Anda di halaman 1dari 2

Apa komentar mereka?

“Sedikit sekali yang kita tahu tentang Ibunda Khadijah r.a. kita
merindukannya dengan malu-malu. Takut salah, takut tak sopan, takut dosa?
Sampai, Sibel Eraslan menulis novel ini dan mengajari pembaca untuk
mencintainya dengan ekspresif, revolusioner, dan heroic. Bahasa tutur novel
ini membuat pembaca berhadapan langsung dengan Khadijah r.a. memahami
betapa akbar peran beliau bagi sejarah kenabian.”

Tasaro GK (Pengarang 2 novel laris tentang Muhammad saw: Lelaki


Penggenggam Hujan dan Para Pengeja Hujan)

“Membaca kisah para ibu di zaman sebelum dan sesudah tahun hijriah, hati
siapa pun di antara ummat-Nya niscaya akan tergetar. Sosok Ibunda Hajar
yang begitu penuh pengorbanan telah menginspirasi para muslimah, bahkan
hingga masa kini. Pun dengan Ibunda Khadijah r.a yang senantiasa
mengalirkan kekuatan mahadahsyat tatkala kita merasa terpuruk. Patutlah
Khadijah r.a menjadi cahaya kalbu Rasulullah saw karena kasih sayang,
kecerdasan, kegeniusan, dan kebajikannya tiada yang bisa menandingi hingga
akhir zaman. Buku yang wajib dimiliki para muslimah masa kini. “

Pipiet Senja (Penulis 124 buku)

“Inilah kisa sosok yang jadi first love seorang utusan Allah. Yang mendukung
Rasulullah saw dengan sepenuh daya dan cinta sampai hembusan napas
penghabisan.”

Ahmad Fuadi (Penulis Negeri 5 Menara dan Pendiri Komunitas Menara)

“Nikmat dibaca, menyentuh rasa, dan penuh spirit cinta. Novel bergizi sarat
makna. “

Abdul Hakim El Hamidy (Spiritual Motivator)

“Sarat makna cinta dengan pilihan bahasa yang indah dan pemikiran
mendalam, namun mudah dipahami.”

Ria Miranda (Young Muslim Fashion Designer)

“Membacanya seperti masuk kembali ke masa ribuan tahun lalu. Setiap kata-
katanya begitu menghadirkan keindahan ruang dan waktu kala itu. Buku
yang cerdas, hangat, dan penuh cinta.”

Oki Setiana Dewi (Aktris Muslimah dan Penulis Best Seller)


Prakata Penulis

Aku lupa semua puisi yang telah kuketahui saat memasuki Kakbah. Kemarin,
saat berlari di antara Safa dan Marwah, saudara wanitaku berkata, “Aku
bangga sekali kepada Bunda Hajar. Lihat saja, sejak ribuan tahun lalu semua
orang mengikuti larinya.”

Ka’bah terlihat seperti samudra, tempat bermuaranya semua sungai yang ada.
Percikan indah puisi dan lautan bagaikan kipas angin yang terpasang di
dinding rumah Allah, dengan baling-balingnya yang using dan penuh pedih
berputar-putar. Aku pun tak mampu mengkhatamkan al-Fatihah sepanjang
tawaf. “Aku hanya bisa membaca sampai lafaz Iyyakana’budu wa iyyaka
nastai’in.” Setelah membaca ayat itu, aku selalu saja terpaku. Kami pun
menangis saat bersama-sama berdoa di Hijr Ismail. Kami seperti merasakan
perjuangan, cinta dan keimanan Ibunda Hajar dan Khadijah. Menikmati
mereka sebagai guru yang mulia dan penuh kelembutan yang sedang
memberikan pelajaran ke dalam ruh kami. Kami kembali mengenal dan
bersaksi kepada Nabi Muhammad, utusan terakhir yang telah memberi contoh
dengan kehidupan dan pengajaran Rabbaninya.

Anak-anakku berpikir kalau geometri tidak berhubungan dengan sastra.


Padahal, sastra adalah seni geometri. Aku menggambarkan tiga titik yang
tidak parallel di buku catatan. Jika masing-masing titik dihubungkan satu
sama lain, pemahaman pertama matematika setiap anak di dunia ini adalah
bangun segitiga, dengan rumus Pitagoras yang mengatakan bahwa “Angka
pertama yang ada di planet adalah tiga”. Saya hitung luas bangun segitiga,
entah mengapa masih mengingatkanku pada sebuah puisi. Rasulullah yang
tercinta memiliki dua teman perjalanan. Yang satu seorang malaikat penghuni
langit, yaitu Jibril, dan yang satunya lagi adalah putrid dunia, Bunda
Khadijah. Allah yang menyebut Rasulullah dengan habibi telah memberikan
dua teman hidup untuk mendukungnya.

Malaikat di langit dan wanita di bumi..

“Engkau telah membahagiakanku dengan tiga hal di dunia ini.”

Sabda Nabi : “Wanita, bau yang harum, dan cahaya mataku adalah shalat…”

(Istanbul, 2009)

Anda mungkin juga menyukai