Anda di halaman 1dari 126

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang memperbanyak, mencetak clan menerbitkan sebagian atau seluruh


buku dengan cara clan clalarn bentuk apapun juga tanpa seizin penulis clan
penerbit

Cetakan Pertarna 2013

ISBN 978-979-84 21-82-2


' • • • • • • -.1� .,. "-'

Sambutan Ketua UKK Alergi lmunologi IDAI

Kami mengucap syukur alhamdulilah bahwa pertemuan ilmiah tahunan


UKK Alergi Imunologi IDAI yang pertama dapat terlaksana dengan baik.
Bentuk pertemuan ilmiah ini dikemas sebagai Annunl Scientific Meeting of
Indonesian Pediatric Allergy and Clinical Immunology (IPACI) yang merupakan
wadah silahturahmi clan pemantapan seluruh anggota UKK Alergi Imunologi
di Indonesia dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan maupun
ketrampilan diri untuk mengemban berbagai cugas di bidang alergi imunologi
di wilayah masing-rnasing, Pertemuan ini merupakan kerja keras clan dedikasi
tiada henti seluruh insan UKK Alergi Imunologi dengan dukungan dari
berbagai pihak clan tidak lepas acas restu clan dorongan dari pimpinan dan
pengurus IDAI pusat.
IPACI yang pertama kali diselenggarakan di Jakarta canggal 9-10
November 2013 ini diharapkan dapat mencapai manfaat yang sebesar-
sebesamya clan semoga bisa diteruskan sebagai kegiatan tahunan rutin di masa
yang akan datang. Dengan cersusunnya buku kumpulan makalah ilmiah !PACI
yang pertama ini semoga bisa merupakan sumber wawasan clan pengembangan
khususnya bagi anggota UKK Alergi Imunologi clan dokter spesialis anak yang
lain serta para dokter di Indonesia.
Kami menyadari bahwa buku ini masih sederhana dan belum sempurna,
clan kami menghaturkan banyak terima kasih atas peran serta clan partisipasi
dari para penulis, panitia serta pihak-pihak lain yang tidak bisa kami sebutkan
satu persacu. Akhimya kami mohon maaf yang sebesar-besamya apabila
terdapat kekurangan maupun ketidaksempumaan dalam pelaksanaan l st
!PACI clan penyusunan buku ini.

Yogyakarta, 9 November 2013

Kecua UKK Alergi Imunologi


Dr. Sumadiono, Sp.A(K)

iii
- •,, ,:1.,,'1,';• ... !.:t•.i.;;.,., ' ' ··- :. ••·�t. • • •, .·:::Ah" ... a :... ' • • ._ • �

Sambutan Ketua PP. JDAI

Salam dari Ikatan Dokter Anak Indonesia

Pengurus Pusat IDAI mengucapkan selamat kepada Unit Kerja koordinasi


(UKK) Alergi lmunologi yang telah memprakarsai pertemuan ilmiah ini.
Pertemuan semacam ini sangat diperlukan oleh sebuah organisasi profesi untuk
menyamakan pemahaman terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang ada.
Penyamaan pemahaman terhadap suatu ilrnu kedokteran yang ditindaklanjuti
dengan satu kesepakatan dalam tata laksana akan meningkatkan kualiras
pelayanan kesehatan yang akan diberikan kepada pasien. Kualitas pelayanan
kesehatan yang baik akan menghasilkan suatu kondisi yang memperhatikan
'patient safety', ha! yang selalu diminta oleh masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan anak.
Annual Scientific Meeting of Indonesian Pediatric Allergy and Clinical
Immunology yang hanya ditujukan untuk anggota UKK Alergi lmunologi
!DAI, menjadikan pertemuan ini mempunyai kespesifikan clan nilai rambah
bagi anggotanya. Bagi IDAI, pertemuan ini rnerupakan harapan besar unruk
dihasilkannya penyamaan persepsi dalam ratalaksana, rekornendasi, maupun
konsensus dari berbagai masalah alergi irnunologi anak di Indonesia. Tugas
mulia ini memang harus dilakukan oleh UKK sebagai badan pelengkap !DAI.
Pengurus Pusat IDA! mengharapkan akan ada pertemuan kedua, ketiga
clan seterusnya dengan tetap mempertahankan kecirikhasan perrernuan
ini. Perremuan seperti ini sangat mendukung komitrnen IDA! untuk
mendedikasikan keberadaannya dalam rneningkatkan kualiras kesehatan
anak Indonesia.

Selarnat bertugas

Dr. Badriul Hegar, Ph.D. SpA(K)


Kenia Urnum Ikatan Dokter An�k'Indbriesia

v
ui
Assalaamu 'alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. berkat karunia-Nya kami
masih diberi kesempatan untuk menyunting makalah clan menerbitkannya
dalam bentuk buku. Dalam melakukan penyuntingan, kami tidak mengubah
kandungan inti dari makalah, karena itu merupakan tanggung jawab dari
penulis.
Buku ini merupakan buku pertama yang diterbitkan oleh UKK Alergi
lmunologi IDAI selain Buku Ajar, yang disusun dalam rangka penyelenggaraan
1st Annual Meeting of Indonesian Pediatric Allergy and Clinical Immunology
(!PACI) dengan tema Update in Pediatric Allergy and Immunology. Tulisan ini
berisi masalah praktis yang dihadapi oleh dokter spesialis anak yang melakukan
praktek subspesialis Alergi clan lmunologi, baik di ruang rawat inap maupun
pasien rawat jalan di poliklinik.
Meskipun kami sudah bekerja keras melakukan penyuntingan, sangat
mungkin masih ada kesalahan yang kami perbuat. Untuk itu kami mohon maaf
atas kesalahan tersebut. Kami sampaikan terima kasih kepada semua penulis
yang telah meluangkan waktu untuk membuat makalah di sela kesibukannya
sebagai staf pengajar clan praktisi klnis. Kami juga mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah berperan baik langsung
maupun tidak langsung dalam penerbitan buku ini.

Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb.

Hormat karni,
Penyunting,
Nia Kumiati
Endah Citraresrni

vii
._::..�� .. ��� _,:2..er-':: .... -�� - ,-. ' • � !..!" .,....! =,,.::1.-.... •• � •• �-

. Susunan Panitia

Pelindung Ketua PP IDAI


Penasihat Dr. Sumadiono, SpA(K)
Prof. Dr. Arwin AP Akib, SpA(K)

Ketua Dr. Dina Muktiarti, SpA(K)


Wakil Ketua Dr. Martani Widjajanti, SpA(K)
Sekreraris Dr. Endah Citraresmi, SpA
Dr. Nila Kusumasari, SpA
Sie Ilmiah DR. Dr. Zakiudin Munasir, SpA(K)
DR. Dr. Anang Endaryanto, SpA(K)
Dr. Nia Kumiati, SpA(K)
Sie Acara Dr. Molly DUmakuri, SpA
Dr. Dita Setiati, SpA
Dr. Keumala Pringgadini, SpA
Sie Konsumsi Dr. Sri Lestari, SpA
Dr. Eny Febrianti, SpA
Sie Akomodasi, Perlengkapan clan Transportasi:
Dr. Isman Jafar, SpA
Dr Hermansyah, SpA

viii
·r-:. •. · . . ,-.�:.v•· ... -J·�� ... , .. "!,_.,,"£��-·�<Z-·"'- .,·"'.{.:.:;··:,1 -'-�· •!;-�,..-�:.::.1,•',·'.,;,� .• ,, �· • _: ,:.,,-.:•

· Daftar Penulis _

DR. Dr. Anang Endaryanto, SpA(K)


Divisi Alergi Imunologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUNAIR-RS Dr Soetomo
Surabaya

Prof. Dr. Arwin A P Akib, Sp A (K)


Divisi Alergi Imunologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
Jakarta

DR. Dr. Budi Setiabudiawan, SpA(K)


Divisi Alergi lmunologi
Oepartemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD - RS. Hasan Sadikin
Bandung

Dr. Dina Muktiarti, SpA(K)


Divisi Alergi Imunologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUl-RSCM
Jakarta

Dr. Mulya Safri, SpA(K)


Departernen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Syiah Kuala
Rumah Sakit Dr. Zainal Abidin, Banda Aceh

Dr. Nia Kurniati, SpA(K)


Divisi Alergi lmunologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
Jakarta

ix
Dr. Reni Ghrahani, SpA(K)
Divisi Alergi lmunologi
Deparremen llmu Keseharan Anak FK UN PAD - RS Hasan Sadikin
Bandung

Dr. Sumadiono, SpA(K)


Divisi Alergi lmunologi
Departemen llmu Kesehatan Anak FKUGM-RS Dr Sardjito
Jogjakarta

Dr. Zahrah Hikmah, SpA


Divisi Alergi lmunologi
Departernen llmu Kesehatan Anak FKUNAIR-RS Dr Soetomo
Surabaya

DR. Dr. Zakiudin Munasir, SpA(K)


Divisi Alergi Imunologi
Departernen llmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
Jakarta

x
.•• , . '.•dt.,.',.:.-· ... · ... :.. •. ' ... ; -· .:i-'. :, '!.","..._ .... ·,..�""'. i..it:,.i.:��, t

. Daftar lsi ·

Kata Sambutan Ketua UKK Alergi hnunologi IDAI iii

Kata Sambutan Ketua PP IDAI v

Kata Pengantar vii

Susunan Panitia viii

Daftar Penulis ix

Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) Pada Anak: Upaya Mencari


Kriteria Klasifikasi SLE Lebih Prak tis 1
Prof Dr. Arwin AP Akib, SpA(K)
Penyakit Autoimun Pacla Anak 9
DR. Dr. Budi Setiabudiawan, SpA(K)
Diagnosis Defisiensi lmun 32
Dr. Nia Kumiati, SpA(K)
Tata Laksana Dermatitis Atopi pada Bayi clan Anak (Untuk Mencegah
Terjadinya Asma di Kemudian Hari) .43
DR. Dr. Zakiudin Munasir, SpA(K)
Pencegahan Penyakit Alergi pada Bayi clan Anak 60
Dr. Sumadiono, SpA(K)
Standar Pemeriksaan Fisis Pada Bidang Rernatologi Anak 65
Dr. Zahrah Hikmah, SpA •
Pemeriksaan Laboratorium Pada Penya kit Autoimun 77
Dr. Reni Ghrahani, SpA(K)
Tata Laksana Terkini Artritis lcliopatik Juvenil 84
Dr. Dina Mukciarci, SpA(K)
Oral Tolerance in Allergy: What is the Mechanism? 100
DR. Dr. Anang Endaryamo, SpA(K)

xi
Peran Sensitisasi Alergen Protein Susu Sapi Terhadap Aktifitas Limfosit
Th-I dan Th-2 dalam Hubungan dengan Mengi pada Bayi Usia sampai
Satu Tahun 109
Dr. Mu/ya Safri, SpA(K)

,<ii
Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
pada Anak
Upaya mencari kriteria klasifikasi SLE lebih praktis.

Arwin A.P. Akib

SLE Pediatrik
Lupus eritematosus sistemik pada anak (SLE pediatrik = pSLE) merupakan
penyakit kronik pada anak yang perkembangannya sulit diduga, dan hampir
selalu berada dalam pengawasan medis jangka panjang berkesinambungan.
Pengawasan medis ini kerap berlanjut secara spesialistik sampai masa dewasa.
Manifestasi klinis pSLE sangar beragarn dari gejala klinis ringan sarnpai dengan
keadaan klinis yang mengancam jiwa, dengan episod kambuhan (flare) dan
remisi intermiten.
Perjalanan klinis pSLE lebih berat dibandingkan dengan dewasa. Gejala
klinis pada saat diagnosis umumnya memperliharkan eritema (rash), demam,
dan artritis, serta sepanjang perjalanan penyakitnya sering terjadi kekambuhan
yang ditandai oleh demam, rambut rontok, lesu, penurunan berar badan,
keluhan perut (abdominal discomfort), serta inflamasi um um difus (diffuse
generalized inflammation) yang dapat mempengaruhi kualitas hidup anak.

Kriteria Klasifikasi SLE


Kriteria klasifikasi SLE yang paling luas dipergunakan adalah kriteria menu rut
American College of Rheumatology revisi /1982 (ACR 1982) yang menilai
gambaran klinis dan laboratorium penvakitjlupus (Tabel 1). Kriteria terse but
direvisi lagi pad a tah�n f997 · dengan ,p�rubahan pada krireria kelainan
im_un�logi yang �eng�il.:ingka�\�r2,:eri� sit LE positif dan menambahkan
kntena antibcdi antikardiolipin pos"t'ctf berdasarkan 1) abnorrnalitas
pemeriksaan IgG atau lgM antifosfolipid, 2) uji antikoagulan lupus (LA) positif
a tau 3) uji serologi sifilis positif palsu (Tabel 2). Kriteria terse but tidak secara
eksklusif ditujukan untuk pSLE tetapi dapat diaplikasi dengan baik pada anak.
Kriteria ACR 1982 sudah divalidasi tetapi untuk revisi 1997 belum dilakukan.

Perbaikan Kriteria ACR


Berbagai kelompok peneliti melakukan usaha perbaikan kriteria klasifikasi
..,.:;..;:...: -· .r.....' ··- � • '.£:: •• ::--�--------�,.--'�. . .i.-'.,.·,... .,�---�-- ...... J;,..:J,,._.., .... _ .... :..�
o,agnom Lupus Eritematosus Sistem,k (SLE) padn Anak

SLE memakai metologi statistik lebih baru. Telah dibuat sistem pembobotan
(weighting system) terhadap gejala klinis clan laboratorium penvakit lupus
dengan memasukkan juga nilai antibodi antifosfolipid clan patologi ginjal.
Bcberapa kriteria definisi telah direvisi, misalnya untuk menyatakan artritis
perlu bukti objektif sinovitis. Kriteria pembobotan ini dikatakan lebih sensitif
tapi kurang spesifik,
Lupus nefritis merupakan salah satu bentuk klinis berat pSLE yang sering
disertai peningkatan kadar anrikardiolipin (aCL), hipertensi, sindrom nefrotik,
clan membutuhkan hemodialisis. Karena itu untuk tata laksana pediatrik lupus
nefritis perlu dilakukan pemeriksaan histologi renal clan aCL, tidak hanya
untuk dianosis clan klasifikasi derajat berat penyakit, tapi juga untuk respons
pengobatan dan prognosis pasien. Klasifikasi lupus nefritis dinjurkan menurut
Internacional Society of Nephrology/Renal Pathology Society 2003.
Pasien SLE mempunyai risiko tinggi untuk menderita berbagai gangguan
neuropsikiatri (NPSLE) dengan manifestasi kumulatif sering (> 5%) berupa
penyakit serebrovaskular (CYD) clan kejang, serta manifestasi relatif jarang
( 1-5%) seperti disfungsi kognitif berat, depresi major, keadaan konfusi akut
(ACS-acute confusional state), kelainan psikosis saraf tepi (peripheral nervous
disordesr psychosis). The European League Against Rheumatism (EULAR)
membuat rekomendasi neuropsikiacri SLE (2010) sebagai dasar untuk tata
laksana NPSLE.

label 1. Kriteria klasifikasi SLE American College of Rheumatology (ACR) revisi 1982*
1. Ruam malar
2. Lupus diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulserasi mukokutaneus oral atau nasal
5. Artritis nonerosif
6. Nefritis**
Proteinuri ,o,s g/24 jam
Silinder sel
7. Ensefalopati**
Konvulsi
Psikosis
8. Pleuritis atau perikarditis
9. Sitopenia
10. lmunoserologi positif**
Antibodi terhadap double strandedDNA ( anti dsDNA)
Antibodi terhadap antigen nuklear Sm (antiSm)
Sel LE
Serologi sifilis (positif palsu)
11. Antibodi antinuklear (ANA) positif

* Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat p2:ling sedikit 4 dari 11 kriteria (empat dari 11 kriteria positif
menunjukkan 96% sensitivitas dan 96% spesifisitas untuk diagnosis LES dewasa)
• • Salah satu butir pernyataan cukup untuk memenuhi kriteria.
(Sumber: Tan EM, Cohen AS, Fries JF, et al. The 1982 revised criteria for the classification of systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum 1982;25:1271-77.)

2
. � - . �
- . Arwin A.P. Akib

Table 2. Krfterfa kfaslfikasl SL.£ American College of �heumatology {ACR) revisf 1997*
1. Ruam malar (kupu-kupu)
2. Ruam lupus diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulserasi mukokutaneus oral atau nasal
5. Artritis nonerosif
6. Nefritls** · Proteinuria ,0.5 g/24
· Silinder sel
7. Ensefalopati* · Konvulsi
· Psikosis
8. Pleuritis atau perikarditis
9. Sitopenia
10. lmunoserologi positif**
• Antibodi terhadap double stranded DNA ( anti dsDNA)
· Antibodi terhadap antigen nuklear Sm (antiSm)
- Antibodi antifosfolipid positlf berdasarkan temuan:
1. lgG atau lgM antikardiolipin, ATAU
2. Antikoagulan lupus (LA), ATAU
3. Positif palsu uji seroligi sifilis paling sedikit dalam masa 6 'bulan, yang dikonfirmasi dengan uji
imobilisasi Treponema pallidum atau uji flucresensi absorpsi antibodi treponema
11. Antibodi antinuklear (ANA)
* Posivitas >4 kriteria menunjukkan 96% sensitivitas, 96% spesifisitas, dan 76% ketepatan (akurasi)
** Salah satu kriteria dapat memenuhi persyaratan
(Sumber: Petty P.E, Laxer RM. Systemic lupus erythem_t_ s�
o u_
a _ s 2_0,_0_5�)'------------
.

Autoantibodi SLE
Autoantibodi merupakan faktor sentral clalam patogenesis SLE clan saat ini
dianggap mewakili aktivitas penyakit. Anti-clsDNA adalah autoantibodi
yang paling banyak ditelaah walaupun masih banyak lagi autoantibodi
yang berhubungan dengan manifestasi klinis SLE, terutama pada anemia
hernolitik autoimun, trombositopenia, penyakit kulit, clan lupus neonatal.
Penclekatan imunoproteomik kombinasi clilaporkan efektif mengidentifikasi
antibodi terhadap autoantigen kristalin aB, esterase D, APEX nuclease I,
protein ribosom, clan PA28y. Penelitian pada NPSLE menunjukkan hubungan
bermakna antara antibodi anti-esterase D dengan sinclrom saraf pusat clan
antara antibodi anti-APEX nuklease 1 dengan gangguan psikiatri.

Kriteria Klasifikasi SLICC


Sebuah kelompok internasional the Systemic Lupus International Collaborating
Clinics (SLICC) berupaya membuat revisi dan validasi kriteria klasifikasi ARC
1967 dengan tujuan untuk memperbaiki relevansi klinis, memenuhi keburuhan
ragam metodologi, clan cliselaraskan dengan pengetahuan imunologi SLE
mutakhir, Kegiatan kelompok SLICC terutama ditujukan untuk kepentingan
penelitian klinis.

3
-;...., �:;. "'' !: ·\� 1 ... 'iJJ:...... �i.· ... �· �--��!.

Diagnqsis Lupus Entematosus S1stem1k (5LE) pada Anak

Kriteria klasifikasi SLICC merupakan hasil kerja pembahasan klinis,


konsensus, dan analisis statistik selama delapan tahun. Perbaikan kriteria klinis
revisi ACR pada awalnya dilakukan pada 18 kriteria yang diidentifikasi dan
dianggap berhubungan dangan SLE. Seluruh kriteria yang dibahas tersebut
kemudian dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu Kriteria lmunologi clan
Kriteria Klinis. Kemudian dinilai derajat hubungan (degree of association)
antara setiap kandidat kriteria serta konsensus diagnosis SLE. Kriteria final
untuk rumusan kerja diperoleh dengan menggunakan partisi rekursif (recursive
partitioning, "tree-based" approach") terhadap set variabel tersebut, Setelah
serangkaian diskusi clan pembahasan berbagai kekeliruan klasifikasi kasus,
dilakukan perbaikan beberapa definisi. Leukopenia clan limfopenia kemudian
dijadikan satu kriteria sehingga tertinggal 17 kriteria. Seluruh kriteria tersebut
tidak harus timbul bersamaan (Tabel 3).
Berdasarkan. Kriteria Klasifikasi SLICC tersebut maka seorang pasien
masuk dalam klasifikasi SLE bila ia memenuhi em12at kriteria yang paling
sedikir terdiri dari satu Kriteria Klinis clan satu Kriteria lmunolo.Ei, ATAU
hasil biopsi ginjal terbukti nefritis yang sesuai dengan SLE pada seorang pasien
yang mengandung antibodi ANA atau anti-dsDNA.
Kerentuan untuk memenuhi paling sedikit satu Kriteria Klinis clan satu
Kriteria lmunologis menunjukkan pendapat SLICC bahwa kriteria klinis
atau imunologi sendiri tidak dapat dianggap sebagai klasifikasi SLE karena
SLE sesungguhnya adalah penyakit klinis yang ditentukan oleh autoantibodi
(auioantibody-driven clinical disease). Kriteria lupus nefritis merupakan kriteria
'berdiri sendiri' (stand alone criterion).
Definisi kriteria dipermudah a tau diringkas clan digabung agar dapat sesuai
untuk klasifikasi SLE bagi lebih banyak pasien. Ruam malar clan fotosensitivitas
ridak dibedakan karena banyak materi tumpang tindih di antara keduanya.
Setiap kriteria kutaneus berlaku untuk lupus akut serta subakut. Kriteria
kutaneus sekarang terpisah yang mencakup juga ruam diskoid, tapi berbagai
tipe lupus kucaneus kronik tidak dicantumkan lagi dalam kriteria ACR baru.
Untuk mempergunakan kriteria ini secara optimal maka pada beberapa pasien
SLE perlu dilakukan konsultasi dermatologi dan bahkan biopsi kulit,
Kriteria renal tentang proteinuria memasukkan pula rasio protein/
kreacinin urin tanpa perlu menentukan waktu pengambilan urine. Hal ini
untuk memperlihackan bahwa rasio protein/kreatin urine sewakcu acau acak
lebih mudah dari pada pengambilan urine 24 jam, dan estimasi kualitatif
proteinuria dari dipstick tidak cukup untuk keputusan klinis karena nilai
kuantitatifnya tidak dapat dipercaya.

4
. ·--�·- - " .�., =. ,, . ' - "'-'"" .,,.. __ . -· ' . ,. .. , , ...ArwinA.P.Akib

Tabel 3. Krltera klaslfikasl SLE Systemic lupus International Collaborating Clinics (SLICC)
Krlterfa Kffnls
1--------------------------------------···-··
1. Lupus kutaneus akut, termasuk ruam rnalar (bukan ruam diskoid), lupus bulosa, nekrolisis epidermal
toksik varian SlE, ruam lupus makulopapular, lupus fotosensitif, ruam tan pa riermatomiositis, a tau
lupus kutaneus subakut (psoriaform nonindurasi dan/atau lesi polisiklik anular yang menyembuh tanpa
jaringan pa rut walau sering disertai dispigmentasi pa sea inflamasi atau teleangiektasia)
2. lupus kutaneus kronik, termasuk ruam diskoid klasik lokal ( di atas leher)lokal, umum ( di atas dan
bawa11 leher), lupushipertrofik (verukosa), lupus panikulitis (dalam), lupus mukosa, lupus eritematosus
tumidus, lupus bisul dingin (chilfblains), lupus diskoid/liken planus overlap
3. Ulkus oral: palatum, bukal, lidah, atau nasal tanpa penyebab lain seperti vaskulitis, Beh,ets, lnfeksi
(herpes), penyakit inflamasi safuran cema (inflammatory bowel disease), artritis reaktif, dan makanan
asam
4. Alopesia tanpa jaringan parut (rambut menipis difus atau terlihat mudah patah) tanpa penyebab lain
seperti alopesia aerata, pengaruh obat, defisiensi besi, dan alopesia androgenik
5. Sinovilli, mengenai dua atau lebih sendi, ditandai oleh bengkak atau sefusi, atau nyeri sendi pada
dua sendi atau lebih serta kaku sendi pada pagi hari selama 30 menit atau lebih
6. Serositis, pleuritis lebih dari satu hari atau efusi pleura atau pleural rub, atau nyeri perikardial (r,yeri yang
I
memba1k dengan duduk membungkuk) lebih dari satu hari atau efusi perikardial atau pericardia! rub
atau perikarditis pada EKG tanpa penyebab lain seperti infeksi, uremia, dan perikarditis Dressler
7, Renal, protein/kreatinin urine (atau protein urine 24 jam) menunjukkan 500 mg protein/24 jam atau
silinder darah merah
8. ':!,eurologi: kejang, psikosis, neuritis multipleks tanpa penyebab lain seperti vaskulitis primer dan mielitis,
neuropati perifer atau kranial tanpa penyebab lain seperti vaskulitis primer, imfeksi, dan dan diabetes
melitus, keadaan kunfusi akut (acute confusional state) tanpa penyebab lain termasuk metabolik toksik,
uremia, dan obat-obatan
9. Anemia hemofitik
10. Leukopenia ( <4000/mm' paling sedikit sekali) tanpa penyebab fain seperti sindrom Felty, obat-obatan,
dan hipertensi portal, ATAU Limfopenia ( <1000/mm'pafing sedikit sekali) tanpa penyebab lain seperti
kortikosteroid, obat-obatan dan infeksi
11. Trombositopenia ( <100,000/mm'paling sedikit sekali) tanpa penyebab lain seperti obat-obatan,
hipertensi portaf, dan n_P _
Krlterfa lmunofogi
1. AN�i atas rentang rujukan laboratorium
2. Anti·dsDNA di atas rentang rujukan laboratorium, kecuali dengan pemeriksaa ELISA harus dua kali di
atasi'eiitang rujukan laboratorium
3. Anti-Sm
4. Antibodi antifosfolipid, safah satu dari nilai berikut: antikoagulan lupus, positif palsu RPR, titer sedang
atau tinggi antikardiolipin (lgA, lgG or lgM), anti-�2 glikoprotein I (lgA, lgG, atau lgM)
I
5. K£!!lplemen rendah C3.C1 CH50
6. Uji Coombs direk tanpa anemia hemolitik I
LK_n_t_
· er _n_a_b_e_r
· 1__uk _u_m_
k l_u a_t_fi _d_a_n_t_d_a
i __h__
a ru_s_b_e_s_a
r _m_a__
a .n I
a

(Sumber: Petri M, Orbai AM, Alarc6n, GS, Gordon C, Merrill JT, Fortin PR, dkk, Derivation and validation of
Systemic lupus International Collaborating Clinics Classification Criteria for Systemic lupus Erythematosus.
Arthritis Rheum 2012;64:2677-86.)

Alopesia masuk dalam kriteria, walau tidak spesifik untuk SLE tapi
nilainya bagus dalam analisis univariat clan partisi rekursif serta mernenuhi
konsensus klinis. Kriteria artritis relah didefinisi ulang secara mendasar.
Pemeriksaan radiologis tidak perlu lagi dilakukan karena ternyata beberapa
artritis SLE bersifat erosif Kriteria artritis dapat dipenuhi bila terdapat nveri
sendi selama 30 menit disertai kaku sendi pada pagi hari. Pada beberapa
pasien terdapat tumpang tindih gejala fibromialgia dengan SLE sehingga perlu

5
';,..l'.l:::..,_\�-�.:..;:.,.,u�,.�--�-·-.!.�.�...,___..-.1___.. .... �--�-·---�.:...,_ 4 ·-- .,...,.,,._.'ll, """"'l- ,,_4_., •.
Dwgn.osis Lupus Entematosus Sistemrk (SLE) pada Anak

dipastikan apakah memang terdapat nyeri sendi dan bukan sekedar alodinia
difus.
Kriteria hematologi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu anemia hemolitik,
leukopenia/limfopenia, dan trombositopenia. Dengan model statistik
terlihat bahwa tidak ada perbedaan antara kriteria 'sekali' atau 'lebih dari
sekali' sehingga SLICC menyederhanakannya menjadi hanya satu kelainan
pemeriksaan saja; kelainan tersebut harus karena SLE clan bukan oleh hal lain,
misalnya prednison (limfopenia), obat imunosupresif, infeksi, atau penyebab
lain.
Kriteria neurologi disusun kembali untuk memasukkan definisi
neuropsikiatri karena kriteria sebelumnya hanya tentang kejang clan psikosis.
Konsensus SLICC memasukkan kadar komplemen rendah pada
perneriksaan C3, C4, clan komplemen hemolitik total walau tidak memperbaiki
model statistik karena menunjukkan peran komplemen dalam patogenesis
penyakit.
Uji Coombs direk (anti-globulin) dimasukkan dalam konsensus clan
rnemperbaiki model statistik. Untuk menghindarkan penghitungan ganda
rnaka nilai uji Coombs tidak dihitung bila pasien sudah memenuhi kriteria
klinis anemia hemolitik.
Aspek penting lain dari kriteria klasifikasi SLICC adalah tentang
konfirmasi biopsi untuk rnenentukan nefritis SLE yang sesuai dengan klasifikasi
nefritis lupus menu rut International Society of Nephrology!Renal Pathology Society
(!SN/RPS) 2003. Bukti ANA atau anti-dsDNA sudah cukup untuk klasifikasi
SLE. Hal tersebut diangap penting baik dari segi klinis praktis maupun untuk
penelitian uji klinis, Bila ANA tidak ditemukan pada seorang dengan anti-
dsDNA positif maka ha! tersebut dianggap sebagai kesalahan laboratorium.
Kriteria klasifikasi SLICC memerlukan pemeriksaan laboratorium ketat.
Kriteria baru ini harus disertai bukti klinis clan serologi sehingga pasien dengan
gejala klinis SLE tapi tanpa bukti autoantibodi atau kadar komplemen rendah
sebagai tonggak utarna SLE, tidak dapat diklasifikasikan sebagai SLE. Jadi
autoantibodi lupus harus dimasukkan dalam kriteria inklusi pada setiap uji
klinis lupus. Hasil pemakaian kriteria ACR clan SLICC tidak menunjukkan
perbedaan berrnakna, tapi tampilan clan validitas muatan kriteria klasifikasi
SLICC lebih baik karena dapat mengatasi berbagai kendala klasifikasi klinis
clan penelitian. Validasi sampel kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan lebih
sedikit kesalahan klasifikasi, dengan sensitivitas lebih tinggi walaupun kurang
spesifik.
Kriteria klasifikasi SLICC memberi alternatif bagi tata laksana klinis
clan penelitian SLE. ACR 1967 belum pernah divalidasi clan masih berlaku
sebagai baku diagnosis yang baik bagi para klinisi, tetapi belum dilengkapi

6
.
·
. . - . -' . .,
Arwin A.P. Akib

dengan clefinisi variabel yang lebih baru clan inklusif seperti kriteria SLICC.
Telaah clan validasi kriteria SLICC, sekaligus validasi kriteria ACR, terlihat
lebih baik clan sesuai dengan patogenesis SLE sekarang. Kriteria baru SLICC
lebih mudah dipergunakan clan mencerminkan pengetahuan baru tentang
SLE yang diperoleh dalam masa 29 tahun sejak kita mengenal kriteria ACR.
Kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan hasil lebih baik dari pada revisi
ACR sebelumnya dari sudut sensitivitas, tetapi kurang spesifik. Dalam set
derivasi, kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan lebih sedikit misklasifikasi
dibandingkan dengan ACR (49 vs 70, p=0.0082), sensitivitas lebih besar (62 vs
74, p=0.24) dengan spesifisitas sebanding (92% versus 93%, p=0.39). Untuk
set validasi, misklasifikasi SLICC terlihat lebih sedikit (62 vs 74, p=0.24), lebih
sensitif (97% vs 83%, p<0.0001) tapi kurang sensitif (84% vs 96%, p<0.0001).

Penutup
SLE merupakan penyakit kronik dengan variasi klinis sangat luas, merupakan
manifestasi autoimun dengan beragam aktivitas autoantibodi. Untuk
kepentingan tata laksana klinis, penelitian, clan surveilans maka diperlukan
definisi SLE yang konsisten dengan kriteria klasifikasi yang didukung oleh
perkembangan cepat keilmuan bidang imunologi.
Selama ini kriteria klasifikasi ACR revisi 1982 clan 1967 telah
dipergunakan secara luas clengan hasil baik, tetapi telah clirasakan perlunya
penyesuaian dengan pengetahuan baru yang lebih mutakhir clan lebih muclah
dipergunakan secara klinis. Kriteria ACR 1982 suclah divalidasi tetapi ACR
1967 belum. Berbagai kelompok peneliti melakukan usaha perbaikan kriteria
klasifikasi SLE mernakai metologi statistik lebih baru, antara lain oleh kelompok
internasional the Systemic Lupus International Collaborating Clinics (SLICC).
Kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan hasil lebih baik dari pada revisi
ACR sebelumnya dari sudut sensitivitas, tetapi spesifisitasnya tidak, Kriteria
klasifikasi SLICC lebih rnudah dipergunakan clan mencerrninkan pengetahuan
baru tentang SLE. Secara klinis ha! ini lebih berarti karena inklusi pasien
lupus dapat lebih banyak dibandingkan clengan memakai krireria ACR
sebelumnya serta akan menunjang uji klinis clan srudi longitudinal. Tetapi perlu
diperhatikan bahwa untuk memakai klasifikasi SLICC para klinisi harus punya
kemampuan menentukan semua kriteria yang clinilai mempunyai hubungan
kuat clengan lupus, clan bukan karena proses penyakit atau konclisi lain.
Menurut penilaian para pakar kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan
performa yang baik terhaclap sejumlah besar pasien, walau tidak disebutkan
secara tersendiri tentang manfaat clan nilainya terhadap pasien SLE anak.
Tetapi mengingat bahwa sebagian telaah validasi kriteria ini memakai pasien
�-· a �.t..:.,1.,����··.::·�----� ..... .!. .l-..'.---u..-•"-'�·--------·-�·---"" �·"--''-'--""""'·
Dwgnos,s Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) pada Anak •

dipastikan apakah memang terdapat nyeri sendi dan bukan sekedar alodinia
difus,
Kriteria hematologi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu anemia hemolitik,
leukopenia/limfopenia, dan trombositopenia. Dengan model statistik
rerlihat bahwa tidak ada perbedaan antara kriteria 'sekali' atau 'lebih dari
sekali' sehingga SLICC menyederhanakannya menjadi hanya satu kelainan
pemeriksaan saja; kelainan terse but harus karena SLE clan bukan oleh ha! lain,
misalnya prednison (limfopenia), obat imunosupresif, infeksi, atsu penyebab
lain.
Krirer ia neurologi disusun kembali untuk memasukkan definisi
neuropsikiatri karena kriteria sebelumnya hanya tentang kejang clan psikosis.
Konsensus SLICC memasukkan kadar komplemen rendah pada
pemeriksaan C3, C4, clan komplemen hemolitik total walau tidak memperbaiki
model statistik karena menunjukkan peran komplemen dalam patogenesis
penyakit.
Uji Coombs direk (anti-globulin) dimasukkan dalam konsensus clan
memperbaiki model statistik. Untuk menghindarkan penghitungan ganda
maka nilai uji Coombs tidak dihitung bila pasien sudah memenuhi kriteria
klinis anemia hemolitik.
Aspek penting lain dari kriteria klasifikasi SLICC adalah tentang
konfinnasi biopsi untuk menentukan nefritis SLE yang sesuai dengan klasifikasi
nefritis lupus menu rut International Society of Nephrology/Renal Pachology Society
(!SN/RPS) 2003. Bukti ANA atau anti-dsDNA sudah cukup untuk klasifikasi
SLE. Hal tersebut diangap penting baik dari segi klinis praktis maupun untuk
penelitian uji klinis. Bila ANA tidak ditemukan pada seorang dengan anti-
dsDNA positif maka hal tersebut dianggap sebagai kesalahan laboratorium.
Kriteria klasifikasi SLICC memerlukan pemeriksaan laboratorium ketat,
Kriteria baru ini harus disertai bukti klinis dan serologi sehingga pasien dengan
gejala klinis SLE tapi tanpa bukti autoantibodi atau kadar komplemen rendah
sebagai tonggak utama SLE, tidak clapat diklasifikasikan sebagai SLE. [adi
autoantibodi lupus harus climasukkan clalam kriteria inklusi pacla setiap uji
klinis lupus. Hasil pemakaian kriteria ACR clan SLICC tidak menunjukkan
perbeclaan bermakna, tapi tampilan clan validitas muatan kriteria klasifikasi
SLICC lebih baik karena clapat mengatasi berbagai kenclala klasifikasi klinis
dan penelitian. Validasi sampel kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan lebih
sedikit kesalahan klasifikasi, dengan sensitivitas lebih tinggi walaupun kurang
spesifik.
Kriteria klasifikasi SLICC memberi alternatif bagi tata laksana klinis
clan penelitian SLE. ACR 1967 belum pemah divalidasi clan masih berlaku
sebagai baku diagnosis yang baik bagi para klinisi, tetapi belum dilengkapi

6
.
� .

. .. "'
.
.. . -- . - . -- - - .
ArwinA P.Akib

dengan definisi variabel yang lebih baru clan inklusif seperti kriteria SLICC.
Telaah dan validasi kriteria SLICC, sekaligus validasi kriteria ACR, terlihat
lebih baik clan sesuai dengan patogenesis SLE sekarang. Kriteria baru SLICC
lebih mudah dipergunakan clan mencerminkan pengetahuan baru tentang
SLE yang diperoleh dalam masa 29 tahun sejak kita mengenal kriteria ACR.
Kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan hasil lebih baik dari pada revisi
ACR sebelumnya dari sudut sensitivitas, tetapi kurang spesifik. Dalam set
derivasi, krireria klasifikasi SLICC menunjukkan lebih sedikit rnisklasifikasi
dibandingkan dengan ACR (49 vs 70, p=0.0082), sensitivitas lebih besar (62 vs
74, p=0.24) dengan spesifisitas sebanding (92% versus 93%, p=0.39). Untuk
set validasi, misklasifikasi SLICC terlihat lebih sedikit (62 vs 74, p=0.24), lebih
sensitif (97% vs 83%, p<0.0001) tapi kurang sensitif (84% vs 96%, p<0.0001).

Penutup
SLE merupakan penyakit kronik clengan variasi klinis sangat luas, merupakan
manifestasi autoimun dengan beragam aktivitas autoantibodi. Untuk
kepentingan tata laksana klinis, penelitian, clan surveilans maka cliperlukan
definisi SLE yang konsisten dengan kriteria klasifikasi yang didukung oleh
perkembangan cepat keilmuan bidang imunologi.
Selama ini kriteria klasifikasi ACR revisi 1982 clan 1967 telah
clipergunakan secara luas clengan hasil baik, tetapi telah dirasakan perlunya
penyesuaian dengan pengetahuan baru yang lebih mutakhir clan lebih mudah
dipergunakan secara klinis, Kriteria ACR 1982 suclah divalidasi tetapi ACR
1967 belum. Berbagai kelompok peneliti melakukan usaha perbaikan kriteria
klasifikasi SLE memakai metologi statistik lebih baru, antara lain oleh kelompok
intemasional the Systemic Lupus International Collaborating Clinics (SLICC).
Kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan basil lebih baik dari pada revisi
ACR sebelumnya dari sudut sensitivitas, tetapi spesifisitasnya cidak. Kriteria
klasifikasi SLICC lebih mudah dipergunakan clan rnencerminkan pengecahuan
baru tentang SLE. Secara klinis ha! ini lebih berarti karena inklusi pasien
lupus dapat lebih banyak dibandingkan dengan memakai kriteria ACR
sebelumnya serta akan menunjang uji klinis clan studi longitudinal. Tetapi perlu
diperhatikan bahwa untuk memakai klasifikasi SLICC para klinisi harus punya
kemampuan menentukan semua kriteria yang dinilai mempunyai hubungan
kuat dengan lupus, clan bukan karena proses penyakit atau kondisi lain.
Menurut penilaian para pakar kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan
performa yang baik terhadap sejumlah besar pasien, walau tidak disebutkan
secara tersendiri tentang manfaat clan nilainya terhaclap pasien SLE anak.
Tetapi mengingat bahwa sebagian celaah valiclasi kriteria ini memakai pasien
< 0
1' • -�..:c..;,,o: ..... �lJ���.!-'•��....:....:..:..... =:..J..;:,_;__ .. _.�----- � --- •J .,�L.._,_;;,. I,,. ,l -(<• �I•.;

Dwgnosis Lupus Eritematosus S,stemik (SLE) pada Anak . .

dipastikan apakah memang terdapat nyeri sendi clan bukan sekedar alodinia
difus.
Kriteria hematologi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu anemia hemolitik,
leukopenia/limfopenia, clan trombositopenia. Dengan model statisrik
terlihat bahwa tidak ada perbedaan antara kriteria 'sekali' atau 'lebih dari
sekali' sehingga SLICC menyederhanakannya menjadi hanya satu kelainan
pemeriksaan saja; kelainan tersebut harus karena SLE clan bukan oleh ha! lain,
misalnya prednison (limfopenia), obat imunosupresif, infeksi, a tau penyebab
lain.
Kriteria neurologi disusun kembali untuk memasukkan definisi
neuropsikiatri karena kriteria sebelumnya hanya tentang kejang dan psikosis.
Konsensus SLICC memasukkan kaclar komplemen renclah pacla
pemeriksaan C3, C4, clan komplemen hemolitik total walau ridak memperbaiki
model statistik karena menunjukkan peran komplemen clalam patogenesis
penyakit.
Uji Coombs direk (anti-globulin) dimasukkan clalam konsensus clan
memperbaiki model statistik. Untuk menghindarkan penghitungan gancla
maka nilai uji Coombs tidak dihitung bila pasien sudah memenuhi kriteria
klinis anemia hemolitik.
Aspek penting lain dari kriteria klasifikasi SLICC aclalah tentang
konfinnasi biopsi untuk menentukan nefritis SLE yang sesuai clengan klasifikasi
nefritis lupus menu rut International Society of Nephrology/Renal Pathology Society
(!SN/RPS) 2003. Bukti ANA atau anti-clsDNA suclah cukup untuk klasifikasi
SLE. Hal tersebut cliangap penting baik clari segi klinis praktis maupun untuk
penelitian uji klinis. Bila ANA tidak ditemukan pada seorang dengan anti-
dsDNA positif maka ha! tersebut clianggap sebagai kesalahan laboratorium.
Kriteria klasifikasi SLICC memerlukan pemeriksaan laboratorium ketat.
Kriteria baru ini harus disertai bukti klinis clan serologi sehingga pasien clengan
gejala klinis SLE tapi tanpa bukti autoantibocli atau kaclar komplemen renclah
sebagai tonggak utama SLE, tidak dapat diklasifikasikan sebagai SLE. Jadi
autoantibodi lupus harus climasukkan dalam kriteria inklusi pada setiap uji
klinis lupus. Hasil pemakaian kriteria ACR clan SLICC tidak menunjukkan
perbedaan bermakna, tapi tampilan clan validitas muatan kriteria klasifikasi
SLICC lebih baik karena dapat mengatasi berbagai kendala klasifikasi klinis
clan penelitian. Valiclasi sampel kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan lebih
seclikit kesalahan klasifikasi, clengan sensitivitas lebih tinggi walaupun kurang
spesifik.
Kriteria klasifikasi SLICC memberi alternatif bagi tata laksana klinis
clan penelitian SLE. ACR 1967 belum pernah divaliclasi clan rnasih berlaku
sebagai baku diagnosis yang baik bagi para klinisi, tetapi belum clilengkapi

6
. . ...... �-� -�-- ..... .
Arwin A.P. Ai<ib

dengan definisi variabel yang lebih baru clan inklusif seperti kriteria SLICC.
Telaah dan validasi kriteria SLICC, sekaligus validasi kriteria ACR, terlihat
lebih baik clan sesuai dengan patogenesis SLE sekarang. Kriteria baru SLICC
lebih mudah dipergunakan clan mencerminkan pengetahuan baru tentang
SLE yang diperoleh dalam masa 29 tahun sejak kita mengenal kriteria ACR.
Kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan hasil lebih baik dari pada revisi
ACR sebelumnya dari sudut sensitivitas, tetapi kurang spesifik. Dalam set
derivasi, kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan lebih sedikit misklasifikasi
dibandingkan dengan ACR (49 vs 70, p=0.0082), sensitivitas lebih besar (62 vs
74, p=0.24) dengan spesifisitas sebanding (92% versus 93%, p=0.39). Untuk
set validasi, misklasifikasi SLICC terlihat lebih sedikit (62 vs 74, p=0.24), lebih
sensitif (97% vs 83%, p<0.0001) tapi kurang sensitif (84% vs 96%, p<0.0001).

Penutup
SLE merupakan penyakit kronik dengan variasi klinis sangat luas, merupakan
manifestasi autoimun dengan beragam akrivitas autoantibodi. Untuk
kepentingan tata laksana klinis, penelitian, clan surveilans maka diperlukan
definisi SLE yang konsisten dengan kriteria klasifikasi yang didukung oleh
perkembangan cepat keilmuan bidang imunologi.
Selama ini kriteria klasifikasi ACR revisi 1982 dan 1967 telah
dipergunakan secara luas dengan hasil baik, tetapi telah dirasakan perlunya
penyesuaian dengan pengetahuan baru yang lebih mutakhir clan lebih mudah
dipergunakan secara klinis. Kriteria ACR 1982 sudah divalidasi tetapi ACR
1967 belum. Berbagai kelompok peneliti melakukan usaha perbaikan kriteria
klasifikasi SLE memakai metologi statistik lebih baru, antara lain oleh kelompok
internasional che Systemic Lupus International Collaborating Clinics (SLICC).
Kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan hasil lebih baik dari pada revisi
ACR sebelumnya dari sudut sensitivitas, tetapi spesifisitasnya tidak. Kriteria
klasifikasi SLICC lebih mudah dipergunakan clan rnencerrninkan pengetahuan
baru tentang SLE. Secara klinis ha! ini lebih berarti karena inklusi pasien
lupus dapat lebih banyak dibandingkan dengan memakai kriteria ACR
sebelumnya serta akan menunjang uji klinis clan studi longitudinal. Tetapi perlu
diperhatikan bahwa untuk memakai klasifikasi SLICC para klinisi harus pun ya
kemampuan menentukan semua kriteria yang dinilai mempunyai hubungan
kuat dengan lupus, clan bukan karena proses penyakit atau kondisi lain.
Menurut penilaian para pakar kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan
performa yang baik terhadap sejumlah besar pasien, walau tidak disebutkan
secara tersendiri tentang manfaat clan nilainya terhadap pasien SLE anak.
Tetapi mengingat bahwa sebagian telaah validasi kriteria ini memakai pasien
-, ,-.� ;,.•' ,• •• .!.�L,/'•>t_,_,�-••�•:'-:�•.:.,.. •• J..J..:!� ...... _,J<,:.,,

Diagnosis Lupus Eri;emntosus s,stemik (SLE) pada Anak

anak, clan juga aplikasi kriteria ACR sebelumnya dapat dilakukan dengan
baik pada anak, maka diperkirakan bahwa kriteria klasifikasi SLICC dapat
dipergunakan juga untuk pSLE.

Daftar Pustaka
I. Hobbs DJ, Barletta GM, Rajpal JS, Rajpal MN, Weismantel DP, Birmingham JD,
Bunchman TE. Severe paediatric systemic lupus erythematosus nephritis-asingle-
centre experience. Nephrol Dial Transplant 2010;25:457-63.
2. Berrsias GK, Ioannidis JPA, Aringer M, Bollen E, Bombardieri S, Bruce IN,
Cervera R, Dalakas M, Doria A, Hanly JG, Huizinga TWJ, Isenberg D, Kallenberg
C, Piette JC, Schneider M, Scolding N, Smolen), Stara A, Tassiulas I, Tektonidou
M, Tincani A, van Buchem MA, van Vollenhoven R, Ward M; Gordon C,
Boumpas OT. EULAR recommendations for the management of ystemic lupus
ervthematosus with neuropsychiatric manifestations: report of a task force of the
EULAR standing committee for clinical affairs. Ann Rheum Dis 20 I 0;69:207 4-82.
3. Katsumata Y, Kawaguchi Y, Baba S, Hattori S, Tahara K, Ito K, Iwasaki T,
Yamaguchi N, Oyama M, Kozuka-Hata H, Hattori H, Nagata K, Yamanaka H,
Hara M. Identification of three new autoantibodies associated with Systemic
Lupus Erythernatosus using two proteomic approaches. Mol Cell Proteomics
2011 ; 10: 1-12.
4. Jennifer E. Weiss. Pediatric Systemic Lupus Ervthematosus: more than a positive
antinuclear antibody. Pediatr Rev 2012;33;62- 74.
5. Petri M, Orbai AM, Alarcon, GS, Gordon C, Merrill JT, Fortin PR, Bruce IN,
Isenberg D, Wallace DJ, Nived 0, Sturfelt G, Ramsey-Goldman R, Bae SC, Hanly
JG, Sanchez-Guerrero J, Clarke A, Aranow C, Manzi S, Urowitz M, Gladman
D, Kalunian K, Costner M, Werth VP, Zoma A, Bernatsky S, Ruiz-Irastorza G,
Khamashta MA, Jacobsen S, Buyon JP. Maddison P, Dooley MA, van Vollenhoven
RF, Ginzler E, Stoll T, Peschken C, Jorizzo JL, Callen JF, Lim SS, Fessler BJ, Inane
M, Kamen DL, Rahman A, Stcinsson K, Franks Jr AG, Sigler S, Hameed S, Fang
H, Pham N, Brey R, Weisman MH, McGwin Jr G, Magder LS. Derivation and
validation of Systemic Lupus International Collaborating Clinics Classification
Criteria for Systemic Lupus Ervthematosus. Arthritis Rheum 2012;64:2677-86.

8
Penyakit Autoimun pada Anak
Budi Setiabudiawan, Reni Ghrahani,
Gartika Sapartini, Ike Dwi Wahyuni

enyakit autoirnun pada anak pada berbagai populasi di dunia hingga

P saat ini belum merniliki data insidensi dan prevalensi yang akurat. Hal
ini disebabkan karena kesulitan serta perbedaan pada diagnosis dan
klasifikasi. Penyakit ini dijumpai pada 5-10% populasi di negara berkembang.
Dalam beberapa dekade terakhir terjadi peningkatan insidensi penyakit
autoirnun pada anak yang cukup signifikan. lnteraksi multifakrorial antara
predisposisi genetik, hormonal, irnunologi clan lingkungan yang merangsang
perkembangan penyakit autoimun. l.l.l
Penyakit autoimun terjadi bila pengenalan terhadap self antigen mengalarni
gangguan, sehingga self antigen dianggap sebagai antigen asing. Selain itu
terjadinya gangguan mekanisme self tolerance yang seharusnya mencegah
imunitas terhadap tubuhnya sendiri. 2

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, penyakit autoimun merupakan penyebab kematian
terbanyak pada anak perempuan dan perempuan dewasa muda, clan penyebab
kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler clan kanker di negara
berkembang. Beberapa tahun terakhir ini terjadi peningkatan penyakit
autoimun di negara berkembang clan diduga akan meningkat dalam beberapa
dekade mendatang. Menurut penelitian Sardu, dkk di Italy pada tahun 2009,
didapatkan prevalensi penyakit autoimun sebesar 5/100.000 penduduk. Data
epiderniologi di Amerika Serikat melaporkan insidens dan prevalensi penyakit
autoimun pada anak. (Tabel 1).3.4.5
Penelitian pada penderita Diabetes Melitus (DM) tipe I berumur dibawah
10 tahun di Finlandia menunjukkan peningkatan insiden lebih dari dua kali
lipat dalam 30 tahun terakhir, SLE mengalami peningkatan insidensi lebih
dari tiga kali lipat dalam 40 tahun terakhir. Para peneliti memperkirakan
peningkatan jumlah kasus baru pada anak-anak dibawah 5 tahun di Eropa
sebanyak 2 kali lipat pada tahun 2020 dibanding tahun 2005. Sedangkan pada
anak dibawah 15 tahun akan meningkat sekitar 70%.2·6·7

'Makalah ini telah dipublikasikan pada buku Autoimmune Skin and Related Disorders, Update and
Comprehensive Management dengan ISBN 978-602-18051+4

9
.��.....::.-"'-'��...:.,..:..,,.,...l:l&-'�-11'.................... � ........ � ...... .:..,,;,. .. ""-·-�--I.� ......... .!., • ./ .. ,.,..,.�_! ....... _,,_, -· .. ...!..
PenyaM Auto1mt1n pada Anak · .

Tabel 1. lnsidens dan Prevalensi Penyakit Autoimun pada Anak

_PenyakitAutoim_
un rn_sid_ _ oo_a_n_ak/�ta_h_u_n__P_re_v_
_ en_s/_10_0.o_ al_
en_'/1_
s1"- 00_.o_o_o_
an_a-'k/_
ta_hu_n_
Tiroiditis/hipotiroid (10-19 tahun) Tidak ada data 532,1
Diabetes melitus tipe I ( <20 tahun) 12,2 192,0
Hipertiroid (10-19 tahun) Tidak ada data 106,9
Juvenille rheumatoid arthritis 17 148
Systemic lupus erythematosus 7,3 23,8
�imary _systemic vasculitis 2,0 -�------·----
Dikutip dari: Cooper'

Pada beberapa penyakit autoirnun pada anak, seperti sistemic lupus


crytematous (SLE) clan juvenile idiophatic arthritis OIA), prevalensinya ban yak
pada anak perernpuan."

Definisi
Penyakit autoimun terjadi akibat respons imun (autoimunitas) yang mengalami
kegagalan toleransi/kegagalan pengenalan self antigen sehingga menimbulkan
gangguan fisiologis clan kerusakan jaringan. Pada respons imun ini rerjadi
produksi antibodi yang melawan self antigen atau sel T reaktif rerhadap self
antigen. Istilah penyakit autoirnun berkonotasi patologis clengan pernbentukan
auroanribodi atau respons imun seluler yang terbentuk setelah timbulnya
penyakit.9

Etiologi
Penyakit autoimun timbul akibat aclanya suatu interaksi multifaktorial
ancara genetik dcngan faktor lingkungan. Agen yang dapat memicu penyakit
autoimun antara lain infeksi, vaksin imunogen, adjuvant yang cligunakan untuk
meningkatkan respons imun, merokok, clan stres+!'
Keterlibatan gen clalam menimbulkan penyakit autoimun masih belum
jelas, tetapi diduga sebagai salah satu faktor penyebab setelah ditemukan
kejadian penyakit autoirnun yang lebih tinggi pada sauclara kembar dengan
gen monozigot. Penyakit autoimun berhubungan clengan alel MHC yang tidak
efektif clalam mempresentasikan self antigen sehingga tidak terjadi seleksi negatif
sel T clan kegagalan dalam stimulasi sel T regulator. Kegagalan ini menyebabkan
sel T menjadi tidak toleran terhadap self antigen dan menganggapnya sebagai
antigen asing yang harus dimusnahkan. Beberapa gen yang berhubungan
clengan penyakit autoimun antara lain non-HLA, tyrosine phosphatase N22
(PTPN22) clan cytosoplasmic microbial sensor NOD-2. u

1()
• • -! ·- ,.. ',' "" . ...,_ . -· � ...__, __ ..;_ ' ...........
· Budi Setiobudrowan, Reni Ghrahani, Gartika Sapartrni, Ike Dwi Wahyuni

Kromosom X clan mutasi kromosom X diketahui banyak terlibat pada


respons imun yang akan menyebabkan X-linked syndrome. Hormon seksual,
antara lain estrogen dapat berperan sebagai patogen pada SLE, dengan cara
menginduksi maturasi sel B yang akan mempengaruhi procluksi antibocli
clan respons sel Th 2. Sebaliknya pada multiple sclerosis (MS) clan rheumatoid
arthritis (RA), estrogen berperan sebagai proteksi. Hormon seksual lainnya
yang terlibar clalam regulasi respons imun aclalah progesteron, androgen,
testosteron clan prolaktin.8
lnfcksi merupakan salah satu fakror lingkungan yang menyebabkan
penyakit autoirnun, yaitu dengan mengaktifkan sistem imun bawaan sehingga
terjadi peningkatan ko-stimulator dan sitokin oleh antigen-presenting cells
(APCs). Beberapa rnikroba akan mengalami teaks: silang dengan self antigen.
Beberapa infeksi menghasilkan peptida yang mirip dengan self antigen
yang menyebabkan sistern imun akan reaktif terhadap self antigen. Pada
demam rematik, streptokokus mengalami reaksi silang dengan antigen
miokardium dan selanjutnya menyebabkan penyakit jantung. Selain
itu, infeksi dapat pula menyebabkan kerusakan jaringan sehingga akan
menstimulasi sistem reaksi autoimun."
Salah satu faktor lingkungan yang telah terbukti secara klinis
menyebabkan penyakit autoimun SLE aclalah obat-obatan seperti prokainamid
dan hidralazin. 7
Salah satu komponen diet yang memiliki konstribusi clalam meningkatkan
penyakit autoimun adalah iodine clan gluten yang menyebabkan penyakit
celiac. Orang dengan aktivitas tinggi dan sering terpapar agen lingkungan
seperti racliasi, rokok dikaitkan dengan peningkatan insidensi penvakit
autoimun.7

Mekanisme toleransi imunologis


Toleransi imunologis diawali dengan pematangan limfosit dari sel induk d:
dalam organ limfoid sentral, yaitu timus clan sumsum culang. Se! limfoid
berkembang dari sel-sel progenitor yang berasal dari sel induk hernatopoiesis
pluripoten (pluripotent hemawpoetic stem cells) di sumsum tulang. Pematangan
limfosit T terjadi di timus, sedangkan pematangan limfosit B terjadi di sumsum
tulang. Limfosit yang matur akan meninggalkan organ limfoid kemudian
memasuki sirkulasi dan organ limfoid perifer. (Gambarl). Limfosit kemudian
akan mengenali antigen dengan reseptor spesifik tertentu.'?
Mekanisme ucama toleransi sentral sel T adalah delesi di dalam
tirnus. Migrasi sel T imatur dari sumsum tulang ke dalam timus kemudian
diperkenalkan dengan peptida yang berasal dari protein endogen yang terikat

11
' �.1.-.,;. • ;.T,· J... ,, .. ......,.

Penyakit Autoimun pada Anak •

Organ limfoid generatif Organ limfoid perifer

••
Sel
lnduk limfosit B Sumsum tulang

Timus

Limfosit T matur

Gambar 1. Pematangan Limfosit


Dikutip dari: Abbas"

pada major-hiscocampatibility complex (MHC). Sel T dengan afinitas yang rendah


clan tinggi akan mengalami apoptosis clan rnati, yang dinamakan seleksi negatif
Sel T dengan afinitas intermediet akan matur di dalam timus clan migrasi ke
perifer, yang dinamakan seleksi positif.11
Pada saat limfosit bertemu dengan antigen akan terjadi beberapa hal, yaitu
limfosit akan teraktivasi untuk berproliferasi clan berdiferensiasi menjadi sel
efektor yang akan mernberikan respons imunologi. Antigen yang dimusnahkan
oleh sistem imun tersebut disebut imunogen. Hal lain yang terjadi adalah
limfosit akan menjadi tidak aktif clan mati yang menyebabkan suatu toleransi.
Antigen yang menyebabkan respons imun tersebut dinamakan tolerogenik.12
Berdasarkan lokasi terbentuknya, toleransi diri dibagi menjadi toleransi
sentral clan toleransi perifer, Toleransi sentral terjadi pada saat limfosit yang
belum matang bertemu dcngan self antigen di organ lirnfoid sentral (timus clan
sumsum tulang) .11
Toleransi sentral limfosit T terjadi melalui mekanisme kematian sel
(apoptosis) clan pembentukan sel T regulator. Toleransi sentral limfosit B
terjadi melalui mekanisme seleksi negatif clan receptor editing. 12
Toleransi perifer terjadi pada saat limfosit yang telah matang bertemu
dengan self antigen di jaringan limfoid perifer. Toleransi perifer limfosit T terjadi
melalui mekanisme anergi clan kematian sel (apoptosis). Toleransi perifer
limfosit B terjadi melalui mekanisme anergi. (Gambar 2).12
Dalam toleransi limfosit melibatkan beberapa mekanisme, antara lain:
( 1) delesi yaitu kematian sel karena apoptosis, (2) anergi yaitu inaktivasi
tanpa kematian sel, clan (3) supresi aktivasi limfosit clan fungsi efektor oleh
limfosit regulator atau perubahan dalam spesifisitas. Beberapa self antigen akan
diabaikan oleh sistem imun, clan limfosit tetap akan mengenali antigen tetapi

12
, ,".'>"r,:6' ,I:• dJ � lt -t , ;,., {;. H, • ,.,, ,. - • , ....� ..� ,., .,.�- •• � ....,:i. ·- .., .. .- • • � .,.,..

. Bud, 5etiabud,awan, Reni Ghrahanl, Gartika 5apartini, Ike Dwi Wphyunl

Limfosit matur

Organ limfoid
sentral

Maturasi limfosit non Toleransi sentral : Delesi limfosit


spesifik terhadap spesifik terhadap self antigen
antigen I
-'

'
Limfosit ma�
r ;�
u..- - - - -, -

.
: : Self antigen

Antigen ' :------- ��



Organ limfoid
perifer �

Toleransi perifer: delesi atau
anergi limfosit yang
Respon imun mengenali self antigen

Gambar 2. Toleransi sentral dan perifer


Dikutip dari: Abbas"

responsnya tidak terdeteksi meskipun limfosit tersebut tetap ada clan berfungsi,
ha! ini disebut sebagai ignorance.11
Mekanisme toleransi pada limfosit T dan B merniliki kesarnaan dan
perbedaan pada beberapa aspek. Pengetahuan akan perbedaan ini penting
untuk memahami mekanisme toleransi yang terjadi pada self antigen yang
berbeda pada individu normal, dan untuk mengetahui proses terjadinya
kegagalan roleransi yang dapat menyebabkan penyakit autoimun.12

Kegagalan toleransi
Kegagalan toleransi berkaitan dengan infeksi clan kerusakan jaringan yang non-
. spesifik. Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang
tidak tepat pada APCs, ekspresi lokal molekul ko-stirnularor yang tidak tepat
atau perubahan cara molekul diri dipresentasikan ke sistem imun. Hal - ha!
tersebut terjadi saat inflarnasi atau kerusakan jaringan, diinduksi oleh kerusakan
akibat infeksi lokal a tau faktor fisik. Inflamasi lokal akan meningkatkan aliran

13
·,.- .;: �. .,, _;.,:.;: •• • ·' ;.,•v -·· '" ·;;,:,_::", • •• .:::.:1 _._.�,..,· .. �·"' - ·,,;...,.....,.��.,.__. ...... -� .�.l'·:t.l �t ,�.·-

Penyak1t Auto,mun pada Anak .

self antigen ke nodus limfatikus, APCs, dan menginduksi ekspresi molekul


MHC dan molekul kc-stimulator. Peningkaran enzim proteolitik pada lokasi
inflamasi dapat menyebabkan kerusakan protein intraseluler dan ekstraseluler
dan menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi tinggi dipresentasikan
kc sel T yang responsif dan dinamakan cryptic epitopes. Peptida diri juga dapat
diubah oleh virus, radikal bebas, radikal ion dan akhimya melewati toleransi.9
Struktur protein yang sama antara self antigen dan protein mikroorganisme
(molcculer mimicry) dapat memicu terjadinya respons autoimun. Self antigen
dcngan konsentrasi rendah dan tanpa akses ke APCs dapat bereaksi silang
dcngan peptida mikroba yang rnemiliki struktur serupa. Hal ini mengakibatkan
ekspansi populasi sel T yang responsif dan dapat mengenali peptida diri.
Dengan kegagalan mekanisme toleransi terhadap peptida tertentu, maka
inflamasi berlanjut pada presentasi peptida lainnya dan respons imun akan
meluas dan menimbulkan kerusakan jaringan lokal dengan cepat. (Gambar 3) .9
Beberapa tahun terakhir, telah ditemukan subset baru dari sel Th, yaitu sel
T regulator (Treg) clan adanya sel efektor lain yang menghasilkan IL- 17, yang
kemudian disebut sel Th 17. Se! Treg akan membentuk sitokin anti inflamasi
seperti TGF-P yang mempunyai peranan penting dalam mengendalikan
inflarnasi, Se! Th 17 menghasilkan IL- 17 A, IL- 17F, IL- 21 dan IL- 22 yang

Toleransi diri
Toleransi diri
(anergi)
anergi atau delesi

lnduksi
kostimulator
pada APC
7. 1 Autoimunitas j

Molecular
mimicry
Antigen
mikroba
Se! T reaktif yang mengenali
peptida mikroba

Gambar 3. Mekanisme kegagalan toleransl menginduksl autolmunltas


Set�·
·��, "" � w,
I
tluue�----�
Autoimunitas j

Dikutip dari: Abbas?

1Ll
• j ,. • • > • • • " :..� • ...,� 1,-�:, ·�··· ..'t •• •..:.,, ::,.•..,_ ....... ,,,::.. ,..,;r .... �,Ui: � • ' .l
Bud, Setiabud,awan, Ren, Ghrahani, Gartika Sapartini, /l<e Dwi Wahyuni

CXCLI, CXCLS, IL-8, CCU, CCL7


G-CSF, and GM-CSF
Granulopoesis, rekrutmen
neutrofil/monosit sel epitel
sel endotel

'�'/
keratinosit

11nl\t-22 / sinoviosit
fibroblas
makrofag

TNFa
\
IL-Ip (Cox-2+PGE2r. Thi I l

�,c�


� TLR3, TLR4,andTLR91lgands

Gambar 4. Differensiasi sel Th 17 dalam perkembangan respons imun


Dikutip dari: Waite"

berperan pen ting dalam perrahanan terhadap infeksi dan reaksi inflamasi pad a
penyakit autoirnun. (Gambar 4).
Pada artritis rematoid, ditemukan peningkatan sel Th 17 khususnya pada
jaringan sinovial dan kultur cairan sendi. Interleukin 17 juga berperan dalam
destruksi tulang dengan cara mengaktivasi osreoklas yang akan mempengaruhi
kartilago dan tulang, sehingga sel Th 17 bersifat osteoklastogenik.
Peran sel Th 17 pada sklerosis multipel masih sulit dibuktikan, namun
IL-17 dan IL-6 merupakan interleukin terbanyak yang diekspresikan pada
lesi di otak dan kadar IL-17 ditemukan meningkat dalam serum dan cairan
serebrospinal.
Interleukin-I? A dan IL- I 7B yang mengaktivasi sel di jaringan akan
mengekskresikan sitokin pro-inflarnasi (IL-6, TNF a, dan IL- I�) dan kemokin
yang menyebabkan infiltrasi neutrofil dan inflamasi jaringan. lnterleukin-6
yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya penyakit autoimun. lnhibisi
IL-6 oleh antibodi IL-6R menunjukkan adanya perbaikan klinis pada pasien
artritis rematoid dan JIA. (Gambar 5) .16

15
·" , ......, ,o1. ., • ,.. !'�..!.- -. ....... �:;:.i.;.._ ... �_.; w. l. -"'1....;. .... ,1....•!,1.>J- ..... ·��- -·""
• Penyak,tAutoimunpadaAnak .

Fibroblas
Sel epitel
Sel endotel
Keratosit

Penahanan
tub uh

Jnflamasi

RAH<!.. i -

I Kondrosit
Nilricoxidc t
MMPs r
Promoglycan J.
Sawar darah otak Kerusakan jaringan

Gambar 5. Peran tL-17 dalam pertahanan tubuh, inflamasi dan kerusakan jaringan
Dikutip dari: Yamada''

16
,•.:J,:J, ... �·�.,_,,,<;,,,,,' • -, A'• ,.1.,... :;�.u�.�� ::.,;,;1•0.1:r:',"1:7._..�.I\J/e1
· Budi Setiabudiawan, Reni Ghrohanl, Gartika Sapartini, Ike Di,yi Wahyuni

Penyakit autoimun
Penyakit autoimun mempunyai spektrum yang sangat luas, dari yang bersifat
spesifik sampai bentuk sisternik atau non-organ spesifik (sisternik). (Tabet 2). i;

Tabel 2. Daftar Penyaklt Autolmun

Penyaklt r _,_
_.O ..,gc..a y '-et _rk_e_n_a
n a_n_,,g S_i,.__ f i"-
e a_n_ g
t e_n�y_na �g�t_e_l_ ita
rb_ _
Penyaklt autolmun organ speslfik
Multiple sklerosis Sistem syaraf pusat Myelin basic protein, Myelin
oligodendrocyte protein
Sympathetic ophthalmia Mata Various uveal antigensa

Graves Disease Tiroid Thyrotropin receptor


Hashimoto's Thyroiditis Tiroid Thyroperoxidase, thyroglobulin
Goodpasture's syndrome Paru - paru, Ginjal Glomerular basement membrane
(kolagen tipe IV)
Pernicious anemia Lambung Faktor intrinsik
Crohn's disease Usus Antigen mikroba
Ulcerative Colitis Usus besar Antigen mikroba
Diabetes Melitus tipe I Pankreas Sel islet, insulin, glutamic acid
decarboxylase (GAD)
Immune Trombositopenia Purpura Trombosit Glikoprotein pada permukaan trombosit
Myasthemia gravis Otot Reseptor asetil kolin
Anemia hemolitik Eritrosit I antigen
Penyakit autuimun sistemik
Sjogren's syndrome Kelenjar air mata dan Nuclear antigens (SSA, SSS)
kelenjar saliva
Rheumatoid arthritis Sendi, paru, saraf Peptida citrulinate dalam sendi, lgG
Wagener's granulomatosis Paru, ginjal Proteinase 3 ( c·ANCA)
Systemic lupus erythematosus Ginjal, kulit, sendi, sistem DNA, his tones, ribonucleoproteins
saraf pusat
Dikutip dari: Bellanti'7

Systemic lupus erythematosus


Prevalensi systemic lupus erythemat6sus (SLE) di Eropa Utara rata-rata 40
kasus/100.000 penduduk clan di Amerika Serikat 51/100.000 penduduk.
lnsidensi SLE di Amerika Utara, Amerika Selatan clan Eropa rara-rata
2.:..8/100.000 penduduk per tahun. Angka kelangsungan hidup 15 tahun adalah
80%, mengalami peningkatan dibanding tahun 1950 yaitu angka kelangsungan
hidup 4 tahun sebesar 50%.6•18
Sekitar 90% penderita SLE adalah perernpuan. Hal ini cliperkirakan
berhubungan erat dengan hormon perernpuan. Beberapa obat seperti
prokainarnid, hidralazin, clan quinidin dapat menyebabkan drug-induced lupus.
Sebuah penelitian kasus kontrol menghasilkan terdapatnya 99% Epstein-Barr

17
.. �, .tL.?--"-'�- .. -·. ,,.,,_,..,_'...l_�...J.l..·..,�-!'.!t.!W.i. • .i..""" , 44,:. __ .:_ J..:..�-- -'-·
Penyak,t Autoimun pada Anck -

---
-- ...

Gambar 6. Patogenesis SLE


Dikutip dari: Bertsias'
--
virus (EBV) clan DNA EBV pada 100% pasien lupus. Radiasi ultraviolet
merupakan faktor lingkungan yang paling terkait clengan infeksi lupus.19
Patogenesis SLE dimulai dari peningkatan apoptosis yang terjadi
berhubungan clengan peningkatan asam nukleat endogen yang merangsang
procluksi interferon-a (IFN a) clan memicu autoimunitas dengan kegagalan
toleransi melalui aktivasi maturasi sel dendritik konvensional (DCs). Se!
dentritik konvensional imatur akan menimbulkan toleransi sementara aktivasi
DCs rnatur menimbulkan autoreaktiviras. Produksi autoantibodi oleh sel B
didorong aclanya antigen endogen, tergancung pada sel T clan dimediasi oleh
aclanya CD40, CD40 ligan clan sitokin (IL-21). Cromatin-containing immune
complexes bereaksi silang clengan BCRffLR menyebabkan sel B melepaskan
sel plasma yang menghasilkan autoantibodi, karena antibodi yang dihasilkan
ticlak dikenali, clianggap sebagai benda asing, (Gambar 6).6
Kerusakan jaringan yang diperantarai autoantibocli banyak clifokuskan
pada peran anti clsDNA. Berikut ini terlampir autoantibodi yang berperan
pada SLE. (Tabel 3).18

Tabel 3. Autoantibodi Patogenik pada SLE

Antigen Spesifik Prevalensi eo Efek klinis utama


dSDNA 70-80 Penyakit ginjal, penyakit kulit
Nukleosom 60-90 Penyakit ginjal, penyakit kulit
Ro 30-40 Penyakit kulit, penyakit ginjal, kelainan jantung bayi
La 15-20 Kelainan jantung bayi
Sm 10-30 Penyakit ginjal
NMDA receptor 33-50 Penyakit SSP
Phospholipids 20-30 Trombosis, abortus
a-Actinin 20 Penyakit ginjal
Clq 40-50 Penyakit ginjal

Dikutip dari: Rahman''

18
, �1 , j • - �,.,;,J. ,,', �·l,'f •• ·� • '• l ,� ', ,.I, ��-�. ,4.w_,., '. • • ....... �-- �
Bud, Setiabudiowan, Reni G'1mhani, Gart11<a Sapartini, Ike Dwi Wohyuni

Manifestasi yang tersering adalah poliartritis, simetris, atralgia episodik


yang terjadi pada 90% dari pasien SLE. Kelainan kulit clan lesi kutaneus
terdapat pada 85% penderita SLE berupa bercak kupu-kupu (butterfly rash)
yang merupakan karakterlsrik tersering. Kelainan kulit lainnya berupa bercak
makulopapular, bercak diskoid, splinter haemorrhages, dilatasi kapiler pada dasar
kuku, bula, angioederna, livedo reticularis, ulserasi pada pipi atau hidung,
dan vaskulitis pada ujung jari maupun ekstensor lengan. Kelainan ginjal atau
nefritis lupus terdapat pada 70% penderita SLE yang mempunyai prognosis
buruk dan 11-48% menjadi gaga! ginjal terminal daiam 5 tahun. Kelainan paru
terjadi pada 18% penderita SLE berupa fibrosis interstisial, vaskulitis pulmonal,
pneumonitis interstisial clan efusi pleura. Manifestasi kelainan jantung berupa
efusi perikardium clan endokarditis. Kelainan sistem saraf pusat terdapat pada
70% penderita SLE berupa mielitis transversa, stroke, clan kelainan subklinis
berupa kelainan fungsi kognitif seperti memori, intelektual, clan belajar.
Kegawatdaruratan sistem saraf pusat yang berhubungan yang disebabkan oleh
SLE adalah antiplwspholipid syndrome (APS) dengan manifestasi neuropsikiatri,
antara lain stroke, kejang, movement disorders, transverse myelopathy, sindrom
demielinasi, transient ischemic attacks, disfungsi kognitif penurunan penglihatan,
sakit kepala, termasuk migrain. Gejala gastrointestinal bersifat non-spesifik,
berupa nyeri abdomen yang disebabkan perforasi clan enteritis.19 ·
Dalam menegakkan diagnosis SLE harus haci-hati melalui anamnesis
yang kornplit, gambaran klinis, dan pemeriksaaan semua organ. Gejala klinis
terjadinya tidak bersamaan dan dikumpulkan dalam beberapa bulan atau
tahun. Gambaran non-spesifik nya antara lain demam, ulkus, artralgia, rambut
rontok, Raynaud's phenomenon, rash yang bersifat fotosensitif, nyeri dada, sakit
kepala, mudah lelah, demam, dan limfadenopati. Kelainan hernatologi yang
sering berupa anemia, leukositopenia, linfopenia, clan trombositopcnia. 19
Gambaran morfologi darah tepi SLE adalah normokrom, norrnositcr
dengan kadar serum iron dan iron binding capacity yang rendah. Anemia
hemolitik dideteksi clengan Coomb's test. Gambaran hematologi yang sering
pada SLE adalah trombositopenia dan leukositopenia persisten.19
Double stranded DNA antibodies (anti-dsDNA) berguna dalam
menegakkan diagnosis SLE. Antibodi sm sangat spesifik untuk SLE dan
dianggap sebagai salah satu kriteria bersama dengan ANA dan ds-DNA.
Kriteria diagnosis SLE, ditentukan dari klasifikasi menurut American
College of Rheumatology (ACR) yang terdiri dari 11 kriteria dengan didapatkan
4 atau lebih dari kriteria, secara bersamaan ataupun berlainan waktu dalam
satu pengamatan.

19
- � r • l} _. ::.r.1..,'/J:;;.;J__ ;. t.:1,;,.::..: � ,.,.&,.,� •,

Penyakit Autoimun pada Anak · . •

Tabel 4. Kriteria SLE Menurut American College of Rheumatology

Kriteria
Bercak malar
Bercak diskoid
Fotosensitif
Ulkus pada mulut
Artritis
Serositis:
Pleuritis
Perikarditis
Kelainan ginjal
Proteinuria menetap
Cellular casts
Kelainan neurologi
Psikosis
Kejang
Kelainan hematologi
Anemia hemolitik
Leukopenia
Limfositopenia
Trombositopenia
Kelainan imunologi
Anti-ds ONA
Anti-SM
Antibodi antifosfolipid
Antibodi antinuklear

Dikutip dari: Bertolaccini'9

Henoch-shoenlein purpura
Henuch-Schoenlein purpura (HSP) merupakan salah salah satu penyakit
gangguan vaskulitis yang sering dijumpai pada anak-anak. Penyakit ini
merupakan suatu pcnyakit sistemik yang berupa vaskulitis leukositoklastik
akut yang ditandai adanya deposit lgA pada pembuluh darah kecil yang dapat
mengenai kulit, persendian, traktus gastrointestinal clan ginjal.'?
Insiden HSP bervariasi antara 10-20 kasus/100.000 anak per tahun.
lnsidensi HSP di Saudi 6, 7 /100.000 clan pada penelitian di Liverpool tahun
2004-2010 didapatkan insidensi 6,21/100.000 anak. Hasil penelitian di
Belanda tahun 2004 didapatkan penderita HSP 6, 1/100.000 anak, anak laki-
laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan, dengan rasio 1,5-2: l. n.zz
Eriologi HSP masih belum diketahui, diduga beberapa faktor memegang
peranan, antara lain genetik, infeksi traktus respiratori bagian atas, makanan,
infeksi baik infeksi virus maupun bakreri, imunisasi, clan obat-obatan.
lmunoglobulin A (lgA) diduga berperan dalam imunopatogenesis HSP
yaitu dengan adanya peningkatan konsentrasi serum lgA, IgA-containing
circulating immune complexes clan deposit lgA pada dinding pembuluh darah
clan mesangium ginjal. zz
i'!\1., ••• --' '- ,..,_, ,;. ;;, ·,� • .;; "·� r .; • •• • ,. ,.IJ:.t;_...._..,)) �-:=. ;l:1.�',I, • '•• ,,.,.: ,J'/,4 ,• • .,..

· Sudi Setiabud1awcm, A:enrGhrahani, GarWca Sapartini, Ike Dwi Wahyuni

Henoch-Schoenlein purpura berhubungan erat dengan kelainan yang


rnelibat lgA l. Pada pasien HSP ditemukan adanya peningkatan kadar lgA
serum dan lgA-containing circulating immune complex yang dideposit di dinding
pembuluh darah organ seperti kulit, traktus gastrointestinal, clan ginjal.
Kemudian timbul respons inflamasi lokal melalui aktivasi sel langsung clan
komplemen yang mengakibatkan kerusakan endotel, infiltrasi leukosir, nekrosis
pembuluh darah kecil, clan vaskulitis lekositoklastik.22
Pada pasien nefritis HSP mengalami glikosilasi/galaktosilasi abnormal
dari lgA 1 0-linked glycan clan aktivitas B 1,3-galactosyl transferase yang
menurun di sel B perifer, Hal ini menyebabkan peningkatan kadar galactose-
deficiency dari 0-linked glycan IgAl (Gd-IgAl ). Gd-lgAl berperan penting
dalam patogenesis nefritis HSP. Kompleks imun Gd-lgAl inilah yang akan
dideposit di sel mesangial ginjal clan mengaktivasi sel tersebut. Sel mesangial
akan berproliferasi, menghasilkan komponen matriks ekstraseluler, sitokin
clan kemokin yang berlebihan sehingga timbul kerusakan ginjal. (Gambar 7). !!
Manifestasi klinis HSP yang tersering adalah purpura yang dapat diraba
(palpable purpura) yang awalnya tirnbul pada ekstcnsor ekstrernitas bawah,
kemudian menyebar ke bokong clan lengan, badan clan muka. Purpura ini
simetris clan dapat menghilang dalam beberapa minggu. Manifestasi lainnya
berupa edema subkutan pada kaki clan tangan.

Infeksi traktus respiratori


bagian atas
\
/ Infeksi gastrointestinal
����������
i produksi polimeik Gd lgG anti-glycan atau
antibodi lgAl mengikat Gd
�-���-.. . , --���-/
Formasi kompleks imun lgA 1-lgG dan lgA 1-lgA I

Glomerulus

Aktivasi sel mesangial dari inflamasi glomerulus


(proliferasi seluler, ekspansi rnatriks)

Gambar 7. Patogenesis nefritis HSP


Dikutip dari: Lau"

21
" ... i..:z,..... ,j;�

Penyakit Auto,mun pada Anak · · -

Manifestasi gastrointestinal dapat berupa mual, muntah, nyeri abdomen,


diare berdarah clan perdarahan saluran cema. Onset ini terjadi satu minggu
setelah onset ruam. Nveri abdomen bersifat kolik clan sulit dilokalisir.
Komplikasi pada saluran cema dapat berupa perdarahan masif perforasi usus
atau nekrosis dan intususepsi. Pemeriksaan fisis pada abdomen dapat ditemui
adanya distensi dan kadang menampilkan keadaan yang menyerupai gejala
abdomen akut sehingga mengakibatkan laparotomi eksplorasi yang tidak perlu.
Keterlibatan ginjal timbul dalam empat minggu pertama sakit dengan
manifestasi tersering adalah hematuria mikroskopis dengan atau tanpa
proteinuria. Gejala lainnya antara lain hipertensi, sindroma nefritis akut,
sindroma nefrotik, hingga gaga! ginjal akut.
Artralgia pada HSP bersifat simetris, sementara clan self-limited. Banyak
terjadi pada sendi lutut clan pergelangan kaki, jarang pada sendi siku,
pergelangan tangan clan jari - jari. Artritis ini jarang menimbulkan deformitas.
Manifestasi lainnya berupa vascuiius involving the myocardium, perdarahan
pulmonal, stenosis uteritis, priapisme, penile edema, orkitis, vaskulitis susunan
saraf pusat, perdarahan intrakranial, hematom subperiostial orbita, clan
pankreatitis akut.
Berdasarkan penelitian terhadap 179 pasien HSP oleh dokter anak di
Belanda pada tahun 2004, didapatkan:

Tabel 5. Presentasi Gejala Klinis HSP

Gejala Klinis Prevalensi

Purpura
Artralgia
Artritis
Kelainan gastrointestinal
Kelainan ginjal
Orkhitis
Kelainan neurologis

Dikutip dari: Aalberse'3

Pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia, anemia bila


ada perdarahan, peningkatan LED, fungsi ginjal, albumin, protein total clan
titer anti-streptolisin O (ASTO). Pemeriksaan urine rutin untuk menemukan
adanya proteinuria clan hematuria. Pemeriksaan darah samar positif pada 25%
penderita HSP. Pada HSP tidak terdapat penanda imunoserologi. Peningkatan
serum lgA clan IgA-containing circulating immune complexes sering dideteksi
pada HSP.
Paediatric Rheumatology International Trial Organisation (PRINTO) clan
Paediatric Rheumatology European Society (PRES) 2008 :

22
Purpura atau petekie nontrombositopenia dengan lokasi predominan di
ekscremitas bawah, ditambah sekurang - kurangnya satu dari empat kriteria
di bawah ini :
Nyeri abdomen
• Histopatologi
Adanya gambaran vaskulitis leukositoklastik pada ku li t at au
glomerulonefritis proliferatif dengan dorninasi deposit lgA
Artritis atau artralgia
• Keterlibatan ginjal
Kelainan ginjal pada HSP menyebabkan tingginya mortalitas dan
morbiditas. Pasien tanpa kelainan ginjal mempunyai prognosis yang baik."

Juvenile idiopathic arthritis


Juvenile idiopathic arthritis OIA) merupakan jenis artritis kronis yang sering
ditemukan pada anak dan tennasuk salah satu penyakit kronis terbanyak pada
anak. Istilah JIA dikembangkan oleh International League Against Rheumausn:
(ILAR) untuk diagnosis arcritis kronis pada anak menggantikan istilahjuvenile
rheumatoid arthritis ORA). 25.Z6.Z7
Juvenile idiopathic arthritis didefinisikan sebagai artritis persisten yang
menetap lebih dari 6 minggu dengan awitan usia kurang dari 16 tahun, setelah
penyebab lain artritis disingkirkan, Penyakit ini aktif dan dapat berlangsung
terus sampai dewasa sehingga berpotensi menyebabkan keterbatasan fungsiona!
clan menurunkan kualitas hidup seseorang. 25
Menurut data epidemiologi, insidensi JIA 9,2-13,9 kasus per 100.000
anak per tahun dan prevalensi 65-113,5 kasus per 100.000 anak. Sebanyak
10-20% kasus JIA berhubungan dengan penyakit sisternik. lnsidensi systemic
Juvenile idiopathic arthritis (sJIA) 0,4-0,9/100.000 per tahun, dimana 2/3 sJIA
merupakan penyebab kematian pada JIA. 26·17

Etiologi JIA belum diketahui dengan jelas, namun bukti menunjukkan


adanya pengaruh faktor genetik clan respons autoimun abnormal sehingga
terjadi inflamasi clan destruksi sendi.
Terdapat 4 macam patogenesis JIA, yaitu :
1. Berhubungan dengan molekul HLA clan non-Hl.A
Terdapat 2 gen yang berpengaruh terhadap patogenesis JIA, yaitu gen HLA
clan gen protein tyrosine phosphacase non-receptor 22 (PTPN22). Yang paling
sering adalah gen HLA. Fungsi utama HLA adalah mempresentasikan
peptida antigen ke sel T. Pada JIA, HLA tidak dapat mengidentifikasikan
antigen artritogenik.

23
i;I ,,.-:,,;.., __ �_,.1,,_:J. • .�·- 'l ... ._1,.t1-·,: ..... w::. J4 ,:...,,, ...

Penyakit Auto,mun pada Anak · ·

2. Mediator inflamasi dari kerusakan sendi


Membran sinovial clari pasien JIA mengaktivasi sel T, sel B, sel plasma,
clan makrofag melalui proses neovaskularisasi. Se! - sel jaringan, termasuk
fibroblast, konclroblast, clan osteosit akan rnernediasi kerusakan kartilago
clan tulang melalui jalur sitokin (gambar 8}.

Autoantibodi

_........, _

Kerusakan tulang Degradasi


matriks
-· ···--·-·-· ·····-···--· r--- ··-· ---··-·· ---·-·
Dikutip dari : Hahn"

3. Keunikan profil peradangan sistem


Pacla sjlA terjadi peningkatan kaclar IL-6 serum menjelaskan keterkaitan
manifestasi ekstra artikular dari penyakit ini, seperti penigkatan IL-6
terjadi seiring clengan peningkatan clemam, trornbositosis, anemia
mikrositik, retarclasi pertumbuhan clan osteopenia.
4. Mediator anti-inflamasi
Terclapat clua anti-inflarnasi yang terkait dengan JIA, yaitu IL-10 clan
IL-4. IL-10 clan IL-4 bersama-sarna menghambat procluksi sitokin
inflamasi, termasuk IL-8 clan IL-6. Tingginya IL-10 clan IL-4 clalam sendi
berhubungan clengan oligoartikular ringan clan non-erosif."

Manifestasi klinis JIA berupa:


1. Artritis
Terclapat clua subtipe JIA, yaitu oligoartikuler JIA clan poliartikuler
]IA. Oligoartikuler JIA terdapat pada 50-60% pasien clan mengenai
empat sencli atau kurang, antara lain sendi-sendi besar tungkai bawah,

24
... � ...t..:.·'-'c,:,.;..lt.'•,c.a�-4., •• �.��·t-.'� - , .. ,-�..._', .;,.:� ... ,..:.·.,{'-'-''-P•' ,._.,. :;;- ... , '"'"' • !.
• Bud, Seuabudiawan, Reni Ghrahani, Gartika Sapartini, Ike Dwi Wahyuni

terutama lutut clan pergelangan kaki. Sedangkan poliartikuler terdapat


pada 25-35% pasien dan mengenai lima atau lebih sendi. Sendi yang
mengalami artritis memperlihatkan gejala khas inflamasi, antara lain,
bengkak, kemerahan, panas, nyeri dan penurunan fungsi. Anak-anak
dengan artritis tidak mengeluh sakit saat istirahat tetapi gerakan akrif
maupun pasif dapat menimbulkan nyeri. Sendi besar lebih sering terkena
dari pada sendi kecil, namun sendi-sendi kecil pada tangan clan kaki juga
sering terkena. Keterlibatan sendi bersifat asimetris pada JIA poliartritis
dengan rheumatoid factor (RF) negatif clan simetris pada pada RF positif
2. Manifestasi ekstra artikular
Demam merupakan manifestasi sistemik yang mengawali JIA. Demam
berlangsung lebih dari dua minggu, minimal tiga hari dari masa demam
tersebut merupakan demam kuotidian yaitu clemam berulang 39°C atau
lebih clan diantara puncak clemam tersebut ada penurunan demam
pada suhu normal atau dibawah normal. Saat clemam penderita terlihar
menggigil, namun akan kembali normal jika demamnya turun. Se!ain itu
harus terdapat satu atau lebih gejala sebagai berikur, yaitu ruam rematoid,
ruam bersifat klasik dengan muncul saat terjadinya dernam, yaitu diskret,
berbatas tegas, makula pink salmon (2-10 mm) clan tidak gatal. Lesi
paling sering pada badan, ekstremitas atas, termasuk aksila clan inguinal.
Tetapi dapat pula pada wajah clan telapak tangan, Limfadenopati bersifat
simetris, banyak terdapat pada servikal anterior, aksila dan inguinal,
hepatomegali dan/atau splenomegali clan serositis efusi perikardium,
pleural clan peritoneal.
3. Uveitis
Terjacli 21 % pada oligoartikular clan 10% pada poliartikular. Faktor resiko
lainnya jika didaparkan ANA-te.' »ositif Biasanya tanpa gejala, namun
bersifat kronis clan berbahaya. Ob. karena itu pasien JIA harus clilakukan
pemeriksaan oftalmologi secara rurin untuk mencegah keterlambatan
diagnosis clan penanganan uveitis.2

Dengan kriteria eksklusi:


a. Psoriasis atau riwayat keluarga clengan psoriasis (first-degree relative)
b. Artritis pada anak laki - laki > 6 tahun dengan HLA B27 positif
c. Ankilosis sponclilitis, enthesis-related arthritis (ERA), sakroilitis dengan
inflammatory bowel disease (IBO), sindroma reiter, atau uveitis anterior
akut, atau riwayat keluarga dengan kalainan tersebut (first-degree relative)
cl. Faktor rematoicl positif pada dua kali pemeriksaan dengan jarak waktu 3
bulan
e. Juvenile idiophatic arthritis sistemik

25
:.: • .:..,Jif. ·�....L • � •• , ... �--!.!-�V.:- -�.\- • .,.� .....·'. -- :< ·.•;1"� �"- ,., ,.�·:r:
Penyakit Autoimun pada Anak . •

Pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk menegakkan diagnosis JIA


belum ditemukan. ANA res sering ditemukan pada penderita oJIA dengan
awitan < 7 tahun, yang diduga meningkatkan resiko uveitis. Pemeriksaan RF
yang positif menunjukkan penyakit yang kronik clan progresif Kadar CRP
dapar normal pada oJIA clan sedikit meningkat pada poJIA. LED biasanya
normal clan dapat meningkat pada sJIA. Kadar LED yang meningkat perlu
dipertimbangkan adanya infeksi clan keganasan.

label 6. Klasifikasi JIA Menurut Kriteria Edmonton 2001 Revisi ke - 2

Klasifikasi � si
D_e_sk_rip_ lu_
E_ks_k_ i s_ P_r_es_e_n_tai_s_ _
Sistemik Artritis dengan atau didahului demam a, b, c, d 2 - 17%
quotidian minimal 2 minggu, disertai
minimal t dari :
Ruam rematoid
Limfadenopati generalisata
Hepatomegali/splenomegali
Oligoartritis Serositis a, b, c, d, e Extended persistent
Artritis s 4 sendi dalam 6 bulan pertama. 12 - 29%
Apabila setelah 6 bulan pertama
berkembang menjadi , 5 sendi disebut FR(·) --> 10 - 28%
Poliartritis sebagai extented oligoarthritis, sedangkan FR(·): a,b,c,d,e FR ( +) --> 2 - 10%
bila jumlahnya tetap disebut persistent FR(+): a, b, c,e 3 -11%
oligoartritis a, d, e
Artritis > s sendi dalam 6 bulan pertama,
Entesitis-re/ated dibagi 2, yaitu: faktor rematoid (FR) negatif
artritis dan positif. Dikatakan positif apabila
pemeriksaan FR ( +) pada 2 kali pemeriksaan
dengan jarak waktu 3 bulan
Artritis dengan entesitis; atau artritis
dengan minimal 2 dari :
Nyeri sendi sakro iliaka dan/atau nyeri 2- 11%
inflamasi lumbosakral b.c.d,e
HIJ\-827 ( +)
Psoriatic arthritis HIJ\·827 (-) associated disease pada first or
second degree relative
Uveitis anterior simtomatik
Undifferentiated Artritis atau entesitis pada anak laki - laki
arthritis setelah usia 6 tahun
Artritis dengan psoriasis; atau artritis
dengan minimal 2 dari :
Riwayat psoriasis pada first-degree relative
Daktilitis
Kuku abnormal (nail pitting atau onikolisis)
Artritis yang tidak memenuhi kriteria salah
satu kategori diatas atau memenuhi lebih
dari satu kategori

Dikutip dari: Kim'•


�l.l:!.�·.::.,.-,.\.,c.-· .",l:'... • ....... ·- ••• ··,-· , .- ... �" ....:, ...¥.:!\-�; ' •• •j' ... - - ' • • • •• �. 1 -:.r •
Bud1 Setrobudiawan, Rem Ghrahanr, Gort1ka Sapart1ni, Ike Dwi Wahyuni

r Penyakit kawasaki
Penyakit kawasaki (PK) dianggap sebagai systemic oasculitis syndrome, terutama
menyerang arteri berukuran sedang yang merupakan self-limiting systemic
inflammmatory disease dan dominan pada bayi dan anak - anak dibawah
usia 5 tahun. Penyakit ini merupakan vaskulitis pada anak kedua terbanyak
setelah HSP. Kematian dari penyakit ini adalah penyakit jantung sistemik
yang disebabkan trombus aneurisma arteri koronarius, sekunder dari arteritis
koronarius.19
lnsidens PK bervariasi tergantung geografis, di Asia Timur insidensinya
lebih tinggi dibandingkan dengan di Eropa dan Amerika Serikat. Insidensi di
Jepang 138, di Amerika Serikat 17, 1 dan di lnggris 8, 1/100.000 anak < 5 tahun
per tahun, Kejadian terbanyak pada musim dingin clan musim semi (Agustus
- November) dan paling sedikit pada musim panas (Februari- Maret).19•30
Etio!ogi penyakit kawasaki belum diketahui. Diduga merupakan kelainan
imunologi yang akibat penyakit infeksi.

Gambar 9. Patofisiologi vaskulitis


Sumber: Abdulahad>

27
.. .. .. " :,. . ... l
Penyak,t Auto,mun pada.Anak . ·

Dalam anti-neutrophil cytoplasmic auicatuibodr-ossocuued vasculitides


(AA V), pengamatan menilai adanya peran sel T helper (CD4 T cells) dalam
patofisiologi penyakit ini, Populasi sel T CD4 memori efektor (Tem) yang
ban yak dalam AA V diduga dapat merusak jaringan dan meningkatkan
progresivitas penyakit. Infeksi virus atau bakteri akan merangsang sitokin
inflarnasi (IL-10, IL-6, dan TGF0) dari sel T regulator (Treg) mengeluarkan IL-
17. IL-17 akan mcnginduksi CXC dan menyerang neutrofil di tempat inflamasi.
Sementara itu IL-17 juga akan rnengeluarkan IL-10 clan TNFa dari makrofag
yang menyebabkan upregulasi adhesi endotel dan menginduksi translokasi
proteinase-· 3 (PR3) clan myeloperoxidase (MPO) ke mernbran neutrofil (priming).
PR3 clan MPO dapat dipresentasikan oleh APCs ke sel Th. Pada sel Treg
yang mengkonversi IL-17 non-fungsional akan memproduksi sel yang gagal
menghambat respons irnun clan dapat menyebabkan stimulasi berulang dari
PR3 dan MPO yang menghasilkan sel Tern yang banyak. PR3 juga akan
merangsang sel Th pada sel B. IL-17 akan merangsang produksi anti-neutrophil
cytoplasmic autoantibody (ANCA) oleh sel B autoreakrif Selanjutnya ANCA
akan mengikat PR3 clan MPO yang akan meningkatkan aktivasi neutrofil
clan melepaskan reactive oxigen species (ROS) clan enzim proteolitik yang akan
menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Sementara itu ekspansi
Tern CD4 akan mengupregulasi NKG2D dan berinteraksi dengan MICA pada
sel endorel pembuluh darah yang akan meningkatkan fungsi toksisitas clan
mernbunuh sel target dalam jalur perforin-dependent dan granzyme-dependent
yang akan mengakibatkan vaskuliris."
Kriteria diagnosis penyakit kawasaki ditentukan dengan adanya panas
badan selama 5 hari atau lebih disertai 4 dari 5 kondisi dibawah ini:31
1. Konjungtivitis bilateral (non-purulen)
2. Ruarn kulit
PERPUSTAKAAN
1,,G. IU.,U KESE
3. Perubahan pada bibir dan mulut fK UNS I l'tSUD DRHATAN A�A'<
Kemerahan, kering atau bibir pecah-pecah SU It . l\fOEWARj)j
Lidah strawberi -----.. :. :A.:.: K:.;A:_:lt�T�A:.___
Eritema difus pada mukosa mulut atau faring
4. Perubahan pada ekstremitas
Eritema pada telapak tangan atau telapak kaki
Edema pada tangan atau kaki
Deskuamasi kulit tangan, kaki dan perineum
5. Pembesaran kelenjar getah bening leher, dengan diameter> 1,5 cm

Komplikasi berupa artritis, meningitis aseptik,uveitis, uretritis, dan


kererlibaran paru dapat ditemukan, namun yang paling berat berupa kelainan
pada pembuluh darah jantung pada 25% penderita yang tidak diterapi clan

28
-�·,• ..,d'� .L<..,... 1.;:.;:,-, ,, - '�· ,.· • , • ·• ,> , -':..-.llALa.+11�1:�\� �"-·� '../•"- .J,,�
. Budi Setrabudrawan, Reni Ghrahani, Gartika Saportinr, lkeDwi Wahyuni

4% pada penclerita yang rnendapat terapi yaitu abnonnalitas arteri koronaria


berupa aneurisma.19.Ju4
Pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan CRP, sedimen eritrosit,
leukosit dengan neutrofilia, trombosit, AST. dan ALT Terclapat penurunan
kadar hemoglobin, limfosit, albumin, natriurn, kalsium, kolesterol total, clan
HDL. Pemeriksaan ekokarcliografi sangat cliperlukan untuk mendiagnosis
adanya kelainan pembuluh darah koroner.31

Simpulan
Dalam tubuh terdapat suatu sistem kekebalan yang berfungsi melindungi tubuh
terhadap berbagai infeksi yang dinamakan sistem imun melalui proses yang
dinamakan toleransi. Toleransi terjadi karena adanya pengenalan antigen asing
clan dapat membeclakannya dengan self antigen. Namun pengenalan terhadap
self antigen ini dapat mengalami gangguan, sehingga terjadi penyakit autoimun.
Terdapat 5-10% penyakit autoirnun dari populasi di negara berkembang.
Dan menimbulkan peningkatan mortalitas clan morbiditas ketiga serelah
penyakit kardiovaskuler dan kanker. Data epidemiologi menunjukkan bahwa
penyakit autoimun pada anak cenderung mengalami peningkatan.
Penyakit autoimun yang banyak pada anak- anak adalah JIA, SLE, dan
vaskulitis yang banyak terdapat pada anak - anak, yaitu HSP dan penyakit
Kawasaki.
,·.······><.
i

Daftarp��t�k�\t, '.. � \
·.Ron1. �n/L-:Auto.
. �inun'e
i.• b- ase. 2011 [diunduh 18 November 20121; Ml 48116-
, O.Wp ..�8}0/i 2;9-:-3354. Ters dia dari: http://www.CEwebsource.com
2:' ·. A�.dca,n..Aureimtl'l'tfne"1telated Diseases Association (AARDA). The Cost
...� ···-··-· ---···· ·"Burden of Autoimmune Disease: The Latest Front in the War on Healthcare
Spending. National Institutes of Health,USA;201 l.
3. Schwalfenberg GK. Solar radiation and vitamin D minigating environmental
factors in autoimmune disease. Journal of Environmental and public health.
Edmonton;201 l.
4. Cooper GS, Stroehla BC. The Epidemiology of Autoimmune Disease.
Autoimmunity Review 2. Durham NC.2003;119-25
5. Sardu, dkk. Population Based Study of 12 Autoimmune Diseases in Sardinia,
Italy: Prevalence and Cornorbidiry. [diunduh 2 November 2012];PLoS ONE
7 (3) :e32487 .Cagliari;2012.
6. Bertsias G, Cervera R, Boumpas OT. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis
7. and Clinical Features. Dalam EULAR Textbook on Rheumatic Diasease,2012.

29
• •' •
0
!.. � �....., ;,.,,<I -• '-'•• J"' .,,,.;:.,_.--�\!. ..!..;.,.n-• ., t,. ••<'"'-'� �- .•. l• 'f :�;,''I•
Penyak,t Autoimun padct Anak •

8. Schmidt CW. Environmental factors in autoimmune disease. Dalam


Environmental Health Perseptives vol.l 19(6). 2011
9. Pennel LM, Galligan CL, Fish EN. Sex affects in immunity. Journal of
Autoimmuniry.2012;38: J282-9!.
I 0. Abbas A, Lichtman A. Immunologic tolerance and autoimmunity. Dalam Basic
Immunology edisi ke-2, San Francisco; Saunders; 2004.
11. Abbas A, Lichtman A. Introduction of the immune system. Dalam Basic
Immunology edisi ke -Z, San Francisco; Saunders; 2004.
12. Mackay iR, Rosen FS. Tolerance and autoimmunity. N Eng!J Med.2001;344(9):655-
61.cbook on Rheumatic Diasease,2012.
13. Abbas A, Lichtman A, Pillai S. Immunological Tolerance. Dalam Celular and
Molecular Immunology edisi ke-6, San Francisco; Saunders; 2009.
14. Bogdanos DP. Twin studies in autoimmune disease. Journal of Autoimmunity.
2012 ;38:J 156-69.
15. Waite JC, Skokos D. Thi 7 response and inflammantory autoimmune disease.
Internacional Journal of lnflammation.2012; doi: 10. l 155/2012/819467.
16. Louten J, Boniface K, Malefyc R. Development and function of TH 17 cells in
health and disease. J Allergy Clin lmmunol 2009;23 (5): 1004-11.
i 7. Yamada H. Current perspectives on the role of IL-17 in autoimmune disease.
Journal of inflammation research.2010:3 33--44
18. Bellanci
19. Rahman A, Isenberg DA. Mechanisms of Disease Systemic Lupus Erythematosus.
The New England Journal of Medicine. 2008 [ diunduh 31 Oktober 2012) ;358 (9):
929-39.
20. Bertolaccini ML, Hughes G, Khamastha M. Systemic Lupus Ervthemarosus.
Dalam Shoenfels Y, Cervera R, Gershwin M. Diagnostic Criteria in Autoimmune
Disease. 2008.
21. Brogan P, Eleftheriou D, Dillon M Small Vessel Yasculitis. Pediatr Nephrol.
2010;25: 1025-35.
22. Watson L, Richardson A, Holt R, Jones C, Beresford M. Henoch-Schonlein
Purpura - A 5 year review and proposed pathway. Liverpool, 2012. PLoSONE
7(1): e295!2.
23. Lau KK, Suzuki H, NovakJ, Wyatt RJ. Pathogenesis ofHenoch-Schonlein Purpura
Nephritis. Pediatr Nephrol. 2010;25: 19-26.
24. Aalberse J, Dolman K, Ramnath G, Pereira RR, Davin JC. Henoch-Schonlein
Purpura in Children: an epidemiological study among Dutch paediatricians on
incidence and diagnostic criteria. Ann Rheum Dis. 2007 ;66: 1648-50.
25. Ozen S, dkk. EULAR/PreS endorsed consensus criteria* for the classification of
childhood vasculitides. Ann Rheum Dis. 2006;65:936-41.
26. Kim KH, Kim OS. Juvenile Idiopathic Arthritis: Diagnosis and differential
diagnosis. Korean J Pediatr. 2010;53(11):931-35.
27. Myers LK. Epidemiology, Pathophysiology and Clinical Presentation. Tennessee.
Adv Stud Pharm. 2008;5(6):170-5.
28. Gurion R, Lehman T, Moorthv LN. Systemic Arthritis in Children: A Review
of Clinical Presentation and Treatment. International Journal of Inflammation.
New York. 2012; doi: 10.l 155/2012/271569
._. I , • , ;: • 1,::, .,. \ h � .., ... .,. , • , �.t� ,.;,;;;. ' �· •

. Budi SetiabL1d1awan, Reni Ghrahani, Gartika Sapartm,, Ike Dw1 Wahyuni

29. Hahn YS, Kim JG. Pathogenesis and clinical manifestations of Juvenile
Rheumatoid Artrhitis, Korean J Pediatr. Seoul. 20 I 0;53 ( 11) :921-30.
30. Kayiran SM, Dondar A, Gurakan B. An Evaluation of Children with Kawasaki
Disease in Istanbul: a retrospective follow up study. CLINICS 2010;65(12): 1261-
5.
31. Borzutsky A, Bachiloglu RH, Cerda J, Talesnik E. Rising incidence of Kawasaki
disease in Chile: analysis of national discharge databases between 200 I and 2007.
Pediatric Rheumatology 2012;10(1):A90.
32. Lee KY, Rhim J'W. Kang JH. Kawasaki Disease: Laboratory Findings and an
lmmunopathogenesis on the Premise of a "Protein Homeostasis System". Yonsei
Med J. 2012;53(2):262-75.
33. Abdulahad WH, Larnprerch P, Kallenverg CG. T-helper cells as new players in
ANCA-associated vasculitides. Arthritis Research & Therapy. 2011;13:236-74.
34. Takahashi K, Oharaseki T, Yokouchi Y. Pathogenesis of Kawasaki Disease.
British Society for Immunology, Clinical and Experimental Immunology.
2011 ;164(1):20-22.
35. Eleftheriou D, dkk. Yasculitis in Children. Best Practice & Research Clinical
Rheumatology. 2009;23:309-323.

31
Diagnosis Defisiensi lmun
Nia Kurniati

efek pada imunitas dapat dibagi menjadi kelainan primer karena defek

D intrinsik di sistem imun, baik bersifat kongenital atau didapat, dan


kelainan sekunder oleh kondisi tertentu. Kelatnan-kelainan tersebut
dapar rnelibatkan mekanisme imun spesifik atau non-spesifik.
Defisiensi imun primer umumnya dikenali sejak umur masih dini (bayi)
clan hingga saat ini ada sekitar 70 jenis kelainan defisiensi primer yang sudah
diketahui di seluruh dunia. Setiap tipe memiliki gambaran klinis berbeda-beda,
tergantung bagian sistem imun mana yang defisien. Beberapa kelainan sistem
imun bersitat fatal, terapi ada yang ringan. Persamaan keduanya adalah bahwa
mereka membuka kesernpatan untuk terjadinya infeksi multipel.
Tujuan tulisan ini adalah menentukan cara mendiagnosis defisensi
imun yang dapat dilakukan dengan keterbatasan pemeriksaan penunjang di
Indonesia

Sistem imun
Sistern imun adalah kerjasama luas organ, jaringan, sel dan substansi protein
dalam mempertahankan tub uh terhadap serangan bahan "asing". Benda asing
yang dimaksud uramanya adalah mikroba (bakteri, virus, fungi dan parasit).
Kerja sistern imun cukup kompleks. Dia dapat mengenali jutaan
musuh dan mempunyai sel dan sekresi khusus untuk mencari musuh dan
menghancurkan antigen.
Organ yang terlibat dalam kerja sistem imun adalah organ limfoid karena
mereka merupakan rumah untuk limfosit, sel yang berperan utama dalam
respon imun adaptif Sumsum tulang adalah sumber untuk pembuatan sel.
Timus adalah organ tempat pematangan sel limfosit. Sedangkan limpa bertugas
sebagai markas untuk berbagai aktivitas sistem imun.

Batasan
Penyakit defisiensi imun adalah sekumpulan aneka penyakit yang memiliki satu
atau lebih ketidaknormalan sistem imun, sehingga meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi. Defisiensi imun primer tidak berhubungan dengan penyakit

:u
........ <-" .,, .... , ..... �· ...... ., .4. � ··. .� . . . . . . -·�·'· . . ' "":. . vs, �'- �,
· Nia Kurniati

... .•
-
---�·:
y
. .: ·
: \
:
yy y /

Gambar 1. Respon imun setelah stimulasi antigen

Tabel 1. Fungsi sel-sel dalam slstem imun


�----------------------------------------·----·····- ·- --··-
SEL LEUKOSIT
Sel-sel imun yang mendeteksi bahaya Antibodi sama dengan Komponen penting lain sistem
antigen umumnya bereaksi dengan imunoglobulin, diproduksi dari sel B. imun adalah komplemen.
mengubah diri. bi antaranya adalah Ada beberapa tipe imunoglobulin: Komplemen terdiri dari lebih dari
produksi zat kimia yang membuat lmunoglobulin M (lgM) merupakan 20 jenis protein darah yang bila
sel diri atau sel lain aktif dan antibodi pertama yang bereaksi diaktifkan akan bekerja bersama·
benmultiplikasi, dan untuk menarik terhadap antigen. lgM cenderung sama dalam bentuk kaskade.
dan mengarahkan sel imun lain yang berada di pembuluh darah untuk Komplemen membantu antibodi
sejalan. membunuh bakteri, dan fagosit menghancurkan
Kebanyakan sel imun membutuhkan lmunoglobulln G (lgG) mengikuti bakteri dan bertindak sebagai
sel-sel lain untuk bekerja optimal. Hal kerja lgM. Jumlahnya r,aling banyak sinyal untuk menarik fagosit ke
itu terjadi melalui komunikasi baik
langsung maupun dengan bahan kimia
I di antara antibodi lain dan merupakan
antibodi utama di jaringan dan darah.
tempat infeksi.
Meskipun sistern imun didisain
(messengers). lmunoglobulin A (lgA) diproduksi di untuk mengenali dan menyerang
Setiap sel memiliki peran khusus. kelenjar sekitar mukosa/penmukaan antigen asing, kadang-kadang
Llmfosit B bekerja dalam bentuk sel tubuh. lgA juga ditemukan dalam kemampuannya rusak. Akibatnya
plasma yang memproduksi antibodi. cairan tubuh seperti ainmata, saliva tubuh akan membentuk sel T dan
Antibodi dapat menempel ke antigen dan mukus yang bertugas melindungi antibodi yang menyerang sel dan
baik untuk menetralisasi maupun mulut, hidung, paru dan usus. lgA organ sendiri. Sel T yang diberi
hanya memberi tanda (opsonin) untuk juga ditemukan di ASI dan memberi infonmasi yang salah ini memberi ,
dihancurkan.
Limfosit T bekerja sebagai T helper
dan T sitotoksis dan mengeluarkan
perlindungan bagi usus bayi baru lahir
lmunoglobulin E (lgE). lgE hanya
kontribusi atas penyakit
"autoirnun". Sebagai contoh
sel T menyerang sel pankreas
I
terdeteksid alam jumlah yang
sitokin yang mampui mengontrol yang memproduksi insulin dan

I
sangat sedikit dan merupakan
sistem imun, tenmasuk sel 8. Sel menyebabkan diabetes tipe
komponen penting dalam reaksi
Natural killer menyerang secara 1. Sementara autoantibodi
alergi. tertentu sering ditemukan pada
langsung sel yang sudah diinfeksi virus.
Sel fagosit adalah sel leukosit \ rheumatoid arthritis.
berukuran besar yang berfungsi
sebagai pembersih. Sel ini beredar
I
di seluruh tubuh, menelan bakteri
dan menghancurkannya. Neutrofil
!
dan monoslt adalah sel fagosit yang
memiliki kantong berisi sitokin yang I
�m_e_gn �h_a_n_c_r_k_
u _ a _b a _�
n _k_t_e ir y_n�g�d_i
a _a�g�o_
f _s t.�-------------�------------j
i

33
J �· _;;::..,.....;&: �.�-� .......,..,..�i; __ -,�.:, ... .:..,,• ..,} - ., :, :,_::;;._ -•-' ' • .:.•,_ .. -�-.':;:.,<.,;�,- -·•-'F•
-Diagi,os,s Defisiens, lmun ·

lain yang mengganggu sistern imun, clan banyak yang merupakan akibat
kelainan genetik dengan pola bawaan khusus. Defisiensi imun sekunder terjadi
sebagai akibat dari penyakit lain, umur, trauma, atau pengobatan.

Etiologi
Penyebab defisiensi imun sangat beragam clan penelitian berbasis genetik
berhasil mengidentifikasi lebih dari 100 jenis defisiensi imun primer clan pola
pcnurunannya terkait pada X-linked recessive, resesif autosomal, atau dominan
autosornal.

Tabel 2. Penyebab defisiensi imun


Defek genetik ( defisiensi primer)
Delek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak jaringan (misal ataksia-teleangiektasia, delsiensi adenosin
deaminase)
Delek gen tunggal khusus pada sistem imun ( misal delek tirosin kinase pada X-linked agammaglobulinemia;
abnormalitas rantai epsilon pada reseptor sel T)
Kelainan multifaktorial dengan kerentanan genetik (misal common variable immunodeficiency)
Obat atau toksin (defisiensi sekunder)
lmunosupresan (kortikosteroid, siklosporin)
Antikonvulsan (lenitoin)
Penyakit nutrisi dan metabolik ( defisiensi sekunder)
Malnutrisi
Protein losing enteropathy (misal limfangiektasia intestinal)
Defisiensi vitamin (misal biotin, atau transkobalamin II)
Defisiensi mineral ( misal Seng pad a Enteropati Akroderrnatitis)
Kelainan kromosom (defisiensi primer)
Anomali DiGeorge ( delesi 22q11)
Oefisiensi tgA selektil (trisomi 18)
lnfeksi (defislensi primer/sekunder)
lmunodefisiensi transien (pada campak dan varicella)
lmunodefisiensi perrnanen (inleksi HIV, inleksi rubella kongenital)

(Dikutip dengan modifikasi dari Stiehm dkk, 2005)

Secara kasar menurut survey registri defisiensi imun yang dilakukan


di Eropa maka sebanyak > 60% kelainan sistern irnun didapati pada defek
(hurnoral/antibodi), seperti yang digarnbarkan berikut ini.

Defisiensi imun sekunder


Defisiensi irnun dengan penyebab bukan karena defek genetik lebih urnurn
ditemukan. Kadar komponen imun yang rendah menunjukkan produksi yang
menurun atau katabolisme ("hilangnya" komponen irnun) yang dipercepat.

34
. .
·
.... -· ,,� . . . - ........ �--·· ·- ......
Nia Kurniati

5%

• D,a.flsl ens I a t1t:I bod i

IZJK<>tn bin.as.I defislensl .ant:lbocll dan seluler

•O.flslensl sefuler

CJC>eflslensl fa.gos.It

CJ O.flst .,,,. I kon, pl efY1 en

Gambar 2. Prevalens relatif defisiensi imun (dlkutip dari Stiehm, 2005)

Hilangnya protein terjadi terutarna melalui ginjal (sindrom nefrotik) atau


melalui saluran cerna (protein-losing enteropachy) yang sampai menyebabkan
hipogamaglobulinemia dan hipoproteinemia. Gangguan munoglobulin akibat
kelainan renal bersifat selektif parsial, sehingga kaclar lgM masih dapat normal
meskipun kadar lgG serum clan albumin rnenurun. Protein juga dapat hilang
dari saluran cerna melalui penyakit inflamasi aktif seperti penyakit Crohn,
kolitis ulseratif clan penyakit seliak.
Kerusakan sintesis paling nampak pada malnutrisi. Defisiensi protein
menyebabkan perubahan yang mendalam pacla banyak organ, termasuk sistem
imun. Kerusakan produksi antibodi spesifik setelah imunisasi, clan clefek pada
imunitas seluler, fungsi fagosit clan aktivitas komplemen dihubungkan dengan
nutrisi yang buruk: clan membaik setelah suplementasi diet protein clan kalori
yang cukup.
Pasien dengan penyakit limfoproliferatif sangat rentan terhadap infeksi.
Leukemia limfositik kronik yang tidak diobati umumnya berhubungan clengan
hipogamaglobulinemia clan infeksi rekuren yang cenderung bertambah berat
sejalan dengan progresifitas penyakit. Limfoma Non-Hodgkin mungkin
berhubungan dengan defek pada imunitas humoral clan seluler. Penyakit
Hodgkin biasanya berhubungan clengan kerusakan irnunitas seluler, namun
imunoglobulin serum masih dapat normal sampai fase akhir penvakir.
Risiko infeksi pasien dengan mieloma multipel 5-10 kali lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol. Frekuensi infeksi oportunistik pada pasien
dengan keganasan diseminata menandakan aclanya defek irnun, meskipun
sulit membeclakan efek imunosupresif dari penyakit ataupun efek pengobatan.
Obat irnunosupresif mempengaruhi beberapa aspek fungsi sel, terutama limfosit

35
• .. ·-� """' ,__,'-= ------� - -·'-"•-· .. � ·- •
,Otagnasis OefisiensHmun · • · ·

dan polimorfonuklear, namun hipogamaglobulinemia berat jarang terjadi,


Pasien yang memakai obat untuk mencegah penolakan organ transplan juga
dapat terkena infeksi oportunistik. Penderita splenektomi juga berisik untuk
mengalami infeksi oportunistik.
Pada beberapa infeksi mikroorganisme secara paradoksal menekan respon
imun dan bukannya merangsang sisrem imun. Kerusakan sistem imun seluler
yang berat meskipun sementara, telah dilaporkan pada penderita infeksi virus,
terutama sitomegalovirus, campak, rubela, infeksi mononukleosis dan hepatitis,
serta pada infeksi bakteri seperti tuberkulosis, bruselosis, leprosi dan sifilis,
namun conroh yang paling utarna ada!ah infeksi HIV.

Pendekatan diagnosis
Dalam menatalaksana pasien, seringkali defisiensi imun tidak dipikirkan
sebagai penyebab dasar masalah pasien sampai beberapa waktu kemudian.
Namun tentu saja pelatihan selama pendidikan tidak banyak menyentuh
soal defisiensi imun. Oleh karena itu diperlukan pendekatan khusus yang
mudah diikuti oleh dokter. Di Amerika Serikat ha! ini dikenal sebagai "Ten
warning signs of primary immune deciency" yang juga dapat diaplikasikan
pada defisiensi imun secara keseluruhan.
Masalah pertama yang menyebabkan kecurigaan defisiensi imun adalah
kerentanan terhadap infeksi. Untuk penderita defisiensi imun, infeksi
umumnya sering dialami, lebih berat, lebih lama atau sulit diobati. Padahal
pada anak balita yang tidak defisiensi imun saja sering mengalami pilek, batuk
dan nyeri telinga (1 - 3 kali serahun). Sedangkan balita dengan defisiensi
imun mungkin mendapatkan infeksi terus menerus, atau mengalami 2 atau 3
infeksi sekaligus pada saat yang bersamaan. Risiko dari seringnya mengalami
infeksi adalah kesempatan untuk tumbuh clan berkembang menjadi terganggu.

label 3. Sepuluh kondisi tanda bahaya (The Jeffrey Modell Foundation Warning Sign of PIO)
1. lnfeksi telinga lebih dari 4 kali setahun
2. lnfeksi sinus 2 kali dalam setahun
3.Terapi antibiotik oral selama 2 bulan tanpa efek
4. Pneumonia 2 episode dalam 1 tahun
5. Gagal tumbuh pada bayi
6. Abses organ atau subkutan yang berulang
7. Oral thrush persisten atau infeksi jamur di kulit
8. Memerlukan antibiotika intravena untuk menyembuhkan infeksi
9. Dua kali infeksi berat termasuk septisemia
10.Riwayat PIO pada keluarga ··
.... _,,_, ... ,. _� . �.. .,. .....,-. � •' '•. - �� . --...

... . ,,.,.,.....,... ... �
Nia Kurniatl

Problem infeksi yang sering ditemukan adalah sinusitis kronik, bronkitis


kronik, atau penyakit yang memerlukan perawatan rumah sakit (pneumonia,
meningitis, osteomielitis, selulitis, sepsis, abses. Bila mikrobanya tertentu ( tidak
menimbulkan masalah pada individu imunokompeten) seperti Pneumocystis
carinii maka kemungkinan defisensi imun menjadi sangat besar.
Selain infeksi penyakit defisiensi imun menimbulkan masalah lain,
termasuk kelainan autoimun, dimana sistem imun bereaksi berlebihan dan
menyerang sel tubuh sendiri. Selain itu defisiensi imun juga dapat merupakan
bagian sindrom kompleks, seperti misalnya anomali DiGeorge, sindrom
Wiskott-Aldrich.

Tabel 4. Gejala klinis penyaklt defisiensi imun


------------·-·--------- ·-·------····--·--·--·--··---
Gejala yang blasanya dijumpai
lnfeksi saluran napas atas berulang
lnfeksi bakteri yang berat
Penyembuhan inkomplit antar episode infeksi, atau respons pengobatan inkomplit
Gejala yang sering dljumpai
Gagal tumbuh atau retardasi tumbuh
Jarang ditemukan kelenjar atau tonsil yang membesar
lnfeksi oleh mikroorganisma yang tidak lazim
Lesi kulit (rash, ketombe, pioderma, abses nekrotik/noma, alopesia, eksim, teleangiektasi, warts yang hebat)
Oral thrush yang tidak menyembuh dengan pengobatan
Jari tabuh
Diare dan malabsorpsi
Mastoiditis dan otitis persisten
Pneumonia atau bronkitis berulang
Penya kit autoimun
Kelainan hematologis (anemia aplastik, anemia hemolitik, neutropenia, trornbositopenia)
Gejala yang jarang dijumpai
Berat badan turun
Demam
Periodontitis
Limfadenopati
Hepatosplenomegali
Penyakit virus yang berat
Artritis atau artralgia
Ensefalitis kronik
Meningitis berulang
Pioderma gangrenosa
Kolangitis sklerosis
Hepatitis kronik (virus atau autoimun)
Reaksi simpang terhadap vaksinasi
Bronkiektasis
lnfeksi saluran kemih
Lepas/puput tali pusat terlambat (> 30 hari)
Stomatitis kronik
Granuloma
Keganasan limfoid
(Dikutip dari Stiehm, 2005)

37
Diagnosis Defisiensi lmun • • · · ·:· · · • · •

Diagnosis
Gejala dan tanda defisiensi imun bervariasi dari yang berat hingga ringan;
seringkali dokter tidak menghubungkan rangkaian penyakit infeksi dengan
defisiensi imun. Tetapi anak yang sering terkena infeksi pun tidak berarti
mengalami defisiensi imun. Oiperkirakan setengah dari anak yang dibawa ke
dokter memiliki sis tern imun normal. Seki tar 30% sisanya menderita alergi, 10%
memiliki penyakit serius lain dan hanya 10% sisanya yang memiliki defisiensi
primer atau sekunder.

Data dasar
Defisiensi imun harus dicari mulai dari riwayat penyakit pasien, keluarganya
dan diikuti dengan pemeriksaan fisis,
Riwayac Penyakit Pasien. Jenis infeksi apa yang pemah clan sedang diderita
pasien? Apakah frekuensinya sering, atau parah, atau lama? Apakah
pernah tidak sembuh dengan pengobatan standar? Pada anak yang normal
infeksi berulang umumnya ringan clan singkat, clan anak sehat di antara
2 episode infeksinya. Dicari kemungkinan penjelasan lain seringnya anak
terinfeksi, karena respons imun dapat ditekan oleh banyak faktor seperti
malnutrisi, Iuka bakar, pemakaian obat tertentu (a.l. kortikosteroid).
Respon imun juga tidak bekerja pada beberapa kondisi: leukemia, infeksi
mononukleosis, campak, cacar air, clan infeksi HIV Beberapa kondisi lain
seperti berapa lama tali pusat lepas (puput) saat bayi, adakah eksim yang
berar, adakah gaga! tumbuh, clan sebagainya.
Pemeriksaan fisis: Apakah anak terlihat cukup nutrisinya clan tumbuh
normal? Anak yang defisiensi imun berat kemungkinan besar terlihat
tampak sakit clan pucat. Sering didapati berat badan kurang clan gangguan
pertumbuhan clan perkembangan. Anak mungkin saja pemalu, tetapi
anak yang tampak sehat clan aktif kecil kemungkinannya menderita
defisiensi imun. Apakah terdapat lesi di kulit, lecet, oral thrush? Apakah
ada pembesaran hati, limpa clan sendi? Apakah tidak didapati pembesaran
kelenjar getah bening? Defisiensi imun berat mungkin memberikan
gambaran tanpa pembesaran tonsil clan kelenjar getah bening.
Riwayat keluarga. Adakah ada anggota keluarga yang didiagnosis defisiensi
imun atau rentan terkena infeksi? Adakah kematian bayi dalam keluarga
karena infeksi? Apakah hanya anak laki yang terkena? Apakah oarngtua
masih ada hubungan darah?
·er �W!i1WilC't1P

Evaluasi respons imun


Pemeriksaan penunjang merupakan sarana yang sangat penting untuk
mengetahui penyakit defisiensi imun, Karena banyaknya pemeriksaan yang
harus dilakukan (sesuai dengan kelainan klinis dan mekanisme dasamya) maka
pada tahap pertama dapat dilakukan pemeriksaan penyaring dahulu, yaitu:
1. Pemeriksaan darah tepi
a. Hemoglobin
b. Leukosit total
c. Hitung jenis leukosit (persentasi)
d. Morfologi limfosit dan trombosit
e. Hitung trombosit
f Hitung eosinofil
2. Pemeriksaan kimia darah seperti kalsium, ferritin, CRP dan parameter
inflamasi lain, fibrinogen, and trigliserida

Langkah selanjumya adalah rnengenali pola klinis yang mengarahkan kita


ke proses diagnosis selanjutnya. Terdapat 8 pola yang didasarkan pada proses
patologis tertentu.Baik pada saat kontak pertama kali atau selama pemantauan,
beberapa pasien menunjukkan lebih dari satu presentasi klinis yang berbeda.
Kalau dapat ditemukan patogen, maka hal ini dapat membantu mernperjelas
pola penyakit karena defek irnun spesifik umurnnya memiliki pola infeksi
yang berbeda. Gambaran klinis yang khas dan umur mulai sakit rnernperjelas
kemungkinan dasar patologis karena meskipun kebanyakan defisiensi imun
primer sudah muncul saat rnasa anak-anak, tetapi ada yang muncul saat dewasa
seperti Combined Varable Immune Deficiency (CVID). Dengan menggunakan
pendekatan ESID, maka digunakan protokol yang sudah dbuat khusus untuk
memandu prosedur diagnosis. Sebagai contoh bila terdapat kecurigaan defek
antibodi dan neutropenia, maka digunakan protokol 2 yang terbagi atas langkah
1 sampai 4. Dimulai dengan pemeriksaan laboratorium sederhana hingga yang
sangat khusus disertai dengan panduan waktu pemeriksaan. Pendekatan yang
digunakan ESID ini bukan hanya berusaha mengurai diagnosis defisiensi imun
primer tetapi juga tetap mengikutkan defisiensi imun sekunder yang mungkin
memiliki gambaran klinis yang sarna.
Hasil perneriksaan laboratorium harus dibandingkan dengan nilai standar,
yang disesuaikan dengan umur. Meskipun dianggap ada pengaruh etnis/ras
dalam nilai standar, saat ini kita gunakan saja dahulu standar yang didasarkan
pada ras aria.

39
G41i·ifti•ffisfit4chl'fci1ic

Evaluasi infeksi
lnfeksi dapat menunjukkan jenis defiensi imun yang terjadi. lnfeksi oleh
bakteri umumnya membangkitkan respons antibodi, seclangkan virus clan
fungi menstimuli sel limfosit T Oleh karenanya infeksi saluran napas bawah
clan sinusitis yang sering clisebabkan oleh bakteri menggambarkan respon
antibodi yang rendah. lnfeksi berulang pada kulit a tau jaringan lunak umumnya

Tabel 5. Pemeriksaan lanjutan pada penyakit defisiensi imun


Defisiensi Sel B
Uji Tapis:
Kadar lgG, lgM dan lgA
Titer isoaglutinin
Respon antibodi pada vaksin (Tetanus, difteri, H.influenzae)
Uji lanjutan:
Enumerasi sel-B (CD19 atau CD20)
Kadar subklas lgG
Kadar lgE dan lgD
Titer antibodi natural (Anti Streptoli;in·O/ASTO, E.coli
Respons antibcdi terhadap vaksin tifoid dan pneumokokus
Foto faring lateral untuk mencari kelenjar adenoid
Defisiensi sel T
Ujitapis:
Hitung limfosit total dan morfologinya
Hitung sel T dan sub populasi sel T: hitung sel T total, Th dan Ts
Uji kulit tipe lambat (CMI): mumps, kandida, toksoid tetanus, tuberkulin
Foto sinar X dada : ukuran timus
Uji lanjutan:
Enumerasi subset sel T (CD3, CD4, (08)
Respons proliferatif terhadap mitogen, antigen dan sel alogeneik
HLA typing
Analisis kromosom
Defisiensi fagosit
Ujitapis:
Hitung leukosit total dan hitung jenis
Uji NBT (Nitro blue tetrazolium), kemiluminesensi: fungsi metabolik neutrofil
TiterlgE
Uji lanjutan:
Reduksi dihidrorhodamin
White cell turn over
Morfologi spesial
Kemotaksis dan mobilitas random
Phagocytosis assay
Bactericidal assays
Defisensi komplemen
Uji tapis:
Titer (3 dan (4
Aktivitas CH50
Uji lanjutan:
Opsonin assays
Component assays
_Activation assays (C3a, C4a, C4d, C5a)

40
• ' , • - '� ,,... ,I • ·-· ct, • - • ' - .) - - • ' • .L .. j .,;: -- ... • v • .... ., • • ... - � �

• Nia Kur"iati

berhubungan dengan defek fagosit, Sedangkan infeksi oleh bakteri berkapsul


termasuk meningitis mungkin berhubungan dengan defek komplemen.
Faktor lain seperti umur, jenis kelamin dapat mernbantu memperkirakan
penyebab. Misalnya bayi yang mengalami diare, pneumonia clan oral thrush,
serta menunjukkan gaga! tumbuh mungkin menunjukkan defek primer
seperti SCIO (Severe Combined Immune Deficiency) a tau, dalam konteks di
Indonesia saat ini, jangan dilupakan infeksi HIV Seorang anak berumur 4 tahun
dengan kelenjar membengkak, masalah di kulit, pneumonia dan infeksi di
tulang mungkin merupakan penderita Chronic Granulomatous Disease (CGD).
Anak yang lebih besar (10 tahun) dengan infeksi saluran napas berulang dan
sinusitis, pembesaran limpa clan tanda penyakit autoirnun lebih sesuai dengan
Common Variable Immunodeficiency (CVID).

Pengobatan
Sesuai dengan keragaman penyebab, mekanisme dasar, clan kelainan klinisnya
maka pengobaran penyakit defisiensi imun sangat bervariasi, Pada dasarnya
pengobatan tersebut bersifat suportif substitusi, irnunomodulasi, atau kausal.
Pengobatan suportif rne liputi perbaikan keadaan umum clengan
memenuhi kebutuhan gizi clan kalori, menjaga keseimbangan cairan, elektrolir,
clan asarn-basa, kebutuhan oksigen, serta melakukan usaha pencegahan infeksi.
Substitusi dilakukan terhaclap defisiensi komponen imun, misalnya clengan
memberikan eritrosit, leukosit, plasma beku, enzim, serum hipergarnaglobulin,
gamaglobulin, ataupun imunoglobulin spesifik. Kebutuhan tersebut cliberikan
untuk kurun waktu tertentu atau selamanya, sesuai clengan kondisi klinis.
Pengobatan irnunornodulasi masih diperdebarkan manfaatnya, beberapa
memang bermanfaat clan ada yang hasilnya kontroversial. Obat yang diberikan
antara lain adalah faktor tertentu (interferon), antibodi monoklonal, produk
mikroba (BCG), produk biologik (cimosin), komponen darah atau produk
darah, serta bahan sintetik seperti inosipleks clan levamisol.
Terapi kausal adalah upaya mengatasi clan mengobati penyebab defisiensi
imun, terutama pada defisiensi imun sekunder (pengobaran infeksi, suplemen
gizi, pengobatan keganasan, clan lain-lain). Defisiensi imun primer hanya
dapat diobati dengan transplantasi (timus, hati, sumsurn tulang) atau rekayasa
genetik.

Tata laksana defisiensi antibodi


Terapi pengganti imunoglobulin (immunoglobulin replacement therap:i)
merupakan keharusan pada anak dengan defek produksi antibodi. Preparat

41
Diagnosis Defisiensilmun . · · ·

dapat berupa intravena atau subkutan. Terapi tergantung pada keparahan


hipogamaglobulinemia clan kornplikasi, Sebagian besar pasien dengan
hipogamaglobulinemia memerlukan 400-600 mg/k.g/bulan imunoglobulin
untuk mencegah infeksi atau mengurangi komplikasi, khususnya penyakit
kronis pada paru clan usus. Imunoglobulin intravena (IVIG) merupakan pilihan
rerapi, diberikan dengan interval 2-3 minggu. Pemantauan dilakukan terhadap
imunoglobulin serum, setelah mencapai kadar yang stabil (setelah 6 bulan),
dosis infus <lipertahankan di atas batas normal.

Tata laksana defek imunitas seluler


Tatalaksana pasien dengan defek berat imunitas seluler, termasuk SCIO
tidak hanya melibatkan terapi antimikrobial namun juga penggunaan
profilaksis. Untuk mencegah infeksi maka bayi dirawat di area dengan tekanan
udara positif Pada pasien yang terbukti atau dicurigai defek sel T harus
dihindari imunisasi dengan vaksin hidup atau tranfusi darah. Vaksin hidup
dapar mengakibatkan infeksi diserninata, sedangkan tranfusi darah dapat
menyebabkan penyakit graft-versus-hose.
Tandur (graft) sel imunokompeten yang masih hidup merupakan sarana
satu-satunva untuk perbaikan respons imun. Transplantasi sumsum tulang
merupakan pilihan terapi pada sernua bentuk SCIO. Terapi gen sedang
dikembangkan clan diharapkan dapat mengatasi defek gen.

Daftar pustaka
I. Morimoto Y. Immunodeficiency overview. Prim Care. 2008;35: 159-73.
2. Stiehm ER, Ochs, HD, Winkelstein JA. Immunodeficiency disorders. General
considerations. Dalam: Stiehm ER, Ochs, HD, Winke!stein JA penyunting.
Immunologic disorders in infants and children; edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier.
2005.h.289-355.
3. Chapel H, Haeney M, Misbah S, Snowden N. Immunodeficiency. Dalam:
Essentials of Clinical Immunology. Edisi ke-5. London; Blackwell Publishing,
2006. h. 51-75.
4. De Vries, Patient-centred screening for primary immunodeficiency, a multi-stage
diagnostic protocol designed for non-immunologists: 2011 update Clinical and
Experimental Immunology, 2011;167: 108-19.
5. Boushifa AA, Jeddane L, Aila! F. Al Herz W, Conley ME, et al. A Phenotypic
Approach for !UIS PIO Classification and Diagnosis: Guidelines for Clinicians
at the Bedside. J Clin Immunol.2013; 33: 1078-El.
6. Modell V. Gee B, Lewis DB, Orange JS, Roifman CM, Routes JM, et al. Global
study of primary immunodeficiency diseases (Pl)-<liagnosis, treatment, and
economic impact: an updated report from the Jeffrey Modell Foundation.
lmmunol Res.2011 51:61-70.
Tatalaksana Dermatitis Atopik
pada Bayi dan Anak
(Untuk mencegah terjadinya asma di kemudian hari)

Zakiudin Munasir

ermatitis atopik (DA) merupakan peradangan kronik kulit yang sering

D muncul pada masa awal anak.1 Penyakit ini sering dihubungkan dengan
adanya riwayat penyakit alergi pernapasan pada keluarga maupun
penderita DA itu sendiri, clan mempunyai perigaruh yang besar terhadap
kehidupan, karir serta interaksi sosial penderita.2 Hal yang menarik, penyakit
DA dilaporkan mengalami peningkatan prevalensi akhir-akhir ini.' Tatalaksana
DA berdasarkan mekanisme yang mendasari penyakit kulit itu sendiri. 1
Dermatitis atopik rnerupakan penyakit inflamasi kronik yang ditandai
rasa gatal yang sering timbul pada usia dini". Penyakit ini sering dihubungkan
dengan alergi saluran napas, baik pada pasien sendiri maupun keluarga.
Kelainan ini dapat menimbulkan frustasi, baik pada pasien, dokter maupun
keluarganya. Walaupun dernikian, dengan penatalaksanaan yang adekuat
kelainan ini dapat diatasi. Permasalahan yang sering dihadapi pada anak yang
menderita dermatitis atopik adalah rasa gatal yang menyebabkan anak rewel,
kelainan kulit yang menimbulkan rasa rendah diri pada anak yang lebih besar
serta penghindaran berbagai jenis makanan alergen yang dapat menimbulkan
gangguan gizi yang akhirnya secara keseluruhan menyebabkan gangguan
tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, prinsip pengobatan dermatitis atopik
adalah rnenghindari bahan iritan clan faktor pencetus, mengatasi rasa gatal
clan kekeringan kulit serta mengatasi reaksi peradangan clan infeksi sekunder.
Pengobatan dermatitis atopik harus disesuaikan dengan keadaan penderita,
apakah keadaan akut atau kronik.
Berbagai srudi menunjukkan hubungan yang erat antara berbagai jenis
penyakit atopi antara satu dengan lainnya yang lainnya yang dikenal dengan
konsep Allergy March atau Road to Allergy. Allergy March merupakan perjalanan
penyakit alergi yang alamiah yang tidak dikontrol. Ekspresi penyakit alergi
akan berubah sesuai dengan usia. Dengan penatalaksanaan serta tindakan
pencegahan yang baik pada penderita dermatitis atopik diharapkan dapat
mencegah terjadinya asma di kemudian hari.

43
1Mttttti£f.i,t,l,#ffihd·ii·J4i·t·i·D:t1ffltmt·®t:

ldentifikasi dan eliminasi faktor pencetus


Sebelum diberikan terapi medikamentosa, penentuan faktor pencetus serta
menghindarinya merupakan salah satu faktor yang pen ting dalam keberhasilan
pengobatan dermatitis atopik, Peranan berbagai faktor pencetus seperti alergen
udara atau alergen makanan telah banyak dibuktikan pada berbagai penelitian.

Alergen makanan
Satu penelirian dengan konrrol menunjukkan bahwa alergen makanan dapat
menginduksi ruam kulit pad a anak yang menderita DA. 5 Berdasarkan uji buta
ganda (doubleblind), uji provokasi makanan dengan plasebo, sekitar 40% bayi
clan anak usia muda dengan DA ringan-berat memiliki alergi makanan. Alergi
makanan pada pasien DA menginduksi dermatitis eksematosa dan berperan
dalam memperparah penyakit kulit pada beberapa pasien,? sedangkan pada
pasien yang lain menimbulkan reaksi urtikaria, urtikaria kontak, ataupun gejala
kompleks kutaneus lainnya. Menghilangkan alergen makanan dari diet pasien
dapat memperbaiki gejala secara klinis, tetapi dibutuhkan pemahaman yang
benar karena sebagian besar alergen (telur, susu, gandum, kedelai dan kacang)
rerdapat pada banyak makanan clan ha! ini sulit clihinclari.7
Bayi clan anak usia mucla yang menclerita alergi makanan umumnya
memiliki hasil tes kulit dan serum lgE yang positif terhadap beberapa makanan.
Uji provokasi makanan yang hasilnya positif sering disertai dengan peningkatan
kadar histarnin plasma clan aktivasi eosinofil. Telah dibukrikan bahwa sel T
spesifik alergen makanan telah berhasil di klon dari lesi kulit pasien DA dan
menunjukkan bahwa makanan dapat menyebabkan inflamasi pada kulit."
Pada tikus percobaan yang menderita DA, sensitisasi makanan melalui
mulur menyebabkan terjadinya lesi kulir ekszematosa saat dilakukan ulangan
provokasi makanan.9 Pada pasien yang hasil tes kulicnya positif terhadap
alergen spesifik ticlak selalu menunjukkan gejala klinis. Oleh karena itu alergi
makanan harus dibuktikan melalui uji provokasi makanan atau eliminasi
makanan secara haci-hati.1
Beberapa penelitian mernbuktikan pacla penderita defisiensi imun primer
mudah terjadi peningkatan absorpsi alergen makanan serta peningkatan
kejadian penyakit atopik'". Hal ini dapat diartikan bahwa pada bayi dan anak
penderita penyakit atopik terutama dermatitis atopi, ditemukan defisiensi
imun ringan yang terkadang sifamya hanya sernentara. Yang sering ditemukan
adalah clefisiensi Imunoglobulin A (lgA), komplemen serta sel limfosit T Pada
bayi baru lahir terdapat defisiensi imun fisiologis terutama lgA sekretorik
serta permeabilitas mukosa usus yang masih tinggi terhadap makromolekul
makanan. Beberapa gangguan saluran pencemaan terjadi absorpsi sejumlah
makromolekul makanan alergen yang dapat merangsang sintesis lgE spesifik.

44
7•T.
Dfflllllj'ff@P-··77 . --Elllll!lillmmD
s
----·· --- •• •• @ffl@tctj,j&fil+
Penyakit gastroenteritis juga mempunyai peranan dalam peningkatan sensitisasi
terhadap makanan.
Beberapa studi menunjukkan bahwa diet eliminasi yang ketat terhadap
alergen makanan utarna dapat mengurangi terjadinya dermatitis atopik pada
bayi dengan risiko atopik tinggi. Diet eliminasi pada ibu menyusui dapat
mencegah terjadinya penyakit atopik pad a bay in ya di kernudian hari 11•
Penundaan pemberian makanan padat (sampai 6 hulan) dilaporkan dapat
menunda terjadinya dermatitis aropik!'. Demikian juga pemberian AS!
eksklusif (3-6 bulan) dapat mencegah terjadinya penyakit atopik13• Walaupun
demikian ada peneliti lain yang membuktikan sebaliknya, yaitu penundaan
pengenalan makanan hiperalergenik justru akan meningkatkan angka kejadian
atopik di kemudian hari karena tidak ada stimulasi sel limfosit T penekan (Ts)
yang mengontrol produksi IgE oleh sel limfosit 814. Beberapa jenis makanan
yang sering menimbulkan dermatitis pada penderita atopik antara lain susu
sapi, telur, ikan laut, kacang tanah, tomat, jeruk dan coklat15•

Diet elirninasi
Samson clan Caskill16 mernbuktikan, dengan diet eliminasi makanan alergen
selama 3 tahun selain menunjukkan perbaikan klinis juga didapatkan
penurunan kadar lgE secara bermakna. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa diet eliminasi makanan pencetus merupakan tatalaksana yang pen ting
pada penderita dermatitis atopik. Walaupun demikian diet eliminasi makanan
harus tetap memperhatikan kebutuhan nutrisi anak yang sedang tumbuh yaitu
mengganti dengan makanan iain yang mempunyai nilai gizi yang setara, Diet
eliminasi makanan pencetus berdasarkan uji DBPCFC (Double Blind Placebo
Control Food Challenge) sebenamya sangat ideal tetapi kurang praktis. Menurut
para ahli diet eliminasi cukup berdasarkan uji kulit disertai anarnnesis yang
cermat. Diet eliminasi biasanya dilakukan selama 3-6 minggu, bila terjadi
perbaikan klinis dilakukan pengenalan kembali dengan makanan tersebut
secara bertahap.

Aeroalergen
Penghindaran alergen inhalan pencerus dermatitis aropik terbukti dapat
mengontrol gejala dermatitis atopik. Dengan membersihkan tungau dari
lingkungan penderita ternyata dapat memperbaiki gejala klinis tanpa
penambahan pengobatan lain pada penderita. Bila penderita tersebut kembali
ke lingkungan semula maka dalam waktu 1-2 hari dapat terjadi eksaserbasi
penyakitnya.
• . �-- .. !-\ :.: .·,-.·.-,1.· . ·' ,. •...••

IMM!iifi.i,i·l•Wlhfflii·iUi·t·l·d=MM·twi

Sejumlah penelitian dengan koncrol plasebo menunjukkan bahwa


pruritus dan lesi kulit eksematoid terjadi setelah uji coba inhalasi intranasal
atau bronkial dengan alergen inhalan pada pasien yang disensitisasi dengan
alergen inhalan, tetapi tidak terjadi dengan penggunaan plasebo.17 Aplikasi
alergen inhalan dengan uji tempel (patch test) pada kulit atopik yang tanpa
lesi mcnimbulkan reaksi eczernatoid pada 30%-50% pada pasien DA.18 Reaksi
positif ditemukan pada tungau debu rumah, jarnur, serpihan kulit hewan dan
serbuk bunga. Sebaliknya, pasien dcngan a!ergi pemapasan dan relawan yang
normal jarang dicemukan reaksi positif pada uji tempel.1
Beberapa penelitian celah mcmbuktikan penghindaran alergen inhalan
dapat memperbaiki DA secara klinis. Kebanyakan penelitian ini menggunakan
uji coba yang tidak terkontrol pada pasien yang diternpatkan di lingkungan
bebas tungau debu rumah, misalnya di rumah sakit. Suatu uji buta ganda,
dengan piasebo sebagai kontrol menggunakan alat pereduksi tungau
dibandingkan dengan yang tanpa intervensi pada suacu rumah, dilaporkan
adanya perbaikan gejala DA secara signifikan dengan cara mengurangi jumlah
tungau debu rumah.":"
Data laboratorium mendukung adanya peranan alergen inhalan termasuk
menemukan antibodi spesifik alergen inhalan pada scbagian besar pasien DA.
Suatu penelitian terbaru yang menemukan 95% sera pasien DA mengandung
lgE tungau debu rumah dibandingkan 45% pasien asma." Derajat sensitisasi
terhadap alergen inhalan berhubungan secara langsung dengan tingkat
keparahan DA. 23 lsolasi sel T yang selektif terhadap D. pceronyssinus (Der p 1)
clan alergen inhalan lainnya dari lesi kulit DA clan daerah uji tempel alergen,
melengkapi bukti bahwa respons imun pada kulit DA dapat ditimbulkan oleh
alergen inhalan

Staphylococcus aureus
Penderita DA merniliki kecenderungan berkembangnya infeksi bakteri,
virus, dan jamur pada kulic. Staphylococcus aureus ditemukan pada lebih dari
90% lesi kulit DA. Jumlah Staphylococcus aureus pada lesi radang DA tanpa
superinfeksi klinis dapat mencapai 107 cfu (colony forming unit) per cm2 lesi kulit.
Keberadaan S.aureus dibuktikan oleh penelitian pada pasien DA yang memiliki
infeksi ringan, pasien menunjukkan penurunan tingkat keparahan penyakit
kulit secara nyata saat diobati dengan kombinasi antibiotik anti stafllokokus
dan korcikosteroid topikal dibandingkan dengan jika hanya menggunakan
kortikosceroid topikal saja.24
Eksaserbasi S.aureus acau peradangan kulit yang tidak sernbuh-sembuh
disebabkan oleh suatu coksin yang bertindak sebagai superantigen, yang

46
-·z•r
, 1IPlfl7' 1iilTIli '•••e@IMltl
.
�. ·� �...... .. • l•'C l#

·!lll:hlil11!1l
· ,il!IH
i' Diili

U
menstimulasi aktivasi sel T clan makrofag. Lebih dari setengah lesi kulit pada
DA terdapat S.aureus yang mensekresi superantigen seperti enterotoksin A,
B toksin I sindrom syok toksik.15· 26 Suatu analisis sel T CLA + yang terdapat
pada darah perifer kulit dari pasien-pasien tersebut juga terhadap sel T pada
lesi kulitnya menunjukkan bahwa mereka membentuk daerah beta pada
perluasan rantai reseptor sel T yang sesuai dengan stimulasi superantigen
tertentu.27•28 Kebanyakan pasien DA mernbentuk antibodi lgE spesifik untuk
melawan superantigen pada kulit. 24.25 Se! Basofil pasien yang sudah disaturasi
dengan antibodi lgE spesifik yang melawan superantigen akan melepaskan
histamin untuk superantigen yang relevan, tetapi tidak terhadap superantigen
yang tidak ada lgE spesifiknya.25 Hal ini memunculkan kemungkinan bahwa
superantigen menginduksi lgE spesifik pada pasien DA clan degranulasi sel
mast secara invivo saat superantigen memasuki barier epidermis, akibatnya
akan menimbulkan siklus gatal-rnenggaruk pada ruam kulit DA.1
Terdapat hubungan antara keberadaan lgE anti superantigen dengan
<lerajat DA.26 Berdasarkan peradangan pada model yang mirip kulit manusia,
kombinasi dari superantigen S.aureus dengan alergen menunjukkan adanya
suacu efek tambahan yang menginduksi peradangan kulit.29 Superantigen juga
dapat meningkatkan sintesis lgE spesifik alergen clan menginduksi resistensi
kortikosreroid.v-" Melengkapi postulat Koch, aplikasi superantigen Swfilokokus
Enterotoksin B (SEB) pada kulit dapat menginduksi perubahan berupa eriterna
clan indurasi pada kulit disertai infiltrasi sel T yang meluas secara selektif akibat
respons terhadap SEB.32·33 Penelitian prospektif pada pasien yang sembuh dari
sindrom syok toksik ditemukan sekitar 14 dari 68 pasien berkembang menjadi
dermatitis eksematosa kronik padahal cidak satupun pasien yang sernbuh dari
sepsis gram negatif berkembang menjadi dermatitis.34 Para peneliti rersebut
menyimpulkan bahwa superantigen dapac menginduksi suatu proses atopik
pada kulit, sehingga superantigen dapac rnenginduksi ekspresi sel T dari
reseptor di kulit melalui stimulasi produksi IL-12.35
Meningkatnya ikatan antara S.aureus pada kulit DA sepertinya
berhubungan dengan proses inflamasi pada kulit atopik. Konsep ini didukung
oleh beberapa penelitian. Pertama, diternukan bahwa pengobatan dengan
kortikosteroid topikal a tau takrolimus dapat mengurangi jumlah S.aureus pad a
kulir atopik walaupun tanpa penggunaan antibiotik.P-" Kedua, lesi peradangan
akut lebih banyak merniliki S.aureus daripada DA kronik acaupun kulit atopik
yang tanpa lesi. Aktivitas menggaruk sepertinya dapat meningkackan ikaran
S.aureus dengan cara merusak barier kulit clan memaparkan rnatrik rnolekui
ekstraseluler yang bertindak sebagai adhesi untuk S.aureus, contohnya adalah
fibronektin clan kolagen. Yang terakhir adalah pada penelitian terhadap ikatan
S.aureus pada lesi kulit tikus yang mengalami respons inflamasi Thl vs Th2,
ikatan bakceri meningkat secara signifikan pada bagian kulit dengan reaksi

47
,a,o,.....__ ......... - •
Tata Laksan� Dermatitis Atop, pada Bayi don Anal, . . ·

inflarnasi yang diperantarai Th2.38 Peningkatan ikatan bakteri tidak dapat


terjadi bila gen IL-4 tikus di non-aktifkan, ha! ini mengindikaslkan bahwa
IL-4 berperan penting pada peningkatan ikatan S.aureus pada kulit dengan
menginduksi sintesis fibronektin yaitu suatu adhesin penting dari S.aureus.
Sebuah penelitian DA pada manusia telah ditemukan peranan fibrinogen
pada pengikaran S.aureus di kulit atopik. 39 Oleh karena lesi akut yang eksudatif
sepertinya mengalami peningkatan fibrinogen plasma, maka ha! ini mendukung
pengikatan S.aureus pada lesi DA akut lebih lanjut. 1
Peningkatan ikatan S.aureus pada kulit DA tidak cukup untuk
meningkatkan jumlah S.aureus pada DA Mekanisme yang rerjadi adalah ketika
S. aureus rerikat pada kulit DA, maka S.aureus dapat berproliferasi dengan
cepat akibat respons imun lokal yang terganggu. Ada 2 kelas besar peptida
antimikroba pada kulit mamalia yaitu: P-defensin clan carhelidin. Keduanya
telah dibuktikan mempunyai aktivitas antimikroba dalam melawan balkteri,
jarnur clan virus. Mckanisme aksi dari kation antimikroba peptida yaitu dengan
cara merusak membran mikroba atau dengan berpenetrasi kedalam membran
bakteri untuk mengganggu fungsi intraseluler. Akhirnya ditemukan bahwa DA
ditandai dengan kurangnya produksi P-defensin clan cathelidin.'?

Autoalergen
Pada tahun 1920-an beberapa peneliti memberitahukan bahwa serpihan kulit
manusia dapat mencetuskan reaksi hipersensitivitas tipe cepat pada kulit
pasien dengan DA berat, ha! ini mungkin karena adanya reaksi lgE melawan
autoantigen pada kulit." Molekul potensial yang rnenjadi dasar penelitian ini
telah didernonstrasikan oleh Valenta dkk41 yang melaporkan bahwa sebagian
besar sera pasien DA mengandung antibodi IgE yang langsung melawan
protein manusia. Salah satu lgE reaktif autoantigen telah di kloning dari
suatu ekspresi cyclic deoxyribonucleic acid (cDNA) epitel manusia clan disebut
Hom sl yang merupakan suatu protein sitoplasmik berbobot 55kDa pada
keratinosit kulit." Antibodi ini cidak dapat dideteksi pada pasien urtikaria
kronik, Systemic Lupus Erythematosus (SLE), clan penyakit graft-versus-host
ataupun pada kontrol sehat. Walaupun karakterisasi autoalergen akhir-akhir
ini ada pada intraseluler protein, tetapi dapat dideteksi pada komplek imun lgE
sera DA, hal ini menunjukkan bahwa penglepasan auroalergen dari jaringan
yang rusak dapat mencetuskan respons yang diperantarai oleh lgE atau sel
T Konsep ini didukung oleh penelitian terbaru yang menyebutkan bahwa
terdapat penurunan titer autoalergen lgE dengan resolusi DA.44 Data-data
rersebut menunjukkan bahwa meskipun respons imun lgE disebabkan oleh
alcrgen lingkungan tetapi reaksi peradangan alergi dapat dipertahankan oleh
antigen endogen manusia terutama pada DA berat.

48
... � .. ,� . ,,.,,,. •• , ...... ;.,___ ., - ., ' . . -lakiudmMunasfr.

Bahan iritan
Kulit penderita dermatitis atopik biasanya kering, sensitif serta mudah
mengalami iritasi. Untuk mencegah iritasi, penggunaan sabun dan pembersih
kulit yang lain harus dikurangi, Sabun yang digunakan harus mempunyai PH
netral. Sebaiknya menggunakan pembersih kulit yang tidak mengandung
bahan sabun. Sisa deterjen pada pakaian juga dapat menimbulkah iritasi.
Oleh karena itu setiap mencuci pakaian harus dilakukan pembilasan sarnpai
benar-benar bersih. Pengeluaran keringat karena suhu, emosi atau lingkungan
sekitar dapat menimbulkan rasa gatal. Aktivitas fisik harus dikurangi untuk
mencegah pengeluaran keringat yang berlebihan. Suhu dan kelembaban
lingkungan penderita harus optimal (suhu 33-41 derajat Celcius dengan
kelembaban 45-55%) .45
Pakaian jangan terlalu ketat, bahan pakaian harus disesuaikan dengan
keadaan kulit pcnderita misalnya jangan menggunakan bahan wol bagi yang
sensitif terhadap wol. Berenang merupakan olah raga yang dianjurkan,
akan tetapi harus segera dibilas dengan air bersih karena kolam renang
sering mengandung kaporit dan harus segera menggunakan pelembab atau
pembalutan kulit yang sakit.

Tatalaksana Dermatitis Atopi


1. Mencegah kekeringan kulit
Hidrasi kulit baik dilakukan pada berbagai stadium penyakit. Untuk mengatasi
kekeringan kulit dilakukan dengan membasahi kulit dengan air clan dibalut
dengan pembalut hidrofobik supaya tidak menyerap air tersebut. Tindakan
ini dapat dilakukan dengan berendam atau mandi selama 15-20 menit.
Sebaiknya jangan mandi dengan air panas karena sering merangsang rimbulnya
gatal. Setelah mandi kulit dilap dengan handuk lernbut clan segera diberikan
terapi topikal. Bila kulit tidak segera dibalut dalam 3-5 menit mudah terjadi
kekeringan. Dengan cara ini dapat meningkatkan penetrasi obat topikal bila
segera diberikan . Penggunaan pembalut basah bermanfaat untuk hidrasi
selanjutnya clan dapat meningkatkan penetrasi obat serta pendinginan kulit .
Pembalutan lebih praktis dilakukan pada saat tidur. Mandi dan kompres juga
efektif untuk menghilangkan krusta serta mengurangi eksudasi. Kompres
dengan larutan astringent clan antiseptik hanya boleh dilakukan 2 sampai 3
kali sehari karena dapat menyebabkan kekeringan yang menimbulkan gatal
serta kulit pecah-pecah.
Pelembab tersedia dalam bentuk lotion atau krim. Lotion mengandung lebih
banyak air dibanding krim tetapi lebih mudah menguap. Beberapa jenis

49
Tata L-aksana Dermatitis Atopi pada Bayi dan Anak . • -

pelernbab rnengandung air clan minyak. Pelembab ini dapat digunakan 3 sampai
4 kali sehari termasuk segera setelah mandi, Pembalut kering hanya efektif bila
digunakan setelah hidrasi kulit untuk mencegah penguapan karena pembalut
tidak mengandung air.

2. Medikamentosa

Pengobaran medikarncntosa terutarua ditujukan untuk rnengatasi rasa gatal,


reaksi peradangan, infeksi sekunder serta perbaikan sistim kekebalan tubuh,

2.1. Mengatasi rasa gatal


Rasa gatal pada dermatitis atopik merupakan gejala utama clan sangat
mengganggu penderita. Goresan akibat garukan dapat dikurangi dengan
memotong kuku penderita, menggunakan sarung tangan serra obat
antihistarnin. Manfaat antihistarnin untuk mengatasi rasa gatal pada dermatitis
atopik masih dalam perdebatan. Akan tetapi beberapa peneliti rnembuktikan
penggunaan hidroksisin, loratadin serta setirisin sangat bermanfaat rnengarasi
rasa gatal pada dermatitis atopik. Se lain merupakan antagonist H l , obat-obatan
ini juga mengahambat reaksi tipe I fase lambat clan PAF (Platelets Activating
Facwr)4<• serta mengharnbat neutrofil, eosinofil dan basofil ke tempat kulit yang
mengalami reaksi alergi." Penggunaan antihistarnin topikal serta anestetik
lokal sebaiknya dihindari karena dapat menginduksi reaksi hipersensitivitas
sistemik. Sedatifkadang diperlukan untuk mencegah garukan pada malam hari.

2.2. Mengatasi reaksi peradangan


Beberapa obat digunakan untuk mengatasi reaksi peradangan yaitu
kortikosteroid (lokal atau sisternik) serra tar.

a. Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal sering diperlukan pada saat eksaserbasi akut
dermatitis atopik. Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi,
antipruritus serta vasokonstriktor. Kortikosteroid fluorinasi dan esterifikasi
mempunyai potensi yang lebih kuat dibandingkan dengan yang non
fluorinasi clan non esterifikasi (lihat tabel).
Pemilihan kortikosteroid topikal tergantung lokasi clan luasnya lesi.
Sebaiknya digunakan potensi serendah mungkin yang masih efektif Bentuk
krirn lebih mudah penggunaannya tetapi mudah menimbulkan kekeringan.
Bentuk salep mempunyai efek melindungi kulit dari kekeringan, tetapi
dapat meningkatkan rasa gatal serta dapat menimbulkan folikulitis.

c;o
:r
11m.v•IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIE!lmmmmlm
......... I • ?fffldii&Pi,Hi/1

·
-
Tabel: Potensl relatif berbagal kortlkosterold toplkal.
---------�·----··
Ke las Generlk
Potensi paling rendah
0,1% Deksametason
1% Hidrokortison

Potensi rendah
0,01% Betametason valerat
0,05% Desonid
0,025% Triamsinolc,n asetonid

Potensi menengah
0,1% Betametason valerat
0,05% Desoksimetason
0,2% Hidrokortison valerat
0,025% Halsinonid
0,1% Triamsinolon asetonid

Potensi tinggi
0,1% Amsinonid
0,05% Betametason dipropionat
0,25% Desoksimetason
0,2% Flusinolon
0,05% Flusinonid

Potensi sangat tinggi


0,05% Betametason dipropionat
0,05% Klobetasol propionate
Halobetasol
�--·----
Catalan: Lotion dan krim generik kadang masih mengandung bahan alergen."

Oleh karena itu bentuk krirn cocok untuk lingkungan yang lembab
sedangkan lotion clan spray lebih cocok untuk kulit kepala acau kulit
berambut. Penggunaan kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari
2 kali sehari karena tidak meningkatkan efikasi malah menambah biaya
pengobaran." Pada daerah kulit yang tipis seperti daerah muka, leher,
ketiak clan selangkangan sebaiknya tidak digunakan kortikosteroid topikal
potensi sedang a tau tinggi kecuali digunakan dalam jangka pendek dengan
pengawasan yang ketat. Efek samping penggunaan kortikosteroid topikal
tersering antara lain, katarak bila digunakan di daerah periorbital, atropi
kulit, hipopigmentasi, jerawat clan terkadang efek sisternik. Demikian
juga dapat terjadi infeksi sekunder oleh jamur.

b. Kortikosteroid sistemik
Pemberian kortikosteroid sisternik biasanya tidak dianjurkan walaupun
dapat menunjukkan penyembuhan yang cepat. Terkadang didapatkan efek
rebound pada penghentian pengobatan disamping efek samping lainnya.
Walupun demikian hasil studi terakhir melaporkan hasil yang memuaskan

51
Tata Laksana Dermatitis Atopi pada Bayi don Anak · · - • - -" ·

dari pengobatan kortikosteroid sistemik dosis rendah secara alternatif


pada dermatitis atopik yang refrakter terhadap pengobatan kortikosteroid
topikal potensi tinggi.48

b. Tar
Tar serta ekstrak crude cool tar telah digunakan bertahun-tahun clan
sering dianjurkan untuk mengurangi penggunaan kortikosteroid topikal
pada dermatitis atopik. Liquor Carbonis detergents (LCD) 2,5% clan
5% dalam aquaphor banyak digunakan dalam sediaan kosmetik dengan
iritasi minimal. Walupun preparat tar ini banyak digunakan pada produk
kosmetik, kandungan alkoholnya dapat menimbulkan rasa terbakar serta
iritasi pada daerah dermatitis. Efek samping tar antara lain folikulitis,
fotosensitisasi serta dermatitis kontak.

3.Pengobataninfeksisekunder
Dermatitis akut maupun kronis yang tidak terkontrol sering disertai infeksi
sekunder yang memerlukan terapi antibiotika sistemik. Bila tidak ditangani
dengan baik akan memperburuk gejala dermatitisnya. Penyebab infeksi
tersering adalah Staphylococcus aureus yang sering resisten terhadap penisilin.
Untuk itu perlu perlu dilakukan biakan clan uji resistensi untuk menentukan
antibiotika yang sesuai. Sebaiknya diberikan antibiotika dosis tinggi untuk
mencapai kadar yang cukup pada kulit yang terkena. Pilihan pertama adalah
sefaleksin clan eritromisin. Pilihan lain adalah klindamisin clan dikloksasilin
atau kombinasi dikloksasilin clan rifampisin.46 Pengobatan sebaiknya diteruskan
2 sarnpai 3 minggu.
Pembersih antiseptik tidak dianjurkan karena dapat terjadi iritasi.
Pengobatan dengan antibiotika topikal biasanya tidak efektif bahkan dapat
menimbulkan sensitisasi. Akan tetapi beberapa ahli mendapatkan basil yang
baik dengan menggunakan mupirosin tetapi harganya relatif mahal . Bila
pengobatan dengan antibiotika gaga! perlu dipikirkan adanya infeksi Herpes
simplex. Keadaan yang ringan dapat diobati dengan asiklovir topikal sedangkan
herpes yang luas atau mengancam mata dapat diberikan asiklovir intravena.
Pengobatan dengan antimikotik seperti krim imidasol atau griseovulvin oral
selama satu bulan diberikan pada infeksi jamur dermatofit. Infeksi Pityrosporum
uvale dapat diobati dengan klotrimasol.

4. Perbaikan sistem imun


Penderita dermatitis atopik sering menunjukkan gangguan regulasi sistem
imun, oleh karena itu dapat diberikan pengobatan untuk memperbaiki sistem
,. " .. . . - - - . ... .
� • Zakiud,n Munasir

imun. Biasanya pengobatan ini merupakan alternatif bila dengan pengobatan


di atas mengalami kegagalan.

2.1. lmunoterapi alergen

Imunorer api/desensitisasi pada dermatitis atopik ditujukan terhadap


alergen udara. cara pengobatan ini sampai sekarang masih diperdebatkan
efektivitasnya. Beberapa peneliti melaporkan hasil yang baik, sedangkan
peneliti lainnya mendapatkan hasil yang mengecewakan bahkan dapat
memperburuk gejala dermatitisnya.46 Untuk ini diperlukan data yang lebih
banyak dengan melakukaan penelitian yang menggunakan kontrol.

2.2. Siklosporin

Siklosporin dapat digunakan untuk menekan produksi sitokin, Pada uji klinik
dengan kontrol plasebo selama 8 minggu didapatkan perbaikan klinis yang
bermakna.49 Karena efek hepatotoksik clan imunosupresif, pengobatan ini
tidak disukai kecuali pada dermatitis atopik yang sangat refrakter terhadap
pengobatan.

2.3. Inhibitor kalsineurin topikal


a. Takrolimus
Takrolimus atau FK-506 suatu inhibitor kalsineurin bekerja dengan cara
mengikat FK binding protein, dilaporkan menunjukkan hasil yang sangat
memuaskan pada terapi dermatitis topik" Takrolimus menghambat
sejumlah sel yang berperan pen ting pada dermatitis atopik seperti sel T, sel
Langerhan, sel mas clan keratinosit.51 Dibandingkan dengan kortikosteroid
topikal, takrolimus tidak menyebabkan atrofi kulit dan aman untuk kulit
wajah clan kelopak rnata, Takrolimus telah disetujui oleh Food and drug
Administration ( FDA ) untuk digunakan secara topikal jangka pendek
maupun intermiten pada terapi dermatitis atopik moderat sampai berat
pada anak usia 2 sampai 15 tahun dengan kadar 0,03% sedangkan pada
dewasa 0, 1 %. 52

b. Pimekrolimus
Pimekrolimus merupakan senyawa askomisin yang bekerja melalui
pengikatan makrofilin 12 untuk mempengaruhi kerja kalsineurin. 51
Pimekrolimus dapat diberikan secara topikal dengan absorpsi sistemik
yang minimal" clan oral. Seperti takrolimus, pimekrolimus menghambat
produksi sitokin Th 1 clan Th2, mengurangi kapasitas kerja Antigen

53
� • c:.-:.1.:.lo,,'!,:,:.;f'-.< ..__,_J.!.J.,."!!i • ..!.-::.'---'-��::...i:- ..!. _,1i:... ..... ,��-�-,- ......�
Tata Laksana Dermatitis Atopi pada Bayi.dan Anal< • · •

Presenting Cell ( APC) sel dendrit serta menghambat penglepasan mediator


dari sel mast clan basofil.55 Sediaan pimekrolimus krim I% dibuktikan
aman clan efektif untuk pemberian jangka pendek clan intermiten pada
pengobatan dermatitis sedang sampai berat pada anak usia 2 tahun sampai
dewasa. Beberapa studi menunjukkan, dengan pemberian pimekrolimus
pada gejala dini dermatitis atopik dapat mencegah timbulnya gejala yang
lebih berat serta dapat mengurangi pemakaian steroid."

3. Fototerapi
Pemberian sinar ultraviolet dapat bermanfaat pada dermatitis yang kronik
dan rekalsirrans. Sebaliknya, sinar matahari yang berlebihan atau udara
yang panas clan lembab dapat lebih menimbulkan rasa gatal pada penderita.
Penggunaan sinar UVA (Ultraviolet) atau psoralen phowtherapy (PUVA)
dapat menyebabkan remisi pada dermatitis yang be rat. 57 Keadaan ini mungkin
disebabkan efek supresi terhadap sel langerhans atau sel mast kulit. Terapi
sinar ini juga dapat meningkatkan respons tehadap terapi lain yang diberikan.
Karena respons terapi larnbat, biaya mahal serta risiko terjadinya kanker maka
penggunaan terapi sinar ini sangat terbatas,

4. Psikoterapi
Penderita dermatitis atopik biasanya menunjukkan gejala seperti pada penyakit
kronik lain yaitu gangguan emosi yang juga diderita oleh orang tua/k.eluarganya.
Dermatitis atopik adalah suatu penyakit yang tampak oleh orang lain yang
menyebabkan rasa rendah diri cenderung depresi clan sangat mcngganggu
penderita. Penderita rnaupun orangtua sering merasa kesal karena penyakitnya
tidak kunjung sembuh. Baik penderita maupun dokter yang menanganinya
sering merasa frustasi. Oleh karena itu perbaikan emosi dengan psikoterapi
merupakan penunjang yang penting dalam pengobatan dermatitis atopik.
Psikoterapi tidak harus dilakukan oleh dokter yang mengobati tetapi dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan/psychotherapist. Pemberian psikoterapi secara
kelompok lebih banyak menunjukkan hasil .

Pencegahan terjadinya asma di kemudian hari.


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada anak dengan dermatitis atopik
walupun tidak menunjukkan gejala asma didapat gejala hiperreaktivitas
bronkus nonspesifik sehingga mempunyai risiko terjadinya asma di kemudian
hari. 58 Dengan penatalaksanaan yang baik maka terjadinya sensitisasi terhadap
reaksi alergi akan ditekan sehingga manifestasi terjadinya ekspresi penyakit
alergi yang lain misalnya asma di kemudian hari dapat dicegah.

S4
Laporan mutakhir menunjukkan bahwa pengobatan pencegahan yang
dilakukan melalui pengobatan dini anak atopi dapat mencegah timbulnya asma
bronkial di kemudian hari, Konsep dasar pengobatan dini ialah manifestasi
klinis asma kemungkinan dapat dicegah atau dihentikan dengan intervensi
medis sebe!um penyakit tersebut muncul atau meminimalkan gejala yang
timbul. Oleh karena itu sasaran pengobatan pencegahan ini adalah anak
dengan gejala dermatitis atopi yang belum menujukkan gejala wheezing
(mengi). Penelitian ini yang dikenal dengan nama ETAC (Early Treatment
of The A topic Child) merupakan suatu penelitian uji klinis buta ganda secara
acak dengan kontrol plasebo yang dilakukan di 12 negara Eropa clan Kanada
dengan tujuan untuk rnelihat apakah pemberian setirisin pada penderita
dermatitis atopi dengan riwayat atopi keluarga dapat menurunkan insidens
asma secara bermakna. Dari laporan awal penelitian ETAC tersebut dapat
disimpulkan bahwa penggunaan setirisin jangka panjang dengan dosis 0,25
mgKgBB dua kali sehari selama 18 bulan ,menurunkan probabilitas timbulnya
asma sebesar 50% pada kelompok anak yang rersensitisasi oleh serbuk bunga
clan tungau debu rumah. Selain itu penggunaan setirisin jangka panjang dapat
membatasi kekerapan clan lama pemberian kortikosteroid pada anak yang
menderita dermatitis a topic. 58

Simpulan
Prevalensi dermatitis atopik dilaporkan cenderung meningkat. Penanganan
penderita dermatitis atopik relatif sulit. Walaupun demikian, dengan
penatalaksanaan yang adekuat dengan kerjasama yang baik antara dokter,
penderita clan keluarganya kelainan ini dapat diatasi. Secara garis besar,
pengobatan dermatitis atopik meliputi penghindaran bahan iritan clan factor
pencetus, mengatasi rasa gatal clan kekeringan kulit serta mengatasi reaksi
peradangan clan infeksi sekunder. Pengobatan pencegahan dini dengan
menggunakan setirisin pada anak dengan dermatitis atopik dilaporkan dapat
menurunkan risiko terjadinya asma di kemudian hari.

Daftar kepustakaan
I. Leung DYM. Atopic dermatitis. Dalam Pediatric allergy principles and practice
2003. h 561-73
2. Finlay AY. Quality of life in atopic dermatitis. J Am Acad Derrnarol. 2001;
45:564-6.
3. Schultz-Larsen F, HanifinJM. Epidemiology of atopic dermatitis. lmmunol Allergy
Clin North Am. 2002; 22: 1-24.

55
TataLaksanaDermatitisAtopipadaBay{dan-Anak . · � . ·-� "'·= . -· " ----

4. Bieber T, Leung DYM, eds: Atopic dermatitis, New York, 2002, Marcel Dkker,
dikutip dari Leung DYM. Atopic dermatitis. Dalam: Leung DYM, Sampson HA,
Geha RS, Szefler, penyunting. Pediatric allergy. St Louis: Mosby; 2003.h. 561- 7 3
5. Sampson HA. Food allergy part I. lmmunopathogenesis and clinical disorders. J
Allergy Clin lmmunol. 1999; 103: 717 -28.
6. Guillet G, Guillet MH. Natural history of sensitizations in atopic dermatitis. A 3
years follow up in 250 children: food allergy and high risk of respiratory symptoms.
Arch Dermatol. 1992; 128: 187 -92.
7. Lever R, MacDonald C, Waugh P. Randomised controlled trial of advice on an
egg exclusion diet in young children with atopic eczema and sensitiviry to eggs.
Pediatr Allergy lmmunol. 1998;9: 13-9.
8. Van Reijsen FC, Felius A, Wauters EA. T cell reactivity for peanut-derived epitop
in the skin of a young infant with aropic dermatitis. J Allergy Clin lmmunol.
1998;101:207-9.
9. Li XM, Kleiner G, Huang CK. Murine model of atopic dermatitis associated with
food hypersensitivity. J Allergy Clin lmmunol. 2001; 107: 693-702.
10. Soothil JF. The atopic child. Dalam : Soothil JF, Hayward AH, Wood CBS,
penyunting. Paediatric immunology. Oxford: Blackwell Scientific Publications;
1982.h. 248- 71.
11. Sigurs N, Hatterig G, Kjellman B. Maternal avoidance of eggs, cow's milk and fish
during lactation : Effect on allergic manifestations, skin prick test, and spesific
lgE antibodies, in children at age 4 years. Pediatrics 1992; 89:735-39.
12. Kajosaari M, Saarinen UM. Prophylaxis of a topic disease by six months total solid
food elimination. Acta Paediatr Scand 1983;73:411-14.
13. Mygind N. Essential Allergy. Oxford : Blackwell Scientific Publication
Publications; 1986. h.384-86
14. Lindfors A, Enockson E. Development of a topic disease after early administration
of cow's milk formula, Allergy 1988;43: 11-16
15. Hanifin JM. Aropic dermatitis in infant and childhood.Dalam : Hurtwitz S,
pcnyunting.Pediatric Dermatology. Philadelphia: WB Saunders Company; 1991,
h.763-91
16. Sampson HA, McCaskill CC. Food hypersensitivity and atopic dermatitis.
Evaluation of 113 patients. J Pediatr 1985; 107:669
17. Tupker RA, De Monchy JG, Coenraads PJ. Induction of atopic dermatitis by
inhalation of house dust mite. J Allergy Clin lmmunol.1996; 97: 1064-70.
18. Wheatley Lm, Platts-Mills TAE. Role of inhalant allergens in atopic dermatitis.
Dalam Leung DMY, Greaves MW, eds: Allergic skin disease: a multidisciplinary
approach. New York, 2000. Marcel Dekker.
19. Tan BB, Weald D, Strickland I. Double-blind controlled trial of effect of house
dust-mite allergen avoidance on atopic dermatitis. Lancet. 1996;347: 15-8.
20. Gutgesell C, Heise S, Seubert S. Double-blind placebo controlled house dust
mite control measures in adult patients with acopic dermatitis. Br J Dermatol.
2001;145: 70-74.
21. Holm L, Bengtsson A, Van Hage Hamsten M. Effectiveness of occlusive bleeding
in the treatment of atopic dermatitis- a placebo controlled trial of 12 months
duration. Allergy. 2001; 56:152-8.

Ch
22. Scalabrin OM, Bavbek S, Perzanowski MS. Use of specific lgE in assessing the
relevance of fungal and dust mite allergens to atopic dermatitis: a comparison
with asthmatic and non asthmatic controlled subjects. J Allergy Clin Immunol.
1999;104: 1273-9.
23. Schafer T, Heinrich J, Wjst M. Association betwen severity of atopic eczema
and degree of sensitization to aeroallergens in school children. J Allergy Clin
Immunol. 1999; 104: 1280-4.
24. Leyden JJ, Kligman AM. The case for steroids-antibiotic combinations. Br J
Derrnarol. 1977;96: 179-87.
25. Leung DY, Herbeck R, Bina P Presence of lgE antibodies to staphylococcal
exotoxins on the skin of patients with atopic dermatitis: evidence for a new group
of allergens. J Clinn invest. 1993; 92: 1374-80.
26. Breuer K, Wittmann M, Bosche B. Severe atopic dermatitis is associated with
sensitization to staphylococcal enterotoxin B (SEB). Allergy. 2000;55: 551-5.
2 7. Bunikowski R, Mielke ME, Skarabis H. Evidence for a disease-promoting effect
of staphylococcus aureus-derived exotoxin in atopic dermatitis. J Allergy Clin
Immunol. 2000; 105: 814-19.
28. Strickland I, Hauk PJ, Trumble AE. Evidence for superantigen involvement in
skin homing ofT cell In a topic dermatitis. J Invest Dermatol. 1999; 112: 249-53.
29. Herz U, Schnoy N, Borelli S. A human SCIO mouse model for allergic imunc
response bacterial superantigen enhances skin inflammation and suppresses lgE
production. J Invest Derma to I. 1998; l l 0: 224-31.
30. Hofer MF, Herbeck RJ, Schlievet PM. Staphylococcal toxin augment specific [gE
responses by a topic patients exposed to allergens. J Invest Derma to I. 1999; 112:
171-6.
31. Hauk PJ, Hamid QA, Chrousos GP Induction of corticosteroid insensitivity
in human PBMCs by microbial superantigens. J Allergy Clin Imrnunol. 2000;
105: 782-7.
32. Strange P. Skov L, Lisby S. Staphylococcal enterotoxins B applied on intact normal
and intact a topic skin induces dermatitis. Arch Dermatol. 1996; 132: 27-3 3.
33. Skov L, Olsen JV, Giorno R. Application of Staphylococcal enteroroxins B
on normal and a topic skin induces up-regulations of T cell by a superantigcn-
mediated mechanism. J Allergy Clin Immunol. 2000;105: 820-826.
34. Michie CA, Davis T. Atopic dermatitis and staphylococcal superantigens. Lancer.
1996; 347: 324.
35. Leung DY, Gately M, Trumble A. Bacterial superantigens induce T cell expresions
of the skin selective homing receptor, the cutaneous lymphocyte-associated
antigen, via stimulation of interleukin 12 production. J Exp Med. 1995;181:
747-53.
36. Nilsson EJ, Henning CG, Magnusson]. Topical corticosteroid and staphylococcus
aureus in atopic dermatitis .. J Am Acad Dermatol. 1992;27: 29-34.
3 7. Remitz A, Kyllonen H, Grandlund H. Tacrolimus ointment reduces staphylococcal
colonizations of a topic dermatiti lesions. J Allergy Clin lmmunol. 2001; 107: 196- 7.
38. Cho SH, Strickland I, Tomkinson A. Preferential binding of staphylococcus
aureus to skin sites pfTh2-mediated inflammation in a murine model. J Invest
Dermatol. 2001;1[6: 658-62.

57
:'Q!.�� � ...... Lt�i�.I::; •.,,;..:;;.,. �.. "':.._.:..t.�_..:.:_,._, __ ,.,..,,;__,"'-..:_.'.!. ,�.;:,-'
Tata Laksana Dermatit,s Atop, pada Bayi dan Anak - ·

39. Cho SH, Strickland I, Boguniewicz M. Fibronectin and fibrinogen contribute


to enhanced binding of staphylococcus aureus to atopic skin. J Allergy Clin
lmmunol. 2001;108: 269-74.
40. Ong PY, Ohcake T. Brandt C. Decreased sntimicrobial peptides contribute to
increased infections in atopic dermatitis. N Engl J Med. 2002;347: 1151-60.
41. Keller P. Beicrag zu den beziehungen von asthma un ekzem. Arch Denn Syph
Berl. 1924; 148: 82.
42. Valenta R, Seiberler S, Natter S, et al. Autoallergv: a pathogenetic factor in a topic
dermatitis". J Allergy Clin Immunol. 2000; 105: 432- 7.
4 3. Valenta R, Seiberler S, Natter S. Molecular characterization of an autoallergen,
Hom s 1, identified by serum lgE from atopic dermatitis patients. J Invest
Derma rol. 1998; 111: 1178-83.
44. Kinaciyan T. Natter S, Kraft D. Igf autoantibodies monitored in a patient with
atopic dermatitis under cvclosporin A treatment reflect tissue damage. J Allergy
Clin lmmunol. 2002;109: 717-9.
45. Adinoff AD, Clark RAF. Atopic Dermatitis. Dalam: Bierman CW, Pearlman DS,
Shapiro GG, Busse WW. Penyunting. Allergy, Asthma and Immunology from
Infancy to Adulthood. Philadelphia: WB Saunders Company; 1996.h. 613-32
46. Mitchell EB, Crow J, Chapman MD, et al. Basophils in allergen-induced patch
test sites in atopic dermatitis. Lancet 1982; 1:127.
4 7. Charlesworth EN, Kagev-Sabotka A, Norman PS, et al. Effect of cetirisine on
mast cell-mediator release and cellular traffic during the cutaneus late-phase
reaction. J Allergy Clin lmmunol 1989;83:905-12.
48. Sonenrhal KR, Grammer LC, Patterson R. Do some patients with atopic dermatitis
require long term oral steroid therapy? J Allergy Clin Immunol l 993;91:971-73
49. Sowden JM, Berth-Jones J, Ross JS, et al. Double blind, controlled, crossover
study of cyclosporin in adults with severe refractory aropic dermatitis.Lancet
1991;338:137-40
50. Reitarno S. Tacrolimus: a new topical immunomodulatory therapy for atopic
dermatitis, J Allergy Clin lmmunol 2001; 107: 445-48
51. Wollenberg A, Sharma S, von Bubnoff D, et al. Topical tacrolimus (FK506)
leads to profound phenotypic and functional alterations of epidermal antigen-
presenting dendritic cells in a topic dermatitis. J Allergy Clin lmmunol 2001; 107:
519-25
52. Reitamo S, Van Leen EJ, Ho V, et al. Efficacy and safety of tacrolimus ointment
compared with that of hydrocortisone acetate ointment in children with a topic
dermatitis. J Allergy Clin lmmunol 2002; 109: 539-46
53. Leung DYM, Sampson HA, Geha RS, Szefler, penyunting. Pediatric allergy. St
Louis: Mosby; 2003.h. 561-73
54. Van Leent EJ, Ebelin ME, Burtin Pet al. Low systemic exposure after repeated
topical application of pimecrolimus (Elide!, SD Z ASM 981) in patients with
atopic dermatitis. Dematology 2002;204: 63-68
55. Zuberbier T, Chong SU, Grunow K, et al. The ascomycin macrolactam
pimecrolimus (Elidel, SDZ ASM 981) is a potent inhibitor of mediator release
from human dermal mast cells and peripheral blood basophils. J Allergy Clin
lmmunol 2001;108: 275-280
- •• ,.,.. ... ,! - � _,.,� ..... ·-···-,,� .. a.-·- ,.,.,..,......, •
• Zahiudin Munasir

56. Kapp A, Papp K, Bingham A, et al. Longterm management of atopic dermatitis


in infants with topical pimecrolimus, a non-steroid anti-inflammatory drug. J
Allergy Clin lmmunol'2002;110: 277-284
57. Altherton DJ,. Cababotr F, Glover.. MT, et al. The role of psoralen chemotherapy
(PUYA) in the treajmenr.ot.severe atopic eczema in adolescence. Br J Dermatol
1988;118:791-�\ • , ,'
58. Bonini S, Denburg JA. The Role of.Schock Organs in Influencing the Clinical
Expression of Allergy. Allergy 1999;54:3-6.

pr-r,r,
._.
·---- .


. "'
/.._ ... -..)
: .
i\_ . . .
. ., .... : .. ,ri(\
�OlO

59
eningkatan kejadian penyakit alergi menjadi masa a 1 g o a

P memerlukan tindakan prevensi primer. Ada sejumlah faktor yang


tampaknya meningkatkan risiko berkembangnya penyakit alergi,
Kondisi atopik adalah meliputi asma, rinitis alergi, alergi makanan atau
eksim (Puliti, 2013). Walaupun genetika gangguan ini telah diselidiki, tetapi
manipulasi faktor risiko lingkungan tetap merupakan pendekatan terbaik untuk
pencegahan ini. Jika anak memiliki sejarah alergi yang kuat pada keluarga,
dapat dilakukan upaya pencegahan terhadap penyakit alergi (Arshad, 2005).
Pencegahan primer adalah sulit karena alasan peningkatan derajat
sensitisasi tidak diketahui. Selain itu mekanisme yang terlibat dalam proses
peningkatan sensitisasi individu untuk menimbulkan penyakit alergi belum
sepenuhnya dipahami. World Allergy Organization (WAO) membuat definisi
untuk pencegahan primer clan sekunder alergi untuk tujuan praktis clan
klinis: 1. Pencegahan primer mencegah manifestasi klinis penyakit alergi, 2.
Pencegahan sekunder mencegah perkembangan clan eksaserbasi penyakit
alergi, 3. Pencegahan tersier merupakan bagian dari management penyakit
alergi (Haatela er al., 2011).

Bayi atau Anak dengan Risiko Tinggi Penyakit Alergi


Sejumlah faktor tampaknya meningkatkan risiko perkembangan penyakit
alergi. Antara lain riwayat keluarga sakit alergi pada orang tua atau saudara
kandung, pengenalan formula susu sapi atau susu kedelai sebelum usia 3-4
bulan usia, pengenalan makanan padat sebelum usia 3-4 bulan, bayi yang
lahir di musim semi, clan terpapar asap rokok pasif (ASCIA, 2013). Menurut
Rekomendasi MP 2008, pengertian risiko tinggi alergi adalah anak dengan
orang tua atau saudara kanclung yang mempunyai penyakit alergi, clan bukan
adanva alergi pad a anak tersebut (Puliti 2013).

Pencegahan Primer Penyakit Alergi


Langkah-langkah pencegahan primer menurut WAO 2004 antara lain: 1)
Merokok clan pajanan asap tembakau dari lingkungan harus dihindari, terutama
selama kehamilan clan anak usia dini (evidence B) clan asap tembakau harus
dihapus dari tempat kerja (B), 2) rumah lembab hams dihindari (C) clan polusi
udara dalam ruangan dikurangi (C), 3) pemberian ASI harus dilanjutkan
sampai 4-6-bulah {B) dantidakada diet khusus diperlukan untuk ibu menyusui
(A), 4)) Pad a anak-anak berisike c(nggi, pajanan terhadap alergen inhalan
harus .dikura�g� (�) ,.5) -Bahan sartg* iritan dalam area kerja harus dihindari
(C). [ika ha! mt tidak. mungkin, lan�ah-langkah untuk mencegah karyawan
terkena bahan terse but (Haatelaer ·at., 2011). ·
Menurut ASCIA 2013, saran praktis untuk mencegah alergi pada
anak-anak pada anak dengan risiko alergi antara lain tidak kontak dengan
asap rokok selama kehamilan, tidak merokok di hadapan anak, atau dalam
ruang tertutup yang menjadi ternpat anak tidur atau bermain. Pemberian
ASI setidaknya selama 6 bulan. [ika tidak mungkin untuk menyusui, dapat
diberikan formula susu sapi yang terhidrolisis parsial dalam 4-6 bulan pertama
kehidupan. Penting untuk dicatat bahwa formula ini tidak boleh digunakan
jika anak sudah menderita alergi susu sapi. (diagnosis ditegakkan oleh dokter).
Pengenalan makanan padat diberikan pada anak usia 4-6 bulan. Tidak ada
bukti bahwa penundaan makanan padat (seperti telur, susu, kacang tanah,
kacang pohon a tau makanan Iaut) setelah usia 4-6 bulan pertama kehidupan
mengurangi risiko alergi makanan clan eksim.
Rekomendasi pencegahan alergi oleh AAP 2010 menyebutkan bahwa
bahwa tidak ada bukti yang cukup bahwa pembatasan diet ibu selama
kehamilan memainkan peran penting dalam mencegah penyakit atopik pada
bayi, Adajuga kurangnya bukti bahwa rnenghindari penyebab alergi rnakanan
selama menyusui mencegah penyakit atopik. Ada bukti bahwa pemberian AS!
eksklusif selama minimal empat bulan dibandingkan dengan formula berbasis
susu sapi menurunkan kejadian alergi susu sapi dalam dua tahun pertama
kehidupan. Ada bukti bahwa pemberian ASI eksklusif selama minimal 3
bulan melindungi terjadinya mengi pada awal kehidupan, tetapi pengaruh
pada pencegahan asma pacla anak lebih dari 6 tahun tidak meyakinkan. Ada
bukti bahwa eksim dapat ditunda atau dicegah dengan penggunaan formula
ekstensif clihidrolisis atau formula terhidrolisa parsial dibandingkan dengan
formula utuh berbasis susu sapi. Formula ekstensif dihidrolisis mungkin efektif
dalam pencegahan penyakit atopik. Diperlukan penelitian lebih lanjut unruk
melihat apakah manfaat ini berpengaruh pada masa kanak-kanak clan remaja.
Penggunaan formula berbasis asam amino belum diteliti untuk pencegahan
penyakit alergi. Tidak ada bukti bahwa penggunaan formula susu keclelai bisa
untuk pencegahan alergi. Makanan paclat tidak harus diperkenalkan sebelum
usia 4 sampai 6 bulan, Menunda pengenalan makanan padat setelah usia 6
bulan tidak menunjukkan bukti manfaat pencegahan alergi (Puliti, 2013).
Pemyataan konsesnsus The British Dietetic Association (2010) menjelaskan
bahwa terkait pencegahan alergi maka ibu justru harus makan diet yang sehar

61
.. & lu� .........��.,.., �2.:..'1'&..!.; .. �..,�
· �-.:.!::t.1: • ..:..-..:..:..: -..:::......t............. �w.�i...: ........ ,�..J.,..,.;.:.,..1-....!_ ,,�:-- _ : .....(!.!}
Pencegahan Penyakit Alergi podo Boyi don Anok

clan seimbang selama kehamilan clan menyusui, termasuk semua alergen


utarna. Menyusui harus menjacli satu-satunya sumber nutrisi sampai sekitar
usia 6 bu Ian. Bila tidak ada ASI maka clirekornenclasikan pemberian formula
susu yang ekstensif arau parsial. Formula susu yang terhidrolisa ini diberikan
selama 4-6 bulan atau sampai membaik. Susu lainnya, termasuk formula susu
kedelai, susu kambing, susu kambing, susu domba, susu beras, tidak perlu
diberikan. Penyapihan atau pernberian makanan paclat tidak boleh diberikan
sebelurn anak usia 17 minggu, pemberian makanan padat diperkenalkan
antara usia 4-6 bulan mulai dengan rnakanan dengan sifat alergenik rendah.
Setelah penyapihan stabil maka penyapihan atau pemberian rnakanan padat
bisa yang alergenik tinggi.
Formula susu terhidrolisat parsial dan terhidrolisat ekstensif tampaknya
sama efektif dalam mengurangi risiko perkernbangan alergi pada bayi clan anak
dari keluarga aropik (Bahrna, 2008). Ada beberapa bukri bahwa penggunaan
formula hidrolisat dapat mengurangi risiko alergi bayi clan rnasa bayi clan anak
dengan risiko tinggi penyakit alergi, beberapa penelitian lain rnenghasilkan
kesimpulan yang rnasih kontroversial (Lowe et al., 2013).
Probiotik merupakan salah satu substansi yang diduga memiliki peran
dalam pencegaban penyakit alergi. Meskipun sudah ada beberapa studi acak
terkontrol (RCT) untuk menilai efek pernberian probiotik untuk pencegahan
alergi, namun sejauh ini hasilnya masih kontroversial (Vandenplas et al, 2011,
ASCIA, 2013). Stu di rnetaanalisis terhadap 14 penelitian RCT yang rneneliti
penggunaan prebiotik, probiotik atau sinbiotik untuk pencegahan, atopik
dermatitis pada bayi clan anak berusia kurang dari 2 rahun, dengan a tau tanpa
riwayat keluarga penyakit alergi. Hasil metaanalisis menunjukkan bahwa
pemberian probiotik clan sinbiotik dapat mengurangi kejadian dermatitis atopik
pacla bayi. Pemberian probiotik tunggal tidak bemakna, tetapi probiotik dengan
strain bakteri campuran bermakna secara statistik. Diperlukan studi lebih
lanjut untuk menentukan cara pemberian terbaik sinbiorik untuk pencegahan
tersebut (Dang er al. 2013).

Pencegahan Sekunder Penyakit Alergi


Langkah-langkah Pencegahan Sekunder Penyakit Alergi menurut WAO 2004
antara lain: 1) Dermatitis atopik pada bayi clan anak-anak harus diterapi
untuk mencegah alergi saluran pemapasan, 2) Penyakit alergi pemapasan
atas (rinokonjungtivitis) harus diterapi untuk rnengurangi risiko asma (D), 3)
anak-anak yang sudah tersensitisasi terhadap alergen indoor, paparan harus
dikurangi untuk mencegah timbulnya penyakit alergi (B), 4) karyawan harus
dihindari dari paparan dengan alergen di tempat kerja bila mereka muncul
gejala sesitsasi yang berkaitan dengan pekerjaan tersebut (C) (Haatela et al.,
2011).
- . .- . . · . • • -• . • . . Sumad,ono

Ringkasan
Pencegahan primer penyakit alergi pada anak antara lain: pemberian ASI
eksklusif, menghindari paparan asap rokok clan alergen makanan selama
4 bulan pertama kehidupan clan pemberian susu formula terhidrolisat jika
menyusui tidak mungkin pada bayi berisiko tinggi, clan pemberian prebiotik
dan/atau prebiotik. Pemberian formula susu terhidrolisat clan probiotik/
prebiotik untuk pencegahan penyakit alergi masih memerlukan penelitian
lebih lanjut. Langkah-langkah pencegahan sekunder penyakit alergi antara
lain penanganan yang tepat pada dermatitis atopi clan penyakit alergi saluran
pernafasan serta mengindari atau mengurangi paparan alergen pada penderita
alergi.

Daftar Pustaka
1. MAAI's (American Academy of Allergy, Asthma & Immunology), 2012.
Prevention of Allergies and Asthma in Children: Tips to Remember.
2. Arshad SH. 2005. Primary prevention of asthma and allergy. ] Allergy Clin
lmmunol. 116:3-14.
3. ASCIA 2013. Allergy Prevention in Children. http://www.allergy.org.au/patients!
allergy-prevention/allergy-prevention-in-children. 31 Oct. 2013.
4. Bahma SL. 2008. Hypoallergenic formulas: optimal choices for treatment versus
prevention. Ann Allergy Asthma lmmunol. IO! (5): 453-9.
5. Dang D, Zhou D, Lun Z ], Mu X, Wang D Xand Wu H. 2013 Meta-analysis oi
probiotics and/or prebiotics for the prevention of eczema.] Int Med Res. 41: 1426
6. Haahtela T, Leena & Custovic A. 2011 Prevention of allergic diseases. In. Rubbv
P, Gergio WC, Stephen TH, Richard FL (eds): WAO White Book on Allergy.
Chap 35: 133-7.
7. Johansson SGO & Haahtela T. 2004. World Allergy Organization Guidelines for
Prevention of Allergy and Allergic Asthma. Int Arch Allergy Immunol. 135:83-92.
8. Lowe A], Dharmage SC, Allen K J, Tang M L K, and Hill DJ. 2013. The role
of partially hydrolyzed whey formula for the prevention of allergic disease. Clin
lmmunol. 9(1):31-41.
9. Matricardi PM, Bjorksten B, & Bonini S, et al., 2003. Microbial products in allergy
prevention and therapy. Allergy. 58: 461-7 I.
10. Muche-Borowski C, � M, & Reese I, et al., 2009. Clinical Practice Guideline
Allergy Prevention. Dtsch Arztebl Int. 106(39): 625-31.
11. Muche-Borowski C, � M, Reese I, 2010. Allergy prevention. I Dtsch Dermatol
Ges. 2010, 8(9):718-24.
12. Prescott S & Nowak-Wegrzyn A. 2011. Strategies to prevent or reduce allergic
disease. Ann Nutt Metab: 59(suppl 1):28--42.
13. Puliti B 2013. Food for Thought: Preventing Food Allergies. http://www.
• � �� .- -" �ill •

Pencegahan P.enyakit Alergi pada Bayi dan Anak • - -

Kidswithfood allergies.org/resourcespre.php ?id= 108#sthash.k WY tHbia.dpuf.


31 October 2013.
14. The British Dietetic Association, 2010. Practical Dietary Prevention Strategies
for Infants at risk of developing Allergic Diseases. Consensus Statement
15. Vandenplas Y, Veereman-Waucers G, De Greef E, Peeters S, Casteels A, Mahler
T, Devreker T, and Hauser B. 2011. Probiotics and prebiotics in prevention and
treatment of diseases in infants and children. J Pediatr (Rio]):. 87(4):292-300.
16. Zeiger RS,2003. Food allergen avoidance in the prevention of food allergy in
infants and children. Pediatrics. Vol. 111 No. 6 .
Standar Pemeriksaan Fisis
pada Bidang Rematologi Anak
Zahrah Hikmah

matologi anak adalah bidang yang mempelajari berbagai kelainan


stem muskuloskeletal yang terjadi pada anak, dan saat ini berkembang
enjadi spesialisasi sendiri. Hal ini dimulai sejak pertengahan abad 20
sebagai studi yang mempelajari artritis kronis, tetapi kemudian berkembang
hingga saat ini terdapat ratusan ahli rernatik anak di benua Eropa dan Amerika.
Sedangkan untuk Negara-negara di Asia terutarna Asia Tenggara, jumlah ahli
rematik anak masih sangat terbatas.
Pada pertengahan abad 20, hanya penyakit artritis kronis saja yang
dimasukkan dalam rematik anak, namun pada akhir abad 19 dikenal istilah
rheumatism yang ditujukan untuk penyakit pasca infeksi streptokokus,
termasuk demam rematik akut, walaupun kemudian terlihat bahwa tidak
semua penyakit rematik pada anak melibatkan sendi. Mulai abad 19 berbagai
penyakit diidentifikasi sebagai penyakit rernatik pada anak, misalnya purpura
Henoch-Schonlein, dermatomiositis juvenil, lupus eriternatosus sistemik,
skleroderma, spondilitis angkilosis, penyakit Kawasaki, lupus neonatus dan
juga penyakit lime. Banyak orang menggunakan istilah rernatik atau artritis
untuk menggambarkan gejala rematik secara luas. Saar ini terdapat lebih
dari 100 penyakit rernatik, beberapa diantaranya dapat mengenai anak-anak.
Artritis dapat menimbulkan rasa nyeri, kekakuan, dan bengkak baik pada
sendi, otot, tendon, ligamen, tulang dan kulit
Yang termasuk dalam penyakit rernatik anak antara lain adalah
Artritis idiopatik juvenil
Sindrom panas periodik
Artritis psoriatik juvenil
Dermatomiositis juvenil
Lupus eritematosus sistemik juvenil
Vaskulitis juvenil
• Skleroderma juvenil
Mixed connective tissue disease
Penyakit rematik anak dapat menimbulkan kecacatan permanen yang
sebenarnya bisa dicegah dengan melakukan perneriksaan secara reliti pada
penderita anak dengan keluhan panas, rasa lelah atau lernah, clan penurunan
berat badan.

65
..... - � 0,S "' "" , ....... -',CO, ........ �--""• ,.......,.. _">_• '-'A-,s[-,..t..., ........ �,--,-J •.;.>�..,., � ..t',,c, - - ,:__.=,_.�

Standar Pemeriksaan FiSfs pada Bidang Rematologi Anak - • •

Panas: panas merupakan geja!a sekunder dari penyakit rematik anak yang
aktif hal ini didapatkan pada 50% sampai 86% kasus. Tidak ada kurva
panas khusus yang didapatkan tetapi harus dibedakan antara panas yang
disebabkan penyakit rematik anak dengan infeksi yang menyertai.
Fatigue atau lemah adalah gejala yang sering dijumpai pada penderita
rematik anak terutama pada saat periode aktif dari penyakit. Hal ini juga
sering dijumpai merupakan gejala satu-satunva yang menetap setelah
penderita diterapi. Anemia, panas yang tidak terlalu tinggi juga beberapa
inflamasi akan dapat menimbulkan gejala fatigue
Penurunan berat badan adalah salah satu gejala yang sering dijumpai
pada anak dengan penyakit rematik anak yang kronis. Hal ini bisa
disebabkan oleh kelainannya sendiri maupun karena kondisi anak yang
asupan makanannya terganggu. Untuk menegakkan diagnosis penyakit
rematik anak dibutuhkan anamnesis, prosedur pemeriksaan umum clan
juga pemeriksaan artririts pada anak. Sampai saat ini belum ada standar
pemeriksaan di bidang rematik anak, tetapi ada beberapa pemeriksaan
tambahan yang harus dilakukan pada penderita rematik anak

Pada setiap anak dengan gejala tersebut harus dilakukan pemeriksaan


sistematis lengkap secara berkala. Kita tidak harus membatasi pemeriksaan
terhadap bagian-bagian dari tubuh yang disertai keluhannya.

Teknik pemeriksaan
Pengamatan Pasien
Pada penderita rematik anak maka yang perlu dipelajari adalah cara berjalan
(gait) yang sangat penting untuk menunjang diagnosis (secara detail akan
dibahas pad a bagian pemeriksaan artritis). Hal lain yang harus diperhatikan
yaitu postur tubuh, apakah didapatkan skoliosis, lordosis ataupun kifosis pada
penderita.

Pemeriksaan Fisis Umum


I. Tanda Vital dan Pengukuran
Suhu, denyut nadi, frekuensi napas, tekanan darah (manset harus mencakup
2/3 dari lengan atas), berat badan, tinggi badan, clan lingkar kepala. Berat
harus dicatat pada setiap kunjungan, tinggi badan harus diukur pada interval
bulanan selama tahun pertama, pada interval 3 bulan pada tahun kedua,
clan dua kali setahun setelahnya. Tinggi, berat, clan lingkar kepala anak
harus dibandingkan dengan grafik standar clan persentil perkiraan kemudian

66
dicatat. Yang harus diperhatikan selain penurunan berat badan dikarenakan
penyakitnya maka kenaikan berat badan ataupun tinggi badan yang kurang
dari persentil perkiraan harus dicatat karena bisa merupakan efek samping
dari terapi steroid yang diberikan.

II. Penampilan Umum


Apakah anak tampak baik atau buruk? Apakah didapatkan gejala anak bingung
ataupun gejala neuropsikiatri yang bisa didapatkan pada penderita LES. Juga
apakah didapatkan gejala depresi pada anak.

Ill. Kulit
Warna (sianosis, ikterus, pucat, eritema), tekstur, hidrasi, edema, rnanifestasi
perdarahan, luka , pembuluh melebar clan arah aliran darah, hemangioma,
area cafe - au - lait clan nevi , bercak mongolia ( biru - hitam ), pigmentasi,
turgor, elastisitas, clan nodul subkutan. Sebagian besar penderita rematik
anak menunjukkan kelainan kulit, salah satu kelainan kulit yang sering
ditemui adalah ruam malar, atau ruam kupu-kupu, Ruam ini rerlihat
pada 60-85 % anak-anak dengan LES ataupun dermatomiositis, umumnya
digambarkan sebagai eritem, tebal, non - pruritus, clan non - jaringan parut.
Ruam membentang di atas jembatan hidung, dagu sampai daun telinga clan
dipisahkan oleh lipatan nasolabial. (Gambar 1).
Ruam makulopapular pada lupus sangat fotosensitif clan sering timbul bila
didapatkan flare sistemik pada pasien. Oleh karenanya dianjurkan memakai
tabir marahari. (gambar 2)
Ruam diskoid (gambar 3), pada anak lebih jarang dibandingkan pada
dewasa, hanya 10% dari pasien. Ruam yang pada akhirnya akan berubah
menjadi jaringan parut ini sering dijumpai pada dahi clan kulit kepala.
Penampilannya bersisik sering dikelirukan sebagai lesi tinea. Ruam jenis lain
yang bisa dijurnpai adalah lesi kemerahan yang khusus pada penderita AI] tipe
sisternik yaitu ruam salmon pink, cepat hilang clan timbul saat panas.
Karaktenstik yang khas pada Dermatomiositis juvenil adalah perubahan
warna berbentuk heliotrope (yaitu biru keunguan) pada kelopak rnata atas
(gambar 4), gambaran ruam malar clan adanya papule Gottron bersisik pada
buku-buku jari (gambar 5). Ataupun kalsinosis subkutan (gambar 6) sebagai
komplikasi dermatomiositis
Pada penderita penyakit Kawasaki sering dijumpai ruam yang nya timbul
pada fase awal penyakit, pada beberapa pasien banyak di sekitar selangkangan.
Sering wamanya merah terang, dapat berbatas tegas dengan berbagai ukuran
atau beberapa ruam menyatu menjadi besar Kulit mengelupas sekitar jari clan
tangan (gambar 7 clan 8).

67
Standar Pemeriksaan FISis pada B,dang Remato!og, Anak · ' "' • "'. " •

Pada Henoch Schonlein Purpura didapatkan purpura yang berbatas tegas


clan timbul sehingga bisa diraba. Purpura ini biasanya terletak pada ekstremitas
bawah dan pantat tetapi tidak menutup kemungkinan untuk didapatkan pada
badan clan ekstrernitas atas. (gambar 9)
Sedangkan pada penderita scleroderrna, didapatkan gambaran kulit yang
mengeras bahkan sampai atrofi serta beberapa tempat yang hipopigmentasi.
Kadang disertai adanya kontraktur beberapa sendi.
Pada rongga mulut bisa dirernukan beberapa kelainan ulkus oral
yang tidak nyeri pada penderita LES juvenil ataupun lidah strawberi pada
penderita Kawasaki. (gambar 11 clan 12)
Dapat pula clijumpai aclanya pembengkakan pada jari-jari atau disebut
daktilitis (gambar 13) ataupun pembengkakan pada seluruh badan misalnya
pada penderita LES juvenil yang mengalami gaga! ginjal. Kuku juga termasuk
yang harus diperiksa apakah didapatkan gejala pitting ataupun onikilitis seperti
pada penderita AIJ tipe psoriasis ataupun pelebaran pembuluh darah kapiler
disekitar buku jari. (gambar 14) ataupun aliran darah yang terbatas pad a
ektrernitas sehingga terjadi perubahan suhu clan warna daerah sekitar buku
jari atau disebut fenomena Raynaulcl (gambar 15).
Bisa dijurnpai gejala alopesia atau kebotakan karena rambut rontok pada
penderita LES, tetapi ini tidak spesifik. Keborakan yang sering dijurnpai adalah
pada daerah temporal kulit kepala.

Kelenjar getah bening


Lokasi, ukuran, sensitivitas, mobilitas, konsistensi. Satu rutin harus berusaha
untuk meraba suboksipital, preauricular, anterior serviks, posterior serviks,
submaxillary, sublingual, ketiak, epitrochlear, clan kelenjar getah bening
inguinal.

Mata
Mata merupakan organ yang sangat penting clan harus diperiksa secara berkala
pada penderita rematik anak. Manifestasi penyakit rematik anak pada mata
cukup banyak dan mengancam kebutaan. Selain oleh karena penvakit, kelainan
mata tersebut dapat disebabkan karena pemakaian obat seperti katarak clan
retinopati. Kelainan yang sering dijumpai adalah retinopati, keratokonjuntivitis
sicca, konjuntivitis, uveitis, episkleritis, skleritis, keratitis, perdarahan retina,
vaskulitis retina, retinopati proliferatif, neruritis optik, neuropati iskemik optic.
A·'.!l;;<J\i, ;.-.:.� .... !.,.'!l:tl • •..,..•/r'� -· � '1 ,t'�--" �• • ,.__ • -.- .� , '" •
· , • Zahrah Hikmah

Gambar 1. Ruarn rnalar yang rnerupakan salah satu


ciri khas LES

Gambar 2. Ruam rnakulopapular Gambar 3. Ruarn diskoid

69
' l!i, , --"4

Standar Pemeriksaan F,s,s pada 81dang Rematolog, Anak - · ·

Gambar a. Gambar5. Gambar6.

Gambar7. Gambar8.

Gambar q. Garnbar to,

Gambar 11. Gambar 12.

70
TT?TIFF f!iliiJPiUPHI!

Carnbar tj. Garnbar ta. Gambar iy.

Gambar 16. Synechia sebagai Gambar 17. Konjungtivitis pada Gambar18. Gambaran cooton
komplikasi uveitis pada pende- penderita penyakit Kawasaki wall pad a penderita retinopati
rita AIJ tipe ofigoartritis lupus

Paru-paru
Jenis pemapasan, dispnea, perpanjangan jatuh tempo, batuk, ekspansi,
frernitus, suara redup pada perkusi, resonansi, nafas clan suara suara, rales,
rnengi jangan lupa cari tanda-tanda pleuritis.

Jantung
Lokasi dan intensitas apeks, prekordial menggembung, sensasi, ukuran, bentuk,
auskultasi (kecepatan, irama, kekuatan, kualitas suara - dibandingkan dengan
pulsa untuk menilai kekuatan dan irama dan sebagainya), murmur (lokasi,
posisi dalam siklus, intensitas, pitch, pengaruh perubahan posisi, transmisi).
Periksa apakah ada kemungkinan kelainan irama jantung, efusi perikard,
ataupun kardiomiopati.

Abdomen
Ukuran clan kontur, peristaltik terlihat, gerakan pemapasan, pembuluh
vena (distensi, arah aliran), organ teraba atau massa (ukuran, bentuk,
posisi , mobilitas), gelombang cairan, refleks, denyutan femoral, bising usus.

71
.,,,.� � ... , �-·.;:rl!", ....._1..'.J.t·�. -• ...�.; l ,.

�tandar Pemeriksaa-n Fis,s pada Bidang Remdtologi Anak . · -

Jika hati teraba di bawah arkus kosta kanan, jumlah rentang harus dicatat.
Palpasi abdomen yang mendalam harus dilakukan pada setiap anak. Dicari
kemungkinan adanya hepatomegali atau splenomegali.

Pemeriksaan neurologis
Fungsi serebral: perilaku umurn, tingkat kesadaran, kecerdasan, status ernosi,
memori, orientasi, ilusi, halusinasi, interpretasi sensorik kortikal, integrasi
motorik kortikal, kemampuan untuk memahami clan berkomunikasi,
pemahaman pendengaran - verbal dan visual - verbal, pengakuan objek
visual , pidato , kemampuan menulis, kinerja motor tindakan terampil.
Carilah kemungkinan adanya gejala ataupun gangguan neuropsikiatri seperti
perubahan perilaku.

Sistem muskuloskeletal
Salah satu sistem pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk pemeriksaan
muskulosklecal adalah Pediatric Gait Arms Legs Tulang belakang (pGALS)
yaitu modifikasi dari pemeriksaan muskuloskleletal pada penderita dewasa ..
lndikasi pemeriksaan pGALS pada anak adalah sebagai berikut:
Nyeri sendi, orot ataupun tulang.
Panas tidak jelas
Limp atau pincang
Regresi milestones
Clumsy tanpa adanya kelainan neurologis.
Anak dengan penyakit kronis dan ada kaitan dengan kelainan
muskuloskeletal.

72
• ·- ••• "' : • - • �s>.-· • .. , .....

. • • • Zahrah H1i<mah

Gambar Manuver skrining Apa saja yang dinilai


Amati saat anak berdhi ( dari Postur dan kebiasaan
depan, belakang dan samping Ruam kulit
Deformitas seperti
timpang, valgus, varus,
skoliosis, bengkak sendi,
ffat feet, muscle wasting.

Amati saat anak berjalan dan Angkles, subtalar,


perintah untuk : midtarsal dan sendiz kecil
Berjalan memakai tumit! pada kaki dan ujung [ari
Berjalan memakai ujung jari! Posture kaki (perhatikan
apakah terlihat arkus
longitudinal yang normal
dari kaki saat tiptoes')

Taruh tanganmu lurus Fleksi ke depan dari bahu


didepanmu Ekstensi siku
Extensi pergelangan
tangan
Extensi sendi kecil jari-jari

. . Balik tanganmu dan kepalkan Supinasi pergelangan

. . . .
.. . ..
'
tang an
Supinasi siku
Fleksi sendi kecil jari2
. ���-
···' ,._

Lekatkan jari manis dengan ibu Ketangkasan manual


jari bersama Koordinasi dari sendiz
kecil pada jari manis
dan ibu jari serta fungsi
mengenggam

fK llNS
PERPOSTAKAAN
B,,r.. ILi\-fU
;URSRUO DR. MO£WARDJ f
I( ·
KSEf-lt\TAI\' Al'iM<
. 1
·.·
i

-----A�.:_:A�R�T�A�-..:.- I
-:J
K
•• J-' • .,,.t��- ....... 1 .. ,.-,!..J.:....t,_ .� oi ·� ... � ....'i:- .....'.ll..!'.-..:.::J.:r...uJ, ... ,_ ......•....: :v..11 i); ,'C.>£,�'

Standar Pemenksaan f,sis pada Brdang Rematolog, Anak .

Sentuh ujung dari jarimu Ketangkasan manual


Koordinasi dari sendi2 kecil
pada jari manis dan ibu jari
serta fungsi mengenggam

Remas tulang-tulang telapak Sendi tulang metakarpal


tangan

Satukan kedua tangan telapak Ekstensi sendi2 kecil jari


dengan telapak, kemudian Extensi pergelangan tangan
satukan kedua tangan pungung Fleksi siku
dengan punggung

Angkat tanganmu, sentuh Ekstensi siku


langit dan lihatlah ke langttz Ekstensi pergelangan tangan
Abduksi bahu
Ekstensi leher

Taruh kedua tangan dibelakang Abduksi bahu


leher Rotasi ekstemal bahu
Fleksi siku

.
i·1 c
t :
J:{,
&::: :-::-.
Coba sentu bahumu dengan Fleksl tulang belakang leher
telingamu lateral

Buka mulutmu dan msukkan 3 Sendi temporomandibular


jarimu kedalam mulut

Rasakan adanya efusi pad sendi Efusi sendi (bila jumlah efusi
lutut sedikit kadang terlewat)

Gerakan aktif lutut (fleksi dan Fleksi lutut


ekstensi) rasakan krepitus Extensi lutut

Gerakan pasif pinggul (lutut Fleksi pinggul dan rotasi


fleksi 90%, dan rotasi internal internal
pinggul)

Bungkukkan badan kedepan Fleksi ke depan untuk tulang


dan sentuh jemarimu belakang thoraco lumbar Ouga
eek skoliosis)
Standar Pemenksaan F1s,s pada B1dang Rematolog, Anak _

Cara pencatatan pGALS


Pencatatan setelah penilaian pGALS sangat penting dan menggunakan formula yang sederhana seperti
contoh dibawah: seorang anak dengan sendi lutut kiri bengkak dan fleksi yang terbatas pada lutut serta gait
yang antalgk
Adakah nyeri? Lutut kiri
Kesulitan memakai baju? Tidak ada kesulitan
Kesulitan berjalan Kadang kesulitan berjalan
Penampilan Gerakan
GAIT x
ARMS v v
LEGS x x
SPINE v v

Simpulan
Penyakit rematik pada anak dapat mengenai hanya satu bagian badan
ataupun hampir semua organ, dimana hal ini dapat menimbulkan nyeri
clan ketidak nyamanan hidup bahkan kecacatan permanen serta kematian.
Untuk mencegah terjadinya kecacatan clan kematian dibutuhkan deteksi
lebih dini, diagnosis yang tepat serta pengobatan yang komprehensif. Kunci
untuk membuat diagnosis yang tepat adalah dengan melakukan anamnesa
secara benar clan pemeriksaan fisik yang teliti,
Paediatric Gait Arms Legs Spine (pGals) adalah salah satu pendekatan yang
cukup sederhana untuk kasus rematik anak, sehingga mudah digunakan.

Daftar pustaka
1. Ayjal J. Ocular manifestations of autoimmune disease, Am faro
physician. 2002 ;66(6):991-8.
2. Foster HE, Jandial S. pGALS - A screening examination of the musculoskeletal
system in school-aged children. Downloaded from www.arc.org.uk!about arth!
rdr5.htm.
)_ Cassidy JT, Petty RE. Chronic arrritis in childhood. In: Cassidy JT, Petty RE, Laxer
RM, LindLESy CB, eds. Textbook of Pediatric Rheumatology. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2005:206-60.
4. Melman T Shashana. Physical examination In. Schwartz, M. William, ed. Clinical
handbook of pediatrics. Maryland, USA: Lippincot William & Wilkins. 2003: 7-31
Woo P, Ronald M. Laxer, Sherry DD. General presentation of musculoskeletal
-oblems in Childhood. Woo P, Ronald M. Laxer, Sherry DD, eds. Pediatric
-rmarologv in Clinical Practice. London: Springer. 2007: 3-15.
Pemeriksaan Laboratorium
pada Penyakit Autoimun
Reni Ghrahani

enyakit autoirnun adalah hilangnya homeostasis imun normal, sehingga

P timbul respons abnormal terhadap selfcell, ditandai terbentuknya sel


T self-reactive, autoantibodi, dan penanda inflamasi.1 Terdapat dua
kelompok penyakit autoimun, penyakit autoirnun sisternik dan penyakit
autoimun yang disebabkan adanya autoantibodi spesifik organ rertentu.'
Pemeriksaan laboratorium pada penyakit autoimun ditujukan untuk
menegakkan diagnosis, rnenentukan keparahan penyakit, prognosis serta
memantau progresivitas penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan dalam
manajemen penyakit autoimun antara lain hernatologi rutin, panel metabolik
komprehensif protein fase akur, tes imunologis, serologi, flow sitornetri,
analisis sitokin dan HLA typing. Pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat
dilakukan, walaupun bukan merupakan pemeriksaan yang spesifik namun
cukup membantu dalam memantau aktivitas penyakit.1•1

Evaluasi Laboratorium Awai


Proses inflamasi menyebabkan abnormalitas pada pemeriksaan laboratorium
rutin, sepeti anemia normokrom normositik, penurunan/peningkatan jumlah
trombosit atau leukosit. Pada Systemic Lupus Erychematosus (SLE) sering
ditemukan leukopenia dan trombositopenia. Panel metabolik komprehensif
dapat memperlihatkan kelainan enzim organ spesifik a tau abnormalitas proses
metabolik. Sebagai contoh pada pada hepatitis autoimun dapat ditemukan
peningkatan transaminase, bilirubin dan protein serum. Pemanjangan PT dan
aPTT terlihat pada antiphospholipid syndrome. Hiperkalsemia dapat ditemukan
pada sepertiga penderita sarkoidosis. Enzim otot creatinine kinase (CK), alanine
transaminase (ALT), dan aspartate aminotransferase (AST) biasanya meningkat
pada autoimmune inflammatory myopathies (dermatomiositis, polimiositis,
serta inclusion body myositis/IBM). Pemeriksaan urinalisis berrnanfaat untuk
menilai kelainan ginjal (glomerulonefritis, nefritis interstitial) yang akan
mernperlihatkan proteinuria, hematuria atau sedimen aktif (cast leukosit atau
eritrosit). 1

77
�� ,., • :... • 1.� , • ,.t.::::.:..-
.:;- ....... �--o,,Z.'l.�� ... ,_-·..c.,-,,..t,.,� .� ... , ••

PemerikSQQr'J Laboratorium pada Penyak,t Auto1mun · - ·

Penanda lnflamasi
Protein serum yang cliprocluksi sebagai respons inflamasi clapat dideteksi sebagai
pcnanda inflamasi. Protein ini sering disebut sebagai reaktan fase akut (acute
/Jhase reactants) , cliprocluksi di hati sebagai respons terhaclap stres. Sitokin
proinflamasi (IL-1, IL-6, dan TNF-alpha) akan menginduksi terbenruknya
reaktan fase akut seperti CRP, fibrinogen clan haptoglobin. Jenis protein lain
seperti albumin tidak sensitif terhaclap sitokin inflamasi, sehingga konsentrasi
serumnya malah sering menurun. Penancla inflamasi bukanlah alat diagnostik,
namun hanya menunjukkan abnormalicas yang sering terjacli pada penyakit
auroirnun, infeksi, keganasan dan beberapa penyakit lainnya.1 Beberapa
penanda inflamasi yang dapat cliukur aclalah sebagai berikut:

LED
Laju endap clarah adalah pemeriksaan yang mengukur jumlah eritrosit
yang mengendap dalam tabung pada suaru wakru tertentu dan sangat
bergantung pada konsentrasi protein serum, karena eritrosit ini akan
berinteraksi clengan protein serum, sehingga proses inflamasi akan
meningkatkan LED. Laju enclap clarah dipengaruhi berbagai faktor antara
lain usia, jenis kelamin, morfologi eritrosit dan kadar immunoglobulin
serum. Walaupun LED bukan alat diagnostik namun berguna untuk
memantau aktivitas penyakit clan respons terapi.serta merupakan
petunjuk adanya stress inflamasi atau infeksi. Pada penyakit Rheumatoid
Arthritis (RA), meningkatnya LED berkorelasi dengan aktivitas penyakit,
sebaliknya menurunnya LED rnerupakan tanda keberhasilan terapi clan
menurunnya proses inflamasi. u

C-reactive protein (CRP)


Cneactive protein (CRP!CRP-high sensitivity) clitemukan sebagai reaktivitas
terhaclap C polysaccharicle pada dinding sel S. pneumoniae. CRP aclalah
suatu protein clari sistem imun non spesifik, yang mendukung opsonisasi
fagosit clan mengaktivasi system komplemen. CRP diproduksi clalam
kendali IL-1, IL-6, clan TNF-alpha. Perubahan konsentrasi CRP lebih
cepat dari LED clan merupakan parameter inflamasi yang lebih baik.l-'

Feritin
Feritin serum adalah protein penyimpan zat besi, yang sintesisnya diatur
oleh zat besi intraseluler, sitokin (TNF-alpha, IL-1, clan IL-6), beberapa
procluk seres oksidatif clan growth factor. Pacla Juvenile idiopathic arthritis
OJA) tipe sistemik sering clitemukan meningkatnya kaclar feritin, l.3

78
�I�•?,)•/<,<...••
.
• • .,:

.
<;...'i,!t:.J, !.•-�·A
.
� ,'
'

Beberapa penanda inflamasi lain yang jarang digunakan. 1


Seruloplasmin
Aclalah suatu protein clengan kanclungan utama komponen tembaga
clalam darah yang berperan dalam metabolisme besi, sering meningkat
pacla keaclaan inflamasi akut dan kronis, kehamilan, limfoma, RA
dan penyakit alzheimer.
Fibrinogen
Suatu faktor koagulasi hemostasis yang diproduksi sebagai respons
cedera jaringan. Sintesis fibrinogen dikendalikan pada tingkat
transkripsi, ditemukan meningkat pada keadaan inflamasi clan
diperantarai oleh IL-6.
Haptoglobin
Merupakan respons terhadap cedera jaringan. Peningkatan kadar
haptoglobin clapat terjadi pada keadaan inflamasi, keganasan,
pernbedahan, trauma, ulkus peptikum, clan kolitis ulseratif Penurunan
kaclarnya dapat terjadi pada penyakit hati kronis dan anemia.
Albumin
Aclalah suatu protein serum yang disintesis oleh hati clan membantu
tubuh mempertahankan tekanan onkotik untuk distribusi cairan
tubuh.

Kecepatan sintesis dapat rneningkat berlipat pada kehilangan albumin


yang berat clan cepat misalnya dalam keadaan glornerulonefritis clan
inflammatory bowel disease (IBD), namun dalam serum ditemukan kadar
albumin yang rendah.

Pemeriksaan Autoantibodi dan lmunologi


Ditemukannya autoantibodi pada seorang individu bukan berarti adanya
suatu penyakit autoimun, namun harus disertai adanya tanda dan gejala
yang mendukung suatu penyakit autoimun. Terclapat beberapa cara untuk
menunjukkan adanya autoantibodi, antara lain dengan enzyme immunosorbenc
assays (EIA) .1.2 Beberapa pemeriksaan autoantibodi adalah sebagai berikut:

Enzyme Liked lmmuno-sorbant Assay (ELISA)


Merupakan metode imunometrik yang mendeteksi clan mengukur antibodi
spesifik.
Rheumacoid Factor (RF) dan anti-cyclic citrullinated peptide antibody (anti-
CCP)

79
� � !... �=. ...;:ri:.:.,,::.:' • " ·�-,...... ·�'!..��
Pemenksaan Laboratorium pada Penyakit Autoimun . ·

Adalah suatu autoantibodi yang bereaksi terhadap porsi Fe dari lg


poliklonal dapat dari berbagai kelas immunoglobulin. Sebagian besar
teknik asai mendeteksi lgM RF. Rheumatoid Factor berguna untuk
mengevaluasi pasien rheumatoid artritis/RA dengan sensitivitas dan
spesivisitas 70%. Sebanyak 15% penderita RA adalah RF(-), sebaliknya
15% individu normal memiliki RF dengan konsentrasi renclah. Pasien
dengan RF ( +) biasanya memiliki perjalanan penyakit yang progresif,
arrritis erosif serta ditemukan manifestasi ekstraartrikular seperti noclul
rernatoid clan vaskulitis, Kini telah diternukan pula biomarker terhaclap
RA yaitu anti CCP dengan nilai spesivisitas 95%, sedang sensitivitas
sama dengan RF. Pasien dengan anti-CCP ( +) cenderung berat, erosif
clan agresif Anti-CCP juga dapat ditemukan pada penyakit JIA, artritis
psoriatik, Lupus, sinclroma sjogren, inflamasi miopati clan tuberkulosis
aktif

Anti-nuclear antibody (ANA)


Merupakan autoantibodi terhadap antigen nuklear yang dapat berupa
antibodi terhaclap antigen nuklear, nukleolar atau perinuklear. Antigen
dapat berupa komponen selular seperri asam nukleat, histon, kromatin,
nuklear dan protein ribonuklear. Telah diketahui bahwa ANA adalah
petunjuk utarna untuk diagnosis SLE, namun ANA dapat ditemukan juga
pada penyakit autoimun lain. Pemeriksaan ANA dapat dengan teknik
imunofloresens atau ELISA yang sangat sensitif namun kurang spesifik.
Teknik florensens dapat menampilkan pola tertentu (homogenous, difus,
speckled, periferal clan rim) yang secara klinis berkaitan dengan penyakit
tertentu. Teknik imunofloresens sangat berguna sebagai skrining awal
pasien yang diduga penyakit autoimun. Namun ANA ( +) juga dapat
dirernukan pada penyakit autoimun nonreumatik (tiroiditis Hashimoto,
penyakit Grave, hepatitis autoimun, kolangitis autoimun primer, serta
berbagai penyakit infeksi dan keganasan). Kadar ANA dalam konsentrasi
rendah dapat diternukan pada individu berusia tua.!"

Anti-double stranded DNA (anti ds-DNA)


Auroantibodi terhadap double stranded DNA adalah penanda penting
dalam diagnosis clan pemantauan penyakit SLE. Kadar anti ds-
DNA dapat dideteksi dengan teknik radioimmunoassay (Farr assay),
immunoflourecense assay (IFA) atau ELISA. Dengan teknik IFA, anti
ds-DNA dideteksi dengan cara sernikuantitatif dengan mengukur lgG
yang berikatan pada kinetoplast, sedangkan pada ELISA dsDNA berikatan
pada fase solid dari microwell plate, kemudian serum diinkubasi clan lgG
yang terikatan akan terukur.!"
77 ;twamw
• Anti-extractable nuclear antigen (anti-ENA)
Extractable nuclear antigens (ENA) mengandung antigen Smith (Sm),
ribonuclear protein (RNP) atau U lRNP, anti-SSA (Ro) dan anti-SSB (La).
Antigen Sm sangat spesifik untuk SLE namun hanya ditemukan pada 25%
pasen SLE. Antigen UlRNP dapat ditemukan pada SLE dengan sklerosis
sistemik dan mixed connective tissue disease (MCTD). Anti SSA (Ro)
dan SSB (La) bersarna-sama pada sindrom Sjogren dan sebagian kecil
pasien SLE, khususnya subcutaneous lupus (SCLE). Kedua antigen ini
juga berkaitan dengan neonatal lupus yang dapat ditransfer transplasenral
melalui lgG maternal, menyebabkan ruam fotosensitif dan a tau congenital
heart block.1·.l

Anti-SRP (anti signal recognition panicle), anti- J0-1, anti-Mi-Z and anti-
PM/Scl
Anti-SRP, anti- J0-1, anti-Mi-Z clan anti-PM/Sci adalah antibodi spesifik
terhadap peradangan otot karena memiliki spesivisitas tinggi terhadap
autoimmune inflammatory myopathies (!IM) .1 ·3

Antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)


Antineutrophil cytoplasmic antibodies bereaksi dengan granul sitoplasma
neutrofil. Pola pewamaan imunofloresens menghasilkan dua jenis pola yaitu
cytoplasmic (cANCA) danperinuclear (pANCA). Pola ini akan membantu
membedakan sindrome vaskulitis yang terkait ANCA. Pola cANCA sering
didapatkan pad a Wegener's Granulomatosis (WG), microscopic polyangiitis
(MPA) dan sindrom Churg-Strauss, Sedangkan pANCA sering didapatkan
pada MPA, inflammatory bowel disease (IBD), SLE, RA, dan JIA.1 1

Komplemen
Komponen tertentu seperti C3, C4 dan faktor B dapat diukur dengan
nefelometri dan ELISA. Assay total komplemen hemolitik plasma (CH50)
untuk menilai fungsi integritas jalur klasik. Kadar komplemen serum
mernperlihatkan aktivitas penyakit. Pada penyakit yang didasari proses
kompleks irnun, protein komplemen serum terpakai sehingga kadamya
dalam serum akan menurun. Sebagai contoh pada glomerulonefritis SLE,
kadar C3 clan C4 akan ditemukan menurun. U·5

• lmunoglobulin
Mengukur kadar immunoglobulin adalah hal penting dalam evaluasi
imunologi. Imunoglobulin merefleksikan fungsi sel B (produksi humeral
dan interaksi sel T) menbantu mendeteksi suatu penyakit. Pengukuran
kadar immunoglobulin kuantitanf terutama lgG, lgA dan lgM diukur
dengan nefelometri.1

81
Pemeriksaan laboratorium poda Pehyok,t Autoimun · · -

Krioglobulin
Krioglobulin ada suatu immunoglobulin yang mengendap dalam suhu
dingin. Pada keadaan suatu penyakit, antibodi berikaran dengan
protein komplemen clan berbagai peptida, membentuk imun kompleks
clan menyebabkan kerusakan jaringan. Namun krioglobulin ini bukan
merupakan indikator spesifik suatu penyakit clan jarang dirernukan pada
anak.1

Lupus Anticoagulant (LAC) /anti-cardiolipin (a CL) /antiphospholipid


aucoancibodies (aPL)
Anciphosp/wlipid auioatuibodies (aPL) disebut juga LAC atau aCL.
Ditemukannya antibody ini berkaitan dengan anciphosplwlipid ancibody
S)·ndrome (APS), yang menjadi dugaan pada pasien dengan trombosis venal
arteri, abortus berulang atau trombositopenia. Anciplwspholipid antibody
syndrome dapat berupa penyakit independen atau merupakan bagian dari
penyakit rernatik sisternik. u

Flowsitometri
Flowsitometri adalah teknik dengan menandai partikel/sel yang melewati sinar
laser sehingga populasinya dapat dihitung, sedangkan fenotipnya ditandai
dengan karakteristik sel clan protein permukaan.1

Pemeriksaan Sitokin
Metode laboratorium yang digunakan untuk mengukur kaclar sitokin antara
lain flowsitometri clan ELISA Sitokin yang berperan dalam proses inflamasi
antara lain IL-!, IL-6 clan TNF-a, sehingga sitokin ini menjacli target terapi.
Artritis rernatoid adalah penyakit autoimun yang menggunakan anti IL-1, anti
IL-6 clan anti-TNFa clalam taralaksananya.':"

Major Histocompatibility Complex (MHC)/Human


Leukocyte Antigen (HLA)
MHC adalah sinonim dari HLA MHC kelas I clan II adalah determinan genetik
urama berbagai penyakit autoimun. MHC kelas I terdiri atas HLA-A, -B clan
-C. MHC kelas II tercliri atas HLA-DR, HLA-DQ clan HLA-DP. Deteksi
tipe HLA dapat dilakukan secara rutin clengan elektroforesis gel , polymerase
chain reaction (PCR), ELISA HLA-DRl clan HLA-DR4 meningkatkan risiko
]IA poliartritis. HLA-DR3 clan HLA-DR2 berhubungan dengan Lupus pada

82
11175771EJ71PP iV!Wfli!fiiIB

populasi Caucasian, sedangkan HLA-DRBl berhubungan dengan artritis


rematoid.''

Simpulan
Penyakit autoimun adalah hilangnya homeostasis imun normal, sehingga
timbul respons abnormal terhadap selfcell, ditandai terbentuknya sel T se1f-
reactive, autoantibodi, clan penanda inflamasi. Ditemukannya autoantibodi
pada seorang individu bukan berarti adanya suatu penyakit autoirnun, namun
harus disertai adanya tanda clan gejala yang mendukung suatu penyakit
autoimun. Pemeriksaan laboratorium pada penyakit autoimun ditujukan
untuk menegakkan diagnosis, menentukan keparahan penyakit, prognosis
serta memantau progresivitas penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan dalam
manajemen penyakit autoimun anrara lain hematologi rutin, panel metabolik
komprehensif protein fase akut, tes imunologis, serologi, flow sitometri, analisis
sitokin clan HLA typing.

Daftar pustaka
1. Castro C, Gourley M. J Allergy Clin lmmunol. 2010 Februari;l25(2 Suppl
2):5238--4 7. doi: 10.1016/j.jaci.2009.09.041.
2. Hasson SS, AI-Balushi MS, Al- Jabri AA. The role of the autoimmunity laboratory
in autoimmune diseases. Asian Pacific Journal ofTropical Disease. 2012: 159-62.
3. Beitz LO, Miller LC, Schaller JG. Rheumatic disorder. Dalam: Sthiem,ER, Ochs
HD, WinkelsteinJA, penyuming. lmmunologic disorders in infants and children.
Edisi ke-5. Philadelphia.Saunders. 2004:hal. l 103- 78.Von FeldtJM. Antinuclear
antibody. American College of Rheumatology. 2012: 1-4.
4. Prakken BJ, Albani S. Inflammation. Dalam: Cassidy JT, Petty RE, Laxer RM,
Lindley CB, penyunting. Textbook of Pediatric Rheurnatologv. Edisi ke-6.
Philadelphia:Saunsers. 2011 :hal.53-9.
5. Berger M, Frank MM. The serum complemenet system. Dalam: Sthiem,ER,
Ochs HD, Winkelstein JA, penyunting. Immunologic disorders in infants and
children. Edisi ke-5. Philadelphia.Saunders. 2004:hal.157 -87.
Tata Laksana Terkini Artritis ldiopatik Juvenil
Dina Muktiarti

rtritis idiopatik juvenil (AI]) adalah penyakit rematik kronik yang

A paling sering terjadi pada anak di antara pernyakit rematik lainya,


dengan angka prevalens berkisar antara 8-150 kasus per 100.000 anak.
Angka kejadian dilaporkan lebih tinggi di negara-negara Eropa clan Amerika
dibandingkan dengan Asia.Diagnosis klinis AIJ dapat ditegakkan pada anak
di bawah 16 tahun dengan artritis yang terjadi minimal selama 6 minggu clan
semua kemungkinan artritis lain telah disingkirkan.1•1
Penyebab pasti AIJ tidak diketahui, tetapi AI] merupakan penyakit genetik
kompleks yang melibatkan beberapa gen yang berhubungan dengan imunitas
clan inflamasi. Beberapa pendapat mengaitkan artritis dengan stress, masalah
hormonal, trauma, infeksi bakteri atau virus pada individual dengan predisposisi
genetik tertentu, Beberapa HLA tertentu dihubungkan dengan peningkatan
risiko AIJ seperti HLA-A2, HLA-DRBl *08 clan* 11, clan HLA-Bn.1.1
Bukti menunjukkan adanya imunodisregulasi pada AIJ. Pada AI] aktif
ditemukan adanya aktivasi clan konsumsi komplemen yang mengakibatkan
inflamasi clan meningkatnya kornpleks imun. Sekitar 40% pasien AI]
mempunyai titer anti-nuclear antibodies (ANA) positif clan sekitar 5-10% pasien
AIJ mempunyai rheumatoid factor (RF) positif 1·1
Pada pasien AIJ juga ditemukan peningkatan kadar interleukin (IL)-1,
IL-2, IL-6, rumor necrosis factor (TNF) dalam darah. Temuan ini kemudian
dihubungkan dengan pengembangan tata laksana AIJ.1
Tata laksana AIJ dikelompokkan berdasarkan klasifikasi AIJ. Klasifikasi
dibuat oleh berbagai perkumpulan seperti the American College of
Rheumatology (ACR), the European League Against Rheumatism (EULAR),
and the International League o Associations or umatolo (ILAR) .Masing-
masing klasi i asi mempunyai keuntungan, kerugian, clan kontroversi dalam
pembagian artritis. 1.2
Artritis idiopatik juvenil dapat menetap sampai dewasa clan dapat
mengakibatkan disabilitas fisik baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Banyak pcnelitian dilakukan untuk menemukan pengobatan yang
meningkatkan luaran pasien AIJ dengan menurunkan kemungkinan disabilitas
sejak dini.1Makalah ini membahas alur tata laksana berbagai tipe AIJ dengan
menitikberatkan pada tata laksana yang dapat dilakukan di Indonesia.

84
.
L ,, _.., � ·- • I..• �,,- -

'

Klasifikasi
American College of Rheumatology(ACR) membuat kriteria artritis rematoid
juvenil (ARJ) yang telah dipakai secara luas, divalidasi dan direvisi. Diagnosis
AIJ ditegakkan pada artritis yang terjadi pada anak di bawah usia 16 tahun.
Walaupun artritis yang terjadi pada waktu 6 minggu sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis, namun jangka waktu 6 bulan diperlukan untuk
menentukan tipe AIJ yang pasti. Pada perkembangan selanjutnya, European
League Against Rheumatism (EULAR) membuat istilah artritis kronik juvenil
pada tahun 1977 dan ILAR mengeluarkan istilah artritis idiopatik juvenile
pada tahun 1993, yang berbeda dengan kriteria ACR (Tabel 1 dan Tabel 2).1

Tabel 1. Klasifikasi artritis kronik pada anak'


ARJ {ACR, 1977) AKJ (EULAR, 1978) AIJ (ILAR, 1997)
Sistemik Sistemik Sistemik
Poliartikular Poliartikular Poliartikular RF·negatif
Poliartikular RF·positif
Pausiartikular Pausiartikular Oligoartikular
Persisten
Extended
Psoriatik Psoriatik
Terkait entesitis
Undifferentiated
ARJ: Artritis rematoid juvenil; AKJ: Artritis kronik juvenil; AIJ: Artritis idiopatik juvenile; ACR: American College
of Rheumatology;EULAR: European League Against Rheumatism; ILAR: International League of Associations for
Rheumatology; RF:Rheumatoid Factor.

Table 2. Perbandingan kriteria klasifikasi ACR, EULAR, ILAR untuk artritis kronik pada a'?' -
�\
Karakterlstik ACR EULAR ILAR -- \'\
Tipe onset 3 6 6
Subtipe 9 None 1
Usia onset artritis <16 tahun <16 tahun <16 tahun
Lama artritis > 6 minggu > 3 bulan > 6 minggu
KriteriaJAS Tidakada Ada Ada
KriteriaJPsA Iidak ada Ada Ada I
Kriteria in�ammatory bowel disease Tidakada Ada Ada I
Eksklusi penyakit lain Ya Ya Ya I
ACR:American College of Rheumatology; EULAR:European League Against Rheumatism; :=t
League of Associations for Rheumatology; JAS:juvenile ankylosing spondylitis; JPsA:juvenile ps · c arthritis.

Kriteria AIJ umum menurut ILAR adalah artritis yang tidak diketahui
penyebabnya yang dimulai sebelum usia 16 tahun dan menetap minimal selama
6 minggu dan penyebab lainnya sudah dieksklusi. Prinsip klasifikasi ini adalah

85
... ,..,. � • ,J.. 'J;

Tata Laksana TerkmiArtntis ldiopat,k Juvenit · • ·

seluruh kategori Al] adalah mutually exclusive. 3 Terdapat beberapa kriteria


eksklusi untuk setiap kategori:
a. Psoriasis atau riwayat psoriasis pada pasien atau keluarga inti.
b. Artritis pada laki-laki dengan HLA-B27 positif setelah usia 6 tahun,
c. Spondilitis ankilosing, artritis terkait entesiris, sacroiliitis dengan
inflammatory bowel disease(IBD), sindrom Reiter's, atau uveitis anterior
akut, atau riwayat satu dari kelainan ini pada keluarga inti.
d. Adanya lgM RF pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak waktu lebih dari
3 bulan.
e. Adanya Al] sistemik pada pasien.3

Amitis idiopatik juvenile sistemik adalah artritis pada satu atau lebih
scndi dengan atau didahului oleh demam minimal 2 minggu dengan ciri
quotidian, minimal 3 hari yang disertai dengan l atau lebih kriteria di bawah ini:
1. Rash kemerahan yang tidak menetap/cepat menghilang
2. Pembesaran kelenjar getah bening generalisata
3. Hepatomegali dan/atau splenomegali
4. �rositjs.
Ekslusi untuk kategori adalah a. b, c, d.'

Oligoamitis adalah artritis yang mengenai 1-4 sendi selama 6 bulan


pertarna penyakit. Dua sub-kategori adalah:
1. Oligoartritis persisten: artritis mengenai tidak lebih dari 4 sendi sepanjang
penyakit berlangsung
2. Oligoartritis ekstensif: mengenai lebih dari 4 sendi setelah masa 6 bulan.
Ekslusi untuk kategori adalah a, b, c, d, e. 3

Poliartritis (RF negatif) adalah artritis yang mengenai 5 atau lebih sendi
selama 6 bulan, dan res RF negatif Eksklusi pada kategori ini adalah a, b, c,
d, e. Poliartritis (RF positif) adalah artritis yang mengenai 5 atau lebih sendi
selama 6 bulan, dan 2 atau lebih tes RF positif minimal dengan jarak 3 bulan
pada masa 6 bulan penyakit berlangsung. Eksklusi pada kategori ini adalah
a, b, c, e.
Artritis psoriatik adalah artritis clan psoriasis atau artritis ditambah
minimal 2 dari kriteria di bawah ini:
1. Daktilitis
2. Nail pitting atau onikolisis
3. Psoriasis pada keluarga inti.
Eksklusi untuk kategori ini adalah b, c, d, e.

P,F,
Artritis terkait entesitis adalah artritis clan entesitis, a tau artritis, a tau entesitis
dengan minimal 2 kriteria di bawah ini:
1. Riwayat/adanya nyeri pada sendi sakroiliaka dan/atau nyeri lumbosacral
2. Adanya antigen HLA-B27
3. Onset artirtis pada laki-laki berusia lebih dari 6 tahun
4. Uveitis anterior akut/simptomatik
5. Riwayat spondylitis ankilosing, artritis terkait entesitis, sakroiliitisdengan
IBD, sindrorn Reiter's, atau uveitis anterior akut pada keluarga inti.
Eksklusi pada kategori ini adalah: a, d, e

Kriteria lain (undifferentiated arthritis) adalah artritis yang tidak memenuhi


semua kriteria pada klasifikasi lain di atas. Karakter subtipe AIJ dapat dilihat
pada Tabel 3.

Tata laksana
Tujuan tata laksana Al) aclalah untuk mengatasi nyeri clan inflamasi,
menjaga fungsi sendi, mendukung perturnbuhan clan perkembangan anak
serta kualitas hidup. Perkembangan yang nyata terjadi pada pengobaran Al]
dengan pemberian disease-modifying antirheumauc agents (DMARDs) clan
terapi biologis. Tata laksana fisik/rehabilitasi medik penting untuk mendukung
medikamentosa kareria terapi ini akan rnenjaga dan rneningkatkan kekuatan
otor, range of motion, dan kemampuan untuk aktivitas sehari-hari. Tata laksana
operatif dilakukan apabila sudah ada kerusakan sendi berat.1
Strategi tata laksana AIJ akan bergantung kepada klasifikasi penyakit pada
pasien. American College of Rheumawlogy telah rnengeluarkan rekomendasi tata
laksana AIJ tahun 2011. Rekomendasi ini mernbuat definisi aktivitas penyakit
clan gambaran prognosis buruk untuk seriap kategori (Tabel 4 clan Tabel 5).
Rekomendasi ACR untuk tata laksana AIJ oligoartritis dan poliamitis dapat
dilihat pada Gambar 1 clan Gambar 2.4 Konsensus lain khusus untuk AIJ
sistemik dibuat oleh The Childhood Arthritis and Rheumatology Research
Alliance (CARRA) pada tahun 2012 (Gambar 3, Gambar 4, Gambar 5, clan
Gambar 6).5
Pengobatan inisial sebagian besar pasien AI] adalah obat anti-inflamasi non
steroid (OAINS) clan injeksi kortikosteroid intra-artikular. Pemberian OAINS
dilakukan untuk mengontrol nyeri clan inflamasi sebelum memulai tata laksana
[ini kedua. Pengobatan yang clapat diberikan antara lain adalah naproksen
(15-20 mg/kg/hari dibagi menjadi 2 dosis, dosis maksimal 500 mg), diklofenak
(2-3 mg/kg/hari dibagi menjadi 3 dosis, dengan dosis maksimal 50 rng/kali),
atau i�40 mg/kg/hari dibagi menjadi 3 dosis, maksirnal 800 mg/kali).':'
Tata Laksaria Terkm, ArtritfS ld1opatik Ju�en,I - -

Tabel 3. Karakteristik AIJ'


Subtipe (ILAR) Usia, gender, Keterlibatan sendi Uveitis Gambaran lain
persentase jumlah
pasien
Oligoartritis P>L < 4 sendi. 30%, terutama ANA positif: 60-80%
Persist en Awai masa kanak Sendi besar: lutut, bila ANA positif,
• Ekstensif 40%-50% pergelangan kaki, biasanya
pergelangan asimptomatik
tangan.
Poliartikular (RF P>L > 5 sendi 15% ANA positif:
negatif) 2 puncak: 2-4 tahun Sirnetris 25%.
dan 6-12 tahun + sendi serviksl,
20%-25% temporomandibula
Poliartikular (RF P>L Sendi kecil dan Jarang ( <1%) ANA positif: 75%.
positif) Masa kanak akhir/awal besar, simetris. Nodul rematoid.
remaja Erosi sendi.
5%

Sistemik L=P Poli- atau Jarang ( <1%) Demam quotidian


Sepanjang masa oligoartikular. selama > 2 m1nggu,
kanak. rasli, hmfaaenopatl,
5%-10% hepa!osplenomegali,

-------
serositis.

Artritis terkait L>P Weight-bearing Uveitis akut Entesitis, HLA 6-27


entesitis Akhir masa kanak/ joint terutama simptomatik (7%). postif, riwayat
remaja panggul dan sendi penyakit keluarga
5%-10% intertarsal. terkait HLA 6-27.
Riwayat nyeri pada
sendi sakroiliaka.

Artritis psoriatik P>L Sendi kecil atau 10% Nail pits, onikolisis,
2 puncak: 2-4 tahun sendi besar, daktilitis, psoriasis,
dan 9-11 tahun simetris/asimetris. riwayat keluarga
5%-10% psoriasis.

Undifferentiated 10% Tidak memenuhi


kriteria subtipe lain.
L: laki-laki; P: perempuan.

Pemakaian kortikosteroid sistemik sangat dibarasi pada Al] untuk


menghindari efek samping steroid. Tetapi khusus untuk AI] sistemik,
kortikosteroid sistemik digunakan sebagai pengobatan utama. Penggunaan
injeksi intraartikular dengan kortikosteroid merupakan metode efektif untuk
mengatasi artritis. Obat yang sering digunakan adalah triamsinolon heksatonid
( 10-40 mg/sen di a tau 1-2 mg/kg/sendi). lnjeksi dapat dilakukan setiap 3
bulan, tetapi sendi yang sama tidak boleh diinjeksi lebih dari 3 kali.' lnjeksi
intrartikular kortikosteroid ini diharapkan akan memperbaiki kondisi klinis
minimal selama 4 bulan; apabila perbaikan klinis tidak terjadi selama 4 bulan,
maka hal ini menunjukkan perlunya pengobatan sistemik.1•2

88
·--·--· • :· _ � ....i s I J\ •• M �- ..:..-1�-:-.x:.;:� '> .:t� - ' ,, M ....pA , .. ,.,- •

. Dina Muktiarti

Obat-obat DMARDs seperti metotreksat, leflunornid, clan sulfasalazin


menunjukkan efektivitas yang baik uncuk pasien AIJ.1•2_0etotreksat CMI29
merupakan obat yang paling sering digunakan pada penanganan AIJ.
Metotreksat dapat ditoleransi dengan baik oleh anak, dengan dosis 0,3 mg/
kg/minggu clan dapat dinaikkan dengan maksimum 1 mg/kg/dosis (ridak lebih
dari 25 mg/minggu) .Kepustakaan lain menvebutkan penggunaan MT_X adalah
10-15 mg/m2 clan dapat ditingkatkan sampai 30 mg/m2Y·6·7
Beberapa ha! perlu diperhatikan pada penggunaan MTX. Pada
penggunaan MTX oral pada dosis 10- 15mg/m2 atau lebih, kadar MTX dalam
darah mengalamiplateau sehingga penggunaan MTX oral pada dosis yang lebih
tinggi tidak efektif apabila diberikan secara oral. Absorpsi MTX di usus yang
rendah mernbarasi bioavailabilitas clan efektivitas pada dosis yang lebih tinggi.
Untuk itu dianjurkan penggunaan MTX subkutan apabila akan menggunakan
MTX dosis lebih tinggi.8·9Pada dosis rendah (0,3-0,5 mg/kg/minggu) efektivitas
MTX oral dan subkutan adalah sama.'?
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan MTX dosis lebih
tinggi adalah efektivitas clan efek samping MTX. Becker, dkk7 mernbandingkan
2 kelompok pasien AIJ yang diberikan dosis rendah ( < 0,5 mg/kg a tau <
15 mg/m1) dengan yang diberikan dosis tinggi (> 0,5 mg/kg). Hasil yang
didapatkan adalah bahwa pada kelompok dengan ly!TX dosis tin� didapatkan
peningkatan risiko gangguan fungsi haci dengan perbaikan klinis yang tidak
begitu nyata. 7 Untuk itu perlu dipertimb;;gkan de�an hati-hati penggunaan

MTX dosis tinggi pada pasien AIJ.
Sekitar 60- 75% pasien dengan AIJ menunjukkan perbaikan klinis yang
nyata dengan efek terapeutik maksirnal terlihat sekitar 4-6 bulan sesudah
awal terapi. Penggunaan MTX tidak untuk selamanya. Penelitian Foell, dkk11
menunjukkan bahwa penghentian MTX 6 bulan atau 12 bulan sesudah remisi
tidak mempunyai perbedaan bermakna termasuk tidak mengurangi angka
re laps.
Pemberian suplementasi asam folat dilakukan untuk menghindari efek
samping MTX, namun tidak ;fa konsensus mengenai halini. Beberapa
i)eriaekatan yang dapat dilakukan antara lain adalah (1) pemberian asam folat
1 mg setiap hari, (2) tidak memberikan asam folat kecuali terjadi efek samping,
(3) tidak memberikan asam folat selama I hari sebelum sampai I hari sesudah
pemberian MTX, (4) memberikan asam folat 2,5-5 mg satu kali per minggu,
dua hari sesudah pemberian MTX.6
Efek samping seperti mual dapat dikurangi dengan pemberian asam fol at,
membagi dosis menjadi 2 dosis antara 12-24 jam, atau dengan memberikan
antiernetik. Pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi hati, dan fungsi ginjal harus
c!_ilakukan sebelum penggunaan MTX. Pemeriksaan ulangan dilakukan 1 b�n
sesudah pemakaian M'I X dan setiap 3 bulan pada saat dosis sudah stabil.!"

89
: � ...�
Tata Laksana Terkini Artntis ld1opat1k Juvenil _ . .

Penggunaan obat-obatan biologis seperti tumor necrosis factor a inhibitor/


TNF a inhibitor (infliximab, etarnecept, adalimumab), IL-1 inhibitor
(Anakinra, Rilonacept, Canakinumab), anti CD20 (rituximab), IL-6 inhibitor
(rocilizurnab) dapat menjadi pilihan dalam tata laksana AIJ.1.2 Penggunaan di
Indonesia masih terbatas, karena sebagian besar obat-obatan tersebut tidak
cersedia di Indonesia clan mahal.

Pemantauan
Pernanrauan dilakukan dengan menilai perbaikan klinis, penilaian jumlah
sendi yang aktif disabiliras, clan efek samping pengobatan. Pemantauan lain
selain masalah sendi adalah pemantauan nutrisi, tumbuh kembang, osteopenia/
osteoporosis yang menjadi konsekuensi dari penyakit AI] clan pengobatan
korrikosteroid, clan perneriksaan mata. Rekomendasi pemeriksaan mata pada
pasien AIJ dapat dilihac pada Tabel 6. Dukungan psikososial juga diperlukan
karena sekitar 5% pasien AIJ dapat mengalami depresi clan sekitar 10%
mengalami ansietas.1

Simpulan
Artritis idiopatik juvenil merupakan salah satu penyakit kronik yang sering
terjadi pada anak. Perkembangan pengobatan AIJ cukup pesat, namun
keterbatasan di Indonesia membuat pilihan pengobatan dengan MTX menjadi
pilihan utarna. Kortikosteroid menjadi pilihan pada pengobatan pasien AIJ
sisternik clan sebaiknya dihindari pada AI] subtipe yang lain. Tata laksana
komprehensif yang rneliputi berbagai disiplin ilmu diperlukan pada penanganan
kasus AIJ.
SFEIITF if
Tabel 4. Gambaran prognosis buruk dan aktlvltas penyakit artritls pada 4 sendi atau kurang
PROGNOSIS BURUK (harus memenuhi 1 kriteria)
Artritis panggul atau servikal
Artritis pergelangan kakl atau pergelangan tangan DAN peningkatan penanda
inflamasi yang nyata
Gambaran kerusakan radiografik ( erosi atau penyempitan ruang sen di)
TINGKAT AKTIVITAS PENYAKIT
Aktivitas penyakit rendah (harus memenuhi semua kriteria)
< 1 sendi mengalami artritis aktif
Laju endap darah/C·reactive protein normal
Physician global assessment untuk keseluruhan aktivitas penyakit < 3 dari 10
Patient/parents global assessment untuk kesejahteraan (well being)< 2 dari 10

Aktivitas penyakit sedang (tidak memenuhi kriteria aktivitas penyakit rendah atau tinggi)
1 atau lebih kriteria aktivitas penyakit rendah DAN kurang dari 3 kriteria untuk aktivitas penyakit tinggi

Aktivitas penyakit tinggi (harus memenuhi minimal 3 kriteria)


> 2 sendi mengalami artritis aktif
Laju endap darah/C-reactive protein meningkat 2 kali dari batas atas niiai normal
Physician global assessment untuk keseluruhan aktivitas penyakit > 7 dari 10
Patient/parents global assessment untuk kesejahteraan (well being)> 4 dari 10
--�--�---------�--�--��----------------·-··-··

label 5. Gambaran prognosis buruk dan aktivltas penyakit artritis pada s sendi atau lebih
PROGNOSIS BUR UK (harus memenuhi 1 kriteria)
Artritis panggul atau servikal
Rheumatoid factor (RF) ATAU anti-cyclic citrullinated peptide antibodies positif
Gambaran kerusakan radiografik ( erosi atau penyempitan ruang sendi)
TINGKAT AKTIVITAS PENYAKIT
Aktivitas penyakit rendah (harus memenuhi semua kriteria)
< 4 sendi mengalami artritis aktif
Laju endap darah/C-rcactive protein normal
Physician global assessment untuk keseluruhan aktivitas penyakit < 4 dari 10
Patient/parents global assessment untuk kesejahteraan (well being)< 2 dari 10

Aktivitas penyakit sedang (tidak memenuhi kriteria aktivitas penyakit rendah atau tinggi)
1 atau lebih kriteria aktivitas penyakit rendah DAN kurang dari 3 kriteria untuk aktivitas penyakit tinggi

Aktivitas penyakit tinggi (harus memenuhi minimal 3 kriteria)


> 8 sendi mengalami artritis aktif
Laju endap darah/C-reactive protein meningkat 2 kali dari batas atas nilai normal
Physician global assessment untuk keseluruhan aktivitas penyakit > 7 dari 10
Patient/parents global assessment untuk kesejahteraan ( well being) > s dari 10
---�--�----------�--�--���----------··- ..

91
l-<�� ''c�' :a!.'... ,.. � ii.,;,,;
T.ata Laksana Terkini Artritis ld1opatik Juvenif ... �

Riwayat artritis meliputi ::4 perseodian

Aktivitas penyakit: Bcrat Aktivitas pcnyakit: Aktivitas penyakit: Riogao


Adanya gambaran RiDelo. ,Niang, bcnr Adanya gambaran prognosis
prognosis buruk: y ll Adanya gambaran buruk: Tid•k ; Tid11k ada
prognosis bW\.lk: Ya11idak ke&u.kuan scndi

Setejah 2 bulao pembcrjao NSAID


i�tlas penyakit Ringan, scda�"--t--7' Ter�pl
tunu�I
Adanya gambaran prognosis buruk:
NSAID
Yaitidak

fojck.5i
glukokortikoid
i.ntrHrtikular

Sctdah injcksi pertama Sctejah inieksi bcruJang


Aktivitas penyak.it: Scdang Aktivitas penyakit: Rcndab
Atlanya gambaran prognosis buruk: Ada Adanya gambaran prognosis buruk: Ya
A tau
Alau
Aktivltas pcnyak.it: Bcrat A.ktivitas penyakit: Scdang
Adanya gambaran prognosis buruk: Adanya gambara.n prognosis buruk: Ya/1idak
Yaitidak

M�totrek.,at

Setelah l bulan MTX Setelah 6 bulan MTX


Aktivitas penyakit: Sedang atau berat Aktivita.s penyakit: Bcrat
Adanya karakteristik prognosis buruk: Ya Adanya k.ar.i.kteristik prognosis buruk: Ya/tidak

Oitambah dcngan OAINSI


--···-··-···-+- injebi intraanikut.v bila
diperlukan

Gambar 1. Rekomendasi ACR untuk pasien dengan artritis pada 4 sendi atau kurang.s

92
���������·���� ����·���������-,
- J.,: '.! ._,,, , .. •Ii•< vi "� I ,, > _ •• _ �

• · · Dina Muktiarti

Riwayat artritis iveliputi;::: 5 persendian

Aktivitas penyakit: Bera! Setelah I bulan pemberian OAINS


Adanya gambaran prognosis buruk: Ya/tidak Aktivitas pcnyakit Ringan
atau Adanya gambaran prognosis buruk: Ya
Aktivitas penyakit: Sedang Alllu
Adanya ga.mbaran prognosis buruk: Ya Sctelah 1-2 bulan pengobatan OAINS
Aktivitas penyakit: Sedang
Adanya karakrenstik prognosis burnk: Ya/cidak

Ditamb.ih dengJ.11 OA[NSI


Melolreb�I
·-• �����:raanikular t>il:i

Setelah 3 bulan pemherian MTX Setelah 6 bulan pemberian MT);


Aktivitas penyakit: Sedangfberat Aktivitas penyakit Rfogan
Adanya grunbaran prognosis buruk: Adanya gambaran prognosis buruk:
Ya/tidak Ya/tidak

Dirarnbah dengan OAINSI


TNF-alpha injcksi intraartikul;irbila
·-·--• J1palubn
inhibitor

Sl!telah 4 bulan pemberian TNF-aloha inhibitor


Aktivitas penyakit: Sedang at.au berat
Adanya gambaran prognosis buruk: Ya/tidak

TNF-alpha inihibitor
kedua atau
Abatacept

Gambar 2. Rekomendasi ACR untuk pasien dengan artritis paday sendi atau kurang.'

93
Tota Laksana Terkini Artnt1s ldiopatik JUven1/ . � " .>. -t.:�

Gambar 3. Rencana tata laksana glukokortlkold.•


1 Metilprednisolon intravena puls dilakukan 1 dosis setiap minggu
2 Pasien yang mulai dengan penurunan dosis cepat sebaiknya tidak menggunakan prednisone

q4
. - .
DmaMt1

Gambar 4. Rencana tata laksana metotreksat.5


1 Metilprednisolon intravena puls dilakukan 1 dosis setiap minggu
2 Pasien yang mulai dengan penurunan dosis cepat sebaiknya tidak menggunakan prednisone
3 Bila kondisi memburuk, ikuti alur "Tidak ada perubahan, perburukan"
4
Bila pasien intoleran terhadap metotreksat, hentikan obat, dan tambahkan obat lain.
PO: per oral; SK: subkutan

95
Tata Laksana Terkin, Artr,t,s ldiopat1k Juveml - · · •

Gambar 5. Rencana tata laksana anakinra.•


1 Metilprednisolon intravena puls dilakukan 1 ciosis setiap minggu
2 Pasien yang mulai dengan penurunan dosis cepat sebaiknya tidak menggunakan prednisone
' Bila kondisi memburuk, atau pasien intoleran terhadap anakinra, ikuti alur "Tidak ada perubahan,
perburukan"
PO: per oral; SK: subkutan; MTX: metotreksat.

q6
' ':) - • � _, • I •- ' • -•

Dina Mukt,arti

Gambar 6. Rencana tata laksana tocilizumab.5


1 Metilprednisolon intravena puls dilakukan 1 dosis setiap minggu
2 Pasien yang mulai dengan penurunan dosis cepat sebaiknya tidak menggunakan prednison
3 Bila kondisi memburuk, atau pasien intoleran terhadap anakinra, ikuti alur "Tidak ada perubahan,
perburukan"
PO: per oral; MTX: metotreksat.

97
Tata Laksana Terkini Artrtt,s ld1opatik Juvenil - • •

Tabel 6. Pedoman American Academy of Pediatrics untuk pemeriksaan mata pada kasus AIJ'
SubtipeAIJ Usla onset
< 7 tahun > 7 tahun
Sistemik Tiap tahun Tiap tahun

Poliartikular Setiap 6 bulan selama 4 tahun, lalu setiap


tahun
. ANA positif Setiap 3-4 bulan selama 4 tahun, kemudian
tiap 6 bulan selama 3 tahun, lalu setiap tahun
. ANA negatif Setiap 6 bulan selama 4 tahun, lalu setiap
tahun
Pausiartikula, Setiap 6 bulan selarna 4 tahun, lalu setiap
tahun
. ANA positif Setiap 3-4 bulan selama 4 tahun, kemudian
tiap 6 bulan selama 3 tahun, lalu setiap tahun
· ANA negatif Setiap 6 bulan selama 4 tahun, lalu setiap
tahun

Kepustakaan
I. Weiss JE, Ilowite NT Juvenile idiopathic arthritis. Pediatr Clin N Am. 2005;
52: 413-42
2. Gowdic PJ, Tse SML. Juvenile idiopathic arthritis. Juvenile idiopathic arthritis.
Pediatr Clin N Am. 2012; 59: 301-27.
3. Petty RE, Southwood TR, Manners P, Baum J, Glass DN, Goldenberg J, dkk.
International League of Associations for Rheumatology Classification ofJuvenile
Idiopathic Arthritis: second revision, Edmonton, 2001. J Rheurnatol. 2004; 31:
390-2.
4. Beukelman T. Patkar NM, Saag KG, Tolleson-Rinehart S, Cron RQ, deWitt
EM, dkk. 2011 American College of Rheumatology Recommendation for the
treatment of juvenile idiopathic arthritis: initiation and safety monitoring of
therapeutic agents for the treatment of arthritis and systemic features. Arthritis
Care Res. 2011;63: 465-82.
5. DeWitt EM, Kimura Y. Beukelman T. Nigrovic PA, One! K, Prahalad S, dkk.
Consensus treatment plans for new-onset systemic juvenile idiopathic arthritis.
Arthritis Care Res. 2012: 64: 1001-10.
6. Ramanan AY, Whitworth P, Baildam EM. Use of methotrexate in juvenile
idiopathic arthritis. Arch Dis Child. 2003;88:197-200.
7. Becker ML, Rose CD, Cron RQ, Sherry DD, Bilker WB, Lautenbach E.
Effectiveness and toxicity of methotrexate in juvenile idiopathic arthritis:
comparison of 2 initial dosing regimens. J Rheumarol, 2010; 37: 870-5.
8. Tukova J, Chladek J, Nemcova D, Chladkova J, Dolezalova P, dkk. Methotrexate
bioavailabilirv after oral and subcutaneous administration in children with
juvenile arthritis. Clin Exp Rheumatol. 2009; 27:1047-53.
9. Ruperto N, Murray KJ, Gerloni Y, Wulffraat N, de Oliveira SKF, Falcini F. A
randomized trial of parenteral methotrexate comparing an intermediate dose

q8
�. ,�, '(. �,.:,� ... I.·":... : .. J'i.J ·.'. ,-··· > •• �. ,� ..... :.- •• �., • �:.-�

· • Dina Muktiartr

with a higher dose in children with juvenile idiopathic arthritis who failed to
respond to standard doses of methotrexate. Arthritis Rheum. 2004; 50: 2191-201.
lO. Klein A, Kaul I, Foeldvari I, Ganser G, Urban A, HorneffG. Efficacy and safety
of oral and parenteral methotrexate therapy in children with juvenile idiopathic
arthritis: an observationa; setudv with patients from the German Methotrexate
Registry. Arthritis Care Res. 2012; 64: 1349-56.
11. Foell D, Wulffraat N, Wedderburn LR, Wittkowski H, Frosch M, Gerss J.
Methotrexate withdrawal at 6 vs 12 months in juvenile idiopathic arthritis in
remission: a randomized clinical trial. JAMA. 2010; 303: 1266- 73.

99
Oral Tolerance in Allergy:
What is the Mechanism?
Anang Endaryanto

What is oral tolerance?


Oral tolerance is a state of local and systemic immune unresponsiveness
induced by oral administration of antigens such as food proteins. Oral tolerance
is one of the most important forms of acquired tolerance. Oral tolerance
occurs because the specific suppression of cellular immune reactivity and/or
humoral antigen oral route has been given previously. Oral tolerance evolved
to prevent hypersensitivity reactions to food proteins and bacterial antigens
in the mucosa! flora.
Important factors in the induction of oral tolerance are age and host
genetic susceptibility, commensal bacteria, as well as routes of exposure,
dose of antigen and the composition of the antigen. Soluble antigen is more
tolerogenic than particulate antigens.1Food allergy is the result of a failure to
establish oral tolerance or failure in tolerance

Why oral tolerance important?


The immunogenic or tolerogenic potential of ingested proteins may also be due
co differential uptake of antigens by Peyer's patches or mesenteric lymph nodes,
with previous work suggesting antigen transport to the draining mesenteric
lymph nodes to be crucial for oral tolerance induction.j' Aberrations in oral
tolerance induction can lead to food allergy. Defective Treg development may
have a central role in the development of food allergy and"increases in Tregs
have been associated with reduced clinical reactivity.45·6·7
Antigen-specificTregs suppress immune responses in both lymphoid
tissues, where they inhibit generation of effector Tcells, and in target organs,
through cytokine production.The transcription factor FOXP3 has been identified
as a "master regulator" of the Treg lineages in both mice and humans.8·9
Mutations in human FOXP3 are associated with IPEX (Immune Dysregulation
Polyendocrinopathy Enteropathy X-linked) Disorder, a fatal X-linked disorder
characterized by profound immune dysregulation, severe enteropathy, food
allergy, and endocrinopathv'?
Using a newly developed mouse model of food allergy that uses co-

100
,4,• .. ,., �-,,:�1-t V{,i;,;;,l,:,').J.';:!"'.�.-J.;,,.'. V.:..','·•t.', ',•:,,..,·.u� ��� ..-. ... ,���Ti·;r.,,::. ��.,..,..�A·/'...!.·� ..
. · . · . Anang Endaryanto

administration of Staphylococcus enterotoxin-B with ovalbumin (OVA) or


peanut, Ganeshan et al.11 showed that Th2 polarized responses characterized
by increased antigen-specific IgE and IgG 1 production, clinical reactivity
upon allergen challenge, and increased mucosa! and systemic eosinophilia,
confirming sensitization. In this experimental model, Staphylococcus
enterotoxin-B was shown to inhibit the expression of transforming growth
factor-f and Tregs and promoted responses to peanut antigen by impeding
tolerance induction.11
An IPEX variant has been described in which a deletion in FOXP3
impairs mRNA splicing, protein expression, and invitro function, resulting
in a milder viable phenotype characterized by enteropathy, food allergy, and
atopic dermatitis but not endocrinopathy.10 Co-administration of OVA and
choleratoxin to mice resulted in upregulation ofJagged-2 and OX40L on lamina
propria dendritic cells resulting in skewing of naive Tcells in the mesenteric
lymphnodes toward a Th2 phenotype. 11 OX 40L is a known downstream effector
of the epithelial cytokine thymic stromal lymphopoetin,which is a principal
element of the Th2 response.

What is the mechanism of oral tolerance?


An analogous but more local process also regulates responses to commensal
bacteria in the large intestine and, together mucosallv induced tolerance
appears co prevent intestinal disorders such as food allergy, celiac disease, and
inflammatory bowel diseases. The potential roles ·of gastric acid blockers,
dietary lipids, antioxidants, and vitamins, that are consumed simultaneously
with the sensitizing allergen, in the modulation of mucosa! processing of allergen
and immune cell activation in relation to oral tolerance induction are also of
significant interest and are the subject of ongoing investigation.':'
As with other models of peripheral tolerance, a number of different
mechanisms have been implicated in oral tolerance, including active regulation
by Tregs, as well as clonal deletion and clonal anergy ofTcells.
Weineret al.14•15•16 suggested that the mechanism of oral tolerance was
determined by the feeding regime used, with single high doses of antigen
favoring clonal deletion or anergy, whereas multiple low doses of antigen were
linked to Tcell-mediated suppression.
Karlsson et al.17 determined that children who eventually outgrew their
milk allergy had higher levels or circulating CD4+CD25+ Tregs. Shreffler et
al.18 confirmed that Tregs are important mediators of tolerance in children
with milk allergy, showing that subjects who were able to consume heated

101
, ..:.� � .a-,Li!J:�:AJ ·u�, -�" ::... , .:,."""'""' .....
Oral tolerance in Allergy: what is the mechanism? • ·. • •

milk without reaction had a higher percentage of proliferating antigen-specific


Tregs than subjects with milk allergy who reacted to heated milk or control
subjects without milk allergy.
Recent work using mouse models has also examined the role ofTregs in the
genesis of food allergy and in induction of mucosa! tolerance. Using a series of
elegant studies of a mouse model of pulmonary disease, investigators determined
that Foxp3 + Tregs are essential to establish mucosa! tolerance and minimize
the severity of chronic allergic inflammation. 19
More recent work has found that the frequencies ofFoxp3 + Tiegs in oral
tolerance were highest when a high dose of antigen was used."
There is little direct evidence that clonal deletion and/or anergy contribute
to oral tolerance in the presence of a polyclonal T-cell repertoire, although
the direct entry of free antigen to them should account for such effects.
Nevertheless, the influence of antigen dose on the mode of suppression needs
to be re-evaluated. The fact that CD 103 + DCs and themLNs seem to have
special abilities to drive the generation of Tregs, and both are required for the
induction of oral tolerance, suggests that Tregs should play a central role in oral
tolerance. Transfer of CD4 +cozs +co- Tcells (which are highly enriched in
Foxp3 +Tregs) can transfer oral tolerance to naive animals, and depletion of
CD25 + cells in vivo abrogates oral tolerance. 21
A number of different Tregs have been implicated in oral tolerance,
including IL-10-producing Tr 1T cells and Th3T cells, 12 in addition to the
Foxp3 +Tregs that are currently the focus of most attention.
As much of the literature on"Trl "cells and "Th3"Tcells in the intestine
was published before the Foxp3era, it is not always possible to define the exact
nature of the Tregs that have been described.
Foxp3 + and FoxpJ- populations of IL-10-secreting Tregs are present in
the mucosa" and, judged by their secretion ofTGF-P, the TH3 cells described
by the Weiner group are likely to be similar to, if not identical to, what we now
know as Foxp3 +Tregs.
The best characterized population of Tregs found in other forms of
tolerance expresses Foxp3. Foxp3 +Tregs come in two distinct flavors, natural
Foxp3 + Tregs (nTregs} and induced Foxp3 +Tregs (iTregs).23 nTregs are selected
in the thymus as a consequence of their reactivity to self, whereas iTregs are
generated from naive CD4 Tcells in the peripheral immune system. Whereas
nTregs are stable invivo,24 iTregs can differentiate into otherhelperTcells under
inflammatory conditions." Under non inflammatory conditions, Foxp3 +Treg-
mediated immune regulation is a robust phenomenon and may confer long
lasting oral tolerance.
.... _ - ... . - ' . - ·�- -

Oral tolerance to ovalbumin could not be induced in a mouse model in


which nTregs but not iTregs could be generated, suggesting that this model
required peripheral conversion of naive CD4 Tcells into iTregs.26 This
observation is consistent with the findings described above showing that themLN
provides a specialized microenvironment in which CD 103 + DCs drive the
selective differentiation of iTregs, as well as our own observation that depletion
of ovalbumin-induced Tregs abolished oral tolerance. Z7
The induction and maintenance of oral tolerance may reflect a multi-step
process (pathways by which this can occur invivo) involving both lymphoid
organs and the mucosa! tissues.17 Oral tolerance was reduced in mice lacking
�7 .integrin or its ligand MadCAM-1 (mucosa! vascular addressin cell adhesion
molecule 1), whose interaction is critical to enable gut homing ofTcells.28
Importantly, neither gene deficiency impaired the initial generation of
iTregs in themLNs, and defective oral tolerance in �7 .integrin-deficient but
not MadCAM-1-deficient mice could be rescued by adoptive transferof �7-
competent Tcells. Thus, oral tolerance requires the �7-integrin-dependent gut
homing of iTregs after their initial generation in thernl.Ns."
CCR9-deficient mice have defective oral tolerance." CCR9-deficient
mice developed normal oral tolerance to ovalbumin, suggesting there may be
differences in individual strains of CCR9-deficient mice, or that differences
in the composition of the microbiota may influence the impact of CCR9 on
oral tolerance.
The intestinal microbiota has profound effects on the gut immune system;
for example, distinct bacterial species may favor or disfavor Foxp3 +1reg
induction." Differences in microbiota composition may also affect oral
tolerance. mLN-derived iTregs in antigen-fed mice appeared to undergo
secondary expansion after arrival in the small lintestinal LP.
The expansion of iTregs and the induction of oral tolerance required the
chemokine receptor CX3CRI, as they were abrogated in CX3CRI-deficient
mice. This correlated with reduced production of IL-10 by rnyeloid cells in
the LP and could be restored with IL-10-producing wild-type macrophages. 21
IL-10 produced in the mucosa is needed to drive or maintain local Foxp3
iTregs.32 which showed that IL-10 production by CD 11 b + myeloid cells in
LP is needed to maintain Foxp3 expression by iTregs in the colon. Secondary
maintenance of iTregs by IL- IO-producing gut-resident macrophages maybe
common to both classical oral tolerance to proteins in the small intestine and
in tolerance to commensal bacteria in the colon. Both forms of mucosally
induced tolerance are initiated in the draining LNs, but are then expanded
and sustained in the LP
..... • �" ·- • • �H� - �--- -

Oral tolerance in Allergy: what IS the mechanrsm? · · . . -

In the case of oral tolerance induced in the small intestine, cooperative


production of RA by antigen-loaded, gut-derived CD 103 + DCs and mLN
stromal cells leads to the imprinting of gut-homing molecules on specific Tcells.
Some of these also begin to differentiate into Foxp3 + flkgs: "Primed" iTregs,
leave the mLN and home to the small intestine undergo secondary expansion'
and are sustained by IL-10-producing CX3CR1 high myeloid cells. Thereis a
concept emerging that intestinal antigen not only triggers .the generation of:
iTregs but might subsequently allow for the maintenance of an antigen-specific
Treg pool in the intestine.
The ability of oral tolerance to maintain an inhibitory environment can
prevent hypersensitivity in the mucosa itself. Intestinal antigen may also
sustain Tregs in the gut. The T-cell receptor repertoire of Tregs present in the
small intestinal LP showed a higher overlap with the Treg repertoire of gut-
draining mLNs than skin-draining LNs, 33 and many Tregs present in the colon
seem to arise only after response to microbiota-derived antigen.34
Tregs produceTGF-P and may even convert into follicular helper Tcells
within GALT,34 these processes may also account for the production of non
inflammatory immunoglobulin A responses against intestinal antigens,
something that plays a particularly crucial role in maintaining the local
symbiotic relationship between the host and its microbiota.
A fraction of Tiegs that have undergone secondary expansion in the LP
may exit the tissue and enter the circulation either via the draining lymphatics,
or directly via the blood stream. Foxp3 +Tregs constitute a significant population
in skin-draining afferent lymphatics."

Desensitization vs. tolerance induction


Desensitization refers to protection from life-threatening anaphylaxis that
can be short-term or prolonged with ongoing therapy. Possible mechanisms
of desensitization include increased IgG and reduced IgE; in addition to
decreased activation and release of inflammatory mediators by mast cells and
basophils. By contrast, tolerance refers to active modulation of the immune
response to promote Treg development and immunologic skewing away from a
Th2 response (Figure 1). 30
Traditional injection immunotherapy has been shown to be effective for
lgE-mediated diseases such as allergic rhinoconjunctivitis, through induction
of cellular and humoral mechanisms that result in modulation of disease." In
a study of grass pollen immunotherapy in adults with severe allergic rhinitis,
clear clinical efficacy was associated with significant production of the anti-
inflammatory cytokine IL-10, elevation of grass pollen-specific lgG4 and lgA,

104
.,.., . - . �� ,;, ,, , .. ,�.:: --.• _ � � ··--·, ""
· •. Anang Erldaryanto

r
---::::-::----��������-M�cu osa�
llmmunotherapy (oral, SUl>lngv,,Q

PERPUSTAKAAN
B,�G. ILMU KESEHJ\T,',!\' AN,\f\
H.: UNS I RSVD DR. MOE\\'AijRJ NatveCD4
SUft.AKARTA Tcell

•T-regulatory
cell

Tolerance
lnaoa.d�T-
lnanudlf'K.J,IL·10, TNf..a.

? Downrequlation of aPol>losls

as well as induction of inhibitory antibody activity for histamine release and


lgE-facilitated allergen binding to B-cells.38 Although it was likely effective
in modulating the allergic response, food allergen immunotherapy through the
injection route is impractical and unsafe for use in routine clinical settings
due to an unacceptably high rate of severe systemic anaphvlactic reactions. 39·40
In randomized, double-blind, placebo-controlled study of cow's milk
oral imrnunotherapv (OIT) in children, investigators treated 19 children ( 6-17
years of age) with cow's milk allergy using a desensitization protocol involving a
modified rush "build-up day", home dosing with interval observed dose increases
up to 500mg, followed by daily maintenance dosing.41 Laboratory evaluation
of the subjects showed no significant difference in milk-specific lgE levels in
the treated vs. untreated groups; however, milk-specific lgG levels, particularly
lgG4, were significantly increased.
Clarket al. 42 reported clinical efficacy in four patients who received
OIT using a nearly identical dosing protocol. In a cohort study, clinical
responsiveness was coupled to reduced titrated skin prick test reactivity and
decreased basophil activation. 7 In patients undergoing 011; peanut-specific
lgE levels increased initially but then decreased at 12 and 18 months,
whereas peanut-specific lgG4 levels increased significantly throughout the
study. While on On; FOXP3+ Tregs increased 1.5-fold in peanut-stimulated
cells at 6 and 12 months on therapy and decreased thereafter, returning to
baseline by 20 months.

105
Development of natural oral tolerance and
desensitization in cow's milk allergy
Genetic background, prenatal priming, transmission of maternal antibodies,
breast milk composition, gut barrier function, and intestinal flora are some of
the central factors that affect the risk of developing CMA. Optimal timing
and dosage of CM exposure to avoid sensitization is presently unknown. CMA
usually appears shortly, within weeks, of introduction of CM in infancy and
resolves by school age. Intense-specific lgE response to CM predicts prolonged
persistence of CMA. Development of tolerance in CMA appears to involve
a shift from Th2 dominant response toward Thl type responses. lncrease in
numbers and/or activity ofTregs furthermore suppresses Th2 responses. Tregs
express IL-10 and TGF-J3, which among other functions induce in B cells the
production of lgG4 and lgA. Specific lgG4 and possibly also lgA antibodies
promote tolerance to allergens. Specific lgE levels gradually decrease as
tolerance develops. Similar changes in specific antibody levels occur during
CM OIT that successfully induces desensitization.43 The majority of infants
develop oral tolerance to food antigens.

Reference
I. Strobel S, Mowat AM. Oral tolerance and allergic responses to food proteins. Curr
Opin Allergy Clin lmmunol 2006;6:207-13.
2. Worbs Tee al. Oral tolerance originates in the intestinal immune system and relies
on antigen carriage by dendritic cells. J Exp Med 2006; 203:519-27.
3. Coombes JL, et al .A functionally specialized population of mucosa! CD 103 + DCs
induces Foxp3 + regulatory Tcells via a TGF-band retinoic acid dependent mechanism.)
Exp Med 2007;204: 1757-64.
4. Beyer K, et al .Human milk-specific mucosa! lymphocytes of the gastrointestinal tract
display a TH2 cytokine profile. J Allergy Clin lmmunol 2002;.109:707-13.
5. Karlsson MR, Rugrveit ], Brandtzaeg P Allergen-responsive CD4+CD25+ regulatory
Tcells in children who have outgrown cow'smilk allergy.] Exp Med 2004; 199: 1679--88.
6. ShrefflerWG, Wanich N, MoloneyM, Nowak-Wegrzyn A, Sampson HA. Association
of allergen-specific regulatory Tcells with the onset of clinical tolerance to milk
protein . .) Allergy Clin Immuno2009; 123:43-52.
7. Jones SM, etal .Clinical efficacy and immuneregulation with peanut oral
immunotherapy. .] Allergy Clin lmmuno 2009;.124:292-300.
8. Fontenot JD, Gavin MA, Rudensky A.Y Foxp3 programs the development and
function of CD4+CD25+regulatoryT-cells. Nat Immuno 2003;4:330-6.
9. Hori S, Nomura T, Sakaguchi S. Control of regulatory Tcell development by the
transcription factor Foxp3. (Reports). Science 2003; 299: 105 7.
l 0. Bennett Cl.e: al. The immune dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy,X-
linked syndrome (IPEX) is caused by mutations ofFOXP3. Nat Genet 2001 ;27:20-1.
- . nan n aryan o

1 !. Ganeshan K, et al. Impairing oral tolerance promotes allergy and anaphylaxis. a new
murine food allergy model. .] Allergy Clin lmmunol2009; 123: 231--8.
12. Blazquez AB, Berin MC. Gastrointestinal dendritic cells promote Th2 skewing via
OX40L. .] lmmuno 2008; 180:4441-50.
13. Lack G. Epidemiologic risks for food allergy. .] Allergy Clin lmmuno 2008;. l 21: 1331-6.
14. WeinerHL, daCunha Al?Quintana F,Wu H. Oral tolerance. Immuno1Rev20l l;24 l:259.
15. Chen Y, et al .Peripheral deletion of antigen-reactive Tcells in oral tolerance. Nature
1995;376: 177--80. .
16. Chen Y,et al. Oral tolerance in myelin basic protein'I-cell receptor transgenic mice:
suppression of autoimmune encephalomyelitis and dose-dependent induction of
regulatory cells. Proc Nat! Acad Sci USA1996:388--9!.
17. Karlsson MR, Rugtveit ], Brandtzaeg P Allergen-responsive CD4+CD25 + regulatory
Tcells in children who have outgrown cow'smilk allergy..] Exp Med 2004; 199: 1679--88.
18. ShrefflerWG, Wanich N, MoloneyM, Nowak-Wegrzyn A, Sampson HA. Association
of allergen-specific regulatory Tcells with the onset of clinical tolerance to milk
protein . .] Allergy Clin lmmunol 2009; 123:43-52.
19. Curotto de Lafaille MA, et al. Adaptive Foxp3+regulatoryTcell-dependent and-
independent control of allergic inflammation. Immunity 2008; 29: 114-26.
20. Siewert C, et al. Experience-driven development: effector/memory-like
alphaE+Foxp3+ regulatory Tcells originate from both naive Tcells and naturally
occurringnaive-likeregulatorvTcells.].lmmuno!.180, 146-15 5 (2008).
21. Dubois,B.etal. lnnateCD4 +CD25 + regulatoryTcellsarerequiredfororal coleranceandi
nhibitionofCD8 + Tcells mediating skin inflammation. Blood 102,3295-3301 (2003).
22. Maynard,C.L.etal. Regulatory Tcells expressing interleukin 10 develop from
Foxp3+and Foxp3-precursorcells in the absence of interleukin 10. Nat.lmmunol.
8,931-941(2007).
23. CurottodeLafaille,M.A.&Lafaille.J.J. Natural and adaptivefoxp3+regulatoryTcells:
more of the same radivision of labor? Jmmuniry30,626-635(2009).
24. Rubtsov,YP etal. Stability of the regulatory Tcell lineageinvivo. Science 329, 1667-
1671 (2010).
25. Koenecke, C. etal. Alloantigen-specificdenovo-induced Foxp3+ Treg revertinvivo
and donot protect from experimental GVHD.Eur.]. Immunol.39,3091-3096(2009).
26. Curottode La faille, M.A.etal. AdaptiveFoxp3 + regulatory T cell- dependentand-
independent control of allergic inflammation. Immunity 29, 114-126(2008).
27. Hadis,U.etal. Intestinal tolerance requires guthoming and expansion of FoxP3+
regulatory Tcells in the laminapropria. lmmunity34,237-246 (2011).
28. Wagnei;N.etal. Critical role for beta7 integrins information of the gut-associated
lymphoidtissue. Nature 382,366-370(1996).
29. Svensson, M.etal. CCL25 mediates the localization of recently activated CD 8 alphabera
( +) lymphocytes to the small-intestinal mucosa.]. Clin. lnvest.110, 1113-1121 (2002).
30. Cassani, B. etal. Gut-tropic Tcellsthatexpress integrinalpha 4 beta 7 and CCR9 are required
for induction of oral immunetolerance inmice. Gastroenterology l 41,2109-2118(2011).
31. Atarashi,K.etal.InductionofcolonicregulatoryTcellsbyindigenousClostridium species.
Science33 l ,33 7-341(2011) .31-81.Murai,M.etal.lnterleukin IOactsonregulatoryTcells
tomaintain expressionofthetranscription factorFoxp3andsuppressivefunctionin
micewithcolitis.Nat.!mmunol.10, 1178--1184(2009).

107
2.., • ·�2: �..........:,�··-��� ',_,,!'°�t"--�� �.. -"':. • • - _t....!,., ' •
Oral tolerance in1\llergy: what is the mechanism? - · · ·

32. Fohse,L.etal.HighTCRdiversiry ensuresoptimalfunctionand homeostasisofFoxp3 +re


gulatoryTcells.Eur.}.lmmunol.41,3101-3113(2011).
33. Lathrop, S.K. etal. Peripheral education of the immune system bycolonic commensal
microbiota. Nature 478,250-254(201 l).
34. Tsuji,M.etal. Preferential generation of follicular Bhel per Tcells from Foxp3 + Tcell
singut Peyer'spatches.Science323, 1488-1492 (2009).
35. Tomura,M.etal. Activated regulatory Tcells arethemajor Teel! type emigrating from
theskinduringacutaneousimmuneresponseinmice. ].Clin.Invest.120,883-893(2010).
36. Scurlock AM,BPVickery BP,Hourihane JO, AWBurks AW.Pediatricfoodallcrgyan
dmucosal tolerance. Mucosa! lmmunol Mucosal Immunology 3, 345-354 (2010)
17. Till,S.J.,Francis,J.N.,Nouri-Aria,K.& Durham, S.R. Mechanismsof immunotherapy.
].AllergyClin.Immunol.113, 1025-1034(2004).
38. Francis,J.N.etal.Grasspollen immunotherapy:lL-lOinductionand suppression
of late responses precedeslg G4inhibitory antibodyactivity. ].AllergyClin.
hnmunol.121, l 120-1125(2008).
39. Oppenheimer;J.J.,Nelson,H.S.,Bock,S.A.,Christensen,E&Leung, D.Y.Treatmentofpe
anutallergywithrushimmunotherapy90,256-262 ( 1992).
40. Nelson,H.S.,Lahr,J.,Rule,R.,Bock,S.A.&Leung,D.Y.Treatmentof anaphvlactic
sensitivity to peanuts by immunotherapy with injections of aqueous
peanutextract.}.AllergyClin.Immunol. 99, 744-751 (1997).
41. Skripak,J.M.etal.Arandomized,double-blind,placebo-controlledstudy ofmilkorali
mmunotherapyforcow'smilk allergy.JAIIergyClin. Immunol.122, 1154-1160(2008).
42. Clark,A.Tetal. Successfuloraltoleranceinductionins evere peanut allergy.Allergy
64.l 218-1220(2009).
43. Emma M. Savilahti & Erkki Savilahti. Development of natural tolerance and
induced desensitization in cow's milk allergy. Pediatr Allergy Immunol 24,
114-121 (2013).

108
Peran Sensitisasi Alergen Protein Susu Sapi
Terhadap Aktifitas Limfosit Th-1 dan Th-2 dalam
Hubungan dengan Mengi pada Bayi Usia Sampai
1 Tahun

Mulya Safri*, Bidasari Lubis**, Zakiudin Munasir***,


Mulyadi****, Nia Kurniati***

*Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Syiah Kuala-Rumah Sakit Dr. Zainoel
Abidin; ** Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Sumatera Utara-Rumah Sakit
H. Adam Malik; *** Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Indonesia-Rumah
Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo; **** Departemen Ilmu Penyakit Paru Universitas
Syiah Kuala-Rumali Sakit Dr. Zainoel Abidin

ABSTRAK

Latar Belakang: Alergi susu sapi adalah alergi makanan paling sering terjadi
pada bayi dan anak dengan angka kejadian sekitar 2-3% dari populasi anak pada
usia kurang dari 1 tahun. Mengi merupakan gejala awal gangguan pernapasan
yang sering terjadi akibat reaksi alergi pada anak.
Tujuan: Studi ini bertujuan melihat hubungan faktor risiko, akrifitas Th-1
dan Th-2 pada bayi atopi mendapat susu sapi menderita alergi terhadap
terjadinya mengi.
Metode: Studi ini merupakan studi eksploratif observasional analitik dengan
desain kohort. Sampel diarnbil dengan teknik konsekutif sampling sebanyak
71 yang dilihat hingga bayi berusia 12 bulan.
Hasil: Sebanyak 64,8% dari 71 subyek menderita rnengi. Kadar IFN-y di
bawah 0,53 (p=0,033), kadar IL-5 di atas 0,6 (p=0,000), uji tusuk kulit
>3mm (0,000), pemberian susu sapi (p=0,032), ayah merokok (p=0,003),
pendidikan orang tua (p=0,011), dan faktor risiko alergi (p=0,007) tampak
berhubungan terhadap terjadinya mengi.
Kesimpulan: Sensitisati alergen protein susu sapi dan faktor risiko alergi
berperan terhadap timbulnya mengi, melalui aktifitas limfosit Th-2 yang
meningkat sehingga kadar IL-5 menjadi lebih tinggi pada bayi atopi yang
mendapat susu sapi.

Kata kunci: Sensitisasi alergi susu sapi, faktor risiko alergi, bayi atopi.

109

Anda mungkin juga menyukai