Anda di halaman 1dari 25

ANALISIS WARGA BINAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PEMERINTAH:

‘DESAKU MENANTI’ KOTA MALANG PENDEKATAN SUSTAINABLE


LIVELIHOOD ASSETS

ERLYN YUNIASHRI - 206020102111007

ABSTRAK
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana keadaan warga
binaan program pemberdayaan pemerintah dalam upaya mensejahterakan kehidupan
mereka setelah berhenti hidup di jalanan. Dengan menggunakan pendekatan Sustainable
Livelihood Assets (SLA) maka akan dilakukan pemetaan terhadap lima modal yaitu
human capital, natural capital, financial capital, social capital, dan physical capital.
Hasil dari pengamatan adalah warga binaan masih hidup di bawah kategori sejahtera dan
hunian yang dibangun pemerintah terkesan hanya sebagai tempat menampung eks-
gelandangan dan pengemis. Sehingga bisa disimpulkan program pemerintah dalam
memberdayakan gelandangan dan pengemis masih belum efektif.
Kata Kunci: Kesejahteraan, Program Pemerintah, Sustainable Livelihood Assets

ABSTRACT
This paper aims to examine the condition of assisted residents of government
empowerment program in order to develop their prosperity after they stop being homeless
and beggars. By using the Sustainable Livelihood Assets (SLA) approach, a mapping of
five capitals will be carried out, namely human capital, natural capital, financial capital,
social capital and physical capital. The result of the observation is that the assisted
residents are still living under the prosperous category and the houses built by the
government are impressed only as places to accommodate the ex-homeless and beggars.
So it can be concluded that the government program in empowering homeless people and
beggars is still not effective.
Keywords: Prosperity, Government Program, Sustainable Livelihood Assets
PENDAHULUAN
Kemiskinan selalu menjadi masalah yang kompleks dalam pembangunan
ekonomi terutama oleh negara berkembang seperti Indonesia. Setiap negara akan
berusaha keras untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal dan menurunkan
angka kemiskinan, karena pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan indikator
penting dalam kesuksesan suatu negara. Sehingga permasalahan kemiskinan ini selalu
menjadi perhatian serius dari pemerintah Indonesia. Kemiskinan di Indonesia tidak hanya
berkaitan dengan persoalan tingkat rendahnya pendapatan dan konsumsi (Kaluge, 2017).
Pendidikan, kesehatan, dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti proses
pembangunan juga menjadi salah satu permasalahan penyebab kemiskinan.
Penduduk miskin di Indonesia baik dalam pedesaan maupun perkotaan, sebagian
besar penduduk miskin berprofesi sebagai buruh tani, pedagang kecil, nelayan, pengrajin
kecil, buruh, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung, gelandangan dan
pengemis (gepeng), dan pengangguran. Apabila pemerintah tidak menangani kelompok
miskin tersebut secara serius dan tepat sasaran, maka akan terus mengalami problematika
yang berkelanjutan serta menciptakan kemiskinan kultural dan struktural, terutama bagi
generasi selanjutnya. Masyarakat Indonesia yang belum tersentuh oleh kebijakan
pembangunan ekonomi pemerintah pada umumnya adalah masyarakat miskin (Kadji,
2012). Kondisi ini disebabkan oleh tingkat kualitas sumber daya manusia yang rendah
sehingga kurang memanfaatkan fasilitas, pelatihan yang minimal, serta perlindungan
hukum yang kurang memihak kepada masyarakat miskin.
Dalam upaya pengentasan kemiskinan, pemerintah berperan sangat besar karena
pemerintah yang memiliki kendali atas penentuan kebijakan dalam pembangunan
ekonomi. Pemerintah juga diharapkan untuk membuat kebijakan pembangunan ekonomi
yang tepat sasaran untuk menanggulangi angka kemiskinan. Untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi yang seimbang sehingga jumlah keluarga miskin dapat berkurang,
pemerintah perlu melakukan pengawasan dan pengaturan dalam kegiatan produksi,
distribusi, dan komoditas (Herlina, 2017).
Kabupaten Malang merupakan salah satu daerah dengan jumlah penduduk
terbesar dan wilayah terluas. Luas wilayah Kabupaten Malang sebesar 3.530,65 km2 dan
tercatat total populasi penduduk Kabupaten Malang hingga 2020 sebanyak 2.654.448
jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk 690/km2 (1,800/sq mi). Daerah administrasi
Kabupaten Malang memiliki 33 Kecamatan. Kabupaten Malang memiliki banyak objek
pariwisata yangmana pantai adalah objek pariwisata yang paling banyak diminati
wisatawan, namun akses untuk menuju ke pantai cukup terbatas dan susah untuk dilalui
kendaraan besar. Padahal pantai ini bisa menjadi potensi terbesar dari Kabupaten Malang
mengingat Kabupaten Malang memiliki 39 pantai, sedangkan hanya 5 pantai saja yang
sering didatangi oleh wisatawan.

Gambar peta Kabupaten Malang

Tingginya aktivitas perekonomian di Kabupaten Malang membuat Kabupaten


Malang menjadi peringkat 6 dari 33 Kabupaten/Kota dengan PDRB tertinggi di Jawa
Timur. Namun demikian, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Malang pada tahun
2020 tercatat sebanyak 265.560 jiwa atau sebesar 10% dari total penduduk Kabupaten
Malang, sedangkan rata-rata masyarakat miskin di Jawa Timur sebesar 13%. Tingkat
kriminalitas di Kabupaten Malang cenderung lebih tinggi dibandingkan wilayah Kota
Malang. Apabila angka kriminalitas dikaitkan dengan kemiskinan, maka kedua variabel
ini saling berhubungan. Tingginya angka kemiskinan bisa memicu berbagai
permasalahan sosial yang disebabkan oleh desakan ekonomi dan tingkat pendidikan.
Gambar peta Kota Malang

Angka kemiskinan di Kota Malang berada jauh di bawah rata-rata angka


kemiskinan di Kabupaten Malang, hal ini membuat Kota Malang menjadi kota dengan
angka kemiskinan terendah di Jawa Timur setelah Kota Batu. Wilayah administrasi Kota
Malang jauh lebih sempit dibandingkan Kabupaten Malang, hanya seluas 145,28 km2 dan
total jumlah penduduk sebanyak 887.443 jiwa dengan kepadatan penduduk 2,500/km2
(6,400/sq mi).
Gelandang dan pengemis merupakan salah satu masalah sosial yang sering
dijumpai di kota-kota besar. Semakin pesatnya pembangunan menaikkan angka
gelandang dan pengemis. Hal ini disebabkan pesatnya pembangunan suatu kota yang
tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja (Fitri, 2019). Keberadaan
gelandangan, pengemis, dan anak terlantar yang tersebar di Kota/Kabupaten Malang
menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Keberadaan mereka sering berujung
dengan tindak kriminalitas seperti pengrusakan, pengeroyokan, kejahatan senjata tajam,
pencurian dan curanmor, serta penyalahgunaan narkoba. Persebaran tindak kejahatan di
Kota/Kabupaten Malang berdasarkan data BPS pada tahun 2019 dan 2020 menunjukkan
peningkatan.
Kota Malang Kabupaten Malang
Tindak Kejahatan
2019 2020 2019 2020
Pengrusakan 3 9 19 55
Pengeroyokan 16 29 38 73
Kejahatan Senjata Tajam - 2 15 29
Pencurian dan Curanmor 341 497 358 521
Penyalahgunaan Narkoba 210 211 314 337
Sumber Data: Badan Pusat Statistika Kabupaten/Kota Malang

Sebagai salah satu daerah dengan wilayah administrasi terluas di Jawa Timur dan
salah satu kota besar di Indonesia, peningkatan angka kriminalitas selalu menjadi momok
bagi pemerintah pusat maupun daerah. Beberapa penyebab adanya kriminalitas adalah
munculnya kesenjangan sosial di tengah masyarakat, kebutuhan ekonomi yang
mendesak, hingga terbatasnya lapangan pekerjaan. Pemerintah daerah telah berupaya
melakukan berbagai cara untuk menanggulangi keberadaan gelandang dan pengemis,
akan tetapi upaya dari pemerintah masih belum signifikan berhasil, bahkan banyak dari
gelandang dan pengemis kembali melakukan tindakan menyimpang serta kembali
menggelandang dan mengemis. Beberapa keterbatasan yang dihadapi gelandangan dan
pengemis membuat mereka sulit bangkit untuk mendapatkan kehidupan yang layak
(Merlindha, 2015).
Berkenaan dengan hal itu, Direktorat Rehabilitasi Sosial dari Kementerian Sosial
mencanangkan sebuah program untuk menanggulangi gelandangan dan pengemis di
kota-kota besar, yaitu “Program Desaku Menanti: Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan
Pengemis Terpadu Berbasis Desa”. Beberapa syarat yang harus dilakukan oleh
Pemerintah Daerah untuk dapat mengembangkan program tersebut adalah dengan
menyediakan lahan yang akan dibangun hunian tetap, pengadaan air bersih, dan instalasi
listrik. Hunian tetap yang dibangun dalam program Desaku Menanti akan ditempati oleh
gelandangan dan pengemis, dengan harapan gelandangan dan pengemis tidak akan
bertebaran di wilayah Kota/Kabupaten serta mendapatkan perlindungan yang layak.
Dalam studi kasus pemerintah daerah Kota Malang mengembangkan model
rehabilitasi sosial “Desaku Menanti” dan dialokasikan ke Tlogowaru, Kedungkandang,
Kota Malang. Dengan mengusung konsep Wisata Kampung Seribu Topeng, diharapkan
masyarakat yang dahulunya adalah gelandangan dan pengemis menjadi berdaya dan
mendapatkan penghasilan berdasarkan hasil pengelolaan wisata Kampung Seribu
Topeng. Dengan demikian, penulisan makalah ini mengkaji kondisi keberlanjutan
lingkungan, infrastruktur, ekonomi, sosial, kelembagaan, serta tingkat penghidupan
berkelanjutan masyarakat hasil pemberdayaan pemerintah program “Desaku Menanti:
Kampung Seribu Topeng, Kota Malang”.

PEMBAHASAN
1. Program Desaku Menanti: Kampung Seribu Topeng Kota Malang
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Pasal 1
tentang Kesejahteraan Sosial, rehabilitasi sosial adalah proses refungsionalisasi dan
pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya
secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Kementerian sosial selaku aparatur negara
yang memiliki tugas untuk menyelenggarakan urusan di bidang sosial mencanangkan
program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis melalui pengembangan model
program “Desaku Menanti”.
Program Desaku Menanti diharapkan menjadi solusi bagi Indonesia untuk
mewujudkan negara bebas anak jalanan, gelandangan, dan pengemis yang kerapkali
menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat (Andari, 2019). Dalam program Desaku
Menanti, para gelandangan dan pengemis difasilitasi rumah yang dilengkapi listrik, air
bersih, bantuan perabotan rumah, bantuan usaha, serta beberapa pelatihan agar
gelandangan dan pengemis dapat melanjutkan kehidupan yang layak secara mandiri,
sementara itu bagi anak-anak akan kembali mendapatkan fasilitas pendidikan formal.
Program Desaku Menanti merupakan program terpadu berbasis desa dengan
melibatkan Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kota/Kabupaten, Lembaga Kesejahteraan Sosial, Gelandangan dan Pengemis selaku
subjek penerima program, serta masyarakat lain yang siap melakukan donasi sosial.
Tujuan dari program ini adalah meningkatkan keberfungsian sosial keluarga gelandangan
dan pengemis dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar. Beberapa Kota/Kabupaten yang
telah mengadakan program “Desaku Menanti” adalah Kota Padang, Kota Malang, dan
Kabupaten Jeneponto.
Berkaitan dengan pelaksanaan program “Desaku Menanti” terdapat beberapa
tahapan yang harus dilakukan oleh pemerintah, adapun beberapa tahapan tersebut
berdasarkan data Kementerian Sosial adalah:
a. Rapat koordinasi, berbagai pihak yang terkait dalam pelaksanaan program seperti
Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah, Lembaga Sosial Masyarakat, dan
masyarakat khususnya gelandangan dan pengemis. Kerjasama dilakukan agar
pelaksanaan program “Desaku Menanti” berjalan dengan baik.
b. Verifikasi data, pemerintah mengumpulkan data-data terkait lokasi atau desa yang
nantinya akan dibangun program “Desaku Menanti” serta memverifikasi data
gelandangan dan pengemis yang akan diberi bantuan, dengan ketentuan apakah
penerima bantuan memenuhi syarat atau tidak.
c. Pengolahan data, data yang telah dikumpulkan akan diolah sehingga output dari tahap
ini adalah gelandangan dan pengemis yang telah siap menerima bantuan.
d. Bimbingan rehabilitasi sosial, memberikan bimbingan kepada eks gelandangan dan
pengemis agar mereka dapat keluar dari permasalahan sosial dan dapat membantu
mengubah pola pikir untuk berusaha mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
e. Pemberian bantuan, pemberian bantuan dilakukan oleh Kementerian Sosial yang akan
diserahkan kepada Lembaga Kesejahteraan Sosial yang diberi amanah untuk
mendampingi warga binaan eks gelandangan dan pengemis.
f. Supervise, setelah program terlaksana, maka akan dilanjutkan dengan pengawasan
terhadap program, agar visi dan misi dari tujuan tersebut dapat tercapai.
Inisiasi program Desaku Menanti di Kota Malang mulai dilakukan pada tahun
2016 oleh Kementerian Sosial dan Walikota Malang pada saat itu dengan sasaran
gelandangan dan pengemis. Rehabilitasi sosial ditempatkan di Tlogowaru,
Kedungkandang, Kota Malang yang berjarak 30 menit dari pusat kota, dengan
mengusung tema Kampung Wisata Desaku Menanti: Kampung Seribu Topeng.
Gambar peta menuju Kampung Seribu Topeng, Tlogowaru Kedungkandang,
Malang

Sebanyak 40 rumah telah dibangun di wilayah Tlogowaru Kedungkandang lokasi


yang cukup representatif untuk warga binaan tempati, karena terletak di lokasi yang
tenang, jauh dari keramaian, dan termasuk dataran tinggi. Kementerian Sosial beserta
pemerintah daerah sebelumnya melakukan pendataan dan pemberian keterampilan
kepada eks-gepeng atau warga binaan calon penghuni Kampung Seribu Topeng.
Beberapa bantuan yang diberikan pemerintah berupa pendirian rumah, bantuan usaha
ekonomi produktif, bantuan untuk membeli peralatan rumah tangga, dan bantuan jaminan
hidup yang diberikan selama 3 bulan.
Harapan pemerintah dengan adanya Kampung Seribu Topeng adalah terciptanya
Kota Malang bebas gelandangan dan pengemis serta mendapatkan kehidupan yang layak
dan mandiri secara finansial. Berdasarkan data BPS Kota Malang angka kemiskinan pada
tahun 2017 mengalami penurunan sebesar 0,27% dibanding tahun sebelumnya, apabila
jumlah penduduk miskin mengalami penurunan implikasinya tingkat kesejahteraan Kota
Malang meningkat.
Pemerintah memberikan berbagai pelatihan salah satunya pelatihan
kewirausahaan kepada masyarakat eks-gelandangan dan pengemis Kampung Seribu
Topeng. Pelatihan kewirausahaan diberikan agar Kampung Seribu Topeng bisa menjadi
salah satu objek wisata di Kota Malang yang nantinya hasil dari pengelolaan Wisata
Kampung Seribu Topeng akan dimanfaatkan kembali masyarakat setempat. Selain itu,
pemerintah Kota Malang juga memberikan bantuan usaha bagi masyarakat yang ingin
membuka kios-kios makanan, toko kelontong, dan pembuatan souvenir yang akan dijual
lagi.

Gambar contoh rumah warga binaan yang dibangun oleh pemerintah

Selama satu tahun program Kampung Seribu Topeng berjalan, 40 rumah terisi
penuh. Namun pada tahun 2018 terjadi penurunan jumlah penghuni menjadi 29 KK.
Terdapat beberapa alasan mengenai turunnya jumlah penghuni Kampung Seribu Topeng:
a. Penurunan pendapatan dan visitasi di Kampung Seribu Topeng sehingga
menyebabkan menurunnya pendapatan masyarakat setempat.
b. Berhubungan dengan alasan pertama, beberapa penghuni kembali menjadi
gelandangan dan pengemis di kota dengan alasan pendapatan yang didapatkan lebih
besar daripada mengelola wisata Kampung Seribu Topeng.
c. Masyarakat Kampung Seribu Topeng berasumsi bahwa kehidupan mereka akan
selamanya didukung oleh pemerintah, sehingga ketika masa bantuan telah habis
masyarakat kecewa dan memutuskan untuk keluar dari Kampung Seribu Topeng.
Sejatinya maksud pemerintah adalah memberikan dukungan finansial, fisik, dan
moral selama satu tahun lalu masyarakat bisa melanjutkan kehidupan layak yang
mandiri dengan berbekal bantuan dan pelatihan yang telah diberikan oleh pemerintah.
d. Beberapa penghuni Kampung Seribu Topeng lebih suka hidup di jalanan, sehingga
mereka memutuskan untuk keluar dari Kampung Seribu Topeng.
Dinas Sosial Kota Malang terus berupaya untuk mengurangi gelandangan dan
pengemis, sehingga rumah-rumah di Kampung Seribu Topeng yang sebelumnya ditinggal
oleh penghuni lama kembali ditempati dan tercatat sebanyak 34 KK yang menghuni
Kampung Seribu Topeng di tahun 2019 hingga tahun 2020. Lembaga Kesejahteraan
Sosial Mutiara Insani ikut berpartisipasi memberikan bantuan dalam bentuk pelatihan
pembuatan keripik tempe. Warga binaan juga mendapatkan donasi berupa sembako,
uang, dan baju layak pakai. Selain itu, warga binaan diberikan pengarahan dan
pendampingan bagaimana cara mengelola keuangan keluarga.

2. Analisis Sustainable Livelihood Assets Warga Binaan Desaku Menanti Kota


Malang
Pendekatan Kehidupan Berkelanjutan (Sustainable Livelihood/SL) adalah alat
analisis yang berguna untuk memahami berbagai faktor yang mempengaruhi
penghidupan seseorang. Kerangka kerja yang digunakan dalam studi kasus warga binaan
Program Desaku Menanti lebih memahami bagaimana warga binaan mengembangkan,
mengelola, dan mempertahankan usahanya dalam memenuhi kebutuhan hidup dasar
berdasarkan berbagai bantuan yang telah diberikan oleh Kementerian Sosial dan
Pemerintah Daerah.
Dalam menentukan tingkat keberlanjutan matapencaharian rumah tangga warga
binaan, seringkali lima asset utama dalam pendekatan kehidupan berkelanjutan ikut
dipertimbangkan. Asset ini berkontribusi membantu meningkatkan situasi keluarga
dalam menanggapi tekanan sebagai salah satu bentuk penyesuaian diri dalam jangka
waktu tertentu. Lima pilar asset yang dikemukakan meliputi modal sumber daya manusia,
modal alam, modal finansial, modal fisik, dan modal sosial.

2.1 Modal Manusia (Human Capital)


Komponen asset utama yang menduduki peringkat paling atas adalah modal
sumber daya manusia. Manusia menjadi subjek utama dalam mengatur, mengendalikan,
menjalankan, dan mengevaluasi setiap tindakan atau kegiatan yang dilakukan pada studi
kasus. Sehingga peran sumber daya manusia menjadi sangat penting dalam hal ini, karena
manusia yang langsung terlibat dengan suatu kegiatan. Pendidikan, keterampilan, dan
kesehatan merupakan bentuk dari modal manusia yang mengacu pada tenaga kerja yang
tersedia dalam rumah tangga.
Dalam makalah ini modal manusia adalah modal yang berupa tingkat pendidikan
dan keterampilan warga binaan Kampung Seribu Topeng dalam menunjang pengelolaan
kampung wisata yang telah diberdayakan oleh pemerintah.
2.1.1 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan warga binaan Kampung Seribu Topeng merupakan
hal yang penting dalam pengembangan pengetahuan, penerimaan informasi, dan
salah satu komponen yang mampu meningkatkan strategi bertahan hidup dengan
layak.

Tidak Sekolah

SD

SMP

SMA/SMK

D3/S1

0 5 10 15 20

Grafik tingkat pendidikan 34 kepala keluarga warga binaan


Semua kepala keluarga warga binaan sempat mendapatkan pendidikan
formal. Namun, tingkat pendidikan kepala keluarga warga binaan hanya terbagi
menjadi 3 tingkatan pendidikan yang didominasi oleh pendidikan lulusan SMP
sebanyak 18 kepala keluarga, lalu diikuti dengan pendidikan SD sebanyak 10
kepala keluarga, dan pendidikan SMA/SMK sebanyak 6 kepala keluarga.
2.1.2 Tingkat Keterampilan
Keterampilan merupakan salah satu strategi untuk menunjang kehidupan
yang tidak selalu didapatkan dari pendidikan formal. Pendidikan informal atau
pelatihan yang pernah ditempuh juga mampu meningkatkan tingkat keterampilan
seseorang. Dalam tingkat keterampilan berkaitan dengan kemampuan kepala
keluarga warga binaan seperti berdagang, membuat souvenir dan menjualnya,
menari tradisional Malangan, pertukangan, dan kemampuan leadership untuk
mengatur Kampung Seribu Topeng.

Baik Cukup Kurang

Diagram tingkat keterampilan 34 kepala keluarga warga binaan

Terdapat 3 kategori dalam penilaian tingkat keterampilan. Kategori baik


adalah ketika kepala keluarga memiliki keterampilan diluar pendidikan formal
dan mampu menghasilkan pendapatan untuk keluarganya. Kategori cukup adalah
ketika kepala keluarga memiliki keterampilan tapi tidak memanfaatkan
keterampilan tersebut. Sedangkan, kategori kurang adalah kepala keluarga yang
tidak memiliki keterampilan sama sekali dan hanya menggantungkan pendapatan
pada pengelolaan Kampung Seribu Topeng.
Sebagian besar kepala keluarga memiliki keterampilan dengan kategori
cukup, dimana kepala keluarga hanya menggantungkan pendapatannya dari hasil
pengelolaan Kampung Seribu Topeng. Pada kondisi pandemi, Kampung Seribu
Topeng mengalami penurunan pendapatan yang cukup signifikan, bagi para
kepala keluarga dengan keterampilan kategori cukup maka salah satu cara untuk
bertahan hidup adalah dengan kembali memulung, mengamen, dan
menggelandang di jalan. Sedangkan kepala keluarga warga binaan dengan
keterampilan kategori baik hanya sebesar 8% saja atau sebanyak 3 kepala
keluarga. Kepala keluarga ini bertahan hidup dengan berdagang kelontong dan
souvenir di teras rumahnya.

2.2 Modal Alam (Natural Capital)


Dalam konsep penghidupan, modal sumberdaya alam bisa menjadi daya dukung
dan nilai manfaat. Gambaran dari modal alam ini adalah sebuah kepemilikan atau
penguasaan bersama atas sumberdaya alam seperti, tanah dan air yang bisa dijadikan
modal produksi. Istilah modal alam digunakan dimana sumberdaya alam bisa digunakan
dan menjadi pendukung dalam mata pencaharian (Kabir, 2012).
Kondisi asset sumberdaya alam milik warga binaan Kampung Seribu Topeng
sangat terbatas. Kondisi tanah Kampung Seribu Topeng berupa tanah gunung bebatuan
yang terjal, sehingga tidak terlihat warga binaan yang memanfaatkan lahan untuk
bercocok tanam.
Sedangkan akses air yang ada pada Kampung Seribu Topeng berasal dari PDAM
yang telah disediakan oleh pemerintah. Warga binaan berinisiatif untuk membuat
tampungan air hujan yang difungsikan sebagai aliran air untuk mencuci baju dan akses
air toilet komunal.
Gambar kondisi tanah Kampung Seribu Topeng

Gambar tampungan air hujan dan toilet komunal di Kampung Seribu Topeng

2.3 Modal Finansial (Financial Capital)


Modal finansial merupakan sumber-sumber keuangan yang dapat digunakan
dalam salah satu strategi penghidupan warga binaan dan hal mutlak yang harus dipenuhi
dalam menjalankan kegiatan bisnis. Modal finansial memiliki pengaruh terhadap
pengembangan dan ekspansi bisnis. Modal finansial ini terdiri dari penghasilan, tabungan
atau simpanan, kredit/hutang/hibah, keuntungan bisnis, dan lain sebagainya. Modal
finansial yang diamati dalam penulisan makalah ini adalah penghasilan, kredit, dan
keuntungan bisnis.
Sesuai dengan konsep pendirian Desaku Menanti, keadaan finansial warga binaan
dibantu oleh pemerintah dalam kurun waktu beberapa bulan saja, ketika masa bantuan
finansial sudah habis maka diharapkan warga binaan mampu bertahan hidup dengan
mandiri secara finansial. Pada awalnya, warga binaan diberikan dana untuk memenuhi
beberapa kebutuhan pokok dan diberikan modal usaha bagi warga binaan yang berminat
untuk membuka usaha. Namun, setelah masa pemberian dana dari pemerintah telah
selesai, warga binaan kembali kebingungan untuk mendapatkan penghasilan. Sehingga
warga binaan sekarang hanya bergantung kepada lembaga-lembaga sosial yang mau
bersedekah. Bahkan, beberapa warga binaan kembali memulung, mengamen, dan
menggelandang di jalan untuk bertahan hidup. Hingga kini beberapa warga binaan yang
masih bertahan di Kampung Seribu Topeng mengharapkan adanya lembaga-lembaga
sosial non-kepemerintahan untuk berdonasi kepada mereka.
Beberapa kepala keluarga ada yang mengambil kredit atau hutang secara tidak
resmi untuk membeli sepeda motor atau handphone. Hal ini terjadi karena persyaratan
administratif dari perbankan yang sangat tidak mungkin bisa dipenuhi oleh warga binaan.
Selain itu, warga binaan juga kurang memiliki literasi mengenai fasilitas keuangan,
mengingat keterbatasan informasi dan tingkat pendidikan yang mereka miliki. Tetapi
kepemilikan sepeda motor dan handphone tidak digunakan sebagai barang produktif oleh
warga binaan. Sehingga terdapat beberapa warga binaan ada yang mengalami kesulitan
membayar kredit atau hutang tersebut. Disamping itu, warga binaan tidak memiliki
tabungan karena minimnya pendapatan yang mereka dapatkan dalam sebulan.
Pendapatan mereka cenderung digunakan untuk konsumsi kebutuhan primer sehari-hari.
Padahal, asset sepeda motor yang mereka miliki berpotensi untuk menghasilkan
pendapatan. Penyebab lemahnya financial capital warga binaan adalah lemahnya literasi
keuangan dalam menentukan tujuan dan perencanaan keuangan rumah tangga.
Gambar kondisi perumahan dan kendaraan yang dimiliki warga binaan

2.4 Modal Fisik (Physical Capital)


Sumberdaya fisik merupakan prasana dasar yang dibangun untuk memudahkan
warga binaan dalam rangka pengelolaan asset penghidupan untuk melakukan kegiatan
produktif. Modal fisik yang dimaksud adalah akses jalan, transportasi, telekomunikasi,
dan lain sebagainya. Modal fisik yang diidentifikasi dalam penulisan makalah ini adalah
akses jalan serta moda transportasi yang tersedia pada Kampung Seribu Topeng.
Akses jalan di dalam Kampung Seribu Topeng dikategorikan baik. Karena 90%
wilayah dari Kampung Seribu Topeng telah dibangun jalan yang layak dengan
menggunakan paving blok yang ramah lingkungan karena dapat mencegah banjir. Jalan
di Kampung Seribu Topeng juga masih tergolong dalam kondisi bagus, karena akses jalan
di Kampung Seribu Topeng yang jarang dilalui oleh kendaraan berat.
Moda transportasi yang dimaksud adalah alat angkut yang digunakan untuk
berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Sedangkan untuk ketersediaan moda
tranportasi di Kampung Seribu Topeng dikategorikan buruk. Kampung Seribu Topeng
terletak di daerah yang cukup jauh dan tidak dilalui banyak transportasi umum. Namun,
sebagian besar kepala keluarga memiliki kendaraan pribadi seperti sepeda motor yang
digunakan sebagai alat transportasi utama mereka.
Sebagian anak-anak Kampung Seribu Topeng menempuh pendidikan formal
Sekolah Dasar. Meskipun akses jalan di Kampung Seribu Topeng tergolong layak, namun
anak-anak Kampung Seribu Topeng harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk
ke sekolah. Hal ini menyulitkan bagi beberapa anak yang keluarganya tidak memiliki
fasilitas kendaraan pribadi. Mengingat wilayah Kampung Seribu Topeng yang jauh dari
akses kendaraan umum.
Sementara kondisi fisik rumah warga binaan dengan dinding batako dan lantai
semen yang dikeraskan. Pada awalnya pemerintah membangun rumah tanpa fasilitas
toilet di masing-masing rumah, toilet yang dibangun oleh pemerintah berupa toilet
komunal yang digunakan bersama-sama. Namun beberapa warga binaan berinisiatif
untuk membangun toilet sendiri dengan dinding rotan dan terpal. Beberapa warga binaan
masih ada yang menggunakan fasilitas toilet bersama yang dibangun pemerintah.

Gambar akses menuju Kampung Seribu Topeng yang jauh dari jangkauan transportasi
umum.
Gambar kondisi jalan di perumahan Kampung Seribu Topeng

2.5 Modal Sosial (Social Capital)


Modal sosial merupakan merupakan suatu sumber daya yang mendorong
partisipasi dan tindakan bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama.
Modal sosial berkaitan dengan sekelompok masyarakat, organisasi, maupun institusi
informal lainnya yang menjalin sebuah ikatan sosial. Rendahnya sumberdaya sosial
berdampak pada kerentanan warga binaan karena tidak memiliki dukungan sosial
sehingga akan sulit mencapai kehidupan yang sejahtera.
Modal sosial warga binaan Kampung Seribu Topeng yang diamati dalam
penelitian ini adalah keterlibatan warga binaan dalam suatu organisasi dan konflik warga
binaan dalam pengelolaan Kampung Seribu Topeng. Organisasi yang ada pada Kampung
Seribu Topeng hanya sebatas organisasi tingkat Rukun Tetangga (RT) dengan kegiatan
kerja bakti, pembangunan resapan air, dan pembenahan beberapa fasilitas Kampung
Seribu Topeng.
Berdasarkan hasil wawancara dengan sekretaris RT terkait dengan konflik yang
terjadi, warga binaan Kampung Seribu Topeng justru minim dari konflik. Hal ini
dikarenakan warga binaan Kampung Seribu Topeng kurang memiliki kedekatan antar
warga, penyebabnya adalah penghuni Kampung Seribu Topeng yang cenderung keluar-
masuk dari rumah. Beberapa warga binaan yang memutuskan keluar digantikan oleh
gelandang dan pengemis yang baru.
Berdasarkan pengamatan lingkungan sosial Kampung Seribu Topeng, anak-anak
yang tinggal disana sering terjadi konflik dengan sebayanya. Konflik yang terjadi
disebabkan karena meminjam uang, mengeluarkan kata-kata kasar, hingga terjadi
kekerasan fisik. Anak-anak yang terus tumbuh dengan perbuatan yang kurang baik
menimbulkan kecemasan tentang bagaimana perbuatan mereka ketika tumbuh dewasa.
Padahal anak-anak Kampung Seribu Topeng tengah menembuh pendidikan formal
Sekolah Dasar, hal ini merupakan salah satu bentuk investasi dalam bidang pendidikan
yang diharapkan mampu menunjang pembangunan ekonomi di masa depan.

3. Pemetaan Kerentanan (Vulnerability Context)


Dalam analisis sustainable livelihood, pemetaan kerentanan merupakan bagian
yang penting. Dengan melakukan pemetaan kerentanan maka warga binaan Kampung
Seribu Topeng dapat memilih asset mana yang sesuai untuk meminimalisir dan
menanggulangi berbagai kerentanan yang berpotensi mengancam keberlangsungan hidup
dan pengelolaan usaha di Kampung Seribu Topeng baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Pada hakikatnya, sebagian besar manusia tidak dapat terhindar dari sebuah
resiko, apakah resiko tersebut disebabkan oleh manusia atau factor lingkungan.
Hambatan yang cenderung dialami warga binaan Kampung Seribu Topeng adalah
sepinya pengunjung. Padahal pendapatan warga binaan sangat bergantung kepada
pendapatan dari objek wisata. Ketika banyak pengunjung yang datang maka akan
berpotensi menambah pemasukan yang didapat dari pembelian tiket masuk, pembelian
tiket fasilitas wahana permainan, pembayaran parkir, serta pembelian konsumsi dan
souvenir. Sebagian besar wisatawan yang hadir hanya sekedar ingin tahu bagaimana
Kampung Seribu Topeng di Kota Malang. Wisatawan cenderung tidak akan kembali lagi
ke Kampung Seribu Topeng setelah mendatangi objek wisata tersebut. Beberapa
kemungkinan penyebab sepinya pengunjung pada objek wisata adalah
a. Masyarakat tidak cukup mengetahui keberadaan Kampung Seribu Topeng,
keberadaan objek wisata memang masih berada di wilayah administrasi Kota Malang.
Namun akses untuk menuju ke Kampung Seribu Topeng cukup jauh dan sulit untuk
dicari.
b. Beberapa fasilitas wahana permainan di objek wisata sudah rusak dan kurang
memperhatikan aspek keamanan sehingga menyebabkan kecelakaan bagi wisatawan.
Kurangnya maintenance pada beberapa fasilitas wahana permainan menjadikan
Kampung Seribu Topeng berubah menjadi objek wisata swafoto saja sehingga
wisatawan cenderung tidak kembali mendatangi wisata Kampung Seribu Topeng.
c. Untuk kasus terbaru pada tahun 2020, Kampung Seribu Topeng menjadi semakin sepi
karena adanya pandemic yang menyebabkan masyarakat cenderung untuk tidak
berpergian.
Hambatan selanjutnya yang dialami oleh warga binaan adalah kesulitan untuk
mengelola pemasukan dari wisata Kampung Seribu Topeng. Karena sebagian besar
pendapatan warga binaan hanya bergantung pada wisata Kampung Seribu Topeng dan
minimnya pendapatan diluar wisata tersebut, maka pemasukan dari wisata Kampung
Seribu Topeng cenderung digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup warga binaan
setempat. Sehingga ketika fasilitas dari wisata tersebut rusak, maka tidak mendapatkan
maintenance mengingat minimnya pemasukan warga binaan. Meskipun Kementerian
Sosial, Pemerintah Daerah, dan Lembaga Kesejahteraan Sosial telah memberikan
pelatihan dalam mengelola keuangan, warga binaan masih belum mampu
mengimplementasikan dengan baik, hal ini disebabkan karena rendahnya tingkat
pendidikan warga binaan.
Identifikasi kerentanan (mapping vulnerability) yang dialami warga binaan
Kampung Seribu Topeng secara lebih rinci terangkum dalam tabel di bawah ini
Tipe Masalah Faktor Penyebab Akibat yang Dirasakan

Akses menuju objek wisata


Wisatawan cenderung
yang sulit ditempuh, objek Berkurangnya pendapatan
Trend mengunjungi objek
wisata kurang maintenance, warga binaan
wisata sekali saja
pandemi

Warga binaan hanya


bergantung pada pemasukan
Keuntungan dari objek
Warga binaan kurang Kampung Seribu Topeng
wisata Kampung Seribu
mampu mengelola dan rendahnya tingkat
Topeng sangat minim dan
Management pemasukan objek wisata pendidikan warga binaan
tidak bisa merawat
Kampung Seribu Topeng sehingga kurang mampu
wahana permainan objek
dengan baik mengimplementasikan hasil
wisata
pelatihan pengelolaan
keuangan dari pemerintah
Tabel pemetaan tingkat kerentanaan warga binaan

4. Dinamika Sistem Penghidupan Warga Binaan Program “Desaku Menanti”


Manusia selalu memiliki rasa untuk hidup berkelompok akibat dari keadaan
lingkungan yang selalu berubah atau dinamis. Perubahan-perubahan tersebut membuat
manusia harus selalu beradaptasi dengan menggunakan akal sehat untuk berpikir kreatif.
Perubahan sosial dinilai cukup penting untuk melihat bagaimana sekelompok masyarakat
mampu bertahan hidup dalam kehidupan yang selalu berubah (Aditama, 2019).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dinamika
kehidupan bermasyarakat adalah suatu proses interaksi dan permasalahan yang mungkin
muncul dengan kondisi masyarakat bersangkutan bersifat selalu berubah. Dinamika yang
akan dibahas dalam makalah ini adalah perubahan, proses interaksi, dan kemungkinan
solusi dari permasalahan yang terjadi dalam strategi penghidupan warga binaan Kampung
Seribu Topeng.
Tantangan yang muncul dalam warga binaan Kampung Seribu Topeng dewasa ini
adalah berkurangnya jumlah pengunjung kampung wisata. Padahal sebagian besar kepala
keluarga warga binaan menggantungkan pendapatan mereka dari visitasi Kampung
Seribu Topeng. Keberadaan Kampung Seribu Topeng hanya menarik wisatawan dalam
jangka pendek saja, bahkan sebelum adanya pandemi, jumlah visitasi Kampung Seribu
Topeng juga sudah berkurang secara signifikan. Sehingga menyebabkan beberapa warga
binaan keluar dari Kampung Seribu Topeng dan kembali ke jalanan dengan alasan
bertahan hidup.
Adanya warga binaan yang memutuskan keluar dari Kampung Seribu Topeng
membuat beberapa hunian yang telah dibangun menjadi kosong. Sehingga pemerintah
dan dinas terkait berinisiatif untuk memberi tempat tinggal bagi gelandangan dan
pengemis lainnya. Kondisi kelompok masyarakat warga binaan yang berubah-ubah
membuat warga binaan kurang akrab dan mengenal satu sama lain. Padahal manusia
sebagai makhluk sosial tentu membutuhkan orang lain dalam kehidupan dan tetangga
adalah penolong terdekat selain keluarga inti untuk membantu kegiatan penghidupan.

KESIMPULAN
Warga binaan Kampung Seribu Topeng cenderung tidak memiliki solusi untuk
keluar dari kehidupan mereka yang kurang sejahtera. Solusi yang dipilih warga binaan
adalah dengan keluar dari Kampung Seribu Topeng dan kembali menggelandang di jalan.
Akan tetapi kehidupan mereka setelah kembali ke jalanan juga belum tentu membaik dan
justru akan memberikan berbagai permasalahan lain.
Penyebab warga binaan kurang mampu bertahan hidup dalam Kampung Seribu
Topeng adalah rendahnya literasi keuangan yang mereka miliki. Bantuan dana dari
pemerintah yang awalnya diberikan digunakan untuk membeli barang konsumtif non-
produktif. Warga binaan juga kurang memiliki tujuan keuangan dalam rumah tangga. Hal
ini bisa saja terjadi karena rendahnya pendidikan atau pengetahuan yang mereka miliki.
Sehingga ketika mendapatkan pelatihan pengelolaan keuangan, warga binaan masih
kebingungan dan cenderung tidak mengimplementasikan dalam kehidupan.
Kehidupan warga binaan Kampung Seribu Topeng masih belum bisa
dikategorikan sejahtera. Karena Sebagian besar sumber pendapatan mereka hanya
bergantung pada visitasi kampung wisata tersebut. Selain itu warga binaan juga hanya
mampu mengharapkan bantuan sosial dari pemerintah dan lembaga-lembaga masyarakat.

SARAN
Pemerintah selaku pemangku kebijakan dan memiliki pengaruh yang besar
terhadap masyarakat di Kota/Kabupaten Malang seharusnya membantu peningkatan
visitasi Kampung Seribu Topeng dengan mempromosikannya. Karena masyarakat
Kota/Kabupaten Malang kurang mengetahui keberadaan Kampung Seribu Topeng
menginat warga binaan Kampung Seribu Topeng menggantungkan pendapatannya dari
pengelolaan kampung wisata tersebut.
Pemerintah seharusnya membantu perbaikan beberapa fasilitas permainan di
Kampung Seribu Topeng, agar Kampung Seribu Topeng tidak hanya menjadi wisata
swafoto saja yang membuat wisatawan cenderung tidak kembali ke tempat wisata. Karena
beberapa perbaikan fasilitas membutuhkan dana yang cukup besar, dana perbaikan
fasilitas permainan Kampung Seribu Topeng tidak bisa mengandalkan dari hasil
pengelolaan kampung wisata, mengingat harga tiket masuknya yang sangat murah.

DAFTAR PUSTAKA
Aditama, F. Dinamika Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Potensi Desa (Studi Kasus
Pengolahan Limbah Di Desa Daleman Kec. Tulung Kab. Klaten) (Bachelor's
thesis, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta).
Andari, S. (2019). HARAPAN BARU BAGI GELANDANGAN DAN PENGEMIS
MELALUI IMPLEMENASI PROGRAM DESAKU MENANTI DI KOTA
PADANG. Sosio Konsepsia, 8(1).
Fithri, N., & Kaluge, D. (2017). Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor
Pendidikan Dan Kesehatan Terhadap Kemiskinan Di Jawa Timur. Jurnal
Ekonomi Pembangunan, 15(2), 129-136.
Fitri, I. A. (2019). PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI
INDONESIA (Analisis Program Desaku Menanti di Kota Malang, Kota Padang
dan Jeneponto). Share: Social Work Journal, 9(1), 1-9.
Herlina, N., & Komariah, M. (2017). Peran Pemerintah dalam Pengentasan Kemiskinan
di Kabupaten Ciamis. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 5(2), 260-277.
Kabir, M.S., Hou, X., & Akther, R. (2012). Impact of Small Entrepreneurship on
Sustainable Livelihood Assets of Rural Poor Women in Bangladesh. Yangling,
China. International Journal of Economics and Finance, Vol. 4 No. 3
Kementrian Sosial. Rehabilitas Sosial Gepeng melalui Pengembangan Model “Desaku
Menanti”. Melalui, https://intelresos.kemensos.go.id/new/?
Merlindha, A., & Hati, G. (2015). Upaya Rehabilitasi Sosial Dalam Penanganan
Gelandangan dan Pengemis di Provinsi DKI Jakarta. Journal of Social
Welfare, 16(1).
Oktama, R. Z. (2013). Pengaruh kondisi sosial ekonomi terhadap tingkat pendidikan
anak keluarga nelayan di Kelurahan Sugihwaras Kecamatan Pemalang
Kabupaten Pemalang Tahun 2013 (Doctoral dissertation, Universitas Negeri
Semarang).
Putra, D. F., & Suprianto, A. (2020). Analisis Strategi Penghidupan Petani Kopi Desa
Medowo Menggunakan Pendekatan Sustainable Livelihood. JPIG (Jurnal
Pendidikan dan Ilmu Geografi), 5(2), 132-143.
Satria, D. (2009). Strategi Pengembangan Ekowisata Berbasis Ekonomi Lokal dalam
Rangka Program Pengentasan Kemiskinan di Wilayah Kabupaten
Malang. Journal of Indonesian Applied Economics, 3(1).
Udoh, E., & Akpan, S.B. (2017). Asessment of Sustainable Livelihood Assets of Farming
Households in Akwa Ibom State, Nigeria. Akwa Ibom State Nigeria. Journal of
Sustainable Development; Vol. 10, No. 4; 2017.
Widiyanto, W., Suwarto, S., & Setyowati, R. (2010). DINAMIKA NAFKAH RUMAH
TANGGA PETANI PEDESAAN DENGAN PENDEKATAN SUSTAINABLE
LIVELIHOD APPROACII (SLA)(Kasus Petani Tembakau di Lereng Gunung
Merapi-Merbabu, Propinsi Jawa Tengah). AGRITEXTS: Journal of Agricultural
Extension, 28(2), 80-88.
Zulfa, D. F., Eriyanti, F., & Khaidir, A. (2019). Efektivitas Program Desaku Menanti
Bagi Warga Binaan Sosial (WBS) di Kota Padang. Ranah Research: Journal of
Multidisciplinary Research and Development, 1(2), 198-206.

Anda mungkin juga menyukai