DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
BINSE MBEPA KAMALA KONDA (172)
ELVINIA TAMU APU (174)
PUTU SANIA WULAN ARYSTINA (187)
I GUSTI AYU GITA PRITAYANI (193)
ELIZABETH CHERISH SU (267)
UNIVERSITAS WARMADEWA
TAHUN PELAJARAN 2023/2024
1.Pengelompokan pajak
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 1, Pajak
merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung. Pajak
digunakan sepenuhnya untuk keperluan negara bagi kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat. Pajak yang berlaku di Indonesia sendiri terdiri dari berbagai pengelompokan,
jenis, dan macamnya. Sebagai wajib pajak, Anda perlu mengetahui hal ini dengan baik.
Artikel ini akan menguraikan penjelasan mengenai ketentuan pengelompokan pajak
yang berlaku di Indonesia.
A. Sifat Pajak
Pajak Subjektif
Pajak Objektif
Pengelompokan pajak ini maksudnya adalah pembayaran pajak dilakukan kepada pihak
lain pada kondisi tertentu. Pihak yang menanggung pajak dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung.
Pembayaran pajak langsung tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Contohnya,
seorang suami tidak dapat mengalihkan pajak yang menjadi tanggung jawabnya
terhadap istri. Sedangkan pembayaran pajak tidak langsung dalam pelunasannya tidak
harus dilunasi oleh wajib pajak. Mengapa demikian? Karen pajak tidak langsung
diberlakukan pada objek pajak tertentu, bukan pada wajib pajak.
Pajak Langsung Pajak Tidak Langsung
Pajak Pertamabahan Nilai (PPN) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak Ekspor
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Pajak Bea Masuk
Pajak Negara
Pajak negara (Pajak pusat) merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai seluruh kebutuhan rumah tangga. Pemungutan pajak
negara memiliki tujuan pemerataan penghasilan bagi pemerintah daerah di Indonesia.
Bagi hasil diperlukan untuk menjaga kelangsungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sebagai wujud keseimbangan penerimaan antara pusat dan daerah
atas pajak yang dipungut oleh negara (pusat) dan bersumber berada di daerah.
1. Pajak Penghasilan (PPh): Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada
penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan
dapat bersifat progresif, proporsional atau regresif.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN): PPN merupakan pajak yang dikenakan atas
setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke
konsumen. Adapun penerapan PPN di Indonesia menganut sistem tarif tunggal, yaitu
sebesar 10%.
3. Bea Materai: Bea materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen-dokumen,
seperti surat perjanjian, akta notaris, kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek.
Dimana dokumen-dokumen tersebut memuat jumlah uang atau nominal di atas jumlah
tertentu sesuai dengan ketentuan perpajakan.
4. Cukai: Cukai adalah pungutan yang dilakukan oleh negara secara tidak
langsung kepada konsumen yang menikmati atau menggunakan obyek cukai.
5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB): Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang
dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya kepentingan dan/atau
kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi perorangan atau badan yang
mempunyai hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya.
6. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB): BPHTB adalah bea
yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan.
Pajak Daerah
Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah (APBD) yang penting
untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah dan pembangunan. Pajak daerah
adalah iuran wajib terutang yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi atau badan
kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang. Pemungutan pajak daerah dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Jenis-Jenis Pajak
Daerah
Menurut UU Nomor 28 Tahun 2009, jenis-jenis pajak daerah antara lain:
Agar dapat membedakan ketiga sistem tersebut, mari kita ulas satu per satu
pengertian masing-masing sistem pemungutan pajak tersebut.
Dengan kata lain, wajib pajak merupakan pihak yang berperan aktif dalam menghitung,
membayar, dan melaporkan besaran pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau
melalui sistem administrasi online yang sudah dibuat oleh pemerintah.
Peran pemerintah dalam sistem pemungutan pajak ini adalah sebagai pengawas dari
para wajib pajak. Self assessment system diterapkan pada jenis pajak pusat.
Contohnya adalah jenis pajak PPN dan PPh. Sistem pemungutan pajak yang satu ini
mulai diberlakukan di Indonesia setelah masa reformasi pajak pada 1983 dan masih
berlaku hingga saat ini.
Namun, terdapat konskuensi dalam sistem pemungutan pajak ini. Karena wajib pajak
memiliki wewenang menghitung sendiri besaran pajak terutang yang perlu dibayarkan,
maka wajib pajak biasanya akan mengusahakan untuk menyetorkan pajak sekecil
mungkin.
Ciri-ciri sistem pemungutan pajak Penentuan besaran pajak terutang dilakukan oleh
wajib pajak itu sendiri.
Wajib pajak berperan aktif dalam menuntaskan kewajiban pajaknya mulai dari
menghitung, membayar, hingga melaporkan pajak.
Pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak, kecuali jika wajib pajak telat
lapor, telat bayar pajak terutang, atau terdapat pajak yang seharusnya wajib pajak
bayarkan namun tidak dibayarkan.
Dalam sistem pemungutan pajak Official Assessment, wajib pajak bersifat pasif dan
pajak terutang baru ada setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus.
Sistem pemungutan pajak ini bisa diterapkan dalam pelunasan Pajak Bumi Bangunan
(PBB) atau jenis pajak daerah lainnya.
Dalam pembayaran PBB, KPP merupakan pihak yang mengeluarkan surat ketetapan
pajak berisi besaran PBB terutang setiap tahunnya.
Jadi, wajib pajak tidak perlu lagi menghitung pajak terutang melainkan cukup
membayar PBB berdasarkan Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang
dikeluarkan oleh KPP tempat objek pajak terdaftar.
Withholding System
Pada Withholding System, besarnya pajak dihitung oleh pihak ketiga yang bukan wajib
pajak dan bukan juga aparat pajak/fiskus.
Jenis pajak yang menggunakan withholding system di Indonesia adalah PPh Pasal 21,
PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan PPN.
3. Tarif pajak
Tarif pajak adalah dasar pengenaan pajak atas objek pajak yang menjadi tanggung
jawab Wajib Pajak (WP). Besarnya tarif pajak ini dalam bentuk persentase yang
ditetapkan oleh pemerintah. Ketahui jenis tarif pajak, pengelompokan dan contohnya di
sini.
Ada beberapa jenis tarif pajak dan setiap jenis pajak pun memiliki nilai tarif yang
berbeda-beda.
Tarif pajak proporsional merupakan tarif yang persentasenya tetap meski terjadi
perubahan terhadap dasar pengenaan pajak.
Dengan begitu, seberapa besarnya jumlah objek pajak, persentasenya akan tetap.
Contohnya adalah PPN yang persentasenya 10% dan tarif PBB dengan tarif 0,5%.
Tarif pajak tetap atau yang nama lainnya tarif pajak regresif adalah tarif pajak yang
nominalnya tetap tanpa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya
(tidak berubah-ubah).
Tarif pajak tetap juga dapat diartikan sebagai tarif pajak yang akan selalu sama sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Contohnya, Bea Meterai dengan nilai Rp3000 dan
Rp6000.
Tapi, tarif bea meterai ini mulai 2021 berlaku meterai elektronik. Bea meterai terbaru
naik menjadi Rp10.000 dan merupakan single tarif.
Pajak hukumnya wajib, yang harus dibayarkan oleh WNI sebagai wajib pajak dan WNA
yang tinggal serta mencari nafkah di Indonesia.
Sebab pajak adalah salah satu sumber pemasukan negara dari dalam negeri yang
dananya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat, meningkatkan
produktivitas, untuk menjalankan roda perekonomian, membayar gaji PNS, tentara dan
membangun fasilitas umum.
Orang yang membayar pajak sama dengan berkontribusi pada pembangunan negaranya.
Maka disebutkan warga negara yang taat adalah mereka yang membayar pajak.
Terkait dengan ketentuan perpajakan terbaru telah diatur dalam omnibus law Undang-
Undang (UU) Cipta Kerja klaster Perpajakan.
Dalam UU Cipta Kerja bidang perpajakan ini, menggabungkan tiga UU yakni UU KUP,
UU PPN & PPnBM, dan UU PPh yang diatur lagi dengan perubahan dan penambahan
beberapa pasal di dalamnya.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2009, syarat bantuan atau sumbangan
supaya dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan, yaitu:
1 keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, yaitu adalah orang tua
dan anak kandung.
memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 500jt (tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha)
memiliki hasil penjualan maksimal Rp 2.5M setahun.
5. badan sosial termasuk yayasan dan koperasi yang tidak mencari keuntungan yang
kegiatannya semata-mata menyelenggarakan:
pemeliharaan kesehatan;
pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo);
pemeliharaan anak yatim-piatu, anak atau orang terlantar, dan anak atau orang cacat;
santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya;
pemberian beasiswa;
pelestarian lingkungan hidup; dan/atau
kegiatan sosial lainnya.
Selain batasan PTKP dan batasan omzet, mari kita lihat tarif pajak penghasilan orang
pribadi di Indonesia. Apakah sudah adil bagi masyarakat miskin?
Dasar dari pajak penghasilan adalah penghasilan kena pajak, yang merupakan hasil
pengurangan PTKP dari penghasilan bersih. Tarif pajak di Indonesia bersifat progresif,
semakin tinggi penghasilan, semakin tinggi pula jumlah pajaknya. Saat ini, tarif
progresif pajak penghasilan orang pribadi di Indonesia adalah sebagai berikut
Penghasilan kena pajak sampai dengan Rp 60 juta dikenakan tarif pajak sebesar 5%.
Penghasilan kena pajak di atas Rp 60 juta sampai dengan Rp 250 juta dikenakan tarif
pajak sebesar 15%.
Penghasilan kena pajak Rp250 juta hingga Rp500 juta dikenakan tarif 25%.
Penghasilan kena pajak sebesar R500 juta ke atas hingga R5 miliar dikenakan tarif pajak
sebesar 30%.
Penghasilan kena pajak di atas R5 miliar dikenakan tarif pajak 35%.
Contoh perhitungan pajak penghasilan untuk individu dengan penghasilan tahunan
sebesar R60 juta dan individu dengan penghasilan tahunan sebesar Rp120 juta adalah
sebagai berikut
Penghasilan Rp 60 juta per tahun 5% x Rp 60 juta = Rp 3 juta
Penghasilan tahunan sebesar Rp 120 juta. (5% x Rp60 juta = Rp3 juta) + ((Rp120 juta -
Rp60 juta) x 15% = Rp9 juta) = Rp12 juta
Dengan kata lain, jumlah pajak penghasilan tidak hanya dikalikan Rp3 juta untuk setiap
kelipatan penghasilan Rp60 juta, tetapi tarif pajak meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penghasilan.
Sebagai contoh, mari kita hitung seseorang dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp6
miliar, berapa pajak penghasilan yang harus dibayarkan? Ya, Rp1.794.000.000,00.
Apa itu PPN? Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas
transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib
pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Jadi, yang berkewajiban memungut, menyetor dan melaporkan PPN adalah para
Pedagang/Penjual. Namun, pihak yang berkewajiban membayar PPN adalah Konsumen
Akhir.
PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dikenakan dan disetorkan oleh pengusaha atau
perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Namun beban
PPN tersebut ditanggung oleh konsumen akhir. Sejak 1 Juli 2016, PKP se-Indonesia
wajib membuat faktur pajak elektronik atau e-Faktur untuk menghindari penerbitan
faktur pajak fiktif untuk pengenaan PPN kepada lawan transaksinya.
Yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau biasa disebut dengan Objek PPN adalah:
Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
Impor Barang Kena Pajak
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena
Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Kini Anda dapat menuntaskan pelaporan PPN Anda melalui OnlinePajak, aplikasi pajak
yang mempermudah dan menghemat waktu Anda secara signifikan.
Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang No. 42 tahun 2009 pasal 7, yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) pada bab
IV pasal 7 ayat (1) :
Pengusaha Kena Pajak Sebagai Pihak yang Menyetor dan Melaporkan PPN
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pihak yang wajib menyetor dan melaporkan PPN.
Setiap tanggal di akhir bulan adalah batas akhir waktu penyetoran dan pelaporan PPN
oleh PKP.
Jika pengusaha tidak dapat mencapai transaksi dengan jumlah Rp 4,8 miliar
tersebut, maka pengusaha dapat langsung mencabut permohonan pengukuhan
sebagai PKP.
Dengan menjadi PKP, pengusaha wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN
yang terutang. Dalam perhitungan PPN yang wajib disetor oleh PKP, ada yang disebut
dengan pajak keluaran dan pajak masukan.
Pajak keluaran ialah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya. Sedangkan,
pajak masukan ialah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh maupun
membuat produknya.
Prinsip Pemungutan PPnBM ialah hanya 1 (satu) kali saja, yaitu pada saat:
Penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
Pemungutan pajak barang mewah ini sama sekali tidak memperhatikan siapa yang
mengimpor maupun seberapa sering produsen atau pengusaha melakukan impor
tersebut (lebih dari sekali atau hanya sekali saja)
Menurut Pasal 8 Undang-Undang No. 42 Tahun 2009, tarif PPnBM ditetapkan paling
rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi sebesar 200% (dua ratus persen). Jika
pengusaha melakukan ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah maka akan
dikenai pajak dengan tarif sebesar 0% (nol persen).
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dihitung dengan cara mengalikan persentase tarif
PpnBM dengan nilai Dasar Pengenaan Pajak (harga barang sebelum dikenakan pajak,
termasuk PPN). Sedangkan, untuk membuat laporannya harus menggunakan formulir
SPT Masa PPN 1111. Selama masih berada dalam satu periode pajak yang sama,
PPnBM tersebut dapat dilaporkan bersama dengan PPN dan PPN Impor. Pelaporan
pajak barang mewah ini harus segera dilakukan paling lama pada akhir bulan
berikutnya setelah tanggal faktur dibuat.
Penghitungan dan pelaporan PPnBM memang hal yang cukup rumit untuk dilakukan.
Namun kini tidak lagi karena OnlinePajak hadir untuk membantu Anda dalam
mempermudah proses bisnis dan perpajakan Anda. Melalui OnlinePajak, Anda bisa
melakukan hitung, setor, dan lapor, kapan saja dan di mana saja. Pelajari lebih lengkap
seputar fitur OnlinePajak, temukan perencanaan yang tepat sesuai kebutuhan Anda, dan
rasakan manfaat dan keuntungannya bagi Anda maupun perusahaan Anda.
Apa itu pajak? Pajak banyak jenisnya. Salah satunya adalah Pajak Bumi &
Bangunan. Setiap orang yang mendirikan bangunan di atas tanah, maka berkewajiban
membayar pajak.
Apa itu pajak PBB? Pajak Bumi dan Bangunan sebenarnya adalah pungutan wajib atas
kepemilikan tanah dan bangunan karena adanya keuntungan maupun kedudukan sosial
ekonomi atas perorangan atau badan yang memiliki hak padanya ataupun mendapatkan
manfaat dari tanah dan bangunan tersebut.
Jenis pajak PBB ini lebih kepada objeknya (tanah dan bangunan) dan bukan kepada
subjeknya (pemilik). Besarnya pajak ditentukan oleh jumlah objeknya, bukan
subjeknya.
Jadi, kamu yang memiliki tanah atau bangunan, wajib membayar pajak ini. Adapun
tarif Pajak Bumi dan Bangunan untuk objek pajak adalah sebesar 0,5 persen.
Apa aja contoh objek bumi dan bangunan yang berlaku Pajak Bumi dan
Bangunan atasnya? Berikut ini di antaranya:
Pekarangan rumah.
Tanah.
Persawahan.
Ladang.
Tambang.
Perkebunan.
Untuk mengetahui objek Pajak Bumi dan Bangunan lainnya, kamu bisa
mengonsultasikan ke petugas pajak setempat. Berkonsultasi pada ahlinya bisa
membantumu jika ada keraguan, apakah bangunan atau tanah yang kamu miliki wajib
pajak atasnya atau nggak.
Adapun objek seperti tempat ibadah, bangunan kesehatan, pendidikan, sosial budaya
nasional, kuburan, hutan lindung, taman nasional, bangunan perwakilan diplomatik dan
konsultan, nggak wajib membayar pajak.
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan adalah pihak atau pelaku yang harus membayar
pajak. Secara umum terbagi dua yakni secara pribadi dan juga badan. Mereka yang
berkewajiban membayar PBB ini bisa secara personal pribadi atau lembaga yang
memiliki kepemilikan atas objek pajak.
Apa aja syarat subjek baik pribadi maupun badan ini harus mengeluarkan PBB? Nah,
untuk memudahkanmu, ini dia beberapa kriterianya subjeknya.
Jika seseorang memiliki kriteria seperti di atas untuk bumi dan bangunan, maka yang
bersangkutan wajib membayar Pajak Bumi dan Bangunan.
Gimana sih, cara menghitung pajak bumi dan bangunan? Untuk menghitung jumlah
pajak ini, kamu perlu menggunakan rumus berikut:
Keterangan:
Untuk menghitung NJOP Bumi, kamu bisa melakukannya dengan cara mengalikan luas
tanah dan nilai tanah. Sedangkan untuk menghitung NJOP bangunan, lakukan dengan
cara menghitung luas bangunan dikali nilai bangunan. Besaran dari NJOPTKP
ditentukan oleh pemerintah.
Kamu memiliki tanah 50 meter persegi yang harganya Rp2 juta per meternya dan
bangunan 20 meter persegi dengan harga Rp1 juta per meternya. Sementara itu,
nilai NJOPTKP-nya adalah Rp6 juta.
Jadi jumlah pajak yang harus kamu bayar sebesar Rp120 ribu.
Nah, gimana dengan pajak kamu sekarang? Masih bingung gimana cara bayarnya?
Nggak perlu khawatir, karena saat ini bayar pajak nggak harus datang ke kantor pajak.
Semua bahkan bisa kamu lakukan cukup dari HP.
Sekarang, kalau mau bayar pajak yang lebih mudah dan simpel, kamu cukup
pakai LinkAja. Semudah kamu isi pulsa, cara bayar pajak via aplikasi ini pun
lebih memudahkan kamu bayar pajak tepat waktu dan bebas denda.
LinkAja dari Telkomsel jadi solusi untuk kamu yang sering telat bayar pajak. Lebih
mudah, cepat, praktis dan menguntungkan.