TINJAUAN PUSTAKA
6
7
Range). Secara fisiografi, Bayat termasuk dalam Zona Depresi Tengah Pulau
Jawa (Solo Subzone), di bagian selatan dibatasi oleh Zona Pegunungan Selatan
(Van Bemmelen, 1949), yang dikenal dengan Perbukitan Baturagung .
Perbukitan Jiwo merupakan bukit–bukit yang muncul pada Zona
Depresi, terdiri dari Perbukitan Jiwo Barat dan Perbukitan Jiwo Timur dipisahkan
oleh Sungai Dengkeng. Bukit–bukit tersebut adalah Bukit Jabalkat, Bukit
Cakaran, Bukir Merak, Bukit Tugu, Bukit Sari, Bukit Budo, dan Bukit Kebo di
Jawa Barat, serta Bukit Temas, Bukir Jokotuo, Bukit Pendul, dan Bukit Konang di
Jiwo Timur.
Urutan stratigrafi Pegunungan Selatan dari tua hingga muda (Surono et al.,
1992) adalah sebagai berikut:
1) Formasi Wungkal Gamping. Formasi Gamping lokasi tipenya terletak di
sekitar Bukit Pendul dan Watuprahu (Jiwo Timur) terletak di Desa
Gamping, sedangkan Formasi Wungkal tersingkap di Perbukitan Jiwo
Barat, yakni di Bukit Wungkal, Desa Sekarbolo (Bothe, 1929). Satuan
batuan Wungkal-gamping di bagian bawah terdiri dari perselingan antara
batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Satuan batuan bagian
atas berupa napal pasiran dan lensa batugamping.
2) Formasi Kebo-Butak. Formasi Kebo-Butak tersingkap pada gawir yang
cukup curam di lereng utara Pegunungan Baturagung. Sebarannya dari
Kecamatan Bayat, ke selatan hingga Kecamatan Gedangsari, dan ke
barat hingga Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman. Menurut Toha
et al. (1994) bagian bawah Formasi Kebo- Butak disusun oleh batupasir,
batulanau, batulempung, serpih, tuf, dan aglomerat. Bagian atas terdiri
dari batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam.
3) Formasi Semilir. Formasi Semilir berada selaras diatas Formasi Butak.
Formasi ini tersingkap di Gunung Semilir dekat Baturagung. Terdiri dari
batupasir tufaan, tufa lapili, batupasir, Tufa, breksi polemik,
batulempung, batulanau dan serpih. Pada formasi Semilir terdapat lensa-
lensa Breksi andesit dari Formasi Nglanggran . Tuf pada formasi ini
9
berada di bagian tengah dengan warna abu – abu cerah dan dapat dijejaki
hingga jauh ke arah timur (Bothe, 1929 dalam Rahardjo, 2004).
4) Formasi Nglanggran. Tersingkap baik di daerah Pandaan. Penyusun
formasi ini berupa breksi andesit, batupasir tufaan, dan batulanau. Breksi
merupakan komponen paling dominan pada formasi ini. Formasi ini
diduga sebagai endapan dari aliran yang berasal dari gunungapi bawah
laut, dan proses pengendapan berjalan cepat hanya selama Awal
Miosen (Rahardjo, 2004).
5) Formasi Sambipitu. Formasi ini terdiri dari batupasir yang bergradasi
menjadi batulanau atau batulempung, yang mencirikan pola endapan
arus turbidit. Bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir yang masih
menunjukkan sifat vulkanik sedang, semakin ke arah atas sifat vulkanik
ini berubah menjadi batupasir yang bersifat gampingan. Batupasir
gampingan banyak dijumpai fragmen dari koral dan foraminifera besar
yang berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal, yang terseret masuk
dalam lingkungan yang lebih dalam akibat arus turbid (Rahardjo, 2004).
6) Formasi Oyo. Formasi Oyo tersingkap baik di Gunung Tugu di
Perbukitan Jiwo Barat dan Gunung Temas, dan Lanang di Perbukitan
Jiwo Timur. Formasi Oyo terutama terdiri dari batu gamping dan napal.
Bagian terbawah formasi Oyo tersusun dari batugamping berlapis
dengan turbidit karbonat yang terendapkan pada kondisi laut yang lebih
dalam (Raharjo, 2004).
7) Formasi Wonosari. Formasi Wonosari mengarah ke selatan tersusun dari
batugamping berlapis yang menjadi batugamping terumbu berupa
rudstone, framestone, floatstone,yang bersifat lebih keras. Dijumpai pula
batupasit tufan, napal tufan, serta batulanau. Ketebalan Formasi ini
kurang lebih 800 berumur Miosen Tengah (Bothe, 1929 dalam Rahardjo,
2004).
8) Formasi Kepek. Formasi Kepek tersingkap di daerah depresi Wonogiri-
Baturetno. Formasi ini berasal dari batugamping terumbu anggota
formasi Wonosari sisi barat daya yang berubah menjadi batugamping
10
420mS /m pada kedalaman 6m dari permukaan tanah. Zona yang memiliki nilai
konduktivitas lebih dari 80mS /m diinterpretasikan sebagai zona intrusi air asin.
Berdasarkan nilai tersebut diduga bahwa pada kedalaman 3m dan 6m dibawah
permukaan terjadi intrusi sejauh 80m.
Metode lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sebaran air
tanah asin adalah metode geolistrik. Hutabarat et al. (2016) pernah melakukan
penelitian tentang pemodelan struktur bawah permukaan menggunakan metode
geolistrik untuk mengetahui sebaran air asin di Pantai Tanjung Gondol,
Kabupaten Bengkayang. Pengukuran ini menggunakan metode geolistrik dengan
konfigurasi Wenner-Schlumberger sebanyak 5 lintasan dengan panjang setiap
lintasan 240 m dan jarak antar elektroda 5 m. Hasil pengukuran berupa nilai
resistivitas diolah menggunakan software Res2Dinv untuk mengetahui struktur
lapisan intrusi air asin bawah permukaan.
mengalami intrusi air asin terutama pada lintasan 1, 3, 4 dan 5. Pada penampang
lintasan 1 terdapat intrusi yang diduga sebagai batu gamping yang mengandung
air asin pada kedalaman 10 m – 15 m dengan nilai resistivitas 13,4 𝛺m – 33,5
𝛺m. Pada penampang lintasan 3 terdapat nilai resistivitas 4,55 𝛺m – 66,8 𝛺m
pada kedalaman 5 m – 15 m yang diduga sebagai batu gamping yang mengandung
air asin. Pada lintasan 2 tidak terjadi intrusi air asin karena lokasi lintasan berada
lebih jauh dari bibir pantai.