Anda di halaman 1dari 5

PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

(Studi Kasus )
Oleh:Dr.Connie Chairunnisa

Masalah pendidikan di Indonesia cukup ditindaklanjuti dan segera ditangani. Dibandingkan


dengan Negara superpower, dari segi pendidikan Indonesia masih dikatakan tertinggal.
Meskipun demikian, bukan berarti Indonesia tidak memiliki harapan. Nyatanya Indonesia era
Soekarno digadang-gadang sebagai Macan Asia yang disegani.
Masalah pendidikan di Indonesia memang kompleks. Dimana permasalahan yang muncul
cukup mengganggu dalam rangka memaksimalkan di dunia pendidikan. Nah, berikut adalah
beberapa masalah pendidikan Indonesia.

6 Masalah Pendidikan di Indonesia

1. Keterbatasan Jumlah Guru Terampil


Entah disadari atau tidak, masalah pendidikan di Indonesia adanya keterbatasan jumlah guru
yang terampil. Umumnya, guru-guru terampil dan berkualitas tersebar di kawasan kota atau
daerah yang notabenenya mudah di akses. Sedangkan daerah-daerah terpinggir dan terpencil,
sulit sekali mendapatkan guru.
Memang ada banyak faktor hal ini terjadi. Dari banyak alasan, salah satunya masalah minat
dari guru itu sendiri. lebih banyak guru yang memilih lokasi yang mudah diakses dari segi
transformasi dan akses untuk mendapatkan kebutuhan pokok mudah didapatkan.
Sedangkan daerah terpencil, lagi-lagi tidak dilirik sama sekali. Mungkin ada saja guru yang
terpanggil hati untuk bertugas di daerah pelosok yang minim akses, sayangnya hanya 1:10
saja. Jumlahnya pun sangat kecil sekali. Sehingga wajar saja jika terjadi kesenjagan tenaga
guru terampil di pelosok dan di kota.
Sehingga terdapat pula kesenjangan kualitas lulusan peserta didik. Tidak heran jika
regenerasi yang tinggal di pelosok, nyari tidak terekspose atau muncul ke permukaan. Itu
sebabnya, ini menjadi PR bagi pemerintah dalam upaya pemerataan tenaga pendidik terampil
di pelosok, agar terjadi pemerataan.
2. Sarana dan Prasarana Tidak Memadai
Masalah pendidikan di Indonesia saya yakin sering dikeluhkan. Baik dikeluhkan oleh wali
murit, guru dan muridnya itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri dari segi sarana dan prasarana
memang kurang memadai. Terutama sekolah-sekolah yang ada di pedesaan, pinggiran dan
sekolah yang ada di pelosok. Ini masalah yang klasik dan sudah tidak asing lagi memang.

1
Namun, seburuk-buruknya sarana dan prasaran yang ada di pinggiran kota dan desa, masih
ada masalah pendidikan di Indonesia yang lebih parah. Kita tahu bahwa Indonesia Negara
kepaulauan yang memiliki banyak sekali pulau. Banyak daerah bagian yang tidak terakses
seperti halnya di tempat kita tinggal saat ini.
Banyak generasi penerus yang tinggal di kepualauan, mereka tidak hanya terbatas pada
sarana dan prasarana saja, tetapi terbatas dari banyak hal. Misalnya, harus melintasi pulau
seberang setiap hari agar bisa masuk sekolah.
Hidup dengan keterbatasan koleksi buku karena tidak terakses dan tidak terjamah. Belum
lagi masalah tidak ada jaringan listrik. Sehingga mereka harus menggunakan penerang
tradisional. Padahal, sekarang sudah era globalisasi, bahkan dunia teknologi yang serba
terhubung dengan dunia luar, tetapi masih ada daerah yang belum terjamah di tanah Air kita.
Sebenarnya dari masalah sarana dan prasarana yang tidak memadai ini. Sejelek-jeleknya
prasarana yang sebagian siswa rasakan, selama masih ada akses listrik dan melek bahkan
bisa mengangses internet dengan bebas, itu sudah lebih baik.
Memang ada kekurangan dari pihak pemerintah dalam melaksanakan peran pendidikan,
tetapi apakah kita selamannya akan menyalahkan dan menuding? Alangkah baiknya tetap
berjalan dan belajar dengan giat meski mengalami keterbatasan. Karena keterbatasan
sebenarnya bukan sebagai alasan.
3. Minim Bahan Pembelajaran
Tidak dapat dipungkiri masalah pendidikan di Indonesia juga terbentur pada keterbatasan
bahan ajar. Kurangnya keterbatasan bahan wajar menurut saya hal yang wajar, karena
memang dari kesadaran akan literasi di Indonesia termasuk di urutan akhir.
Dari sudut perspektif lain, menurut saya bisa jadi bukan karena masalah minimnya bahan
pembelajaran, tetapi masalah kurangnya kesadaran untuk membuat inisiatif mencari modul
pembelajaran.
Lagi-lagi saya kurang setuju dengan masalah keterbatasan menjadi alasan. Mungkin banyak
yang menyebutkan bahwa keterbatasan bahan pembelajaran tidak memadai. Padahal,
sebenarnya kita bisa mencari sendiri. Tidak harus mengandalkan uluran bahan aja dari
pemerintah, tetapi inisiatif untuk mencari.
Jika memang tidak ada bahan pembelajaran tidak tersedia, bagi seorang pendidik bisa saja
belajar dari buku luar. Kemudian dari pesan buku tersebut di transformasikan ke peserta
didik. Atau bisa membuat atau menciptakan bahan pembelajaran jika memang tidak ada.
Dengan cara-cara seperti ini lebih solutif daripada menyalahkan ataupun menuding.
Setidaknya dengan cara ini menjadi upaya memberikan jalan keluar untuk kebutuhan diri
sendiri dan memberikan ruang jalan bagi orang lain.
Bukan berarti saya pro dengan pemerintah. Hanya saja, sampai kapan kita menunggu
pemerintah pendidikan. Menunggu belum tentu bertemu, tetapi dengan kita bergerak,
meskipun hasilnya bukan gerakan besar, minimal memberi sedikit perubahan.

2
4. Mahalnya Dana Pendidikan
Tidak dapat dipungkiri, masalah pendidikan di Indonesia yang paling mendasar terletak
pada masalah biaya pendidikan. Meskipun sudah digadang-gadang gratis, tetap saja ada
bagian yang membayar. Ironisnya, banyak masyarakat miskin yang hanya membayar tidak
seberapa bagi orang borju tetap menyulitkan.
Lagi-lagi di sini saya memiliki perspektif lain tentang masalah dana pendidikan. Masyarakat
umum di tempat kita sudah terimajinasi dan terdewakan dengan kata ‘lulusan dari mana?’
‘lulus peringkat berapa?’ dan apapun itu yang menjadikan pendidikan itu adalah raja.
Tidak dapat dipungkiri, memang lewat pintu pendidikan mampu mengantarkan seseorang ke
masa depan yang lebih baik. Bahkan cukup bermodal peringkat terbaik dan dari sekolah
terbaik bisa menentukan nasib seseorang. Secara lahir memang pendidikan adalah modal
dasar dan segala. Tetapi di liihat dari ilmu hakikat atau urgensi atau sejatinya keberhasilan
seseorang TIDAK SELALU di tentukan dari tingkat pendidikan.
Image masyarakat yang terlanjur beredar dan terlanjur terpatri memang sulit diubah.
Nyatannya, banyak orang-orang hebat yang justru putus sekolah. Orang-orang yang awalnya
dianggap bodoh dan nyeleneh tidak berkesempatan kekolah, nyatanya memiliki garis hidup
yang berbeda. secara hakikat pula, nilai, lulusan terbaik juga tidak akan menjadi jaminan bisa
masuk. Malaikat pun tidak akan menanyakan “berapa peringkatmu?” malaikat juga tidak
akan menanyakan “lulus di sekolah bergengsi atau tidak?”
Dari ulasan di atas seolah lembaga pendidikan menjadi tidak penting, hanya karena label dan
stigma masyarakat. Padahal menuntut ilmu adalah kewajiban bagi seluruh umat manusia.
Masalahnya lagi, banyak orang yang mengartikan menuntut ilmu selalu dalam bentuk
pendidikan, padahal ada jalur non pendidikan.
Kembali lagi fokus ke masalah pendidikan di Indonesia terkait mahalnya dana pendidikan
inilah yang menambah angka putus sekolah. Pertanyaannya adalah, akankah kita akan selalu
menyalahkan dan menuntut pemerintah untuk menjamin masa depan generasi putus sekolah?
Padahal ada banyak sekali jumlah.
Di sini, saya justru bukan menyorot dari kewajiban pemerintah, tetapi sikap masyarakat yang
berlebihan melabeli mereka yang putus sekolah. Bisa saja, berkat putus sekolah, mereka
tetap memiliki motivasi belajar. Seperti yang saya tekankan sebelumnya, belajar bisa
dilakukan secara non pendidikan. Bisa belajar dengan alam, belajar dengan lingkungan sosial
dan belajar dengan pengalaman yang justru memiliki kualitas pendewasaan dan kemandirian
lebih baik.
5. Mutu Pendidikan Rendah
Salah satu masalah pendidikan di Indonesia juga terletak pada mutu pendidikan yang rendah.
Masih menyambung pembahasan di atas. Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan
bisa saja disebabkan oleh perspektif masyarakat secara umum. Dimana menuntut ilmu bukan
sebagai kewajiban atau kesadaran diri yang merupakan bentuk kewajiban terhadap diri
sendiri.

3
Yap, saya menyebut belajar sebagai kewajiban setiap masing-masing individu sebagai bekal
hidup dan bekal untuk bertahan hidup dari rasa lapar. Sayangnya, belajar sebagai kewajiban
kini bergeser mencari pangkat, gengsi dan mendapatkan gelar. Disinilah awal mula mutu
pendidikan rendah.
Kok bisa? Karena tujuan yang dicapai menjadi berambigu. Banyak yang berbondong-
bondong mengejar statistic atau pengakuan. Tidak mengejar esensi dari pembelajaran itu
sendiri. Analagi versi saya, kita fokus mencari wadah ember yang bagus, lupa fokus untuk
mengisi ember tersebut. Mutu pendidikan bisa tinggi jika fokusnya terletak pada isi ember,
bukan pada bentuk ember. Bukankah begitu?
6. Minoritas Bagi Kelompok Difabel
Masalah pendidikan di Indonesia tidak banyak dijadikan sorotan adalah masalah pendidikan
bagi kelompok difabel. Ternyata masih banyak kelompok difabel yang kesulitan dalam
mencari sekolah inklusi. Itu berarti masih sedikit sekolah-sekolah inklusi bagi mereka. Satu
sisi, sekolah inklusi secara tidak langsung juga mengkotak-kotakan dan semakin tereksklusi
dari realitas sosial.
Kendala yang sering dihadapi bagi difabel ketika memutuskan sekolah umum, mereka
terkendala dari pembangunan sekolah yang tidak ramah untuk di fable. Misalnya tidak ada
jalan khusus difabel yang menggunakan sepatu roda atau pintu kurang representative bagi
difabel. Belum lagi masalah buku-buku pelajaran yang dikemas dalam huruf braille.
Ada satu pengalaman menarik bagi saya, suatu ketika pernah mengajar di salah satu
kelompok difabel yang memilih sekolah ditempat umum. Ternyata mereka harus belajar
lebih keras daripada orang pada umumnya.
Sepulang sekolah, anak-anak lain bisa saja hanya bermain dan bersenang-senang, tetapi
mereka tidak ada waktu bermain, karena mereka mengejar ketertinggalan. Karena
keterbatasan mereka, mengharuskan mereka belajar lebih giat. Dari sini, sebenarnya
dibutuhkan keseimbangan dalam proses belajar bagi kelompok difabel.
Belum lagi masalah tentang akses jalan, sarana kamar mandi di sekolah yang juga belum
ramah dengan difabel. Padahal, segala sesuatunya harus dibangun sesuai standar difabel.
Bukan karena mereka minoritas, bukan berarti mengambil hak mereka menikmati fasilitas
umum. Setidaknya jika pembangunan dilakukan ramah difabel, orang umum pun bisa juga
mengaksesnya.
Jika standar pembangunan di standarkan orang pada umumnya, maka difabel akan kesulitan
mengakses. Sehingga mereka terkesan dikesampingkan. Padahal mereka sama-sama generasi
penerus yang memiliki hak yang sama, memiliki peluang sukses yang sama dan memiliki
hak bahagia. Bukan karena minoritas, lantas semakin dipandang berbeda. Sebenarnya
mereka kuat bahkan bisa saya sebut mereka lebih kuat. Mereka memang special, bukan
special dalam konotasi negative, tetapi benar-benar special dalam arti sebenarnya, karena
sebenarnya memiliki kegigihan lebih besar.

4
Tugas Kelompok:
1. Apa yang menyebabkan keterbatasan jumlah guru yang terampil di daerah terpencil
atau di pelosok ?
2. Apakah dapat mempengaruhi lulusan peserta didik (siswa) ?
3. Apakah dengan keterbatasan sarana dan prasarana sebagaimana diuraikan di atas,
dapat mempengaruhi gairah belajar peserta didik, apalagi saat ini masih pandemi
covid 19, pembelajaran masih menggunakan online learning, dan apa suka dukanya?
4. Bagaimana solusi yang dilakukan guru dan siswa bilamana bahan pembelajaran
minim dan sulit diperoleh ?
5. Apakah pendidikan yang mahal dan berkualitas dapat menjamin kehidupan siswa di
masa yang akan datang ?
6. Apa yang Sdr.ketahui tentang mutu pendidikan rendah sebagaimana tulisan di atas?
7. Kendala apa saja yang dihadapi oleh kelompok difabel (Anak Berkebutuhan Khusus)
pada saat memasuki sekolah inklusi atau Sekolah luar biasa (SLB) ?

Anda mungkin juga menyukai