PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tranfusi darah adalah tindakan medis yang bertujuan mengganti
kehilangan
sebanyak
tersebut
di
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Transfusi Darah
Transfusi darah adalah pemindahan darah dari donor ke dalam peredaran
darah resipien (Latief et al, 2007). Darah dan berbagai komponen darah dapat
ditransfusikan secara terpisah sesuai dengan kebutuhan. Darah tersusun dari
berbagai komponen yaitu eritrosit (red blood cells), trombosit pekat (thrombocyte
concentrate), kriopresipitat, dan plasma segar beku (fresh frozen plasma).
Komponen darah yang ditransfusikan sesuai dengan yang diperlukan akan
mengurangi kemungkinan reaksi transfusi, circulatory overload dan penularan
infeksi yang terjadi dibandingkan dengan transfusi darah lengkap (Bermawi,
2010).
Tujuan transfusi darah :
plasma
yang
diperoleh
dengan
cara
kimia/fraksinasi
dengan
Indikasi:
Meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien dengan gejala anemia, yang
hanya memerlukan massa sel darah merah pembawa oksigen aja (gagal ginjal
atau anemia karena keganasan). Pemberiannya disesuaikan kondisi klinis bukan
berdasarkan nilai HB atau hematokrit.
oksigenasi dan jumlah eritrosit tanpa menambah beban volume seperti pasien
anemia dengan gagal jantung.
Kontraindikasi
Dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam jumlah banyak dalam
waktu singkat.
Dosis dan cara Pemberian
Pada Dewasa, 1 unit sel darah merah pekat akan meningkatkan hb sekitar
1g/dltau hematokrit 3-4 % . Pemberiannya harus melalui filter darah standar
(170). Hematokrit yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hiperviskositas
dan menyebabkan kecepatan tranfusi menurun sehingga untuk mengatasinya
maka diberikan normal salin 50-100 ml sebagai pencampur sediaan sel drah
merah dalam CPD atau CPDA-1 tetapi harus hat-hati karena dapat terjadi
kelebihan beban.
C. Sel Darah Merah Pekat dengan Sedikit Leukosit ( Packed Red Blood Cell
Leukocyte Reduced )
Mengandung 1-3 x 108 lekosit. Diperoleh dengan cara pemutaran,
pencucian sel darah merah dengan dengan garam fisiologis, dengan filtrasi atau
degliserolisasi sel darah merah yang disimpan beku. Karena pada pembuatan
sel darah ,erah yang hilang, maka kandungan sel darah merah kurang
dibandingkan dengan sel darah merah pekat biasa. Suhu simpan 1-6 C sednag
masa simpan tergantung pada cara pembuatannya. Bila pemisahan lekosit
dilakukan dengan memakai kantong ganda (system tertutup) masa simpannya
sama
dengan
darah
lengkap
asalnya,
tetapi
bila
dengan
Melalui filter darah dan sediaan ini memiliki masa eritrosit yang rendah karena
banyak sel darah merah yang hilang selam proses pembuatan
diperoleh
dengan
cara
sentrifugasi
darah
lengkap
segar
atau
tromboforesis. Dapat disimpan pada suhu 20-24 C dengan kantng darah biasa
yang diletakkan pada rotator yang selalu bergoyang, dapat bertahan selama 3
hari.
Indikasi :
Perdarahan karena trombositopenia (<50.000L) atau trombositopati kongenital.
Kontra Indikasi dan perhatian :
Tranfusi tidak efektif pada pasien dengan destruksi trombosit yang cepat seperti ;
TP, TTP dan KID
(Corrected Count Increment = CCI) dapat dihitung lebih akurat memakai rumus
CCI = (Pos tx plt ct) (Pre tx plt ct) x BSA
(Plt transfused x 1011)
-
yang
aktivitas
FVIII
koaglan
digunakan
dengan
mempergunakan
International Units (IU). Satu IU adalah jumlah aktivitas FVIII koagulan dalam ML
plasma nrmal. Dosis permulaan untuk mencapai kadar 30-100% dihitung dengan
rumus :
Plasma Volume (PV) = $0ml/kg x BB
10
F VIII yang diinginka (unit) = PV x {kadar yang diinginkan (%) kadar sekarang
(%)}
100
Cara lain adalah tiap unit FVIII/kgBB akan meningkatkan 2% (0.02IU/ml).
Pemberian dapat melalui infuse dengan menggunakan saringan atau filter darah
standar atau dengan jarum sntik dengan filter yang telah tersedia bersama
sediaannya.
B. Konsentrat Faktor IX (Factor IX Concentrates)
Dua konsentrat FIX sekarang tersedia sebagai hasil rekombinan. Sediaan
ini steril, stabil dan kering beku sebagai hasil dari fraksinasi plasma yang
dikumpulkan. Kompleks FIX merupakan sediaanyang mengandung selain FIX
juga sejumlah FII, VII, X dan beberapa protein. Selama pembuatan konsentrat ini
beberapa aktivasi dari faktor koagulasi dapat terjadi. Isi dari VII dalam beberapa
produk agak bervariasi. Jumlah masing-masing faktor yang terkandung dalam
sediaan ini biasanya tertera pada label botol tapi paling banyak mengandung 15iu FIX/mg protein. Hal sebaliknya dengan kompleks FIX, FIX koagulasi
merupakan sediaan murni yang mengandung sedikit FII, FVII dan FX. Sediaan
ini dibuat dengan metode kromatografi atau antibodi monoklonal sehingga
mengurangi terjadinya trombogenik. Kira-kira 20-30% dari produk ini adalah FIX
dimana sediaan mengandung 50 dan 200 IU FIX/mg protein. Konsentrat FIX
dibuat dengan heat treated solvent/ detergent treated dengan teknik rekombinan
untuk menurunkan risiko hepatitis, HIV dan infeksi virus lainnya.
Indikasi
Konsentrasi FIX ini digunakan untuk mengobati pasien dengan defisiensi FIX
yang dikenal sebagai hemofilia B. Pasien denga inhibitor dapat diobati dengan
kompleks konsetrat FIX, yang menganung bypass aktivitas inhibitor FVIII.
Kontraindikasi dan Perhatian
Kompleks FIX sebaiknya diberikan dengan hati hati pada pasien yang
mempunyai penyakit hati. Terdapat laporan terjadinya trombosis dan DIC pada
adanya defisiensi anti trombin kususnya pada pasien dengan [enyakit hati.
Etiologi komplikasi ini mungkin berhubungan dengan penurunan kebersihan hati,
mengakibatkan akumulasi faktor koagulasi tersebut. Konsentrat FIX koagulasi
tampaknya lebih kuang trombogenik dibandingkan dengan kompleks FIX. Efek
11
samping dari kompleks FIX bila diberikan secara cepat adalah Menggigil,
demam, nyeri kepala, nausea dan flushing. Pemberian cepat dari FIX koagulasi
adalah reaksi vasomotor.
Dosis dan cara pemberian
I unit FIX setara dengan 1 ml plasma manusia. Dosis tergantung pada keadaan
pasien.n Sejumlah konsentrat FIX diinfuskan dengan rumus seperti menghitung
penggunaan dosis FVIII, namun secara invivo hanya sekitar 50% yang dipakai
karena distribusi ke intravascular. Jadi setiap unit FIX yang diinfuskan per kg BB
akan meningkatkan 1% F IX.
C. Albumin dan Fraksi Protein Plasma (Albumin and Plasma Protein
Fraction)
Albumin merupakan derivatplasma yang diperoleh dari arah lengkap atau
plasma feresis, teridir dari 96% albumin dan 4% globulin dan beberapa protein
lain yang dibuat dengan proses fraksinasi alkohol dingin. Derivat ini kemudian
dipanaskan 600C selama 10 jam sehingga beba virus.
Fraksi protein plasma adalah produk yang sama dengan albumin hanya
dalam pemurniannya lebih kurang dibandingkan dengan albumin dalam proses
fraksinasi. Fraksi protein plasma ini mengandung 83% albuin dan 17% Globulin.
Albumin yang tersedia adalah larutan 25% dan 5% sementara fraksi
protein plasma yang tersedia adalah larutan 5%. Tiap sediaan mengandung
natrium 145mmol/L. Arutan albumin 5%, osmotik dan onkotiknya sama dengan
plasma sedangka larutan albumin 25% osmotik dan onkotiknya lima kali lebih
besar dari plasma. Alnumin memiliki waktu paruh 16 jam dan dapat disimpan
lebih dari 5 tahun pada suhu 2-100C.
Indikasi
Albumin digunakan untuk meningkatkan volume sirkulasi/resusitasi misalnya
pada pasien luka bakar, pasien pada keadaan hipovolemia dan hipoproteinemia
misalnya pasien dengan syok, ada sindrom nefrotik atau untuk meningkatkan
protein plasma
Kontraindikasi dan Perhatian
Larutan lbumin 25% tidak boleh diberikan pada pasien dengan dehidrasi dan
hanya dapat diencerkan dengan salin normal dan dekstrose 5%.
Dosis dan Cara Pemberian
12
Albumin dan fraksi protein plasma tidak memerlukan filter dalam pemberiannya.
Pengobatan
hipotensi
dengan
albumin
hendaklah
disesuaikan
dengan
IV
karena
mengandung
agregat
immunoglobulin
yang
dapat
13
adalah nyeri kepala, menggigil, kepala terasa ringan, demam, nyeri punggung,
terasa panas dan mual.
Dosis dan Cara Pemberian
Tergantung indikasi, karakter pasien serta sediaan yang digunakan (IM,IV)
ITP dan penyakit auto imun lainnya : IV 400mg/kg/hari selama 2-5 hari
mg /kg/bulan
Profilaksis hepatitis A :IM 0,02-0,04 ml/kg
Hepatitis B : 0,06 ml/kg IM diulang satu bulan
Varicalla zooster : 1 vial (25ml) /10 kg (maks 5 vial) IM diberikan dalam
RH Immmune Globulin
RhIG dibuat dari plasma yang dikumpulkan dan mengandung IgG anti D.
Terdapat 2 sediaan yaitu IM dan IV, Sediaan IV dosis 120 ug dan 300 ug telah
disetujui oleh FDA untuk supresi imun terhadap antigen D dan untuk pengobatan
ITP. Sediaan IM yang tersedia adalah dosis 300 ug dan 50 ug. Dosis 300 ug
RhIG baik IV maupun IM akan melindungi efek imun lebih dari 15 ml darah
dengan D positif . Semua sediaan ini aman dari transmisi penyakit infeksi dan
virus dan dipakai untuk mencegah terjadinya penyakit hemolitik pada bayi baru
lahir yang disebabkan oleh antigen Rh (D).
Indikasi dan Dosis
Sebelum persalinan, untuk perempuan dengan (Rh) D negatig, 50 ug IM ThIG
dapat melindungi terjadinya aborsi atau terminasi kehamilan ektopik yang terjadi
dalam 12 minggu kehamilan. Setelah 12 minggu kehamilan, dosis penuh IM
RhIG dapat diberikan. Dosis penuh juga dianjurkan setelah dilakukan
amniosentesis.
Pasca persalinan, semua perempuan dengan (Rh) D negatif yang
melairkan bayi dengan D positif diberi ug RhIG secara IM atau 120 ug secara IV.
Pemberian hendaknya dilakukan dalam 72 jam setelah melahirkan.
2.3 Golongan Darah
14
1. Sistem ABO
Pengelompokan golongan darah sistem
kurang lebih 100 tahun yang lalu. Sejak saat itu, penggunaan darah sebagai
transfusi menemukan titk cerah dimana tidak semua jenis darah tidak bisa
digunakan begitu saja pada seseorang. Bahkan sistem ABO dapat mendeteksi
hereditas dari seseorang karena diketahui golongan darah juga diturunkan dari
gabungan golongan darah dari ayah dan ibu (Bethesda, 2005).
Hal yang perlu di perhatikan dari golongan darah ABO ini adalah dari
penelitian yang dilakukan oleh Zerihun dkk, 2011, bahwa terdapat korelasi yang
cukup kuat antara kelompok golongan darah ABO dengan menjangkitnya
beberapa penyakit. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa kelompok golongan
darah A, B, dan AB lebih mudah terjangkit Plasmodium falciparum dibandingkan
kelompok bergolongan darah O. Meskipun demikian, masih diperlukan studi lebih
lanjut guna mengetahui mekanisme lebih jelasnya korelasi antara golongan
darah ABO dan kondisi penyakit.
Pada sistem penggolongan darah ABO, Golongan darah terbagi menjadi
4 golongan yaitu golongan darah A, B, AB, dan O.
15
Rhesus positif (Rh+) = memiliki faktor Rhesus pada permukaan sel darah
merahnya.
Rhesus negatif (Rh-) = tidak memiliki faktor Rhesus pada permukaan sel
darah merahnya.
Dalam penulisan, jenis penggolongan Rhesus ini seringkali digabungkan
16
O dan Rhesus positif ditulis sebagai O+ atau O Pos atau O psitif. Golongan
darah O+ adalah yang paling banyak dijumpai, meskipun pada daerah tertentu
golongan A lebih dominan, dan ada pula beberapa daerah dengan 80% populasi
dengan golongan darah B (Giri, 2011)
Kecocokan faktor Rhesus amat penting karena ketidakcocokan golongan
darah akan berakibat fatal. Misalnya donor dengan Rh+ sedangkan resipiennya
Rh- dapat menyebabkan produksi antibodi terhadap antigen Rh yang
mengakibatkan pecahnya sel-sel darah merah (hemolisis). Contoh lain : Suami
Rh+, istri Rh- maka anaknya akan bergolongan Rh+, anak pertama biasanya
selamat. Namun akibat proses kelahiran anak pertama, ada darah bayi yang
masuk ke peredaran darah ibu, maka ibu akan membentuk antibodi Rh
(antirhesus). Sehingga apabila istri hamil lagi anak ke dua dan seterusnya akan
terancam jiwa bayinya akibat proses yang disebut sebagai eritroblastosis fetalis
atau pecahnya sel darah merah sesaat setelah lahir. Hal ini merupakan kondisi
yang mengancam keselamatan bayi karena dapat menyebabkan pecahnya selsel darah merah, menyebabkan anemia dan ikterus (bayi kuning) (Bogui, 2014).
17
Bila
kedua
pemeriksaan
(crossmatch
mayor
dan
minor)
tidak
terjadi
aglutinasi,
harus
18
A. Demam
Peningkatan suhu dapat disebabkan oleh antibodi leukosit, antibodi
trombosit, atau senyawa pirogen. Untuk menghindarinya dapat dilakukan uji
cocok silang antara leukosit donor dengan serum resipien pada pasien yang
mendapat transfusi leukosit. Cara lain adalah memberikan produk darah yang
mengandung sedikit leukosit, leukosit yang harus dibuang pada produk ini
minimal 90% dari jumlah leukosit. Transfusi juga dapat dilakukan dengan
memasang mikrofiltrasi yang mempunyai ukuran 40 mm. Dengan filter berukuran
tersebut jumlah leukosit dapat berkurang sampai 60%. Selain itu untuk
mencegah demam akibat transfusi dapat dilakukan dengan pemberian prednison
50 mg atau lebuh sehari atau 50 mg kortison oral setiap 6 jam selama 48 jam
sebelum transfusi atau aspirin 1 g saat mulai menggigil atau 1 jam sebelum
transfusi (Djoerban, 2009).
Bila terjadi reaksi panas/ demam maka transfusi harus dihentikan.
Kemungkinan terjadi nya reaksi hemolitik harus dipertimbangkan. Dapat
diberikan antipiretik dan hidrikortison (Harmono, 2009).
B. Reaksi alergi
Renjatan anafilatik terjadi 1 pada 20.000 transfusi, dan reaksi alergi
ringan seperti urtikaria terjadi pada 3% transfusi. Reaksi anafilaktik dapat terjadi
akibat interaksi antara igA pada darah donor dengan anti-IgA spesifik pada
plasma resipien (Djoerban, 2009). Reaksi alergi dapat dipikirkan diperantarai
oleh igE resipien terhadap protein atau bahan terlarut di dalam plasma donor,
interaksi antara antigen dengan IgE merangsang dikeluarkannya antihistamin
dari sel mast dan basofil (Harmono, 2009). Reaksi alergi dicegah dengan eritrosit
yang dicuci.
C.Reaksi Hemolitik
Reaksi hemolitik terjadi karena destruksi sel darah merah setelah
transfusi akibat darah yang inkompatibel. Reaksi hemolitik juga dapat terjadi
akibat transfusi eritrosit yang rusak karena paparan dextrose 5%, injeksi air ke
dalam sirkulasi, transfusi darah yang lisis, transfusi darah dengan pemanasan
berlebihan, transfusi darah beku, transfusi dengan darah yang terinfeksi,
transfusi darah dengan tekanan tinggi (Djoerban, 2009).
19
menjadi
terbentuknya
kompleks
imun,
aktivasi
kaskade
cairan
intravena
dan
diuretika.
Cairan
digunakan
untuk
20
darah mulai menggunakan tes antigen p24 pada tahun 1995. Setelah kurang
lebih 1 tahun skrining, dari 6 juta donor hanya 2 yang positif (Goodnough, 1999).
E.Kontaminasi
Kontaminasi bakteri mempengaruhi 0,4% konsentrat sel darah merah dan
1-2% konsentrat trombosit (WHO, 2002). Kontaminasi bakteri pada darah donor
dapat timbul sebagai hasil paparan terhadap bakteri kulit pada saat pengambilan
darah, kontaminasi alat dan manipulasi darah oleh staf bank darah atau staf
rumah sakit pada saat pelaksanaan transfusi atau bakteremia pada donor saat
pengambilan darah yang tidak diketahui (Canadian Medical Association, 1997).
Kontaminasi bakteri eritrosit paling sering disebabkan oleh Yersinia
enterocolitica. Angka kontaminasi oleh bakteri ini di Amerika Serikat dan Selandia
Baru adalah 1 per 1 juta unit sel darah merah dan 1 per 65.000 unit sel darah
merah. Resiko terjadinya kontaminasi tersebut berhubungan lanngsung dengan
lamanya penyimpanan. Resiko sepsis yang berhubungan dengan transfusi
trombosit adalah 1 per 12.000. bakteri yang mengkontaminasi trombosit yang
dapat menyebabkan kematian adalah S.aureus, K.pneumoniae, Serratia
marcescens, dan S.epidermidis.
Penyimpanan pada suhu kamar meningkatkan pertumbuhan hampir
semua bakteri. Beberapa organisme, seperti Pseudomonas tumbuh pada suhu
2-6C dan dapat bertahan hidup atau berproliferasi dalam sel darah merah yang
disimpan, sedangkan Yersinia dapat berproliferasi bila disimpan pada suhu 4C.
Stafilokokus tumbuh dalam kondisi yang lebih hangat dan berproliferasi dalam
konsentrat trombosit pada suhu 20-40C. Oleh karena itu, risiko meningkat
sesuai dengan lamanya penyimpanan (Moore, 1997).
F.Cedera Akut Paru
Transfusion related acute lung injury (TRALI) adalah suatu diagnosis
klinik berupa manifestasi klinis hipoksemia akut dan edema pulmoner bilateral
yang terajadi 6 jam setelah transfusi. Gejala yang ditemui dapat berupa dispnea,
takipnea, demam, takikardi, hipotensi/ hipertensi, leukopenia akut sementara.
Beberapa mekanisme diperkirakan menjadi penyebab terjadinya kondisi seperti
ini. Salah satunya adalah reaksi antara neutrofil resipien dengan antibodi donor
yang mempunyai HLA atau antigen neutrofil spesifik, sehingga akibatnya terjadi
penignkatan permeabilitas kapiler pada sirkulasi mikro di paru.
21
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Transfusi darah adalah pemindahan darah dari donor ke dalam peredaran
darah resipien. Darah dan berbagai komponen darah dapat ditransfusikan secara
terpisah sesuai dengan kebutuhan. Darah tersusun dari berbagai komponen
yaitu eritrosit (red blood cells), trombosit pekat (thrombocyte concentrate),
kriopresipitat, dan plasma segar beku (fresh frozen plasma). Reaksi transfusi
darah dapat berupa demam, menggigil tanpa demam, reaksi alergi, reaksi
hemolitik, overload sirkulasi, penularan infeksi dan kontaminasi.
3.2 Saran
Diperlukan pemahaman dan pengertian dalam melakukan transfusi darah
agar pemberian transfusi darah menjadi efektif sesuai kebutuhan pasien, dan
reaksi transfusi dapat dihindari, termasuk komplikasi-komplikasi transfusi seperti
penyebaran infeksi melalui darah yang ditransfusikan.
22
DAFTAR PUSTAKA
Bermawi, H. 2010. Transfusi Darah dan Komponen Darah. In: M.S. Kosim et
al.eds. Buku Ajar Neonatologi. 1 ed. s. l. IDAI, p285
Bethesda, L. 2005. Blood Group and Red Cells Antigen. National Center for
Biotechnology Information (US).
Bogui, S., Dembele, B., Sekongo, Y. 2014. Phenotypic Profile of Rh and Kell
Blood Group Systems among Blood Donors in Cote dIvoire, West
Africa.
Journal
of
Blood
Transfusion
Volume 2014 (2014), Article ID 309817
Djoerban, Z. 2009. Dasar-dasar Transfusi Darah. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Ed V, Jakarta: Interna Publishing. Hal 1185-89
Giri, A.P., Yadav, S., Parhar, S., Phalke, B. 2011. Frequency of ABO and Rhesus
Blood Groups: A Study from a Rural Tertiary Care Teaching Hospital in
India. Institute of Medical Sciences: India.
Harmono, M.T. 2009. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi Transfusi Darah.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed V, Jakarta: Interna
Publishing. Hal 1198-1204
Haroen, H. 2009. Darah dan Komponen: Komposisi, Indikasi dan Cara
Pemberian. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed V, Jakarta:
Interna Publishing. Hal 1190-97
Latief SA, Suryadi KA, Cachlan MR. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
Kedua, Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI : 2002
Norfolk, D. 2013. Handbook of
Kingdom Blood Service.
23