa ayat tersebut turun di Madinah
sesudah Hijriyah.
Kemudian al-Turmudzi juga meriwayatkan hadis dari Ibn „Abbas
ra yang menunjukkan bahwa ayat itu turun di Mekkah, berkenaan dengan
kisah pertaruhan terkenal yang terjadi antara Abu Bakar dan orang
musyrikin Makkah. (Abu Bakar al-Shiddiq bertaruh dengan Ubayy bin
Khalaf bahwa Rowami akan mengalahkan kembali Persia setealah antara
tiga sampai sembilan tahun. Bertaruh waktu itu belum diharamkan).

9
Riwayat itu jelas menunjukkan bahwa ayat ini turun di Makkah
sebelum hijrah. Jarak antara kedua asbab al-nuzul itu beberapa tahun,
kedua hadis itu shahih, dan redaksinya tegas mengenai asbab al-nuzul.
Maka dalam hal seperti itu dipahami ayat itu turun lebih dari satu kali.
5. Kaidah ke-lima

“Adakalanya asbab al-nuzul satu, sedangakan ayat yang turun


bermacam-macam, atau sebaliknya.”
Biasanya satu ayat satu pula asbab al-nuzulnya, atau sebaliknya.
Namun, bisa saja terjadi asbab al-nuzul satu, sedangkan ayat yang turun
karenanya banyak atau sebaliknya.
Contoh asbab al-nuzul satu, ayat yang turun beberapa:
Imam al-Turmudzi meriwayatkan hadis dari Ummi Salamah ra ia berkata:

“Laki-laki berperang, perempuan tidak berperang, dan kami hanya


berhak atas seperdua warisan”. Lalu, turunlah ayat QS. an-Nisa [4]: 32.”
Imam al-Turmudzi mengatakan bahwa Imam Mujahid berkata:

“Maka diturunkan mengenai ( „Sesungguhnya

laki-laki muslim dan perempuan-perempuan muslimah.. bagi mereka


pahala mereka masing-masing.”
Imam al-Tudmudzi juga meriwayatkan dari Ummu Salamah ra yang
mengatakan:

10
“Ya Rasulullah, say tidak mendengar Allah menyebutkan perempuan
dalam berhijrah. Lalu Allah menurunkan ayat yang berbunyi:
(Sesungguhnya Aku tidak menyia-yiakan amal seorang yang beramal, baik
laki-laki maupun perempuan.”
Al-Hakim meriwayatkan pula hadis dari Ummu Salamah ra yang
menyatakan:

“Saya berkata, „Ya Rasulullah, laki-laki disebut-sebut, perempuan tidak


disebut-sebut.‟ Lalu Allah menurunkan ayat 35 QS. al-Ahzab [33] yang

berbunyi: (Sesungguhnya laki-laki muslim dan

perempuan-perempuan muslimah.. bagi mereka pahala mereka masing-


masing (QS. al-Ahzab [33];35) dan turun pula ayat 195 QS. Ali „Imran

[3] yang berbunyi: .”

Al-Hakim berkata hadis itu sahih berdasarkan syarat hadis Imam Bukhari
dan Muslim, namun keduanya tidak menakhrij hadis tersebut. Imam al-
Dzahabi menyetujui pendapat al-Hakim tersebut.
Jelaslah bahwa asbab al-nuzul hanya satu, yaitu keluhan Ummi
Salamah mengenai perbedaan apa yang diperoleh laki-laki dan apa yang
diperoleh perempuan, tetapi ayat yang turun mengenai masalah itu
bermacam-macam.
Contoh asbab al-nuzul banyak, ayat yang turun satu yaitu QS. al-
Tahrim [66]:1 yang berbunyi:

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan


bagimu, kamu mencari kesenangan hati istri-istri kamu..”

11
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan pengharaman Nabi Muhammad Saw atas madu, dan dalam riwayat
yang lain atas budaknya, Maria.
6. Kaidah ke-enam

“Bila riwayat mengenai asbab al-nuzul lebih dari satu, diperiksa


kebenarannya (sebagai asbab al-nuzul) lalu dipilih yang shahih.
Kemudian dilihat redaksinya, lalu diambil yang sharih. Bila masa
turunnya berdekatan, maka turunnya dianggap sekaligus. Dan bila masa
turunnya berjauhan dianggap berulang atau di tarjih.”
Sebuah ayat yang memiliki lebih dari datu riwayat tentang sebab
turunnya telah menjadi salah satu pembahasan para mufassir. Jika terjadi
demikian, maka riwayat-riwayat tersebut harus diteliti dan dipelajari
melalui tiga tahap, yaitu:
a. Tahap pertama, ialah meneliti dan mempelajari keshahihan dan

kepastian ) ( riwayat-riwayat tersebut. Dari hasil penelitian itu

dipilih riwayat-riwayat yang shahih, dan mengabaikan riwayat-riwayat


yang tidak shahih.
b. Tahap kedua, setelah mengambil riwayat-riwayat yang shahih,
dipelajari redaksinya. Jika semua redaksinya tidak tegas (tidak sharih),

seperti ... maka semuanya itu bukanlah asbab al-

nuzul, tetapi merupakan tafsir saja.


c. Tahap ketiga, jika sebab-sebab nuzul itu memiliki beberapa riwayat
yang shahih dan jelas, tetapi berisi beberapa informasi tentang
kejadiannya, maka langkah selanjutnya ialah memperhatikan masa

12
terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Bila masa terjadinya berdekatan,
disimpulkan bahwa ayat tersebut turun setelah seluruh peristiwa itu.

Tetapi bila masa terjadinya berjauhan, disimpulkan bahwa sebab


turunnya berulang. Sebagaian ulama melakukan tarjih, misalnya dengan
cara memeriksa apakah salah satu perawi terlibat peristiwa itu,
menyaksikannya langsung, atau dengan banyak cara tarjih lainnya.7

Contoh-contoh:

a. Beberapa riwayat yang sahih (tsabit), tetapi yang lainnya tidak sahih.
Riwayat-riwayat tentang asbab al-nuzul turunnya QS. al-Dhuha [93]:
1-3
1) Hadis riwayat-riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Jundub
bin Sufyan ra, berkata: “Rasulullah sakit dan tidak bangun dua
atau tiga malam. Kemudian seorang perempuan datang dan
berkata. „Muhammad! Saya harap setanmu telah
meninggalkanmu, karena saya lihat ia tidak menemuimu sudah
dua atau tiga malam. Lalu Allah menurunkan Wadh-dhuha
tsb.”
2) Riwayat Thabrani dengan sebuah sanad yang tidak dikenal,
bahwa sebab turun ayat itu adalah adanya bangkai anak anjing
di bawah tempat tidur Nabi Saw, beliau tidak sadar
menyadarinya, lalu Jibril tidak turun beberapa hari. Kisah itu
masyhur sekali, tetapi asbab al-nuzul ayat itu janggal bahkan
tidak mungkin diterima.
3) Riwayat dari al-Thabari dari al-Aufi dari Ibn Abbas ra yang
berkata: “Ketika al-Qur‟an turun kepada Rasululah Saw Jibril
absen datang beberapa hari, maka ia (Nabi Saw) berubah
karenanya, lalu mereka (kaum kafir) berkata, „Tuhannya telah
meninggalkannya dan membencinya.‟ Lalu turunlah ayat ini.”

7
Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir (Jakarta: QAF, 2017), 35-57.

13
b. Beberapa riwayat yang sahih dan sharih, tetapi yang lainnya tidak.
Riwayat-riwayat tentang sebab turunnya ayat 115 dari QS. al-Baqarah
yang berbunyi:
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Ada beberapa riwayat yang berkenaan dengan sebab turun ayat di atas,
yaitu sebagai berikut:
1) Hadis riwayat al-Tirmidzi dari Ibn „Amr ra ia berkata: “Nabi
Saw shalat sunnah di atas untanya ke arah unta itu
menghadap, beliau dari Makkah menuju Madinah, kemudian
Ibn „Amr membaca ayat ini.”
2) Hadis yang diriwayatkan Ibn Jarir dari Qatadah bahwa Nabi
Saw bersabda, “Saudara kalian, Najasyi meninggal,
shalatkanlah ia.” Mereka bertanya, “Apakah kita perlu
menshalatkan non-muslim?” mereka berkata, “ia (Nabi Saw)
tidak shalat menghadap kiblat.” Maka turunlah ayat ini.
D. Redaksi Asbab Al-Nuzul
Bentuk redaksi yang menerangkan asbab al-nuzul itu terkadang
berupa pernyataan tegas, jelas mengenai sebab, dan terkadang berupa
pernyataan yang mengandung kemungkinan. Bentuk pertama ialah jika
perawi mengatakan. “Asbab al-nuzul ayat ini adalah begini” atau
menggunakan fa‟ta‟qibiyah (kira-kira seperti “maka” yang menunjukkan
urutan peristiwa) yang dirangkaikan kepada kata “turunlah ayat”, sesudah
ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Misalnya ia mengatakan,
“telah terjadi peristiwa begini” atau “Rasulullah ditanya tentang hal
begini, maka turunlah ayat ini.” Dengan demikian, kedua bentuk di atas
merupakan pernyataan yang jelas tentang sebab.
Bentuk kedua, yaitu redaksi yang boleh jadi menerangkan asbab al-
nuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah jika
misalnya perawi menyatakan, “ayat ini turunnya mengenai ini.” Yang

14
dimaksud dengan ungkapan seperti ini, bisa jadi tentang Asbab al-nuzul
ayat dan mungkin juga tentang kandungan hukum ayat tersebut.8
E. Manfaat Mengetahui Asbab Al-Nuzul
Pengetahuan mengenai asbab al-nuzul mempunyai banyak faidah,
yang terpenting di antaranya:
1. Mengetahui hikmah pemberlakuan suatu hukum, dan perhatian syariat
terhadap kemashlahatan umum dalam menghadapi segala peristiwa
sebagai rahmat bagi umat
2. Memberi batasan hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, jika
hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka yang
berpendapat al-„ibrah bikhushush as-sabab la bi „umum al-lafzhi (yang
menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafazh yang umum).
3. Apabila lafazh yang diturunkan itu bersifat umum dan ada dalil yang
menunjukkan pengkhususannya, maka adanya asbab al-nuzul akan
membatasi takhshish (pengkhususan) itu hanya terhadap yang selain bentuk
sebab, dan tidak dibenarkan mengeluarkannya (dari cakupan lafah yang
umum itu), karena masuknya bentuk sebab ke dalam lafazh yang umum itu
bersifat qath‟i (pasti, tidak bisa diubah). Maka ia tidak boleh dikeluarkan
melalui ijtihad, karena ijtihad bersifat zhanni (dugaan), ulama menjadikan
pendapat ini sebagai pegangan pada umumnya. Contohnya seperti yang
digambarkan dalam firmannya:

“Sesungguhnya orang yang menuduh (berzina) perempuan-perempuan


yang baik-baik lalai dan beriman, mereka kena laknat di dunia dan
akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar, pada hari ketika lidah, tangan,

8
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an Terj. Aunur Rafiq El-
Mazni (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), 105-106.

15
dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka tentang apa yang mereka
kerjakan. Pada hari itu Allah akan memberikan mereka balasan setimpal
menurut yang semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah yang benar,
lagi yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang
sebenarnya).” (An-Nur: 23-25)
Ayat ini turun berkenaan dengan Aisyah secara khusus, atau
bahkan istri-istri Nabi lainnya, diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang ayat,
“Sesungguhnya orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik,”
itu berkenaan dengan Aisyah secara khusus. Juga dari Ibnu Abbas, masih
tentang ayat tersebut, ayat itu berkenaan dengan dengan Aisyah dan istri-
istri Nabi. Allah tidak menerima taubat orang yang melakukan hal itu,
tetapi menerima taubat orang yang menuduh seorang perempuan di antara
perempuan-perempuan yang beriman selain istri-istri Nabi.
4. Mengetahui sebab turunnya ayat adalah cara terbaik untuk memahami al-
Qur‟an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat
yang tidak dapat ditafsirkan tanpa pengetahuan sebab turunnya. Al-Wahidi
menjelaskan, “Tidak mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa mengetahui
sejarah dan penjelasan sebab turunnya.” Ibnu Daqiq Al-Id berpendapat,
“Keterangan tentang sebab turunnya ayat adalah cara yang tepat untuk
memahami makna al-Qur‟an. Menurut Ibnu Taimiyah, menetahui sebab
turunnya ayat akan membantu dalam memahami ayat, karena mengetahui
sebab akan mengantarkan pengetahuan kepada musabbabnya (akibat).”
Misalnya seperti yang terdapat di dalam surah al-Baqarah ayat 158:

“Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syi‟ar Allah, maka
barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada
dosa baginya untuk mengerjakan sa‟i di antara keduanya, dan barangsiapa
mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya

16
Allah maha mensyukuri kebaikan dan maha mengetahui.” (QS. Al-
Baqarah:158)
Sebab turunnya ayat dapat menerangkan tentang kepada siapa ayat
itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain
karena dorongan permusuhan dan perselisihan. Seperti disebutkan di
dalam surah al-Ahqaf: 179

“Dan sebaliknya amatlah durhakanya orang yang berkata kepada kedua


ibu bapaknya (ketika mereka mengajaknya beriman), Ah, bosan
perasaanku terhadap kamu berdua. Patutkah kamu menjanjikan kepadaku
bahwa aku akan dibangkitkan keluar dari kubur, padahal berbagai umat
sebelumku telah berlalu (masih lagi belum kembali)? Sambil mendengar
kata-katanya itu ibu bapaknya memohon pertolongan Allah
(menyelamatkan anak mereka) serta berkata kepada anaknya yang ingkar
itu, “Selamatkanlah dirimu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah pasti
benar. Lalu ia menjawab dengan angkuhnya, “semuanya itu hanyalah
cerita-cerita dongeng orang-orang dahulu kala” (Al-Ahqaf: 17).

9
Syaikh Manna al-Qathan, “Pengantar Studi al-Qur‟an Qur‟an” Terj. Aunur Rafiq El-
Mazni (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), 96-100.

17
PENUTUP

Asbab al-nuzul dapat diartikan sebagai suatu hal yang menjadi sebab dari
turunnya ayat atau beberapa ayat, pertanyaan yang menjadi sebab dari turunnya
ayat sebagai jawaban maupun penjelasan yang diturunkan ketika terjadinya suatu
peristiwa, sedangkan sumber dari Asbab al-nuzul ini diperoleh dari riwayat yang
sahih baik dari Al-Qur‟an, hadis maupun dari perkataan para sahabat, dan telah
dijelaskan sebelumnya bahwa dengan mempelajari asbab al-nuzul ini kita akan
mendapatkan beberapa manfaat misalnya kita akan dapat mengetahui hikmah
pemberlakuan suatu hukum, dan perhatian syariat terhadap kemashlahatan umum
dalam menghadapi segala peristiwa sebagai rahmat bagi umat Islam.

18
DAFTAR PUSTAKA

Suyuthi, Imam. Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat al-Qur‟an, terj. Ali
Nurdin, Jakarta: Qisthi Press, 2017.

Fawaid, Ach. Asbabun Nuzul, cet-1 Yogyakarta: Noktah, 2020.

Drajat, Amreoni. Ulumul Qur‟an Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, Cet-1 Medan:


Kencana, 2017.

Zaini, Ahmad. “Asbab al-nuzul Dan Urgensinya Dalam Memahami Makna Al-
Qur‟an” Hermeunetik, Vol. 8, No.1, Juni 2014.

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut
Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur‟an, Tangerang: Lentera
Hati, 2013.

Rohmah, Niswatur. “Studi Analisis Kaidah Asbab al-nuzul: Kelebihan dan


Kekurangannya, Jurnal Ilmu Alquran Dan Tafsir, Vol: 04 No. 02,
November 2019.

Harun, Salman. Kaidah-Kaidah Tafsir, Jakarta: QAF, 2017.

Al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an Terj. Aunur Rafiq
El-Mazni, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.

19

Anda mungkin juga menyukai