iii
- •,, ,:1.,,'1,';• ... !.:t•.i.;;.,., ' ' ··- :. ••·�t. • • •, .·:::Ah" ... a :... ' • • ._ • �
Selarnat bertugas
v
ui
Assalaamu 'alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. berkat karunia-Nya kami
masih diberi kesempatan untuk menyunting makalah clan menerbitkannya
dalam bentuk buku. Dalam melakukan penyuntingan, kami tidak mengubah
kandungan inti dari makalah, karena itu merupakan tanggung jawab dari
penulis.
Buku ini merupakan buku pertama yang diterbitkan oleh UKK Alergi
lmunologi IDAI selain Buku Ajar, yang disusun dalam rangka penyelenggaraan
1st Annual Meeting of Indonesian Pediatric Allergy and Clinical Immunology
(!PACI) dengan tema Update in Pediatric Allergy and Immunology. Tulisan ini
berisi masalah praktis yang dihadapi oleh dokter spesialis anak yang melakukan
praktek subspesialis Alergi clan lmunologi, baik di ruang rawat inap maupun
pasien rawat jalan di poliklinik.
Meskipun kami sudah bekerja keras melakukan penyuntingan, sangat
mungkin masih ada kesalahan yang kami perbuat. Untuk itu kami mohon maaf
atas kesalahan tersebut. Kami sampaikan terima kasih kepada semua penulis
yang telah meluangkan waktu untuk membuat makalah di sela kesibukannya
sebagai staf pengajar clan praktisi klnis. Kami juga mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah berperan baik langsung
maupun tidak langsung dalam penerbitan buku ini.
Hormat karni,
Penyunting,
Nia Kumiati
Endah Citraresrni
vii
._::..�� .. ��� _,:2..er-':: .... -�� - ,-. ' • � !..!" .,....! =,,.::1.-.... •• � •• �-
. Susunan Panitia
viii
·r-:. •. · . . ,-.�:.v•· ... -J·�� ... , .. "!,_.,,"£��-·�<Z-·"'- .,·"'.{.:.:;··:,1 -'-�· •!;-�,..-�:.::.1,•',·'.,;,� .• ,, �· • _: ,:.,,-.:•
· Daftar Penulis _
ix
Dr. Reni Ghrahani, SpA(K)
Divisi Alergi lmunologi
Deparremen llmu Keseharan Anak FK UN PAD - RS Hasan Sadikin
Bandung
x
.•• , . '.•dt.,.',.:.-· ... · ... :.. •. ' ... ; -· .:i-'. :, '!.","..._ .... ·,..�""'. i..it:,.i.:��, t
. Daftar lsi ·
Daftar Penulis ix
xi
Peran Sensitisasi Alergen Protein Susu Sapi Terhadap Aktifitas Limfosit
Th-I dan Th-2 dalam Hubungan dengan Mengi pada Bayi Usia sampai
Satu Tahun 109
Dr. Mu/ya Safri, SpA(K)
,<ii
Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
pada Anak
Upaya mencari kriteria klasifikasi SLE lebih praktis.
SLE Pediatrik
Lupus eritematosus sistemik pada anak (SLE pediatrik = pSLE) merupakan
penyakit kronik pada anak yang perkembangannya sulit diduga, dan hampir
selalu berada dalam pengawasan medis jangka panjang berkesinambungan.
Pengawasan medis ini kerap berlanjut secara spesialistik sampai masa dewasa.
Manifestasi klinis pSLE sangar beragarn dari gejala klinis ringan sarnpai dengan
keadaan klinis yang mengancam jiwa, dengan episod kambuhan (flare) dan
remisi intermiten.
Perjalanan klinis pSLE lebih berat dibandingkan dengan dewasa. Gejala
klinis pada saat diagnosis umumnya memperliharkan eritema (rash), demam,
dan artritis, serta sepanjang perjalanan penyakitnya sering terjadi kekambuhan
yang ditandai oleh demam, rambut rontok, lesu, penurunan berar badan,
keluhan perut (abdominal discomfort), serta inflamasi um um difus (diffuse
generalized inflammation) yang dapat mempengaruhi kualitas hidup anak.
SLE memakai metologi statistik lebih baru. Telah dibuat sistem pembobotan
(weighting system) terhadap gejala klinis clan laboratorium penvakit lupus
dengan memasukkan juga nilai antibodi antifosfolipid clan patologi ginjal.
Bcberapa kriteria definisi telah direvisi, misalnya untuk menyatakan artritis
perlu bukti objektif sinovitis. Kriteria pembobotan ini dikatakan lebih sensitif
tapi kurang spesifik,
Lupus nefritis merupakan salah satu bentuk klinis berat pSLE yang sering
disertai peningkatan kadar anrikardiolipin (aCL), hipertensi, sindrom nefrotik,
clan membutuhkan hemodialisis. Karena itu untuk tata laksana pediatrik lupus
nefritis perlu dilakukan pemeriksaan histologi renal clan aCL, tidak hanya
untuk dianosis clan klasifikasi derajat berat penyakit, tapi juga untuk respons
pengobatan dan prognosis pasien. Klasifikasi lupus nefritis dinjurkan menurut
Internacional Society of Nephrology/Renal Pathology Society 2003.
Pasien SLE mempunyai risiko tinggi untuk menderita berbagai gangguan
neuropsikiatri (NPSLE) dengan manifestasi kumulatif sering (> 5%) berupa
penyakit serebrovaskular (CYD) clan kejang, serta manifestasi relatif jarang
( 1-5%) seperti disfungsi kognitif berat, depresi major, keadaan konfusi akut
(ACS-acute confusional state), kelainan psikosis saraf tepi (peripheral nervous
disordesr psychosis). The European League Against Rheumatism (EULAR)
membuat rekomendasi neuropsikiacri SLE (2010) sebagai dasar untuk tata
laksana NPSLE.
label 1. Kriteria klasifikasi SLE American College of Rheumatology (ACR) revisi 1982*
1. Ruam malar
2. Lupus diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulserasi mukokutaneus oral atau nasal
5. Artritis nonerosif
6. Nefritis**
Proteinuri ,o,s g/24 jam
Silinder sel
7. Ensefalopati**
Konvulsi
Psikosis
8. Pleuritis atau perikarditis
9. Sitopenia
10. lmunoserologi positif**
Antibodi terhadap double strandedDNA ( anti dsDNA)
Antibodi terhadap antigen nuklear Sm (antiSm)
Sel LE
Serologi sifilis (positif palsu)
11. Antibodi antinuklear (ANA) positif
* Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat p2:ling sedikit 4 dari 11 kriteria (empat dari 11 kriteria positif
menunjukkan 96% sensitivitas dan 96% spesifisitas untuk diagnosis LES dewasa)
• • Salah satu butir pernyataan cukup untuk memenuhi kriteria.
(Sumber: Tan EM, Cohen AS, Fries JF, et al. The 1982 revised criteria for the classification of systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum 1982;25:1271-77.)
2
. � - . �
- . Arwin A.P. Akib
Table 2. Krfterfa kfaslfikasl SL.£ American College of �heumatology {ACR) revisf 1997*
1. Ruam malar (kupu-kupu)
2. Ruam lupus diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulserasi mukokutaneus oral atau nasal
5. Artritis nonerosif
6. Nefritls** · Proteinuria ,0.5 g/24
· Silinder sel
7. Ensefalopati* · Konvulsi
· Psikosis
8. Pleuritis atau perikarditis
9. Sitopenia
10. lmunoserologi positif**
• Antibodi terhadap double stranded DNA ( anti dsDNA)
· Antibodi terhadap antigen nuklear Sm (antiSm)
- Antibodi antifosfolipid positlf berdasarkan temuan:
1. lgG atau lgM antikardiolipin, ATAU
2. Antikoagulan lupus (LA), ATAU
3. Positif palsu uji seroligi sifilis paling sedikit dalam masa 6 'bulan, yang dikonfirmasi dengan uji
imobilisasi Treponema pallidum atau uji flucresensi absorpsi antibodi treponema
11. Antibodi antinuklear (ANA)
* Posivitas >4 kriteria menunjukkan 96% sensitivitas, 96% spesifisitas, dan 76% ketepatan (akurasi)
** Salah satu kriteria dapat memenuhi persyaratan
(Sumber: Petty P.E, Laxer RM. Systemic lupus erythem_t_ s�
o u_
a _ s 2_0,_0_5�)'------------
.
Autoantibodi SLE
Autoantibodi merupakan faktor sentral clalam patogenesis SLE clan saat ini
dianggap mewakili aktivitas penyakit. Anti-clsDNA adalah autoantibodi
yang paling banyak ditelaah walaupun masih banyak lagi autoantibodi
yang berhubungan dengan manifestasi klinis SLE, terutama pada anemia
hernolitik autoimun, trombositopenia, penyakit kulit, clan lupus neonatal.
Penclekatan imunoproteomik kombinasi clilaporkan efektif mengidentifikasi
antibodi terhadap autoantigen kristalin aB, esterase D, APEX nuclease I,
protein ribosom, clan PA28y. Penelitian pada NPSLE menunjukkan hubungan
bermakna antara antibodi anti-esterase D dengan sinclrom saraf pusat clan
antara antibodi anti-APEX nuklease 1 dengan gangguan psikiatri.
3
-;...., �:;. "'' !: ·\� 1 ... 'iJJ:...... �i.· ... �· �--��!.
4
. ·--�·- - " .�., =. ,, . ' - "'-'"" .,,.. __ . -· ' . ,. .. , , ...ArwinA.P.Akib
Tabel 3. Krltera klaslfikasl SLE Systemic lupus International Collaborating Clinics (SLICC)
Krlterfa Kffnls
1--------------------------------------···-··
1. Lupus kutaneus akut, termasuk ruam rnalar (bukan ruam diskoid), lupus bulosa, nekrolisis epidermal
toksik varian SlE, ruam lupus makulopapular, lupus fotosensitif, ruam tan pa riermatomiositis, a tau
lupus kutaneus subakut (psoriaform nonindurasi dan/atau lesi polisiklik anular yang menyembuh tanpa
jaringan pa rut walau sering disertai dispigmentasi pa sea inflamasi atau teleangiektasia)
2. lupus kutaneus kronik, termasuk ruam diskoid klasik lokal ( di atas leher)lokal, umum ( di atas dan
bawa11 leher), lupushipertrofik (verukosa), lupus panikulitis (dalam), lupus mukosa, lupus eritematosus
tumidus, lupus bisul dingin (chilfblains), lupus diskoid/liken planus overlap
3. Ulkus oral: palatum, bukal, lidah, atau nasal tanpa penyebab lain seperti vaskulitis, Beh,ets, lnfeksi
(herpes), penyakit inflamasi safuran cema (inflammatory bowel disease), artritis reaktif, dan makanan
asam
4. Alopesia tanpa jaringan parut (rambut menipis difus atau terlihat mudah patah) tanpa penyebab lain
seperti alopesia aerata, pengaruh obat, defisiensi besi, dan alopesia androgenik
5. Sinovilli, mengenai dua atau lebih sendi, ditandai oleh bengkak atau sefusi, atau nyeri sendi pada
dua sendi atau lebih serta kaku sendi pada pagi hari selama 30 menit atau lebih
6. Serositis, pleuritis lebih dari satu hari atau efusi pleura atau pleural rub, atau nyeri perikardial (r,yeri yang
I
memba1k dengan duduk membungkuk) lebih dari satu hari atau efusi perikardial atau pericardia! rub
atau perikarditis pada EKG tanpa penyebab lain seperti infeksi, uremia, dan perikarditis Dressler
7, Renal, protein/kreatinin urine (atau protein urine 24 jam) menunjukkan 500 mg protein/24 jam atau
silinder darah merah
8. ':!,eurologi: kejang, psikosis, neuritis multipleks tanpa penyebab lain seperti vaskulitis primer dan mielitis,
neuropati perifer atau kranial tanpa penyebab lain seperti vaskulitis primer, imfeksi, dan dan diabetes
melitus, keadaan kunfusi akut (acute confusional state) tanpa penyebab lain termasuk metabolik toksik,
uremia, dan obat-obatan
9. Anemia hemofitik
10. Leukopenia ( <4000/mm' paling sedikit sekali) tanpa penyebab fain seperti sindrom Felty, obat-obatan,
dan hipertensi portal, ATAU Limfopenia ( <1000/mm'pafing sedikit sekali) tanpa penyebab lain seperti
kortikosteroid, obat-obatan dan infeksi
11. Trombositopenia ( <100,000/mm'paling sedikit sekali) tanpa penyebab lain seperti obat-obatan,
hipertensi portaf, dan n_P _
Krlterfa lmunofogi
1. AN�i atas rentang rujukan laboratorium
2. Anti·dsDNA di atas rentang rujukan laboratorium, kecuali dengan pemeriksaa ELISA harus dua kali di
atasi'eiitang rujukan laboratorium
3. Anti-Sm
4. Antibodi antifosfolipid, safah satu dari nilai berikut: antikoagulan lupus, positif palsu RPR, titer sedang
atau tinggi antikardiolipin (lgA, lgG or lgM), anti-�2 glikoprotein I (lgA, lgG, atau lgM)
I
5. K£!!lplemen rendah C3.C1 CH50
6. Uji Coombs direk tanpa anemia hemolitik I
LK_n_t_
· er _n_a_b_e_r
· 1__uk _u_m_
k l_u a_t_fi _d_a_n_t_d_a
i __h__
a ru_s_b_e_s_a
r _m_a__
a .n I
a
(Sumber: Petri M, Orbai AM, Alarc6n, GS, Gordon C, Merrill JT, Fortin PR, dkk, Derivation and validation of
Systemic lupus International Collaborating Clinics Classification Criteria for Systemic lupus Erythematosus.
Arthritis Rheum 2012;64:2677-86.)
Alopesia masuk dalam kriteria, walau tidak spesifik untuk SLE tapi
nilainya bagus dalam analisis univariat clan partisi rekursif serta mernenuhi
konsensus klinis. Kriteria artritis relah didefinisi ulang secara mendasar.
Pemeriksaan radiologis tidak perlu lagi dilakukan karena ternyata beberapa
artritis SLE bersifat erosif Kriteria artritis dapat dipenuhi bila terdapat nveri
sendi selama 30 menit disertai kaku sendi pada pagi hari. Pada beberapa
pasien terdapat tumpang tindih gejala fibromialgia dengan SLE sehingga perlu
5
';,..l'.l:::..,_\�-�.:..;:.,.,u�,.�--�-·-.!.�.�...,___..-.1___.. .... �--�-·---�.:...,_ 4 ·-- .,...,.,,._.'ll, """"'l- ,,_4_., •.
Dwgn.osis Lupus Entematosus Sistemrk (SLE) pada Anak
dipastikan apakah memang terdapat nyeri sendi dan bukan sekedar alodinia
difus.
Kriteria hematologi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu anemia hemolitik,
leukopenia/limfopenia, dan trombositopenia. Dengan model statistik
terlihat bahwa tidak ada perbedaan antara kriteria 'sekali' atau 'lebih dari
sekali' sehingga SLICC menyederhanakannya menjadi hanya satu kelainan
pemeriksaan saja; kelainan tersebut harus karena SLE clan bukan oleh hal lain,
misalnya prednison (limfopenia), obat imunosupresif, infeksi, atau penyebab
lain.
Kriteria neurologi disusun kembali untuk memasukkan definisi
neuropsikiatri karena kriteria sebelumnya hanya tentang kejang clan psikosis.
Konsensus SLICC memasukkan kadar komplemen rendah pada
perneriksaan C3, C4, clan komplemen hemolitik total walau tidak memperbaiki
model statistik karena menunjukkan peran komplemen dalam patogenesis
penyakit.
Uji Coombs direk (anti-globulin) dimasukkan dalam konsensus clan
rnemperbaiki model statistik. Untuk menghindarkan penghitungan ganda
rnaka nilai uji Coombs tidak dihitung bila pasien sudah memenuhi kriteria
klinis anemia hemolitik.
Aspek penting lain dari kriteria klasifikasi SLICC adalah tentang
konfirmasi biopsi untuk rnenentukan nefritis SLE yang sesuai dengan klasifikasi
nefritis lupus menu rut International Society of Nephrology!Renal Pathology Society
(!SN/RPS) 2003. Bukti ANA atau anti-dsDNA sudah cukup untuk klasifikasi
SLE. Hal tersebut diangap penting baik dari segi klinis praktis maupun untuk
penelitian uji klinis, Bila ANA tidak ditemukan pada seorang dengan anti-
dsDNA positif maka ha! tersebut dianggap sebagai kesalahan laboratorium.
Kriteria klasifikasi SLICC memerlukan pemeriksaan laboratorium ketat.
Kriteria baru ini harus disertai bukti klinis clan serologi sehingga pasien dengan
gejala klinis SLE tapi tanpa bukti autoantibodi atau kadar komplemen rendah
sebagai tonggak utarna SLE, tidak dapat diklasifikasikan sebagai SLE. Jadi
autoantibodi lupus harus dimasukkan dalam kriteria inklusi pada setiap uji
klinis lupus. Hasil pemakaian kriteria ACR clan SLICC tidak menunjukkan
perbedaan berrnakna, tapi tampilan clan validitas muatan kriteria klasifikasi
SLICC lebih baik karena dapat mengatasi berbagai kendala klasifikasi klinis
clan penelitian. Validasi sampel kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan lebih
sedikit kesalahan klasifikasi, dengan sensitivitas lebih tinggi walaupun kurang
spesifik.
Kriteria klasifikasi SLICC memberi alternatif bagi tata laksana klinis
clan penelitian SLE. ACR 1967 belum pernah divalidasi clan masih berlaku
sebagai baku diagnosis yang baik bagi para klinisi, tetapi belum dilengkapi
6
.
·
. . - . -' . .,
Arwin A.P. Akib
dengan clefinisi variabel yang lebih baru clan inklusif seperti kriteria SLICC.
Telaah clan validasi kriteria SLICC, sekaligus validasi kriteria ACR, terlihat
lebih baik clan sesuai dengan patogenesis SLE sekarang. Kriteria baru SLICC
lebih mudah dipergunakan clan mencerminkan pengetahuan baru tentang
SLE yang diperoleh dalam masa 29 tahun sejak kita mengenal kriteria ACR.
Kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan hasil lebih baik dari pada revisi
ACR sebelumnya dari sudut sensitivitas, tetapi kurang spesifik. Dalam set
derivasi, kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan lebih sedikit misklasifikasi
dibandingkan dengan ACR (49 vs 70, p=0.0082), sensitivitas lebih besar (62 vs
74, p=0.24) dengan spesifisitas sebanding (92% versus 93%, p=0.39). Untuk
set validasi, misklasifikasi SLICC terlihat lebih sedikit (62 vs 74, p=0.24), lebih
sensitif (97% vs 83%, p<0.0001) tapi kurang sensitif (84% vs 96%, p<0.0001).
Penutup
SLE merupakan penyakit kronik dengan variasi klinis sangat luas, merupakan
manifestasi autoimun dengan beragam aktivitas autoantibodi. Untuk
kepentingan tata laksana klinis, penelitian, clan surveilans maka diperlukan
definisi SLE yang konsisten dengan kriteria klasifikasi yang didukung oleh
perkembangan cepat keilmuan bidang imunologi.
Selama ini kriteria klasifikasi ACR revisi 1982 clan 1967 telah
dipergunakan secara luas clengan hasil baik, tetapi telah clirasakan perlunya
penyesuaian dengan pengetahuan baru yang lebih mutakhir clan lebih muclah
dipergunakan secara klinis. Kriteria ACR 1982 suclah divalidasi tetapi ACR
1967 belum. Berbagai kelompok peneliti melakukan usaha perbaikan kriteria
klasifikasi SLE mernakai metologi statistik lebih baru, antara lain oleh kelompok
internasional the Systemic Lupus International Collaborating Clinics (SLICC).
Kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan hasil lebih baik dari pada revisi
ACR sebelumnya dari sudut sensitivitas, tetapi spesifisitasnya tidak, Kriteria
klasifikasi SLICC lebih rnudah dipergunakan clan mencerrninkan pengetahuan
baru tentang SLE. Secara klinis ha! ini lebih berarti karena inklusi pasien
lupus dapat lebih banyak dibandingkan clengan memakai krireria ACR
sebelumnya serta akan menunjang uji klinis clan srudi longitudinal. Tetapi perlu
diperhatikan bahwa untuk memakai klasifikasi SLICC para klinisi harus punya
kemampuan menentukan semua kriteria yang clinilai mempunyai hubungan
kuat clengan lupus, clan bukan karena proses penyakit atau konclisi lain.
Menurut penilaian para pakar kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan
performa yang baik terhaclap sejumlah besar pasien, walau tidak disebutkan
secara tersendiri tentang manfaat clan nilainya terhadap pasien SLE anak.
Tetapi mengingat bahwa sebagian telaah validasi kriteria ini memakai pasien
�-· a �.t..:.,1.,����··.::·�----� ..... .!. .l-..'.---u..-•"-'�·--------·-�·---"" �·"--''-'--""""'·
Dwgnos,s Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) pada Anak •
dipastikan apakah memang terdapat nyeri sendi dan bukan sekedar alodinia
difus,
Kriteria hematologi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu anemia hemolitik,
leukopenia/limfopenia, dan trombositopenia. Dengan model statistik
rerlihat bahwa tidak ada perbedaan antara kriteria 'sekali' atau 'lebih dari
sekali' sehingga SLICC menyederhanakannya menjadi hanya satu kelainan
pemeriksaan saja; kelainan terse but harus karena SLE clan bukan oleh ha! lain,
misalnya prednison (limfopenia), obat imunosupresif, infeksi, atsu penyebab
lain.
Krirer ia neurologi disusun kembali untuk memasukkan definisi
neuropsikiatri karena kriteria sebelumnya hanya tentang kejang clan psikosis.
Konsensus SLICC memasukkan kadar komplemen rendah pada
pemeriksaan C3, C4, clan komplemen hemolitik total walau tidak memperbaiki
model statistik karena menunjukkan peran komplemen dalam patogenesis
penyakit.
Uji Coombs direk (anti-globulin) dimasukkan dalam konsensus clan
memperbaiki model statistik. Untuk menghindarkan penghitungan ganda
maka nilai uji Coombs tidak dihitung bila pasien sudah memenuhi kriteria
klinis anemia hemolitik.
Aspek penting lain dari kriteria klasifikasi SLICC adalah tentang
konfinnasi biopsi untuk menentukan nefritis SLE yang sesuai dengan klasifikasi
nefritis lupus menu rut International Society of Nephrology/Renal Pachology Society
(!SN/RPS) 2003. Bukti ANA atau anti-dsDNA sudah cukup untuk klasifikasi
SLE. Hal tersebut diangap penting baik dari segi klinis praktis maupun untuk
penelitian uji klinis. Bila ANA tidak ditemukan pada seorang dengan anti-
dsDNA positif maka hal tersebut dianggap sebagai kesalahan laboratorium.
Kriteria klasifikasi SLICC memerlukan pemeriksaan laboratorium ketat,
Kriteria baru ini harus disertai bukti klinis dan serologi sehingga pasien dengan
gejala klinis SLE tapi tanpa bukti autoantibodi atau kadar komplemen rendah
sebagai tonggak utama SLE, tidak clapat diklasifikasikan sebagai SLE. [adi
autoantibodi lupus harus climasukkan clalam kriteria inklusi pacla setiap uji
klinis lupus. Hasil pemakaian kriteria ACR clan SLICC tidak menunjukkan
perbeclaan bermakna, tapi tampilan clan validitas muatan kriteria klasifikasi
SLICC lebih baik karena clapat mengatasi berbagai kenclala klasifikasi klinis
dan penelitian. Validasi sampel kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan lebih
sedikit kesalahan klasifikasi, dengan sensitivitas lebih tinggi walaupun kurang
spesifik.
Kriteria klasifikasi SLICC memberi alternatif bagi tata laksana klinis
clan penelitian SLE. ACR 1967 belum pemah divalidasi clan masih berlaku
sebagai baku diagnosis yang baik bagi para klinisi, tetapi belum dilengkapi
6
.
� .
•
. .. "'
.
.. . -- . - . -- - - .
ArwinA P.Akib
dengan definisi variabel yang lebih baru clan inklusif seperti kriteria SLICC.
Telaah dan validasi kriteria SLICC, sekaligus validasi kriteria ACR, terlihat
lebih baik clan sesuai dengan patogenesis SLE sekarang. Kriteria baru SLICC
lebih mudah dipergunakan clan mencerminkan pengetahuan baru tentang
SLE yang diperoleh dalam masa 29 tahun sejak kita mengenal kriteria ACR.
Kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan hasil lebih baik dari pada revisi
ACR sebelumnya dari sudut sensitivitas, tetapi kurang spesifik. Dalam set
derivasi, krireria klasifikasi SLICC menunjukkan lebih sedikit rnisklasifikasi
dibandingkan dengan ACR (49 vs 70, p=0.0082), sensitivitas lebih besar (62 vs
74, p=0.24) dengan spesifisitas sebanding (92% versus 93%, p=0.39). Untuk
set validasi, misklasifikasi SLICC terlihat lebih sedikit (62 vs 74, p=0.24), lebih
sensitif (97% vs 83%, p<0.0001) tapi kurang sensitif (84% vs 96%, p<0.0001).
Penutup
SLE merupakan penyakit kronik clengan variasi klinis sangat luas, merupakan
manifestasi autoimun dengan beragam aktivitas autoantibodi. Untuk
kepentingan tata laksana klinis, penelitian, clan surveilans maka cliperlukan
definisi SLE yang konsisten dengan kriteria klasifikasi yang didukung oleh
perkembangan cepat keilmuan bidang imunologi.
Selama ini kriteria klasifikasi ACR revisi 1982 clan 1967 telah
clipergunakan secara luas clengan hasil baik, tetapi telah dirasakan perlunya
penyesuaian dengan pengetahuan baru yang lebih mutakhir clan lebih mudah
dipergunakan secara klinis, Kriteria ACR 1982 suclah divalidasi tetapi ACR
1967 belum. Berbagai kelompok peneliti melakukan usaha perbaikan kriteria
klasifikasi SLE memakai metologi statistik lebih baru, antara lain oleh kelompok
intemasional the Systemic Lupus International Collaborating Clinics (SLICC).
Kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan basil lebih baik dari pada revisi
ACR sebelumnya dari sudut sensitivitas, tetapi spesifisitasnya cidak. Kriteria
klasifikasi SLICC lebih mudah dipergunakan clan rnencerminkan pengecahuan
baru tentang SLE. Secara klinis ha! ini lebih berarti karena inklusi pasien
lupus dapat lebih banyak dibandingkan dengan memakai kriteria ACR
sebelumnya serta akan menunjang uji klinis clan studi longitudinal. Tetapi perlu
diperhatikan bahwa untuk memakai klasifikasi SLICC para klinisi harus punya
kemampuan menentukan semua kriteria yang dinilai mempunyai hubungan
kuat dengan lupus, clan bukan karena proses penyakit atau kondisi lain.
Menurut penilaian para pakar kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan
performa yang baik terhadap sejumlah besar pasien, walau tidak disebutkan
secara tersendiri tentang manfaat clan nilainya terhaclap pasien SLE anak.
Tetapi mengingat bahwa sebagian celaah valiclasi kriteria ini memakai pasien
< 0
1' • -�..:c..;,,o: ..... �lJ���.!-'•��....:....:..:..... =:..J..;:,_;__ .. _.�----- � --- •J .,�L.._,_;;,. I,,. ,l -(<• �I•.;
dipastikan apakah memang terdapat nyeri sendi clan bukan sekedar alodinia
difus.
Kriteria hematologi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu anemia hemolitik,
leukopenia/limfopenia, clan trombositopenia. Dengan model statisrik
terlihat bahwa tidak ada perbedaan antara kriteria 'sekali' atau 'lebih dari
sekali' sehingga SLICC menyederhanakannya menjadi hanya satu kelainan
pemeriksaan saja; kelainan tersebut harus karena SLE clan bukan oleh ha! lain,
misalnya prednison (limfopenia), obat imunosupresif, infeksi, a tau penyebab
lain.
Kriteria neurologi disusun kembali untuk memasukkan definisi
neuropsikiatri karena kriteria sebelumnya hanya tentang kejang dan psikosis.
Konsensus SLICC memasukkan kaclar komplemen renclah pacla
pemeriksaan C3, C4, clan komplemen hemolitik total walau ridak memperbaiki
model statistik karena menunjukkan peran komplemen clalam patogenesis
penyakit.
Uji Coombs direk (anti-globulin) dimasukkan clalam konsensus clan
memperbaiki model statistik. Untuk menghindarkan penghitungan gancla
maka nilai uji Coombs tidak dihitung bila pasien sudah memenuhi kriteria
klinis anemia hemolitik.
Aspek penting lain dari kriteria klasifikasi SLICC aclalah tentang
konfinnasi biopsi untuk menentukan nefritis SLE yang sesuai clengan klasifikasi
nefritis lupus menu rut International Society of Nephrology/Renal Pathology Society
(!SN/RPS) 2003. Bukti ANA atau anti-clsDNA suclah cukup untuk klasifikasi
SLE. Hal tersebut cliangap penting baik clari segi klinis praktis maupun untuk
penelitian uji klinis. Bila ANA tidak ditemukan pada seorang dengan anti-
dsDNA positif maka ha! tersebut clianggap sebagai kesalahan laboratorium.
Kriteria klasifikasi SLICC memerlukan pemeriksaan laboratorium ketat.
Kriteria baru ini harus disertai bukti klinis clan serologi sehingga pasien clengan
gejala klinis SLE tapi tanpa bukti autoantibocli atau kaclar komplemen renclah
sebagai tonggak utama SLE, tidak dapat diklasifikasikan sebagai SLE. Jadi
autoantibodi lupus harus climasukkan dalam kriteria inklusi pada setiap uji
klinis lupus. Hasil pemakaian kriteria ACR clan SLICC tidak menunjukkan
perbedaan bermakna, tapi tampilan clan validitas muatan kriteria klasifikasi
SLICC lebih baik karena dapat mengatasi berbagai kendala klasifikasi klinis
clan penelitian. Valiclasi sampel kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan lebih
seclikit kesalahan klasifikasi, clengan sensitivitas lebih tinggi walaupun kurang
spesifik.
Kriteria klasifikasi SLICC memberi alternatif bagi tata laksana klinis
clan penelitian SLE. ACR 1967 belum pernah divaliclasi clan rnasih berlaku
sebagai baku diagnosis yang baik bagi para klinisi, tetapi belum clilengkapi
6
. . ...... �-� -�-- ..... .
Arwin A.P. Ai<ib
dengan definisi variabel yang lebih baru clan inklusif seperti kriteria SLICC.
Telaah dan validasi kriteria SLICC, sekaligus validasi kriteria ACR, terlihat
lebih baik clan sesuai dengan patogenesis SLE sekarang. Kriteria baru SLICC
lebih mudah dipergunakan clan mencerminkan pengetahuan baru tentang
SLE yang diperoleh dalam masa 29 tahun sejak kita mengenal kriteria ACR.
Kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan hasil lebih baik dari pada revisi
ACR sebelumnya dari sudut sensitivitas, tetapi kurang spesifik. Dalam set
derivasi, kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan lebih sedikit misklasifikasi
dibandingkan dengan ACR (49 vs 70, p=0.0082), sensitivitas lebih besar (62 vs
74, p=0.24) dengan spesifisitas sebanding (92% versus 93%, p=0.39). Untuk
set validasi, misklasifikasi SLICC terlihat lebih sedikit (62 vs 74, p=0.24), lebih
sensitif (97% vs 83%, p<0.0001) tapi kurang sensitif (84% vs 96%, p<0.0001).
Penutup
SLE merupakan penyakit kronik dengan variasi klinis sangat luas, merupakan
manifestasi autoimun dengan beragam akrivitas autoantibodi. Untuk
kepentingan tata laksana klinis, penelitian, clan surveilans maka diperlukan
definisi SLE yang konsisten dengan kriteria klasifikasi yang didukung oleh
perkembangan cepat keilmuan bidang imunologi.
Selama ini kriteria klasifikasi ACR revisi 1982 dan 1967 telah
dipergunakan secara luas dengan hasil baik, tetapi telah dirasakan perlunya
penyesuaian dengan pengetahuan baru yang lebih mutakhir clan lebih mudah
dipergunakan secara klinis. Kriteria ACR 1982 sudah divalidasi tetapi ACR
1967 belum. Berbagai kelompok peneliti melakukan usaha perbaikan kriteria
klasifikasi SLE memakai metologi statistik lebih baru, antara lain oleh kelompok
internasional che Systemic Lupus International Collaborating Clinics (SLICC).
Kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan hasil lebih baik dari pada revisi
ACR sebelumnya dari sudut sensitivitas, tetapi spesifisitasnya tidak. Kriteria
klasifikasi SLICC lebih mudah dipergunakan clan rnencerrninkan pengetahuan
baru tentang SLE. Secara klinis ha! ini lebih berarti karena inklusi pasien
lupus dapat lebih banyak dibandingkan dengan memakai kriteria ACR
sebelumnya serta akan menunjang uji klinis clan studi longitudinal. Tetapi perlu
diperhatikan bahwa untuk memakai klasifikasi SLICC para klinisi harus pun ya
kemampuan menentukan semua kriteria yang dinilai mempunyai hubungan
kuat dengan lupus, clan bukan karena proses penyakit atau kondisi lain.
Menurut penilaian para pakar kriteria klasifikasi SLICC menunjukkan
performa yang baik terhadap sejumlah besar pasien, walau tidak disebutkan
secara tersendiri tentang manfaat clan nilainya terhadap pasien SLE anak.
Tetapi mengingat bahwa sebagian telaah validasi kriteria ini memakai pasien
-, ,-.� ;,.•' ,• •• .!.�L,/'•>t_,_,�-••�•:'-:�•.:.,.. •• J..J..:!� ...... _,J<,:.,,
anak, clan juga aplikasi kriteria ACR sebelumnya dapat dilakukan dengan
baik pada anak, maka diperkirakan bahwa kriteria klasifikasi SLICC dapat
dipergunakan juga untuk pSLE.
Daftar Pustaka
I. Hobbs DJ, Barletta GM, Rajpal JS, Rajpal MN, Weismantel DP, Birmingham JD,
Bunchman TE. Severe paediatric systemic lupus erythematosus nephritis-asingle-
centre experience. Nephrol Dial Transplant 2010;25:457-63.
2. Berrsias GK, Ioannidis JPA, Aringer M, Bollen E, Bombardieri S, Bruce IN,
Cervera R, Dalakas M, Doria A, Hanly JG, Huizinga TWJ, Isenberg D, Kallenberg
C, Piette JC, Schneider M, Scolding N, Smolen), Stara A, Tassiulas I, Tektonidou
M, Tincani A, van Buchem MA, van Vollenhoven R, Ward M; Gordon C,
Boumpas OT. EULAR recommendations for the management of ystemic lupus
ervthematosus with neuropsychiatric manifestations: report of a task force of the
EULAR standing committee for clinical affairs. Ann Rheum Dis 20 I 0;69:207 4-82.
3. Katsumata Y, Kawaguchi Y, Baba S, Hattori S, Tahara K, Ito K, Iwasaki T,
Yamaguchi N, Oyama M, Kozuka-Hata H, Hattori H, Nagata K, Yamanaka H,
Hara M. Identification of three new autoantibodies associated with Systemic
Lupus Erythernatosus using two proteomic approaches. Mol Cell Proteomics
2011 ; 10: 1-12.
4. Jennifer E. Weiss. Pediatric Systemic Lupus Ervthematosus: more than a positive
antinuclear antibody. Pediatr Rev 2012;33;62- 74.
5. Petri M, Orbai AM, Alarcon, GS, Gordon C, Merrill JT, Fortin PR, Bruce IN,
Isenberg D, Wallace DJ, Nived 0, Sturfelt G, Ramsey-Goldman R, Bae SC, Hanly
JG, Sanchez-Guerrero J, Clarke A, Aranow C, Manzi S, Urowitz M, Gladman
D, Kalunian K, Costner M, Werth VP, Zoma A, Bernatsky S, Ruiz-Irastorza G,
Khamashta MA, Jacobsen S, Buyon JP. Maddison P, Dooley MA, van Vollenhoven
RF, Ginzler E, Stoll T, Peschken C, Jorizzo JL, Callen JF, Lim SS, Fessler BJ, Inane
M, Kamen DL, Rahman A, Stcinsson K, Franks Jr AG, Sigler S, Hameed S, Fang
H, Pham N, Brey R, Weisman MH, McGwin Jr G, Magder LS. Derivation and
validation of Systemic Lupus International Collaborating Clinics Classification
Criteria for Systemic Lupus Ervthematosus. Arthritis Rheum 2012;64:2677-86.
8
Penyakit Autoimun pada Anak
Budi Setiabudiawan, Reni Ghrahani,
Gartika Sapartini, Ike Dwi Wahyuni
P saat ini belum merniliki data insidensi dan prevalensi yang akurat. Hal
ini disebabkan karena kesulitan serta perbedaan pada diagnosis dan
klasifikasi. Penyakit ini dijumpai pada 5-10% populasi di negara berkembang.
Dalam beberapa dekade terakhir terjadi peningkatan insidensi penyakit
autoirnun pada anak yang cukup signifikan. lnteraksi multifakrorial antara
predisposisi genetik, hormonal, irnunologi clan lingkungan yang merangsang
perkembangan penyakit autoimun. l.l.l
Penyakit autoimun terjadi bila pengenalan terhadap self antigen mengalarni
gangguan, sehingga self antigen dianggap sebagai antigen asing. Selain itu
terjadinya gangguan mekanisme self tolerance yang seharusnya mencegah
imunitas terhadap tubuhnya sendiri. 2
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, penyakit autoimun merupakan penyebab kematian
terbanyak pada anak perempuan dan perempuan dewasa muda, clan penyebab
kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler clan kanker di negara
berkembang. Beberapa tahun terakhir ini terjadi peningkatan penyakit
autoimun di negara berkembang clan diduga akan meningkat dalam beberapa
dekade mendatang. Menurut penelitian Sardu, dkk di Italy pada tahun 2009,
didapatkan prevalensi penyakit autoimun sebesar 5/100.000 penduduk. Data
epiderniologi di Amerika Serikat melaporkan insidens dan prevalensi penyakit
autoimun pada anak. (Tabel 1).3.4.5
Penelitian pada penderita Diabetes Melitus (DM) tipe I berumur dibawah
10 tahun di Finlandia menunjukkan peningkatan insiden lebih dari dua kali
lipat dalam 30 tahun terakhir, SLE mengalami peningkatan insidensi lebih
dari tiga kali lipat dalam 40 tahun terakhir. Para peneliti memperkirakan
peningkatan jumlah kasus baru pada anak-anak dibawah 5 tahun di Eropa
sebanyak 2 kali lipat pada tahun 2020 dibanding tahun 2005. Sedangkan pada
anak dibawah 15 tahun akan meningkat sekitar 70%.2·6·7
'Makalah ini telah dipublikasikan pada buku Autoimmune Skin and Related Disorders, Update and
Comprehensive Management dengan ISBN 978-602-18051+4
9
.��.....::.-"'-'��...:.,..:..,,.,...l:l&-'�-11'.................... � ........ � ...... .:..,,;,. .. ""-·-�--I.� ......... .!., • ./ .. ,.,..,.�_! ....... _,,_, -· .. ...!..
PenyaM Auto1mt1n pada Anak · .
_PenyakitAutoim_
un rn_sid_ _ oo_a_n_ak/�ta_h_u_n__P_re_v_
_ en_s/_10_0.o_ al_
en_'/1_
s1"- 00_.o_o_o_
an_a-'k/_
ta_hu_n_
Tiroiditis/hipotiroid (10-19 tahun) Tidak ada data 532,1
Diabetes melitus tipe I ( <20 tahun) 12,2 192,0
Hipertiroid (10-19 tahun) Tidak ada data 106,9
Juvenille rheumatoid arthritis 17 148
Systemic lupus erythematosus 7,3 23,8
�imary _systemic vasculitis 2,0 -�------·----
Dikutip dari: Cooper'
Definisi
Penyakit autoimun terjadi akibat respons imun (autoimunitas) yang mengalami
kegagalan toleransi/kegagalan pengenalan self antigen sehingga menimbulkan
gangguan fisiologis clan kerusakan jaringan. Pada respons imun ini rerjadi
produksi antibodi yang melawan self antigen atau sel T reaktif rerhadap self
antigen. Istilah penyakit autoirnun berkonotasi patologis clengan pernbentukan
auroanribodi atau respons imun seluler yang terbentuk setelah timbulnya
penyakit.9
Etiologi
Penyakit autoimun timbul akibat aclanya suatu interaksi multifaktorial
ancara genetik dcngan faktor lingkungan. Agen yang dapat memicu penyakit
autoimun antara lain infeksi, vaksin imunogen, adjuvant yang cligunakan untuk
meningkatkan respons imun, merokok, clan stres+!'
Keterlibatan gen clalam menimbulkan penyakit autoimun masih belum
jelas, tetapi diduga sebagai salah satu faktor penyebab setelah ditemukan
kejadian penyakit autoirnun yang lebih tinggi pada sauclara kembar dengan
gen monozigot. Penyakit autoimun berhubungan clengan alel MHC yang tidak
efektif clalam mempresentasikan self antigen sehingga tidak terjadi seleksi negatif
sel T clan kegagalan dalam stimulasi sel T regulator. Kegagalan ini menyebabkan
sel T menjadi tidak toleran terhadap self antigen dan menganggapnya sebagai
antigen asing yang harus dimusnahkan. Beberapa gen yang berhubungan
clengan penyakit autoimun antara lain non-HLA, tyrosine phosphatase N22
(PTPN22) clan cytosoplasmic microbial sensor NOD-2. u
1()
• • -! ·- ,.. ',' "" . ...,_ . -· � ...__, __ ..;_ ' ...........
· Budi Setiobudrowan, Reni Ghrahani, Gartika Sapartrni, Ike Dwi Wahyuni
11
' �.1.-.,;. • ;.T,· J... ,, .. ......,.
••
Sel
lnduk limfosit B Sumsum tulang
Timus
Limfosit T matur
12
, ,".'>"r,:6' ,I:• dJ � lt -t , ;,., {;. H, • ,.,, ,. - • , ....� ..� ,., .,.�- •• � ....,:i. ·- .., .. .- • • � .,.,..
Limfosit matur
Organ limfoid
sentral
'
Limfosit ma�
r ;�
u..- - - - -, -
.
: : Self antigen
responsnya tidak terdeteksi meskipun limfosit tersebut tetap ada clan berfungsi,
ha! ini disebut sebagai ignorance.11
Mekanisme toleransi pada limfosit T dan B merniliki kesarnaan dan
perbedaan pada beberapa aspek. Pengetahuan akan perbedaan ini penting
untuk memahami mekanisme toleransi yang terjadi pada self antigen yang
berbeda pada individu normal, dan untuk mengetahui proses terjadinya
kegagalan roleransi yang dapat menyebabkan penyakit autoimun.12
Kegagalan toleransi
Kegagalan toleransi berkaitan dengan infeksi clan kerusakan jaringan yang non-
. spesifik. Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang
tidak tepat pada APCs, ekspresi lokal molekul ko-stirnularor yang tidak tepat
atau perubahan cara molekul diri dipresentasikan ke sistem imun. Hal - ha!
tersebut terjadi saat inflarnasi atau kerusakan jaringan, diinduksi oleh kerusakan
akibat infeksi lokal a tau faktor fisik. Inflamasi lokal akan meningkatkan aliran
13
·,.- .;: �. .,, _;.,:.;: •• • ·' ;.,•v -·· '" ·;;,:,_::", • •• .:::.:1 _._.�,..,· .. �·"' - ·,,;...,.....,.��.,.__. ...... -� .�.l'·:t.l �t ,�.·-
Toleransi diri
Toleransi diri
(anergi)
anergi atau delesi
lnduksi
kostimulator
pada APC
7. 1 Autoimunitas j
Molecular
mimicry
Antigen
mikroba
Se! T reaktif yang mengenali
peptida mikroba
1Ll
• j ,. • • > • • • " :..� • ...,� 1,-�:, ·�··· ..'t •• •..:.,, ::,.•..,_ ....... ,,,::.. ,..,;r .... �,Ui: � • ' .l
Bud, Setiabud,awan, Ren, Ghrahani, Gartika Sapartini, /l<e Dwi Wahyuni
'�'/
keratinosit
11nl\t-22 / sinoviosit
fibroblas
makrofag
TNFa
\
IL-Ip (Cox-2+PGE2r. Thi I l
�,c�
�
� TLR3, TLR4,andTLR91lgands
berperan pen ting dalam perrahanan terhadap infeksi dan reaksi inflamasi pad a
penyakit autoirnun. (Gambar 4).
Pada artritis rematoid, ditemukan peningkatan sel Th 17 khususnya pada
jaringan sinovial dan kultur cairan sendi. Interleukin 17 juga berperan dalam
destruksi tulang dengan cara mengaktivasi osreoklas yang akan mempengaruhi
kartilago dan tulang, sehingga sel Th 17 bersifat osteoklastogenik.
Peran sel Th 17 pada sklerosis multipel masih sulit dibuktikan, namun
IL-17 dan IL-6 merupakan interleukin terbanyak yang diekspresikan pada
lesi di otak dan kadar IL-17 ditemukan meningkat dalam serum dan cairan
serebrospinal.
Interleukin-I? A dan IL- I 7B yang mengaktivasi sel di jaringan akan
mengekskresikan sitokin pro-inflarnasi (IL-6, TNF a, dan IL- I�) dan kemokin
yang menyebabkan infiltrasi neutrofil dan inflamasi jaringan. lnterleukin-6
yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya penyakit autoimun. lnhibisi
IL-6 oleh antibodi IL-6R menunjukkan adanya perbaikan klinis pada pasien
artritis rematoid dan JIA. (Gambar 5) .16
15
·" , ......, ,o1. ., • ,.. !'�..!.- -. ....... �:;:.i.;.._ ... �_.; w. l. -"'1....;. .... ,1....•!,1.>J- ..... ·��- -·""
• Penyak,tAutoimunpadaAnak .
Fibroblas
Sel epitel
Sel endotel
Keratosit
Penahanan
tub uh
Jnflamasi
RAH<!.. i -
I Kondrosit
Nilricoxidc t
MMPs r
Promoglycan J.
Sawar darah otak Kerusakan jaringan
Gambar 5. Peran tL-17 dalam pertahanan tubuh, inflamasi dan kerusakan jaringan
Dikutip dari: Yamada''
16
,•.:J,:J, ... �·�.,_,,,<;,,,,,' • -, A'• ,.1.,... :;�.u�.�� ::.,;,;1•0.1:r:',"1:7._..�.I\J/e1
· Budi Setiabudiawan, Reni Ghrohanl, Gartika Sapartini, Ike Di,yi Wahyuni
Penyakit autoimun
Penyakit autoimun mempunyai spektrum yang sangat luas, dari yang bersifat
spesifik sampai bentuk sisternik atau non-organ spesifik (sisternik). (Tabet 2). i;
Penyaklt r _,_
_.O ..,gc..a y '-et _rk_e_n_a
n a_n_,,g S_i,.__ f i"-
e a_n_ g
t e_n�y_na �g�t_e_l_ ita
rb_ _
Penyaklt autolmun organ speslfik
Multiple sklerosis Sistem syaraf pusat Myelin basic protein, Myelin
oligodendrocyte protein
Sympathetic ophthalmia Mata Various uveal antigensa
17
.. �, .tL.?--"-'�- .. -·. ,,.,,_,..,_'...l_�...J.l..·..,�-!'.!t.!W.i. • .i..""" , 44,:. __ .:_ J..:..�-- -'-·
Penyak,t Autoimun pada Anck -
---
-- ...
18
, �1 , j • - �,.,;,J. ,,', �·l,'f •• ·� • '• l ,� ', ,.I, ��-�. ,4.w_,., '. • • ....... �-- �
Bud, Setiabudiowan, Reni G'1mhani, Gart11<a Sapartini, Ike Dwi Wohyuni
19
- � r • l} _. ::.r.1..,'/J:;;.;J__ ;. t.:1,;,.::..: � ,.,.&,.,� •,
Kriteria
Bercak malar
Bercak diskoid
Fotosensitif
Ulkus pada mulut
Artritis
Serositis:
Pleuritis
Perikarditis
Kelainan ginjal
Proteinuria menetap
Cellular casts
Kelainan neurologi
Psikosis
Kejang
Kelainan hematologi
Anemia hemolitik
Leukopenia
Limfositopenia
Trombositopenia
Kelainan imunologi
Anti-ds ONA
Anti-SM
Antibodi antifosfolipid
Antibodi antinuklear
Henoch-shoenlein purpura
Henuch-Schoenlein purpura (HSP) merupakan salah salah satu penyakit
gangguan vaskulitis yang sering dijumpai pada anak-anak. Penyakit ini
merupakan suatu pcnyakit sistemik yang berupa vaskulitis leukositoklastik
akut yang ditandai adanya deposit lgA pada pembuluh darah kecil yang dapat
mengenai kulit, persendian, traktus gastrointestinal clan ginjal.'?
Insiden HSP bervariasi antara 10-20 kasus/100.000 anak per tahun.
lnsidensi HSP di Saudi 6, 7 /100.000 clan pada penelitian di Liverpool tahun
2004-2010 didapatkan insidensi 6,21/100.000 anak. Hasil penelitian di
Belanda tahun 2004 didapatkan penderita HSP 6, 1/100.000 anak, anak laki-
laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan, dengan rasio 1,5-2: l. n.zz
Eriologi HSP masih belum diketahui, diduga beberapa faktor memegang
peranan, antara lain genetik, infeksi traktus respiratori bagian atas, makanan,
infeksi baik infeksi virus maupun bakreri, imunisasi, clan obat-obatan.
lmunoglobulin A (lgA) diduga berperan dalam imunopatogenesis HSP
yaitu dengan adanya peningkatan konsentrasi serum lgA, IgA-containing
circulating immune complexes clan deposit lgA pada dinding pembuluh darah
clan mesangium ginjal. zz
i'!\1., ••• --' '- ,..,_, ,;. ;;, ·,� • .;; "·� r .; • •• • ,. ,.IJ:.t;_...._..,)) �-:=. ;l:1.�',I, • '•• ,,.,.: ,J'/,4 ,• • .,..
Glomerulus
21
" ... i..:z,..... ,j;�
Purpura
Artralgia
Artritis
Kelainan gastrointestinal
Kelainan ginjal
Orkhitis
Kelainan neurologis
22
Purpura atau petekie nontrombositopenia dengan lokasi predominan di
ekscremitas bawah, ditambah sekurang - kurangnya satu dari empat kriteria
di bawah ini :
Nyeri abdomen
• Histopatologi
Adanya gambaran vaskulitis leukositoklastik pada ku li t at au
glomerulonefritis proliferatif dengan dorninasi deposit lgA
Artritis atau artralgia
• Keterlibatan ginjal
Kelainan ginjal pada HSP menyebabkan tingginya mortalitas dan
morbiditas. Pasien tanpa kelainan ginjal mempunyai prognosis yang baik."
23
i;I ,,.-:,,;.., __ �_,.1,,_:J. • .�·- 'l ... ._1,.t1-·,: ..... w::. J4 ,:...,,, ...
Autoantibodi
_........, _
24
... � ...t..:.·'-'c,:,.;..lt.'•,c.a�-4., •• �.��·t-.'� - , .. ,-�..._', .;,.:� ... ,..:.·.,{'-'-''-P•' ,._.,. :;;- ... , '"'"' • !.
• Bud, Seuabudiawan, Reni Ghrahani, Gartika Sapartini, Ike Dwi Wahyuni
25
:.: • .:..,Jif. ·�....L • � •• , ... �--!.!-�V.:- -�.\- • .,.� .....·'. -- :< ·.•;1"� �"- ,., ,.�·:r:
Penyakit Autoimun pada Anak . •
Klasifikasi � si
D_e_sk_rip_ lu_
E_ks_k_ i s_ P_r_es_e_n_tai_s_ _
Sistemik Artritis dengan atau didahului demam a, b, c, d 2 - 17%
quotidian minimal 2 minggu, disertai
minimal t dari :
Ruam rematoid
Limfadenopati generalisata
Hepatomegali/splenomegali
Oligoartritis Serositis a, b, c, d, e Extended persistent
Artritis s 4 sendi dalam 6 bulan pertama. 12 - 29%
Apabila setelah 6 bulan pertama
berkembang menjadi , 5 sendi disebut FR(·) --> 10 - 28%
Poliartritis sebagai extented oligoarthritis, sedangkan FR(·): a,b,c,d,e FR ( +) --> 2 - 10%
bila jumlahnya tetap disebut persistent FR(+): a, b, c,e 3 -11%
oligoartritis a, d, e
Artritis > s sendi dalam 6 bulan pertama,
Entesitis-re/ated dibagi 2, yaitu: faktor rematoid (FR) negatif
artritis dan positif. Dikatakan positif apabila
pemeriksaan FR ( +) pada 2 kali pemeriksaan
dengan jarak waktu 3 bulan
Artritis dengan entesitis; atau artritis
dengan minimal 2 dari :
Nyeri sendi sakro iliaka dan/atau nyeri 2- 11%
inflamasi lumbosakral b.c.d,e
HIJ\-827 ( +)
Psoriatic arthritis HIJ\·827 (-) associated disease pada first or
second degree relative
Uveitis anterior simtomatik
Undifferentiated Artritis atau entesitis pada anak laki - laki
arthritis setelah usia 6 tahun
Artritis dengan psoriasis; atau artritis
dengan minimal 2 dari :
Riwayat psoriasis pada first-degree relative
Daktilitis
Kuku abnormal (nail pitting atau onikolisis)
Artritis yang tidak memenuhi kriteria salah
satu kategori diatas atau memenuhi lebih
dari satu kategori
r Penyakit kawasaki
Penyakit kawasaki (PK) dianggap sebagai systemic oasculitis syndrome, terutama
menyerang arteri berukuran sedang yang merupakan self-limiting systemic
inflammmatory disease dan dominan pada bayi dan anak - anak dibawah
usia 5 tahun. Penyakit ini merupakan vaskulitis pada anak kedua terbanyak
setelah HSP. Kematian dari penyakit ini adalah penyakit jantung sistemik
yang disebabkan trombus aneurisma arteri koronarius, sekunder dari arteritis
koronarius.19
lnsidens PK bervariasi tergantung geografis, di Asia Timur insidensinya
lebih tinggi dibandingkan dengan di Eropa dan Amerika Serikat. Insidensi di
Jepang 138, di Amerika Serikat 17, 1 dan di lnggris 8, 1/100.000 anak < 5 tahun
per tahun, Kejadian terbanyak pada musim dingin clan musim semi (Agustus
- November) dan paling sedikit pada musim panas (Februari- Maret).19•30
Etio!ogi penyakit kawasaki belum diketahui. Diduga merupakan kelainan
imunologi yang akibat penyakit infeksi.
27
.. .. .. " :,. . ... l
Penyak,t Auto,mun pada.Anak . ·
28
-�·,• ..,d'� .L<..,... 1.;:.;:,-, ,, - '�· ,.· • , • ·• ,> , -':..-.llALa.+11�1:�\� �"-·� '../•"- .J,,�
. Budi Setrabudrawan, Reni Ghrahani, Gartika Saportinr, lkeDwi Wahyuni
Simpulan
Dalam tubuh terdapat suatu sistem kekebalan yang berfungsi melindungi tubuh
terhadap berbagai infeksi yang dinamakan sistem imun melalui proses yang
dinamakan toleransi. Toleransi terjadi karena adanya pengenalan antigen asing
clan dapat membeclakannya dengan self antigen. Namun pengenalan terhadap
self antigen ini dapat mengalami gangguan, sehingga terjadi penyakit autoimun.
Terdapat 5-10% penyakit autoirnun dari populasi di negara berkembang.
Dan menimbulkan peningkatan mortalitas clan morbiditas ketiga serelah
penyakit kardiovaskuler dan kanker. Data epidemiologi menunjukkan bahwa
penyakit autoimun pada anak cenderung mengalami peningkatan.
Penyakit autoimun yang banyak pada anak- anak adalah JIA, SLE, dan
vaskulitis yang banyak terdapat pada anak - anak, yaitu HSP dan penyakit
Kawasaki.
,·.······><.
i
Daftarp��t�k�\t, '.. � \
·.Ron1. �n/L-:Auto.
. �inun'e
i.• b- ase. 2011 [diunduh 18 November 20121; Ml 48116-
, O.Wp ..�8}0/i 2;9-:-3354. Ters dia dari: http://www.CEwebsource.com
2:' ·. A�.dca,n..Aureimtl'l'tfne"1telated Diseases Association (AARDA). The Cost
...� ···-··-· ---···· ·"Burden of Autoimmune Disease: The Latest Front in the War on Healthcare
Spending. National Institutes of Health,USA;201 l.
3. Schwalfenberg GK. Solar radiation and vitamin D minigating environmental
factors in autoimmune disease. Journal of Environmental and public health.
Edmonton;201 l.
4. Cooper GS, Stroehla BC. The Epidemiology of Autoimmune Disease.
Autoimmunity Review 2. Durham NC.2003;119-25
5. Sardu, dkk. Population Based Study of 12 Autoimmune Diseases in Sardinia,
Italy: Prevalence and Cornorbidiry. [diunduh 2 November 2012];PLoS ONE
7 (3) :e32487 .Cagliari;2012.
6. Bertsias G, Cervera R, Boumpas OT. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis
7. and Clinical Features. Dalam EULAR Textbook on Rheumatic Diasease,2012.
29
• •' •
0
!.. � �....., ;,.,,<I -• '-'•• J"' .,,,.;:.,_.--�\!. ..!..;.,.n-• ., t,. ••<'"'-'� �- .•. l• 'f :�;,''I•
Penyak,t Autoimun padct Anak •
29. Hahn YS, Kim JG. Pathogenesis and clinical manifestations of Juvenile
Rheumatoid Artrhitis, Korean J Pediatr. Seoul. 20 I 0;53 ( 11) :921-30.
30. Kayiran SM, Dondar A, Gurakan B. An Evaluation of Children with Kawasaki
Disease in Istanbul: a retrospective follow up study. CLINICS 2010;65(12): 1261-
5.
31. Borzutsky A, Bachiloglu RH, Cerda J, Talesnik E. Rising incidence of Kawasaki
disease in Chile: analysis of national discharge databases between 200 I and 2007.
Pediatric Rheumatology 2012;10(1):A90.
32. Lee KY, Rhim J'W. Kang JH. Kawasaki Disease: Laboratory Findings and an
lmmunopathogenesis on the Premise of a "Protein Homeostasis System". Yonsei
Med J. 2012;53(2):262-75.
33. Abdulahad WH, Larnprerch P, Kallenverg CG. T-helper cells as new players in
ANCA-associated vasculitides. Arthritis Research & Therapy. 2011;13:236-74.
34. Takahashi K, Oharaseki T, Yokouchi Y. Pathogenesis of Kawasaki Disease.
British Society for Immunology, Clinical and Experimental Immunology.
2011 ;164(1):20-22.
35. Eleftheriou D, dkk. Yasculitis in Children. Best Practice & Research Clinical
Rheumatology. 2009;23:309-323.
31
Diagnosis Defisiensi lmun
Nia Kurniati
efek pada imunitas dapat dibagi menjadi kelainan primer karena defek
Sistem imun
Sistern imun adalah kerjasama luas organ, jaringan, sel dan substansi protein
dalam mempertahankan tub uh terhadap serangan bahan "asing". Benda asing
yang dimaksud uramanya adalah mikroba (bakteri, virus, fungi dan parasit).
Kerja sistern imun cukup kompleks. Dia dapat mengenali jutaan
musuh dan mempunyai sel dan sekresi khusus untuk mencari musuh dan
menghancurkan antigen.
Organ yang terlibat dalam kerja sistem imun adalah organ limfoid karena
mereka merupakan rumah untuk limfosit, sel yang berperan utama dalam
respon imun adaptif Sumsum tulang adalah sumber untuk pembuatan sel.
Timus adalah organ tempat pematangan sel limfosit. Sedangkan limpa bertugas
sebagai markas untuk berbagai aktivitas sistem imun.
Batasan
Penyakit defisiensi imun adalah sekumpulan aneka penyakit yang memiliki satu
atau lebih ketidaknormalan sistem imun, sehingga meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi. Defisiensi imun primer tidak berhubungan dengan penyakit
:u
........ <-" .,, .... , ..... �· ...... ., .4. � ··. .� . . . . . . -·�·'· . . ' "":. . vs, �'- �,
· Nia Kurniati
... .•
-
---�·:
y
. .: ·
: \
:
yy y /
I
sangat sedikit dan merupakan
sistem imun, tenmasuk sel 8. Sel menyebabkan diabetes tipe
komponen penting dalam reaksi
Natural killer menyerang secara 1. Sementara autoantibodi
alergi. tertentu sering ditemukan pada
langsung sel yang sudah diinfeksi virus.
Sel fagosit adalah sel leukosit \ rheumatoid arthritis.
berukuran besar yang berfungsi
sebagai pembersih. Sel ini beredar
I
di seluruh tubuh, menelan bakteri
dan menghancurkannya. Neutrofil
!
dan monoslt adalah sel fagosit yang
memiliki kantong berisi sitokin yang I
�m_e_gn �h_a_n_c_r_k_
u _ a _b a _�
n _k_t_e ir y_n�g�d_i
a _a�g�o_
f _s t.�-------------�------------j
i
33
J �· _;;::..,.....;&: �.�-� .......,..,..�i; __ -,�.:, ... .:..,,• ..,} - ., :, :,_::;;._ -•-' ' • .:.•,_ .. -�-.':;:.,<.,;�,- -·•-'F•
-Diagi,os,s Defisiens, lmun ·
lain yang mengganggu sistern imun, clan banyak yang merupakan akibat
kelainan genetik dengan pola bawaan khusus. Defisiensi imun sekunder terjadi
sebagai akibat dari penyakit lain, umur, trauma, atau pengobatan.
Etiologi
Penyebab defisiensi imun sangat beragam clan penelitian berbasis genetik
berhasil mengidentifikasi lebih dari 100 jenis defisiensi imun primer clan pola
pcnurunannya terkait pada X-linked recessive, resesif autosomal, atau dominan
autosornal.
34
. .
·
.... -· ,,� . . . - ........ �--·· ·- ......
Nia Kurniati
5%
•O.flslensl sefuler
CJC>eflslensl fa.gos.It
35
• .. ·-� """' ,__,'-= ------� - -·'-"•-· .. � ·- •
,Otagnasis OefisiensHmun · • · ·
Pendekatan diagnosis
Dalam menatalaksana pasien, seringkali defisiensi imun tidak dipikirkan
sebagai penyebab dasar masalah pasien sampai beberapa waktu kemudian.
Namun tentu saja pelatihan selama pendidikan tidak banyak menyentuh
soal defisiensi imun. Oleh karena itu diperlukan pendekatan khusus yang
mudah diikuti oleh dokter. Di Amerika Serikat ha! ini dikenal sebagai "Ten
warning signs of primary immune deciency" yang juga dapat diaplikasikan
pada defisiensi imun secara keseluruhan.
Masalah pertama yang menyebabkan kecurigaan defisiensi imun adalah
kerentanan terhadap infeksi. Untuk penderita defisiensi imun, infeksi
umumnya sering dialami, lebih berat, lebih lama atau sulit diobati. Padahal
pada anak balita yang tidak defisiensi imun saja sering mengalami pilek, batuk
dan nyeri telinga (1 - 3 kali serahun). Sedangkan balita dengan defisiensi
imun mungkin mendapatkan infeksi terus menerus, atau mengalami 2 atau 3
infeksi sekaligus pada saat yang bersamaan. Risiko dari seringnya mengalami
infeksi adalah kesempatan untuk tumbuh clan berkembang menjadi terganggu.
label 3. Sepuluh kondisi tanda bahaya (The Jeffrey Modell Foundation Warning Sign of PIO)
1. lnfeksi telinga lebih dari 4 kali setahun
2. lnfeksi sinus 2 kali dalam setahun
3.Terapi antibiotik oral selama 2 bulan tanpa efek
4. Pneumonia 2 episode dalam 1 tahun
5. Gagal tumbuh pada bayi
6. Abses organ atau subkutan yang berulang
7. Oral thrush persisten atau infeksi jamur di kulit
8. Memerlukan antibiotika intravena untuk menyembuhkan infeksi
9. Dua kali infeksi berat termasuk septisemia
10.Riwayat PIO pada keluarga ··
.... _,,_, ... ,. _� . �.. .,. .....,-. � •' '•. - �� . --...
•
... . ,,.,.,.....,... ... �
Nia Kurniatl
37
Diagnosis Defisiensi lmun • • · · ·:· · · • · •
Diagnosis
Gejala dan tanda defisiensi imun bervariasi dari yang berat hingga ringan;
seringkali dokter tidak menghubungkan rangkaian penyakit infeksi dengan
defisiensi imun. Tetapi anak yang sering terkena infeksi pun tidak berarti
mengalami defisiensi imun. Oiperkirakan setengah dari anak yang dibawa ke
dokter memiliki sis tern imun normal. Seki tar 30% sisanya menderita alergi, 10%
memiliki penyakit serius lain dan hanya 10% sisanya yang memiliki defisiensi
primer atau sekunder.
Data dasar
Defisiensi imun harus dicari mulai dari riwayat penyakit pasien, keluarganya
dan diikuti dengan pemeriksaan fisis,
Riwayac Penyakit Pasien. Jenis infeksi apa yang pemah clan sedang diderita
pasien? Apakah frekuensinya sering, atau parah, atau lama? Apakah
pernah tidak sembuh dengan pengobatan standar? Pada anak yang normal
infeksi berulang umumnya ringan clan singkat, clan anak sehat di antara
2 episode infeksinya. Dicari kemungkinan penjelasan lain seringnya anak
terinfeksi, karena respons imun dapat ditekan oleh banyak faktor seperti
malnutrisi, Iuka bakar, pemakaian obat tertentu (a.l. kortikosteroid).
Respon imun juga tidak bekerja pada beberapa kondisi: leukemia, infeksi
mononukleosis, campak, cacar air, clan infeksi HIV Beberapa kondisi lain
seperti berapa lama tali pusat lepas (puput) saat bayi, adakah eksim yang
berar, adakah gaga! tumbuh, clan sebagainya.
Pemeriksaan fisis: Apakah anak terlihat cukup nutrisinya clan tumbuh
normal? Anak yang defisiensi imun berat kemungkinan besar terlihat
tampak sakit clan pucat. Sering didapati berat badan kurang clan gangguan
pertumbuhan clan perkembangan. Anak mungkin saja pemalu, tetapi
anak yang tampak sehat clan aktif kecil kemungkinannya menderita
defisiensi imun. Apakah terdapat lesi di kulit, lecet, oral thrush? Apakah
ada pembesaran hati, limpa clan sendi? Apakah tidak didapati pembesaran
kelenjar getah bening? Defisiensi imun berat mungkin memberikan
gambaran tanpa pembesaran tonsil clan kelenjar getah bening.
Riwayat keluarga. Adakah ada anggota keluarga yang didiagnosis defisiensi
imun atau rentan terkena infeksi? Adakah kematian bayi dalam keluarga
karena infeksi? Apakah hanya anak laki yang terkena? Apakah oarngtua
masih ada hubungan darah?
·er �W!i1WilC't1P
39
G41i·ifti•ffisfit4chl'fci1ic
Evaluasi infeksi
lnfeksi dapat menunjukkan jenis defiensi imun yang terjadi. lnfeksi oleh
bakteri umumnya membangkitkan respons antibodi, seclangkan virus clan
fungi menstimuli sel limfosit T Oleh karenanya infeksi saluran napas bawah
clan sinusitis yang sering clisebabkan oleh bakteri menggambarkan respon
antibodi yang rendah. lnfeksi berulang pada kulit a tau jaringan lunak umumnya
40
• ' , • - '� ,,... ,I • ·-· ct, • - • ' - .) - - • ' • .L .. j .,;: -- ... • v • .... ., • • ... - � �
• Nia Kur"iati
Pengobatan
Sesuai dengan keragaman penyebab, mekanisme dasar, clan kelainan klinisnya
maka pengobaran penyakit defisiensi imun sangat bervariasi, Pada dasarnya
pengobatan tersebut bersifat suportif substitusi, irnunomodulasi, atau kausal.
Pengobatan suportif rne liputi perbaikan keadaan umum clengan
memenuhi kebutuhan gizi clan kalori, menjaga keseimbangan cairan, elektrolir,
clan asarn-basa, kebutuhan oksigen, serta melakukan usaha pencegahan infeksi.
Substitusi dilakukan terhaclap defisiensi komponen imun, misalnya clengan
memberikan eritrosit, leukosit, plasma beku, enzim, serum hipergarnaglobulin,
gamaglobulin, ataupun imunoglobulin spesifik. Kebutuhan tersebut cliberikan
untuk kurun waktu tertentu atau selamanya, sesuai clengan kondisi klinis.
Pengobatan irnunornodulasi masih diperdebarkan manfaatnya, beberapa
memang bermanfaat clan ada yang hasilnya kontroversial. Obat yang diberikan
antara lain adalah faktor tertentu (interferon), antibodi monoklonal, produk
mikroba (BCG), produk biologik (cimosin), komponen darah atau produk
darah, serta bahan sintetik seperti inosipleks clan levamisol.
Terapi kausal adalah upaya mengatasi clan mengobati penyebab defisiensi
imun, terutama pada defisiensi imun sekunder (pengobaran infeksi, suplemen
gizi, pengobatan keganasan, clan lain-lain). Defisiensi imun primer hanya
dapat diobati dengan transplantasi (timus, hati, sumsurn tulang) atau rekayasa
genetik.
41
Diagnosis Defisiensilmun . · · ·
Daftar pustaka
I. Morimoto Y. Immunodeficiency overview. Prim Care. 2008;35: 159-73.
2. Stiehm ER, Ochs, HD, Winkelstein JA. Immunodeficiency disorders. General
considerations. Dalam: Stiehm ER, Ochs, HD, Winke!stein JA penyunting.
Immunologic disorders in infants and children; edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier.
2005.h.289-355.
3. Chapel H, Haeney M, Misbah S, Snowden N. Immunodeficiency. Dalam:
Essentials of Clinical Immunology. Edisi ke-5. London; Blackwell Publishing,
2006. h. 51-75.
4. De Vries, Patient-centred screening for primary immunodeficiency, a multi-stage
diagnostic protocol designed for non-immunologists: 2011 update Clinical and
Experimental Immunology, 2011;167: 108-19.
5. Boushifa AA, Jeddane L, Aila! F. Al Herz W, Conley ME, et al. A Phenotypic
Approach for !UIS PIO Classification and Diagnosis: Guidelines for Clinicians
at the Bedside. J Clin Immunol.2013; 33: 1078-El.
6. Modell V. Gee B, Lewis DB, Orange JS, Roifman CM, Routes JM, et al. Global
study of primary immunodeficiency diseases (Pl)-<liagnosis, treatment, and
economic impact: an updated report from the Jeffrey Modell Foundation.
lmmunol Res.2011 51:61-70.
Tatalaksana Dermatitis Atopik
pada Bayi dan Anak
(Untuk mencegah terjadinya asma di kemudian hari)
Zakiudin Munasir
D muncul pada masa awal anak.1 Penyakit ini sering dihubungkan dengan
adanya riwayat penyakit alergi pernapasan pada keluarga maupun
penderita DA itu sendiri, clan mempunyai perigaruh yang besar terhadap
kehidupan, karir serta interaksi sosial penderita.2 Hal yang menarik, penyakit
DA dilaporkan mengalami peningkatan prevalensi akhir-akhir ini.' Tatalaksana
DA berdasarkan mekanisme yang mendasari penyakit kulit itu sendiri. 1
Dermatitis atopik rnerupakan penyakit inflamasi kronik yang ditandai
rasa gatal yang sering timbul pada usia dini". Penyakit ini sering dihubungkan
dengan alergi saluran napas, baik pada pasien sendiri maupun keluarga.
Kelainan ini dapat menimbulkan frustasi, baik pada pasien, dokter maupun
keluarganya. Walaupun dernikian, dengan penatalaksanaan yang adekuat
kelainan ini dapat diatasi. Permasalahan yang sering dihadapi pada anak yang
menderita dermatitis atopik adalah rasa gatal yang menyebabkan anak rewel,
kelainan kulit yang menimbulkan rasa rendah diri pada anak yang lebih besar
serta penghindaran berbagai jenis makanan alergen yang dapat menimbulkan
gangguan gizi yang akhirnya secara keseluruhan menyebabkan gangguan
tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, prinsip pengobatan dermatitis atopik
adalah rnenghindari bahan iritan clan faktor pencetus, mengatasi rasa gatal
clan kekeringan kulit serta mengatasi reaksi peradangan clan infeksi sekunder.
Pengobatan dermatitis atopik harus disesuaikan dengan keadaan penderita,
apakah keadaan akut atau kronik.
Berbagai srudi menunjukkan hubungan yang erat antara berbagai jenis
penyakit atopi antara satu dengan lainnya yang lainnya yang dikenal dengan
konsep Allergy March atau Road to Allergy. Allergy March merupakan perjalanan
penyakit alergi yang alamiah yang tidak dikontrol. Ekspresi penyakit alergi
akan berubah sesuai dengan usia. Dengan penatalaksanaan serta tindakan
pencegahan yang baik pada penderita dermatitis atopik diharapkan dapat
mencegah terjadinya asma di kemudian hari.
43
1Mttttti£f.i,t,l,#ffihd·ii·J4i·t·i·D:t1ffltmt·®t:
Alergen makanan
Satu penelirian dengan konrrol menunjukkan bahwa alergen makanan dapat
menginduksi ruam kulit pad a anak yang menderita DA. 5 Berdasarkan uji buta
ganda (doubleblind), uji provokasi makanan dengan plasebo, sekitar 40% bayi
clan anak usia muda dengan DA ringan-berat memiliki alergi makanan. Alergi
makanan pada pasien DA menginduksi dermatitis eksematosa dan berperan
dalam memperparah penyakit kulit pada beberapa pasien,? sedangkan pada
pasien yang lain menimbulkan reaksi urtikaria, urtikaria kontak, ataupun gejala
kompleks kutaneus lainnya. Menghilangkan alergen makanan dari diet pasien
dapat memperbaiki gejala secara klinis, tetapi dibutuhkan pemahaman yang
benar karena sebagian besar alergen (telur, susu, gandum, kedelai dan kacang)
rerdapat pada banyak makanan clan ha! ini sulit clihinclari.7
Bayi clan anak usia mucla yang menclerita alergi makanan umumnya
memiliki hasil tes kulit dan serum lgE yang positif terhadap beberapa makanan.
Uji provokasi makanan yang hasilnya positif sering disertai dengan peningkatan
kadar histarnin plasma clan aktivasi eosinofil. Telah dibukrikan bahwa sel T
spesifik alergen makanan telah berhasil di klon dari lesi kulit pasien DA dan
menunjukkan bahwa makanan dapat menyebabkan inflamasi pada kulit."
Pada tikus percobaan yang menderita DA, sensitisasi makanan melalui
mulur menyebabkan terjadinya lesi kulir ekszematosa saat dilakukan ulangan
provokasi makanan.9 Pada pasien yang hasil tes kulicnya positif terhadap
alergen spesifik ticlak selalu menunjukkan gejala klinis. Oleh karena itu alergi
makanan harus dibuktikan melalui uji provokasi makanan atau eliminasi
makanan secara haci-hati.1
Beberapa penelitian mernbuktikan pacla penderita defisiensi imun primer
mudah terjadi peningkatan absorpsi alergen makanan serta peningkatan
kejadian penyakit atopik'". Hal ini dapat diartikan bahwa pada bayi dan anak
penderita penyakit atopik terutama dermatitis atopi, ditemukan defisiensi
imun ringan yang terkadang sifamya hanya sernentara. Yang sering ditemukan
adalah clefisiensi Imunoglobulin A (lgA), komplemen serta sel limfosit T Pada
bayi baru lahir terdapat defisiensi imun fisiologis terutama lgA sekretorik
serta permeabilitas mukosa usus yang masih tinggi terhadap makromolekul
makanan. Beberapa gangguan saluran pencemaan terjadi absorpsi sejumlah
makromolekul makanan alergen yang dapat merangsang sintesis lgE spesifik.
44
7•T.
Dfflllllj'ff@P-··77 . --Elllll!lillmmD
s
----·· --- •• •• @ffl@tctj,j&fil+
Penyakit gastroenteritis juga mempunyai peranan dalam peningkatan sensitisasi
terhadap makanan.
Beberapa studi menunjukkan bahwa diet eliminasi yang ketat terhadap
alergen makanan utarna dapat mengurangi terjadinya dermatitis atopik pada
bayi dengan risiko atopik tinggi. Diet eliminasi pada ibu menyusui dapat
mencegah terjadinya penyakit atopik pad a bay in ya di kernudian hari 11•
Penundaan pemberian makanan padat (sampai 6 hulan) dilaporkan dapat
menunda terjadinya dermatitis aropik!'. Demikian juga pemberian AS!
eksklusif (3-6 bulan) dapat mencegah terjadinya penyakit atopik13• Walaupun
demikian ada peneliti lain yang membuktikan sebaliknya, yaitu penundaan
pengenalan makanan hiperalergenik justru akan meningkatkan angka kejadian
atopik di kemudian hari karena tidak ada stimulasi sel limfosit T penekan (Ts)
yang mengontrol produksi IgE oleh sel limfosit 814. Beberapa jenis makanan
yang sering menimbulkan dermatitis pada penderita atopik antara lain susu
sapi, telur, ikan laut, kacang tanah, tomat, jeruk dan coklat15•
Diet elirninasi
Samson clan Caskill16 mernbuktikan, dengan diet eliminasi makanan alergen
selama 3 tahun selain menunjukkan perbaikan klinis juga didapatkan
penurunan kadar lgE secara bermakna. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa diet eliminasi makanan pencetus merupakan tatalaksana yang pen ting
pada penderita dermatitis atopik. Walaupun demikian diet eliminasi makanan
harus tetap memperhatikan kebutuhan nutrisi anak yang sedang tumbuh yaitu
mengganti dengan makanan iain yang mempunyai nilai gizi yang setara, Diet
eliminasi makanan pencetus berdasarkan uji DBPCFC (Double Blind Placebo
Control Food Challenge) sebenamya sangat ideal tetapi kurang praktis. Menurut
para ahli diet eliminasi cukup berdasarkan uji kulit disertai anarnnesis yang
cermat. Diet eliminasi biasanya dilakukan selama 3-6 minggu, bila terjadi
perbaikan klinis dilakukan pengenalan kembali dengan makanan tersebut
secara bertahap.
Aeroalergen
Penghindaran alergen inhalan pencerus dermatitis aropik terbukti dapat
mengontrol gejala dermatitis atopik. Dengan membersihkan tungau dari
lingkungan penderita ternyata dapat memperbaiki gejala klinis tanpa
penambahan pengobatan lain pada penderita. Bila penderita tersebut kembali
ke lingkungan semula maka dalam waktu 1-2 hari dapat terjadi eksaserbasi
penyakitnya.
• . �-- .. !-\ :.: .·,-.·.-,1.· . ·' ,. •...••
IMM!iifi.i,i·l•Wlhfflii·iUi·t·l·d=MM·twi
Staphylococcus aureus
Penderita DA merniliki kecenderungan berkembangnya infeksi bakteri,
virus, dan jamur pada kulic. Staphylococcus aureus ditemukan pada lebih dari
90% lesi kulit DA. Jumlah Staphylococcus aureus pada lesi radang DA tanpa
superinfeksi klinis dapat mencapai 107 cfu (colony forming unit) per cm2 lesi kulit.
Keberadaan S.aureus dibuktikan oleh penelitian pada pasien DA yang memiliki
infeksi ringan, pasien menunjukkan penurunan tingkat keparahan penyakit
kulit secara nyata saat diobati dengan kombinasi antibiotik anti stafllokokus
dan korcikosteroid topikal dibandingkan dengan jika hanya menggunakan
kortikosceroid topikal saja.24
Eksaserbasi S.aureus acau peradangan kulit yang tidak sernbuh-sembuh
disebabkan oleh suatu coksin yang bertindak sebagai superantigen, yang
46
-·z•r
, 1IPlfl7' 1iilTIli '•••e@IMltl
.
�. ·� �...... .. • l•'C l#
·!lll:hlil11!1l
· ,il!IH
i' Diili
U
menstimulasi aktivasi sel T clan makrofag. Lebih dari setengah lesi kulit pada
DA terdapat S.aureus yang mensekresi superantigen seperti enterotoksin A,
B toksin I sindrom syok toksik.15· 26 Suatu analisis sel T CLA + yang terdapat
pada darah perifer kulit dari pasien-pasien tersebut juga terhadap sel T pada
lesi kulitnya menunjukkan bahwa mereka membentuk daerah beta pada
perluasan rantai reseptor sel T yang sesuai dengan stimulasi superantigen
tertentu.27•28 Kebanyakan pasien DA mernbentuk antibodi lgE spesifik untuk
melawan superantigen pada kulit. 24.25 Se! Basofil pasien yang sudah disaturasi
dengan antibodi lgE spesifik yang melawan superantigen akan melepaskan
histamin untuk superantigen yang relevan, tetapi tidak terhadap superantigen
yang tidak ada lgE spesifiknya.25 Hal ini memunculkan kemungkinan bahwa
superantigen menginduksi lgE spesifik pada pasien DA clan degranulasi sel
mast secara invivo saat superantigen memasuki barier epidermis, akibatnya
akan menimbulkan siklus gatal-rnenggaruk pada ruam kulit DA.1
Terdapat hubungan antara keberadaan lgE anti superantigen dengan
<lerajat DA.26 Berdasarkan peradangan pada model yang mirip kulit manusia,
kombinasi dari superantigen S.aureus dengan alergen menunjukkan adanya
suacu efek tambahan yang menginduksi peradangan kulit.29 Superantigen juga
dapat meningkatkan sintesis lgE spesifik alergen clan menginduksi resistensi
kortikosreroid.v-" Melengkapi postulat Koch, aplikasi superantigen Swfilokokus
Enterotoksin B (SEB) pada kulit dapat menginduksi perubahan berupa eriterna
clan indurasi pada kulit disertai infiltrasi sel T yang meluas secara selektif akibat
respons terhadap SEB.32·33 Penelitian prospektif pada pasien yang sembuh dari
sindrom syok toksik ditemukan sekitar 14 dari 68 pasien berkembang menjadi
dermatitis eksematosa kronik padahal cidak satupun pasien yang sernbuh dari
sepsis gram negatif berkembang menjadi dermatitis.34 Para peneliti rersebut
menyimpulkan bahwa superantigen dapac menginduksi suatu proses atopik
pada kulit, sehingga superantigen dapac rnenginduksi ekspresi sel T dari
reseptor di kulit melalui stimulasi produksi IL-12.35
Meningkatnya ikatan antara S.aureus pada kulit DA sepertinya
berhubungan dengan proses inflamasi pada kulit atopik. Konsep ini didukung
oleh beberapa penelitian. Pertama, diternukan bahwa pengobatan dengan
kortikosteroid topikal a tau takrolimus dapat mengurangi jumlah S.aureus pad a
kulir atopik walaupun tanpa penggunaan antibiotik.P-" Kedua, lesi peradangan
akut lebih banyak merniliki S.aureus daripada DA kronik acaupun kulit atopik
yang tanpa lesi. Aktivitas menggaruk sepertinya dapat meningkackan ikaran
S.aureus dengan cara merusak barier kulit clan memaparkan rnatrik rnolekui
ekstraseluler yang bertindak sebagai adhesi untuk S.aureus, contohnya adalah
fibronektin clan kolagen. Yang terakhir adalah pada penelitian terhadap ikatan
S.aureus pada lesi kulit tikus yang mengalami respons inflamasi Thl vs Th2,
ikatan bakceri meningkat secara signifikan pada bagian kulit dengan reaksi
47
,a,o,.....__ ......... - •
Tata Laksan� Dermatitis Atop, pada Bayi don Anal, . . ·
Autoalergen
Pada tahun 1920-an beberapa peneliti memberitahukan bahwa serpihan kulit
manusia dapat mencetuskan reaksi hipersensitivitas tipe cepat pada kulit
pasien dengan DA berat, ha! ini mungkin karena adanya reaksi lgE melawan
autoantigen pada kulit." Molekul potensial yang rnenjadi dasar penelitian ini
telah didernonstrasikan oleh Valenta dkk41 yang melaporkan bahwa sebagian
besar sera pasien DA mengandung antibodi IgE yang langsung melawan
protein manusia. Salah satu lgE reaktif autoantigen telah di kloning dari
suatu ekspresi cyclic deoxyribonucleic acid (cDNA) epitel manusia clan disebut
Hom sl yang merupakan suatu protein sitoplasmik berbobot 55kDa pada
keratinosit kulit." Antibodi ini cidak dapat dideteksi pada pasien urtikaria
kronik, Systemic Lupus Erythematosus (SLE), clan penyakit graft-versus-host
ataupun pada kontrol sehat. Walaupun karakterisasi autoalergen akhir-akhir
ini ada pada intraseluler protein, tetapi dapat dideteksi pada komplek imun lgE
sera DA, hal ini menunjukkan bahwa penglepasan auroalergen dari jaringan
yang rusak dapat mencetuskan respons yang diperantarai oleh lgE atau sel
T Konsep ini didukung oleh penelitian terbaru yang menyebutkan bahwa
terdapat penurunan titer autoalergen lgE dengan resolusi DA.44 Data-data
rersebut menunjukkan bahwa meskipun respons imun lgE disebabkan oleh
alcrgen lingkungan tetapi reaksi peradangan alergi dapat dipertahankan oleh
antigen endogen manusia terutama pada DA berat.
48
... � .. ,� . ,,.,,,. •• , ...... ;.,___ ., - ., ' . . -lakiudmMunasfr.
Bahan iritan
Kulit penderita dermatitis atopik biasanya kering, sensitif serta mudah
mengalami iritasi. Untuk mencegah iritasi, penggunaan sabun dan pembersih
kulit yang lain harus dikurangi, Sabun yang digunakan harus mempunyai PH
netral. Sebaiknya menggunakan pembersih kulit yang tidak mengandung
bahan sabun. Sisa deterjen pada pakaian juga dapat menimbulkah iritasi.
Oleh karena itu setiap mencuci pakaian harus dilakukan pembilasan sarnpai
benar-benar bersih. Pengeluaran keringat karena suhu, emosi atau lingkungan
sekitar dapat menimbulkan rasa gatal. Aktivitas fisik harus dikurangi untuk
mencegah pengeluaran keringat yang berlebihan. Suhu dan kelembaban
lingkungan penderita harus optimal (suhu 33-41 derajat Celcius dengan
kelembaban 45-55%) .45
Pakaian jangan terlalu ketat, bahan pakaian harus disesuaikan dengan
keadaan kulit pcnderita misalnya jangan menggunakan bahan wol bagi yang
sensitif terhadap wol. Berenang merupakan olah raga yang dianjurkan,
akan tetapi harus segera dibilas dengan air bersih karena kolam renang
sering mengandung kaporit dan harus segera menggunakan pelembab atau
pembalutan kulit yang sakit.
49
Tata L-aksana Dermatitis Atopi pada Bayi dan Anak . • -
pelernbab rnengandung air clan minyak. Pelembab ini dapat digunakan 3 sampai
4 kali sehari termasuk segera setelah mandi, Pembalut kering hanya efektif bila
digunakan setelah hidrasi kulit untuk mencegah penguapan karena pembalut
tidak mengandung air.
2. Medikamentosa
a. Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal sering diperlukan pada saat eksaserbasi akut
dermatitis atopik. Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi,
antipruritus serta vasokonstriktor. Kortikosteroid fluorinasi dan esterifikasi
mempunyai potensi yang lebih kuat dibandingkan dengan yang non
fluorinasi clan non esterifikasi (lihat tabel).
Pemilihan kortikosteroid topikal tergantung lokasi clan luasnya lesi.
Sebaiknya digunakan potensi serendah mungkin yang masih efektif Bentuk
krirn lebih mudah penggunaannya tetapi mudah menimbulkan kekeringan.
Bentuk salep mempunyai efek melindungi kulit dari kekeringan, tetapi
dapat meningkatkan rasa gatal serta dapat menimbulkan folikulitis.
c;o
:r
11m.v•IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIE!lmmmmlm
......... I • ?fffldii&Pi,Hi/1
·
-
Tabel: Potensl relatif berbagal kortlkosterold toplkal.
---------�·----··
Ke las Generlk
Potensi paling rendah
0,1% Deksametason
1% Hidrokortison
Potensi rendah
0,01% Betametason valerat
0,05% Desonid
0,025% Triamsinolc,n asetonid
Potensi menengah
0,1% Betametason valerat
0,05% Desoksimetason
0,2% Hidrokortison valerat
0,025% Halsinonid
0,1% Triamsinolon asetonid
Potensi tinggi
0,1% Amsinonid
0,05% Betametason dipropionat
0,25% Desoksimetason
0,2% Flusinolon
0,05% Flusinonid
Oleh karena itu bentuk krirn cocok untuk lingkungan yang lembab
sedangkan lotion clan spray lebih cocok untuk kulit kepala acau kulit
berambut. Penggunaan kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari
2 kali sehari karena tidak meningkatkan efikasi malah menambah biaya
pengobaran." Pada daerah kulit yang tipis seperti daerah muka, leher,
ketiak clan selangkangan sebaiknya tidak digunakan kortikosteroid topikal
potensi sedang a tau tinggi kecuali digunakan dalam jangka pendek dengan
pengawasan yang ketat. Efek samping penggunaan kortikosteroid topikal
tersering antara lain, katarak bila digunakan di daerah periorbital, atropi
kulit, hipopigmentasi, jerawat clan terkadang efek sisternik. Demikian
juga dapat terjadi infeksi sekunder oleh jamur.
b. Kortikosteroid sistemik
Pemberian kortikosteroid sisternik biasanya tidak dianjurkan walaupun
dapat menunjukkan penyembuhan yang cepat. Terkadang didapatkan efek
rebound pada penghentian pengobatan disamping efek samping lainnya.
Walupun demikian hasil studi terakhir melaporkan hasil yang memuaskan
51
Tata Laksana Dermatitis Atopi pada Bayi don Anak · · - • - -" ·
b. Tar
Tar serta ekstrak crude cool tar telah digunakan bertahun-tahun clan
sering dianjurkan untuk mengurangi penggunaan kortikosteroid topikal
pada dermatitis atopik. Liquor Carbonis detergents (LCD) 2,5% clan
5% dalam aquaphor banyak digunakan dalam sediaan kosmetik dengan
iritasi minimal. Walupun preparat tar ini banyak digunakan pada produk
kosmetik, kandungan alkoholnya dapat menimbulkan rasa terbakar serta
iritasi pada daerah dermatitis. Efek samping tar antara lain folikulitis,
fotosensitisasi serta dermatitis kontak.
3.Pengobataninfeksisekunder
Dermatitis akut maupun kronis yang tidak terkontrol sering disertai infeksi
sekunder yang memerlukan terapi antibiotika sistemik. Bila tidak ditangani
dengan baik akan memperburuk gejala dermatitisnya. Penyebab infeksi
tersering adalah Staphylococcus aureus yang sering resisten terhadap penisilin.
Untuk itu perlu perlu dilakukan biakan clan uji resistensi untuk menentukan
antibiotika yang sesuai. Sebaiknya diberikan antibiotika dosis tinggi untuk
mencapai kadar yang cukup pada kulit yang terkena. Pilihan pertama adalah
sefaleksin clan eritromisin. Pilihan lain adalah klindamisin clan dikloksasilin
atau kombinasi dikloksasilin clan rifampisin.46 Pengobatan sebaiknya diteruskan
2 sarnpai 3 minggu.
Pembersih antiseptik tidak dianjurkan karena dapat terjadi iritasi.
Pengobatan dengan antibiotika topikal biasanya tidak efektif bahkan dapat
menimbulkan sensitisasi. Akan tetapi beberapa ahli mendapatkan basil yang
baik dengan menggunakan mupirosin tetapi harganya relatif mahal . Bila
pengobatan dengan antibiotika gaga! perlu dipikirkan adanya infeksi Herpes
simplex. Keadaan yang ringan dapat diobati dengan asiklovir topikal sedangkan
herpes yang luas atau mengancam mata dapat diberikan asiklovir intravena.
Pengobatan dengan antimikotik seperti krim imidasol atau griseovulvin oral
selama satu bulan diberikan pada infeksi jamur dermatofit. Infeksi Pityrosporum
uvale dapat diobati dengan klotrimasol.
2.2. Siklosporin
Siklosporin dapat digunakan untuk menekan produksi sitokin, Pada uji klinik
dengan kontrol plasebo selama 8 minggu didapatkan perbaikan klinis yang
bermakna.49 Karena efek hepatotoksik clan imunosupresif, pengobatan ini
tidak disukai kecuali pada dermatitis atopik yang sangat refrakter terhadap
pengobatan.
b. Pimekrolimus
Pimekrolimus merupakan senyawa askomisin yang bekerja melalui
pengikatan makrofilin 12 untuk mempengaruhi kerja kalsineurin. 51
Pimekrolimus dapat diberikan secara topikal dengan absorpsi sistemik
yang minimal" clan oral. Seperti takrolimus, pimekrolimus menghambat
produksi sitokin Th 1 clan Th2, mengurangi kapasitas kerja Antigen
53
� • c:.-:.1.:.lo,,'!,:,:.;f'-.< ..__,_J.!.J.,."!!i • ..!.-::.'---'-��::...i:- ..!. _,1i:... ..... ,��-�-,- ......�
Tata Laksana Dermatitis Atopi pada Bayi.dan Anal< • · •
3. Fototerapi
Pemberian sinar ultraviolet dapat bermanfaat pada dermatitis yang kronik
dan rekalsirrans. Sebaliknya, sinar matahari yang berlebihan atau udara
yang panas clan lembab dapat lebih menimbulkan rasa gatal pada penderita.
Penggunaan sinar UVA (Ultraviolet) atau psoralen phowtherapy (PUVA)
dapat menyebabkan remisi pada dermatitis yang be rat. 57 Keadaan ini mungkin
disebabkan efek supresi terhadap sel langerhans atau sel mast kulit. Terapi
sinar ini juga dapat meningkatkan respons tehadap terapi lain yang diberikan.
Karena respons terapi larnbat, biaya mahal serta risiko terjadinya kanker maka
penggunaan terapi sinar ini sangat terbatas,
4. Psikoterapi
Penderita dermatitis atopik biasanya menunjukkan gejala seperti pada penyakit
kronik lain yaitu gangguan emosi yang juga diderita oleh orang tua/k.eluarganya.
Dermatitis atopik adalah suatu penyakit yang tampak oleh orang lain yang
menyebabkan rasa rendah diri cenderung depresi clan sangat mcngganggu
penderita. Penderita rnaupun orangtua sering merasa kesal karena penyakitnya
tidak kunjung sembuh. Baik penderita maupun dokter yang menanganinya
sering merasa frustasi. Oleh karena itu perbaikan emosi dengan psikoterapi
merupakan penunjang yang penting dalam pengobatan dermatitis atopik.
Psikoterapi tidak harus dilakukan oleh dokter yang mengobati tetapi dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan/psychotherapist. Pemberian psikoterapi secara
kelompok lebih banyak menunjukkan hasil .
S4
Laporan mutakhir menunjukkan bahwa pengobatan pencegahan yang
dilakukan melalui pengobatan dini anak atopi dapat mencegah timbulnya asma
bronkial di kemudian hari, Konsep dasar pengobatan dini ialah manifestasi
klinis asma kemungkinan dapat dicegah atau dihentikan dengan intervensi
medis sebe!um penyakit tersebut muncul atau meminimalkan gejala yang
timbul. Oleh karena itu sasaran pengobatan pencegahan ini adalah anak
dengan gejala dermatitis atopi yang belum menujukkan gejala wheezing
(mengi). Penelitian ini yang dikenal dengan nama ETAC (Early Treatment
of The A topic Child) merupakan suatu penelitian uji klinis buta ganda secara
acak dengan kontrol plasebo yang dilakukan di 12 negara Eropa clan Kanada
dengan tujuan untuk rnelihat apakah pemberian setirisin pada penderita
dermatitis atopi dengan riwayat atopi keluarga dapat menurunkan insidens
asma secara bermakna. Dari laporan awal penelitian ETAC tersebut dapat
disimpulkan bahwa penggunaan setirisin jangka panjang dengan dosis 0,25
mgKgBB dua kali sehari selama 18 bulan ,menurunkan probabilitas timbulnya
asma sebesar 50% pada kelompok anak yang rersensitisasi oleh serbuk bunga
clan tungau debu rumah. Selain itu penggunaan setirisin jangka panjang dapat
membatasi kekerapan clan lama pemberian kortikosteroid pada anak yang
menderita dermatitis a topic. 58
Simpulan
Prevalensi dermatitis atopik dilaporkan cenderung meningkat. Penanganan
penderita dermatitis atopik relatif sulit. Walaupun demikian, dengan
penatalaksanaan yang adekuat dengan kerjasama yang baik antara dokter,
penderita clan keluarganya kelainan ini dapat diatasi. Secara garis besar,
pengobatan dermatitis atopik meliputi penghindaran bahan iritan clan factor
pencetus, mengatasi rasa gatal clan kekeringan kulit serta mengatasi reaksi
peradangan clan infeksi sekunder. Pengobatan pencegahan dini dengan
menggunakan setirisin pada anak dengan dermatitis atopik dilaporkan dapat
menurunkan risiko terjadinya asma di kemudian hari.
Daftar kepustakaan
I. Leung DYM. Atopic dermatitis. Dalam Pediatric allergy principles and practice
2003. h 561-73
2. Finlay AY. Quality of life in atopic dermatitis. J Am Acad Derrnarol. 2001;
45:564-6.
3. Schultz-Larsen F, HanifinJM. Epidemiology of atopic dermatitis. lmmunol Allergy
Clin North Am. 2002; 22: 1-24.
55
TataLaksanaDermatitisAtopipadaBay{dan-Anak . · � . ·-� "'·= . -· " ----
4. Bieber T, Leung DYM, eds: Atopic dermatitis, New York, 2002, Marcel Dkker,
dikutip dari Leung DYM. Atopic dermatitis. Dalam: Leung DYM, Sampson HA,
Geha RS, Szefler, penyunting. Pediatric allergy. St Louis: Mosby; 2003.h. 561- 7 3
5. Sampson HA. Food allergy part I. lmmunopathogenesis and clinical disorders. J
Allergy Clin lmmunol. 1999; 103: 717 -28.
6. Guillet G, Guillet MH. Natural history of sensitizations in atopic dermatitis. A 3
years follow up in 250 children: food allergy and high risk of respiratory symptoms.
Arch Dermatol. 1992; 128: 187 -92.
7. Lever R, MacDonald C, Waugh P. Randomised controlled trial of advice on an
egg exclusion diet in young children with atopic eczema and sensitiviry to eggs.
Pediatr Allergy lmmunol. 1998;9: 13-9.
8. Van Reijsen FC, Felius A, Wauters EA. T cell reactivity for peanut-derived epitop
in the skin of a young infant with aropic dermatitis. J Allergy Clin lmmunol.
1998;101:207-9.
9. Li XM, Kleiner G, Huang CK. Murine model of atopic dermatitis associated with
food hypersensitivity. J Allergy Clin lmmunol. 2001; 107: 693-702.
10. Soothil JF. The atopic child. Dalam : Soothil JF, Hayward AH, Wood CBS,
penyunting. Paediatric immunology. Oxford: Blackwell Scientific Publications;
1982.h. 248- 71.
11. Sigurs N, Hatterig G, Kjellman B. Maternal avoidance of eggs, cow's milk and fish
during lactation : Effect on allergic manifestations, skin prick test, and spesific
lgE antibodies, in children at age 4 years. Pediatrics 1992; 89:735-39.
12. Kajosaari M, Saarinen UM. Prophylaxis of a topic disease by six months total solid
food elimination. Acta Paediatr Scand 1983;73:411-14.
13. Mygind N. Essential Allergy. Oxford : Blackwell Scientific Publication
Publications; 1986. h.384-86
14. Lindfors A, Enockson E. Development of a topic disease after early administration
of cow's milk formula, Allergy 1988;43: 11-16
15. Hanifin JM. Aropic dermatitis in infant and childhood.Dalam : Hurtwitz S,
pcnyunting.Pediatric Dermatology. Philadelphia: WB Saunders Company; 1991,
h.763-91
16. Sampson HA, McCaskill CC. Food hypersensitivity and atopic dermatitis.
Evaluation of 113 patients. J Pediatr 1985; 107:669
17. Tupker RA, De Monchy JG, Coenraads PJ. Induction of atopic dermatitis by
inhalation of house dust mite. J Allergy Clin lmmunol.1996; 97: 1064-70.
18. Wheatley Lm, Platts-Mills TAE. Role of inhalant allergens in atopic dermatitis.
Dalam Leung DMY, Greaves MW, eds: Allergic skin disease: a multidisciplinary
approach. New York, 2000. Marcel Dekker.
19. Tan BB, Weald D, Strickland I. Double-blind controlled trial of effect of house
dust-mite allergen avoidance on atopic dermatitis. Lancet. 1996;347: 15-8.
20. Gutgesell C, Heise S, Seubert S. Double-blind placebo controlled house dust
mite control measures in adult patients with acopic dermatitis. Br J Dermatol.
2001;145: 70-74.
21. Holm L, Bengtsson A, Van Hage Hamsten M. Effectiveness of occlusive bleeding
in the treatment of atopic dermatitis- a placebo controlled trial of 12 months
duration. Allergy. 2001; 56:152-8.
Ch
22. Scalabrin OM, Bavbek S, Perzanowski MS. Use of specific lgE in assessing the
relevance of fungal and dust mite allergens to atopic dermatitis: a comparison
with asthmatic and non asthmatic controlled subjects. J Allergy Clin Immunol.
1999;104: 1273-9.
23. Schafer T, Heinrich J, Wjst M. Association betwen severity of atopic eczema
and degree of sensitization to aeroallergens in school children. J Allergy Clin
Immunol. 1999; 104: 1280-4.
24. Leyden JJ, Kligman AM. The case for steroids-antibiotic combinations. Br J
Derrnarol. 1977;96: 179-87.
25. Leung DY, Herbeck R, Bina P Presence of lgE antibodies to staphylococcal
exotoxins on the skin of patients with atopic dermatitis: evidence for a new group
of allergens. J Clinn invest. 1993; 92: 1374-80.
26. Breuer K, Wittmann M, Bosche B. Severe atopic dermatitis is associated with
sensitization to staphylococcal enterotoxin B (SEB). Allergy. 2000;55: 551-5.
2 7. Bunikowski R, Mielke ME, Skarabis H. Evidence for a disease-promoting effect
of staphylococcus aureus-derived exotoxin in atopic dermatitis. J Allergy Clin
Immunol. 2000; 105: 814-19.
28. Strickland I, Hauk PJ, Trumble AE. Evidence for superantigen involvement in
skin homing ofT cell In a topic dermatitis. J Invest Dermatol. 1999; 112: 249-53.
29. Herz U, Schnoy N, Borelli S. A human SCIO mouse model for allergic imunc
response bacterial superantigen enhances skin inflammation and suppresses lgE
production. J Invest Derma to I. 1998; l l 0: 224-31.
30. Hofer MF, Herbeck RJ, Schlievet PM. Staphylococcal toxin augment specific [gE
responses by a topic patients exposed to allergens. J Invest Derma to I. 1999; 112:
171-6.
31. Hauk PJ, Hamid QA, Chrousos GP Induction of corticosteroid insensitivity
in human PBMCs by microbial superantigens. J Allergy Clin Imrnunol. 2000;
105: 782-7.
32. Strange P. Skov L, Lisby S. Staphylococcal enterotoxins B applied on intact normal
and intact a topic skin induces dermatitis. Arch Dermatol. 1996; 132: 27-3 3.
33. Skov L, Olsen JV, Giorno R. Application of Staphylococcal enteroroxins B
on normal and a topic skin induces up-regulations of T cell by a superantigcn-
mediated mechanism. J Allergy Clin Immunol. 2000;105: 820-826.
34. Michie CA, Davis T. Atopic dermatitis and staphylococcal superantigens. Lancer.
1996; 347: 324.
35. Leung DY, Gately M, Trumble A. Bacterial superantigens induce T cell expresions
of the skin selective homing receptor, the cutaneous lymphocyte-associated
antigen, via stimulation of interleukin 12 production. J Exp Med. 1995;181:
747-53.
36. Nilsson EJ, Henning CG, Magnusson]. Topical corticosteroid and staphylococcus
aureus in atopic dermatitis .. J Am Acad Dermatol. 1992;27: 29-34.
3 7. Remitz A, Kyllonen H, Grandlund H. Tacrolimus ointment reduces staphylococcal
colonizations of a topic dermatiti lesions. J Allergy Clin lmmunol. 2001; 107: 196- 7.
38. Cho SH, Strickland I, Tomkinson A. Preferential binding of staphylococcus
aureus to skin sites pfTh2-mediated inflammation in a murine model. J Invest
Dermatol. 2001;1[6: 658-62.
57
:'Q!.�� � ...... Lt�i�.I::; •.,,;..:;;.,. �.. "':.._.:..t.�_..:.:_,._, __ ,.,..,,;__,"'-..:_.'.!. ,�.;:,-'
Tata Laksana Dermatit,s Atop, pada Bayi dan Anak - ·
pr-r,r,
._.
·---- .
�
. "'
/.._ ... -..)
: .
i\_ . . .
. ., .... : .. ,ri(\
�OlO
59
eningkatan kejadian penyakit alergi menjadi masa a 1 g o a
61
.. & lu� .........��.,.., �2.:..'1'&..!.; .. �..,�
· �-.:.!::t.1: • ..:..-..:..:..: -..:::......t............. �w.�i...: ........ ,�..J.,..,.;.:.,..1-....!_ ,,�:-- _ : .....(!.!}
Pencegahan Penyakit Alergi podo Boyi don Anok
Ringkasan
Pencegahan primer penyakit alergi pada anak antara lain: pemberian ASI
eksklusif, menghindari paparan asap rokok clan alergen makanan selama
4 bulan pertama kehidupan clan pemberian susu formula terhidrolisat jika
menyusui tidak mungkin pada bayi berisiko tinggi, clan pemberian prebiotik
dan/atau prebiotik. Pemberian formula susu terhidrolisat clan probiotik/
prebiotik untuk pencegahan penyakit alergi masih memerlukan penelitian
lebih lanjut. Langkah-langkah pencegahan sekunder penyakit alergi antara
lain penanganan yang tepat pada dermatitis atopi clan penyakit alergi saluran
pernafasan serta mengindari atau mengurangi paparan alergen pada penderita
alergi.
Daftar Pustaka
1. MAAI's (American Academy of Allergy, Asthma & Immunology), 2012.
Prevention of Allergies and Asthma in Children: Tips to Remember.
2. Arshad SH. 2005. Primary prevention of asthma and allergy. ] Allergy Clin
lmmunol. 116:3-14.
3. ASCIA 2013. Allergy Prevention in Children. http://www.allergy.org.au/patients!
allergy-prevention/allergy-prevention-in-children. 31 Oct. 2013.
4. Bahma SL. 2008. Hypoallergenic formulas: optimal choices for treatment versus
prevention. Ann Allergy Asthma lmmunol. IO! (5): 453-9.
5. Dang D, Zhou D, Lun Z ], Mu X, Wang D Xand Wu H. 2013 Meta-analysis oi
probiotics and/or prebiotics for the prevention of eczema.] Int Med Res. 41: 1426
6. Haahtela T, Leena & Custovic A. 2011 Prevention of allergic diseases. In. Rubbv
P, Gergio WC, Stephen TH, Richard FL (eds): WAO White Book on Allergy.
Chap 35: 133-7.
7. Johansson SGO & Haahtela T. 2004. World Allergy Organization Guidelines for
Prevention of Allergy and Allergic Asthma. Int Arch Allergy Immunol. 135:83-92.
8. Lowe A], Dharmage SC, Allen K J, Tang M L K, and Hill DJ. 2013. The role
of partially hydrolyzed whey formula for the prevention of allergic disease. Clin
lmmunol. 9(1):31-41.
9. Matricardi PM, Bjorksten B, & Bonini S, et al., 2003. Microbial products in allergy
prevention and therapy. Allergy. 58: 461-7 I.
10. Muche-Borowski C, � M, & Reese I, et al., 2009. Clinical Practice Guideline
Allergy Prevention. Dtsch Arztebl Int. 106(39): 625-31.
11. Muche-Borowski C, � M, Reese I, 2010. Allergy prevention. I Dtsch Dermatol
Ges. 2010, 8(9):718-24.
12. Prescott S & Nowak-Wegrzyn A. 2011. Strategies to prevent or reduce allergic
disease. Ann Nutt Metab: 59(suppl 1):28--42.
13. Puliti B 2013. Food for Thought: Preventing Food Allergies. http://www.
• � �� .- -" �ill •
65
..... - � 0,S "' "" , ....... -',CO, ........ �--""• ,.......,.. _">_• '-'A-,s[-,..t..., ........ �,--,-J •.;.>�..,., � ..t',,c, - - ,:__.=,_.�
Panas: panas merupakan geja!a sekunder dari penyakit rematik anak yang
aktif hal ini didapatkan pada 50% sampai 86% kasus. Tidak ada kurva
panas khusus yang didapatkan tetapi harus dibedakan antara panas yang
disebabkan penyakit rematik anak dengan infeksi yang menyertai.
Fatigue atau lemah adalah gejala yang sering dijumpai pada penderita
rematik anak terutama pada saat periode aktif dari penyakit. Hal ini juga
sering dijumpai merupakan gejala satu-satunva yang menetap setelah
penderita diterapi. Anemia, panas yang tidak terlalu tinggi juga beberapa
inflamasi akan dapat menimbulkan gejala fatigue
Penurunan berat badan adalah salah satu gejala yang sering dijumpai
pada anak dengan penyakit rematik anak yang kronis. Hal ini bisa
disebabkan oleh kelainannya sendiri maupun karena kondisi anak yang
asupan makanannya terganggu. Untuk menegakkan diagnosis penyakit
rematik anak dibutuhkan anamnesis, prosedur pemeriksaan umum clan
juga pemeriksaan artririts pada anak. Sampai saat ini belum ada standar
pemeriksaan di bidang rematik anak, tetapi ada beberapa pemeriksaan
tambahan yang harus dilakukan pada penderita rematik anak
Teknik pemeriksaan
Pengamatan Pasien
Pada penderita rematik anak maka yang perlu dipelajari adalah cara berjalan
(gait) yang sangat penting untuk menunjang diagnosis (secara detail akan
dibahas pad a bagian pemeriksaan artritis). Hal lain yang harus diperhatikan
yaitu postur tubuh, apakah didapatkan skoliosis, lordosis ataupun kifosis pada
penderita.
66
dicatat. Yang harus diperhatikan selain penurunan berat badan dikarenakan
penyakitnya maka kenaikan berat badan ataupun tinggi badan yang kurang
dari persentil perkiraan harus dicatat karena bisa merupakan efek samping
dari terapi steroid yang diberikan.
Ill. Kulit
Warna (sianosis, ikterus, pucat, eritema), tekstur, hidrasi, edema, rnanifestasi
perdarahan, luka , pembuluh melebar clan arah aliran darah, hemangioma,
area cafe - au - lait clan nevi , bercak mongolia ( biru - hitam ), pigmentasi,
turgor, elastisitas, clan nodul subkutan. Sebagian besar penderita rematik
anak menunjukkan kelainan kulit, salah satu kelainan kulit yang sering
ditemui adalah ruam malar, atau ruam kupu-kupu, Ruam ini rerlihat
pada 60-85 % anak-anak dengan LES ataupun dermatomiositis, umumnya
digambarkan sebagai eritem, tebal, non - pruritus, clan non - jaringan parut.
Ruam membentang di atas jembatan hidung, dagu sampai daun telinga clan
dipisahkan oleh lipatan nasolabial. (Gambar 1).
Ruam makulopapular pada lupus sangat fotosensitif clan sering timbul bila
didapatkan flare sistemik pada pasien. Oleh karenanya dianjurkan memakai
tabir marahari. (gambar 2)
Ruam diskoid (gambar 3), pada anak lebih jarang dibandingkan pada
dewasa, hanya 10% dari pasien. Ruam yang pada akhirnya akan berubah
menjadi jaringan parut ini sering dijumpai pada dahi clan kulit kepala.
Penampilannya bersisik sering dikelirukan sebagai lesi tinea. Ruam jenis lain
yang bisa dijurnpai adalah lesi kemerahan yang khusus pada penderita AI] tipe
sisternik yaitu ruam salmon pink, cepat hilang clan timbul saat panas.
Karaktenstik yang khas pada Dermatomiositis juvenil adalah perubahan
warna berbentuk heliotrope (yaitu biru keunguan) pada kelopak rnata atas
(gambar 4), gambaran ruam malar clan adanya papule Gottron bersisik pada
buku-buku jari (gambar 5). Ataupun kalsinosis subkutan (gambar 6) sebagai
komplikasi dermatomiositis
Pada penderita penyakit Kawasaki sering dijumpai ruam yang nya timbul
pada fase awal penyakit, pada beberapa pasien banyak di sekitar selangkangan.
Sering wamanya merah terang, dapat berbatas tegas dengan berbagai ukuran
atau beberapa ruam menyatu menjadi besar Kulit mengelupas sekitar jari clan
tangan (gambar 7 clan 8).
67
Standar Pemeriksaan FISis pada B,dang Remato!og, Anak · ' "' • "'. " •
Mata
Mata merupakan organ yang sangat penting clan harus diperiksa secara berkala
pada penderita rematik anak. Manifestasi penyakit rematik anak pada mata
cukup banyak dan mengancam kebutaan. Selain oleh karena penvakit, kelainan
mata tersebut dapat disebabkan karena pemakaian obat seperti katarak clan
retinopati. Kelainan yang sering dijumpai adalah retinopati, keratokonjuntivitis
sicca, konjuntivitis, uveitis, episkleritis, skleritis, keratitis, perdarahan retina,
vaskulitis retina, retinopati proliferatif, neruritis optik, neuropati iskemik optic.
A·'.!l;;<J\i, ;.-.:.� .... !.,.'!l:tl • •..,..•/r'� -· � '1 ,t'�--" �• • ,.__ • -.- .� , '" •
· , • Zahrah Hikmah
69
' l!i, , --"4
Gambar7. Gambar8.
70
TT?TIFF f!iliiJPiUPHI!
Gambar 16. Synechia sebagai Gambar 17. Konjungtivitis pada Gambar18. Gambaran cooton
komplikasi uveitis pada pende- penderita penyakit Kawasaki wall pad a penderita retinopati
rita AIJ tipe ofigoartritis lupus
Paru-paru
Jenis pemapasan, dispnea, perpanjangan jatuh tempo, batuk, ekspansi,
frernitus, suara redup pada perkusi, resonansi, nafas clan suara suara, rales,
rnengi jangan lupa cari tanda-tanda pleuritis.
Jantung
Lokasi dan intensitas apeks, prekordial menggembung, sensasi, ukuran, bentuk,
auskultasi (kecepatan, irama, kekuatan, kualitas suara - dibandingkan dengan
pulsa untuk menilai kekuatan dan irama dan sebagainya), murmur (lokasi,
posisi dalam siklus, intensitas, pitch, pengaruh perubahan posisi, transmisi).
Periksa apakah ada kemungkinan kelainan irama jantung, efusi perikard,
ataupun kardiomiopati.
Abdomen
Ukuran clan kontur, peristaltik terlihat, gerakan pemapasan, pembuluh
vena (distensi, arah aliran), organ teraba atau massa (ukuran, bentuk,
posisi , mobilitas), gelombang cairan, refleks, denyutan femoral, bising usus.
71
.,,,.� � ... , �-·.;:rl!", ....._1..'.J.t·�. -• ...�.; l ,.
Jika hati teraba di bawah arkus kosta kanan, jumlah rentang harus dicatat.
Palpasi abdomen yang mendalam harus dilakukan pada setiap anak. Dicari
kemungkinan adanya hepatomegali atau splenomegali.
Pemeriksaan neurologis
Fungsi serebral: perilaku umurn, tingkat kesadaran, kecerdasan, status ernosi,
memori, orientasi, ilusi, halusinasi, interpretasi sensorik kortikal, integrasi
motorik kortikal, kemampuan untuk memahami clan berkomunikasi,
pemahaman pendengaran - verbal dan visual - verbal, pengakuan objek
visual , pidato , kemampuan menulis, kinerja motor tindakan terampil.
Carilah kemungkinan adanya gejala ataupun gangguan neuropsikiatri seperti
perubahan perilaku.
Sistem muskuloskeletal
Salah satu sistem pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk pemeriksaan
muskulosklecal adalah Pediatric Gait Arms Legs Tulang belakang (pGALS)
yaitu modifikasi dari pemeriksaan muskuloskleletal pada penderita dewasa ..
lndikasi pemeriksaan pGALS pada anak adalah sebagai berikut:
Nyeri sendi, orot ataupun tulang.
Panas tidak jelas
Limp atau pincang
Regresi milestones
Clumsy tanpa adanya kelainan neurologis.
Anak dengan penyakit kronis dan ada kaitan dengan kelainan
muskuloskeletal.
72
• ·- ••• "' : • - • �s>.-· • .. , .....
. • • • Zahrah H1i<mah
. . . .
.. . ..
'
tang an
Supinasi siku
Fleksi sendi kecil jari2
. ���-
···' ,._
fK llNS
PERPOSTAKAAN
B,,r.. ILi\-fU
;URSRUO DR. MO£WARDJ f
I( ·
KSEf-lt\TAI\' Al'iM<
. 1
·.·
i
-----A�.:_:A�R�T�A�-..:.- I
-:J
K
•• J-' • .,,.t��- ....... 1 .. ,.-,!..J.:....t,_ .� oi ·� ... � ....'i:- .....'.ll..!'.-..:.::J.:r...uJ, ... ,_ ......•....: :v..11 i); ,'C.>£,�'
.
i·1 c
t :
J:{,
&::: :-::-.
Coba sentu bahumu dengan Fleksl tulang belakang leher
telingamu lateral
Rasakan adanya efusi pad sendi Efusi sendi (bila jumlah efusi
lutut sedikit kadang terlewat)
Simpulan
Penyakit rematik pada anak dapat mengenai hanya satu bagian badan
ataupun hampir semua organ, dimana hal ini dapat menimbulkan nyeri
clan ketidak nyamanan hidup bahkan kecacatan permanen serta kematian.
Untuk mencegah terjadinya kecacatan clan kematian dibutuhkan deteksi
lebih dini, diagnosis yang tepat serta pengobatan yang komprehensif. Kunci
untuk membuat diagnosis yang tepat adalah dengan melakukan anamnesa
secara benar clan pemeriksaan fisik yang teliti,
Paediatric Gait Arms Legs Spine (pGals) adalah salah satu pendekatan yang
cukup sederhana untuk kasus rematik anak, sehingga mudah digunakan.
Daftar pustaka
1. Ayjal J. Ocular manifestations of autoimmune disease, Am faro
physician. 2002 ;66(6):991-8.
2. Foster HE, Jandial S. pGALS - A screening examination of the musculoskeletal
system in school-aged children. Downloaded from www.arc.org.uk!about arth!
rdr5.htm.
)_ Cassidy JT, Petty RE. Chronic arrritis in childhood. In: Cassidy JT, Petty RE, Laxer
RM, LindLESy CB, eds. Textbook of Pediatric Rheumatology. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2005:206-60.
4. Melman T Shashana. Physical examination In. Schwartz, M. William, ed. Clinical
handbook of pediatrics. Maryland, USA: Lippincot William & Wilkins. 2003: 7-31
Woo P, Ronald M. Laxer, Sherry DD. General presentation of musculoskeletal
-oblems in Childhood. Woo P, Ronald M. Laxer, Sherry DD, eds. Pediatric
-rmarologv in Clinical Practice. London: Springer. 2007: 3-15.
Pemeriksaan Laboratorium
pada Penyakit Autoimun
Reni Ghrahani
77
�� ,., • :... • 1.� , • ,.t.::::.:..-
.:;- ....... �--o,,Z.'l.�� ... ,_-·..c.,-,,..t,.,� .� ... , ••
Penanda lnflamasi
Protein serum yang cliprocluksi sebagai respons inflamasi clapat dideteksi sebagai
pcnanda inflamasi. Protein ini sering disebut sebagai reaktan fase akut (acute
/Jhase reactants) , cliprocluksi di hati sebagai respons terhaclap stres. Sitokin
proinflamasi (IL-1, IL-6, dan TNF-alpha) akan menginduksi terbenruknya
reaktan fase akut seperti CRP, fibrinogen clan haptoglobin. Jenis protein lain
seperti albumin tidak sensitif terhaclap sitokin inflamasi, sehingga konsentrasi
serumnya malah sering menurun. Penancla inflamasi bukanlah alat diagnostik,
namun hanya menunjukkan abnormalicas yang sering terjacli pada penyakit
auroirnun, infeksi, keganasan dan beberapa penyakit lainnya.1 Beberapa
penanda inflamasi yang dapat cliukur aclalah sebagai berikut:
LED
Laju endap clarah adalah pemeriksaan yang mengukur jumlah eritrosit
yang mengendap dalam tabung pada suaru wakru tertentu dan sangat
bergantung pada konsentrasi protein serum, karena eritrosit ini akan
berinteraksi clengan protein serum, sehingga proses inflamasi akan
meningkatkan LED. Laju enclap clarah dipengaruhi berbagai faktor antara
lain usia, jenis kelamin, morfologi eritrosit dan kadar immunoglobulin
serum. Walaupun LED bukan alat diagnostik namun berguna untuk
memantau aktivitas penyakit clan respons terapi.serta merupakan
petunjuk adanya stress inflamasi atau infeksi. Pada penyakit Rheumatoid
Arthritis (RA), meningkatnya LED berkorelasi dengan aktivitas penyakit,
sebaliknya menurunnya LED rnerupakan tanda keberhasilan terapi clan
menurunnya proses inflamasi. u
Feritin
Feritin serum adalah protein penyimpan zat besi, yang sintesisnya diatur
oleh zat besi intraseluler, sitokin (TNF-alpha, IL-1, clan IL-6), beberapa
procluk seres oksidatif clan growth factor. Pacla Juvenile idiopathic arthritis
OJA) tipe sistemik sering clitemukan meningkatnya kaclar feritin, l.3
78
�I�•?,)•/<,<...••
.
• • .,:
.
<;...'i,!t:.J, !.•-�·A
.
� ,'
'
79
� � !... �=. ...;:ri:.:.,,::.:' • " ·�-,...... ·�'!..��
Pemenksaan Laboratorium pada Penyakit Autoimun . ·
Anti-SRP (anti signal recognition panicle), anti- J0-1, anti-Mi-Z and anti-
PM/Scl
Anti-SRP, anti- J0-1, anti-Mi-Z clan anti-PM/Sci adalah antibodi spesifik
terhadap peradangan otot karena memiliki spesivisitas tinggi terhadap
autoimmune inflammatory myopathies (!IM) .1 ·3
Komplemen
Komponen tertentu seperti C3, C4 dan faktor B dapat diukur dengan
nefelometri dan ELISA. Assay total komplemen hemolitik plasma (CH50)
untuk menilai fungsi integritas jalur klasik. Kadar komplemen serum
mernperlihatkan aktivitas penyakit. Pada penyakit yang didasari proses
kompleks irnun, protein komplemen serum terpakai sehingga kadamya
dalam serum akan menurun. Sebagai contoh pada glomerulonefritis SLE,
kadar C3 clan C4 akan ditemukan menurun. U·5
• lmunoglobulin
Mengukur kadar immunoglobulin adalah hal penting dalam evaluasi
imunologi. Imunoglobulin merefleksikan fungsi sel B (produksi humeral
dan interaksi sel T) menbantu mendeteksi suatu penyakit. Pengukuran
kadar immunoglobulin kuantitanf terutama lgG, lgA dan lgM diukur
dengan nefelometri.1
81
Pemeriksaan laboratorium poda Pehyok,t Autoimun · · -
Krioglobulin
Krioglobulin ada suatu immunoglobulin yang mengendap dalam suhu
dingin. Pada keadaan suatu penyakit, antibodi berikaran dengan
protein komplemen clan berbagai peptida, membentuk imun kompleks
clan menyebabkan kerusakan jaringan. Namun krioglobulin ini bukan
merupakan indikator spesifik suatu penyakit clan jarang dirernukan pada
anak.1
Flowsitometri
Flowsitometri adalah teknik dengan menandai partikel/sel yang melewati sinar
laser sehingga populasinya dapat dihitung, sedangkan fenotipnya ditandai
dengan karakteristik sel clan protein permukaan.1
Pemeriksaan Sitokin
Metode laboratorium yang digunakan untuk mengukur kaclar sitokin antara
lain flowsitometri clan ELISA Sitokin yang berperan dalam proses inflamasi
antara lain IL-!, IL-6 clan TNF-a, sehingga sitokin ini menjacli target terapi.
Artritis rernatoid adalah penyakit autoimun yang menggunakan anti IL-1, anti
IL-6 clan anti-TNFa clalam taralaksananya.':"
82
11175771EJ71PP iV!Wfli!fiiIB
Simpulan
Penyakit autoimun adalah hilangnya homeostasis imun normal, sehingga
timbul respons abnormal terhadap selfcell, ditandai terbentuknya sel T se1f-
reactive, autoantibodi, clan penanda inflamasi. Ditemukannya autoantibodi
pada seorang individu bukan berarti adanya suatu penyakit autoirnun, namun
harus disertai adanya tanda clan gejala yang mendukung suatu penyakit
autoimun. Pemeriksaan laboratorium pada penyakit autoimun ditujukan
untuk menegakkan diagnosis, menentukan keparahan penyakit, prognosis
serta memantau progresivitas penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan dalam
manajemen penyakit autoimun anrara lain hematologi rutin, panel metabolik
komprehensif protein fase akut, tes imunologis, serologi, flow sitometri, analisis
sitokin clan HLA typing.
Daftar pustaka
1. Castro C, Gourley M. J Allergy Clin lmmunol. 2010 Februari;l25(2 Suppl
2):5238--4 7. doi: 10.1016/j.jaci.2009.09.041.
2. Hasson SS, AI-Balushi MS, Al- Jabri AA. The role of the autoimmunity laboratory
in autoimmune diseases. Asian Pacific Journal ofTropical Disease. 2012: 159-62.
3. Beitz LO, Miller LC, Schaller JG. Rheumatic disorder. Dalam: Sthiem,ER, Ochs
HD, WinkelsteinJA, penyuming. lmmunologic disorders in infants and children.
Edisi ke-5. Philadelphia.Saunders. 2004:hal. l 103- 78.Von FeldtJM. Antinuclear
antibody. American College of Rheumatology. 2012: 1-4.
4. Prakken BJ, Albani S. Inflammation. Dalam: Cassidy JT, Petty RE, Laxer RM,
Lindley CB, penyunting. Textbook of Pediatric Rheurnatologv. Edisi ke-6.
Philadelphia:Saunsers. 2011 :hal.53-9.
5. Berger M, Frank MM. The serum complemenet system. Dalam: Sthiem,ER,
Ochs HD, Winkelstein JA, penyunting. Immunologic disorders in infants and
children. Edisi ke-5. Philadelphia.Saunders. 2004:hal.157 -87.
Tata Laksana Terkini Artritis ldiopatik Juvenil
Dina Muktiarti
84
.
L ,, _.., � ·- • I..• �,,- -
'
Klasifikasi
American College of Rheumatology(ACR) membuat kriteria artritis rematoid
juvenil (ARJ) yang telah dipakai secara luas, divalidasi dan direvisi. Diagnosis
AIJ ditegakkan pada artritis yang terjadi pada anak di bawah usia 16 tahun.
Walaupun artritis yang terjadi pada waktu 6 minggu sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis, namun jangka waktu 6 bulan diperlukan untuk
menentukan tipe AIJ yang pasti. Pada perkembangan selanjutnya, European
League Against Rheumatism (EULAR) membuat istilah artritis kronik juvenil
pada tahun 1977 dan ILAR mengeluarkan istilah artritis idiopatik juvenile
pada tahun 1993, yang berbeda dengan kriteria ACR (Tabel 1 dan Tabel 2).1
Table 2. Perbandingan kriteria klasifikasi ACR, EULAR, ILAR untuk artritis kronik pada a'?' -
�\
Karakterlstik ACR EULAR ILAR -- \'\
Tipe onset 3 6 6
Subtipe 9 None 1
Usia onset artritis <16 tahun <16 tahun <16 tahun
Lama artritis > 6 minggu > 3 bulan > 6 minggu
KriteriaJAS Tidakada Ada Ada
KriteriaJPsA Iidak ada Ada Ada I
Kriteria in�ammatory bowel disease Tidakada Ada Ada I
Eksklusi penyakit lain Ya Ya Ya I
ACR:American College of Rheumatology; EULAR:European League Against Rheumatism; :=t
League of Associations for Rheumatology; JAS:juvenile ankylosing spondylitis; JPsA:juvenile ps · c arthritis.
Kriteria AIJ umum menurut ILAR adalah artritis yang tidak diketahui
penyebabnya yang dimulai sebelum usia 16 tahun dan menetap minimal selama
6 minggu dan penyebab lainnya sudah dieksklusi. Prinsip klasifikasi ini adalah
85
... ,..,. � • ,J.. 'J;
Amitis idiopatik juvenile sistemik adalah artritis pada satu atau lebih
scndi dengan atau didahului oleh demam minimal 2 minggu dengan ciri
quotidian, minimal 3 hari yang disertai dengan l atau lebih kriteria di bawah ini:
1. Rash kemerahan yang tidak menetap/cepat menghilang
2. Pembesaran kelenjar getah bening generalisata
3. Hepatomegali dan/atau splenomegali
4. �rositjs.
Ekslusi untuk kategori adalah a. b, c, d.'
Poliartritis (RF negatif) adalah artritis yang mengenai 5 atau lebih sendi
selama 6 bulan, dan res RF negatif Eksklusi pada kategori ini adalah a, b, c,
d, e. Poliartritis (RF positif) adalah artritis yang mengenai 5 atau lebih sendi
selama 6 bulan, dan 2 atau lebih tes RF positif minimal dengan jarak 3 bulan
pada masa 6 bulan penyakit berlangsung. Eksklusi pada kategori ini adalah
a, b, c, e.
Artritis psoriatik adalah artritis clan psoriasis atau artritis ditambah
minimal 2 dari kriteria di bawah ini:
1. Daktilitis
2. Nail pitting atau onikolisis
3. Psoriasis pada keluarga inti.
Eksklusi untuk kategori ini adalah b, c, d, e.
P,F,
Artritis terkait entesitis adalah artritis clan entesitis, a tau artritis, a tau entesitis
dengan minimal 2 kriteria di bawah ini:
1. Riwayat/adanya nyeri pada sendi sakroiliaka dan/atau nyeri lumbosacral
2. Adanya antigen HLA-B27
3. Onset artirtis pada laki-laki berusia lebih dari 6 tahun
4. Uveitis anterior akut/simptomatik
5. Riwayat spondylitis ankilosing, artritis terkait entesitis, sakroiliitisdengan
IBD, sindrorn Reiter's, atau uveitis anterior akut pada keluarga inti.
Eksklusi pada kategori ini adalah: a, d, e
Tata laksana
Tujuan tata laksana Al) aclalah untuk mengatasi nyeri clan inflamasi,
menjaga fungsi sendi, mendukung perturnbuhan clan perkembangan anak
serta kualitas hidup. Perkembangan yang nyata terjadi pada pengobaran Al]
dengan pemberian disease-modifying antirheumauc agents (DMARDs) clan
terapi biologis. Tata laksana fisik/rehabilitasi medik penting untuk mendukung
medikamentosa kareria terapi ini akan rnenjaga dan rneningkatkan kekuatan
otor, range of motion, dan kemampuan untuk aktivitas sehari-hari. Tata laksana
operatif dilakukan apabila sudah ada kerusakan sendi berat.1
Strategi tata laksana AIJ akan bergantung kepada klasifikasi penyakit pada
pasien. American College of Rheumawlogy telah rnengeluarkan rekomendasi tata
laksana AIJ tahun 2011. Rekomendasi ini mernbuat definisi aktivitas penyakit
clan gambaran prognosis buruk untuk seriap kategori (Tabel 4 clan Tabel 5).
Rekomendasi ACR untuk tata laksana AIJ oligoartritis dan poliamitis dapat
dilihat pada Gambar 1 clan Gambar 2.4 Konsensus lain khusus untuk AIJ
sistemik dibuat oleh The Childhood Arthritis and Rheumatology Research
Alliance (CARRA) pada tahun 2012 (Gambar 3, Gambar 4, Gambar 5, clan
Gambar 6).5
Pengobatan inisial sebagian besar pasien AI] adalah obat anti-inflamasi non
steroid (OAINS) clan injeksi kortikosteroid intra-artikular. Pemberian OAINS
dilakukan untuk mengontrol nyeri clan inflamasi sebelum memulai tata laksana
[ini kedua. Pengobatan yang clapat diberikan antara lain adalah naproksen
(15-20 mg/kg/hari dibagi menjadi 2 dosis, dosis maksimal 500 mg), diklofenak
(2-3 mg/kg/hari dibagi menjadi 3 dosis, dengan dosis maksimal 50 rng/kali),
atau i�40 mg/kg/hari dibagi menjadi 3 dosis, maksirnal 800 mg/kali).':'
Tata Laksaria Terkm, ArtritfS ld1opatik Ju�en,I - -
-------
serositis.
Artritis psoriatik P>L Sendi kecil atau 10% Nail pits, onikolisis,
2 puncak: 2-4 tahun sendi besar, daktilitis, psoriasis,
dan 9-11 tahun simetris/asimetris. riwayat keluarga
5%-10% psoriasis.
88
·--·--· • :· _ � ....i s I J\ •• M �- ..:..-1�-:-.x:.;:� '> .:t� - ' ,, M ....pA , .. ,.,- •
. Dina Muktiarti
89
: � ...�
Tata Laksana Terkini Artntis ld1opat1k Juvenil _ . .
Pemantauan
Pernanrauan dilakukan dengan menilai perbaikan klinis, penilaian jumlah
sendi yang aktif disabiliras, clan efek samping pengobatan. Pemantauan lain
selain masalah sendi adalah pemantauan nutrisi, tumbuh kembang, osteopenia/
osteoporosis yang menjadi konsekuensi dari penyakit AI] clan pengobatan
korrikosteroid, clan perneriksaan mata. Rekomendasi pemeriksaan mata pada
pasien AIJ dapat dilihac pada Tabel 6. Dukungan psikososial juga diperlukan
karena sekitar 5% pasien AIJ dapat mengalami depresi clan sekitar 10%
mengalami ansietas.1
Simpulan
Artritis idiopatik juvenil merupakan salah satu penyakit kronik yang sering
terjadi pada anak. Perkembangan pengobatan AIJ cukup pesat, namun
keterbatasan di Indonesia membuat pilihan pengobatan dengan MTX menjadi
pilihan utarna. Kortikosteroid menjadi pilihan pada pengobatan pasien AIJ
sisternik clan sebaiknya dihindari pada AI] subtipe yang lain. Tata laksana
komprehensif yang rneliputi berbagai disiplin ilmu diperlukan pada penanganan
kasus AIJ.
SFEIITF if
Tabel 4. Gambaran prognosis buruk dan aktlvltas penyakit artritls pada 4 sendi atau kurang
PROGNOSIS BURUK (harus memenuhi 1 kriteria)
Artritis panggul atau servikal
Artritis pergelangan kakl atau pergelangan tangan DAN peningkatan penanda
inflamasi yang nyata
Gambaran kerusakan radiografik ( erosi atau penyempitan ruang sen di)
TINGKAT AKTIVITAS PENYAKIT
Aktivitas penyakit rendah (harus memenuhi semua kriteria)
< 1 sendi mengalami artritis aktif
Laju endap darah/C·reactive protein normal
Physician global assessment untuk keseluruhan aktivitas penyakit < 3 dari 10
Patient/parents global assessment untuk kesejahteraan (well being)< 2 dari 10
Aktivitas penyakit sedang (tidak memenuhi kriteria aktivitas penyakit rendah atau tinggi)
1 atau lebih kriteria aktivitas penyakit rendah DAN kurang dari 3 kriteria untuk aktivitas penyakit tinggi
label 5. Gambaran prognosis buruk dan aktivltas penyakit artritis pada s sendi atau lebih
PROGNOSIS BUR UK (harus memenuhi 1 kriteria)
Artritis panggul atau servikal
Rheumatoid factor (RF) ATAU anti-cyclic citrullinated peptide antibodies positif
Gambaran kerusakan radiografik ( erosi atau penyempitan ruang sendi)
TINGKAT AKTIVITAS PENYAKIT
Aktivitas penyakit rendah (harus memenuhi semua kriteria)
< 4 sendi mengalami artritis aktif
Laju endap darah/C-rcactive protein normal
Physician global assessment untuk keseluruhan aktivitas penyakit < 4 dari 10
Patient/parents global assessment untuk kesejahteraan (well being)< 2 dari 10
Aktivitas penyakit sedang (tidak memenuhi kriteria aktivitas penyakit rendah atau tinggi)
1 atau lebih kriteria aktivitas penyakit rendah DAN kurang dari 3 kriteria untuk aktivitas penyakit tinggi
91
l-<�� ''c�' :a!.'... ,.. � ii.,;,,;
T.ata Laksana Terkini Artritis ld1opatik Juvenif ... �
fojck.5i
glukokortikoid
i.ntrHrtikular
M�totrek.,at
Gambar 1. Rekomendasi ACR untuk pasien dengan artritis pada 4 sendi atau kurang.s
92
���������·���� ����·���������-,
- J.,: '.! ._,,, , .. •Ii•< vi "� I ,, > _ •• _ �
• · · Dina Muktiarti
TNF-alpha inihibitor
kedua atau
Abatacept
Gambar 2. Rekomendasi ACR untuk pasien dengan artritis paday sendi atau kurang.'
93
Tota Laksana Terkini Artnt1s ldiopatik JUven1/ . � " .>. -t.:�
q4
. - .
DmaMt1
95
Tata Laksana Terkin, Artr,t,s ldiopat1k Juveml - · · •
q6
' ':) - • � _, • I •- ' • -•
Dina Mukt,arti
97
Tata Laksana Terkini Artrtt,s ld1opatik Juvenil - • •
Tabel 6. Pedoman American Academy of Pediatrics untuk pemeriksaan mata pada kasus AIJ'
SubtipeAIJ Usla onset
< 7 tahun > 7 tahun
Sistemik Tiap tahun Tiap tahun
Kepustakaan
I. Weiss JE, Ilowite NT Juvenile idiopathic arthritis. Pediatr Clin N Am. 2005;
52: 413-42
2. Gowdic PJ, Tse SML. Juvenile idiopathic arthritis. Juvenile idiopathic arthritis.
Pediatr Clin N Am. 2012; 59: 301-27.
3. Petty RE, Southwood TR, Manners P, Baum J, Glass DN, Goldenberg J, dkk.
International League of Associations for Rheumatology Classification ofJuvenile
Idiopathic Arthritis: second revision, Edmonton, 2001. J Rheurnatol. 2004; 31:
390-2.
4. Beukelman T. Patkar NM, Saag KG, Tolleson-Rinehart S, Cron RQ, deWitt
EM, dkk. 2011 American College of Rheumatology Recommendation for the
treatment of juvenile idiopathic arthritis: initiation and safety monitoring of
therapeutic agents for the treatment of arthritis and systemic features. Arthritis
Care Res. 2011;63: 465-82.
5. DeWitt EM, Kimura Y. Beukelman T. Nigrovic PA, One! K, Prahalad S, dkk.
Consensus treatment plans for new-onset systemic juvenile idiopathic arthritis.
Arthritis Care Res. 2012: 64: 1001-10.
6. Ramanan AY, Whitworth P, Baildam EM. Use of methotrexate in juvenile
idiopathic arthritis. Arch Dis Child. 2003;88:197-200.
7. Becker ML, Rose CD, Cron RQ, Sherry DD, Bilker WB, Lautenbach E.
Effectiveness and toxicity of methotrexate in juvenile idiopathic arthritis:
comparison of 2 initial dosing regimens. J Rheumarol, 2010; 37: 870-5.
8. Tukova J, Chladek J, Nemcova D, Chladkova J, Dolezalova P, dkk. Methotrexate
bioavailabilirv after oral and subcutaneous administration in children with
juvenile arthritis. Clin Exp Rheumatol. 2009; 27:1047-53.
9. Ruperto N, Murray KJ, Gerloni Y, Wulffraat N, de Oliveira SKF, Falcini F. A
randomized trial of parenteral methotrexate comparing an intermediate dose
q8
�. ,�, '(. �,.:,� ... I.·":... : .. J'i.J ·.'. ,-··· > •• �. ,� ..... :.- •• �., • �:.-�
· • Dina Muktiartr
with a higher dose in children with juvenile idiopathic arthritis who failed to
respond to standard doses of methotrexate. Arthritis Rheum. 2004; 50: 2191-201.
lO. Klein A, Kaul I, Foeldvari I, Ganser G, Urban A, HorneffG. Efficacy and safety
of oral and parenteral methotrexate therapy in children with juvenile idiopathic
arthritis: an observationa; setudv with patients from the German Methotrexate
Registry. Arthritis Care Res. 2012; 64: 1349-56.
11. Foell D, Wulffraat N, Wedderburn LR, Wittkowski H, Frosch M, Gerss J.
Methotrexate withdrawal at 6 vs 12 months in juvenile idiopathic arthritis in
remission: a randomized clinical trial. JAMA. 2010; 303: 1266- 73.
99
Oral Tolerance in Allergy:
What is the Mechanism?
Anang Endaryanto
100
,4,• .. ,., �-,,:�1-t V{,i;,;;,l,:,').J.';:!"'.�.-J.;,,.'. V.:..','·•t.', ',•:,,..,·.u� ��� ..-. ... ,���Ti·;r.,,::. ��.,..,..�A·/'...!.·� ..
. · . · . Anang Endaryanto
101
, ..:.� � .a-,Li!J:�:AJ ·u�, -�" ::... , .:,."""'""' .....
Oral tolerance in Allergy: what is the mechanism? • ·. • •
104
.,.., . - . �� ,;, ,, , .. ,�.:: --.• _ � � ··--·, ""
· •. Anang Erldaryanto
r
---::::-::----��������-M�cu osa�
llmmunotherapy (oral, SUl>lngv,,Q
PERPUSTAKAAN
B,�G. ILMU KESEHJ\T,',!\' AN,\f\
H.: UNS I RSVD DR. MOE\\'AijRJ NatveCD4
SUft.AKARTA Tcell
•T-regulatory
cell
Tolerance
lnaoa.d�T-
lnanudlf'K.J,IL·10, TNf..a.
? Downrequlation of aPol>losls
105
Development of natural oral tolerance and
desensitization in cow's milk allergy
Genetic background, prenatal priming, transmission of maternal antibodies,
breast milk composition, gut barrier function, and intestinal flora are some of
the central factors that affect the risk of developing CMA. Optimal timing
and dosage of CM exposure to avoid sensitization is presently unknown. CMA
usually appears shortly, within weeks, of introduction of CM in infancy and
resolves by school age. Intense-specific lgE response to CM predicts prolonged
persistence of CMA. Development of tolerance in CMA appears to involve
a shift from Th2 dominant response toward Thl type responses. lncrease in
numbers and/or activity ofTregs furthermore suppresses Th2 responses. Tregs
express IL-10 and TGF-J3, which among other functions induce in B cells the
production of lgG4 and lgA. Specific lgG4 and possibly also lgA antibodies
promote tolerance to allergens. Specific lgE levels gradually decrease as
tolerance develops. Similar changes in specific antibody levels occur during
CM OIT that successfully induces desensitization.43 The majority of infants
develop oral tolerance to food antigens.
Reference
I. Strobel S, Mowat AM. Oral tolerance and allergic responses to food proteins. Curr
Opin Allergy Clin lmmunol 2006;6:207-13.
2. Worbs Tee al. Oral tolerance originates in the intestinal immune system and relies
on antigen carriage by dendritic cells. J Exp Med 2006; 203:519-27.
3. Coombes JL, et al .A functionally specialized population of mucosa! CD 103 + DCs
induces Foxp3 + regulatory Tcells via a TGF-band retinoic acid dependent mechanism.)
Exp Med 2007;204: 1757-64.
4. Beyer K, et al .Human milk-specific mucosa! lymphocytes of the gastrointestinal tract
display a TH2 cytokine profile. J Allergy Clin lmmunol 2002;.109:707-13.
5. Karlsson MR, Rugrveit ], Brandtzaeg P Allergen-responsive CD4+CD25+ regulatory
Tcells in children who have outgrown cow'smilk allergy.] Exp Med 2004; 199: 1679--88.
6. ShrefflerWG, Wanich N, MoloneyM, Nowak-Wegrzyn A, Sampson HA. Association
of allergen-specific regulatory Tcells with the onset of clinical tolerance to milk
protein . .) Allergy Clin Immuno2009; 123:43-52.
7. Jones SM, etal .Clinical efficacy and immuneregulation with peanut oral
immunotherapy. .] Allergy Clin lmmuno 2009;.124:292-300.
8. Fontenot JD, Gavin MA, Rudensky A.Y Foxp3 programs the development and
function of CD4+CD25+regulatoryT-cells. Nat Immuno 2003;4:330-6.
9. Hori S, Nomura T, Sakaguchi S. Control of regulatory Tcell development by the
transcription factor Foxp3. (Reports). Science 2003; 299: 105 7.
l 0. Bennett Cl.e: al. The immune dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy,X-
linked syndrome (IPEX) is caused by mutations ofFOXP3. Nat Genet 2001 ;27:20-1.
- . nan n aryan o
1 !. Ganeshan K, et al. Impairing oral tolerance promotes allergy and anaphylaxis. a new
murine food allergy model. .] Allergy Clin lmmunol2009; 123: 231--8.
12. Blazquez AB, Berin MC. Gastrointestinal dendritic cells promote Th2 skewing via
OX40L. .] lmmuno 2008; 180:4441-50.
13. Lack G. Epidemiologic risks for food allergy. .] Allergy Clin lmmuno 2008;. l 21: 1331-6.
14. WeinerHL, daCunha Al?Quintana F,Wu H. Oral tolerance. Immuno1Rev20l l;24 l:259.
15. Chen Y, et al .Peripheral deletion of antigen-reactive Tcells in oral tolerance. Nature
1995;376: 177--80. .
16. Chen Y,et al. Oral tolerance in myelin basic protein'I-cell receptor transgenic mice:
suppression of autoimmune encephalomyelitis and dose-dependent induction of
regulatory cells. Proc Nat! Acad Sci USA1996:388--9!.
17. Karlsson MR, Rugtveit ], Brandtzaeg P Allergen-responsive CD4+CD25 + regulatory
Tcells in children who have outgrown cow'smilk allergy..] Exp Med 2004; 199: 1679--88.
18. ShrefflerWG, Wanich N, MoloneyM, Nowak-Wegrzyn A, Sampson HA. Association
of allergen-specific regulatory Tcells with the onset of clinical tolerance to milk
protein . .] Allergy Clin lmmunol 2009; 123:43-52.
19. Curotto de Lafaille MA, et al. Adaptive Foxp3+regulatoryTcell-dependent and-
independent control of allergic inflammation. Immunity 2008; 29: 114-26.
20. Siewert C, et al. Experience-driven development: effector/memory-like
alphaE+Foxp3+ regulatory Tcells originate from both naive Tcells and naturally
occurringnaive-likeregulatorvTcells.].lmmuno!.180, 146-15 5 (2008).
21. Dubois,B.etal. lnnateCD4 +CD25 + regulatoryTcellsarerequiredfororal coleranceandi
nhibitionofCD8 + Tcells mediating skin inflammation. Blood 102,3295-3301 (2003).
22. Maynard,C.L.etal. Regulatory Tcells expressing interleukin 10 develop from
Foxp3+and Foxp3-precursorcells in the absence of interleukin 10. Nat.lmmunol.
8,931-941(2007).
23. CurottodeLafaille,M.A.&Lafaille.J.J. Natural and adaptivefoxp3+regulatoryTcells:
more of the same radivision of labor? Jmmuniry30,626-635(2009).
24. Rubtsov,YP etal. Stability of the regulatory Tcell lineageinvivo. Science 329, 1667-
1671 (2010).
25. Koenecke, C. etal. Alloantigen-specificdenovo-induced Foxp3+ Treg revertinvivo
and donot protect from experimental GVHD.Eur.]. Immunol.39,3091-3096(2009).
26. Curottode La faille, M.A.etal. AdaptiveFoxp3 + regulatory T cell- dependentand-
independent control of allergic inflammation. Immunity 29, 114-126(2008).
27. Hadis,U.etal. Intestinal tolerance requires guthoming and expansion of FoxP3+
regulatory Tcells in the laminapropria. lmmunity34,237-246 (2011).
28. Wagnei;N.etal. Critical role for beta7 integrins information of the gut-associated
lymphoidtissue. Nature 382,366-370(1996).
29. Svensson, M.etal. CCL25 mediates the localization of recently activated CD 8 alphabera
( +) lymphocytes to the small-intestinal mucosa.]. Clin. lnvest.110, 1113-1121 (2002).
30. Cassani, B. etal. Gut-tropic Tcellsthatexpress integrinalpha 4 beta 7 and CCR9 are required
for induction of oral immunetolerance inmice. Gastroenterology l 41,2109-2118(2011).
31. Atarashi,K.etal.InductionofcolonicregulatoryTcellsbyindigenousClostridium species.
Science33 l ,33 7-341(2011) .31-81.Murai,M.etal.lnterleukin IOactsonregulatoryTcells
tomaintain expressionofthetranscription factorFoxp3andsuppressivefunctionin
micewithcolitis.Nat.!mmunol.10, 1178--1184(2009).
107
2.., • ·�2: �..........:,�··-��� ',_,,!'°�t"--�� �.. -"':. • • - _t....!,., ' •
Oral tolerance in1\llergy: what is the mechanism? - · · ·
108
Peran Sensitisasi Alergen Protein Susu Sapi
Terhadap Aktifitas Limfosit Th-1 dan Th-2 dalam
Hubungan dengan Mengi pada Bayi Usia Sampai
1 Tahun
*Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Syiah Kuala-Rumah Sakit Dr. Zainoel
Abidin; ** Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Sumatera Utara-Rumah Sakit
H. Adam Malik; *** Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Indonesia-Rumah
Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo; **** Departemen Ilmu Penyakit Paru Universitas
Syiah Kuala-Rumali Sakit Dr. Zainoel Abidin
ABSTRAK
Latar Belakang: Alergi susu sapi adalah alergi makanan paling sering terjadi
pada bayi dan anak dengan angka kejadian sekitar 2-3% dari populasi anak pada
usia kurang dari 1 tahun. Mengi merupakan gejala awal gangguan pernapasan
yang sering terjadi akibat reaksi alergi pada anak.
Tujuan: Studi ini bertujuan melihat hubungan faktor risiko, akrifitas Th-1
dan Th-2 pada bayi atopi mendapat susu sapi menderita alergi terhadap
terjadinya mengi.
Metode: Studi ini merupakan studi eksploratif observasional analitik dengan
desain kohort. Sampel diarnbil dengan teknik konsekutif sampling sebanyak
71 yang dilihat hingga bayi berusia 12 bulan.
Hasil: Sebanyak 64,8% dari 71 subyek menderita rnengi. Kadar IFN-y di
bawah 0,53 (p=0,033), kadar IL-5 di atas 0,6 (p=0,000), uji tusuk kulit
>3mm (0,000), pemberian susu sapi (p=0,032), ayah merokok (p=0,003),
pendidikan orang tua (p=0,011), dan faktor risiko alergi (p=0,007) tampak
berhubungan terhadap terjadinya mengi.
Kesimpulan: Sensitisati alergen protein susu sapi dan faktor risiko alergi
berperan terhadap timbulnya mengi, melalui aktifitas limfosit Th-2 yang
meningkat sehingga kadar IL-5 menjadi lebih tinggi pada bayi atopi yang
mendapat susu sapi.
Kata kunci: Sensitisasi alergi susu sapi, faktor risiko alergi, bayi atopi.
109