Anda di halaman 1dari 26

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian Tahap 1

Hasil penelitian menganalisis kinerja L-theanin sebagai imunostimulan

untuk menekan tingkat stress pada ikan biawan selama penelitian.

Analisis kinerja L-theanin sebagai imunostimulan untuk menekan tingkat

stress pada ikan biawan dilakukan pengujian hematologi. Hematologi adalah

cabang ilmu kesehatan yang mempelajari darah, organ pembentuk darah,

dan penyakitnya. Hematologi mempelajari gangguan, diagnosis, pengobatan,

pemulihan dan pencegahan penyakit yang menyerang darah serta komponen-

komponennya (Astuti, 2003). Kondisi hematologi yang diamati dalam penelitian

ini yaitu hematokrit, eritrosit dan glukosa darah ikan biawan.

A. Hematokrit

Hematokrit adalah presentase volume eritrosit dalam darah ikan atau

perbandingan antara volume sel darah dan plasma darah. Hematokrit dapat

memberikan petunjuk tentang kesehatan ikan dan membantu untuk menentukan

timbulnya abnormalitas akibat penggunaan imunostimulan. Nilai hematokrit dapat

dihitung melalui jumlah sel darah merah yang terkandung dalam darah ikan

(Januarty, 2012).

Kandungan hematokrit juga tergantung pada faktor nutrisi, umur, jenis

kelamin, ukuran tubuh. Hasil perhitungan hematokrit ikan biawan selama

penelitian dapat dilihat pada Tabel dan Gambar berikut:


Tabel 4.1 Nilai Hematokrit Ikan Biawan

Perlakuan Ulangan
1 2 3 Rerata
A 45.80 36.30 45.10 42.40
B 12.90 39.10 36.10 29.37
C 38.90 30.20 47.00 38.70
D 47.70 47.60 41.90 45.73

Hematokrit
50.00
45.00
40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
A B C D

Gambar 4.1. Nilai Hematokrit Ikan Biawan

Keterangan:

 Perlakuan A subtitusi pakan dengan dosis L-Theanin 0 mg/kg

 Perlakuan B subtitusi pakan dengan dosis L-Theanin 300 mg/Kg

 Perlakuan C subtitusi pakan dengan dosis L-Theanin 600 mg/Kg

 Perlakuan D subtitusi pakan dengan dosis L-Theanin 900 mg/kg

Berdasarkan Tabel 4.1 dan Gambar 4.1 terlihat bahwa persentase

hematokrit tiap perlakuan mengalami perbedaan. Namun secara keseluruhan nilai

hematokrit ikan biawan masih dalam batas normal. Nilai analisis hematokrit ikan

biawan yang diberikan perlakuan dengan subtitusi pakan dengan dosis L-Theanin

yaitu A sebagai kontrol (42.40 %), Perlakuan B (29.37%), Perlakuan C (38.70%)


dan Perlakuan D (45.73%). Hasil uji normalitas liliefors hematokrit ikan biawan

di peroleh nilai Li Max 0.91 < Li Tabel 5% 0.242, sehingga dapat disimpulkan

bahwa data menyebar normal. Hasil uji homogenitas ragam barlett di peroleh nila

X2 hitung -7.284 < X2 tabel 5.991, yang bererti homogen. Hasil analisis

keragaman ANOVA menunjukkan nilai F hitung 1.900 < F tabel 5% yaitu 4.07

yang berarti tidak ada perbedaan antar perlakuan.

Nilai hematokrit tertinggi selama penelitian yaitu pada perlakuan D

(45.73%). Kondisi ini dikarena pengaruh L-Theanin yang terkandung didalam

pada pakan. Menurut Abdullah (2008) dalam Faizah (2013) ikan perairan tawar

dikatakan sehat apabila kadar hematokritnya berkisar antara 22-60%. Konsetrasi

hematokrit yang <22% menunjukkan ikan mengalami anemia dan kemungkinan

ikan mengalami sakit atau stres. Pemberian L-Theanin pada pakan dapat

membantu meningkatkan imunustimulan ikan biawan.

Hematokrit menunjukkan persentase zat padat (kadar sel darah merah, dan

Iain-Iain) dengan jumlah cairan darah. Semakin tinggi persentase hematokrit

berarti konsentrasi darah makin kental. Hal ini terjadi karena adanya perembesan

(kebocoran) cairan ke luar dari pembuluh darah sementara jumlah zat padat tetap,

maka darah menjadi lebih kental. Penurunan hematokrit terjadi pada saat tubuh

mengalami kehilangan darah akut, kehilangan darah secara mendadak, misalnya

saat anemia, leukemia, gagal ginjal kronik, mainutrisi, kekurangan vitamin B dan

C. Peningkatan hematokrit di atas normal terjadi pada dehidrasi, diare

berat,eklampsia, efek pembedahan, luka bakar dan Iain-Iain.


Hematokrit adalah perbandingan jumlah sel darah merah dengan

keseluruhan volume darah yang dihitung dalam persentase. Apabila kadar

hematokrit Anda diketahui berjumlah 20%, artinya terdapat 20 mililiter

sel darah merah per 100 mililiter. Gambaran darah suatu organisme dapat

digunakan untuk mengetahui kondisi kesehatan yang sedang dialami oleh ikan,

salah satunya dilihat dari persentase hematokrit yang memiliki peran penting

sebagai pertahanan dari serangan bakteri yang masuk ke dalam tubuh ikan. Pada

saat ikan stress nilai hematokrit akan cenderung menurun. Stres pada ikan juga

menyebabkan terjadinya penyimpangan fisiologis dan ketidakseimbangan

hormon, sehingga menyebabkan komponen-komponen darah juga ikut mengalami

perubahan.

Hasil analisa memberikan gambaran bahwa disetiap titik sampel kadar

Hematokrit bervariasi pada setiap kelompok Perlakuan. Dengan rata-rata nilai

perlakuan awal = 41.5%, Perlakuan A= 42.4% Perlakuan B=29.3% Perlakuan

C=38.7% Perlakuan D=45.7% yang tersebar disetiap kelompok pengamatan

berada diatas kadar minimal yang disarankan. Hematokrit dapat dipengaruhi

musim, makanan dan faktor – faktor hormonal Menurut Fange (1992), Pada ikan

toleransi kadar Hematokrit pada umumnya relative konstan antara 20 – 40 %.

Nilai normal hematokrit ikan nila berkisar antara 27 – 37 % (Farouq, 2011). Nilai

hematokrit ikan nila berkisar 28.00 – 35.13 %. Dengan demikian nilai Hct pada

ikan nila tergolong sehat.

Penghitungan persentase hematokrit merupakan salah satu pendekatan

yang digunakan untuk bisa mengenali tubuh ikan saat stres. Hematokrit
merupakan persentase volume sel darah merah (eritrosit) dalam darah ikan.

Apabila nilai hematokrit kurang dari 25% menunjukkan terjadinya anemia

(Kuswardani, 2007). Mekanisme terjadinya perubahan persentase hematokrit

selama stres dimulai dari diterimanya informasi penyebab faktor stres oleh organ

reseptor. Selanjutnya informasi tersebut disampaikan ke otak bagian

hypothalamus melalui system saraf. Hipothalamus memerintahkan sel kromafin

untuk mensekresikan katekolamin melalui serabut saraf simpatik. Adanya

katekolamin ini akan mengaktivasi lipopolisakarida yang menyerang komponen

darah yang fungsinya dapat menurunkan hematokrit pada ikan. Hasil pemeriksaan

terhadap hematokrit dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk

menentukan keadaan kesehatan ikan, nilai hematokrit kurang dari 25%

menunjukkan terjadinya anemia. Rendahnya hematokrit juga dapat menunjukkan

terjadinya kontaminasi, ikan kekurangan makan, kandungan protein pakan rendah,

kekurangan vitamin, stres atau terjadi infeksi menurut.

Stres pada ikan juga menyebabkan terjadinya penyimpangan fisiologis dan

ketidakseimbangan hormon, sehingga menyebabkan komponen-komponen darah

juga ikut mengalami perubahan. Perubahan gambaran darah dan kimia darah, baik

secara kualitatif maupun kuantitatif, dapat menentukan kondisi kesehatannya.

Penurunan nilai hematokrit mengindikasikan ketidaknyamanan kondisi dari suatu

organisme dan menyebabkan anemia (Nirmala et al., 2012). Nilai hematokrit di

bawah 30 % menunjukkan adanya defisiensi eritrosit. Jumlah sel darah merah,

hematokrit, dan hemoglobin semakin menurun seiring dengan bertambahnya

konsentrasi merkuri di dalam media pemeliharaan. Penurunan kadar hematokrit


dan hemoglobin dalam darah ikan oleh merkuri dipengaruhi oleh kontaminasi,

absorbsi dan akumulasi merkuri yang dapat menyebabkan anemia pada ikan.

Penurunan nilai hematorit dapat terjadi apabila pada saat stres ikan tidak

dapat mempertahankan kondisi homestatis dimana pada tahap General Adaptation

Syndrome (GAS) terjadi reaksi pertahanan terhadap stressor yang menyebabkan

terjadinya perubahan denyut jantung, perubahan respirasi, dan kapasitas supply

darah. Pada saat terjadi reaksi pertahanan, tubuh akan memberikan respon primer

yang berupa peningkatan sekresi kortikosteroid dan kotekolamin.

Nilai hematokrit yang terukur berhubungan langsung dengan jumlah

eritrosit dan kadar hemoglobin. Ketika ikan mengalami stres, kontraksi limpa

akan menurun sehingga sirkulasi sel darah merah menjadi lemah, sehingga

akirnya menurunkan nilai hematokrit. Terjadinya stres pada ikan akan

menimbulkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah, peningkatan glukosa

darah dan pelepasan kortisol. Pada saat stres kortisol akan menekan sistem imun,

sehingga menyebabkan limfosit meningkat dan meningkatnya sekresi kortisol

juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan monosit dan basofil. Dalam tubuh

ikan, Monosit berperan dalam fagositosis benda asing. Sel ini mempunyai

kemampuan untuk membunuh berbagai jenis agen patogen, termasuk bakteri dan

larva cacing.

Fungsi basofil berhubungan dengan kepekaan antigen, gejala stres dan

fagositosis. Apabila ikan terpapar stressor dalam jangka waktu panjang,

selanjutnya akan terjadi stres kronis pada ikan yang mengakibatkan terjadinya
penurunan sistem imun sehingga ikan mudah terkena serangan bakteri, jamur dan

parasit. Penurunan sistem imun biasanya diikuti oleh kejadian kematian pada ikan.

Stres terdiri atas 3 komponen yaitu stressor, proses dan respon. Istilah stres

tidak hanya merujuk pada sumber stres namun keterkaitan antara ketiganya.

Stressor adalah suatu kejadian, situasi, atau obyek yang merupakan unsur

penyebab terjadinya stres dan menimbulkan reaksi stres sebagai hasilnya.

Terdapat empat macam faktor stres yaitu stressor kimia, dapat berupa kualitas air,

polusi, adanya senyawa nitrogen dan zat sisa metaboliseme. Stressor biologis,

dapat berupa kepadatan, parasit, mikroba, jamur dan bakteri. Stressor fisika,

berupa suara, dan intensitas cahaya. Stressor prosedural berupa handling,

transportasi dan penanganan penyakit (Linder et al., 2013).

B. Eritrosit

Eritrosit disebut juga sebagai sel darah merah. Warna merah pada eritrosit

disebabkan oleh adanya hemoglobin. Hemoglobin tersusun dari senyawa besi

hemin dan suatu jenis protein, yaitu globin. Peranan utama eritrosit adalah sebagai

pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh ikan. Hasil analisi eritrosit

ikan biawan selama masa penelitian dapat dilihat pada Tabel dan Gambar berikut :

Tabel 4.2.Nilai Eritrosit Ikan Biawan (x106/μL)

Perlakuan Ulangan (x106/μL)


1 2 3 Rerata (x106/μL)
A 4.57 3.41 3.50 3.83
B 1.28 3.82 3.67 2.92
C 3.78 2.43 3.51 3.24
D 3.62 3.51 3.18 3.44
Eritrosit
4.50
4.00
3.50
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
A B C D

Gambar 4.2. Nilai Eritrosit Ikan Biawan (x106/μL)

Keterangan:

 Perlakuan A subtitusi pakan dengan dosis L-Theanin 0 mg/kg

 Perlakuan B subtitusi pakan dengan dosis L-Theanin 300 mg/Kg

 Perlakuan C subtitusi pakan dengan dosis L-Theanin 600 mg/Kg

 Perlakuan D subtitusi pakan dengan dosis L-Theanin 900 mg/kg

Berdasarkan Tabel 4.2 dan Gambar 4.2 terlihat bahwa persentase eritrosi

tiap perlakuan mengalami perbedaan. Namun secara keseluruhan nilai eritrosit

ikan biawan masih dalam batas normal. Nilai analisis eritrosit ikan biawan yang

diberikan perlakuan dengan subtitusi pakan dengan dosis L-Theanin yaitu A

sebagai kontrol (3.83 x106/μL), Perlakuan B (3.67 x106/μL), Perlakuan C (3.71

x106/μL) dan Perlakuan D (3.18 x106/μL). Hasil uji normalitas liliefors eritrosit

ikan biawan di peroleh nilai Li Max 0.438 < Li Tabel 5% 0.242, sehingga dapat

disimpulkan bahwa data menyebar normal. Hasil uji homogenitas ragam barlett di

peroleh nila X2 hitung 1.685 < X2 tabel 5.991, yang bererti homogen. Hasil
analisis keragaman ANOVA menunjukkan nilai F hitung 0.541 < F tabel 5%

yaitu 4.07 yang berarti tidak ada perbedaan antar perlakuan.

Nilai eritrosit tertinggi selama penelitian dengan pemberian pakan ikan

biawan yang mengandung L-Theanin yaitu pada perlakuan A (3.83 x10 6/μL). Ikan

jenis teleostei, jumlah normal eritrosit atau sel darah merah normal berkisar antara

1,05 x 106 – 3,0 x 106 sel/mm3 (Royan et al., 2014). Nilai eritrosit penelitian ini

berkisar antara 3.17-3.83 x106/μL. Jumlah tersebut masih dalam batasan wajar

eritrosit normal ikan. Kondisi ini berarti penambahan L-Theanin dalam pakan

memberikan dampak positif terhadap eritrosit Ikan biawan.

Hidayah (2019) nilai eritrosit yang diberikan pakan dengan berarti

penambahan ekstrak kelakai memberikan dampak positif terhadap eritrosit Ikan

biawan. Eritrosit berkisar antara 2,07-3,05 x106/μL. Hitung eritrosit atau red

blood cell count (RBC) adalah jumlah eritrosit per milimeterkubik atau mikroliter.

Robert (1978) Seperti halnya pada hematokrit, kadar eritrosit yang rendah

menunjukkan terjadi anemia. Sedangkan kadar tinggi menunjukkan bahwa ikan

dalam keadaan stres (Wedemeyer dan Yasutake, 1977).

Bentuk dan ukuran kecil eritrosit merupakan nilai adaptif bagi oksigen dan

karbondioksida yaitu sebagai pengangkut yang dapat cepat menyebar keseluruh

jaringan. Kisaran normal jumlah eritrosit ikan pada umumnya yaitu 20.000-

3.000.000 sel/mm³, dengan demikian jumlah eritrosit ikan yang diteliti tergolong

normal dengan kategori sehat (Oktavia, 2011), hewan yang aktif bergerak akan

memiliki eritrosit yang banyak karena akan mengkonsumsi banyak oksigen, sebab

eritrosit berfungsi sebagai transport oksigen dalam darah . Jumlah Eritrosit


bervariasi tergantung umur, jenis kelamin,hormon dan lingkungan (Sarkiah et al.,

2016).

C. Glukosa Darah

Glukosa darah adalah glukosa yang terdapat dalam darah yang terbentuk

dari karbohidrat dalam makanan dan disimpan glikogen di hati dan otot rangka

(Joyce, 2007). Glukosa darah merupakan sumber energi utama dan elemen

penting untuk mendukung metabolisme sel ikan, terutama sel otak. Hasil analisis

glukosa darah ikan biawan selama masa penelitian dapat dilihat pada Tabel dan

Gambar berikut :

Tabel 4.3.Nilai Glukosa Darah Ikan Biawan (mg/dL)

Perlakuan Ulangan (mg/dL)


1 2 3 Rerata (mg/dL)
A 26.00 48.00 72.00 48.67
B 48.00 48.00 35.00 43.67
C 48.00 35.00 49.00 44.00
D 72.00 48.00 76.00 65.33

Glukosa Darah
70.00

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00
A B C D

Gambar 4.3.Nilai Glukosa Darah Ikan Biawan (mg/dL)


Keterangan:

 Perlakuan A subtitusi pakan dengan dosis L-Theanin 0 mg/kg

 Perlakuan B subtitusi pakan dengan dosis L-Theanin 300 mg/Kg

 Perlakuan C subtitusi pakan dengan dosis L-Theanin 600 mg/Kg

 Perlakuan D subtitusi pakan dengan dosis L-Theanin 900 mg/kg

Berdasarkan Tabel 4.3 dan Gambar 4.3 terlihat bahwa persentase glukosa

darah ikan biawan tiap perlakuan mengalami perbedaan. Namun secara

keseluruhan nilai glukosa darah ikan biawan masih dalam batas normal. Nilai

analisis glukosa darah ikan biawan yang diberikan perlakuan dengan subtitusi

pakan dengan dosis L-Theanin yaitu A sebagai kontrol (48.67 mg/dL), Perlakuan

B (46.00 mg/dL), Perlakuan C (44.00 mg/dL) dan Perlakuan D (65.33 mg/dL).

Hasil uji normalitas liliefors glukosa darah ikan biawan di peroleh nilai Li Max

0.303 < Li Tabel 5% 0.242, sehingga dapat disimpulkan bahwa data menyebar

normal. Hasil uji homogenitas ragam barlett di peroleh nila X2 hitung -9.422 <

X2 tabel 5.991, yang bererti homogen. Hasil analisis keragaman ANOVA

menunjukkan nilai F hitung 1.370 < F tabel 5% yaitu 4.066 yang berarti tidak ada

perbedaan antar perlakuan.

Nilai glukosa darah tertinggi selama penelitian dengan pemberian pakan

ikan biawan yang mengandung L-Theanin yaitu pada perlakuan D (65.33 mg/dL).

Umumnya, kadar glukosa darah ikan yang dianggap normal berkisar antara 40-90

mg/dL. Jika keadaan glukosa darah ikan tidak normal, maka akan mengganggu

kehidupan ikan dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Pemberian L-Theanin


pada pakan dapat membantu mempertahankan dan meningkatkan imunustimulan

ikan biawan.

Kandungan L-Theanin terbukti mampu menurunkan Kadar glukosa darah

pada ikan Biawan yang mengalami stress akibat perubahan lingkungan pada saat

pengangkutan. Dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa perlakuan B

subtitusi L-Theanin 300 mg/L merupakan perlakuan terbaik hal ini didasari oleh

efesiensi bahan dan hasil yang menunjukan kadar normal pada ikan serta tingkat

stabilitas angka hasil pengukuran. Kadar glukosa darah ikan yang normal

mengandung 40- 90 mg/dL, kandungan glukosa darah tersebut hampir sama

dengan glukosa darah pada manusia yaitu 70-110 mg/dl (Rahardjo et al., 2011).

Kadar glukosa darah yang tinggi merangsang kelenjar tiroid dan

meningkatkan produksi tiroksin. Tingginya tiroksin dapat memicu limfositopenia

(limfosit rendah) dalam darah. Kemudian sistem saraf simpatis bereaksi

berlebihan, yang menyebabkan kontraksi getah bening, meningkatkan laju

pernapasan dan tekanan darah. Stres pada ikan didefinisikan sebagai sejumlah

respon fisiologis yang terjadi pada saat ikan berusaha mempertahankan

homeostatis. Bila ikan mengalami stres, ikan menanggapinya dengan

mengembangkan suatu kondisi homeostatis yang baru dengan mengubah

metabolismenya.

Stres dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Secara fisik, stres dapat

dilihat dari tingkah laku ikan, seperti gerakan menjadi kurang agresif, turunnya

nafsu makan ikan, dan warna tubuh ikan menjadi gelap . Perubahan glukosa darah

ikan juga dapat menjadi indikasi stress pada ikan yang diakibatkan oleh faktor
eksternal lingkungan perairan seperti adanya perubahan lingkungan secara drastic,

pencemaran limbah domestic dan industri . Perubahan kondisi lingkungan akan

menyebabkan tingginya permintaan akan suplai glukosa darah.

4.2 Hasil Penelitian Tahap 2

Hasil penelitian menganalisis kinerja Vitamin E mempercepat rematurasi

pada induk ikan biawan. Parameter pengukuran rematurasi induk ikan biawan

yang diberikan tambahan vitamin E pada pakan yaitu Hepato Somatik Indeks

(HSI), Gonad Somatik Indeks (GSI), dan Histologi gonad.

A. Hepato Somatik Indeks (HSI)

Rasio bobot hati terhadap berat badan. Hepato Somatik Indeks (HSI)

merupakan nilai indeks untuk memberi indikasi status cadangan energi pada ikan.

HSI merupakan nilai dalam persen dari hasil perbandingan berat hati dengan berat

tubuh dari setiap induk ikan. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan

bobot hati berdasarkan HSI yang meningkat mengikuti peningkatan ukuran oosit

berdasarkan TKG. Kandungan HSI juga tergantung pada faktor nutrisi, umur,

jenis kelamin, ukuran tubuh. Hasil perhitungan HSI ikan biawan selama penelitian

dapat dilihat pada Tabel dan Gambar berikut:

Tabel 4.4.Nilai Hepato Somatik Indeks (HSI)

Perlakuan Ulangan (%)


1 2 3 Rerata (%)
A 0.57 0.56 0.57 0.57
B 0.76 0.76 0.75 0.76
C 0.79 0.79 0.78 0.79
D 0.75 0.74 0.75 0.75
Hepato Somatik Indeks (%)
0.90
0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00
A B C D

Gambar 4.4.Nilai Hepato Somatik Indeks (HSI)

Keterangan:

 Perlakuan A subtitusi pakan dengan dosis Vitamin E 0 mg/kg

 Perlakuan B subtitusi pakan dengan dosis Vitamin E 200 mg/Kg

 Perlakuan C subtitusi pakan dengan dosis Vitamin E 400 mg/Kg

 Perlakuan D subtitusi pakan dengan dosis Vitamin E 600 mg/kg

Berdasarkan Tabel 4.4 dan Gambar 4.4 terlihat bahwa persentase Hepato

somatic indeks (HIS) ikan biawan tiap perlakuan mengalami perbedaan. Namun

secara keseluruhan nilai HSI ikan biawan masih dalam tahap pematangan. Nilai

analisis HSI ikan biawan yang diberikan perlakuan dengan subtitusi pakan dengan

dosis Vitamin E yaitu A sebagai kontrol (0.57%), Perlakuan B (0.76%), Perlakuan

C (0.79%) dan Perlakuan D (0.75%). Hasil uji normalitas liliefors HSI ikan

biawan di peroleh nilai Li Max 0.279 < Li Tabel 5% 0.242, sehingga dapat

disimpulkan bahwa data menyebar normal. Hasil uji homogenitas ragam barlett di

peroleh nila X2 hitung 1.951 < X2 tabel 5.991, yang bererti homogen. Hasil
analisis keragaman ANOVA menunjukkan nilai F hitung 0.239 < F tabel 5% yaitu

4.066 yang berarti tidak ada perbedaan antar perlakuan.

Kisaran Indeks Hepato somatik ikan biawan betina seiring dengan

meningkatnya Tingkat Kematangan Gonad. HSI yang terbesar pada ikan biawan

berada pada perlakuan C (0.79%) dengan penambahan dosis Vitamin E 400

mg/Kg nilai HSI ikan biawan menunjukkan Tingkat Kematangan Gonad pada

TKG I dengan rerata 0.57-0.79%.

Peningkatan nilai rerata HSI pada setiap TKG menunjukkan bahwa

semakin besar TKG maka semakin besar nilai HSInya. Nilai HSI yang meningkat

ini saling berhubungan dengan peningkatan TKG. Menurut Elisio (2014), nilai HSI

berkaitan erat dengan TKG, dimana peningkatan TKG diikuti dengan peningkatan

HSI yang kemudian akan menurun pada TKG tertinggi karena energinya

digunakan untuk memijah. Ikan biawan termasuk ikan bertubuh langsing.

Cadangan energi pada hati pada ikan-ikan langsing termasuk ikan biawan banyak

digunakan untuk proses vitellogenesis. Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian,

dimana peningkatan HSI tidak terlalu tinggi lagi karena energi yang tersimpan di

hati sudah diarahkan untuk ke proses persiapan pemijahan (Usman, 2018).

HSI akan menurun pada saat pemijahan, dan mencapai titik terendah pada

masa pasca pemijahan, yang kemudian meningkat kembali pada fase istirahat

dimana ikan mulai makan sebanyak-banyaknya yang menyebabkan peningkatan

cadangan lemak di hati. Selain berkaitan erat dengan fase reproduksi, nilai HSI

juga menunjukkan kondisi lingkungan perairan tempat ikan ini berada. Kondisi

lingkungan yang dimaksud adalah kelimpahan makanannya. Makanan yang


berlimpah, menyebabkan ikan-ikan akan makan banyak dan meningkatkan

cadangan lemak di hatinya (Plante, 2005). Peningkatan cadangan lemak di hati ini

kemudian digunakan untuk bereproduksi, dimana lemak tersebut merupakan

energi untuk melangsungkan pemijahan.

Sulistyo et al., (2000) menyatakan bahwa nilai HSI akan mulai meningkat

pada saat ikan mengalami awal proses vitelogenesis dan akan mulai turun pada

saat pematangan gonad. Nacimento et al., (2014) menyatakan bahwa nilai HSI

akan terbalik dengan nilai GSI seiring meningkatnya dosis vitamin E dalam

pakan. Vitamin E di dalam pakan sangat dibutuhkan untuk membantu proses

perkembangan gonad ikan. Selama reproduksi, vitamin E di dalam pakan akan

berperan sebagai antioksidan untuk mempertahankan asam lemak dari oksidasi

asam lemak. Semakin meningkat dosis vitamin E di dalam pakan maka semakin

meningkat pula keberadaan asam lemak dan sedikitnya peluang asam lemak yang

teroksidasi pada saat perkembangan gonad.

Asam lemak yang dipertahankan oleh vitamin E akan digunakan sebagai

bahan utama (vitelogenin) selama proses pembentukan kuning telur

(vitelogenesis). Lemak adalah salah satu bahan utama untuk pembentukan telur

(Kamler 1992). Selain itu, vitamin E juga berperan sebagai koenzim untuk

mengubah asam lemak menjadi kolesterol. Kolesterol merupakan salah satu bahan

stimulator pembentukan hormon reproduksi yakni estradiol 17 β untuk membantu

proses pembentukan kuning telur (vitelogenin) di hati. Vitamin E berperan

penting sebagai antioksidan dalam mempertahankan keberadaan asam lemak


selama proses perkembangan gonad serta mempercepat pembentukan hormon

reproduksi.

B. Gonad Somatik Indeks (GSI)

Indeks kematangan gonad atau Gonad Somatic Index (GSI)

merupakan indeks kuantitatif yang menunjukkan suatu kondisi seksual ikan. Hasil

perhitungan GSI ikan biawan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel dan

Gambar berikut:

Tabel 4.5. Nilai Gonado Somatik Indeks (GSI)

Perlakuan Ulangan (%)


1 2 3 Rerata (%)
A 1.56 1.55 1.56 1.56
B 1.39 1.38 1.39 1.39
C 1.47 1.46 1.47 1.47
D 1.53 1.52 1.53 1.53

Gonado Somatik Indeks (%)


1.60

1.55

1.50

1.45

1.40

1.35

1.30
A B C D

Gambar 4.5. Nilai Gonado Somatik Indeks (GSI)


Keterangan:

 Perlakuan A subtitusi pakan dengan dosis Vitamin E 0 mg/kg

 Perlakuan B subtitusi pakan dengan dosis Vitamin E 200 mg/Kg

 Perlakuan C subtitusi pakan dengan dosis Vitamin E 400 mg/Kg

 Perlakuan D subtitusi pakan dengan dosis Vitamin E 600 mg/kg

Berdasarkan Tabel 4.4 dan Gambar 4.4 terlihat bahwa persentase Hepato

somatic indeks (GSI) ikan biawan tiap perlakuan mengalami perbedaan. Namun

secara keseluruhan nilai GSI ikan biawan masih dalam tahap pematangan. Nilai

analisis HSI ikan biawan yang diberikan perlakuan dengan subtitusi pakan dengan

dosis Vitamin E yaitu A sebagai kontrol (1.56%), Perlakuan B (1.39%), Perlakuan

C (1.47%) dan Perlakuan D (1.53%). Hasil uji normalitas liliefors GSI ikan

biawan di peroleh nilai Li Max 1.951 < Li Tabel 5% 0.242, sehingga dapat

disimpulkan bahwa data menyebar normal. Hasil uji homogenitas ragam barlett di

peroleh nila X2 hitung 0.671 < X2 tabel 5.991, yang bererti homogen. Hasil

analisis keragaman ANOVA menunjukkan nilai F hitung 0.135 < F tabel 5% yaitu

4.066 yang berarti tidak ada perbedaan antar perlakuan.

Perlakuan dengan dosis Vitamin E 600 mg/kg menunjukkan nilai GSI ikan

biawan relatif lebih tinggi di bandingkan perlukan B dan C. Penambahan vitamin

E dalam pakan memberikan dampak peningkatan terhadap kecepatan pematangan

gonad Nilai GSI, TKG sejalan dengan pendapat Atmaja (2008) yang menyatakan

bahwa sejalan dengan pertumbuhan gonad, gonad akan semakin bertambah berat

dan bertambah besar mencapai ukuran maksimum ketika ikan yang akan memijah.

Untuk mengetahui seberapa besar perubahan yang terjadi dalam gonad tersebut
secara kuantitatif maka dilakukan perhitungan Indeks Kematangan Gonad (IKG)

atau Gonado Somatic Index (GSI) (Effendi, 2002).

Nilai IHS merupakan nilai kuantitatif yang dapat menggambarkan

pertambahan bobot hati seiring dengan pematangan gonad dan peningkatan GSI.

Nilai IHS akan semakin meningkat seiring pematangan gonad dan nilainya akan

lebih rendah daripada nilai GSI pada saat telah matang gonad. Gambaran anatomi

gonad dengan GSI memberikan hubungan yang berbanding lurus, semakin ukuran

gonad ikan sidat besar dan lebar maka nilai GSI semakin tinggi. Gonad akan

semakin bertambah bobotnya diimbangi dengan bertambah besar ukurannya.

C. Histologi

Pengukuran histologi dilakukan pada gonad ikan biawan untuk

menganalisis kinerja Vitamin E dalam mempercepat rematurasi pada induk ikan

biawan. Hasil pengukuran gonad ikan biawan tiap perlakuan dapat dilihat pada

Gambar berikut:

 Perlakuan A subtitusi pakan dengan dosis Vitamin E 0 mg/kg


Keterangan: 1 sel telur matang (vitelogenesis akhir), 2: oogonia; 3: Oosit primer

Gambar 4.6 Gonad Perlakuan A (Vitamin E 0 mg/kg)

Pada Gambar 4.6 tampak gonad betina didominasi sel telur hampir

matang (vitelogenesis akhir) dan beberapa sel telur matang (vitelogenesis akhir)

Tampak sel telur matang dan hampir matang dengan dinding dua lapis dengan

inti terletak ditengah dengan granula kuning telur tampak jelas dengan globulus

lemak Tampak Sebagian kecil sel telur tidak matang (Oogonia dan Oosit

primer) dengan inti besar ditengah dan dikelilingi provitilin nukleoli dengan

dinding sel satu lapis Tampak dinding gonad tipis Kesimpulan:Tingkat

Kematangan Gonad 4-5 (Matang).

 Perlakuan B subtitusi pakan dengan dosis Vitamin E 200 mg/Kg

Keterangan: 1 sel telur matang (vitelogenesis akhir), 2: oogonia; 3: Oosit primer

Gambar 4.7 Gonad Perlakuan B (Vitamin E 200 mg/kg)

Tampak gonad betina terdiri atas sel telur matang (vitelogenesis

akhir) dengan beberapa sel telur yang belum matang (vitelogenesis awal) dan

sebagian sel telur tidak matang (oogonia dan oosit primer). Tampak sel telur

matang dan belum matang (vitelogenensis awal dan akhir) dengan dinding dua
lapis dengan granula kuning telur tampak jelas dengan globulus lemak Tampak

beberapa sel telur tidak matang (oogonia) dengan inti sel besar ditengah dengan

provitilin nucleoli mengelilingi inti, dinding sel satu lapis. Kesimpulan:Tingkat

Kematangan Gonad 4 (Hampir matang).

 Perlakuan C subtitusi pakan dengan dosis Vitamin E 400 mg/Kg

Keterangan: 1 sel telur matang (vitelogenesis akhir), 2: oogonia

Gambar 4.8 Gonad Perlakuan C (Vitamin E 400 mg/kg)

Tampak gonad betina yang hampir semua disusun oleh sel telur matang

yang masuk tahap vitelogenesis akhir, dengan dinding dua lapis dengan granula

kuning telur dan globulus lemak Tampak beberapa sel telur tidak matang

(oogonia) dengan inti sel besar ditengah dengan provitilin nukleoli mengelilingi

inti, dinding sel satu lapis. Kesimpulan: Tingkat Kematangan Gonad 4-5

(Matang).

 Perlakuan D subtitusi pakan dengan dosis Vitamin E 600 mg/kg


2

Keterangan: 1 sel telur matang (vitelogenesis akhir), 2: oogonia.

Gambar 4.9 Gonad Perlakuan D (Vitamin E 600 mg/kg)

Tampak gonad betina yang hampir semua disusun oleh sel telur matang

yang masuk tahap vitelogenesis akhir, dengan dinding dua lapis dengan granula

kuning telur dan globulus lemak .Tampak sedikit sel telur tidak matang

(oogonia) dengan inti sel besar ditengah dengan provitilin nuleoli mengelilingi

inti, dinding sel satu lapis. Kesimpulan: Tingkat Kematangan Gonad 5 (Matang).

Dari Hasil uji gonad tersebut bisa di simpulkan bahwa tidak ada

perbedaan yang signifikan pada 4 perlakuan yang di aplikasikan pada penelitian

tersebut. Sehingga dalam kondisi kesehatan yang bagus (Ikan tidak setres) Maka

ikan biawan akan cepat matang tanpa harus menggunakan hormone tambahan

baik Vitamin E dan Lainya. Penelitian ini juga membuktikan bahwa stress

merupakan factor yang sangat berpengaruh dalam proses reproduksi suatu

organisme terutama biota air .

4.3. Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup (Survival rate/SR) merupakan persentasi jumlah ikan

yang hidup selama masa penilitian. Data jumlah ikan dari pelakuan dan hasil
perhitungan kelasungan hidup (%) pada akhir penelitian ikan biawan selama masa

pemulihan dapat dilihat pada Tabel 4.6. berikut.

Tabel 4.6. Persentasi Kelangsungan Hidup Ikan Biawan

Perlakuan Ulangan (%)


1 2 3 Rerata (%)
A 100 100 100 100
B 100 100 100 100
C 100 100 100 100
D 100 100 100 100

Kelangsungan hidup
120.00

100.00

80.00

60.00

40.00

20.00

0.00
A B C D

Gambar 4.6. Persentasi Kelangsungan Hidup Ikan Biawan

Tabel 4.6 dan Gambar 4.6 menunjukkan bahwa kelangsungan hidup ikan

biawan terendah pada perlakuan A, perlakuan, B, perlakuan C, perlakuan D

menunjukkan kelangsungan hidup sama 100%. Secara keseluruhan, pemberian

pakan dengan L-theanin pada tahan 1 dan Vitamin E pada tahap 2 penelitian

memberikan dampak positif untuk imunostimulan ikan biawan dan perkembangan

gonad ikan biawan. Hal L-theanine mengandung asam amino yang umum

ditemukan dalam daun teh. L-theanine juga terkandung dalam kadar yang sedikit

pada jenis jamur yang disebut Bay Bolete. Teh yang mengandung l-theanine
termasuk teh hijau maupun teh hitam. L-theanine dikaitkan dengan beragam

manfaat untuk Kesehatan ikan, terutama untuk pengendalian stres. Napitu et al.

(2013) mengungkapkan bahwa vitamin E memiliki peranan yang sangat penting

dalam meningkatkan reproduksi ikan karena vitamin E berfungsi sebagai

antioksidan yang dapat mempertahankan keberadaan asam lemak dan mencegah

terjadinya oksidasi lemak pada membran sel serta dapat mempercepat sekresi

hormon reproduksi.

4.4. Kualitas Air


Pengukuran parameter kualitas air suhu, pH, DO dan amoniak dilakukan

selama dua kali dilakukan selama awal dan akhir penalitian. Alat-alat yang

digunakan untuk mengukur kualitas air seperti pH meter untuk mengukur pH, DO

test kit untuk mengukur DO dan amoniak test kit untuk mengukur amoniak,

sedangkan untuk mengukur suhu alat yang digunakan berupa termometer.

Pengukuran kualitas air Ikan biawan meliputi suhu, pH, DO dan amoniak selama

penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut:

Tabel 4.7. Kualitas Air Media Ikan biawan Selama Penelitian


Parameter kualitas air
Perlakuan
Suhu ( C)
O
Ph DO (ml/L) NH3 (ml/L)
Awal 28,3 7,9 4,0 0,25
Akhir 27,9 7,9 4,0 0,25
- Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam kegiatan budidaya ikan.

Hal ini terkait dengan sifat ikan yang merupakan hewan berdarah dingin yaitu

suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Suhu lingkungan tinggi suhu

tubuh ikan juga tinggi sehingga metabolisme tubuh ikan cepat dan sebaliknya
pada suhu rendah metabolisme ikan pun rendah. Hal tersebut berpengaruh

terhadap nafsu makan ikan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap

pertumbuhan ikan dan pada akhirnya mempengaruhi produksi. Muslim (2007)

dalam Almaniar (2011) menerangkan bahwa suhu yang dapat menunjang

pertumbuhan ikan biawan berkisar antara 25,5 °C- 32,7 °C.

- Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) merupakan faktor penting yang berpengaruh

terhadap kehidupan ikan. Nilai pH yang diperoleh selama penelitian 8,2. Nilai

tersebut masih dapat ditoleransi oleh Ikan biawan. pH media pada perlakuan

berada pada nilai pH toleransi untuk ikan biawan yaitu antara 4–9 (Mukflikhah et

al., 2008). Menurut Effendi (2003), sebagian besar ikan dapat beradaptasi dengan

baik pada lingkungan perairan yang mempunyai pH berkisar antara 5-9.

- Oksigen Terlarut (DO)

Kandungan oksigen terlarut (DO) selama penelitian berkisar antara

4,0ml/L, di mana kandungan oksigen terlarut selama penelitian normal. Walaupun

terjadi penurunan konsentrasi oksigen terlarut, tetapi masih di atas 3 ml/L hingga

akhir pemeliharaan. Kualitas air merupakan salah satu faktor yang mendukung

pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Ikan memerlukan air untuk seluruh

kebutuhan hidupnya, baik untuk bergerak, makan, tumbuh dan berkembang biak.

Oksigen terlarut sangat diperlukan untuk respirasi dan metabolisme serta

kelangsungan hidup organisme (Effendi, 2003). Menurut Ratnasari (2011), kadar

oksigen yang baik untuk menunjang pertumbuhan ikan secara optimum harus

lebih dari 3 ml/L-1. Menurut Adriani (1995) Kandungan oksigen terlarut untuk

pemeliharaan ikan biawan berkisar antara 2,0-3,7 ml/L -1.

- Amoniak (NH3)
Amoniak dalam media budidaya berbahaya bagi ikan jika terdapat dalam

konsentrasi yang tinggi. Amoniak dalam media pemeliharaan berasal dari ekskresi

ikan melalui insang, perombakan sisa metabolisme, serta dari perombakan sisa

pakan dalam media pemeliharaan. Nilai amoniak yang dihasilkan selama

penelitian berfluktuasi dan berada pada kisaran 0,25ml/L. Nilai tersebut Masih

dapat ditoleransi oleh ikan. Nilai amoniak selama penelitian pada dengan nilai

kisaran 0,007-0,026 ml/L-1 masih bisa di toleransi oleh ikan. Menurut Boyd

(1990) dalam Sulfia (2015), kisaran konsentrasi amoniak dalam pemeliharaan

ikan adalah <1ml/L. Mikroorganisme probiotik dapat mengoksidasi amonia

sehingga jumlah amonia dalam media pemeliharaan berkurang.

Hasil penelitian Hastuti dan Subandiyono (2015) ikan mampu

mentoleransi amoniak sampai 5,70 ml/L-1. Beberapa spesies ikan mampu

mendetoksi amonia menjadi glutamin dan urea. Ikan biawan mampu

mengkonversi amoniak menjadi asam amino seperti glutamat oleh enzim glutamat

dehidrogenase dan asam amino glutamin yang bertujuan untuk proses

detoksifikasi. Kemudian mentransportasi amoniak keluar tubuh ikan melalui hati

dan ginjal selama proses ureogenesis dan melalui insang selama proses ekskresi.

Anda mungkin juga menyukai