Anda di halaman 1dari 5

B.

Ketenagakerjaan Era Digital di Indonesia (sertai dasar hukum yang baru


terbentuk di era digital/industri 4.0
Kemajuan teknologi saat ini menjadi salah satu mega tren yang berpotensi
mengubah pekerjaan. Revolusi digital yang sedang berlangsung didefinisikan sebagai
percepatan laju perubahan teknis dalam perekonomian. Bahasa yang digunakan untuk
menggambarkan praktik teknologi digital ini bervariasi, seperti komputerisasi,
robotisasi, kecerdasan buatan, otomatisasi, dan sebagainya. Semua hal itu
mengandalkan teknologi digital yang sering tumpang tindih dalam membuat atau
memungkinkan praktik kerja dengan pola baru, misalnya dalam penggunaan Artificial
Intelligence (AI) untuk melaksanakan tugas-tugas kognitif seperti Chatbot atau
dukungan online secara otomatis yang disediakan oleh berbagai platform digital. Cara
kerja seperti ini bergantung pada pemrosesan digital sebagai penyimpanan data dan
komunikasi yang mampu mengenali rangsangan eksternal melalui perintah lisan
maupun tertulis. Cara kerja platform digital seperti yang disediakan oleh Gojek dan
Grab, tidak hanya menggunakan teknologi komunikasi digital, tetapi juga melibatkan
algoritma otomatis. Algoritma ini menggunakan data untuk membantu menyortir dan
mencocokkan klien dengan pekerja dan mungkin melibatkan teknologi pengindraan
dan pemantauan jarak jauh. Dalam kasus tersebut, proses produksi fisik dari suatu
layanan atau barang diterjemahkan menjadi informasi digital, kemudian informasi
digital ini dapat digunakan untuk mendukung produksi dan pola kerja. Secara
kumulatif, dampaknya berpotensi besar dan diklaim akan mengubah pola-pola kerja
baru dalam konteks industrialisasi.1
Di sisi lain, digitalisasi telah membuka lapangan kerja baru di berbagai sektor,
terutama di sektor informal, misalnya e-commerce, transportasi berbasis online, dan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berbasis kemitraan. Sektor informal
menjadi alternatif baru bagi tenaga kerja yang terkena disrupsi digital. Hal inilah yang
membuat risiko tenaga kerja di Indonesia, yang sebelumnya banyak orang bekerja di
sektor formal dan manufaktur, setelah alih teknologi, mereka yang kurang mampu
mengakses teknologi tergusur dari sektor formal. Menurut data Badan Pusat Statistik
(BPS), penciptaan lapangan kerja pada kegiatan ekonomi formal selama 2012-2014
rata-rata 1 juta orang per tahun. Pada 2015- 2017, penciptaan lapangan kerja turun
ratarata 0,47 juta orang per tahun. Pada kegiatan perekonomian informal selama
tahun 2011-2014 terjadi peningkatan rata-rata 1 juta tenaga kerja per tahun. Pada
2015-2017, jumlah tenaga kerja meningkat rata-rata 2 juta per tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi digital telah melahirkan informalisasi

1
Fuat Edi Kurniawan, "Digitalisasi dan Dampak Pola Baru", Jurnal Sosioteknologi, Vol. 20
No.3 (Desember 2021), hal. 396.
pekerjaan. Informalisasi pekerjaan ini mengacu pada pertumbuhan kegiatan
penciptaan pendapatan di luar dimensi kelembagaan formal.2
Digitalisasi produksi ini telah memicu perdebatan sengit dan banyak laporan
yang bernada kritik maupun positif tentang dampak terhadap masa depan pekerjaan.
Dalam nada kritik, robot pintar datang untuk mengambil pekerjaan manusia.
Peningkatan daya komputasi, AI dan robotika akan menggantikan pekerjaan berbayar
manusia dalam skala yang tidak terlihat sebelumnya, paling tidak itulah tujuan dari
teknologi ini. Dalam teori kompensasi keterampilan, teknologi baru cenderung tidak
dapat mengarahkan tugas-tugas produktif, namun lebih mengarah pada tugas-tugas
tambahan seperti pemasangan, pemeliharaan, dan pemrograman teknologi baru.
Komputerisasi mungkin tidak mengarah pada penghapusan pekerjaan tetapi
menyebabkan perubahan dalam pekerjaan. Kemudian digitalisasi dapat membebaskan
waktu pekerja untuk melakukan tugas yang lebih produktif dan tidak terlalu rutin
serta menyediakan produk yang lebih baik kepada konsumen.3
Mengenai hubungan kerja tersebut diatur di Bab IX Pasal 50-66 UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja yang dibentuk antara
pengusaha dan pekerja/buruh haruslah berlandaskan dan sesuai dengan substansi dari
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan hukum lainnya yang
terkait. Indonesia mempunyai sistem hubungan industrialnya sendiri, yang dirasa
paling cocok dan sesuai dengan falsafah dan budaya masyarakatnya. Pengertian
hubungan industrial menurut UU No. 13/2003 hampir sama dengan pengertian
Hubungan Industrial Pancasila (HIP) adalah hubungan antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan jasa (Pekerja; pengusaha dan Pemerintah) didasarkan atas
nilai yang merupakan manifestasi dengan keseluruhan sila - sila dari Pancasila dan
UUD 1945 yang tumbuh dan berkembang diatas kepribadian bangsa dan kebudayaan
nasional Indonesia. 4
Menyadari pentingnya pekerja di era industri 4.0, perlu dilakukan pemikiran
agar pekerja dapat menjaga keselamatannya dalam menjalankan pekerjaan. Pemikiran
tersebut merupakan bagian dari program perlindungan pekerja, yang dalam praktik
sehari-hari berguna untuk dapat mempertahankan produktivitas dan kestabilan
perusahaan.
perlindungan pekerja dalam hubungan industrial Pancasila dapat dilakukan,
baik dengan memberikan panduan, atau dengan meningkatkan pengakuan terhadap
2
Fuat Edi Kurniawan, "Digitalisasi dan Dampak Pola Baru", Jurnal Sosioteknologi, Vol. 20 No.3
(Desember 2021), hal. 397.
3
Ibid. 399
4
Taryono, Perlindungan Bagi Pekerja di Era Revolusi Industri 4.0 dalam Perspektif Hubungan
Industrial, Prosiding Seminar Nasional Hukum Transendental 2019, 28 Maret 2019, hal. 49.
hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis, serta sosial dan ekonomi melalui
norma-norma yang berlaku di lingkungan kerja. Dengan demikian maka perlindungan
pekerja meliputi:
1. perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
2. perlindungan dalam bentuk jaminan sosial
Sedangkan perlindungan pekerja menurut hukum ketenagakerjaan sebagaimana
diatur dalam Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan meliputi 3 macam perlindungan
yaitu:
1. keselamatan dan kesehatan kerja
2. moral dan kesusilaan
3. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilainilai
agama.
Namun, di era Revolusi Industri 4.0 seperti sekarang ini, paradigma dalam
melindungi pekerja perlu diubah. Hal ini karena perkembangan teknologi dan
informasi juga berdampak terhadap perubahan jenis dan pola kerja tenaga kerja.
Revolusi industri 4.0 telah menggeser hubungan kerja. Menurut ketentuan Pasal 50
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa hubungan kerja
terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
Hubungan kerja merupakan hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. 5
Hubungan kerja hendak menunjukkan kedudukan kedua pihak yang pada
dasarnya menggambarkan hak-hak dan kewajiban-kewajian pekerja atau buruh
terhadap pengusaha atau majikan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengusaha
majikan terhadap buruh atau pekerja. Di era Revolusi industri 4.0, relasi antara
pekerja dan pemberi kerja bukan lagi berbentuk hubungan kerja tapi kemitraan.
Menurut Harijanto, melihat pola hubungan kerja yang berkembang di era revolusi
industri 4.0 yakni kemitraan. Perubahan hubungan kerja itu berdampak pada
pengupahan. Menurutnya pemangku kepentingan telah mengantisipasi itu dan telah
berkembang wacana mengenai pembayaran upah yang dihitung per jam, hari,
mingguan, dan bulanan. Perkembangan ini juga perlu didukung melalui beberapa
kebijakan seperti asuransi pengangguran, dan skill development funds untuk
meningkatkan dan mengembangkan keterampilan buruh. “Ini penting untuk
mengantisipasi disrupsi revolusi industri 4.0, butuh reformasi ketenagakerjaan yang
memberi perlindungan terbaik bukan saja bagi pekerja tapi juga masyarakat agar bisa
5
Taryono, Perlindungan Bagi Pekerja di Era Revolusi Industri 4.0 dalam Perspektif Hubungan
Industrial, Prosiding Seminar Nasional Hukum Transendental 2019, 28 Maret 2019, hal. 53.
mengakses lapangan kerja.Dengan melihat perkembangan relasi di era revolusi
Industri 4.0, Sehingga perlindungan terhadap pekerja bukan hanya pada status
pekerjaannya saja sebagaimana disebutkan diatas, tetapijuga perlindungan terhadap
kemampuan untuk bekerjanya.6

Sumber :

6
Taryono, Perlindungan Bagi Pekerja di Era Revolusi Industri 4.0 dalam Perspektif Hubungan
Industrial, Prosiding Seminar Nasional Hukum Transendental 2019, 28 Maret 2019, hal. 54.
Kurniawan, F. E. (2021, Desember). Digitalisasi dan Dampak Pola Baru. Jurnal
Sosioteknologi, 397-399.
Taryono. (2019, Maret 28). Perlindungan Bagi Pekerja di Era Revolusi Industri 4.0
dalam Persepektif Hubungan Industrial. Prosiding Seminar Nasional Hukum
Transendental 2019, p. 49-54.

Anda mungkin juga menyukai