Anda di halaman 1dari 18

Karakteristik Fisikomia dan Fungsional Nasi Instan

Physicochemical and Functional Characteristics of Instant Rice


Sri Widowati, Kirana S. Sasmitaloka, dan Imia Ribka Banurea
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
Jl. Tentara Pelajar No. 12 Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu, Bogor 16114
E-mail : kirana.sanggrami@gmail.com
Diterima: 7 November 2019 Revisi: 26 Mei 2020 Disetujui: 12 Agustus 2020
ABSTRAK
Permintaan konsumen terhadap produk nasi instan dipengaruhi oleh karakteristiknya, seperti tekstur,
kegunaan, rasa, dan kualitas. Kandungan amilosa beras menentukan mutu tanak dan karakteristik nasi
instan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik fisikokimia dan fungsional nasi instan
dari beras amilosa tinggi, sedang dan rendah. Produksi dilakukan pada kapasitas 5 kg, dengan metode
pembekuan selama 24 jam pada suhu -4°C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar amilosa beras
dapat menghasilkan karakteristik fisikokimia dan fungsional nasi instan yang berbeda nyata (p<0.05). Nasi
instan dari beras amilosa sedang dan rendah memiliki tekstur pulen, aroma dan rasa seperti nasi biasa,
daya cerna pati tinggi (66,45–64,97 persen), indeks glikemik tinggi (61–72) dan kadar serat pangan total
yang rendah (4,43–4,85 persen) sehingga cocok dikonsumsi oleh masyarakat dengan keterbatasan waktu
dalam menyiapkan makanan. Nasi instan dari beras amilosa tinggi memiliki aroma dan rasa seperti nasi
biasa, teksturnya keras, daya cerna pati rendah (63,49 persen), indeks glikemik rendah (50), dan kadar
serat pangan total yang tinggi (6,93 persen) sehingga cocok untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes.
Implikasinya adalah produk nasi instan selain bermanfaat untuk kesehatan juga menyediakan bahan pokok
alternatif makanan siap saji untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada produk mi instan.
kata kunci: nasi instan, amilosa, fisikokimia, fungsional

ABSTRACT
Consumer demand for instant rice products is influenced by characteristics, such as texture, usability,
taste, and quality. The composition of amylose in rice determines the cooking and characteristics of instant
rice. This research aimed to study the physicochemical and functional properties of instant rice from high
amylose content, moderate and low rice. Production has been carried out at 5 kg capacity, freezing for 24 hours
at -4°C. Different amylose content in rice produced instant rice with significantly different physicochemical
and functional characteristics (p<0.05). Instant rice from medium and low amylose rice had sticky texture,
aroma, and taste like ordinary rice, high digestibility starch (66.45–64.97 percent), high glycemic index
(61–72) and low total food fiber content (4.43–4.85 percent) making it suitable for consumption by people
who have limited time in preparing food. Instant rice from high amylose rice had an aroma, and taste like
ordinary rice, hard texture, low starch digestibility (63.49 percent), low glycemic index (50), and high total
food fiber content (6.93 percent) making it suitable for consumption by people with diabetes. The implication
is that instant rice products, in addition to being beneficial to health, can be an alternative staple of ready-
to-eat food, to reduce people’s dependence on instant noodle products.
keywords: instant rice, amylose, physicochemical, functional

PENDAHULUAN Di Indonesia, makan nasi merupakan budaya


yang sangat kuat. Umumnya, waktu pemasakan
I nstanisasi merupakan suatu istilah yang
mencakup berbagai perlakuan, baik kimia
ataupun fisika yang dapat memperbaiki
beras menjadi nasi dengan tingkat kematangan
yang dapat diterima masyarakat memerlukan
waktu 20–40 menit. Apabila ditambah dengan
karakteristik hidrasi dari suatu produk. Indonesia
proses persiapannya, maka secara keseluruhan
memiliki banyak komoditas pangan lokal yang
diperlukan waktu 50–60 menit (Widowati dan
potensial untuk dikembangkan sebagai produk
Sasmitaloka, 2018). Proses yang cukup lama
siap saji (instan). Salah satu komoditas yang
dan panjang ini membuat penyajian nasi menjadi
potensial untuk dikembangkan sebagai produk
kurang praktis.
instan adalah beras.

Karakteristik Fisikomia dan Fungsional Nasi Instan 87


Sri Widowati, Kirana S. Sasmitaloka, dan Imia Ribka Banurea
Nasi instan adalah nasi cepat masak yang sebagai perbekalan prajurit (TNI) saat bertugas.
dapat disiapkan dalam waktu 3–5 menit dengan Widowati, dkk. (2011), Luna, dkk. (2015) dan
cara persiapan yang sederhana. Nasi instan Sasmitaloka, dkk. (2019) telah mengembangkan
memiliki ciri khas dengan butir beras yang dibuat teknologi produksi nasi instan kapasitas
porous (berongga). Struktur yang lebih porous 500 gram dengan waktu rehidrasi <5 menit.
(berongga) akan mempercepat air panas yang Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan
masuk ke dalamnya saat direhidrasi. Setelah kapasitas produksi untuk memenuhi kebutuhan
direhidrasi, nasi instan harus sesuai dengan pasar.
nasi biasa dalam hal rasa, aroma, dan tekstur
Seperti nasi umumnya, permintaan
(Rewthong, dkk., 2011)
konsumen terhadap produk nasi instan juga
Produk nasi instan ini berkembang pesat sangat dipengaruhi oleh karakteristiknya,
di negara-negara maju seperti Amerika dan seperti tekstur, kegunaan, rasa, dan kualitas.
Jepang, antara lain: Sage V foods dengan Endosperm merupakan bagian terpenting dari
diseduh air panas selama 5 menit (Anonymous, butir beras. Komponen utama granula-granula
2008); Cup rice dari Nissin Foods Company, pati yang terdiri atas amilosa dan amilopektin.
Jepang dengan diseduh air panas selama 5 Amilosa dalam granula membentuk kristalin,
menit (Anonymous, 2010b); nasi instan dengan sedangkan amilopektin karena bercabang
merk dagang Uncle’s Ben pemasakannya membentuk struktur amorf (porous). Amilosa
selama 1,5 menit dalam microwave. Nasi instan merupakan polimer rantai lurus dari unit
Uncle’s Ben ini tidak melalui proses pembekuan glukosa (sekitar 1000 unit) melakui ikatan 1,4-
dan pengeringan, hanya seperti nasi biasa yang α; sedangkan amilopektin merupakan polimer
diawetkan, lalu bila akan dikonsumsi hanya dari glukosa dengan 12–23 unit glukosa pada
dipanaskan dalam microwave kemudian siap cabang bagian luar dan 20–120 unit pada
dihidangkan (Anonymous, 2007). Teknologi cabang bagian dalam. Ikatan antara unit glukosa
nasi instan yang digunakan pada merk melalui ikatan 1,4-α pada rantai lurus dan 1,6-
Uncle’s Ben tersebut tidak dapat diadopsi α pada cabangnya (Tester, dkk., 2004). Kedua
oleh masyarakat secara luas, karena harus komponen penting pati ini sangat memengaruhi
menggunakan microwave. Teknologi yang sama mutu tanak dan karakteristik nasi. Beras
juga digunakan pada nasi instan dengan merk
dengan kadar amilosa yang berbeda akan
dagang Minute Rice, yang siap disantap setelah
menghasilkan karakteristik nasi instan yang
dipanaskan dalam microwave selama satu menit
berbeda pula. Tujuan dari penelitian ini adalah
(Anonymous, 2010a).
untuk membandingkan karakteristik fisikokimia
Produk nasi instan yang telah beredar di dalam dan fungsional nasi instan dari beras amilosa
negeri antara lain nasi instan dari Garudafood tinggi (>25 persen), sedang (20–25 persen)
yang memerlukan waktu rehidrasi 8 menit. Beras dan rendah (<20 persen). Dengan mengetahui
instan Nasi Gurih dari TNOC Food Distribution karakteristik tersebut, kita dapat menghasilkan
memerlukan waktu pemasakan 40 menit di atas nasi instan sesuai dengan keinginan konsumen.
kompor (Anonymous, 2010a). Jika dilihat dari
II. METODOLOGI
waktu rehidrasinya, produk tersebut tidak dapat
digolongkan sebagai produk instan, karena 2.1. Bahan Baku
menurut Hubeis (1984), kecepatan rehidrasi
Bahan baku yang digunakan pada penelitian
produk instan adalah 5–7 menit.
ini adalah beras dengan kadar amilosa tinggi
Dengan hadirnya produk nasi instan yang diwakili varietas IR 42, sedang yang diwakili
diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan varietas Inpari 32 dan rendah yang diwakili
makanan cepat saji, sehingga dapat membantu varietas Sintanur. Ketiga varietas tersebut
masyarakat perkotaan yang mempunyai merupakan varietas unggul nasional yang
keterbatasan waktu dalam menyiapkan dihasilkan Badan Litbang Pertanian dengan
makanan. Selain itu, nasi instan juga dapat beberapa keunggulan, yaitu tahan terhadap
digunakan sebagai logistik pangan darurat hama dan penyakit, produktivitas tinggi (5–8,3
di wilayah yang terkena bencana ataupun ton/ha GKG), dan banyak diminati konsumen

88 PANGAN, Vol. 29 No. 2 Agustus 2020 : 87 – 104


(Nurnayetti dan Atman, 2013; Syamsiah, dkk., beras yang digunakan sebagai bahan baku
2015; Sutrisno, dkk., 2018). Bahan kimia dan produk nasi instan yang dihasilkan.
yang digunakan adalah larutan Natrium Sitrat Analisis terhadap bahan baku meliputi analisis
5 persen. Peralatan yang digunakan adalah proksimat, warna, densitas kamba, daya cerna
timbangan analitik, alat penanak nasi, freezer, pati dan kadar amilosa. Produk nasi instan yang
pengering lorong, dan peralatan analitik lainnya. dihasilkan pada kapasitas 5 kg dikarakterisasi
2.2. Produksi Nasi Instan Skala 5 Kg mutu fisik (rendemen, warna, tekstur, densitas
kamba, waktu rehidrasi, daya serap air, volume
Nasi instan IR 42, Inpari 32, dan Sintanur pengembangan dan rasio rehidrasi), kimia
kapasitas 5 kg diproduksi berdasarkan metode (proksimat dan amilosa), dan sifat fungsional
(Sasmitaloka, dkk., 2019 dan Widowati, dkk., (kadar serat pangan, daya cerna pati in vitro,
2018). Metode tersebut dapat menghasilkan dan indeks glikemik).
nasi instan dengan waktu rehidrasi <5 menit
dengan karakteristik yang disukai konsumen. Pertama, rendemen (Luna, dkk., 2015)
Sebanyak 5 kg beras dari setiap jenis beras Rendemen dihitung dengan membandingkan
dengan kadar amilosa tinggi (IR 42), sedang berat nasi instan yang dihasilkan dengan berat
(Inpari 32), dan rendah (Sintanur) direndam beras yang digunakan sebagai bahan baku
dalam larutan natrium sitrat 5 persen dengan produksi nasi instan. Rumus rendemen (R)
perbandingan beras terhadap larutan natrium dinyatakan dengan persamaan:
sitrat sebesar 1:2 dan didiamkan selama 2 jam.
Perendaman beras dalam larutan natrium sitrat …………………...……..........(1)
5 persen dapat menguraikan struktur protein
beras sehingga butiran beras menjadi porous Keterangan:
(berongga). Selanjutnya dilakukan pencucian
untuk menghilangkan residu natrium sitrat R = Rendemen (%)
pada beras. Beras yang sudah dicuci kemudian
Bn = Berat nasi instan yang dihasilkan (gram)
dimasak menggunakan rice cooker. Semakin
tinggi kandungan amilosanya, maka air yang Bb = Berat beras sebagai bahan baku (gram)
dibutuhkan akan semakin banyak.
Kedua, waktu rehidrasi (Yu, dkk., 2011)
Nasi yang sudah matang didinginkan
sampai tidak terdapat uap panas dalam nasi Sejumlah sampel dimasukkan ke dalam
dan dibekukan pada suhu -4oC selama 24 jam sejumlah air panas dengan perbandingan air
(Sasmitaloka, dkk., 2019). Proses pembekuan terhadap produk sebanyak 4:1. Kemudian
dilakukan untuk menghasilkan sifat porositas dihitung waktunya pada saat butiran nasi telah
yang tinggi sehingga waktu rehidrasi menjadi terehidrasi sempurna (tidak ada spot putih di
lebih singkat. Setelah itu dilakukan thawing tengan butiran nasi). Waktu rehidrasi adalah
dengan tujuan supaya air keluar tanpa merusak waktu yang dibutuhkan bahan untuk kembali
sifat porositasnya dari nasi tersebut, sehingga menyerap air sehingga diperoleh tekstur yang
pengeringan dapat dilakukan dengan cepat homogen.
(Anjani, dkk., 2001).
Ketiga, densitas kamba (Prasert dan
Thawing dilakukan hingga nasi beku menjadi Suwannaporn, 2009)
terurai dan siap untuk dikeringkan. Pengeringan Penentuan nilai densitas kamba dilakukan
nasi dilakukan menggunakan oven pengering dengan menggunakan gelas ukur 50 ml.
suhu 50–55oC selama 8 jam. Nasi instan siap Pada tahap awal dilakukan penimbangan dan
disajikan setelah dilakukan rehidrasi, yaitu pencatatan gelas ukur kosong. Selanjutnya
diseduh dengan air mendidih dalam keadaan sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur sampai
tertutup (jumlah air yang diperlukan dan waktu tanda tera dan ditimbang. Densitas kamba
seduh akan ditentukan). didasarkan pada perbandingan antara berat 50
2.3. Prosedur Analisis ml sampel dengan volume gelas ukur (50 ml).
Analisis dilakukan terhadap ketiga jenis ……………...……..……….....(2)

Karakteristik Fisikomia dan Fungsional Nasi Instan 89


Sri Widowati, Kirana S. Sasmitaloka, dan Imia Ribka Banurea
Keterangan : tingkat kekerasan dilakukan terhadap nasi
DK = Densitas kamba (gram/ml) instan yang telah direhidrasi.
Bs = Berat sampel (gram) Kedelapan, warna
Bb = Volume gelas ukur (ml) Pengukuran warna dilakukan dengan alat
kromameter. Sampel diletakkan pada wadah
Keempat, daya serap air (Butt, dkk., 2008) transparan kemudian diukur menggunakan
Sejumlah sampel ditimbang beratnya kemudian kromameter. Pengukuran menghasilkan nilai L
direndam dalam air panas sesuai dengan waktu (derajat kecerahan), a (derajat kemerahan), dan
rehidrasinya, diangkat dan ditiriskan. b (derajat kebiruan).
……...……………….....….....(3) Kesembilan, kadar amilosa (Juliano, 1972)

Keterangan: Sejumlah 100 mg sampel tanpa lemak


dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan
Ds = Daya serap air (%)
ditambahkan 1 ml etanol serta 9 ml NaOH 1 N.
At = Jumlah air yang diserap (ml) Setelah itu, larutan sampel didiamkan selama 24
A0 = Jumlah air awal (ml) jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan
Kelima, volume pengembangan (Butt, dkk., 2008) akuades. Larutan kemudian dipipet sebanyak
5 ml, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100
Volume pengembangan nasi instan ml dan ditambahkan 1 ml asetat 1 N serta 2
ditentukan dengan mengukur selisih ketinggian ml larutan iod. Larutan selanjutnya ditambah
nasi instan sebelum rehidrasi dengan ketinggian akuades sampai tanda tera, dikocok, didiamkan
akhir nasi instan setelah rehidrasi. Sampel selama 20 menit dan diukur intensitas warna
sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam yang terbentuk dengan spektrofotometer pada
gelas ukur dan diukur tingginya. Selanjutnya panjang gelombang 620 nm.
ditambahkan air panas dengan perbandingan
1:4, dibiarkan sesuai waktu rehidrasinya dan ………..….....…………...(6)
diukur tinggi akhirnya.
Keterangan:
…………….....………..….......(4) KA = Kadar amilosa

A = Absorbansi sampel pada panjang
Keterangan:
gelombang 620 nm
Vp = Volume pengembangan (%)
S = Slope kemiringan pada kurva standar
Kt = Ketinggian akhir (cm)
FP = Faktor pengenceran, yaitu 0,002
K0 = Ketinggian awal (cm)
W = Berat sampel (gram)
Keenam, rasio rehidrasi (Prasert dan
Kesepuluh, daya cerna pati in vitro (Muchtadi,
Suwannaporn, 2009)
dkk., 1989)
Rasio rehidrasi dihitung dengan mem-
Daya cerna pati pada nasi instan diukur
bandingkan berat sampel setelah rehidrasi dengan
secara enzimatis. Dalam metode ini, pati
berat sampel sebelum rehidrasi.
dihidrolisis oleh enzim alpha-amilase. Kemudian
…………...…..……..……......(5) kadar maltose dalam sampel diukur menggunakan
spektrofotometer setelah direaksikan dengan
Keterangan: asam dinitrosalsiliat. Daya cerna pati sampel
Rr = Berat sampel setelah rehidrasi (%) dihitung sebagai persentase terhadap pati murni
(soluble starch).
Bt = Berat sampel setelah rehidrasi (g)
B0 = Berat sampel sebelum rehidrasi (g) ……….......………………..(7)
Ketujuh, kekerasan
Keterangan:
Tingkat kekerasan nasi instan diukur
Dcp = Daya cerna pati (%)
menggunakan alat texture analyzer. Pengukuran

90 PANGAN, Vol. 29 No. 2 Agustus 2020 : 87 – 104


KMs = Kadar maltosa sampel setelah reaksi dari beras analog dan kadar gula darahnya
` enzimatis kembali diukur pada menit 30, 60, dan 120
KMp = Kadar maltosa pati murni setelah menit setelah makan. Jumlah nasi instan yang
reaksi enzimatis dikonsumsi setara dengan 25 g karbohidrat
Kesebelas, kadar serat pangan (Asp, dkk., 1983) glukosa murni. Kesetaraan tersebut dihitung dari
total karbohidrat by difference yang diperoleh
Sampel kering homogen diekstraksi
dari analisis proksimat nasi instan.
lemaknya dengan petrolium benzene pada
suhu kamar selama 15 menit. Satu gram ……….......……..(8)
sampel dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan
ditambahkan 25 ml bufer Natrium Fosfat, untuk Keterangan:
dibuat menjadi suspensi. Sampel ditambah JN = Jumlah nasi
100 µL termamyl, ditutup dan diinkubasi pada Kns = Kadar karbohidrat nasi instan
suhu 100oC selama 15 menit, sambil sesekali
diaduk. Sampel diangkat dan didinginkan, Ketiga belas, proksimat
serta Ditambah 20 ml air destilata untuk diatur
Beras dan nasi instan yang diukur
pH-nya menjadi 1,5 dengan menambahkan
karakteristik proksimatnya, meliputi kadar air
HCl 4 M. Selanjutnya ditambahkan 100 mg
(AOAC, 2006), kadar abu (AOAC, 2006), kadar
pepsin. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasikan
lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat by
pada suhu 40oC dan diagitasi selama 60
difference (AOAC, 2006).
menit. Ditambahkan 20 ml air destilata dan pH
diatur menjadi 6,8 dengan NaOH. Kemudian III. HASIL DAN PEMBAHASAN
ditambah 100 ml enzim pankreatin, ditutup dan 3.1. Karakterisasi Bahan Baku
diinkubasi pada suhu 40oC selama 60 menit
sambil diagitasi. Selanjutnya pH diatur dengan Bahan baku yang digunakan pada
HCl menjadi 4,5, disaring melalui crucible kering pembuatan nasi instan adalah beras dengan
yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) varietas IR 42, Inpari 32 dan Sintanur. Ketiga
yang mengandung 0,5 g celite kering (berat bahan baku tersebut dikarakterisasi sifat
tepat diketahui) dan dicuci dengan 2 x 10 ml air fisikokimianya melalui analisis proksimat,
destilata. densitas kamba (rumus 2), kadar amilosa
(rumus 6), daya cerna pati (rumus 7) dan warna.
Kedua belas, indeks glikemik (Jenkins, dkk., Data hasil karakterisasi bahan baku disajikan
1981) pada Tabel 1.
Pengujian indeks glikemik menggunakan Nilai kadar air berpengaruh pada proses
relawan yang telah diseleksi memiliki kadar gula penyimpanannya. Menurut Setyawan dan
darah puasa normal (60–120 mg/dl). Sebelumnya Doddy (2011), pada kadar air yang tinggi beras
dilakukan preparasi nasi instan terlebih dahulu akan menjadi lunak dan mudah patah. Selain itu
yaitu direhidrasi dengan perbandingan nasi kadar air juga memengaruhi tingkat butir kapur
instan dan air 1:4. Pengukuran nilai IG pangan yang menyebabkan tumbuhnya mikroorganisme
dilakukan menurut metode Jenkins, dkk. (1981) pada beras. Kadar air dinyatakan dalam persen
dengan sedikit modifikasi, yaitu memberikan bobot basah pada seluruh tingkatan mutu beras.
nasi instan dengan jumlah yang setara dengan Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional
25 g karbohidrat. Sebelum pengambilan sampel (1999), syarat kadar air beras untuk keadaan
darah, relawan diminta melakukan puasa minimal pangan dalam negeri maksimal 14 persen.
selama 10 jam pada malam harinya kecuali Hasil kadar air dari beras yang diuji berada pada
air putih. Pagi harinya sebanyak ± 5 µl darah kisaran 10–12 persen. Hal ini menunjukkan
relawan diambil melalui ujung jari untuk diukur bahwa bahan baku yang digunakan memenuhi
kadar glukosa darahnya dengan menggunakan standar yang ditetapkan.
alat glukometer One Touch UltraTM (finger Kadar abu menunjukkan besarnya
prick capillary blood sampel method). Relawan kandungan mineral dalam bahan (Winarno
kemudian diminta mengonsumsi satu porsi nasi 2004). Bentuk mineral yang terkandung dalam

Karakteristik Fisikomia dan Fungsional Nasi Instan 91


Sri Widowati, Kirana S. Sasmitaloka, dan Imia Ribka Banurea
Table 1. Karakteristik Bahan Baku Beras Varietas IR 42, Inpari 32 dan Sintanur

Keterangan:
L = Derajat kecerahan
a = Derajat kemerahan
b = Derajat kebiruan

abu adalah garam oksida, sulfat, fosfat, nitrat utama yang terdapat pada beras. Karbohidrat
dan klorida. Beras yang digunakan sebagai dalam serealia termasuk beras sebagian besar
bahan baku nasi instan memiliki kadar abu terdapat dalam bentuk pati. Pati tersusun dari
0,5–0,8 persen. Artinya, di dalam beras yang dua polimer karbohidrat, yaitu amilosa dan
digunakan sebagai bahan baku nasi instan amilopektin, di mana amilosa menjadi parameter
terdapat 0,5–0,8 persen kandungan mineral. untuk menentukan jenis beras.
Kadar abu tersebut masih berada dalam kisaran Menurut Meullenet, dkk. (2000) beras
kadar abu yang umum terdapat pada beras dikelompokkan menjadi 3, yaitu beras kadar
sosoh. Haryadi (2008) menyatakan bahwa amilosa rendah (kadar amilosa <20 persen),
kadar abu beras sosoh sekitar 0,3–0,9 persen. beras kadar amilosa sedang (kadar amilosa
Kadar lemak bahan baku beras yang 20–24 persen), dan beras kadar amilosa tinggi
digunakan memiliki nilai kisaran 0,2–0,8 (kadar amilosa >25 persen). Berdasarkan
persen. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian hasil uji, maka beras Sintanur termasuk dalam
Widowati, dkk. (2008) di mana kadar lemak kelompok beras berkadar amilosa rendah
beras ≤1 persen. Kandungan lemak pada beras (17,26 persen), beras Inpari 32 termasuk dalam
dipengaruhi oleh varietas, derajat kematangan kelompok beras berkadar amilosa sedang (23,77
biji, kondisi penanaman, dan metode ekstraksi persen), sedangkan beras IR 42 dikelompokkan
lemak. Menurut Juliano (1972) asam lemak dalam kelompok beras berkadar amilosa tinggi
penyusun beras terutama adalah palmitat (16:0), (26,95 persen). Amilosa merupakan parameter
oleat (18:1), dan linoleat (18:2). Perbedaan utama yang menentukan mutu tanak dan mutu
varietas memberikan perbedaan komponen asam rasa nasi. Beras yang mengandung amilosa
lemak. tinggi bila ditanak menghasilkan nasi pera
dan tekstur keras setelah dingin, sebaliknya
Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat kandungan amilosa pada beras yang rendah
diketahui bahwa kandungan protein beras akan menghasilkan nasi pulen dan teksturnya
berada pada kisaran 8–10 persen. Kadar protein lunak (Yusof, dkk., 2005).
pada beras sangat dipengaruhi oleh derajat
Daya cerna pati beras IR 42 sebesar 75,69
sosoh dan kondisi tanah tempat beras ditanam.
persen, beras Inpari 32 sebesar 71,93 persen,
Karbohidrat dalam serealia termasuk beras dan beras Sintanur sebesar 76,26 persen
sebagian besar terdapat dalam bentuk pati. (Tabel 1). Daya cerna pati berkaitan dengan
Hasil analisis menunjukkan kadar karbohidrat tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat
beras yang digunakan berada pada kisaran dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi
77–80 persen (Tabel 1). Karbohidrat adalah gizi unit-unit yang lebih kecil.

92 PANGAN, Vol. 29 No. 2 Agustus 2020 : 87 – 104


Beras IR 42 memiliki nilai densitas kamba meliputi waktu rehidrasi, rendemen (rumus
0,79 g/ml, beras Inpari 32 memiliki nilai densitas 1), densitas kamba (rumus 2), daya serap air
kamba 0,83 g/ml, dan beras Sintanur memiliki (rumus 3), volume pengembangan (rumus 4),
nilai densitas kamba 0,81 g/ml. Densitas kamba rasio rehidrasi (rumus 5), kekerasan dan warna.
merupakan sifat fisik bahan pangan yang
Waktu yang dibutuhkan bahan menyerap
berkaitan dengan pengemasan, penyimpanan
air untuk memperoleh tekstur bahan yang
dan pengangkutan. Bahan dengan densitas
homogen disebut dengan waktu rehidrasi (Dewi,
kamba kecil cenderung membutuhkan tempat
2008). Beras dengan kadar amilosa tinggi
yang lebih besar dibandingkan bahan dengan
cenderung memiliki waktu rehidrasi yang lebih
densitas kamba besar.
lama dibandingkan beras yang memiliki kadar
Pengukuran warna memiliki 3 parameter amilosa rendah. Waktu rehidrasi untuk nasi
yaitu notasi L menyatakan parameter kecerahan instan adalah 4,37 menit (nasi instan IR 42);
(warna kromatik, 0 (hitam) – 100 (putih), notasi 4,28 menit (nasi instan Inpari 32) dan 3,22 menit
a menyatakan warna kromatik campuran (nasi instan Sintanur). Hasil tersebut sesuai
merah hijau (a+ = 0-100 untuk warna merah, dengan waktu rehidrasi yang diharapkan,
a- = 0-(-80) untuk warna hijau), dan notasi b yaitu atau kurang dari 5 menit (Hubeis, 1984).
menyatakan warna kromatik campuran biru Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
kuning (b+ = 0-70, untuk warna kuning, b- = 0-(- kandungan amilosa pada beras berpengaruh
70) untuk warna biru). Berdasarkan data pada nyata terhadap waktu rehidrasi nasi instan
Tabel 1 diketahui nilai L berada pada kisaran (p<0,05).
65–66 persen. Hal ini menunjukkan bahan
Rendemen nasi instan berkisar antara
baku beras yang digunakan berwarna kusam.
91,53–98,81 persen (Tabel 2). Pada penelitian
Bahan baku beras memiliki nilai a negatif hal ini
ini, beras direndam menggunakan larutan
menunjukkan bahwa bahan baku beras memiliki
Natrium Sitrat 5 persen. Perendaman beras
warna mendekati warna hijau dan memiliki nilai
dalam larutan Natrium Sitrat dapat meningkatkan
b positif yang menandakan beras memiliki warna
porositas nasi instan sehingga terjadi penurunan
mendekati warna kuning.
berat dan rendemen nasi instan yang dihasilkan.
3.2. Karakterisasi Fisik Nasi Instan Menurut Luna, dkk. (2015), perendaman beras
dalam larutan Natrium Sitrat dapat merusak
Hasil karakterisasi fisik nasi instan disajikan
atau menguraikan struktur protein beras dan
pada Tabel 2. Karakteristik fisik nasi instan
Tabel 2. Karakteristik Fisik Nasi Instan

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji lanjut Duncan 5 persen

Karakteristik Fisikomia dan Fungsional Nasi Instan 93


Sri Widowati, Kirana S. Sasmitaloka, dan Imia Ribka Banurea
membuat beras menjadi lebih porous (berongga). Penyerapan air kembali oleh produk yang
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa telah dikeringkan disebut dengan rasio rehidrasi.
kandungan amilosa pada beras berpengaruh Elastisitas dinding sel, hilangnya permeabilitas
nyata terhadap rendemen nasi instan (p<0,05). diferensial dalam membran protoplasma,
hilangnya tekanan turgor sel, denaturasi
Densitas kamba nasi instan (0,48–0,61 g/
protein, kristalinitas pati, dan ikatan hidrogen
ml) lebih rendah dibandingkan dengan densitas
makromolekul adalah hal-hal yang memengaruhi
kamba beras yang digunakan sebagai bahan
nilai rasio rehidrasi (Neumann, 1972). Rasio
baku (0,79–0,83 g/ml). Densitas kamba dapat
rehidrasi nasi instan yang dihasilkan berkisar
menunjukkan jumlah rongga kosong di antara
2,42–2,74. Kandungan amilosa pada beras yang
partikel. Densitas kamba nasi instan IR 42 0,61
digunakan sebagai bahan baku berpengaruh
mg/l, nasi instan Inpari 32 0,57 mg/l, dan nasi
terhadap rasio rehidrasi nasi instan yang
instan Sintanur 0,48 mg/l. Hasil analisis statistik dihasilkan. Semakin rendah kandungan amilosa
menunjukkan bahwa kandungan amilosa pada pada beras, maka rasio rehidrasi nasi instan
beras berpengaruh nyata terhadap densitas yang dihasilkan juga semakin rendah.
kamba (p<0,05).
Rasio rehidrasi memiliki korelasi dengan
Daya serap air nasi instan berkisar antara daya serap air. Semakin banyak air yang diserap
36,90–45,15 persen. Daya serap air merupakan maka rasio rehidrasinya semakin besar pula
banyaknya air yang dapat terserap pada saat (Asgar dan Musaddad, 2006). Hasil analisis
rehidrasi. Semakin lama waktu rehidrasi yang statistik menunjukkan bahwa kandungan amilosa
dibutuhkan dan semakin besar nilai densitas pada beras berpengaruh nyata terhadap rasio
kamba, maka semakin banyak air yang diserap. rehidrasi nasi instan (p<0,05).
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
kandungan amilosa pada beras berpengaruh Nasi instan memiliki kekerasan 1027,67–
nyata terhadap daya serap air (p<0,05). Ahromrit, 1833,22 gram. Nasi instan dari beras Sintanur
dkk., 2006) menyatakan bahwa penyerapan air (1027,67 gram) memiliki kekerasan yang lebih
dipengaruhi oleh gelatinisasi pati. Kebutuhan rendah dibandingkan Inpari 32 (1119,67 gram)
air untuk setiap varietas berbeda, karena daya dan IR 42 (1833,33 gram). Kandungan pati
serap air berkaitan erat dengan kadar amilosa yang mengalami leached memengaruhi tingkat
kekerasan nasi (Tester and Karkalas, 1996) di
beras. Rata-rata penyerapan air dari beras di
mana komponen pati tersebut adalah amilosa
Indonesia adalah 2,5 kalinya. Semakin besar
dan amilopektin (Ong dan Blanshard, 1995).
tingkat penyerapan airnya, maka akan semakin
Kekerasan pada nasi instan berkorelasi terhadap
besar air yang dibutuhkan untuk rehidrasi.
jenis bahan baku yang digunakan. Nasi instan
Volume pengembangan merupakan yang diproduksi menggunakan beras amilosa
penambahan volume yang disebabkan tinggi cenderung memiliki nilai kekerasan yang
penyerapan air oleh beras selama pemasakan lebih tinggi dibandingkan dengan nasi instan
di mana air membentuk hidrat yaitu air yang dengan bahan baku beras amilosa rendah.
terikat. Hasil analisis menunjukkan volume Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
pengembangan nasi instan yang dihasilkan kandungan amilosa pada beras berpengaruh
berkisar 145,73–176,83 persen. Faktor yang nyata terhadap kekerasan nasi instan (p<0,05).
memengaruhi nilai volume pengembangan ini Salah satu faktor yang memengaruhi
adalah porositas dan daya serap air, semakin warna pada nasi instan adalah kemampuannya
besar porositas dan daya serap air suatu untuk menyerap air. Proses rehidrasi dapat
bahan maka volume pengembangannya juga meningkatkan tingkat kecerahan nasi. Nasi
akan semakin besar. Hasil analisis statistik instan yang dihasilkan berwarna kurang
menunjukkan bahwa kandungan amilosa pada cerah (nilai L berkisar 61,99–71,57). Setelah
beras berpengaruh nyata terhadap volume direhidrasi, terjadi peningkatan kecerahan
pengembangan nasi instan yang dihasilkan nasi instan yang ditandai peningkatan nilai L
(p<0,05). Semakin rendah kandungan amilosa menjadi 73,82–81,22. Hasil analisis statistik
pada beras, maka volume pengembangan nasi menunjukkan bahwa kandungan amilosa pada
instan yang dihasilkan juga semakin rendah.

94 PANGAN, Vol. 29 No. 2 Agustus 2020 : 87 – 104


beras berpengaruh nyata terhadap tingkat instanisasi menyebabkan perubahan komposisi
kecerahan (L) nasi instan yang dihasilkan kimia pada nasi (Tabel 3).
sebelum dan setelah direhidrasi (p<0,05).
Kadar air nasi instan berkisar 8,90–9,95
Derajat kemerahan (a) nasi instan (IR 42, persen. Kadar air nasi instan yang dihasilkan
Inpari 32, dan Sintanur) sebelum dan sesudah (Tabel 2) mengalami penurunan dari nilai
rehidrasi bernilai negatif (Tabel 2). Hal tersebut kadar air bahan baku beras (Tabel 1). Hal ini
menunjukkan karakter warna nasi instan dikarenakan adanya perendaman dengan
cenderung berwarna hijau. Hasil analisis statistik Natrium Sitrat yang menyebabkan terbentuknya
menunjukkan bahwa kandungan amilosa pada pori-pori pada nasi instan yang mendorong
beras berpengaruh nyata terhadap derajat pergerakan air ke bagian dalam dari beras
kemerahan (a) nasi instan sebelum rehidrasi dan endosperm, melalui vascular dorsal kernel
(p<0,05), tetapi tidak berpengaruh nyata (Prom-u-thai, dkk., 2006). Proses instanisasi
terhadap derajat kemerahan (a) nasi instan dapat menurunkan kadar air nasi instan yang
setelah direhidrasi. dihasilkan. Hasil analisis statistik menunjukkan
bahwa kandungan amilosa pada beras tidak
Karakter warna nasi instan sebelum
berpengaruh nyata terhadap kadar air nasi
rehidrasi cenderung berwarna kuning. Hal ini
instan (p>0,05). Kandungan air memengaruhi
terlihat dari derajat kebiruan (b) nasi instan (IR
daya tahan bahan pangan terhadap tumbuhnya
42, Inpari 32, dan Sintanur) sebelum rehidrasi
mikroorganisme. Kadar air yang tinggi akan
menunjukkan nilai positif. Sedangkan derajat
membuat aktivitas mikroorganisme menjadi
kebiruan (b) nasi instan (IR 42, Inpari 32, dan
lebih cepat yang berarti akan membuat bahan
Sintanur) setelah rehidrasi menunjukkan nilai
pangan menjadi lebih cepat rusak. Nasi instan
negatif, sehingga menunjukkan karakter nasi
memiliki kadar air yang relatif rendah (8,90–9,95
instan setelah rehidrasi cenderung berwarna
persen) sehingga dapat menghambat aktivitas
biru. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
mikroorganisme dan membuat bahan pangan
kandungan amilosa pada beras berpengaruh
menjadi tidak cepat rusak.
nyata terhadap derajat kebiruan (b) nasi instan
yang dihasilkan sebelum dan setelah direhidrasi Abu merupakan bahan anorganik sisa hasil
(p<0,05). pembakaran suatu bahan organik. Kandungan
abu dan komposisinya tergantung pada macam
3.3. Karakterisasi Kimia Nasi Instan
bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu
Hasil karakterisasi kimia nasi instan mencerminkan dengan kandungan mineral suatu
disajikan pada Tabel 3. Karakterisasi kimia bahan, baik yang organik maupun anorganik.
meliputi analisis proksimat (AOAC, 2006), kadar Proses instanisasi dapat meningkatkan kadar
amilosa (rumus 6), dan energi (AOAC, 2006). abunya. Kadar abu nasi instan yang dihasilkan
Analisis proksimat merupakan analisis dasar adalah 0,41 persen (nasi instan IR 42), 0,82
dari suatu bahan pangan yang terdiri dari kadar persen (nasi instan Inpari 32), dan 0,45 persen
air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Proses (nasi instan Sintanur). Kadar abu mencerminkan

Tabel 3. Hasil Analisis Proksimat Nasi Instan

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji lanjut Duncan 5 persen

Karakteristik Fisikomia dan Fungsional Nasi Instan 95


Sri Widowati, Kirana S. Sasmitaloka, dan Imia Ribka Banurea
kandungan mineral suatu bahan, baik yang untuk ketiga varietas mengalami peningkatan
organik maupun anorganik. Kadar abu yang dibandingkan dengan bahan baku beras. Hal ini
tinggi menunjukkan kandungan mineral di disebabkan proses pemasakan beras menjadi
dalam suatu bahan juga tinggi. Kandungan nasi yang dapat menyebabkan semakin banyak
mineral tertinggi terdapat pada nasi instan dari struktur pati yang mengalami leached (Chiang
beras varietas Inpari 32 yaitu sebesar 0,82 dan Yeh, 2002) yaitu granula pati pecah karena
persen. Hasil analisis statistik menunjukkan pembengkakan yang disebabkan adanya air
bahwa kandungan amilosa pada beras tidak dan energi. Hasil analisis statistik menunjukkan
berpengaruh nyata terhadap kadar abu nasi bahwa kandungan amilosa pada beras
instan (p>0,05). berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat
nasi instan (p<0,05).
Berdasarkan data pada Tabel 3, diketahui
bahwa hasil pengujian kadar lemak nasi instan Mutu tanak dan rasa dari nasi ditentukan
IR 42, Inpari 32 dan Sintanur berturut-turut oleh kadar amilosanya. Nasi instan dengan
adalah 0,48 persen, 0,51 persen, dan 0,22 kadar amilosa tinggi memiliki tekstur yang pera
persen. Proses instanisasi dapat menurunkan dan keras sedangkan nasi instan dengan kadar
kadar lemaknya. Hasil kadar lemak nasi instan amilosa rendah memiliki tekstur yang pulen dan
mengalami penurunan dari bahan baku beras. lunak (Yusof,dkk., 2005). Berdasarkan data
Penurunan kadar lemak ini disebabkan adanya pada Tabel 3, diperoleh informasi bahwa kadar
proses instanisasi yang membuat nasi instan amilosa nasi instan mengalami peningkatan
yang dihasilkan lebih porous. Hasil analisis dibandingkan kadar amilosa beras, yaitu menjadi
statistik menunjukkan bahwa kandungan amilosa 32,85 persen untuk nasi instan IR 42, 23,78
pada beras berpengaruh nyata terhadap kadar persen untuk nasi instan Inpari 32, dan 22,05
lemak nasi instan (p<0,05). persen untuk nasi instan Sintanur. Hal ini terjadi
karena adanya penguraian struktur amilopektin
Salah satu gizi makro yang berperan dalam
pada beras oleh H+ dari Na-Sitrat sehingga
proses pembentukan biomolekul adalah protein.
ikatan cabang pada amilopektin terurai menjadi
Berdasarkan hasil analisis, diperoleh kadar
lebih sederhana atau berubah menjadi struktur
protein nasi instan sebesar 9,70 persen (nasi
amilosa, sehingga menyebabkan peningkatan
instan IR 42), 8,76 persen (nasi instan Ipnari 32),
kadar amilosa. Lebih lanjut, Aparicio-Saguilan,
dan 8,63 persen (nasi instan Sintanur). Kadar
dkk. (2005) dan González-Soto, dkk. (2007)
protein cenderung meningkat setelah proses
menyatakan bahwa selama proses pemanasan
instanisasi. Hal ini disebabkan adanya proses
bertekanan terjadi kerusakan granula pati
difusi vitamin dan nutrisi lainnya pada saat
dan gelatinisasi pati, sedangkan pada saat
perendaman dan pemasakan sehingga nilai
pendinginan terjadi pembentukan ikatan ganda
gizinya menjadi meningkat. Jumlah protein dalam
(double helix) amilosa serta sineresis pati yang
beras cenderung kecil. Walaupun demikian,
menyebabkan rekristalisasi komponen pati
protein dalam beras dapat menghasilkan kalori
membentuk struktur pati yang lebih kristalin. Hal
sebesar 40–80 persen kalori. Hasil analisis
ini dapat menjelaskan bahwa proses instanisasi
statistik menunjukkan bahwa kandungan
akan meningkatkan kandungan amilosa.
amilosa pada beras berpengaruh nyata terhadap
Semakin rendah suhu pembekuannya, maka
kadar protein nasi instan (p<0,05).
semakin tinggi peningkatan kadar amilosanya.
Karbohidrat merupakan zat gizi yang Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
ditemui dalam jumlah besar pada beras dalam kandungan amilosa pada beras berpengaruh
bentuk pati. Pada penelitian ini kadar karbohidrat nyata terhadap kadar amilosa nasi instan
diukur secara by difference, yaitu analisis kadar (p<0,05).
karbohidrat melalui perhitungan, di mana
Energi diukur dengan satuan unit kalori.
total jumlah kadar abu, lemak, protein dan
Kandungan kalori di dalam makanan ditentukan
karbohidrat adalah 100 persen. Berdasarkan
oleh kandungan-kandungan gizi seperti lemak,
hasil analisis, diperoleh kadar karbohidrat nasi
karbohidrat dan protein. Lemak menghasilkan
instan IR 42 sebesar 79,46 persen, Inpari 32
kalori 9 kalori/gram, sedangkan karbohidrat
sebesar 81,01 persen, dan Sintanur sebesar
dan protein mengandung kalori 4 kalori/gram.
81,06 persen. Kadar karbohidrat nasi instan

96 PANGAN, Vol. 29 No. 2 Agustus 2020 : 87 – 104


Kalori dalam makanan dibutuhkan tubuh Kadar amilosa pada nasi instan berbanding
sebagai sumber energi untuk beraktivitas. Nilai terbalik dengan daya cerna patinya. Nasi
energi dari nasi instan yang dihasilkan berkisar instan dengan kadar amilosa yang tinggi akan
360,73–363,67 Kkal. Hasil analisis statistik menghasilkan daya cerna pati yang rendah. Nasi
menunjukkan bahwa kandungan amilosa pada instan IR 42 mengandung amilosa yang tertinggi
beras berpengaruh nyata terhadap kandungan (32,85 persen) dan daya cerna pati yang terendah
energi nasi instan (p>0,05). (63,49 persen). Daya cerna pati yang rendah
3.4. Karakterisasi Fungsional Nasi Instan mengindikasikan hanya sedikit jumlah pati yang
dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan dalam
Karakterisasi sifat fungsional nasi instan waktu tertentu. Dengan demikian, kadar glukosa
meliputi daya cerna pati (persamaan 7), kadar serat dalam darah tidak mengalami kenaikan secara
pangan total, dan indeks glikemik (persamaan drastis sesaat setelah makanan tersebut dicerna
8). Hasil karakterisasi sifat fungsional nasi instan dan dimetabolisme oleh tubuh. Hasil penelitian
disajikan pada Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3. Argasasmita (2008) dan Hasan,dkk. (2011)
3.4.1. Daya Cerna Pati menunjukkan bahwa pangan dengan daya
cerna pati tinggi menghasilkan nilai IG yang
Berdasarkan data pengujian daya cerna
tinggi pula. Sehingga nasi instan IR 42 yang
pati nasi instan yang disajikan pada Gambar
memiliki daya cerna pati rendah menghasilkan
1, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan nilai
nilai IG yang rendah pula.
daya cerna pati dari bahan baku beras. Hal ini
disebabkan adanya proses pemasakan beras 3.4.2. Kadar Serat Pangan Total
yang kemudian dibekukan dan dikeringkan
Serat pangan merupakan bagian dari
menjadi nasi instan. Selain itu menurut Nurhayati
karbohidrat yang sulit untuk dicerna (Jones,
(2011), siklus retrogradasi menyebabkan
2013) memengaruhi pencernaan karbohidrat
peningkatan komponen pati lambat cerna
dalam usus melalui mekanisme penundaan
dan pati resisten, hal inilah yang juga menjadi
kenaikan glukosa darah (Björck dan Elmståhl,
penyebab menurunnya daya cerna pati. Beras
2003) dan memiliki peran fungsional karena
Sintanur memiliki daya cerna pati (66,45 persen)
memiliki ragam manfaat yang salah satunya
paling tinggi dibandingkan dengan varietas IR
untuk mencegah diabetes (Hannan, dkk.,
42 (63,49 persen) dan Inpari 32 (64,97 persen).
2007). Serat pangan merupakan komponen
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
kandungan amilosa pada beras berpengaruh karbohidrat yang tidak dapat dihidrolisis oleh
nyata terhadap daya cerna pati pada nasi instan enzim pencernaan sehingga menunda kenaikan
(p<0,05). kadar glukosa darah.

Gambar 1. Daya Cerna Pati pada Nasi Instan


Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap bar tidak berbeda nyata berdasarkan uji
lanjut Duncan 5 persen

Karakteristik Fisikomia dan Fungsional Nasi Instan 97


Sri Widowati, Kirana S. Sasmitaloka, dan Imia Ribka Banurea
Pangan dapat disebut sebagai sumber Kandungan amilosa yang lebih tinggi pada nasi
serat pangan apabila mengandung serat instan IR 42 menyebabkan pencernaan menjadi
pangan minimal 3 persen (Foschia, dkk., 2013), lebih lambat karena amilosa memiliki struktur
sedangkan makanan disebut tinggi serat jika tidak bercabang (struktur lebih Kristal dengan
mengandung serat pangan minimal 6 persen ikatan hidrogen yang lebih ekstensif) dan
(CAC, 2009). Nasi instan yang dihasilkan ikatan hidrogen yang lebih kuat dibandingkan
memiliki kadar serat pangan sebesar 4,43–6,93 amilopektin, sehingga lebih sukar dihidrolisis
persen, di mana nasi instan IR 42 memiliki oleh enzim-enzim pencernaan (Behall dan
kadar serat pangan yang tinggi (6,93 persen). Hallfrisch, 2002). Selain itu, amilosa mudah
Tingginya kadar serat pangan total pada nasi mengkristal sehingga mudah teretrogradasi
instan akibat proses instanisasi diduga karena yang bersifat sulit untuk dicerna. Sebaliknya,
terjadi pembentukan kompleks karbohidrat- nasi instan Sintanur memiliki kandungan amilosa
lemak yang sulit untuk dicerna dan terhitung yang rendah dan amilopektin tinggi, di mana
sebagai serat pangan (FKR, dkk., 2011). amilopektin bersifat lebih rapuh (amorphous)
dibandingkan amilosa dengan struktur kristalnya
Widowati, dkk. (2009) melaporkan beras
yang cukup dominan. Sehingga nasi instan
giling dengan kadar serat pangan tak larut 2,27–
Sintanur lebih mudah dicerna dan memiliki kadar
5,68 persen memiliki nilai IG 54–97, lebih tinggi
serat pangan yang rendah. Hasil analisis statistik
dibandingkan dengan nilai IG beras pratanak
menunjukkan bahwa kandungan amilosa pada
(44–76) yang memiliki kadar serat pangan tak
beras berpengaruh nyata terhadap kadar serat
larut 5,41–8,65 persen. Dengan demikian,
pangan total nasi instan (p<0,05).
pangan yang memiliki kadar serat pangan yang
tinggi cenderung memiliki indeks glikemik yang 3.4.3. Indeks Glikemik
rendah. Nasi instan IR 42 memiliki kadar serat
Konsep tentang indeks glikemik pertama
pangan total yang tinggi (6,93 persen), sehingga
kali diperkenalkan oleh Jenkins, dkk. (1981)
nasi instan IR 42 cenderung memiliki indeks
dengan mengelompokkan bahan pangan
glikemik yang rendah pula.
berdasarkan pada efek fisiologisnya terhadap
Kadar serat pangan berkorelasi positif kadar glukosa darah setelah pangan dikonsumsi.
dengan kadar amilosanya (Gambar 2). Semakin Indeks glikemik disebut mampu memberikan
tinggi kandungan amilosa pada nasi instan, petunjuk tentang efek faali makanan terhadap
maka kadar serat pangannya akan semakin kadar glukosa darah, respons insulin serta cara
tinggi pula. Amilosa disebut sebagai fraksi yang mudah dan efektif untuk mengendalikan
terlarut dengan polimer rantai lurus glukosa fluktuasi glukosa darah. Secara umum, pangan
yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4)-glikosidik. yang menaikkan kadar glukosa darah dengan

Gambar 2. Kadar Serat Pangan pada Nasi Instan


Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap bar tidak berbeda nyata berdasarkan uji
lanjut Duncan 5 persen

98 PANGAN, Vol. 29 No. 2 Agustus 2020 : 87 – 104


cepat memiliki IG tinggi, sedangkan pangan indeks glikemik yang tinggi (Gambar 3). Hal
yang menaikkan kadar gula darah dengan ini sejalan dengan hasil penelitian Indrasari,
lambat memiliki IG rendah (Arvidsson-Lenner, dkk. (2008); Hu, dkk. (2004) dan Frei,dkk.,
dkk., 2004; Atkinson, dkk., 2008; Arif, dkk., 2003) yang menyatakan bahwa kadar amilosa
2013). Faktor-faktor yang memengaruhi nilai yang tinggi pada beras dapat memperlambat
indeks glikemik adalah kadar serat pangan, pencernaan pati sehingga menyebabkan indeks
kadar amilosa dan amilopektin, daya cerna pati, glikemik menjadi rendah.
dan cara pengolahan (Arif, dkk., 2013; Zabidi Kadar serat pangan dapat memengaruhi
dan Aziz 2009; Avianty dan Ayustaningwarno, kadar glukosa dalam darah dan nilai indeks
2014). glikemik (Fernandes, dkk., 2005; Trinidad, dkk.,
Produk nasi instan yang dihasilkan memiliki 2010). Berdasarkan data kadar serat pangan
nilai indeks glikemik sebesar 50–72 (Gambar (Gambar 2) dan nilai indeks glikemik (Gambar
3). Menurut Foster-Powel, dkk. (2002) dan 3), dapat diperoleh informasi bahwa semakin
Pruett (2010), nilai indeks glikemik dapat tinggi kadar serat pangan, maka nilai indeks
dikelompokkan menjadi tiga kelas, yaitu indeks glikemiknya akan semakin rendah. Serat dapat
glikemik rendah (<55), sedang (55–70) dan memperlambat laju makanan pada saluran
tinggi (>70). Berdasarkan data pada Gambar 3, pencernaan dan menghambat aktivitas enzim.
nasi instan IR 42 (amilosa tinggi) memiliki indeks Hal ini mengakibatkan proses pencernaan
glikemik yang rendah (52), nasi instan Inpari khususnya pati menjadi lambat dan respons
32 (amilosa sedang) memiliki indeks glikemik glukosa akan menjadi lebih rendah. Dengan
sedang (61), dan nasi instan Sintanur (amilosa demikian, pangan dengan kandungan serat
rendah) memiliki indeks glikemik tinggi (72). pangan yang tinggi cenderung memiliki nilai
indeks glikemik yang rendah. Hasil penelitian
Nasi instan Sintanur memiliki kadar amilosa Indrasari, dkk. (2008) menunjukkan beras yang
rendah dan kadar amilopektin yang tinggi. mengandung serat pangan tinggi menurunkan
Amilopektin merupakan polimer gula sederhana respon glikemik, sehingga indeks glikemiknya
bercabang, memiliki ukuran molekul lebih besar cenderung rendah. Pangan yang menaikkan
dan terbuka. Oleh karena itu, amilopektin lebih kadar glukosa darah dengan cepat memiliki
mudah tergelatinisasi dan akibatnya akan lebih IG tinggi, sebaliknya pangan yang menaikkan
mudah dicerna oleh tubuh. Pangan yang mudah kadar glukosa darah dengan lambat memiliki
diabsorbsi oleh tubuh dapat menyebabkan IG rendah (Arvidsson-Lenner, dkk., 2004:
respon glukosa darah menjadi lebih tinggi pula Rimbawan dan Siagian 2004; Atkinson, dkk.,
(FKR, dkk., 2011). Nasi instan Sintanur memiliki 2008)

Gambar 3. Indeks Glikemiks pada Nasi Instan


Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap bar tidak berbeda nyata berdasarkan
uji lanjut Duncan 5 persen

Karakteristik Fisikomia dan Fungsional Nasi Instan 99


Sri Widowati, Kirana S. Sasmitaloka, dan Imia Ribka Banurea
Selain kandungan amilosa, amilopektin, total yang tinggi (6,93 persen), sehingga cocok
dan kadar serat pangan, nilai indeks glikemik dikonsumsi oleh penderita diabetes. Produk nasi
juga dipengaruhi oleh daya cerna pati. Daya instan ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh
cerna pati berbanding lurus dengan nilai indeks industri pangan sebagai pilihan produk pangan
glikemiknya. Semakin tinggi atau semakin cepat cepat saji.
daya cerna suatu pati maka semakin banyak
Implikasi kebijakan dari kegiatan penelitian
glukosa yang dihasilkan sehingga menyebabkan
ini, selain menghasilkan produk yang bermanfaat
kenaikan kadar glukosa darah (Noviasari, dkk.,
untuk kesehatan, juga memberikan alternatif
2015). Hal ini terlihat pada data yang terdapat
pangan pokok instan, sehingga diharapkan
pada Gambar 1 (daya cerna pati) dan Gambar 3
dapat mengurangi ketergantungan masyarakat
(nilai indeks glikemik), di mana semakin rendah
pada produk mi instan.
daya cerna pati nasi instan maka nilai indeks
glikemik juga akan semakin rendah. Hasil UCAPAN TERIMA KASIH
analisis statistik menunjukkan bahwa kandungan Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
amilosa pada beras berpengaruh nyata terhadap Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian yang
indeks glikemiks nasi instan (p<0,05). telah memberikan dana dan fasilitas pelaksanaan
kegiatan penelitian ini.
Secara umum produk nasi instan ini memiliki
karakteristik kadar serat pangan 4,43–6,93 DAFTAR PUSTAKA
persen, dan tergolong dalam produk pangan Ahromrit, A., D. A. Ledward, and K. Niranjan.
kadar serat pangan tinggi. Selain itu, nasi instan 2006. High Pressure Induced Water Uptake
memiliki nilai indeks glikemik yang lebih rendah Characteristics of Thai Glutinous Rice. Journal
dibandingkan beras. Beras IR 42 memiliki nilai of Food Engineering 72: 225–33.
indeks glikemik 68,52 (Widowati, dkk., 2009) Anjani, G., E. Arifianto, D.N. Farida, K. Afifah,
sedangkan nasi instan dari beras IR 42 memiliki dan Maharani. 2001. Pengembangan Produk
indeks glikemik 50. Beras Sintanur memiliki Nasi Siap Santap “Pop Rice” Berkalsium
Tinggi dengan Teknologi Nasi Instan. Laporan
indeks glikemik 91,03 (Widowati, dkk., 2009)
Penelitian LKIP. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
sedangkan nasi instan dari beras Sintanur
Anonymous. 2007. Ready Rice. http://www.unclebens.
memiliki indeks glikemik 72. Implikasi kebijakan
com/rice/. [Diakses pada 6 April 2017].
dari kegiatan penelitian ini, selain menghasilkan
Anonymous. 2008. Instant Rice. http://www.
produk yang bermanfaat untuk kesehatan,
sagevfoods.com/MainPages/Products/
juga memberikan alternatif pangan pokok InstantRice. htm. [Diakses pada 6 April 2017].
instan, sehingga diharapkan dapat mengurangi
Anonymous. 2010a. Ready to Serve Rice. http://www.
ketergantungan masyarakat pada produk mi minuterice.com/en-us/products/categories/29/
instan. ReadytoServeRice.aspx. [Diakses pada 6 April
IV. KESIMPULAN 2017].
Anonymous. 2010b. Nasi Instan. http://www.warintek.
Nasi instan dapat diseduh (rehidrasi) ristek.go.id/pangan_kesehatan/ pangan/ipb/
dengan air panas dalam waktu singkat, yaitu Nasi%20instant.pdf. [Diakses pada 6 April 2017].
3,22 menit (amilosa rendah), 4,28 menit (amilosa AOAC [Association of Official Analytical Chemist].
sedang), dan 4,37 menit (amilosa tinggi). 2006. Official Methods of Analytical of The
Association of Official Analytical Chemist.
Nasi instan dari beras amilosa sedang
Washington, DC: AOAC.
dan rendah memiliki tekstur nasi pulen, aroma
Aparicio-Saguilán, A., E. Flores-Huicochea, J.
dan rasa seperti nasi pada umumnya, dan
Tovar, F. García-Suárez, F. Gutiérrez-Meraz,
sesuai untuk dikonsumsi bagi masyarakat and L.A. Bello-Pérez. 2005. Resistant Starch-
yang mempunyai keterbatasan waktu dalam Rich Powders Prepared by Autoclaving of
menyiapkan makanan. Nasi instan dari beras Native and Lintnerized Banana Starch: Partial
amilosa tinggi memiliki aroma dan rasa seperti Characterization. Starch/Staerke 57: 405–12.
nasi biasa, tekstur cenderung keras dan pera, Argasasmita, TU. 2008. Karakterisasi Sifat
daya cerna pati rendah (63,49 persen), indeks Fisikokimia dan Indeks Glikemik Varietas Beras
glikemik rendah (50), dan kadar serat pangan Beramilosa Rendah dan Tinggi. Skripsi di Institut
Pertanian Bogor.

100 PANGAN, Vol. 29 No. 2 Agustus 2020 : 87 – 104


Arif, Abdullah Bin., A. Budiyanto, dan Hoerudin. Flour Sebagai Bahan Pangan Pokok Alternatif.
2013. Nilai Indeks Glikemik Produk Pangan dan Skirpsi di Institut Pertanian Bogor.
Faktor-Faktor Yang Memengaruhinya. Jurnal Fernandes, Glen., A. Velangi, and Thomas M.S.
Penelitian Dan Pengembangan Pertanian 32 Wolever. 2005. Glycemic Index of Potatoes
(3): 91–99. Commonly Consumed in North America. Journal
Arvidsson-Lenner, R., Nils-Georg Asp, M. Axelen, S. of the American Dietetic Association 105: 557–
Bryngelsson, E. Haapa, A. Järvi, B. Karlström, 562.
A. Raben, A. Sohlström, I. Thorsdottir, dan B. FKR, Rakhmawati., Rimbawan, dan L. Amalia. 2011.
Vessby. 2004. Glycaemic Index: Relevance for Nilai Indeks Glikemik Berbagai Produk Olahan
Health, Dietary Recommendations and Food Sukun (Artocarpus Altilis). Jurnal Gizi dan
Labelling. Food & Nutrition Research, 84–94. Pangan 6 (1): 28–35.
Scandinavian Journal of Nutrition 48(2): 84–94.
Foschia, Martina., D. Peressini, A. Sensidoni, and C.
Asgar dan D. Musaddad. 2006. Optimalisasi Cara, S. Brennan. 2013. The Effects of Dietary Fibre
Suhu, dan Lama Blansing Sebelum Pengeringan Addition on The Quality of Common Cereal
Pada Wortel. Jurnal Hortikultura 16 (3): 245–52. Products. Journal of Cereal Science. Elsevier
Asp, Nills-G., Claes-G. Johansson, H. Hallmer, and Ltd.
M. Sijeström. 1983. Rapid Enzymatic Assay of Foster-Powel, Kaye., S. H. A. Holt, and J. C. Brand-
Insoluble and Soluble Dietary Fiber. Journal of Miller. 2002. International Table of Glycemic
Agricultural and Food Chemistry 31: 476–482. Index and Glycemic Load Values:2002. Am J
Atkinson, F. S., K. Foster-Powell, and J.C. Brand- Clin Nutr 76: 5–56.
Miller. 2008. International Tables of Glycemic Frei, M., P. Siddhuraju, and K. Becker. 2003. Studies
Index and Glycemic Load Values: 2008. Diabetes on The in Vitro Starch Digestibility and The
Care 31 (12): 2281–2283. Glycemic Index of Six Different Indigenous Rice
Avianty, Selma dan F. Ayustaningwarno. 2014. Cultivars from The Philippines. Food Chemistry
Indeks Glikemik Snack Bar Ubi Jalar Kedelai 83: 395–402.
Hitam Sebagai Alternatif Makanan Selingan González-Soto, R. A., R. Mora-Escobedo, H.
Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Hernández-Sánchez, M. Sánchez-Rivera, and
Aplikasi Teknologi Pangan 3 (3): 98–102. L. A. Bello-Pérez. 2007. The Influence of Time
Behall, K.M, and J. Hallfrisch. 2002. Plasma Glucose and Storage Temperature on Resistant Starch
and Insulin Reduction after Consumption of Formation from Autoclaved Debranched Banana
Breads Varying in Amylose Content. European Starch. Food Research International 40: 304–10.
Journal of Clinical Nutrition 56: 913–20. Hannan, J. M.A., L. Ali, R. Begum. J. Khaleque,
Björck, I., and H. L. Elmståhl. 2003. The Glycaemic M Akhter, P. R Flatt, and Y. H.A Abdel-Wahab.
Index: Importance of Dietary Fibre and Other 2007. Soluble Dietary Fibre Fraction of Trigonella
Food Properties. Proceedings of the Nutrition Foenum-Graecum (Fenugreek) Seed Improves
Society 62: 201–206. Glucose Homeostasis in Animal Models of Type
Butt, M.S., F.M. Anjum, Salim-ur-Rehman, M. 1 and Type 2 Diabetes by Delaying Carbohydrate
Tahir-Nadeem, M.K. Sharif and M. Anwer . Digestion and Absorption, and Enhancing Insulin
2008. Selected Quality Attributes of Fine Action. British Journal of Nutrition 97: 514–521.
Basmati Rice: Effect of Storage History Haryadi. 2008. Teknologi Pengolahan Beras. Gadjah
and Varieties. International Journal of Food Mada University Press, Yogyakarta.
Properties, 11:3, 698–711, Hasan, Verawati., S. Astuti, dan Susilawati. 2011.
CAC [Codex Alimentarius Commission]. 2009. Indeks Glikemik Oyek Dan Tiwul Dari Umbi
Alinorm 09/32/26. Appendix II. Report of the Garut (Marantha Arundinaceae L.), Suweg
30th Session of the Codex Committee on (Amorphallus Campanullatus BI) Dan Singkong
Nutrition and Foods for Special Dietary Uses. (Manihot Utilisima). Jurnal Teknologi Industri
South Africa 3 – 7 November 2008]. Rome (IT): Dan Hasil Pertanian 16 (1): 34–50.
FAO. hlm 46. http://www.codexalimentarius.net/ Hu, Peisong., H. Zhao, Z. Duan, Z. Linlin, and D. Wu.
dowload/report/710/ al32_26e.pdf. [diakses 5 2004. Starch Digestibility and The Estimated
September 2019]. Glycemic Score of Different Types of Rice
Chiang, P. Y and A. I. Yeh. 2002. Effect of Soaking on Differing in Amylose Contents. Journal of Cereal
Wet-Milling of Rice. Journal of Cereal Science Science 40: 231–37.
35: 85–94. Hubeis M. 1984. Pengembangan Metode Uji
Dewi, Shofia Kusuma. 2008. Pembuatan Produk Nasi Kepulenan Nasi. Thesis di Institut Pertanian
Singkong Instan Berbasis Fermented Cassava Bogor.

Karakteristik Fisikomia dan Fungsional Nasi Instan 101


Sri Widowati, Kirana S. Sasmitaloka, dan Imia Ribka Banurea
Indrasari, S.D., E.Y. Purwani, P. Wibowo, dan Jumali. Prom-u-thai, Chanakan., L. Huang, R. P. Glahn, R.
2008. Nilai Indeks Glikemik Beras Beberapa M. Welch, S. Fukai, and B. Rekasem. 2006. Iron
Varietas Padi. Penelitian Pertanian Tanaman (Fe) Bioavailability and the Distribution of Anti-
Pangan 27 (3): 127–34. Fe Nutrition Biochemicals in the Unpolished,
Jenkins, D.J.A., D.M. T.M.S.Wolever, R.H. Taylor, Polished Grain and Bran Fraction of Five Rice
H. Barker, Hashmein Fielden, J.M. Baldwin, A. Genotypes. Journal of the Science of Food and
C. Bowling, H. C. Newman, A. L. Jenkins, and Agriculture 86: 1209–15.
D. V. Goff. 1981. Glycemic Index of Food: A Pruett, Ashley. 2010. A Comparison of The Glycemic
Physiological Basis for Carbohydrate Exchange. Index of Sorghum and Other Commonly
The American Kournal of Clinical Nutrition 34: Consumed Grains. Thesis at Kansas State
362–66. University.
Juliano, Bienvenido O. 1972. The Rice Caryopsis Rewthong, Orrawan., S. Soponronnarit,
and Its Composition In Rice Chemistry and C. Taechapairoj, P. Tungtrakul, and S.
Technology, 16–74. Chemistry Departement, The Prachayawarakorn. 2011. Effects of Cooking,
International Rice Research Institute, Philippines. Drying and Pretreatment Methods on Texture
Luna, Prima., H. Herawati, S. Widowati, dan A. B. and Starch Digestibility of Instant Rice. Journal
Prianto. 2015. Pengaruh Kandungan Amilosa of Food Engineering 103. Elsevier Ltd: 258–64.
Terhadap Karakteristik Fisik dan Organoleptik Rimbawan dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik
Nasi Instan. Jurnal Penelitian Pascapanen Pangan, Cara Mudah Memilih Pangan yang
Pertanian 12 (1): 1–10. Menyehatkan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Meullenet, Jean-Francois., B.P. Marks, Jean-Ann Sasmitaloka, K. S., S. Widowati, and E. Sukasih.
Hankins, V. K. Griffin, and M.J. Daniels. 2000. 2019. Effect of Freezing Temperature and
Sensory Quality of Cooked Long-Grain Rice Duration on Physicochemical Characteristics of
as Affected by Rough Rice Moisture Content, Instant Rice. IOP Conference Series: Earth and
Storage Temperature, and Storage Duration. Environmental Science 309.
Cereal Chemistry 77 (2): 259–63. Setyawan, B.H. and F. Doddy. 2011. Pengaruh
Muchtadi, D., N.S. Palupi dan M. Astawan. 1992. Penyimpanan Terhadap Kualitas Beras :
Metoda Kimia, Biokimia dan Biologi dalam Perubahan Sifat Fisik Selama Penyimpanan.
Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar Universitas Diponegoro.
Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Sutrisno, A. D., Sumartin, and D. K. Sari. 2018. Kajian
Neumann, H.J. 1972. Dehydrated Celery: Effects Konsentrasi Larutan Penyalut (Susu Skim, Fero
of Predrying Treatments and Rehydration Fumarat dan Tiamin) dan Jenis Varietas Beras
Procedures on Reconstitution. Journal of Food Terhadap Kandungan Nutrisi Beras. Pasundan
Science 37: 437–41. Food Technology Journal 5(3): 215-224.
Noviasari, Santi., F. Kusnandar, A. Setiyono, dan S. Syamsiah, Siti., R. Nurmalina, dan A.Fariyanti. 2015.
Budijanto. 2015. Beras Analog Sebagai Pangan Analisis Sikap Petani Terhadap Penggunaan
Fungsional Dengan Indeks Glikemik Rendah. Benih Padi Varietas Unggul Di Kabupaten
Jurnal Gizi dan Pangan 10 (3): 225–32. Subang Jawa Barat. AGRISE 16 (3).
Nurhayati. 2011. Peningkatan Sifat Prebiotik Tepung Tester, R.F., J. Karkalas, and X. Qi. 2004. Starch
Pisang Dengan Indeks Glikemik Rendah Melalui Structure and Digestibility Enzyme-Substrate
Fermentasi Dan Siklus Pemanasan Bertekanan- Relationship. World’s Poultry Science Journal
Pendinginan. Disertasi di Institusi Pertanian Bogor. 60: 186–95.
Nurnayetti, dan Atman. 2013. Keunggulan Kompetitif Tester, R. F., and J. Karkalas. 1996. Swelling and
Padi Sawah Varietas Lokal Di Sumatera Gelatinization of Oat Starches. Cereal Chemistry
Barat. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan 73 (2): 271–77.
Teknologi Pertanian 16 (2): 102–10. Trinidad, Trinidad P., A.C. Mallillin, R. S. Sagum,
Ong, M.H., and J.M.V Blanshard. 1995. Texture and R. R. Encabo. 2010. Glycemic Index of
Determinants of Cooked, Parboiled Rice. II: Commonly Consumed Carbohydrate Foods in
Physicochemical Properties and Leaching The Philippines. Journal of Functional Foods 2.
Behaviour of Rice. Journal of Cereal Science Elsevier Ltd: 271–74.
21: 261–69. Widowati, Sri. 2008. Karakteristik Beras Instan
Prasert, Waraporn and P. Suwannaporn. 2009. Fungsional dan Peranannya Dalam Menghambat
Optimization of Instant Jasmine Rice Process Kerusakan Pankreas. Journal Pangan 52 (17):
and Its Physicochemical Properties. Journal of 51–60.
Food Engineering 95: 54–61.

102 PANGAN, Vol. 29 No. 2 Agustus 2020 : 87 – 104


Widowati, Sri., B.A. Susila Santosa, Made Astawan,
BIODATA PENULIS:
and Akhyar. 2009. Penurunan Indeks Glikemik
Berbagai Varietas Beras Melalui Proses Sri Widowati dilahirkan di Magelang, 16 November
Pratanak. Jurnal Pascapanen 6 (1): 1–9. 1959. Penulis menyelesaikan pendidikan S1
Widowati, Sri., B.A. Susila Santosa, S Lubis, H di Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas
Herawati, dan P Luna. 2011. Pengembangan Gadjahmada, pendidikan S2 di The University of
Teknologi Produksi Nasi Instan dengan Waktu New South Wales, Australia dan pendidikan S3
Rehidrasi Singkat. Laporan Hasil Penelitian di Ilmu Pangan, IPB.
BB Pascapanen. Kirana Sanggrami Sasmitaloka dilahirkan
Widowati, Sri., Sunarmani, Ermi Sukasih, Sandi di Purwokerto, 8 Desember 1988. Penulis
Darniadi, Kirana S Sasmitaloka. 2018. menyelesaikan pendidikan S1 Teknologi Industri
Pengembangan Teknologi Produk Cepat Saji Pertanian di Institut Pertanian Bogor dan S2
dari Komoditas Pangan Lokal. Laporan Hasil Teknologi Industri Pertanian di Institut Pertanian
Penelitian di BB Pascapanen. Bogor.
Widowati, Sri dan K.S. Sasmitaloka. 2018. Nasi Imia Ribka Banurea dilahirkan di Jakarta, 25
Instan: Siap Santap dalam Lima Menit. WARTA Maret 1988. Penulis menyelesaikan pendidikan S1
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 40 Teknik Kimia di Universitas Indonesia.
(6): 17-18.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yu, Kuang-Cheng., Chien-Cheng. Chen, and Pei-
Cheng Wu. 2011. Research on Application and
Rehydration Rate of Vacuum Freeze Drying of
Rice. Journal of Applied Sciences 11 (3): 535–
41.
Yusof, B.N.M., R. A. Talib, and N. A. Karim. 2005.
Glycaemic Index of Eight Types of Commercial
Rice in Malaysia. Malaysian Journal of Nutrition
11 (2): 151–63.
Zabidi, M.A, and N.A.A. Aziz. 2009. In Vitro Starch
Hydrolysis and Estimated Glycaemic Index of
Bread Substituted with Different Percentage of
Chempedak (Artocarpus Integer) Seed Flour.
Food Chemistry 117. Elsevier Ltd: 64–68.

Karakteristik Fisikomia dan Fungsional Nasi Instan 103


Sri Widowati, Kirana S. Sasmitaloka, dan Imia Ribka Banurea
104 PANGAN, Vol. 29 No. 2 Agustus 2020 : 87 – 104

Anda mungkin juga menyukai