Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Geografis Kabupaten Klaten


Kabupaten Klaten merupakan salah satu dari 29 kabupaten di Jawa
Tengah. Kabupaten Klaten secara geografis terletak pada 110° 26’14’’ sampai
dengan 110° 47’51’’ Bujur Timur dan 7° 32’19’’ sampai dengan 7° 48’33’’ Lintang
Selatan. Koordinat bujur dan lintang Kabupaten Klaten membatasi wilayah seluas
655,56 km2. Kabupaten Klaten terdiri dari 26 kecamatan, 10 kelurahan, dan 391
desa. Wilayah terluas adalah Kecamatan Kemalang dengan luas 51,66 km2 (7,88%
dari dari Kabupaten Klaten) dan wilayah terkecil adalah Kecamatan Klaten
Tengah dengan luas 8,92 km 2 (1,36% dari total wilayah Kabupaten Klaten).

Gambar 2.1 Peta Administrasi Kabupaten Klaten

6
7

Kabupaten Klaten secara administrasi berbatasan langsung dengan 4


kabupaten. Wilayah Kabupaten Klaten di bagian utara berbatasan dengan
Kabupaten Boyolali, di bagian timur berbatasan dengan Kabupaten sukoharjo, di
bagian selatan merupakan dataran Gunung kapur yang berbatasan dengan
Kabupaten Gunung Kidul, dan di bagian barat berbatasan dengan kabupaten
Sleman.
Keadaan topografi Kabupaten Klaten dapat diklasifikasikan ke dalam 3
kelompok, yaitu (BPS, 2021):
1) Dataran lereng Gunung Merapi membentang di sebelah utara meliputi
sebagian kecil utara wilayah Kecamatan Kemalang, Karangnongko,
Jatinom, dan Tulung.
2) Dataran rendah membujur (tengah) meliputi wilayah kecamatan
Manisreggo, Klaten Tengah, Ceper, Trucuk, Kalikotes, Klaten Utara,
Klaten Selatan, Kebonarum, Ngawen, Wedi, Jogonalan, Prambanan,
Gantiwarno, Juwiring, Delanggu, Karanganom,Wonosari, Pedan,
Karangdowo, Cawas, Polanharjo.
3) Dataran Gunung Kapur yang membujur di sebelah selatan meliputi
sebagian kecil sebelah selatan Kecamatan Bayat dan Cawas.
Kondisi klimotologi daerah Kabupaten Klaten menurut pengamatan
iklim KBB Klaten, berupa iklim tropis dengan temperatur 28-30 ℃ dengan rata-
rata kecepatan angin berkisar 20-25 km/jam. Curah hujan tertinggi pada Bulan
Februari 2020 tercatat sebesar 492 mm dengan 16 hari hujan sedangkan curah
hujan terendah pada Bulan Juli sebanyak 1 mm dalam 1 hari hujan.

2.2 Geologi Regional Daerah Penelitian


Daerah penelitian berada di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah. Bayat terletak kurang lebih 20 km sebelah selatan kota Klaten.
Kecamatan Bayat secara geografis terletak pada 110° 36’33’’ sampai dengan 110°
41’24’’ Bujur Timur dan 007° 43’57’’ sampai dengan 007° 49’20’’ Lintang
Selatan. Daerah penelitian dikenal dengan perbukitan Jiwo, merupakan perbukitan
kecil yang terletak antara Gunung Merapi dan Pegunungan Selatan (Baturagung
8

Range). Secara fisiografi, Bayat termasuk dalam Zona Depresi Tengah Pulau
Jawa (Solo Subzone), di bagian selatan dibatasi oleh Zona Pegunungan Selatan
(Van Bemmelen, 1949), yang dikenal dengan Perbukitan Baturagung .
Perbukitan Jiwo merupakan bukit–bukit yang muncul pada Zona
Depresi, terdiri dari Perbukitan Jiwo Barat dan Perbukitan Jiwo Timur dipisahkan
oleh Sungai Dengkeng. Bukit–bukit tersebut adalah Bukit Jabalkat, Bukit
Cakaran, Bukir Merak, Bukit Tugu, Bukit Sari, Bukit Budo, dan Bukit Kebo di
Jawa Barat, serta Bukit Temas, Bukir Jokotuo, Bukit Pendul, dan Bukit Konang di
Jiwo Timur.
Urutan stratigrafi Pegunungan Selatan dari tua hingga muda (Surono et al.,
1992) adalah sebagai berikut:
1) Formasi Wungkal Gamping. Formasi Gamping lokasi tipenya terletak di
sekitar Bukit Pendul dan Watuprahu (Jiwo Timur) terletak di Desa
Gamping, sedangkan Formasi Wungkal tersingkap di Perbukitan Jiwo
Barat, yakni di Bukit Wungkal, Desa Sekarbolo (Bothe, 1929). Satuan
batuan Wungkal-gamping di bagian bawah terdiri dari perselingan antara
batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Satuan batuan bagian
atas berupa napal pasiran dan lensa batugamping.
2) Formasi Kebo-Butak. Formasi Kebo-Butak tersingkap pada gawir yang
cukup curam di lereng utara Pegunungan Baturagung. Sebarannya dari
Kecamatan Bayat, ke selatan hingga Kecamatan Gedangsari, dan ke
barat hingga Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman. Menurut Toha
et al. (1994) bagian bawah Formasi Kebo- Butak disusun oleh batupasir,
batulanau, batulempung, serpih, tuf, dan aglomerat. Bagian atas terdiri
dari batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam.
3) Formasi Semilir. Formasi Semilir berada selaras diatas Formasi Butak.
Formasi ini tersingkap di Gunung Semilir dekat Baturagung. Terdiri dari
batupasir tufaan, tufa lapili, batupasir, Tufa, breksi polemik,
batulempung, batulanau dan serpih. Pada formasi Semilir terdapat lensa-
lensa Breksi andesit dari Formasi Nglanggran . Tuf pada formasi ini
9

berada di bagian tengah dengan warna abu – abu cerah dan dapat dijejaki
hingga jauh ke arah timur (Bothe, 1929 dalam Rahardjo, 2004).
4) Formasi Nglanggran. Tersingkap baik di daerah Pandaan. Penyusun
formasi ini berupa breksi andesit, batupasir tufaan, dan batulanau. Breksi
merupakan komponen paling dominan pada formasi ini. Formasi ini
diduga sebagai endapan dari aliran yang berasal dari gunungapi bawah
laut, dan proses pengendapan berjalan cepat hanya selama Awal
Miosen (Rahardjo, 2004).
5) Formasi Sambipitu. Formasi ini terdiri dari batupasir yang bergradasi
menjadi batulanau atau batulempung, yang mencirikan pola endapan
arus turbidit. Bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir yang masih
menunjukkan sifat vulkanik sedang, semakin ke arah atas sifat vulkanik
ini berubah menjadi batupasir yang bersifat gampingan. Batupasir
gampingan banyak dijumpai fragmen dari koral dan foraminifera besar
yang berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal, yang terseret masuk
dalam lingkungan yang lebih dalam akibat arus turbid (Rahardjo, 2004).
6) Formasi Oyo. Formasi Oyo tersingkap baik di Gunung Tugu di
Perbukitan Jiwo Barat dan Gunung Temas, dan Lanang di Perbukitan
Jiwo Timur. Formasi Oyo terutama terdiri dari batu gamping dan napal.
Bagian terbawah formasi Oyo tersusun dari batugamping berlapis
dengan turbidit karbonat yang terendapkan pada kondisi laut yang lebih
dalam (Raharjo, 2004).
7) Formasi Wonosari. Formasi Wonosari mengarah ke selatan tersusun dari
batugamping berlapis yang menjadi batugamping terumbu berupa
rudstone, framestone, floatstone,yang bersifat lebih keras. Dijumpai pula
batupasit tufan, napal tufan, serta batulanau. Ketebalan Formasi ini
kurang lebih 800 berumur Miosen Tengah (Bothe, 1929 dalam Rahardjo,
2004).
8) Formasi Kepek. Formasi Kepek tersingkap di daerah depresi Wonogiri-
Baturetno. Formasi ini berasal dari batugamping terumbu anggota
formasi Wonosari sisi barat daya yang berubah menjadi batugamping
10

berlapis dan bergradasi menjadi napal. Formasi Kepek ini mempunyai


ketebalan kurang lebih 200 meter dan berumur Miosen Akhir (Rahardjo,
2004).

Gambar 2.2. Stratigrafi Pegunungan Selatan (Surono, 2009)

Struktur geologi kecamatan Bayat berupa sesar-sesar dengan arah barat


daya – timur laut dan memotong formasi Kebo-Butak pada morfologi perbukitan
berlereng curan di zona Pegunungan Selatan. Terdapat juga sesar diperkirakan
yang melintang cukup panjang pada sisi utara Pegunungan Selatan pada formasi
Semilir dengan orientasi barat – timur.
11

Gambar 2.3 Peta Geologi Bayat (Surono et al,1992


12

2.3 Kajian Geofisika pada Identifikasi Air Asin


Pemetaan lokasi akuifer yang mengandung air payau maupun asin perlu
dilakukan untuk mendapatkan gambaran sebaran air tanah asin, penyebab
keasinan air tanah tersebut. Salah satu metode geofisika yang dapat dilakukan
adalah metode elektromagnetik (EM). Metode elektromagnetik secara signifikan
efektif dalam mengetahui perbedaan konduktivitas suatu material terhadap
medium disekitarnya (Sharma, 1997). Metode elektromagnetik dapat digunakan
untuk mendeteksi keberadaan air tanah asin karena air asin memiliki perbedaan
konduktivitas yang kontras dibandingkan medium sekitarnya.
Kajian mengenai sebaran air tanah asin menggunakan metode
elektromagnetik telah dilakukan oleh Sampurno, J. (2016) yang bertujuan
mengidentifikasi sebaran intrusi air laut di antai Kura-Kura, Tanjung Gundul,
Bengkayang berdasarkan nilai konduktivitasnya. Informasi sebaran intrusi air laut
digunakan sebagai acuan dalam penentuan akuifer yang tidak terkena intrusi
sehingga memberikan informasi bagi masyarakat sebagai sumber cadangan air
saat terjadi kemarau. Akuisisi data dilakukan dengan vertical loop coplanar
(VCP) dan horizontal loop coplanar (HCP).
Pada metode VCP, koil dihadapkan tegak lurus dengan permukaan tanah
sehingga kedalaman maksimum yang dapat di jangkau gelombang EM berjarak
3m dari permukaan tanah. Pada metode HCP, koil diposisikan sejajar dengan
permukaan tanah dengan kedalaman maksimum 6m dari permukaan tanah. Spasi
data yang digunakan sangat rapat yaitu 2m. Data konduktivitas yang diperoleh
langsung diinterpretasi tanpa dilakukan inversi. Data yang dihasilkan berbentuk
nilai konduktivitas tanah. Berdasarkan data sebaran konduktivitas tanah, zona
anomali dengan konduktivitas tinggi diinterpretasikan sebagai zona intrusi air
laut.
13

Gambar 2.4. Distribusi Konduktivitas pada kedalaman 3 m (Sampurno, J.,


2016)

Gambar 2.5. Distribusi Konduktivitas Pada Kedalaman 6m


(Sampurno, J., 2016)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variasi nilai konduktivitas
berkisar -20mS /m hingga 320mS /m pada kedalaman 3m dan -20mS /m hingga
14

420mS /m pada kedalaman 6m dari permukaan tanah. Zona yang memiliki nilai
konduktivitas lebih dari 80mS /m diinterpretasikan sebagai zona intrusi air asin.
Berdasarkan nilai tersebut diduga bahwa pada kedalaman 3m dan 6m dibawah
permukaan terjadi intrusi sejauh 80m.
Metode lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sebaran air
tanah asin adalah metode geolistrik. Hutabarat et al. (2016) pernah melakukan
penelitian tentang pemodelan struktur bawah permukaan menggunakan metode
geolistrik untuk mengetahui sebaran air asin di Pantai Tanjung Gondol,
Kabupaten Bengkayang. Pengukuran ini menggunakan metode geolistrik dengan
konfigurasi Wenner-Schlumberger sebanyak 5 lintasan dengan panjang setiap
lintasan 240 m dan jarak antar elektroda 5 m. Hasil pengukuran berupa nilai
resistivitas diolah menggunakan software Res2Dinv untuk mengetahui struktur
lapisan intrusi air asin bawah permukaan.

Gamba 2.6. Penampang 2D Resistivitas Batuan Lintasan 1 (Hutabarat et al.,


2016)

Gambar 2.7. Penampang 2D Resistivitas Batuan Lintasan 2 (Hutabarat et al.,


2016)
15

Gambar 2.8. Penampang 2D Resistivitas Batuan Lintasan 3 (Hutabarat et al.,


2016)

Gambar 2.9. Penampang 2D Resistivitas Batuan Lintasan 4 (Hutabarat et al.,


2016)

Gambar 2.10. Penampang 2D Resistivitas Batuan Lintasan 5 (Hutabarat et


al., 2016)
Berdasarkan penampang 2D dan interpretasi data dengan metode geolistrik
maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar daerah pengukuran telah
16

mengalami intrusi air asin terutama pada lintasan 1, 3, 4 dan 5. Pada penampang
lintasan 1 terdapat intrusi yang diduga sebagai batu gamping yang mengandung
air asin pada kedalaman 10 m – 15 m dengan nilai resistivitas 13,4 𝛺m – 33,5
𝛺m. Pada penampang lintasan 3 terdapat nilai resistivitas 4,55 𝛺m – 66,8 𝛺m
pada kedalaman 5 m – 15 m yang diduga sebagai batu gamping yang mengandung
air asin. Pada lintasan 2 tidak terjadi intrusi air asin karena lokasi lintasan berada
lebih jauh dari bibir pantai.

2.4 Kajian Sebaran Air Tanah Asin di Kecamatan Bayat


Kajian sebaran air tanah asin di Kecamatan Bayat pernah dilakukan
salah satunya oleh Sania (2017) dengan judul “Kajian Air Tanah Payau dan
Pengolahannya Sebagai Air Minum Di Desa Paseban dan Sekitarnya, Kecamatan
Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah”. Tujuan dilakukannya penelitian
adalah untuk mengetahui sebaran air tanah payau dan arahan pengolahan air tanah
payau sebagai baku air minum. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode
geolistrik resistivitas sounding dengan konfigurasi Schlumberger dan analisis
laboratorium. Data geolistrik diambil dari 4 titik pengukuran.

Gambar 2.11. Salah Satu Hasil Titik Pengukuran Geolistrik (Sania,


2017)
17

Berdasarkan hasil dari salah satu titik pengukuran geolistrik


menunjukkan beberapa lapisan batuan dengan nilai resistivitas dan kedalamannya.
Lapisan pertama dengan kedalaman 0 – 1 m berupa top soil. Lapisan kedua
dengan kedalaman 1 – 3,3 m merupakan soil yang berisi air payau. Lapisan ketiga
dengan kedalaman 3,3 – 10,2 m berupa batu pasir yang bertindak sebagai akuifer.
Lapisan keempat dengan kedalaman 10,2 – 19,6 m merupakan batupasir sebagai
akuifer air payau. Lapisan terakhir pada kedalaman 19,6 - 38,1 m merupakan batu
pasir. Sumur gali memiliki kedalaman 2,34 – 3 m, sehingga berada pada lapisan
yang terisi air payau. Hasil dari 4 titik pengukuran dapat dibentuk penampang
stratigrafi batuan.

Gambar 2.12 . Penampang Stratigrafi (Sania, 2017)

Hasil yang diperoleh dari pengukuran geolistrik yaitu terdapat beberapa


lapisan batuan yang mengandung air payau. Berdasarkan analisis laboratorium
menggunakan nilai TDS dan DHL dari sampel air diketahui bahwa sebaran
airtanah payau membentuk suatu cekungan pada bagian barat laut Dusun Lemah
Miring. Semakin mendekati cekungan tersebut maka airtanah akan semakin
berasa payau dan sebaliknya semakin menjauhi cekungan tersebut maka akan
semakin tawar.
18

Selain metode geofisika, Suharjo (2008) melakukan penelitian di


Kabupaten Klaten mengenai potensi air tanah pasca gempa tektonik di lereng
Merapi yang terjadi di tahun 2006. Gempa bumi tektonik tersebut berdampak
pada degradasi lahan (amblesan, rekahan, longsor, sembulan) pada dataran fluvial
bawah vulkan Merapi dan bentuk lahan asal struktural perbukitan Bayat,
Wonosari dan Gantiwarno. Akibat perubahan relief dan kedudukan struktur
batuan berpengaruh pada potensi air tanah dangkal. Metode yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah survei dan analisis deskriptif.
Penelitian lainnya telah dilakukan Putranto (2017) mengenai kajian
hidrokimia sistem akuifer bebas di Bayat Kabupaten Klaten. Tujuan dari
penelitian hidrogeologi ini adalah untuk mengetahui kondisi muka air tanah, pola
aliran air tanah serta hidrokimia di daerah Bayat. Pengukuran dilakukan pada 51
titik pengukuran. Sebanyak 25 sampel air tanah diambil menggunakan botol
polyethylene untuk dianalisis kandungan ionnya menggunakan Chromatography
dan Inductively Coupled Plasma Optical Emission Spectrophotometer (ICP-OES).
Evaluasi kualitas air tanah dianalisis berdasarkan kandungan kation dan anion
untuk menentukan fasies air tanah. Hasil analisis geokimia diperoleh 5 fasies air
tanah, diantaranya: fasies Ca-Mg-HCO3, fasies Ca-Na-HCO3-Cl, fasies Na-HCO3,
fasies Ca-SO4 dan fasies Na-Cl. Analisis data spasial seperti tinggi muka air
tanah, pH, dan konduktivitas listrik dianalisis menggunakan software Surfer 9 dan
ArcGIS untuk menentukan distribusi dan korelasi data secara spasial. Untuk
mengetahui asal – usul air tanah digunakan diagran Gibbs. Hasil diagram Gibbs
menunjukkan ion – ion terlarut berasal dari pelapukan dan pelarutan batuan yang
mempengaruhi jenis air tanah. Adanya Ca2+ dan Mg2+ mengindikasikan pelarutan
batu gamping yang sangat intensif. Ion Na+ berasal dari pelapukan batuan kaya
natrium silikat. Tingginya kandungan ion Cl - dan SO42- pada beberapa sampel
diduga berasal dari pencampuran dari air fosil yang naik ke sistem air tanah
dangkal melalui sesar geser.

Anda mungkin juga menyukai