ABSTRAK
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana keadaan warga
binaan program pemberdayaan pemerintah dalam upaya mensejahterakan kehidupan
mereka setelah berhenti hidup di jalanan. Dengan menggunakan pendekatan Sustainable
Livelihood Assets (SLA) maka akan dilakukan pemetaan terhadap lima modal yaitu
human capital, natural capital, financial capital, social capital, dan physical capital.
Hasil dari pengamatan adalah warga binaan masih hidup di bawah kategori sejahtera dan
hunian yang dibangun pemerintah terkesan hanya sebagai tempat menampung eks-
gelandangan dan pengemis. Sehingga bisa disimpulkan program pemerintah dalam
memberdayakan gelandangan dan pengemis masih belum efektif.
Kata Kunci: Kesejahteraan, Program Pemerintah, Sustainable Livelihood Assets
ABSTRACT
This paper aims to examine the condition of assisted residents of government
empowerment program in order to develop their prosperity after they stop being homeless
and beggars. By using the Sustainable Livelihood Assets (SLA) approach, a mapping of
five capitals will be carried out, namely human capital, natural capital, financial capital,
social capital and physical capital. The result of the observation is that the assisted
residents are still living under the prosperous category and the houses built by the
government are impressed only as places to accommodate the ex-homeless and beggars.
So it can be concluded that the government program in empowering homeless people and
beggars is still not effective.
Keywords: Prosperity, Government Program, Sustainable Livelihood Assets
PENDAHULUAN
Kemiskinan selalu menjadi masalah yang kompleks dalam pembangunan
ekonomi terutama oleh negara berkembang seperti Indonesia. Setiap negara akan
berusaha keras untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal dan menurunkan
angka kemiskinan, karena pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan indikator
penting dalam kesuksesan suatu negara. Sehingga permasalahan kemiskinan ini selalu
menjadi perhatian serius dari pemerintah Indonesia. Kemiskinan di Indonesia tidak hanya
berkaitan dengan persoalan tingkat rendahnya pendapatan dan konsumsi (Kaluge, 2017).
Pendidikan, kesehatan, dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti proses
pembangunan juga menjadi salah satu permasalahan penyebab kemiskinan.
Penduduk miskin di Indonesia baik dalam pedesaan maupun perkotaan, sebagian
besar penduduk miskin berprofesi sebagai buruh tani, pedagang kecil, nelayan, pengrajin
kecil, buruh, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung, gelandangan dan
pengemis (gepeng), dan pengangguran. Apabila pemerintah tidak menangani kelompok
miskin tersebut secara serius dan tepat sasaran, maka akan terus mengalami problematika
yang berkelanjutan serta menciptakan kemiskinan kultural dan struktural, terutama bagi
generasi selanjutnya. Masyarakat Indonesia yang belum tersentuh oleh kebijakan
pembangunan ekonomi pemerintah pada umumnya adalah masyarakat miskin (Kadji,
2012). Kondisi ini disebabkan oleh tingkat kualitas sumber daya manusia yang rendah
sehingga kurang memanfaatkan fasilitas, pelatihan yang minimal, serta perlindungan
hukum yang kurang memihak kepada masyarakat miskin.
Dalam upaya pengentasan kemiskinan, pemerintah berperan sangat besar karena
pemerintah yang memiliki kendali atas penentuan kebijakan dalam pembangunan
ekonomi. Pemerintah juga diharapkan untuk membuat kebijakan pembangunan ekonomi
yang tepat sasaran untuk menanggulangi angka kemiskinan. Untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi yang seimbang sehingga jumlah keluarga miskin dapat berkurang,
pemerintah perlu melakukan pengawasan dan pengaturan dalam kegiatan produksi,
distribusi, dan komoditas (Herlina, 2017).
Kabupaten Malang merupakan salah satu daerah dengan jumlah penduduk
terbesar dan wilayah terluas. Luas wilayah Kabupaten Malang sebesar 3.530,65 km2 dan
tercatat total populasi penduduk Kabupaten Malang hingga 2020 sebanyak 2.654.448
jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk 690/km2 (1,800/sq mi). Daerah administrasi
Kabupaten Malang memiliki 33 Kecamatan. Kabupaten Malang memiliki banyak objek
pariwisata yangmana pantai adalah objek pariwisata yang paling banyak diminati
wisatawan, namun akses untuk menuju ke pantai cukup terbatas dan susah untuk dilalui
kendaraan besar. Padahal pantai ini bisa menjadi potensi terbesar dari Kabupaten Malang
mengingat Kabupaten Malang memiliki 39 pantai, sedangkan hanya 5 pantai saja yang
sering didatangi oleh wisatawan.
Sebagai salah satu daerah dengan wilayah administrasi terluas di Jawa Timur dan
salah satu kota besar di Indonesia, peningkatan angka kriminalitas selalu menjadi momok
bagi pemerintah pusat maupun daerah. Beberapa penyebab adanya kriminalitas adalah
munculnya kesenjangan sosial di tengah masyarakat, kebutuhan ekonomi yang
mendesak, hingga terbatasnya lapangan pekerjaan. Pemerintah daerah telah berupaya
melakukan berbagai cara untuk menanggulangi keberadaan gelandang dan pengemis,
akan tetapi upaya dari pemerintah masih belum signifikan berhasil, bahkan banyak dari
gelandang dan pengemis kembali melakukan tindakan menyimpang serta kembali
menggelandang dan mengemis. Beberapa keterbatasan yang dihadapi gelandangan dan
pengemis membuat mereka sulit bangkit untuk mendapatkan kehidupan yang layak
(Merlindha, 2015).
Berkenaan dengan hal itu, Direktorat Rehabilitasi Sosial dari Kementerian Sosial
mencanangkan sebuah program untuk menanggulangi gelandangan dan pengemis di
kota-kota besar, yaitu “Program Desaku Menanti: Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan
Pengemis Terpadu Berbasis Desa”. Beberapa syarat yang harus dilakukan oleh
Pemerintah Daerah untuk dapat mengembangkan program tersebut adalah dengan
menyediakan lahan yang akan dibangun hunian tetap, pengadaan air bersih, dan instalasi
listrik. Hunian tetap yang dibangun dalam program Desaku Menanti akan ditempati oleh
gelandangan dan pengemis, dengan harapan gelandangan dan pengemis tidak akan
bertebaran di wilayah Kota/Kabupaten serta mendapatkan perlindungan yang layak.
Dalam studi kasus pemerintah daerah Kota Malang mengembangkan model
rehabilitasi sosial “Desaku Menanti” dan dialokasikan ke Tlogowaru, Kedungkandang,
Kota Malang. Dengan mengusung konsep Wisata Kampung Seribu Topeng, diharapkan
masyarakat yang dahulunya adalah gelandangan dan pengemis menjadi berdaya dan
mendapatkan penghasilan berdasarkan hasil pengelolaan wisata Kampung Seribu
Topeng. Dengan demikian, penulisan makalah ini mengkaji kondisi keberlanjutan
lingkungan, infrastruktur, ekonomi, sosial, kelembagaan, serta tingkat penghidupan
berkelanjutan masyarakat hasil pemberdayaan pemerintah program “Desaku Menanti:
Kampung Seribu Topeng, Kota Malang”.
PEMBAHASAN
1. Program Desaku Menanti: Kampung Seribu Topeng Kota Malang
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Pasal 1
tentang Kesejahteraan Sosial, rehabilitasi sosial adalah proses refungsionalisasi dan
pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya
secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Kementerian sosial selaku aparatur negara
yang memiliki tugas untuk menyelenggarakan urusan di bidang sosial mencanangkan
program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis melalui pengembangan model
program “Desaku Menanti”.
Program Desaku Menanti diharapkan menjadi solusi bagi Indonesia untuk
mewujudkan negara bebas anak jalanan, gelandangan, dan pengemis yang kerapkali
menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat (Andari, 2019). Dalam program Desaku
Menanti, para gelandangan dan pengemis difasilitasi rumah yang dilengkapi listrik, air
bersih, bantuan perabotan rumah, bantuan usaha, serta beberapa pelatihan agar
gelandangan dan pengemis dapat melanjutkan kehidupan yang layak secara mandiri,
sementara itu bagi anak-anak akan kembali mendapatkan fasilitas pendidikan formal.
Program Desaku Menanti merupakan program terpadu berbasis desa dengan
melibatkan Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kota/Kabupaten, Lembaga Kesejahteraan Sosial, Gelandangan dan Pengemis selaku
subjek penerima program, serta masyarakat lain yang siap melakukan donasi sosial.
Tujuan dari program ini adalah meningkatkan keberfungsian sosial keluarga gelandangan
dan pengemis dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar. Beberapa Kota/Kabupaten yang
telah mengadakan program “Desaku Menanti” adalah Kota Padang, Kota Malang, dan
Kabupaten Jeneponto.
Berkaitan dengan pelaksanaan program “Desaku Menanti” terdapat beberapa
tahapan yang harus dilakukan oleh pemerintah, adapun beberapa tahapan tersebut
berdasarkan data Kementerian Sosial adalah:
a. Rapat koordinasi, berbagai pihak yang terkait dalam pelaksanaan program seperti
Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah, Lembaga Sosial Masyarakat, dan
masyarakat khususnya gelandangan dan pengemis. Kerjasama dilakukan agar
pelaksanaan program “Desaku Menanti” berjalan dengan baik.
b. Verifikasi data, pemerintah mengumpulkan data-data terkait lokasi atau desa yang
nantinya akan dibangun program “Desaku Menanti” serta memverifikasi data
gelandangan dan pengemis yang akan diberi bantuan, dengan ketentuan apakah
penerima bantuan memenuhi syarat atau tidak.
c. Pengolahan data, data yang telah dikumpulkan akan diolah sehingga output dari tahap
ini adalah gelandangan dan pengemis yang telah siap menerima bantuan.
d. Bimbingan rehabilitasi sosial, memberikan bimbingan kepada eks gelandangan dan
pengemis agar mereka dapat keluar dari permasalahan sosial dan dapat membantu
mengubah pola pikir untuk berusaha mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
e. Pemberian bantuan, pemberian bantuan dilakukan oleh Kementerian Sosial yang akan
diserahkan kepada Lembaga Kesejahteraan Sosial yang diberi amanah untuk
mendampingi warga binaan eks gelandangan dan pengemis.
f. Supervise, setelah program terlaksana, maka akan dilanjutkan dengan pengawasan
terhadap program, agar visi dan misi dari tujuan tersebut dapat tercapai.
Inisiasi program Desaku Menanti di Kota Malang mulai dilakukan pada tahun
2016 oleh Kementerian Sosial dan Walikota Malang pada saat itu dengan sasaran
gelandangan dan pengemis. Rehabilitasi sosial ditempatkan di Tlogowaru,
Kedungkandang, Kota Malang yang berjarak 30 menit dari pusat kota, dengan
mengusung tema Kampung Wisata Desaku Menanti: Kampung Seribu Topeng.
Gambar peta menuju Kampung Seribu Topeng, Tlogowaru Kedungkandang,
Malang
Selama satu tahun program Kampung Seribu Topeng berjalan, 40 rumah terisi
penuh. Namun pada tahun 2018 terjadi penurunan jumlah penghuni menjadi 29 KK.
Terdapat beberapa alasan mengenai turunnya jumlah penghuni Kampung Seribu Topeng:
a. Penurunan pendapatan dan visitasi di Kampung Seribu Topeng sehingga
menyebabkan menurunnya pendapatan masyarakat setempat.
b. Berhubungan dengan alasan pertama, beberapa penghuni kembali menjadi
gelandangan dan pengemis di kota dengan alasan pendapatan yang didapatkan lebih
besar daripada mengelola wisata Kampung Seribu Topeng.
c. Masyarakat Kampung Seribu Topeng berasumsi bahwa kehidupan mereka akan
selamanya didukung oleh pemerintah, sehingga ketika masa bantuan telah habis
masyarakat kecewa dan memutuskan untuk keluar dari Kampung Seribu Topeng.
Sejatinya maksud pemerintah adalah memberikan dukungan finansial, fisik, dan
moral selama satu tahun lalu masyarakat bisa melanjutkan kehidupan layak yang
mandiri dengan berbekal bantuan dan pelatihan yang telah diberikan oleh pemerintah.
d. Beberapa penghuni Kampung Seribu Topeng lebih suka hidup di jalanan, sehingga
mereka memutuskan untuk keluar dari Kampung Seribu Topeng.
Dinas Sosial Kota Malang terus berupaya untuk mengurangi gelandangan dan
pengemis, sehingga rumah-rumah di Kampung Seribu Topeng yang sebelumnya ditinggal
oleh penghuni lama kembali ditempati dan tercatat sebanyak 34 KK yang menghuni
Kampung Seribu Topeng di tahun 2019 hingga tahun 2020. Lembaga Kesejahteraan
Sosial Mutiara Insani ikut berpartisipasi memberikan bantuan dalam bentuk pelatihan
pembuatan keripik tempe. Warga binaan juga mendapatkan donasi berupa sembako,
uang, dan baju layak pakai. Selain itu, warga binaan diberikan pengarahan dan
pendampingan bagaimana cara mengelola keuangan keluarga.
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA/SMK
D3/S1
0 5 10 15 20
Gambar tampungan air hujan dan toilet komunal di Kampung Seribu Topeng
Gambar akses menuju Kampung Seribu Topeng yang jauh dari jangkauan transportasi
umum.
Gambar kondisi jalan di perumahan Kampung Seribu Topeng
KESIMPULAN
Warga binaan Kampung Seribu Topeng cenderung tidak memiliki solusi untuk
keluar dari kehidupan mereka yang kurang sejahtera. Solusi yang dipilih warga binaan
adalah dengan keluar dari Kampung Seribu Topeng dan kembali menggelandang di jalan.
Akan tetapi kehidupan mereka setelah kembali ke jalanan juga belum tentu membaik dan
justru akan memberikan berbagai permasalahan lain.
Penyebab warga binaan kurang mampu bertahan hidup dalam Kampung Seribu
Topeng adalah rendahnya literasi keuangan yang mereka miliki. Bantuan dana dari
pemerintah yang awalnya diberikan digunakan untuk membeli barang konsumtif non-
produktif. Warga binaan juga kurang memiliki tujuan keuangan dalam rumah tangga. Hal
ini bisa saja terjadi karena rendahnya pendidikan atau pengetahuan yang mereka miliki.
Sehingga ketika mendapatkan pelatihan pengelolaan keuangan, warga binaan masih
kebingungan dan cenderung tidak mengimplementasikan dalam kehidupan.
Kehidupan warga binaan Kampung Seribu Topeng masih belum bisa
dikategorikan sejahtera. Karena Sebagian besar sumber pendapatan mereka hanya
bergantung pada visitasi kampung wisata tersebut. Selain itu warga binaan juga hanya
mampu mengharapkan bantuan sosial dari pemerintah dan lembaga-lembaga masyarakat.
SARAN
Pemerintah selaku pemangku kebijakan dan memiliki pengaruh yang besar
terhadap masyarakat di Kota/Kabupaten Malang seharusnya membantu peningkatan
visitasi Kampung Seribu Topeng dengan mempromosikannya. Karena masyarakat
Kota/Kabupaten Malang kurang mengetahui keberadaan Kampung Seribu Topeng
menginat warga binaan Kampung Seribu Topeng menggantungkan pendapatannya dari
pengelolaan kampung wisata tersebut.
Pemerintah seharusnya membantu perbaikan beberapa fasilitas permainan di
Kampung Seribu Topeng, agar Kampung Seribu Topeng tidak hanya menjadi wisata
swafoto saja yang membuat wisatawan cenderung tidak kembali ke tempat wisata. Karena
beberapa perbaikan fasilitas membutuhkan dana yang cukup besar, dana perbaikan
fasilitas permainan Kampung Seribu Topeng tidak bisa mengandalkan dari hasil
pengelolaan kampung wisata, mengingat harga tiket masuknya yang sangat murah.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, F. Dinamika Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Potensi Desa (Studi Kasus
Pengolahan Limbah Di Desa Daleman Kec. Tulung Kab. Klaten) (Bachelor's
thesis, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta).
Andari, S. (2019). HARAPAN BARU BAGI GELANDANGAN DAN PENGEMIS
MELALUI IMPLEMENASI PROGRAM DESAKU MENANTI DI KOTA
PADANG. Sosio Konsepsia, 8(1).
Fithri, N., & Kaluge, D. (2017). Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor
Pendidikan Dan Kesehatan Terhadap Kemiskinan Di Jawa Timur. Jurnal
Ekonomi Pembangunan, 15(2), 129-136.
Fitri, I. A. (2019). PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI
INDONESIA (Analisis Program Desaku Menanti di Kota Malang, Kota Padang
dan Jeneponto). Share: Social Work Journal, 9(1), 1-9.
Herlina, N., & Komariah, M. (2017). Peran Pemerintah dalam Pengentasan Kemiskinan
di Kabupaten Ciamis. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 5(2), 260-277.
Kabir, M.S., Hou, X., & Akther, R. (2012). Impact of Small Entrepreneurship on
Sustainable Livelihood Assets of Rural Poor Women in Bangladesh. Yangling,
China. International Journal of Economics and Finance, Vol. 4 No. 3
Kementrian Sosial. Rehabilitas Sosial Gepeng melalui Pengembangan Model “Desaku
Menanti”. Melalui, https://intelresos.kemensos.go.id/new/?
Merlindha, A., & Hati, G. (2015). Upaya Rehabilitasi Sosial Dalam Penanganan
Gelandangan dan Pengemis di Provinsi DKI Jakarta. Journal of Social
Welfare, 16(1).
Oktama, R. Z. (2013). Pengaruh kondisi sosial ekonomi terhadap tingkat pendidikan
anak keluarga nelayan di Kelurahan Sugihwaras Kecamatan Pemalang
Kabupaten Pemalang Tahun 2013 (Doctoral dissertation, Universitas Negeri
Semarang).
Putra, D. F., & Suprianto, A. (2020). Analisis Strategi Penghidupan Petani Kopi Desa
Medowo Menggunakan Pendekatan Sustainable Livelihood. JPIG (Jurnal
Pendidikan dan Ilmu Geografi), 5(2), 132-143.
Satria, D. (2009). Strategi Pengembangan Ekowisata Berbasis Ekonomi Lokal dalam
Rangka Program Pengentasan Kemiskinan di Wilayah Kabupaten
Malang. Journal of Indonesian Applied Economics, 3(1).
Udoh, E., & Akpan, S.B. (2017). Asessment of Sustainable Livelihood Assets of Farming
Households in Akwa Ibom State, Nigeria. Akwa Ibom State Nigeria. Journal of
Sustainable Development; Vol. 10, No. 4; 2017.
Widiyanto, W., Suwarto, S., & Setyowati, R. (2010). DINAMIKA NAFKAH RUMAH
TANGGA PETANI PEDESAAN DENGAN PENDEKATAN SUSTAINABLE
LIVELIHOD APPROACII (SLA)(Kasus Petani Tembakau di Lereng Gunung
Merapi-Merbabu, Propinsi Jawa Tengah). AGRITEXTS: Journal of Agricultural
Extension, 28(2), 80-88.
Zulfa, D. F., Eriyanti, F., & Khaidir, A. (2019). Efektivitas Program Desaku Menanti
Bagi Warga Binaan Sosial (WBS) di Kota Padang. Ranah Research: Journal of
Multidisciplinary Research and Development, 1(2), 198-206.