Anda di halaman 1dari 7

Ujian Akhir Semester

Landasan Ilmu Pendidikan

Dosen Mata Kuliah Landasan Ilmu Pendidikan


Drs. Djunaedi. M. Pd

Disusun oleh :
Nama : ALIFUDIN RIZKI KESUMA JAYA
NIM : 1205617115
Prodi : Pendidikan Bahasa Arab

Universitas Negeri Jakarta


Jl. Rawamangun Muka, RT.11/RW.14, Rawamangun, RT.11/RW.14,
Rawamangun, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13
ABSTRAK

Studi ini membahas tentang kesenjangan sosial dalam pendidikan di Indonesia, karena sering
kali saya melihat kesenjangan antara sekolah di kota dan di daerah dan antara kaya dan miskin.

Pada sekolah di kota dan desa, sekolah-sekolah banyak perbedaan dari segi bangunan, sarana
dan pra-sarana, kualitas guru, dan hal lainnya.

Seseorang yang mempunyai harta berlebih dan tidak itu juga mempunyai kesenjangan dalam
pendidikan, sering kita melihat diantaranya pada zaman sekarang, terutama pada Kurikulum
2013, ditugaskan kepada siswa untuk berpersentasi, padahal persentasi harus mempunyai
laptop dan pada ujian sekarang hanya beberapa sekolah yang memakai sistem Computer Based
Test (CBT).

Sekolah dibawahi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, maka dari itu diharapkan
dengan hal ini pemerintah lebih memperhatikan sekolah-sekolah yang di daerah daripada di
kota, karena sekolah-sekolah di daerah menurut saya lebih membutuhkan sarana dan prasarana
lebih daripada di kota.

2
1. Bagaimana kesenjangan sosial dalam pendidikan Indonesia ?

Kesenjangan sosial dalam pendidikan terjadi karena tidak meratanya pemerataan di


sekolah-sekolah. Hal ini dikarenakan pemerintah yang tidak memperhatikan secara
keseluruhan sekolah-sekolah di Indonesia baik itu dari segi pakaian, keadaan sekolah, dll.

Barangkali kita pernah melihat teman-teman yang seharusnya masih bersekolah malah
berjualan koran di jalanan? Di sisi lain ada teman-teman lain yang bisa sekolah tinggi hingga
ke luar negeri. Maka dari itu perbedaan mencolok itu menunjukkan adanya masalah
ketimpangan sosial di bidang pendidikan. Memang tidak bisa dipungkiri kalau ketimpangan
tersebut juga didasarkan pada ketimpangan sosial pada aspek ekonomi.

Pendidikan menjadi penting karena merupakan social elevator, yaitu saluran mobilitas sosial
vertikal yang efektif agar seseorang dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya di masa
depan. Pendidikan juga merupakan kunci pembangunan masyarakat, terutama di bidang
sumber daya manusia.

Namun sayangnya, di Indonesia masih ada kesenjangan fasilitas dan kualitas pendidikan di tiap
daerah. Akibatnya, anak-anak di kota-kota besar jauh lebih mudah mendapat akses pendidikan
yang baik. Serta berkesempatan meningkatkan kualitas hidupnya dibanding anak-anak di
wilayah pedesaan.

Randall Collins dalam bukunya The Credential Society: An Historical Sociology of


Education and Stratification, menilai bahwa pendidikan formal merupakan awal dari proses
stratifikasi sosial. Di Indonesia, hal ini didukung oleh adanya pola perjalanan sekolah anak
yang berbeda dari kalangan keluarga mampu dan miskin. Faktor-faktor yang mempengaruhi
ketimpangan sosial di bidang pendidikan antara lain:

 Kualitas Lingkungan Sekolah. Faktor ini meliputi masyarakat dan lingkungan sekitar
yang mendukung seorang anak untuk mendapat pendidikan yang baik.
 Kesempatan Memperoleh Pendidikan yang Berkualitas. Keterbatasan dari segi kualitas
pengajar, budaya masyarakat, hingga kemudahan akses ke sekolah juga berpengaruh
terhadap mudah atau tidaknya kesempatan seseorang untuk mendapat pendidikan yang
berkualitas.
 Kualitas Lulusan. Semakin baik kualitas lulusan di wilayah tersebut, makin besar pula
kesempatan wilayah itu untuk menjadi lebih berkembang dan sejahtera.

3
 Fasilitas Pendidikan. Hal ini juga mencakup ketersediaan fasilitas pendidikan, rasio
guru-siswa, dan kualitas guru.

Upaya untuk mengurangi ketimpangan sosial di bidang pendidikan ini perlahan-lahan


mulai banyak digagas oleh orang-orang di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, salah satu
yang bisa menjadi contoh adalah Indonesia Mengajar. Gerakan ini memfasilitasi lulusan
universitas untuk mengajar sekolah dasar di daerah-daerah terpencil. Tujuannya agar daerah-
daerah tersebut berkesempatan mendapat kualitas pengajar yang serupa dengan yang ada di
daerah-daerah yang lebih maju.

Di Indonesia anak orang miskin dapat menempuh pendidikan sekurang-kurangnya tamatan


SLTA/SMA saja sudah sangat mengagumkan. Apalagi bisa menempuh dan dapat selembar
ijazah di perguruan tinggi tentu luar biasa walaupun dengan IPK minim. Mungkin hal ini terjadi
saat dahulu kala tetapi di abad 21 ini mungkin jarang terjadi karena dengan kemauan pasti ada
jalan, apalagi banyak beasiswa dari pemerintah, tetapi beasiswa ini tidak terjangkau pada
masyarakat desa yang terpencil maka dari itu ini termasuk kesenjangan sosial

Di desa gedung sekolah peralatan proses belajar mengajar yang tidak mendukung. Belum lagi
dengan perpustakaan sehingga sangat berat wali murid dalam mengeluarkan rupiah untuk
membeli buku.

Sedangkan anak orang kaya, semuanya serba ada. Fasilitas belajar tersedia, sehingga tidak sulit
bagi anak orang berada bersaing dari segi prestasi di sekolah. Sebab itu, prestasi anak orang
miskin tidak bisa merta dipaksa untuk sama dengan anak orang kaya. Terkadang guru atau
pihak sekolah kurang sabar ketika melihat prestasi para peserta didik. Para peserta didik tidak
dilihat berdasarkan latar belakang keluarganya. Jika prestasinya buruk karena disebabkan oleh
faktor keterbatasan fasilitas akibat kemiskinan keluarga, maka siswa tersebut perlu diberikan
perhatian ekstra. Meski tidak dapat dipungkiri juga bahwa ada begitu banyak anak-anak orang
miskin yang lebih berprestasi di sekolah.

Pola pikir yang sama berlaku juga bagi paradigma umum dalam kebijakan-kebijakan
beasiswa. Umunya, beasiswa diberikan kepada anak berprestasi/pintar dari keluarga tidak
mampu secara finansial. Jarang sekali, beasiswa diberikan kepada anak-anak yang miskin
sekaligus tanpa prestasi. Padahal pendidikan adalah salah satu kunci untuk keluar dari belitan
kemiskinan. Bagaimana mungkin, anak orang miskin yang karena berbagai keterbatasannya
kemudian tidak mampu berprestasi dapat keluar dari belitan kemiskinannya melalui
pendidikan, jika beasiswa hanya diperuntukkan bagi anak miskin tetapi berprestasi?

4
Realitas ketidakadilan

Itulah realitas ketidakadilan sosial dalam dunia pendidikan di Indonesia yang kurang memberi
tempat bagi anak-anak keluarga miskin secara ekonomis dan miskin dari segi prestasi.
Kelompok miskin dan bodoh ini akan terus berkutat dengan kemiskinan dan kebodohannya,
karena sekolah dan lembaga beasiswa kurang memberi kesempatan kepada mereka.

Secara garis besar, peserta didik (siswa/mahasiswa) dapat diklasifikasikan dalam empat
golongan :

Pertama, anak pintar dan kaya. Golongan ini bisa bebas memilih sekolah/kampus yang
berkualitas. Kesempatan pendidikan bagi golongan ini sangat luas dan terbuka. Setiap
sekolah/PTN yang dibiayai pemerintah, apalagi yang swasta, mereka sangat terbuka dengan
anak-anak tersebut. Bahkan, atas dasar “pencarian bibit berkualitas”, mulai dari TK hingga
PTN, terus memburu anak-anak tersebut. Lebih dari itu ada dalil manajemen pendidikan
dimana input yang baik, lalu dengan proses yang baik, maka output pun juga baik. Buktinya,
sekolah/kampus favorite lebih banyak dihuni oleh anak-anak orang kaya dan pintar.

Kedua, anak pintar dan miskin. Golongan ini juga masih punya kesempatan sekolah
atau kuliah, tapi dengan sedikit keberuntungan. Kini, memang banyak beasiswa dari
pemerintah maupun perusahaan swasta bagi siswa/mahasiswa berprestasi dan kesempatan
inilah yang dibidik para siswa/mahasiswa untuk dapat sekolah/kuliah. Namun, kesempatan ini
masih perlu dewi fortuna. Informasi beasiswa harus terus dicari, tes-tes penyaringan perlu
diikuti, lebih baik bila ada silaturahmi. Tapi bagaimanapun juga, jumlah anak pintar dan miskin
di sekolah/fakultas unggulan sangat minim.

Ketiga, anak bodoh tapi kaya. Golongan ini, kesempatan pendidikan yang menjadi
haknya hampir sama dengan golongan kedua di atas. Biasanya, anak-anak orang kaya dan
otaknya tumpul, tidak bisa diterima di sekolah negeri atau PTN favorit melalui jalur biasa yang
menyeleksi calon siswa atau mahasiswa berdasarkan indeks prestasi dan hasil ujian
penyaringan. Tapi untuk urusan praktis, kini orang kaya masih bisa menyekolahkan anaknya
yang bodoh itu di sekolah bertaraf internasional, asalkan melalui jalur luar biasa. Dengan kata
lain, anak kaya tapi bodoh masih bisa mencicipi lembaga pendidikan berkualitas, asalkan si
anak masih mau melanjutkan sekolah dan orang tuanya tetap berambisi atas masa depan
anaknya.

5
Keempat, anak miskin dan bodoh. Golongan terakhir inilah yang biasanya terus berada
pada kondisi yang menyedihkan, di mana pendidikannya kerap berakhir dengan su’ul
khatimah. Kesempatan pendidikan yang diterima anak-anak miskin dan bodoh amat terbatas.
Biasanya orang tua mereka hanya mampu menyekolahkan anaknya di sekolah pinggiran, di
madrasah kampungan, di kampus berkualitas asal-asalan, tapi biayanya terjangkau. Anak-anak
bodoh dan miskin secara geologis, seakan-akan telah digariskan miskin, bersekolah di sekolah
miskin, dan lulus dalam keadaan miskin dengan kesempatan kerja yang sempit dan minim.
Maka, sejak awal mereka telah didesain menjadi “miskin kuadrat”.

Apakah benar, golongan terakhir di atas, hakekatnya memang miskin dan bodoh? Jangan-
jangan, kemiskinan yang mereka alami adalah kemiskinan struktural yang sengaja diciptakan
oleh para praktisi pendidikan, para pengambil kebijakan dan pemerintah. Jika melihat sekolah
swasta yang bangunannya reot, gurunya juga malas masuk karena gajinya kecil, lalu siswanya
dihuni oleh anak-anak miskin, maka jelas kualitas pendidikan yang dihasilkan sekolah swasta
tersebut jauh dari harapan ideal. Mereka yang miskin harus belajar di sekolah swasta yang
mereka sendiri menanggung biayanya.

Bandingkan dengan sekolah negeri atau PTN favorit yang diajar oleh para guru yang intelek,
yang lembaganya selalu dapat proyek dan bantuan, fasilitas juga terjamin, baik dari pemerintah
dan sponsor, lalu para peserta didik pun terdiri dari para siswa/mahasiswa pilihan yang telah
diseleksi secara ketat, baik prestasinya maupun kemampuan ekonominya, maka sekolah atau
perguruan tinggi semacam ini bagaikan surga yang hampir dipastikan mampu mencetak
generasi masa depan yang berkualitas, berprestasi, mapan dan kaya.

Membandingkan kedua fakta di atas, maka jelas, ada kesenjangan yang cukup jauh dalam dunia
pendidikan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah, para pengambil kebijakan pendidikan.
Kesenjangan atau ketidakadilan semacam ini, bila dibiarkan, maka hingga kapan pun
pemerintah tidak akan mampu mengurangi angka kemiskinan dan kebodohan.

Selain itu, kewajiban memberi hak pendidikan yang sama bagi semua warga negara, hanya
diberikan pada segelintir orang yang kebetulan cerdas dan punya uang. Sementara, anak-anak
miskin dan bodoh, mereka akan tetap terpinggirkan dan hidup di tempat kumuh, kotor, sering
tawuran dan sebagainya. Anak-anak ini, kelak juga akan melahirkan anak-anak yang miskin
dan bodoh yang jumlahnya semakin tahun semakin besar. Tepat jika dikatakan: “Yang kaya
makin kaya, yang miskin makin miskin”, dan “yang pintar makin pintar, yang bodoh makin
dibodohin.”

6
Refrensi :

Ruang Guru, (2017, 10 Oktober) Masalah Ketimpangan Sosial di Bidang Pendidikan.


Diperoleh 12 Januari 2018, dari https://blog.ruangguru.com/masalah-ketimpangan-sosial-di-
bidang-pendidikan

Serambi Indonesia, (2014, 26 Februari) Kesenjangan Sosial dan Dunia Pendidikan. Diperoleh
12 Januari 2018, dari http://aceh.tribunnews.com/2014/02/26/kesenjangan-sosial-dan-dunia-
pendidikan?page=2

Anda mungkin juga menyukai