Anda di halaman 1dari 14

Hubungan Industrial dalam Menghadapi Gig economy di Indonesia Saat Pandemi

COVID-19

Disusun oleh :

Ahmad Rizki Nurfarhan (1806240145)

UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2021

i
Daftar Isi

Daftar Isi................................................................................................................................. ii
BAB I...................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN.................................................................................................................... 1
1.1 Latar belakang masalah................................................................................................1
1.3 Tujuan Makalah............................................................................................................ 3
1.4 Metode Penelitian......................................................................................................3
1.4.1 Pendekatan Penelitian...............................................................................................3
1.4.2 Jenis Penelitian.......................................................................................................... 3
1.4.3 Teknik Pengumpulan Data.........................................................................................3
1.5 Batasan Penulisan........................................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................... 4
KERANGKA TEORI............................................................................................................... 4
2.1 Teori Gig Economy.......................................................................................................4
2.2 Hubungan Industri.........................................................................................................5
BAB III.................................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN...................................................................................................................... 7
3.1 RUU Omnibus law pada Gig economy indonesia.........................................................7
3.2 Hubungan industrial pada Gig economy di Indonesia...................................................8
BAB IV.................................................................................................................................. 10
PENUTUP............................................................................................................................ 10
4.1 Kesimpulan................................................................................................................. 10
4.2 Kritik dan Saran.......................................................................................................... 10
Daftar Pustaka :.................................................................................................................... 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Kemajuan teknologi telah memungkinkan pekerja terhubung dengan pihak konsumen melalui
aplikasi platform online untuk pekerjaan mulai dari transportasi online hingga aktivitas jual
beli barang kebutuhan sehari-hari. Kemunculan fenomena gig economy dalam ekonomi
digital semakin meningkat sejak terjadinya pandemi COVID-19. Gig economy merupakan
fenomena ekonomi di mana terjadinya pergeseran status para pekerja yang umumnya pekerja
tetap menjadi independent workers yang terdiri dari para pekerja kontrak sementara, pekerja
lepas (freelance), atau karyawan tidak tetap (temporary workers). Kehadiran gig economy
telah membawa tantangan bagi dunia hubungan industri itu sendiri . Pada 11 Maret 2020,
WHO secara resmi menyatakan wabah COVID-19 sebagai pandemi global. Pandemi telah
membuat banyak pelaku usaha menghadapi berbagai masalah. Berdasarkan survei LIPI di
Indonesia (dalam Pudjiastuti, 2020) ditemukan 39,4% usaha tidak beroperasi, 57,1% kegiatan
produksi menurun, dan 3.5% tidak mengalami masalah khusus yang disebabkan oleh
COVID-19. Akibatnya banyak terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Sampai 27 Mei
2020, data Kementerian Ketenagakerjaan RI (dalam Sandi, 2020) menunjukkan sebanyak
1.058.284 pekerja formal dirumahkan dan 380.221 orang di-PHK. PHK dan sulitnya mencari
pekerjaan baru semakin mendorong terjadinya gig economy.

Gig economy merupakan kemunculan suatu bentuk hubungan kapital antara pekerja dengan
platform digital yang menjadi penghubung bagi penyedia tenaga kerja dan permintaan
konsumen untuk menyelesaikan tugas kecil (gig) dan beroperasi sekaligus sebagai perantara
pasar serta shadow employer (Friedman, 2014; Gandini, 2019). Anthony Hussenot, profesor
dari Université Nice Sophia Antipolis (UNS) telah memprediksi di artikelnya "Is freelancing
the future of employment?". Ia menyatakan bahwa pekerjaan lepas (freelance) adalah
pekerjaan masa depan. Indonesia menempati urutan ke empat dengan tenaga kerja terbesar di
dunia sehingga meningkatkan peluang gig economy untuk bertumbuh. Fenomena gig
economy di Indonesia dapat dilihat pada gambar 1. Pada 2018 terdapat sekitar 40 juta pekerja

1
lepas atau yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu. Pada triwulan I/2018, terdapat 127
juta penduduk yang bekerja berarti sepertiganya adalah pekerja lepas. Sejalan dengan itu,
data Bloomberg (2018) menyatakan perusahaan yang mencari on-demand worker juga
meningkat 26%.

Gambar 1. Jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang Bekerja Kurang dari 35 Jam Minggu Tahun
2013 - 2018

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2018; Salna dan Singgih, 2018

Menurut Mastercard dan Kaiser Associates (2019), kontribusi gig economy terhadap
ekonomi global diperkirakan sebesar US$204 miliar tahun 2018 dengan volume transaksi
terbesar berada di platform sektor jasa transportasi sebesar US$117,4 miliar. Berdasarkan
data Google, Temasek, dan Bain & Company (2019), Indonesia menjadi negara dengan
pangsa pasar layanan transportasi online tertinggi di ASEAN. Salah satu perusahaan
teknologi penyedia layanan transportasi online di Indonesia adalah Gojek. Tidak diketahui
pasti terkait jumlah mitra driver Gojek karena kebijakan perusahaan untuk merahasiakan.
Namun, diketahui saat pandemi terjadi peningkatan jumlah driver meski omzet mitra
umumnya menurun. Riset yang dilakukan LD FEB Universitas Indonesia (2019) ditemukan
rata-rata penghasilan mitra Go-Ride pada tahun 2018 di daerah Jabodetabek sebesar Rp 4,9
juta dan di luar Jabodetabek sebesar Rp 3,8 juta. Kemudian permasalahan muncul adanya
kurangnya jaminan sosial kepada pekerja bukan penerima upah, dimana dikatakan pekerja
yang bukan penerima upah harian sulit mendapatkan akses terhadap lembaga keuangan
seperti BPJS atau kurangnya informasi terhadap pekerja lepas (gig workers) . Jika dilihat
yang ada di indonesia pada tahun 2018 tercatat sebanyak 40 juta pekerja lepas itu artinya
beberapa orang bekerja pada sektor informal kebanyakan seperti itu dan sektor formal.
Jaminan sosial yang kurang memadai pada pekerja pada kondisi Gig economy (Gig

2
economy) seperti BPJS ketenagakerjaan , Jaminan kesehatan, jaminan pensiunan , jaminan
hari tua , kepastian kerja , dan pendapatan yang kurang menetap menjadi tantangan pada
kondisi Gig economy saat ini .

1.3 Tujuan Makalah 

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujua penulisan makalah ini adalah


menjelaskan Hubungan industri Gig economy di Indonesia.

1.4 Metode Penelitian

1.4.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah pendekatan


kualitatif. Creswell (2009) mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai penelitian yang
bertujuan untuk mengeksplor dan memahami pemahaman individu dan kelompok yang
dikaitkan dengan masalah sosial dan manusia. Penelitian ini berusaha untuk menganalisis Gig
economy di indonesia saat Covid-19.

1.4.2 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni bertujuan untuk menggambarkan


kejadian. Selain itu, penelitian ini juga termasuk penelitian murni karena berorientasi
akademis dan bertujuan menjelaskan pengetahuan yang mendasar. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif karena data yang dikumpulkan berupa kalimat, kata, pernyataan, atau
gambar.

1.4.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data metode kualitatif menggunakan studi literatur yang berkaitan


dengan suatu kajian teoretis dan referensi lainnya yang berkaitan dengan nilai, norma,
ataupun budaya dari perkembangan situasi sosial yang diteliti. Sumber-sumber diperoleh dari
berbagai literatur seperti buku, jurnal, hasil penelitian sebelumnya, dan sumber lainnya yang
relevan.

3
1.5 Batasan Penulisan

Dalam ruang lingkup penulisan, tim peneliti memberi batasan penulisan yaitu
mengenai Hubungan industrial dalam Gig economy di indonesia.

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1 Teori Gig Economy

Menurut Wilson dalam Fatmawati, Isbah, & Kusumaningtyas (2019), Gig Economy
merupakan pekerjaan yang dapat dicirikan dengan kontrak jangka pendek atau freelancer
yang nantinya pekerja tersebut hanya akan digaji berdasarkan pekerjaan yang dilakukannya
dan tidak mendapat penghasilan tetap. Menurut Brinkley (2016) Gig Economy dapat diartikan
sebagai sebuah pekerjaan dengan memanfaatkan berbagai platform online dalam
menjalankan sebuah komunikasi antara pekerja dengan klien. Menurut Stewart dan Stanford
(2017), terdapat karakteristik gig economy, seperti :

1. Pekerja dapat lebih fleksibel dalam menjalankan pekerjaannya baik dari segi waktu
maupun tempat yang dapat didasari oleh permintaan klien

2. Terdapat tiga hubungan yang dijalani oleh para freelancer yaitu pekerja, perantara digital,
dan pengguna akhir (klien)

3. Freelancer sangat memanfaatkan digital platform dalam menjalankan pekerjaannya


sehingga digital platform menjadi unsur yang sangat penting.

Klasifikasi Gig Economy

Gambar 2 : Klasfikasi Gig Economy

4
Sumber : Discovering Indonesian Digital Workers in Online Gig Economy Platforms

Menurut Fardany Faisal, A. L., Giri Sucahyo, Y., Ruldeviyani, Y., & Gandhi, A. 2019 Gig
economy diartikan seperti skema pekerjaan yang dilakukan tanpa hubungan kerja yang tetap.
Hal ini juga membangun istilah seperti tenaga kerja online dan online outsourcing. Dalam
schmidt kedua pekerjaan tersebut dibagi menjadi atas individu dan secara Bersama. Heeks
mengklasifikasikan gig economy menjadi 2 jenis pekerjaan yaitu Physical Gig Economy
(PGE) Yaitu orang yang memberikan produk/layanan di dalam lingkungan fisik secara
langsung seperti halnya Gojek dan Grab. Sementara itu Online gig economy merupakan
pekerja yang memberikan produk melalui digital platform sehingga diklasifikasikan sebagai
Online gig economy (OGE)

2.2 Hubungan Industri


Dalam beberapa tahun terakhir, konsep baru tertentu telah muncul sehubungan dengan
hubungan manajemen dengan karyawan, baik sebagai individu atau dengan organisasi
mereka, dan juga dalam pendekatan yang terkait dengan pengelolaan tenaga kerja. Hal ini
adalah hubungan karyawan, hubungan kerja dan manajemen sumber daya manusia. Salah
satu alasan utama dibalik adopsi istilah "hubungan karyawan" atau "hubungan kerja" telah
meningkatkan pentingnya hubungan kerja non-industri di banyak bidang kegiatan ekonomi.
Karena hubungan manajemen-karyawan menjadi ada di beberapa pekerjaan non-industri
seperti bisnis, perdagangan dan perdagangan, asuransi dan sektor jasa lainnya, penggunaan
istilah "manajemen sumber daya manusia" yang menggabungkan fungsi "administrasi

5
kepegawaian" dan "hubungan perburuhan atau industri" tampaknya lebih sesuai dan
komprehensif.

Istilah "hubungan karyawan", yang juga muncul dalam arena manajemen sumber daya
manusia seperti dalam praktik sekarang, mengacu pada hubungan manajemen dengan
karyawan individu. ILO telah menggunakan istilah "hubungan kerja" dalam perspektif yang
lebih luas, yang menyatakan bahwa istilah tersebut ada "ketika seseorang melakukan
pekerjaan atau layanan dalam kondisi tertentu dengan imbalan remunerasi." ILO juga
mengadopsi Rekomendasi Hubungan Kerja No. 198 pada tahun 2006, yang antara lain
memberikan pedoman yang berkaitan dengan perumusan dan penerapan kebijakan nasional
tentang masalah tersebut, penentuan hubungan tersebut dan pembentukan mekanisme yang
sesuai. Apapun perbedaan dalam pola pengaturan organisasi untuk mengelola pekerja, baik
saat ini maupun yang akan datang, ada penerimaan umum dari pernyataan bahwa "hubungan
industrial" melibatkan hubungan antara manajemen dan tenaga kerja yang terorganisir
bersama dengan lembaga pemerintah yang mempengaruhi hubungan tersebut.

6
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 RUU Omnibus law pada Gig economy indonesia

RUU Cilaka atau RUU Cipta Kerja ditujukan untuk menyederhanakan berbagai
bidang yang sebelumnya diatur secara eksklusif. Pertama, jika RUU ini disahkan menjadi
undang-undang, pekerja lepas akan berisiko dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan pekerja
penuh waktu. RUU tersebut mengubah Pasal 56 Undang-Undang No.13 / 2013 tentang
Ketenagakerjaan dan mencabut Pasal 59 dari undang-undang yang sama. Perusahaan
mengatur perjanjian kerja, perpanjangan kontrak, dll. Untuk pekerja lepas. Menurut Naskah
Akademik RUU Cipta kerja, Pasal 59 dicabut untuk menyesuaikan dengan dunia kerja global
yang terus berubah. Ini bertujuan untuk melegalkan kontrak kerja yang lebih "fleksibel" bagi
pekerja lepas. Ini sepertinya tidak menjadi masalah, tetapi sebenarnya ada ruang bagi
perusahaan untuk mempekerjakan seseorang secara permanen sebagai pekerja outsourcing
daripada karyawan penuh waktu karena tidak ada batasan berapa lama proyek freelance harus
berlangsung. Tidak hanya itu, cara ini juga bisa diterapkan di semua bidang pekerjaan akibat
dari ini akan memunculkan trend dalam gig economy di indonesia mengikuti trend yang ada
di dunia seperti amerika serikat .

Situasi ini dapat menempatkan setiap pekerja pada posisi yang sulit untuk
mendapatkan pekerjaan mereka karena kontrak pekerja lepas dapat diputus sesuai keinginan
perusahaan tanpa konsekuensi dari pihak pemberi kerja. Jika RUU Penciptaan Pekerjaan
disahkan menjadi undang-undang, pekerja outsourcing juga dapat terpengaruh oleh
permintaan klien bahkan lebih dari sebelumnya. Di bawah undang-undang tersebut, pasal
khusus yang membatasi ruang lingkup pekerjaan pekerja outsourcing dicabut, yang berarti
mereka benar-benar akan bergantung pada klien dan perusahaan mereka sendiri. Mari kita
tidak berbicara tentang bagaimana jam kerja maksimum per minggu dan lembur dinaikkan
dalam tagihan semata-mata untuk "memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan produksi".
Omnibus law ini mungkin menutup tidak hanya kesempatan untuk menangani segala bentuk
ketidakadilan di lingkungan kerja kita, tetapi juga kesempatan untuk memperbaiki apa yang
peraturan sebelumnya menghambat atau kurang produktif. Alih-alih membenahi masalah

7
fundamental yang sudah berlangsung lama di dunia kerja kita, justru justru memperburuk
situasi pekerja Indonesia. Dan itulah mengapa RUU ini disebut cilaka.

3.2 Hubungan industrial pada Gig economy di Indonesia

Terlepas dari manfaatnya, ada beberapa kerugian pada gig economy. Meskipun tidak
semua pemberi kerja cenderung mempekerjakan karyawan kontrak, tren ekonomi saat ini
dapat mempersulit karyawan penuh waktu untuk mengembangkan karier mereka karena
karyawan sementara seringkali lebih murah untuk dipekerjakan dan lebih fleksibel dalam
ketersediaan mereka. Pekerja yang lebih memilih jalur karir biasanya ada stabilitas dan
keamanan yang menyertainya jenjang karier yang jelas di beberapa industri. Bagi sebagian
pekerja, keluwesan pada work from home kerja justru dapat mengganggu keseimbangan
kehidupan kerja, pola tidur, dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Fleksibilitas dalam ekonomi
pekerjaan sering berarti bahwa pekerja harus menyediakan diri mereka sendiri setiap kali
pekerjaan muncul, terlepas dari kebutuhan mereka yang lain, dan harus selalu mencari
pekerjaan berikutnya. Persaingan untuk mendapat pekerjaan juga meningkat selama pandemi.
Dan asuransi pengangguran biasanya tidak mencakup pekerja gig economy ini yang tidak
dapat menemukan pekerjaan (UU Omnibus law). Akibatnya, pekerja dalam gig economy
lebih seperti pengusaha daripada pekerja biasanya . Meskipun ini mungkin berarti kebebasan
memilih yang lebih besar bagi pekerja individu, ini juga berarti bahwa keamanan pekerjaan
tetap dengan gaji tetap, tunjangan termasuk jaminan hari pensiun dan rutinitas harian yang
ditandai dengan pekerjaan selama beberapa generasi dengan cepat menjadi hal yang penting. .

Terakhir, karena sifat cair dari transaksi dan hubungan pada gig economy ini , hubungan
jangka panjang antara pekerja, pemberi kerja, klien, dan perusahaan/vendor dapat terkikis. Ini
dapat menghilangkan manfaat yang ada dari membangun kepercayaan jangka panjang,
praktik , dan keakraban dengan klien dan pemberi kerja. Hal ini juga dapat menghambat
investasi dalam aset khusus hubungan yang seharusnya menguntungkan untuk dikejar karena
tidak ada pihak yang memiliki insentif untuk berinvestasi secara signifikan dalam suatu
hubungan industri itu sendiri.

Ada beberapa hal yang harus digarisbawahi ketika gig economy sudah mulai tinggi setelah
covid-19 , yaitu oleh gig employment. Sebelum menjadi gig employment, calon pekerja harus

8
melalui proses seleksi yang ketat bersaing dengan pelamar lainya. Pekerjaan pun tidak selalu
ada atau sejalan dengan kompetisi yang dimiliki oleh pekerja dan permintaan dari user /
clientnya . Dalam urusan hukum saat ini para freelancer belum memiliki regulasi yang
melindungi jaminan sosial saat ini hanya baru saja beberapa pekerjaan lepas yang
memilikinya seperti mitra driver ojek online yang memiliki BPJS ketenagakerjaan , namun
akibat covid-19 yang banyak di PHK serta omnibus law yang disahkan maka banyak
pekerjaan jenis outsourcing dan pekerja lepas . Kemudian juga , Status mereka secara hukum
masih terombang-ambing, tidak dapat diklasifikasikan sebagai karyawan ataupun pengusaha
‘kecil’. Karenanya, gig company cenderung terkesan semena-mena dan sepihak atas
keputusan kebijakan proyek mereka. Tidak sedikit dari kebijakan mereka yang berujung
berdampak merugikan bagi gig employment. Seperti halnya PT Shopee internasional bisa
mengeksploitasi kurir nya sendiri dimana posisi kurir sebagai pekerja lepas dan ada kontrak
kerja dengan pemberi kerja dan pekerja itu sendiri , insentif terhadap kurir itu sendiri
hanyalah sedikit dan jauh dibawah UMR atau UMP DKI Jakarta serta juga tidak ada jaminan
sosial yang diberikan oleh PT Shopee international . Alih-alih memberikan insentif tetapi
malah justru menurunkan harga itu sendiri dalam negosiasi sepihak dengan pekerja lepas
tersebut serta bisa mengakibatkan putus hubungan dengan pekerja dan pengusaha secara
sepihak. (Franchisca, 2021) . Kemudian juga ada kasus OYO Indonesia tidak membayar gaji
karyawan kontraknya hingga 6 bulan yaitu karyawan yang hanya mengikuti proyeknya saja .

Dengan concern yang terjadi dan melihat prospek masa depan akan gig economy di
Indonesia, maka mau tidak mau, pemerintah harus segera membuat kebijakan yang
menengahi kedua belah pihak. Beberapa rekomendasi berdasarkan tingkat urgensinya adalah
peraturan perundang-undangan yang jelas dalam melindungi gig employment dari
permasalahan keselamatan kerja, peraturan mengenai pemecatan, suspensi, dan pengambilan
keputusan kebijakan, peraturan perlindungan hak upah yang akan diterima oleh calon pekerja
dari setiap proyek yang diambil dan terakhir yakni pelatihan yang memadai untuk gig
employment terutama mengenai kontrak kerja yang akan diambilnya dengan perusahaan.

9
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Di tengah pandemi COVID-19 global, pekerja gig economy menjadi penting untuk
memberikan rasa normalitas dan menjaga layanan tetap berjalan yang tidak akan bertahan
dari krisis. Dari pengiriman makanan dan obat-obatan yang vital hingga layanan pengajaran
online, gig economy telah menawarkan bantuan yang sangat dibutuhkan selama penguncian
di seluruh dunia. Terlebih lagi, karena orang kehilangan pekerjaan atau jam kerja mereka
berkurang, banyak yang beralih ke gig economy untuk segera menambah pendapatan mereka
yang hilang seperti driver ojek online , bekerja freelance sebagai designer / digital marketing,
ataupun konsultan . Saat ini, tidak jarang mendengar tentang individu yang beralih dari
bekerja sebagai karyawan kontrak di satu bidang menjadi menjadi gig workers atau pekerja
lepas di bidang lain. Salah satu contoh utama adalah penyelenggara acara langsung yang telah
beralih gigi untuk menyelenggarakan konferensi online sesuai kebutuhan, atau penulis konten
yang telah dipekerjakan penuh waktu oleh satu perusahaan dan mulai bekerja lepas untuk
berbagai klien. Kemudian dari RUU cipta kerja itu sendiri lebih mendukung ke arah pekerja
lepas itu sendiri yang rentan terhadap eksploitasi karena dari pekerja lepas itu harus ada
undang-undang mengenai perlindungan tenaga kerja seperti jaminan kesehatan , bpjs
ketenagakerjaan , jaminan hari tua , dan hak-hak serta kewajiban itu sendiri. Fenomena gig
economy bisa membawa dampak positif dan negatif itu sendiri bagi warga indonesia karena
jaman serba digital ini , masyarakat dituntut juga untuk dapat bekerja sebagai outsourcing,
dimana diberi kebabasan untuk bekerja bukan lagi sebagai pegawai tetap dan hal itu
memunculkan kepada masalah hubungan industrial dimana ketidakpastian pekerjaan untuk
serikat pekerja.

10
4.2 Kritik dan Saran
Menyiapkan regulasi untuk memberikan jaminan sosial pada pekerja lepas dalam gig
economy karena pekerja lepas dan RUU cipta kerja cenderung bisa eksploitasi pekerja itu
sendiri.

Daftar Pustaka :

Annur, Cindy Mutia. (22 Januari 2020). “Gojek dan Grab Respons Rencana DPR
Usut Pajak Mitra Driver Ojek Online.” Diakses pada 20 April 2021
https://katadata.co.id/desysetyowati/digital/5e9a498fccf11/gojek-dan-grab-respons-
rencana-dpr-usut-pajak-mitra-driver-ojek-online

Brinkley, I. (2016). In search of the Gig Economy. The Work Foundation. Diakses pada 20
april 2021. www.workfoundation.com

Fardany Faisal, A. L., Giri Sucahyo, Y., Ruldeviyani, Y., & Gandhi, A. (2019).
Discovering Indonesian Digital Worker, 2019 International Conference on
Information and Communications Technology

Gandini, Alessandro. 2019. “Labour Process Theory and the Gig Economy.” Human
Relations. Vol. 72(6): 1039-1056.

Google, Temasek, dan Bain & Company. 2019. “Swipe Up and to the Right:
Southeast Asia’s $100 Billion Internet Economy.” e-Conomy SEA 2019. Diakses pada
20 April 2021
https://www.blog.google/documents/47/SEA_Internet_Economy_Report_2019.pdf

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. (21 Maret
2019). “Hasil Riset LD FEB UI Tahun 2018: GOJEK Sumbang Rp 44,2 Triliun ke
Perekonomian Indonesia.” Diakses pada 20 April 2021 https://ldfebui.org/wp-
content/uploads/2019/03/Berita-Pers-Lembar-Fakta-LD-UI-Dampak-GOJEK.pdf

11
Mastercard dan Kaiser Associates. (Mei 2019). “The Global Gig Economy:
Capitalizing on a ~$500B Opporunity.” Mastercard Gig Economy Industry Outlook
and Needs Assessment. Diakses pada 20 April 2021
https://newsroom.mastercard.com/wp-content/uploads/2019/05/Gig-Economy-White-
Paper-May-2019.pdf

Pudjiastuti, Tri Nuke. (20 Mei 2020). “Dampak Darurat Virus Corona Terhadap
Tenaga Kerja Indonesia.” LIPI. Diakses pada 20 April 2021
http://lipi.go.id/berita/Dampak-Darurat-Virus-Corona-terhadap-Tenaga-Kerja-
Indonesia/22034

R. Heeks, Digital Economy and Digital Labour Terminology: Making Sense of the
"Gig Economy", "Online Labour", "Crowd Work", "Microwork", "Platform Labour",
Etc. CDIGDI Institute, 2017.

Salna, Karlis dan Viriya Singgih. (6 Agustus 2018). “Indonesia's Booming Gig
Economy Means Big Tradeoffs for Workers.” Bloomberg Company. Diakses pada 20
April 2021. https://www.bloomberg.com/news/articles/2018-08-06/indonesia-s-
booming-gig-economy-means-big-tradeoffs-for-workers

Sandi, Ferry. (19 Juni 2020). “PHK Pekerja Belum Berakhir, Ini Buktinya!” CNBC
Indonesia. Diakses pada 20 April 2021
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200619110855-4-166535/phk-pekerja-
belum-berakhir-ini-buktinya

Stewart, A. and Stanford, J. (2017). Regulating work in the gig economy: What are the
options?. The Economic and Labour Relations Review. 28(3), pp.420-437. Diakses
pada 20 April 2021. http://0-journals.sagepub.com.wam.leeds.ac.uk

12

Anda mungkin juga menyukai