Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA KLINIK III

Pemeriksaan SGOT dan SGPT

DISUSUN OLEH
NAMA : YULIUS ONTAHA
NIM : 18 3145 353 061
KELAS : 2018B

PROGRAM STUDI D-IV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


FAKULTAS TEKNOLOGI KESEHATAN
UNIVERSITAS MEGA REZKY
MAKASSAR
2020
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Selama 40 tahun terakhir, kreatinin serum telah menjadi petanda serum
paling umum dan murah untuk mengetahui fungsi ginjal. Pemeriksaan kreatinin
serum juga sangat membantu kebijakan dalam melakukan terapi pada pasien
gangguan fungsi ginjal. Tinggi rendahnya kadar kreatinin dalam darah
digunakan sebagai indikator penting dalam menentukan apakah seorang dengan
gangguan fungsi ginjal memerlukan tindakan hemodialisis atau tidak (Astrid,
dkk. 2016).
Kreatinin merupakan hasil metabolisme dari kreatin dan fosfokreatin.
Kreatinin memiliki berat molekul 113-Da (Dalton). Kreatinin difiltrasi di
glomerulus dan direabsorpsi di tubular. Kreatinin plasma disintesis di otot skelet
sehingga kadarnya bergantung pada massa otot dan berat badan.8 Nilai normal
kadar kreatinin serum pada pria adalah 0,7-1,3 mg/dL sedangkan pada wanita
0,6-1,1 mg/dL (Astrid, dkk. 2016).
Proses awal biosintesis kreatin berlangsung di ginjal yang melibatkan
asam amino arginin dan glisin. Menurut salah satu penelitian in vitro, kreatin
diubah menjadi kreatinin dalam jumlah 1,1% per hari. Pada pembentukan
kreatinin tidak ada mekanisme reuptake oleh tubuh, sehingga sebagian besar
kreatinin diekskresi lewat ginjal (Astrid, dkk. 2016).
Jika terjadi disfungsi renal maka kemampuan filtrasi kreatinin akan
berkurang dan kreatinin serum akan meningkat. Peningkatan kadar kreatinin
serum dua kali lipat mengindikasikan adanya penurunan fungsi ginjal sebesar
50%, demikian juga peningkatan kadar kreatinin serum tiga kali lipat
merefleksikan penurunan fungsi ginjal sebesar 75%.1 (Astrid, dkk. 2016).
Ada beberapa penyebab peningkatan kadar kreatinin dalam darah, yaitu
dehidrasi, kelelahan yang berlebihan, penggunaan obat yang bersifat toksik pada
ginjal, disfungsi ginjal disertai infeksi, hipertensi yang tidak terkontrol, dan
penyakit ginjal (Astrid, dkk. 2016).
Oleh karena itu, kami melakukan praktikum pemeriksaan kadar kreatinin ini
adalah untuk mengetahui gambaran kadar kreatinin serum pada pasien.
I.2 Maksud Dan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud Praktikum
Adapun maksud dalam praktikum ini adalah untuk mengetahui
pemeriksaan kadar kreatinin dalam serum serta menginterpretasikan
kemungkinan penyakit yang di derita.
I.2.2 Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk menetukan nilai
kadar kreatinin pada sampel serum
I.3 Prinsip Percobaan
Creatinine bereaksi dengan larutan pikrat alkalis membentuk warna
kemerahan (reaksi jeffe). Warna merah yang terbentuk sebanding dengan kadar
creatinine dalam serum dan diukur panjang gelombang 510 (500-520) nm.
Spesifitas dapat ditingkatkan dengan pengujian fixedtime kinetic, tetapi reaksi
positif palsumasih timbul dengan antibiotika golongan chepolosporia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ginjal memainkan peran penting dalam mengatur keseimbangan cairan,
elektrolit, asam basa, dan hormon. Kerusaan pada ginjal akan mengakibatkan
gangguan elektrolit seperti hyperkalemia, hipokalasemia, asidosis metabolic, dan
selanjutnya menimbulkan gangguan pada otot, kelainan tulang, klsifikasi pembuluh
darah dan kematian (Hani Susanti, 2019).
Ginjal terletak diantara veterbra Thorakal-12 (T12)sampai Lumbal-3 (L3),
dengan panjang sekitar 11-12 cm. Ginjal berbentuk seperti kacang, dengan
cekunganpada tepi medial (bagian tengah) yang merupakan tempat masuknya
pelvis renalis, arteri dan vena renalis, system limfatik dan sebuah pleksus saraf ke
dalam sinus ginjal. Ginjal dapat dibagi menjadi bagian korteks dan medulla.
Medulla membentuk 8 sampai 18 piramida ginjal (Hani Susanti, 2019).

Gambar 1. Anatomi ginjal (Hani Susanti, 2019).


Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup, mulai dari binatang
primitif sampai manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada dalam
pembulu darah sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai (a) pembawa
oksigen (oxygen carrier); (b) mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi; dan
(c) mekanisme hemostasis (Sadikin. 2001).
Menurut (Sadikin. 2001) , Darah terdiri dari 2 komponen utama:
1. Plasma darah: bagian darah yang sebagian besar terdiri atas air, elektrolit, dan
protein darah
2. Butir-butir darah (blood corpuscles), yang terdiri atas:
a. Eritrosit: sel darah merah (SDM)-red blood cell (RBC).
b. Leukosit: sel darah putih (SDP)- white blood cell (WBC).
c. Trombosit atau butir pembeku (platelet).

Gambar II.1 Komposisi Darah (Eva dan Ganjar. 2018).


Plasma darah adalah salah satu penyusun darah yang berwujud cair serta
mempengaruhi sekitar 5% berat badan manusia. Plasma darah memilki warna
kekuning-kuningan yang didalamnya terdiri dari 90 % air, 8 % protein, 0,9%
(mineral, oksigen, enzim, antigen) dan sisanya adalah bahan organik ( lemak,
kolesterol, urea, asam amino, dan glukosa). Plasma darah adalah cairan darah yang
berfungsi mengankut dan mengedarkan sari-sari makanan ke seluruh bagian tubuh
manusia, serta berfungsi mengangkut zat sisa metabolisme dari sel-sel tubuh atau
dari seluruh jaringan tubuh untuk dibuang ke organ pengeluaran (Eva dan Ganjar.
2018).
Cairan yang diperas dari bekuan darah berwarna kuning, inilah yang disebut
sebagai serum, yaitu cairan darah yang tidak mengandung fibrinogen karena dalam
proses pembekuan tidak diberi anti pembeku darah sehingga fibrinogen diubah
menjadi fibrin. Apabila darah itu diberi anti pembeku darah maka fibrinogen ini
tidak diubah menjadi fibrin sehingga dalam cairan darah tersebut masih
mengandung fibrinogen dan dikenal dengan plasma, itulah bedanya plasma dengan
serum (Eva dan Ganjar. 2018).
Penyakit ginjal mencakup berbagai penyakit dan gangguan yang
mempengaruhi ginjal. Sebagian besar penyakit ginjal menyerang unit penyaring
ginjal, nefron, dan merusak kemampuannya untuk menghilangkan limbah dan
kelebihan cairan (D G A Suryawan, dkk. 2016).
Ginjal memiliki peran penting untuk mempertahankan stabilitas volume,
komposisi elektrolit, dan osmolaritas cairan ekstraseluler. Salah satu fungsi penting
ginjal lainnya adalah untuk mengekskresikan produk-produk akhir atau sisa
metabolisme tubuh, misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Apabila sisa
metabolisme tubuh tersebut dibiarkan menumpuk, zat tersebut bisa menjadi racun
bagi tubuh, terutama ginjal (D G A Suryawan, dkk. 2016).
Kreatinin diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi _iltrasi dan sekresi,
konsentrasinya relatif konstan dalam plasma dari hari ke hari, kadar yang lebih
besar dari nilai normal mengisyaratkan adanya gangguan fungsi ginjal.
Pemeriksaan kadar kreatinin dalam darah merupakan salah satu parameter yang
digunakan untuk menilai fungsi ginjal. Hal ini dikarenakan konsentrasi dalam
plasma dan ekskresinya di urin dalam 24 jam relatif konstan. Kadar kreatinin darah
yang lebih besar dari normal mengisyaratkan adanya gangguan fungsi ginjal. Nilai
kreatinin normal pada metode jaffe reaction adalah laki-laki 0,8 sampai 1,2 mg/dL;
perempuan 0,6 sampai 1,1 mg/dL (Diyah Candra, 2020).
Kreatinin adalah produk metabolisme yang memiliki molekul lebih besar
dari ureum dan pada dasarnya tidak permeabel terhadap membran tubulus. Oleh
karena itu, kreatinin yang di_iltrasi hampir tidak ada yang direabsorbsi, sehingga
sebenarnya semua kreatinin yang di_iltrasi oleh glomerulus akan diekskresikan ke
dalam urin. Namun sejumlah kecil kreatinin disekresikan oleh tubulus, sehingga
jumlah kreatinin yang diekskresikan dalam urin sedikit melebihi jumlah yang di
iltrasi (Diyah Candra, 2020).
Menurut (Diyah Candra, 2020), kreatinin merupakan produk penguraian
kreatin. Kreatin disintesis di hati dan terdapat pada hampir semua otot rangka
sehingga individu dengan massa otot besar dapat memiliki nilai yang lebih tinggi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan plasma kreatinin, antara lain:
1. Diet tinggi kreatinin dari daging atau suplemen kaya kreatinin
2. Menurunnya sekresi kreatinin akibat kompetisi dengan asam keton, anion
organik (pada uremia), atau obat (Simetidin, sulfa).
Peningkatan konsentrasi kreatinin plasma mencerminkan terjadi perubahan
laju fitrasi glomerulus. Kreatinin adalah produk akhir metabolism kreatin. Kreatin
terutama disintesis oleh hati dan terdapat disemua otot rangka yang terikat secara
reversible pda fosfat dalam bentuk fosfokreatin (merupakan senyawa penyimpanan
energy), reaksi ini berulang-alik tergantung waktu energy dilepas atau diikat. Akan
tetapi sebgaian kecil diubah secara irrevesible menjadi kreatinin yang dikeluaarkan
dari sirkulasi oleh ginjal (Retno Bijinti,dkk. 2010).
Menurut (Retno Bijinti,dkk. 2010), Kreatinin:
1. Diekskresikan dalam urine melalui proses fitrasi dalam glomerulus
2. Tidak dimetabolisme olh hati
3. Tidak tergantung diet
4. Tidak direabsorbsi oleh tubulus ginjal
5. Difitrasi oleh glomerulus
6. Diekskresi ringan terutama bila aliran fitrate lambat
7. Merupakan subtansi pilihan pada tes bersihan ginjal endogen
8. Nilai pembentukan perhri constan
Kreatinin serum spesifik tetapi bukan merupakn pengukuraan sensitive
fungsi ginjal, karena kira-kira 60% kaapasitas fitrasi glomelurus hilang pada saat
kreatinin serummengalami peningkatan (Retno Bijinti, dkk. 2010).
The National Kidney Disease Education Program merekomendasikan
penggunaan serum kreatinin untuk mengukur kemampuanfi ltrasi glomerulus,
digunakan untuk memantau perjalanan penyakit ginjal. Diagnosis gagal ginjal dapat
ditegakkan saat nilai kreatinin serum meningkat di atas nilai rujukan normal. Pada
keadaan gagal ginjal dan uremia, ekskresi kreatinin oleh glomerulus dan tubulus
ginjal menurun (Verdiansah, 2016).
Kadar kreatinin tidak hanya tergantung pada massa otot, tetapi juga
dipengaruhi oleh aktivitas otot, diet, dan status kesehatan. Penurunan kadar
kreatinin terjadi pada keadaan glomerulonefritis, nekrosis tubuler akut, polycystic
kidney disease akibat gangguan fungsi sekresi kreatinin. Penurunan kadar kreatinin
juga dapat terjadi pada gagal jantung kongestif, syok, dan dehidrasi, pada keadaan
tersebut terjadi penurunan perfusi darah ke ginjal sehingga makin sedikit pula kadar
kreatinin yang dapat difi ltrasi ginjal (Verdiansah, 2016).
Kadar kreatinin serum sudah banyak digunakan untuk mengukur fungsi
ginjal melalui pengukuran glomerulus fi ltration rate (GFR). Rehbeg menyatakan
peningkatan kadar kreatinin serum antara 1,2–2,5 mg/ dL berkorelasi positif
terhadap tingkat kematian pasien yang diteliti selama 96 bulan. Pada beberapa
penelitian mengevaluasi adanya hubungan positif antara penyakit kardiovaskuler
dengan peningkatan kadar kreatinin serum. Pasien dengan nilai kreatinin 1,5 mg/dL
atau memiliki faktor risiko dua kali lebih besar dibandingkan pasien dengan nilai
kreatinin kurang dari 1,5 mg/dL untuk mengalami gangguan kardiovaskuler
(Verdiansah, 2016).
Kadar kreatinin berada dalam keadaan relatif konstan, sehingga
menjadikannya sebagai penanda fi ltrasi ginjal yang baik. Kadar kreatinin yang
dipergunakan dalam persamaan perhitungan memberikan pengukuran fungsi ginjal
yang lebih baik, karena pengukuran klirens kreatinin memberikan informasi
mengenai GFR. Kreatinin merupakan zat yang ideal untuk mengukur fungsi ginjal
karena merupakan produk hasil metabolisme tubuh yang diproduksi secara konstan,
difi ltrasi oleh ginjal, tidak direabsorbsi, dan disekresikan oleh tubulus proksimal.
Kreatinin serum laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena massa otot yang
lebih besar pada laki-laki (Verdiansah, 2016).
The National Kidney Foundation merekomendasi bahwa estimated GFR
(eGFR) dapat diperhitungkan sesuai dengan kreatinin serum. Perhitungan GFR
berdasarkan kreatinin serum, usia, ukuran tubuh, jenis kelamin, dan ras tanpa
membutuhkan kadar kreatinin urin menggunakan persamaan Cockcroft and Gault
(Verdiansah, 2016).
Klirens kreatinin merupakan pemeriksaan yang mengukur kadar kreatinin
yang difiltrasi di ginjal. GFR dipergunakan untuk mengukur fungsi ginjal. The
Abbreviated Modifi cation of Diet in Renal Disease (MDRD) mempunyai
persamaan untuk mengukur GFR dengan meliputi empat variabel, yaitu kreatinin
plasma, usia, jenis kelamin, dan ras. Persamaan MDRD digunakan untuk mengukur
estimated glomerular fi ltration rate (eGFR), (Verdiansah, 2016).
Tabel 1. Stadium gagal ginjal kronik (Verdiansah, 2016).
Pemeriksaan kreatinin dalam darah yakni cara deprotoeinisasi dan
nondeproteinisasi. Ada beberapa keuntungan pengukuran kreatinin cara
deproteinisasi diantaranya kandungan nitrogen dalam sampel seperti protein, dan
ureum sudah terikat dengan Trichlor Acetic Acid (TCA) sehingga supernatan
terbebas dari bahan-bahan nitrogen akan tetapi sampel yang dibutuhkan cukup
banyak sedangkan beberapa keuntungan kreatinin cara nondeproteinisasi yakni,
waktu yang diperlukan cukup singkat dan sampel yang diperlukan hanya sedikit
(Sitti Hadijah, 2018).
Cara nondeproteinisasi merupakan cara yang paling sering digunakan.
Selain faktor ekonomis, cara nondeproteinisasi lebih mudah digunakan. Namun
kekurangan dari metode ini adalah beberapa protein tidak diendapkan sehingga
dapat menyebabkan tinggi palsu pada kreatinin.Untuk itu perlu adanya penambahan
zat yang dapat mengendapkan protein tersebut. Salah satu cara yang dapat
digunakan yaitu cara deproteinisasi (Sitti Hadijah, 2018).
Penentuan kreatinin dapat dilakukan dengan menggunakan enzim kreatinin
deiminase untuk mengkonversi kreatinin menjadi amonia dan 1-methylhydantoin.
Selanjutnya amonia di reaksikan dengan cresol red (2-{ 4-{ 2-hydroxyethyl)-1-
piperzinyl} ethanesulfonic acid) dan dideteksi secara spektrometri pada panjang
gelombang 555 nm. Metode enzimatis ini memberikan hasil yang selektif walaupun
memerlukan waktu analisis yang lama, dan sensitivitasnya kurang baik karena
kreatinin dideteksi secara tidak langsung berdasarkan jumlah amonia yang
terbentuk. Di samping itu juga, konsentrasi bilirubin yang tinggi dalam sampel
merupakan masalah tersendiri dalam metode enzimatis (A Sabarudin, dkk. 2012).
Reaksi Jaffe merupakan metode yang paling populer untuk penentuan
kreatinin dalam urin dan serum. Dalam metode ini, kreatinin direaksikan dengan
asam pikrat pada suasana basa yang membentuk senyawa berwarna merah-orange
dan dideteksi secara spektofotometri pada panjang gelombang 490- 520.
Keuntungan reaksi Jaffe yaitu sederhana dan mudah. Namun karena dilakukan
dengan metode batch, maka jumlah sampel dan reagen yang digunakan sangat
banyak sehingga pembentukan senyawa kreatinin-pikrat memerlukan waktu yang
cukup lama yaitu sekitar 30 menit. Selain itu, kontaminasi yang besar dari
lingkungan dapat terjadi pada metode batch sehingga memerlukan pengontrolan
yang ketat. Metode ini memiliki sensitivitas yang rendah dengan limit deteksi
sebesar 0,2 M. Untuk mengatasi hal ini, dapat digunakan metode online dan
otomatis yaitu sequential injection analysis (SIA). Sistem ini dikontrol dengan
komputer dan biasanya terdiri dari syringe pump, holding coil, katup multiposisi,
dan detektor. Semua komponen tersebut dihubungkan satu sama lain menggunakan
pipa kapiler PTFE. Operasional sistem ini diawali dengan pembentukan
segmensegmen antara reagen dan sampel di holding coil yang selanjutnya
didispensikan menuju sel alir (flow cell) detektor. SIA ini hanya memerlukan
jumlah reagen yang sangat sedikit, analisis secara cepat dan otomatis, serta
menghasilkan limbah yang jumlahnya sedikit sehingga analisis menggunakan
metode ini akan menghemat pemakaian reagen dan lebih bersahabat dengan
lingkungan. Akan tetapi, pembentukan segmen di holding coil mengurangi
keefektifan/ kesempurnaan reaksi antara sampel dan reagen yang mengakibatkan
sensitivitas yang rendah (A Sabarudin, dkk. 2012).

Tabel 2. Nilai rujukan pemeriksaan kreatini


BAB III
METODE KERJA
III.1.1 Metode: Metode Reaksi Jaffe, Fixed Time Kinetic
III.1.2 Alat dan bahan :
Fotometer, spoit, swab alkohol, Plain tube, tabung reaksi, rak tabung,
Mikropipet, Tip, Sentrifuge, aquadest, gelas kimia, stopwatch, reagen
kreatinin.
III.1.3 Penyiapan Serum
Pertama-tama Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Kemudian
dimasukan darah ke dalam Plain tube. Lalu disentrifuge selama 10 menit
pada kecepatan 1000 rpm. Diambil serum darah dari Plain tube dengan
perlahan-lahan dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
III.1.4 Pembuatan Larutan Kerja :
Di campurkan 1 bagian picric acid dan 5 bagian NaOH lalu
dihomogenkan. Larutan kerja ini stabil selama 30 hari pada suhu kamar (18-
300C).
III.1.5 Pengukuran Absorban Sampel
Pertama – pertama Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
Kemudian disiapkan 3 tabung reaksi yang berkode blanko, standard dan test.
Dimasukan masing-masing larutan kerja pada setiap tabung reaksi sebanyak
1,0 mL. Kemudian pada tabung yang berkode standar dimasukan reagen
standar lalu homogenkan. Kemudian pada tabung yang berkode test
dimasukan sampel serum lalu homogenkan. Setelah itu Diinkubasi selama
60 detik pada suhu 37 °C. Kemudian di ukur absorbansi sampel dengan
fotometer dengan panjang gelombang: 510 (492) nm.
Cara melakukan pengukuran dengan fotometer yaitu, Tekan tombol
power on kemudian tunggu instrumen stabil, kemudian selang aspirator
dicelupkan kedalam aquadest, lalu menekan tombol washing pada monitor
untuk melakukan pencucian alat. Kemudian set up suhu, kemudian
Mengukur blanko, standar, dan sampel. Setelah itu, blanko, standar, dan
sampel akan dihisap dan dianalisis hingga keluar data hasil pemeriksaan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Praktikum
IV.1.1 Tabel Hasil
Kelompok Hasil Pemeriksaan Keterangan
I 0,65 mg/dL Normal
II 0,37 mg/dL Abnormal
III 1,32 mg/dL Normal
IV.1.2 Gambar Hasil

Hasil Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan


Kelompok I Kelompok II
Hasil Pemeriksaan
Kelompok I

Hasil Pemeriksaan
Kelompok III

IV.2 Pembahasan
Pada praktikum Kimia Klinik III kali ini, Kami melakukan pemeriksaan
kreatinin serum yaitu salah satu pemeriksaan untuk mengetahui gambaran
seberapa baik fungsi ginjal dalam menyaring darah dan urine (laju filtrasi
glomerulus).
Kreatinin adalah zat racun dalam darah, kreatinin ini disintesis dalam
hati, pancreas dan ginjal dari asam amino. Dalam darah kreatinin dihilangkan
dengan proses filtrasi dengan glomerolus ginjal diekskresikan dalam bentuk
urin. Ginjal yang sehat menghilangkan kreatinin dari darahmemasukannya
pada urin untuk dikeluarkan ari tubuh. Analisis kadar kreatinin ini dilakukan
menjadi indeks untuk mengetahui kondisi filtrasi glomerolus dan keadaan
ginjal.
Pada praktikum kali ini pemeriksaan kadar kreatinin serum dilakukan
dengan metode jaffe kinetic. Prinsip metode ini adalah kreatinin akan bereaksi
dengan larutan pikrat alkalis membentuk warna kemerahan (reaksi jeffe).
Warna merah yang terbentuk sebanding dengan kadar kreatinin dalam serum
dan diukur panjang gelombang 510 (500-520) nm dengan fotometer.
Langkah pertama dalam pemeriksaan ini yaitu pembuatan serum dengan
cara pertama-tama diambil darah menggunakan spuit. Kemudian dimasukan
darah ke dalam plain tabung Lalu disentrifuge selama 10 menit pada
kecepatan 1000 rpm. Diambil serum darah dengan perlahan-lahan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Serum digunakan sebagai sampel yang
akan diperiksa. Adapun alasan darah disentrifuge adalah untuk memisahkan
antara serum dan sel sel darah.
Langkah kedua yaitu pembuatan pembuatan larutan kerja dengan cara, di
campurkan 1 bagian picric acid dan 5 bagian NaOH lalu dihomogenkan.
Larutan kerja ini stabil selama 30 hari pada suhu kamar (18-300C). Larutan
kerja digunakan karena merupakan reagen yang spesifik untuk pengukuran
kreatinin.
Langkah ketiga yaitu, pengukuran sampel dengan cara. Pertama–tama
disapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Kemudian disiapkan 3 tabung
reaksi yang berkode blanko, standard dan test. Dimasukan masing-masing
larutan kerja pada setiap tabung reaksi sebanyak 1,0 mL. Kemudian pada
tabung yang berkode standar dimasukan reagen standar lalu homogenkan.
Kemudian pada tabung yang berkode test dimasukan sampel serum lalu
homogenkan. Setelah itu diinkubasi selama 60 detik pada suhu 37 °C.
Kemudian di ukur absorbansi sampel dengan fotometer dengan panjang
gelombang: 510 (492) nm.
Cara melakukan pengukuran dengan fotometer yaitu, Tekan tombol
power on kemudian tunggu instrumen stabil, kemudian selang aspirator
dicelupkan kedalam aquadest, lalu menekan tombol washing pada monitor
untuk melakukan pencucian alat. Kemudian set up suhu, kemudian Mengukur
blanko, standar, dan sampel. Setelah itu, blanko, standar, dan sampel akan
dihisap dan dianalisis hingga keluar data hasil pemeriksaan.
Reaksi yang ditimbulkan akibat pencampuran serum dengan larutan kerja
yaitu ketika serum sudah dalam suasana basa akibat keberadaan NaOH
kemudian diberi reagen berisi asam pikrat sehingga asam pikrat ini
akan membentuk senyawa kompleks berwarna sehingga dapat diukur
absorbansinya.
Pada pemeriksaan kreatinin serum, didapatkan hasil pada kelompok I
yaitu 0,65 mg/dL (Normal), pada kelompok II didapatkan hasil yaitu 0,37
mg/dL (abnormal), dan pada kelompok III didapatkan hasil yaitu 1,32 mg/dL
(normal). Hasil yang didapatkan berdasarkan pengukuran absorban dengan
alat fotometer. Nilai rujukan untuk pemeriksaan kreatinin serum yaitu 0,4-1,4
mg/dL.
BAB V
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan SGOT (Serum Glutamic Oxalacetic
Transminase) dapat disimpulkan bahwa hasil yang didapatkan yaitu
kelompok I diperoleh hasil yaitu 0,65 mg/dL (Normal), pada kelompok II
diperoleh hasil yaitu 0,37 mg/dL (Abnormal), dan pada kelompok III
diperoleh hasil yaitu 24 1,32 (Normal).
IV.2 Saran
Sebaiknya dalam melakukan praktikum, mahasiswa dapat memahami
apa saja prinsip dan cara pengerjaan yang akan dilakukan agar tidak ada
kesalahan atau hasil yang tidak akurat. Dan sebaiknya kedepanya kita bisa
dapat menggunakan metode metode lain dalam pemeriksaan kimia klinik agar
lebih menambah pengetahuan dan wawasan praktikan dalam pemeriksaan
khususnya pemeriksaan kreatinin.
DAFTAR PUSTAKA
Candra Diyah. 2020. Penilaian Status Gizi Pasien Gagal Ginjal Kronis Melalui
Biokimiawi Darah. Yogyakarta: Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta.
https://uit.e-journal.id/MedLAb/article
Hadijah Sitti. Analisis Perbandingan Hasil Pemeriksaan Kreatinin Darah Dengan
Deproteinisasi Dan Nondeproteinisasi Metode Jaffe Reaction. Makassar:
Poltekes Kmemnkes Makassar. Vol 1, Edisi 1.
https://media.neliti.com/media/publications/
Rosida Azma . 2016. Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Hati. Banjarmasin:
Universitas Lambung Mangkurat. Vol 12, No 1.
https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.

Maharani Eva A dan Noviar Gnjar. 2018. Imunhematologi Dan Bank Darah.
Jakarta: KEMENKES
Maulina Meutia. 2016. Zat Zat Yang Mempengaruhi Histopatologi Hepar.
Lohksumawe: Unimal Press
Sadikin Mohamad. 2001. Biokimia Darah. Jakarta: Widya Medika.
Sulastri. 2016. Perbandingan Aktivitas Enzim Terhadap Sampel Serum dan Plasma
EDTA. Jurnal Medika: http://jurnal.stikeswhs.ac.id/

Susanti Hani. 2019. Memahami Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium Penyakit


Ginjal Kronis. Malang: UB Press
Suryawan D G A, dkk. 2016. Gambaran Kadar Ureum Dan Kreatinin Serum Pada
Pasien Gagal Ginjal Kronis Yang Menjalani Terapi Hemodialisis Di
Rsud Sanjiwani Gianyar. Denpasar: Poltekes Denpasar. Vol 4, No 2.
https://Poltekdenpasar.ac.id/journal/index.
Verdiansah. 2016. Pemeriksaan Fungsi Ginjal. Bandung : Rumah Sakit Hasan
Sadikin. Vol 43, No 2.

Anda mungkin juga menyukai