a. Rechts Cadaster
Pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum
b. Fiscaal Cadaster
Pendaftaran menetapkan wajib pajak atas tanah
Kegiatan pendaftaran tanah yang diadakan oleh pemerintah adalah pemberian surat tanda
bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian hak yang kuat. Kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kalinya melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran
tanah secara sporadik yang menghasilkan tanda bukti hak
1. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (opzet atau unitial registration) yaitu
kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum
didaftarkan berdasarkan PP 10/1961 & PP 24/1997 dilakukan melalui :
a. Pendaftaran tanah secara sistematik
-Pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi
semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah
suatu desa/ kelurahan
- Dilaksanakan oleh panitia ajudikasi
- Didasarkan pada suatu rencana kerja & dilaksanakan di wilayah yang ditetapkan oleh
kepala bpn
- Apabila suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran
dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sporadik
b. Pendaftaran tanah secara sporadik
- Mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian
wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal
- Dilaksanakan oleh kepala kantor pertanahan kabupaten/kota
- Dilakukan atas permintaan pihak yang berkepentingan
Kegiatan pendaftaran tanah, meliputi:
a. Pengumpulan & pengolahan data fisik, meliputi:
- pembuatan peta dasar pendaftaran
- penetapan batas bidang tanah
- pengukuran & pemetaan bidang tanah & pembuatan peta pendaftaran
- pembuatan daftar peta
- pembuatan surat ukur
- Dilakukan apabila terjadi perubahan data fisik atau data yuridis objek pendaftaran tanah
yang telah terdaftar
- Pemegang hak yang bersangkutan mendaftarkan data fisik & data yuridis kepada kantor
pertanahan kabupaten/kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang
bersangkutan
Kegiatan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah
HAK ATAS TANAH YANG TIDAK DITERBITKAN SERTIFIKAT, TETAPI HANYA DICATAT DALAM BUKU
TANAH YANG BERSANGKUTAN
1. HGB ATAS TANAH HAK MILIK (Pasal 24 ayat (1) PP No. 40/1966)
2. HAK PAKAI ATAS TANAH HAK MILIK (Pasal 44 ayat (1) PP No.40/1966)
3. HAK SEWA UNTUK BANGUNAN (Pasal 44 ayat (1) PP No. 24/1997)
DUA MACAM SIFAT PEMBUKTIAN SERTIFIKAT SEBAGAI TANDA BUKTI HAK, YAITU:
1. Sertifikat sebagai tanda bukti hak yang bersifat kuat
- Salah satu kegiatan pendaftaran tanah adalah pemberian surat tanda bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (PASAL 19 AYAT (2) huruf C UUPA)
- Pendaftaran hak milik, HGU, dan HGB merupakan alat pembuktian yang kuat (PASAL 23,
32, 38 UUPA)- Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik & data yuridis yang termuat di dalamnya,
sepanjang data fisik & data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat
ukur & buku tanah yang bersangkutan (PASAL 32 AYAT (1) PP 24/1997)
- Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat dalam arti selama tidak dapat
dibuktikan sebaliknya data fisik & data yuridis yang tercantum di dalamnya harus
diterima sebagai data yang benar. Data fisik & data yuridis yang tercantum dalam
sertifikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah & surat ukur
yang bersangkutan
- Selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik & data yuridis yang tercantum di
dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan
hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan
- Sertifikat sebagai tanda bukti hak yang bersifat kuat, yaitu data fisik & yuridis yang
dimuat dalam sertifikat mempunyai kekuatan bukti dan harus diterima sebagai
keterangan yang benar, selama tidak dibuktikan sebaliknya dengan alat bukti yang
lain, yaitu sertifikat atau petuk pajak bumi (kutipan letter C)
- Apabila dalam satu bidang tanah terdapat dua atau lebih tanda bukti hak &
disengketakan oleh para pihak, maka pengadilan yang akan memutuskan tanda bukti
mana yang benar
- Sertifikat yang diterbitkan oleh kantor pertanahan kabupaten/kota masih dapat
diganggu gugat oleh pihak lain yang merasa dirugikan atas diterbitkannya sertifikat
Sengketa perdata - Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri
Sengketa TUN - Gugatan diajukan ke PTUN (sertifikat dinyatakan tidak sah atau batal)
- Pihak yang merasa dirugikan atas diterbitkannya sertifikat dapat mengajukan gugatan
ke pengadilan dengan membawa tanda bukti hak yang lain yang bukan sertifikat, yaitu
petuk pajak bumi atau kutipan letter C. Apabila dikemudian hari ternyata data fisik
dan/atau data yuridis yang dimuat dalam sertifikat tidak benar, atau dasar putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sertifikat diadakan pembetulan
seperlunya.
2. Sertifikat sebagai tanda bukti hak yang bersifat mutlak
Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (2) PP No. 24/1997, sertifikat sebagai tanda bukti
hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang mutlak apabila dipenuhi unsur-unsur
secara kumulatif, yaitu:
a. Sertifikat diterbitkan secara sah
b. Sertifikat atas nama orang tau badan hukum
c. Hak atas tanah diperoleh dengan i'tikad baik
d. Hak atas tanah dikuasai secara nyata
e. Sertifikat telah berusia 5 tahun
Apabila kelima unsur tersebut di atas dipenuhi secara kumulatif oleh pemilik
sertifikat, maka pihak lain, yang merasa mempunyai hak atas tanah tidak dapat
lagi menuntut pelaksanaan hak atas tanahnya.
Apabila kelima unsur tersebut dipenuhi secara bersama-sama oleh pemilik
sertifikat, maka sifat pembuktian sertifikat sebagai tanah bukti hak menjadi mutlak
Ketentuan Pasal 32 ayat (2) PP No. 24/1997 ditetapkan dalam rangka untuk
menutupi kelemahan penerapan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah
dan mengarah pada penerapan sistem publikasi positif.
Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (2) PP No. 24/1997, data fisik dan data
yuridis yang dimuat dalam sertifikat hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat.
Sertifikat hak atas tanah sebagai tanda bukti hak berlaku sebagai alat
pembuktian yang mutlak
PP NO. 40/1996 tentang HGU, HGB dan hak pakai atas tanah mengatur bahwa HGU,HGB dan
hak pakai atas tanah dapat terjadi melalui pemberian hak, yaitu:
a. PASAL 6 AYAT 1 HGU diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh menteri (kepala
BPN RI) atau pejabat yang ditunjuk
b. PASAL 22 AYAT 1 HGB atas tanah negara diberikan dengan keputusan pemberian hak
oleh menteri (kepala BPN RI) atau pejabat yang ditunjuk
c. PASAL 22 AYAT 2 HGB atas tanah hak pengelolaan diberikan dengan keputusan
pemberian hak oleh menteri
d. PASAL 42 AYAT 1 Hak pakai atas tanah negara diberikan kepada keputusan
pemberian hak oleh menteri
e. PASAL 42 AYAT 2 Hak pakai atas tanah hak pengelolaan diberikan dengan keputusan
pemberian hak oleh menteri
Berdasarkan ketentuan dalam UUPA & PP NO.46/1996, maka hak atas tanah yang diperoleh
melalui penetapan pemerintah adalah :
a. Hak Milik
b. HGU
c. HGB atas Tanah Negara
d. HGB atas Tanah Hak Pengelolaan
e. Hak Pakai atas Tanah Negara
f. Hak Pakai atas Tanah Milik Pengelolaan
Pihak pihak memperoleh hak atas tanah melalui penetapan pemerintah adalah:
- WNI
- Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
- Lembaga Negara, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen
- Pemerintah Provinsi, Pemerintah kabupaten/kota
- Pemerintahan desa
- Badan keagamaan & badan sosial
- Badan otorita
- BUMN
- BUMD
- Perwakilan negara asing & perwakilan badan internasional
Hak atas tanah yang diperoleh melalui penetapan pemerintah oleh perseorangan atau
badan hukum diperlukan untuk
1. MENDIRIKAN BANGUNAN
berupa rumah tempat tinggal atau hunian, ruko, rumah susun, kantor, hotel, gudang,
pabrik, pasar/plaza/mall, terminal, pelabuhan, bandara, stasiun, gedung pertemuan,
gedung peribadatan, gedung olahraga, gedung pendidikan
2. BUKAN MENDIRIKAN BANGUNAN
dapat berupa pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan
Suatu keputusan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang untuk memberikan hak
atas tanah yaitu :
a. Kepala BPN RI
b. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi
c. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
Bentuk penetapan pemerintah dalam perolehan hak atas tanah adalah: Surat keputusan
pemberian hak (SKPH)
BERDASARKAN PERMEN AGRARIA / KEPALA BPN NO. 9/1999, YANG TERMASUK PEMBERIAN HAK
ATAS TANAH DENGAN PENETAPAN PEMERINTAH ADALAH:
PP No.18 Tahun 2021 hanya disandarkan pada UU No.11 Tahun 2020 (UU CK) dan tidak
disebutkan UUPA sebagai dasar rujukan. Meskipun UUPA tidak disebutkan sebagai dasar
”mengingat”, namun UUPA tetap wajib menjadi rujukan dengan pertimbangan :
- Secara formal boleh saja politik hukum pembentuk PP No.18 Tahun 2021 tidak
memasukkan atau mengabaikan UUPA sebagai dasar rujukan namun secara materiil
atau substantif PP tersebut wajib memperhatikan asas-asas hukum dalam UUPA karena
tidak ada satu ketentuan dalam UUCK yang menghapus berlakunya UU No.5 Tahun 1960;
- UUPA merupakan berisi asas hukum sebagai hukum yang khusus (Lex Specialis)
sedangkan UUCK berkedudukan sebagai hukum yang umum (Lex Generalis) sehingga
konsekuensinya UUCK tidak boleh mengandung substansi hukum yang bertentangan
dengan UUPA & begitu juga halnya PP No.18 Tahun 2021
- Artinya, substansi PP No.18 Tahun 2021 harus menjabarkan ketentuan baik UUPA
maupun UUCK sepanjang ketentuan UUCK tidak bertentangan dengan UUPA
Dari 104 Pasal PP No.18 Tahun 2021, jika dikaji dari konsisten-tidaknya substansi normanya,
dapat dikemukan yaitu :
- 90 Pasal dapat dinyatakan mengandung konsistensi norma baik secara internal maupun
vertikal dan horisontal; dan
- 16 Pasal dapat dinyatakan mengandung inkonsistensi baik secara internal maupun
secara vertikal
Rusun sudah dibangun. Letak kontradiksi = antara saat perpanjangan dengan syaratnya
Ada Perbedaan Ketentuan Perpanjangan HGB Di atas Tanah Negara dengan Di atas Tanah
HPL, yang sama-sama digunakan sebagai tempat Rusun/Sarusun (Pasal 41 ayat (3) huruf a
>< huruf b)
- Perpanjangan HGB untuk SaRusun di atas Tanah Negara dapat diberikan sekaligus
bersamaan dengan Pemberian Pertama Kali setelah mendapatkan Sertipikat Layak
Huni = Ada keistimewaan perlakuan
- Perpanjangan HGB untuk Sarusun di atas Tanah HPL tidak diberikan keistimewaan
perlakuan dan hanya dapat diperpanjangan dan diperbaharui setelah mendapatkan
Sertipikat Layak Huni. Padahal yang sering muncul permasalahan hukum dalam praktik
adalah perpanjangan HGB di atas Tanah HPL tidak dapat dilakukan karena pemegang
HPL tidak mau memberikan persetujuan tertulis sebagai syarat perpanjangan.
- Perbedaan tersebut hanya dimaksudkan memberikan fasilitas kepada Pemegang Hak
Milik Sarusun dengan status Tanah HGB di atas Tanah Negara namun tidak dimaksudkan
untuk menyelesaikan permasalahan (konflik) hukum yang terjadi antara Pemegang HGB
dengan Pemegang HPL yang berlangsung selama ini dalam praktik
Ada Kontradiksi Logika Hukum (Asas Contradictio in Lex Logico) dalam Pasal 46 huruf b
angka 2 dan Pasal 61 huruf b angka 2 = Hapusnya HGB dan HPJW di atas Tanah HM
berdasarkan Pembatalan Hak Tersebut oleh Menteri ATR
- HGB & HPJW di atas Tanah HM lahir dari Perjanjian sehingga yang berhak Membatalkan
Perjanjian hanyalah Para Pihak atau putusan pengadilan yang inkracht sebagai dasar
hapusnya HGB dan HPJW di atas HM
- Pasal 46 huruf b angka 2 dan Pasal 61 huruf b angka 2 = pembatalan HGB & HPJW di
atas HM yang lahir dari Perjanjian dilakukan oleh Menteri ATR.
- Kontradiksinya = haknya lahir dari Perjanjian namun dibatalkan oleh Pejabat Tata
Usaha Negara
Pemilikan HGB & HPJW sebagai tempat Rusun kepada Instansi Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah (Pasal 34 jo. Pasal 49 ayat (1) & (3) >< Pasal 67 ayat (2) & (3))
- Pasal 34 jo. Pasal 49 ayat (1) & (3) = Instansi Pemerintah pusat dan Pemda hanya
dapat menjadi subyek dari Hak Pakai Selama Digunakan (HPSD) & Tidak Dapat menjadi
Subyek HGB & HPJW
- Pasal 67 ayat (2) & (3) = Instansi Pemerintah Pusat dan Pemda diperbolehkan menjadi
Pemilik HM Sarusun yang secara normatif hanya dapat dibangun di atas Tanah HGB &
HPJW di samping HM (BUKAN DI ATAS TANAH YANG BERSTATUS HPSD)
Asal tanah yang dapat diberikan HPL (Pasal 4 dan Pasal 5 PP No.18 Tahun 2021 >< Pasal
137 ayat (1) dan (3) UU No. 11 Tahun 2020 dan Pasal 3 UU No.5 Tahun 1960)
- Pasal 4 dan Pasal 5 PP No.18 Tahun 2021 = Asal tanah yang dapat diberikan untuk HPL
di samping Tanah Negara, juga Tanah Ulayat yang hanya dapat diberikan kepada
Masyarakat Hukum Adat
- Sebaliknya : (1) Pasal 137 UU No.11 Tahun 2020 menentukan bahwa tanah yang
diberikan dengan HPL hanya berasal dari Tanah Negara dan tidak mengamanahkan
Masyarakat Hukum Adat sebagai subyek yang dapat diberi HPL; (2) Hal senada juga
ditentukan dalam Pasal 3 UU No.5 Tahun 1960 bahwa Tanah Ulayat hanya dapat dilekati
Hak Ulayat yang diberikan kepada subyek hukum yaitu Masyarakat Hukum Adat
Pemberian HGU di atas Tanah HPL (Pasal 138 ayat (2) UU No.11 Tahun 2020 serta Pasal 8
ayat (1) dan Pasal 21 PP No.18 Tahun 2021 dengan Pasal 28 ayat (1) UU No.5 Tahun 1960)
- PP No.18/2021 = HGU dapat diberikan di atas Tanah HPL & ini didukung oleh Pasal 138
UU No.11/2020. Artinya, Inkonsistensi ini sudah terjadi antar UU yang bersifat
horisontal
- UU No.5/1960 = HGU hanya dapat diberikan di atas Tanah Negara
Ketentuan Saat Lahirnya HGB dan Hak Pakai Di atas Hak Milik (Pasal 39 ayat (2) dan Pasal
54 ayat (2) PP No.18 Tahun 2021 >< Pasal 37 huruf b dan Pasal 43 ayat (2) UU No.5 Tahun
1960)
- Pasal dalam PP No.18/2021 tersebut = HGB dan HPJW di atas Tanah HM lahir atau
terjadi sejak didaftarkan Akta Pemberian Haknya di Kantor Pertanahan
- Pasal 43 ayat (2) UU No.5/1960 = HGB di atas Tanah HM lahir/terjadi sejak
ditandatanganinya Akta Pemberian Haknya yang dibuat PPAT
Pemilikan HGB oleh Warga Negara Asing (WNA) (Pasal 71 ayat (1) huruf b dan ayat (2) PP
No.18 Tahun 2021 sebagai penjabaran lebih ketentuan Pasal 144 dan Pasal 145 UU No.11
Tahun 2020 >< Pasal 36 ayat (1) UU No.5 Tahun 1960)
- Pasal 71 ayat (1) huruf b dan ayat (2) = WNA boleh mempunyai HGB yang digunakan
untuk bangunan Rusun dan berada di Kawasan Khusus (KEK, KPBPB, KI dan Kawasan
Khusus Lainnya) & ini memang dibuka kemungkinannya oleh Pasal 144 & Pasal 145 UU
No.11/2020
- Pasal 36 ayat (1) UU No.5/1960 = menuntup kemungkinan WNA untuk mempunyai HGB
untuk semua penggunaan
Quo Vadis Regulasi Pengelolaan Pertanahan Pasca UU Nomor 11 Tahun 2020
tentang CiptaKerja?
I. Segi – segi positif PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah,
Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (PP 18/2021)
II Beberapa Isu Krusial dalam PP No. 18 Tahun2021 dan Gagasan tentang Jalan Keluarnya
2. Sikap terhadap tanah ulayat yang tidak jelas konsepsi dan tujuannya ketika
merumuskan tentang penetapan HPL bagi MHA
a) Labelisasi HPL bertentangan dengan HMN, Pasal 2 dan Penjelasan Umum II.2
UUPA yang menegaskan bahwa tanah hak ulayat merupakan entitas
tersendiri, disamping tanah negara dan tanah hak. Penyebutannya adalah
tanah (hak) ulayat, tidak perlu “diberi nama” dengan HPL karena hakekat
tanah ulayat berbeda dengan tanah HPL!
b) Pernyataan bahwa “Penetapan Hak Ulayat menjadi HPL merupakan bentuk
pengakuan kepada MHA” (Pasal 4 PP No. 18 Tahun2021) justru kontradiktif
dengan Penjelasan Pasal 5 ayat (2) yang mengembalikan penetapan
keberadaan MHA pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c) Pengertian HPL tidak kompatibel dengan hak ulayat. Hak ulayat
kewenangannya melekat/inheren pada dirinya. Tidak perlu mendapat
“pelimpahan” wewenang dari siapapun , termasuk dari negara !
c. Labelisasi HPL pada MHA menjadi janggal ketika dikaitkan dengan kewenangan
pemegang HPL pada umumnya (Pemerintah, Pemda, BUMN/D, BHMN/D, Badan Bank
Tanah, badan yang ditunjuk pemerintah pusat). Karakter MHA jelas berbeda
dengan subjek HPL pada Pasal 5 PP No. 18 Tahun 2021 tersebut.
d. Pengaturan tentang MHA dalam PP No. 18 Tahun 2021 dikaitkan dengan PP No. 19
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan dan Tanah jo. Permen ATR/Ka
BPN No. 19 Tahun 2021 sebagai peraturan pelaksanaannya, masih terkesan
mengikuti arah angin bertiup. Seyogianya ditegaskan bahwa pengukuhan
keberadaan MHA diterbitkan dalam bentuk Perda yang dikaitkan dengan MHA
tertentu (bukan Perda pengaturan tentang MHA secara umum!) atau dalam
bentuk keputusan kepala daerah (SK Gubernur/Bupati/Walikota) sesuai
kewenangannya.
KLHK sudah lebih maju mengatur tentang hal ini. Tak ada salahnya
ATR/BPN mengikuti KLHK yang dengan tegas memberlakukan bentuk pengakuan
MHA di dalam kawasan hutan negara dan di luar kawasan hutan negara.
Landasan hukumnya adalah Permen LHK No. 7 Tahun 2020 tentang Hutan Adat
dan Hutan Hak, yang diafirmasi dalam Pasal 234 PP No. 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan.
PP No. 19 Tahun 2021 dan Permen ATR/Ka BPN No. 19 Tahun 2021 belum
mengatur tentang ganti kerugian terhadap tanah ulayat sebagai ruang hidup
MHA. Menyamakan MHA dan bukan MHA dalam hal ganti kerugian, jelas tidak
adil bagi MHA.
USULAN JALAN KELUAR
a) Penetapan HPL untuk MHA seyogianya tidak perlu dilaksanakan karena selain tidak “pas”
juga tak ada dampaknya jika tidak dilaksanakan.
b) Justru yang perlu diatur adalah hal-hal sbb :
(1) Penetapan keberadaan MHA dalam bentuk Perda yang menunjuk MHA tertentu atau
dalam bentuk SK gubernur/bupati/walikota sesuai kewenangannya
(2) Restitusi (pengembalian) tanah ulayat yang semula dilepas (menjadi tanah negara)
untuk dapat diberikan suatu hak atas tanah di atasnya, yang setelah hak atas
tanahnya berakhir, tidak diperpanjang dan diperbaharui, ternyata MHA yang semula
melepaskan tanah ulayat tersebut masih eksis, agar dikembalikan kepada MHA yang
bersangkutan dalam status sebagai tanah ulayat.
(3) Pemberian hak atas tanah di atas tanah ulayat secara langsung jika dikehendaki oleh
MHA sebagai pelaksanaan Pasal 2 UUPA dan operasionalisasi Permen ATR/Ka BPN No. 5
Tahun 1999. Lihat rumusan tentang hal ini dalam naskah awal RUU Pertanahan versi
2013.
(4) Perlu mengatur tentang bentuk /jenis kerugian MHA atas tanah ulayatnya jika
diperlukan untuk kepentingan umum dan bentuk ganti kerugiannya.
II Beberapa Isu Krusial dalam PP No. 18 Tahun2021 dan Gagasan tentang Jalan Keluarnya
B. Perpanjangan dan pembaharuan jangka waktu hak atas tanah di atas HPL atas
nama Badan Bank Tanah
1. Perpanjangan dan pembaharuan jangka waktu hak atas tanah di atas HPL atas
nama Badan Bank Tanah berpotensi melanggar Putusan MK No. 21-
22/PUU/V/2007 karena tidak diberikan penjelasan bahwa pemenuhan
persyaratan dilakukan oleh Petugas Konstatasi pada Kantor Pertanahan dan
bahwa pendaftaran perpanjangan dan pembaharuan haknya dilakukan secara
bertahap. PP No. 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah tidak sinkron dengn
PP No. 18 Tahun 2021.
2. Pemberian HGU di atas HPL bertentangan dengan UUPA (Pasal 2 jo. Pasal 28),
dan tak jelas konsepsi serta tujuannya.
3. Hak atas tanah eksisting yang berakhir jangka waktunya, apakah pembaharuan
haknya diberikan di atas tanah negara, atau di atas tanah HPL? Mengapa? Karena
tanah negara berpotensi menjadi tanah HPL atas nama Badan Bank Tanah. Dua
konstruksi hukum itu dampaknya berbeda bagi pemohon/pemegang hak baru dari
segi kewajibannya (kepada negara saja atau kepada negara dan pemegang HPL!)
II Beberapa Isu Krusial dalam PP No. 18 Tahun 2021 dan Gagasan tentang Jalan Keluarnya
C. Tanah dan tempat tinggal/hunian bagi Orang Asing jika berupa satuan rumah susun
(sarusun) (PP No. 18 Tahun 2021 jo. Permen ATR/Ka BPN No. 16 Tahun 2021)
1. Pengaturan bahwa Orang Asing boleh memiliki sarusun/apartemen/flat/unit dalam
rusun yang tanah-bersamanya berstatus HGB (atas tanah negara, atas tanah
HM/HPL) jelas bertentangan dengan UUPA dan konsep universal tentang “strata
title” yang mengenal individual sekaligus co-ownership atas tanah, benda dan
bagian dari rusun.
2. Pencermatan Pasal 71 ayat (2) jika dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 67 ayat (1)
mementahkan perumusan bahwa “pelanggaran” yang dilegalkan untuk Orang
Asing itu hanya untuk rusun yang dibangun di kawasan tertentu. Penjelasan Pasal
67 ayat (1) mengindikasikan jika di luar kawasan tertentu pun, pelanggaran itu
dilegalkan.
3. Diskon” tanah-bersama dalam sertifikat HMSRS jika Orang Asing membeli sarusun
yang berdiri di atas tanah HGB menunjukkan kejanggalan: (a) jika kemudian
sarusun tersebut dimiliki oleh WNI, “diskon” tidak berlaku lagi!; (b) lalu, apa
bedanya dengan membeli sarusun di atas tanah sewa (aset atau tanah wakaf) ?;
(c) alat bukti kepemilikan sarusun di atas tanah sewa adalah SKBG yang memuat
tentang benda dan bangunan bersama. Konstruksi PP No. 18 Tahun 2021 lebih
cocok untuk sarusun yang berdiri di atas tanah sewa, bukan di atas tanah hak ;
(d) Orang Asing yang membeli sarusun yang berdiri di atas di tanah HGB tidak
dapat menjadikan sarusunnya sebagai jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan (HT) karena tidak memiliki tanah-bersama. Kerancuan dan
ketidakpastian hukum ini perlu diklarifikasi (antara PP No. 18 Tahun 2021 dengan
PP No. 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rusun)
Perlu dipertimbangkan kembali untuk taat asas pada UUPA. Alasan bahwa HP tidak
diminati oleh pelaku pembangunan rusun karena jangka waktunya “kurang” dibandingkan
dengan HGB dan bahwa HP itu tidak “bankable”, dipatahkan dengan pengaturan tentang
jangka waktu HP (30, ditambah 20, ditambah 30 tahun) dan penegasan bahwa HP
merupakan objek HT. Dari segi keluasan penggunaannya, HP justru lebih fleksibel
dibandingkan dengan HBG.
II Beberapa Isu Krusial dalam PP No. 18 Tahun 2021 dan Gagasan tentang Jalan Keluarnya
D. Penegasan tak berlakunya lagi alat bukti hak lama, khususnya terkait dengan tanah
bekas milik adat.
Rincian persyaratan dalam Permen ATR/Ka BPN No. 16 Tahun 2021, khususnya terkait
jangka waktu penguasaan 20 tahun atau lebih berturut-turut, perlu menyesuaikan
diri dengan Pasal 24 PP No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan
yang menyatakan bahwa syarat penguasaan tanah minimal 5 tahun secara terus-
menerus.
E. Permasalahan jangka waktu permohonan pembaharuan hak atas tanah 2 tahun setelah
hak berakhir. Apakah hal ini berlaku secara umum atau, apakah ada pengecualiannya?
Hal ini terkait dengan pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dan tanah objek reforma agraria (TORA) yang berasal dari hapusnya hak atas
tanah yang jelas terpengaruh dengan adanya “jeda” selama 2 tahun, untuk dapat
ditetapkan sebagai tanah negara.
F. PP No. 18 Tahun 2021 belum mengatur tentang pembatasan penguasaan tanah bagi
badan hukum walaupun telah diamanatkan dalam Pasal 17 ayat (1) UUPA.
Jika untuk tanah pertanian luas maksimum dibatasi tak lama setelah UUPA lahir melalui
UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, melihat ketimpangan
penguasaan tanah selama ini dan potensinya untuk semakin berkembang dengan
berlakunya UUCK, sudah saatnya pemerintah mengatur tentang pembatasan penguasaan
tanah oleh badan hukum, sebagaimana pernah dirumuskan dalam Naskah Awal RUU
Pertanahan versi 2013
1. Jangka waktu penguasaan tanah bagi tanah bekas milik adat agar
dirubah menjadi 5 tahun, analog dengan PP No. 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan.
2. Pemberian kesempatan memohon pembaharuan hak atas tanah 2 tahun
setelah hak aats tanahnya berakhir, agar diatur lebih lanjut supaya tidak
menghambat proses pengadaan tanah dan penetapan TORA yang
objeknya bekas hak atas tanah.
3. Perlu diatur tentang pembatasan penguasaan tanah oleh badan hukum.
PENUTUP
Pasal 3
a. Menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau dalam
lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta menciptakan
permukiman yang terpadu guna membangun ketahanan ekonomi, sosial, dan
budaya;
b. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta
menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan dalam menciptakan
kawasan permukiman yang lengkap serta serasi dan seimbang dengan
memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan;
c. Mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman kumuh
d. Mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yang serasi, seimbang, efisien,
dan produktif;
e. Memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan penghuni
dan masyarakat dengan tetap mengutamakan tujuan pemenuhan kebutuhan
perumahan dan permukiman yang layak, terutama bagi mbr;
f. Memberdayakan para pemangku kepentingan di bidang pembangunan rumah
susun;
g. Menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau,
terutama bagi mbr dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan
berkelanjutan dalam suatu sistem tata kelola perumahan dan permukiman yang
terpadu; dan
h. Memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian, pengelolaan,
dan kepemilikan rumah susun.
RUMAH SUSUN
Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional,
baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang
masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat
hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama
SATUAN RUMAH SUSUN
Satuan rumah susun yang selanjutnya disebut sarusun adalah unit rumah susun yang
tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat
hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.
BAGIAN-BERSAMA
Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk
pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun.
Contoh: Pondasi, kolom, balok, dinding, tangga, lift, selasar, jaringan listrik, dsb
BENDA BERSAMA
Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun melainkan
bagian yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.
TANAH BERSAMA
Tanah bersama adalah sebidang tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan yang
digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri
rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin mendirikan bangunan.
Dalam sistem Rumah Susun terdapat 2 elemen pokok dalam sistem pemilikannya, yaitu:
1. Pemilikan yang bersifat perorangan yang dapat dinikmati secara terpisah;
2. Pemilikan bersama yang tidak dapat dimiliki secara perorangan tetapi dimiliki
bersama dan dinikmati bersama
NILAI PERBANDINGAN PROPORSIONAL
Pasal 1 angka 13
Nilai perbandingan proporsional yang selanjutnya disebut NPP adalah angka yang
menunjukkan perbandingan antara sarusun terhadap hak atas bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama yang dihitung berdasarkan nilai sarusun yang
bersangkutan terhadap jumlah nilai rumah susun secara keseluruhan pada waktu
pelaku pembangunan pertama kali memperhitungkan biaya pembangunannya secara
keseluruhan untuk menentukan harga jualnya.
Pertelaan
Agar kita bisa melihat keseluruhan sistem rumah susun dari segi hak dan
kewajiban dari pemegang hak atas satuan rumah susun tersebut, maka
Penyelenggara Pembangunan harus menampilkannya dalam apa yang dinamakan
Pertelaan, yang berisi uraian dalam bentuk tulisan dan gambar yang memperjelas
batas-batas masing-masing satuan rumah susun, baik batas-batas horisontal
maupun vertikal, bagian bersamanya, benda-benda bersamanya dan tanah
bersamanya serta uraian nilai perbandingan proporsional masing-masing satuan
rumah susunnya.
Pertelaan ini harus disahkan oleh Bupati/Walikota, kecuali di Daerah Khusus
Ibukota Jakarta disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pertelaan ini mempunyai arti penting dalam sistem rumah susun, karena dari sinilah
titik awal dimulainya proses hak milik atas satuan rumah susun. Dari pertelaan ini
akan muncul satuan-satuan rumah susun yang terpisah secara hukum melalui proses
pembuatan Akta Pemisahan.
Akta Pemisahan
Adalah tanda bukti pemisahan rumah susun atas satuan satuan rumah susun,
bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama dengan pertelaan yang jelas
dalam bentuk gambar, uraian dan batas batasnya dalam arah vertikal dan horizontal
yang mengandung nilai perbandingan proporsional.
Pemisahan tersebut dilakukan dengan akta yang bentuk dan isinya ditetapkan
dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1989 tentang
Bentuk dan Tatacara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun.
Akta ini harus disahkan oleh Bupati/Walikota kecuali untuk DKI Jakarta oleh
Gubernur dan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat dengan
melampirkan sertipikat hak atas tanah, izin layak huni, izin mendirikan bangunan dan
warkah-warkah lainnya. Akta pengesahan berikut lampiran-lampirannya digunakan
sebagai dasar bagi penerbitan sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Pasal 39
(1) Pelaku pembangunan wajib mengajukan permohonan sertifikat laik fungsi kepada
bupati/walikota setelah menyelesaikan seluruh atau sebagian pembangunan
rumah susun sepanjang tidak bertentangan dengan IMB.
(2) Khusus untuk Provinsi DKI Jakarta, permohonan sertifikat laik fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Gubernur.
(3) Pemerintah daerah menerbitkan sertifikat laik fungsi setelah melakukan
pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan rumah susun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Izin Layak Huni
Izin Layak Huni merupakan salah satu syarat untuk penerbitan sertipikat hak
milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan.
Pasal 17
Rumah susun dapat dibangun di atas tanah:
a. hak milik;
b. hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara; dan
c. hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan.
Pasal 22 ayat (3)
Dalam hal pembangunan rumah susun dilakukan di atas tanah hak guna
bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 huruf c, pelaku pembangunan wajib menyelesaikan status hak guna
bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan sebelum menjual sarusun yang bersangkutan
Pasal 18
Selain dibangun di atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, rumah susun
umum dan/atau rumah susun khusus dapat dibangun dengan:
a.Pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah; atau
b.Pendayagunaan tanah wakaf
Hak atas tanah bersama sangat menentukan dapat tidaknya seseorang memiliki Hak
Milik atas Satuan Rumah Susun.
Apabila seseorang/badan hukum yang karena hukum tidak boleh mempunyai hak atas
tanah dengan Hak Milik atau Hak Guna Bangunan, maka UURS juga menetapkan
bahwa orang/badan hukum tersebut juga tidak dapat memiliki Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun yang bersangkutan.
PERSYARATAN PEMBANGUNAN
Pasal 23
(1) Pembangunan rumah susun dilakukan melalui perencanaan teknis, pelaksanaan,
dan pengawasan teknis.
(2) Perencanaan teknis, pelaksanaan, dan pengawasan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang–undangan.
Pasal 24
Persyaratan pembangunan rumah susun meliputi:
a. Persyaratan administrative
b. Persyaratan teknis; dan
c. Persyaratan ekologis.
TANDA BUKTI KEPEMILIKAN
Pasal 47
(1) Sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna
bangunan, atau hak pakai di atas tanah negara, hak guna bangunan atau hak
pakai di atas tanah hak pengelolaan diterbitkan SHM sarusun.
(2) SHM sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan bagi setiap orang
yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.
(3) Shm sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan yang terdiri atas:
a. Salinan buku tanah dan surat ukur atas hak tanah bersama sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
b. Gambar denah lantai pada tingkat rumah susun bersangkutan yang
menunjukkan sarusun yang dimiliki; dan
c. Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama bagi yang bersangkutan.
(4) Shm sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh kantor
pertanahan kabupaten/kota.
(5) Shm sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Pasal 48
(1) Sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik negara/daerah
berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa, diterbitkan SKBG sarusun.
(2) SKBG sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan yang terdiri atas:
a. Salinan buku bangunan gedung
b. Salinan surat perjanjian sewa atas tanah
c. Gambar denah lantai pada tingkat rumah susun yang bersangkutan yang
menunjukkan sarusun yang dimiliki; dan
d. Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama dan benda
bersama yang bersangkutan.
(3) SKBG sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh instansi
teknis kabupaten/kota yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang
bangunan gedung.
(4) SKBG sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani fidusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) SKBG sarusun yang dijadikan jaminan utang secara fidusia harus didaftarkan ke
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(1) Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya
yang merupakan atau kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan
hutang dengan :
a. dibebani hipotik, jika tanahnya tanah hak milik atau hak guna bangunan
b. dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah Negara
(2) Hipotik atau fidusia dapat juga dibebankan atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) beserta rumah susun yang akan dibangun sebagai jaminan
pelunasan kredit yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan
pembangunan rumah susun yang telah direncanakan di atas tanah yang
bersangkutan dan yang pemberian kreditnya dilakukan secara bertahap sesuai
dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut.
Hak milik atas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
dapat dijadikan jaminan hutang dengan :
a) Dibebani hipotik, jika tanahnya tanah Hak Milik atau Hak Guna
Bangunan;
b) Dibebani fidusia, jika tanahnya tanah Hak Pakai atas tanah Negara.
ROYA PARSIAL
Pasal 2 UUHT: Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika
diperjanjikan dalam APHT.
Ada lembaga baru dalam UU Rumah Susun yang memungkinkan penjualan satuan
rumah susun dengan menggunakan Kredit Pemilikan Satuan Rumah Susun, walaupun
Rumah Susun itu sendiri sedang dijaminkan untuk kredit konstruksi.
Dengan dilakukannya pelunasan, maka satuan rumah susun yang harganya telah
dilunasi dan telah digunakan untuk membayar angsuran tersebut, terbebas dari HT yang
semula membebaninya, sehingga HT hanya membebani sisa obyek HT untuk menjamin sisa
utang yang belum dilunasi.
Apabila Hak Tanggungan hapus karena sebab-sebab tertentu maka perlu ada
penghapusan Hak Tanggungan (roya).
Dengan berlakunya UU Rumah Susun dimungkinkan dilakukan penghapusan Hak
Tanggungan sebagian (Roya Parsial) dengan syarat harus diperjanjikan terlebih
dahulu dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)