Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tranfusi darah adalah tindakan medis yang bertujuan mengganti
kehilangan

darah oleh karena berbagai sebab. Tindakan tranfusi darah dan

komponen darah adalah untuk mengatasi kondisi yang menyebabkan morbiditas


dan mortalitas pasien, yang tidak dapat diatasi dengan cara lain. Faktor
keamanan dan efektifitas transfusi tergantung dari tersedianya darah dan
komponen darah yang aman, mudah didapat, harga terjangkau, dan jumlahnya
cukup memenuhi kebutuhan nasional, serta indikasi transfusi darah dan
komponen darah yang tepat.
Kemajuan dalam ilmu kedokteran dan pengobatan mengakibatkan
bertambah seringnya dilakukan transfusi darah. Pemberian darah ataupun
komponennya dimaksudkan antara lain untuk menjamin kemampuan penyediaan
oksigen dalam batas curah jantung yang dapat dihasilkan oleh tubuh, menjamin
cukup tersedia trombosit dan faktor-faktor pembekuan, dan untuk mencukupi isi
ruang intravaskular (Miller, 1981).
Transfusi darah sering merupakan penyelamat jiwa, akan tetapi
morbiditas dan motalitas setelah transfusi darah juga cukup tinggi. Karena itu
transfusi darah hendaknya hanya diberikan apabila ada indikasi yang jelas.
Biasanya seorang dewasa normal masih dapat dengan baik mengatasi
gangguan fungsional yang ditimbulkan oleh kehilangan 10% isi darah, 20%
kemampuan membawa oksigen atau kehilangan 40% faktor pembekuan.
Kehilangan

sebanyak

dua kali jumlah

tersebut

di

atas masih belum

mengakibatkan kematian walaupun menimbulkan gejala yang cukup berat


(Rodman, 1988).
Transfusi darah secara universal dibutuhkan untuk menangani pasien
anemia berat, pasien dengan kelaian darah bawaan, pasien yang mengalami
kecederaan parah, pasien yang hendak menjalankan tindakan bedah operatif
dan pasien yang mengalami penyakit liver ataupun penyakit lainnya yang
mengakibatkan tubuh pasien tidak dapat memproduksi darah atau komponen
darah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan darah dan transfusi darah?
2. Apa saja komponen-komponen darah?
3. Apa indikasi dan kontraindikasi pemberian transfusi darah?
4. Apa saja permasalahan yang dapat terjadi pada transfusi darah?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui mengenai darah dan transfusi darah
2. Mengetahui komponen-komponen darah
3. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemberian transfusi darah
4. Mengetahui permasalahan yang dapat terjadi pada transfusi darah?

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Transfusi Darah
Transfusi darah adalah pemindahan darah dari donor ke dalam peredaran
darah resipien (Latief et al, 2007). Darah dan berbagai komponen darah dapat
ditransfusikan secara terpisah sesuai dengan kebutuhan. Darah tersusun dari
berbagai komponen yaitu eritrosit (red blood cells), trombosit pekat (thrombocyte
concentrate), kriopresipitat, dan plasma segar beku (fresh frozen plasma).
Komponen darah yang ditransfusikan sesuai dengan yang diperlukan akan
mengurangi kemungkinan reaksi transfusi, circulatory overload dan penularan
infeksi yang terjadi dibandingkan dengan transfusi darah lengkap (Bermawi,
2010).
Tujuan transfusi darah :

Memelihara dan mempertahankan kesehatan donor


Memelihara keadaan biologis darah atau komponen-komponen darah

agar tetap bermanfaat


Memelihara dan mempertahankan volume darah yang normal pada
peredaran darah (stabilitas peredaran darah), seperti pada trauma,

perdarahan, luka bakar.


Mengganti kekurangan komponen selular atau kimia darah
Meningkatkan kapasitas angkut oksigen.
Memperbaiki fungsi hemostasis
Tindakan terapi kasus tertentu
Komponen darah merupakan bagian darah yang dipisahkan dengan cara

fisik/mekanik misalnya dengan cara sentrifugasi. Fraksi Plasma merupakan


derivat

plasma

yang

diperoleh

dengan

cara

kimia/fraksinasi

dengan

menggunakan sejumlah besar plasma yang diproduksi di pabrik. Produk darah


merupakan istilah umum mencakup kedua istilah komponen darah dan derivat
plasma.

2.2 Komponen Darah

Faktor keamanan dan keefektifan transfusi darah bergantung pada


indikasi transfusi darah dan pemberian komponen darah yang tepat. Transfusi
darah atas indikasi yang tidak tepat tidak akan memberi keuntungan bagi pasien,
bahkan malah menambah resiko yang tidak perlu (WHO, 2002).
2.2.1. SELULAR
A. Darah Utuh (whole Blood)
Darah lengkap ini berisi sel darah merah, leukosit, trombosit dan plasma.
Satu unit kantong darah lengkap berisi 450 ml darah dan 63 ml anti koagulan. DI
Indonesia satu kantong darah lengkap berisi 250 ml darah dengan 37 ml
antikoagulan, ada juga yang satu unit kantong berisi 350 m darah dengan 49 ml
abtikoagulan. Suhu simpan 1-6 C. Lama simpan dari darah lengkap ini
tergantung dari antikoagulan yang dipakai pada kantong darah; pada pemakaian
sitrat fosfat dekstrose (CPD) lama simpan adalah 21 hari, sedangkan CPD
adenin (CPDA); 35 hari.
Indikasi :
Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan volum
plasma dalam waktu yang bersamaan, misalnya pada perdaraan aktif dengan
kehilangan darah lebih dari 25-30% volum darah total.
Kontra Indikasi :
Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia kronik
yang normovolemik atau bertujuan meningkatkan sel darah merah.
Dosis dan cara pemberian :
Dosis tergantung pada keadaan klinis pasien. Pada orang deawa, 1 unit darah
lengkap akan meningkatkan Hb sekitar 1g/dl atau hematokrit 3-4%. Pada anakanak 8ml/kg akan meningkatka hb sekitar 1g/dl. Pemberian darah lengkap
sebaiknya melalui filter darah dengan kecepatan tetsan tergantung keadaan
klinis, namun setiap unitnya sebaiknya diberikan dalam 4 jam.
B. Sel Darah Merah Pekat (Packed Red Cell)
Berisi eritrosit, trombosit, leukosit dan sedikit plasma. Didapat dengan
memisahkan sebagia plasma darah lengkap, sehingga diperoleh seldarah merah
denga nilai hematokrit 60-70%. Disimpan dalam suhu 1-6 C. Bila menggunakan
antikoagulan CPDA bisa bertahan sampai 35 hari dengan nilai hematokrit 7080%, sedangkan jika menggunakan CPD,dpaa bertahan hingga 21 hari.

Indikasi:
Meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien dengan gejala anemia, yang
hanya memerlukan massa sel darah merah pembawa oksigen aja (gagal ginjal
atau anemia karena keganasan). Pemberiannya disesuaikan kondisi klinis bukan
berdasarkan nilai HB atau hematokrit.

Keuntungannya ada lah perbaikan

oksigenasi dan jumlah eritrosit tanpa menambah beban volume seperti pasien
anemia dengan gagal jantung.
Kontraindikasi
Dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam jumlah banyak dalam
waktu singkat.
Dosis dan cara Pemberian
Pada Dewasa, 1 unit sel darah merah pekat akan meningkatkan hb sekitar
1g/dltau hematokrit 3-4 % . Pemberiannya harus melalui filter darah standar
(170). Hematokrit yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hiperviskositas
dan menyebabkan kecepatan tranfusi menurun sehingga untuk mengatasinya
maka diberikan normal salin 50-100 ml sebagai pencampur sediaan sel drah
merah dalam CPD atau CPDA-1 tetapi harus hat-hati karena dapat terjadi
kelebihan beban.
C. Sel Darah Merah Pekat dengan Sedikit Leukosit ( Packed Red Blood Cell
Leukocyte Reduced )
Mengandung 1-3 x 108 lekosit. Diperoleh dengan cara pemutaran,
pencucian sel darah merah dengan dengan garam fisiologis, dengan filtrasi atau
degliserolisasi sel darah merah yang disimpan beku. Karena pada pembuatan
sel darah ,erah yang hilang, maka kandungan sel darah merah kurang
dibandingkan dengan sel darah merah pekat biasa. Suhu simpan 1-6 C sednag
masa simpan tergantung pada cara pembuatannya. Bila pemisahan lekosit
dilakukan dengan memakai kantong ganda (system tertutup) masa simpannya
sama

dengan

darah

lengkap

asalnya,

tetapi

bila

dengan

pencucian/filtrasi(system terbuka) produk ini harus dipakai secepatnya (24 jam).


Indikasi :
Dipakai untuk meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien yang serign
mendapat atau tergantung pada tranfusi darah dan pada merka yang sering
mendapat reaksi tranfusi panas yang berulang dan reaksi alergi yang disebabkan
oleh protein plasma atau antibodi lekosit.

Dosis dan cara pemberian :


Paling baik diberikan menggunaka filter generasi ketiga.
D. Sel darah Merah Pekat Cuci (Packed red blood cell washed)
Sel darah merah yang dicuci dengan normal salin memiliki hematokrit 7080% dengan volume 180 ml. Pencucian dengan sain membuang seluruh plasma
(98%), menurukan konsentrasi lekosit, dan trombosit serta debris. Kmponen
hanya dapat disimpan dalam 24 jam pada suhu 1-6 C.
Indikasi
Mencegah reaksi alergi yang berat atau alergi yang berulang, dapat pula
digunakan pada tranfusi neonatal atau tranfusi intrauteri.
Perhatian
Hati-hati terhadap kontaminasi bakteri akibat pembuatannya secara terbka,
masih dapat menularkan hepatitis dan infeksi bakteri lainnya. Katena masih
mengandung sejumlah kecil lekosit yang viable, komponen ini tidak menjamin
pencegahan terjadinya infeksi CMV pasca tranfusi.
Dosis dan cara pemberian
Sebaiknya semua proses tranfusi melalui filter darah tanpa kecuali.
E. Sel Darah Merah Pekat Beku yang Dicuci (Packed Red Cell Blood Cell
Frozen,Packed Red Blood cell Deglycerolzed)
Dibuat dengan penambahan gliserol suatu sediaan krioprotektif terhadap
darah yang usianya kurang dari 6 hari. Darah ini kemudian dibekukan pda suhu
minus 65 atau 200 celcius (tergantung sediaan gliserol) dan dapat disimpan
selama 10 tahun. Karena pada proses penympanan beku pencairan dan
pencuciannya ada sel darah merah yang hilang maka kandungan sel darah
merah minimal 80% dari

jumlah sel darah merah pekat asal, demikian pula

hematokrit kurang lebih 70-80% . proses pencucian dapat menggunakan Lartan


glukosa dan salin.
Indikasi :
Untuk menyimpan darah yang langka
Perhatian :
Dapat menularkan hepatitis
Dosis dan Cara Pemberian :

Melalui filter darah dan sediaan ini memiliki masa eritrosit yang rendah karena
banyak sel darah merah yang hilang selam proses pembuatan

F. Trombosit pekat (Concentrate platelet)


Berisi trombosit, beberapa lekosit dan seldarah merah serta plasma.
Dapat

diperoleh

dengan

cara

sentrifugasi

darah

lengkap

segar

atau

tromboforesis. Dapat disimpan pada suhu 20-24 C dengan kantng darah biasa
yang diletakkan pada rotator yang selalu bergoyang, dapat bertahan selama 3
hari.
Indikasi :
Perdarahan karena trombositopenia (<50.000L) atau trombositopati kongenital.
Kontra Indikasi dan perhatian :
Tranfusi tidak efektif pada pasien dengan destruksi trombosit yang cepat seperti ;
TP, TTP dan KID

dan tranfusi biasanya hanya dilakukan pada adanya

perdarahan yang aktif. Pasien dengan trombositopenia yang disebabkan oleh


sepsis atau hipersplenisme biasanya refrakter terhadap tranfusi trombosit.
Dosis dan cara pemberian :
Dosis yang biasanya digunakan pada pedarahan akibat trombositopenia adalah
1 unit /10 kgBB. Satukantong trombosit pekat 450 ml darah lengkap dapat
menaikkan jumlah trombosit sebanyak 9000-11.000/ul/m2 luas permukaan tubuh.
Pada dewasa dengan berat badan 70 kg diperkirakan dapat menaikkan 500010.000 /ul.

Penghitungan peningkatan jumlah trombosit yang dikoreksi

(Corrected Count Increment = CCI) dapat dihitung lebih akurat memakai rumus
CCI = (Pos tx plt ct) (Pre tx plt ct) x BSA
(Plt transfused x 1011)
-

Post tx : pasca transfusi


Pretx : pra transfusi
BSA : body surface area (luas permukaan tubuh)

Keberhasilan transfuse trombosit dapat dipantau dengan mengitung jumlah


trombosit (CCI) 1 jam pasca transfuse dimana CCI.7,5-10 x 10 9/L atau CCI .
4,5 x 109/L yang diperiksa 18-24 jam pasca transfuse.

G. Trombosit dengan Sedikit Lekosit (Platelets Leukocytes Reduced)

Trombosit berisi lekosit sekitar 0,5-1 x 108/unit trombosit, sedangkan


trombosit dengan sedikit leukosit mengandung hanya 8,3x105/unit
Indikasi
Trombosit jenis ini dipergunakan ntuk pencegahan terjadinya alloimuniasi LA
terutama pada apaien yan menerima kemotrapi jangka panjang.
Kontra Indikasi dan Perhatian
Meskipun sediaan ini dapat meniadakan reaksi febris pada pasien

yang

mengalami aloimuniasi terhadap HLA antigen, penggunaannya tidak dapat


mempercepat terjadinya pemuliha jumlah trombosit. Untuk mendapatkan hasil
yang baik sebaiknya dilakukan uji cocok serasi. Terjadinya reaksi transfuse pada
sediaan ini dihubungkan dengan lamanya penyimpanan akibat dilepaskannya
sitokin-sitokin seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF alfa yang dilepaskan leukosit
selama penyimpanan.
Dosis dan Cara Pemberian
Penggunaan nya dengan menggunakan filter khusus trombosit dengan sedikit
lekosit.
H. Granulosit Feresis (Granulocytes Pheresis)
Diperoleh dengan cara sitaferesis donor tunggal., berisi granulosit,
limfosit, trombosit, beberapa sel darah merah dan sedikit plasma. Setiap unit
mengandung skitar 1,0x1010 granulosit, sejumlah limfosit trombosit 25-50ml sel
darah merah dan mungkinsedikit hidroksietil starch (HES) dengan volume 200300 ml. Suhu simpan dari sediaan ini 20-240 C dan harus segera ditranfusikan.
Indikasi :
Komponen ini dipakai untuk meningkatkan jumlah granulosit pada pasien sepsis
dengan leukopenia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian
antibiotik dan pada pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan hipoplasi.
Kontra indikasi dan perhatian:
Terapi antibiotik yang tepat atau penggunaan faktor prtumbuhan hematopoietik
mungkin lebih efektif dibandingkan dengantranfusi granulosit. Efek samping :
urtikaria, menggigil, demam bukan merupakan indikasi dengan mnghentikan
tanfusi. Untuk meminimalisir tranfusi bisa menggunakan antihistamin dan steroid.
Dosis dan cara pemberian :
Transfusi diberikan menggunakan saringan darah standar dan harus cocok
serasi sistem golongan ABO-nya dengan darah pasien.

2.2.2 NON SELULAR


A. Plasma Segar Beku ( Fresh Frozen Plasma =FFP)
Digunakan untuk mengganti kekurangan faktor koagulasi> plasma segar
beku ini berisi plasma, semua faktor pembekuan stabil dan labil, komplemen dan
protein plasma. Plasma ini dipisahkan dari darah lengkap yang kemudian
dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan darah dari donor,disimpan
pada suhu -180C atau lebih rendah dengan masa simpan 1 tahun.
Indikasi
Digunakan untuk pasien dengan gangguan proses pembekuan bila tidak tersedia
faktor pembekuan pekat atau kripresipitat, msalnya pada defisiensi faktor
pembekuan multiple antara lain penyakit hati, KTD, TTP dan dilusi koagulopati
akibat transusi masif.
Kotra indikasi dan Perhatian ;
Plasma sebaiknya tidak digunakan untuk mempertahankan ekspansi volum
karena resiko penularan penyakit yang tinggi.
Dosis dan Cara pemberian
Diberikan dalam 6 jam setelah pencairan, dengan memakaifilter/saringan
standar. Plasma harus cocok golongan ABOnya dengan sel darah merah pasien
dan tida perlu uji silang. Jika plasma diberikan sebagai pengganti faktor
koasgulasi dosisnya adalah 10-20 ml/kg. Dapat meningkatkan faktor koagulasi
20-30% dan faktor VIII 2%. Efek samping yang terjadi dapat berupa menggigil,
demam dan hipervolemia.
B. Kriopresipitat Faktor Anti Hemofilik (Cryoprecipitated AHF)
Merupakan konsentrat plasma proteintertentu, dibuat dencairkan plasma
segar beku pada suhu 60C selama 12-14 jam. Suhu simpan <- 18 oC dengan
lama simpan 1 tahun. Kriopresipitat ini berisi faktor VIII 80-120 unit, 150-250
fibrinogen, 40-70% faktor Von Willerbrand, 20-30% faktor XIII.
Indikasi :
Kriopresipitat digunakan pada pasien dengan kekurangan FVIII (hemofilia A) bila
FVIII pekat tidak tersedia, kekurangan faktor XIII, kekurangan fibrinogen dan
untuk pasien Willebrand.
Kontraindikasi dan perhatian :

Kriopresipitat tidak diberikan pada pasien yang tidak defisiensi faktor-faktor


tersebut di atas.
Dosis dan Cara Pemberian :
Sebelum dipakai kriopresipitatharus dicairkan dahulu dengan menempatkannya
dalam waterbath bersuhu 30-37oC. Komponen ini harus diberikan pada pasien
dalam waktu 6 jam setelah pencairan atau 4 jam setelah pooling. Plasma yang
diberikan hendaknya sama golongan ABOnya dengan sel darah merahpasien, uji
silang tidak perlu dilakukan dan diberikan dengan filter standar. Efek samping
yang mungkin terjadi adalah alergi dan demam.
2.2.3 MACAM-MACAM DERIFAT PLASMA
A. Konsentrat Faktor VIII (Factor VIII Concentrate)
Konsentrat faktor VIII dapat dibuat dari plasma manusia atau diproduksi
melalui teknologi rekombinan. Dibuat dengan fraksinasi dari plasma yang
dikumpulkan an diberikan segera setelah pengambilan darah. Semua produk
dibuat steril, stabil, murni dan beku kering.
Berbagai proses dipakai untuk mendapatkan FVIII yang bebas dari virus
dan menurunkan resiko penularan infeksi misalnya dengan proses pasteurisasi
atau memakai cairan pelarut tri (n-butil) fosfat.
Indikasi :
Konsistensi F VIII diindikasikan untuk pengobatan atau pencegahan perdarahan
pada hemofilia A degan defisiensi FVIII sedang sampai berat atau pasien dengan
inhibitor FVIII titer rendah yangkadarnya tidak lebih dari 5-10 bethesda units/ml.
Kontra indikasi dan perhatian :
Dosis tinggi pemberian konsentrat FVIII dengan kemurnian menengah dapat
meningkatkan fibrinogen secara bermakna. Direct Antiglobulin Test (DAT) atau
hemolisis dapat terjadi karena adanya anti A atau Anti B. Reaksi yang tidak
diharapkan meliputi malaise, panas, mual dan menggigil. Pada kemurnian yang
tinggi konsentrasi FVIII lebih jarang menimbulkan efe samping.
Dosis dan Cara Pemberian
Banyaknya

aktivitas

FVIII

koaglan

digunakan

dengan

mempergunakan

International Units (IU). Satu IU adalah jumlah aktivitas FVIII koagulan dalam ML
plasma nrmal. Dosis permulaan untuk mencapai kadar 30-100% dihitung dengan
rumus :
Plasma Volume (PV) = $0ml/kg x BB

10

F VIII yang diinginka (unit) = PV x {kadar yang diinginkan (%) kadar sekarang
(%)}
100
Cara lain adalah tiap unit FVIII/kgBB akan meningkatkan 2% (0.02IU/ml).
Pemberian dapat melalui infuse dengan menggunakan saringan atau filter darah
standar atau dengan jarum sntik dengan filter yang telah tersedia bersama
sediaannya.
B. Konsentrat Faktor IX (Factor IX Concentrates)
Dua konsentrat FIX sekarang tersedia sebagai hasil rekombinan. Sediaan
ini steril, stabil dan kering beku sebagai hasil dari fraksinasi plasma yang
dikumpulkan. Kompleks FIX merupakan sediaanyang mengandung selain FIX
juga sejumlah FII, VII, X dan beberapa protein. Selama pembuatan konsentrat ini
beberapa aktivasi dari faktor koagulasi dapat terjadi. Isi dari VII dalam beberapa
produk agak bervariasi. Jumlah masing-masing faktor yang terkandung dalam
sediaan ini biasanya tertera pada label botol tapi paling banyak mengandung 15iu FIX/mg protein. Hal sebaliknya dengan kompleks FIX, FIX koagulasi
merupakan sediaan murni yang mengandung sedikit FII, FVII dan FX. Sediaan
ini dibuat dengan metode kromatografi atau antibodi monoklonal sehingga
mengurangi terjadinya trombogenik. Kira-kira 20-30% dari produk ini adalah FIX
dimana sediaan mengandung 50 dan 200 IU FIX/mg protein. Konsentrat FIX
dibuat dengan heat treated solvent/ detergent treated dengan teknik rekombinan
untuk menurunkan risiko hepatitis, HIV dan infeksi virus lainnya.
Indikasi
Konsentrasi FIX ini digunakan untuk mengobati pasien dengan defisiensi FIX
yang dikenal sebagai hemofilia B. Pasien denga inhibitor dapat diobati dengan
kompleks konsetrat FIX, yang menganung bypass aktivitas inhibitor FVIII.
Kontraindikasi dan Perhatian
Kompleks FIX sebaiknya diberikan dengan hati hati pada pasien yang
mempunyai penyakit hati. Terdapat laporan terjadinya trombosis dan DIC pada
adanya defisiensi anti trombin kususnya pada pasien dengan [enyakit hati.
Etiologi komplikasi ini mungkin berhubungan dengan penurunan kebersihan hati,
mengakibatkan akumulasi faktor koagulasi tersebut. Konsentrat FIX koagulasi
tampaknya lebih kuang trombogenik dibandingkan dengan kompleks FIX. Efek

11

samping dari kompleks FIX bila diberikan secara cepat adalah Menggigil,
demam, nyeri kepala, nausea dan flushing. Pemberian cepat dari FIX koagulasi
adalah reaksi vasomotor.
Dosis dan cara pemberian
I unit FIX setara dengan 1 ml plasma manusia. Dosis tergantung pada keadaan
pasien.n Sejumlah konsentrat FIX diinfuskan dengan rumus seperti menghitung
penggunaan dosis FVIII, namun secara invivo hanya sekitar 50% yang dipakai
karena distribusi ke intravascular. Jadi setiap unit FIX yang diinfuskan per kg BB
akan meningkatkan 1% F IX.
C. Albumin dan Fraksi Protein Plasma (Albumin and Plasma Protein
Fraction)
Albumin merupakan derivatplasma yang diperoleh dari arah lengkap atau
plasma feresis, teridir dari 96% albumin dan 4% globulin dan beberapa protein
lain yang dibuat dengan proses fraksinasi alkohol dingin. Derivat ini kemudian
dipanaskan 600C selama 10 jam sehingga beba virus.
Fraksi protein plasma adalah produk yang sama dengan albumin hanya
dalam pemurniannya lebih kurang dibandingkan dengan albumin dalam proses
fraksinasi. Fraksi protein plasma ini mengandung 83% albuin dan 17% Globulin.
Albumin yang tersedia adalah larutan 25% dan 5% sementara fraksi
protein plasma yang tersedia adalah larutan 5%. Tiap sediaan mengandung
natrium 145mmol/L. Arutan albumin 5%, osmotik dan onkotiknya sama dengan
plasma sedangka larutan albumin 25% osmotik dan onkotiknya lima kali lebih
besar dari plasma. Alnumin memiliki waktu paruh 16 jam dan dapat disimpan
lebih dari 5 tahun pada suhu 2-100C.
Indikasi
Albumin digunakan untuk meningkatkan volume sirkulasi/resusitasi misalnya
pada pasien luka bakar, pasien pada keadaan hipovolemia dan hipoproteinemia
misalnya pasien dengan syok, ada sindrom nefrotik atau untuk meningkatkan
protein plasma
Kontraindikasi dan Perhatian
Larutan lbumin 25% tidak boleh diberikan pada pasien dengan dehidrasi dan
hanya dapat diencerkan dengan salin normal dan dekstrose 5%.
Dosis dan Cara Pemberian

12

Albumin dan fraksi protein plasma tidak memerlukan filter dalam pemberiannya.
Pengobatan

hipotensi

dengan

albumin

hendaklah

disesuaikan

dengan

hemodinamik pasien. Dosis 500 ml diberikan secara cepat untuk mengawasi


syok. Pada pasien luka bakar dosis albumin atau fraksi plasma protein diberikan
dalam dosis terentu untuk mempertahankan kadar protein plasma 5,2g/dl atau
lebih tinggi. Albumin tidak dapat memperbaiki hipoalbuminemia kronik dan tidak
digunakan untuk jangka panjang.
2.2.4 IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin biasanya dibuat melalui proses fraksinasi dengan etanol
dingin dari plasma yang dikumpulkan. Berisi imunoglobulin G (IgG) dengan
sedikit IgA dan IgM. Terdapat dua sediaan yakni intramuskular dan intravena.
Pada sediaan IM, kelemahannya yaitu pemberiannya diperlukan waktu 4-7 hari
untuk mencapai kadar puncak dalam plasma, dosis maksimum yang dapat
diberikan dibatasi oleh masa otot dan pemberiannya menyebabkan nyeri.
Sediaan IM saat ini dierikan anya untuk profilaksis. Sediaan ini merupakan
larutan steril dengan konsentrai protein kurang lebih 16,5 gr/dl.
Sediaan intravena cepat mencapat puncak plasma begitu diinfuskan.
Waktu paruh Inravena dan Intramuskular antara 18-32 hari.
Indikasi
Preparat imunglobulin dapat digunakan untuk profilaksis antibody secara pasif
pada orang yang rentan terhadap penyakit-penyakit tertentu sebagai terapi
penggantipda orang dengan imunodefisiensi primer. IVIG dapat digunakan
sebagai imunomodulator pada pasien dengan kelainan auto imun, misalnya ITP
akut dan kronik pada anak dan dewasa. Dapatpula digunakan untuk
trombositopenia pada HIV, purpura pasca transfuse dan GBS. Juga untuk
pengobatan infeksi serta profilaksis GVHD pada pasien penerima cangkok
sumsum tulang.
Kontra Indikasi dan Perhaian
Orang dengan riwayat defisiensi IgA atau terjadinya reaksi anafilaksis berat
terhadap plasma sebaiknya jangan diberikan. Sediaan IM jangan diberikan
secara

IV

karena

mengandung

agregat

immunoglobulin

yang

dapat

mengaktifkan komplemen serta sistim kinin yang dapat menyebabkan reaksi


anafilaktik> Reaksi yang tidak diinginkan lainnya dari pemberian immunoglobulin

13

adalah nyeri kepala, menggigil, kepala terasa ringan, demam, nyeri punggung,
terasa panas dan mual.
Dosis dan Cara Pemberian
Tergantung indikasi, karakter pasien serta sediaan yang digunakan (IM,IV)

ITP dan penyakit auto imun lainnya : IV 400mg/kg/hari selama 2-5 hari

atau 0,8-1 g/kg/ari selama 1-2 hari


Defisiensi imunoglobulin kongenital : IM : 0,7 mL/kg/bulan , IV : 200-800

mg /kg/bulan
Profilaksis hepatitis A :IM 0,02-0,04 ml/kg
Hepatitis B : 0,06 ml/kg IM diulang satu bulan
Varicalla zooster : 1 vial (25ml) /10 kg (maks 5 vial) IM diberikan dalam

72 jam pasca paparan


Virus citomegalo :
Profilaksis : 100-150 mg/kg
Pengobatan Infeksi : 200 mg/kg (IV)

RH Immmune Globulin
RhIG dibuat dari plasma yang dikumpulkan dan mengandung IgG anti D.
Terdapat 2 sediaan yaitu IM dan IV, Sediaan IV dosis 120 ug dan 300 ug telah
disetujui oleh FDA untuk supresi imun terhadap antigen D dan untuk pengobatan
ITP. Sediaan IM yang tersedia adalah dosis 300 ug dan 50 ug. Dosis 300 ug
RhIG baik IV maupun IM akan melindungi efek imun lebih dari 15 ml darah
dengan D positif . Semua sediaan ini aman dari transmisi penyakit infeksi dan
virus dan dipakai untuk mencegah terjadinya penyakit hemolitik pada bayi baru
lahir yang disebabkan oleh antigen Rh (D).
Indikasi dan Dosis
Sebelum persalinan, untuk perempuan dengan (Rh) D negatig, 50 ug IM ThIG
dapat melindungi terjadinya aborsi atau terminasi kehamilan ektopik yang terjadi
dalam 12 minggu kehamilan. Setelah 12 minggu kehamilan, dosis penuh IM
RhIG dapat diberikan. Dosis penuh juga dianjurkan setelah dilakukan
amniosentesis.
Pasca persalinan, semua perempuan dengan (Rh) D negatif yang
melairkan bayi dengan D positif diberi ug RhIG secara IM atau 120 ug secara IV.
Pemberian hendaknya dilakukan dalam 72 jam setelah melahirkan.
2.3 Golongan Darah

14

1. Sistem ABO
Pengelompokan golongan darah sistem

ABO sudah ditemukan sejak

kurang lebih 100 tahun yang lalu. Sejak saat itu, penggunaan darah sebagai
transfusi menemukan titk cerah dimana tidak semua jenis darah tidak bisa
digunakan begitu saja pada seseorang. Bahkan sistem ABO dapat mendeteksi
hereditas dari seseorang karena diketahui golongan darah juga diturunkan dari
gabungan golongan darah dari ayah dan ibu (Bethesda, 2005).
Hal yang perlu di perhatikan dari golongan darah ABO ini adalah dari
penelitian yang dilakukan oleh Zerihun dkk, 2011, bahwa terdapat korelasi yang
cukup kuat antara kelompok golongan darah ABO dengan menjangkitnya
beberapa penyakit. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa kelompok golongan
darah A, B, dan AB lebih mudah terjangkit Plasmodium falciparum dibandingkan
kelompok bergolongan darah O. Meskipun demikian, masih diperlukan studi lebih
lanjut guna mengetahui mekanisme lebih jelasnya korelasi antara golongan
darah ABO dan kondisi penyakit.
Pada sistem penggolongan darah ABO, Golongan darah terbagi menjadi
4 golongan yaitu golongan darah A, B, AB, dan O.

Golongan darah A memiliki antigen A (aglutinogen A) pada sel-sel darah


merah dengan antibodi anti-B (aglutinin B) dalam plasma.

Golongan darah B memiliki antigen B (aglutinogen B) dengan antibodi


anti-A dalam plasma.

Golongan darah O tidak memiliki antigen (aglutinogen) tetapi memiliki


antibodi (aglutinin) anti-A dan anti-B dalam plasma.

Golongan darah AB memiliki kedua antigen A dan Antigen B tetapi tidak


memiliki antibodi (aglutinin).

Tabel 2.1 : Golongan Darah Sistem ABO (Bethesda, 2005)

15

Golongan darah sangat penting diketahui terutama ketika akan dilakukan


transfusi darah dari donor ke penerima (resipen). Dimana dalam ilmu imunologi
apabila antigen bertemu dengan antibodi maka akan terjadi reaksi antigenantibodi, antigen akan dihancurkan oleh antibodi. Sebagai contoh Antibodi A
(Golongan Darah B) jika bertemu dengan Antigen A (Golongan darah A) akan
terjadi reaksi antigen-Antibodi yang dapat membahayakan nyawa penerima
donor (Bethesda, 2005)
Jadi, Golongan darah donor harus cocok dengan golongan darah penerima.
Akan tetapi tidak cukup hanya dilihat dari Golongan darah ABO, karena harus
diperhatikan juga golongan Rhesusnya (Rh).
2. Sistem Rhesus (Rh)
Selain golongan darah ABO, Perlu diperhatikan juga golongan Rhesusnya
atau faktor Rh. Nama Rhesus ini ditemukan oleh Karl Landsteiner pada tahun
1941 dia menemukan Faktor ini pada darah monyet jenis Rhesus. Penggolongan
darah rhesus ada dua yaitu Rhesus positif (Rh+) dan Rhesus negatif (Rh-).
Sekitar 85% manusia mempunyai Rh+.(Giri, 2011).

Rhesus positif (Rh+) = memiliki faktor Rhesus pada permukaan sel darah
merahnya.

Rhesus negatif (Rh-) = tidak memiliki faktor Rhesus pada permukaan sel
darah merahnya.
Dalam penulisan, jenis penggolongan Rhesus ini seringkali digabungkan

dengan penggolongan ABO. Seperti Seseorang yang memiliki Golongan Darah

16

O dan Rhesus positif ditulis sebagai O+ atau O Pos atau O psitif. Golongan
darah O+ adalah yang paling banyak dijumpai, meskipun pada daerah tertentu
golongan A lebih dominan, dan ada pula beberapa daerah dengan 80% populasi
dengan golongan darah B (Giri, 2011)
Kecocokan faktor Rhesus amat penting karena ketidakcocokan golongan
darah akan berakibat fatal. Misalnya donor dengan Rh+ sedangkan resipiennya
Rh- dapat menyebabkan produksi antibodi terhadap antigen Rh yang
mengakibatkan pecahnya sel-sel darah merah (hemolisis). Contoh lain : Suami
Rh+, istri Rh- maka anaknya akan bergolongan Rh+, anak pertama biasanya
selamat. Namun akibat proses kelahiran anak pertama, ada darah bayi yang
masuk ke peredaran darah ibu, maka ibu akan membentuk antibodi Rh
(antirhesus). Sehingga apabila istri hamil lagi anak ke dua dan seterusnya akan
terancam jiwa bayinya akibat proses yang disebut sebagai eritroblastosis fetalis
atau pecahnya sel darah merah sesaat setelah lahir. Hal ini merupakan kondisi
yang mengancam keselamatan bayi karena dapat menyebabkan pecahnya selsel darah merah, menyebabkan anemia dan ikterus (bayi kuning) (Bogui, 2014).

2.4 Uji Cocok Silang (Crossmatch)


Crossmatch atau uji kompatibilitas adalah prosedur yang paling penting
dan paling sering dilakukan di laboratorium transfusi darah. Uji crossmatch terdiri
dari serangkaian prosedur yang dilakukan sebelum transfusi untuk memastikan
seleksi darah yang tepat untuk seorang pasien dan untuk mendeteksi antibodi
ireguler dalam serum resipien yang akan mengurangi atau mempengaruhi
ketahanan hidup dari sel darah merah donor transfusi.
Karena transfusi darah yang tidak cocok dengan resipien dapat
berbahaya, maka darah yang disumbangkan, secara rutin digolongkan
berdasarkan jenisnya; apakah golongan A, B, AB atau O dan Rh-positif atau Rhnegatif. Sebagai tindakan pencegahan berikutnya, sebelum memulai transfusi,
pemeriksa mencampurkan setetes darah donor dengan darah resipien untuk
memastikan keduanya cocok: teknik ini disebut cross-matching.
Terdapat 2 jenis uji crossmatch :
1. Mayor, yaitu menguji reaksi antara sel darah merah donor
(aglutinogen donor) dengan serum resipien (aglutinin resipien). Uji ini

17

dilakukan pada tes pratransfusi, menggunakan metode yang akan


menunjukkan antibodi aglutinasi, sensitisasi, dan hemolisis, juga tes
antiglobulin.
2. Minor, yaitu menguji reaksi antara serum donor (aglutinin donor)
dengan sel darah merah resipien (aglutinogen resipien). Uji ini tidak
dilakukan pada pratansfusi karena uji ini dilakukan sebagai tes rutin
pada darah donor setelah pengumpulan darah.
Cara menilai basil pemeriksaan adalah sebagai berikut:

Bila

kedua

pemeriksaan

(crossmatch

mayor

dan

minor)

tidak

mengakibatkan aglutinasi eritrosit, maka diartikan bahwa darah donor


sesuai dengan darah resipien sehingga transfusi darah boleh dilakukan;
bila crossmatch mayor menghasilkan aglutinasi, tanpa memperhatikan
hasil crossmatch minor, diartikan bahwa darah donor tidak sesuai dengan
darah resipien sehingga transfusi darah tidak dapat dilakukan dengan

menggunakan darah donor itu


Bila crossmatch mayor tidak menghasilkan aglutinasi, sedangkan dengan
crossmatch minor

terjadi

aglutinasi,

maka crossmatch minor

harus

diulangi dengan menggunakan serum donor yang diencerkan. Bila


pemeriksaan terakhir ini ternyata tidak menghasilkan aglutinasi, maka
transfusi darah masih dapat dilakukan dengan menggunakan darah donor
tersebut. Bila pemeriksaan dengan serum donor yang diencerkan
menghasilkan aglutinasi, maka darah donor itu tidak dapat ditransfusikan.
Secara umum, uji crossmatch harus mendeteksi sebagian besar antibodi
resipien yang dapat mereaksi dengan sel darah merah donor. Namun, uji
crossmatch tidak menjamin sel darah donor tetap hidup atau mencegah
imunisasi resipien, tidak mendeteksi kesalahan penggolongan ABO, Rh-typing,
atau semua antibodi ireguler pada resipien serum.
2.5 Resiko Transfusi Darah
Sebuah penelitian melaporkan bahwa reaksi transfusi tidak diharapkan
ditemukan pada 6,6% resipien, di mana sebagian besar (55%) berupa demam.
Gejala lain adalah menggigil tanpa demam sebanyak 14%, reaksi alergi
(terutama urtikaria) 20%, hepatitis serum positif 6%, reaksi hemolitik 4%, dan
overload sirkulasi 1%.

18

A. Demam
Peningkatan suhu dapat disebabkan oleh antibodi leukosit, antibodi
trombosit, atau senyawa pirogen. Untuk menghindarinya dapat dilakukan uji
cocok silang antara leukosit donor dengan serum resipien pada pasien yang
mendapat transfusi leukosit. Cara lain adalah memberikan produk darah yang
mengandung sedikit leukosit, leukosit yang harus dibuang pada produk ini
minimal 90% dari jumlah leukosit. Transfusi juga dapat dilakukan dengan
memasang mikrofiltrasi yang mempunyai ukuran 40 mm. Dengan filter berukuran
tersebut jumlah leukosit dapat berkurang sampai 60%. Selain itu untuk
mencegah demam akibat transfusi dapat dilakukan dengan pemberian prednison
50 mg atau lebuh sehari atau 50 mg kortison oral setiap 6 jam selama 48 jam
sebelum transfusi atau aspirin 1 g saat mulai menggigil atau 1 jam sebelum
transfusi (Djoerban, 2009).
Bila terjadi reaksi panas/ demam maka transfusi harus dihentikan.
Kemungkinan terjadi nya reaksi hemolitik harus dipertimbangkan. Dapat
diberikan antipiretik dan hidrikortison (Harmono, 2009).
B. Reaksi alergi
Renjatan anafilatik terjadi 1 pada 20.000 transfusi, dan reaksi alergi
ringan seperti urtikaria terjadi pada 3% transfusi. Reaksi anafilaktik dapat terjadi
akibat interaksi antara igA pada darah donor dengan anti-IgA spesifik pada
plasma resipien (Djoerban, 2009). Reaksi alergi dapat dipikirkan diperantarai
oleh igE resipien terhadap protein atau bahan terlarut di dalam plasma donor,
interaksi antara antigen dengan IgE merangsang dikeluarkannya antihistamin
dari sel mast dan basofil (Harmono, 2009). Reaksi alergi dicegah dengan eritrosit
yang dicuci.
C.Reaksi Hemolitik
Reaksi hemolitik terjadi karena destruksi sel darah merah setelah
transfusi akibat darah yang inkompatibel. Reaksi hemolitik juga dapat terjadi
akibat transfusi eritrosit yang rusak karena paparan dextrose 5%, injeksi air ke
dalam sirkulasi, transfusi darah yang lisis, transfusi darah dengan pemanasan
berlebihan, transfusi darah beku, transfusi dengan darah yang terinfeksi,
transfusi darah dengan tekanan tinggi (Djoerban, 2009).

19

Berkembangnya antibodi yang dapat bereaksi dengan antigen eritrosit


menyebabkan perusakan eritrosit, biasanya eritrosit donor. Umumnya terjadi
karena kesalahan pencatatan dan ABO mismatching. Patogenensis kelainan ini
dimulai dengan interaksi antara antibodi dan membran sel eritrosit yang
mengembang

menjadi

terbentuknya

kompleks

imun,

aktivasi

kaskade

komplemen, mekanisme koagulasi lewat sitokin dan faktor XII. Mediator


vasomotor disini yaitu histamin, serotonin, dan sitokin. Renjatan terjadi karena
pelepasan bahan vaasoaktif (Harmono, 2009).
Terapi reaksi transfusi hemolitik adalah hentikan transfusi segera,
pemberian

cairan

intravena

dan

diuretika.

Cairan

digunakan

untuk

mempertahankan jumlah urine yang keluar. Diuretika yang digunakan ialah :


a. Manitol 25 %, sebanyak 25 gr diberikan secara intravena kemudian diikuti
pemberian 40 mEq Natrium bikarbonat.
b. Furosemid. Bila terjadi hipotensi penderita dapat diberi larutan Ringer
laktat, albumin dan darah yang cocok. Bila volume darah sudah mencapai
normal penderita dapat diberi vasopressor. Selain itu penderita perlu diberi
oksigen. Bila terjadi anuria yang menetap perlu tindakan dialysis.
D.Penularan penyakit
Resiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung
pada berbagai hal, antara lain prevalensi penyakit di masyarakat, keefektifan
skrining yang digunakan, status imun resipien dan jumlah donor tiap unit darah
(National Blood Users Group, 2001). Penularan penyakit terutama timbul pada
saat window period yaitu periode segera setelah infeksi dimana darah donor
sudah infeksius tetapi hasil skrining masih negatif (Goodnough, 1999).
Transfusi harus memperhatikan kemungkinan penularan penyakit yang
dapat menular melalui darah seperti HIV, hepatitis B, hepatitis C, dan virus
lainnya. Bakteri atau kuman dapat mengkontaminasi eritrosit dan trombosit
sehingga dapat menyebabkan infeksi dan terjadinya sepsis setelah transfusi.
Penularan HIV melalui transfusi pertama kali dilaporkan pada tahun 1982. Pada
tahun 1983 Public Health Service (Amerika Serikat) merekomendasikan orang
yang berisiko tinggi terinfeksi HIV untuk tidak menyumbangkan darah, serta
kemudian dilakukan tes penyaring untuk semua sampel darah donor. Kebijakan
ini diharapkan dapat mengurangi resiko terjadinya penularan HIV mealalui
transfusi darah. Untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui transfusi, bank

20

darah mulai menggunakan tes antigen p24 pada tahun 1995. Setelah kurang
lebih 1 tahun skrining, dari 6 juta donor hanya 2 yang positif (Goodnough, 1999).
E.Kontaminasi
Kontaminasi bakteri mempengaruhi 0,4% konsentrat sel darah merah dan
1-2% konsentrat trombosit (WHO, 2002). Kontaminasi bakteri pada darah donor
dapat timbul sebagai hasil paparan terhadap bakteri kulit pada saat pengambilan
darah, kontaminasi alat dan manipulasi darah oleh staf bank darah atau staf
rumah sakit pada saat pelaksanaan transfusi atau bakteremia pada donor saat
pengambilan darah yang tidak diketahui (Canadian Medical Association, 1997).
Kontaminasi bakteri eritrosit paling sering disebabkan oleh Yersinia
enterocolitica. Angka kontaminasi oleh bakteri ini di Amerika Serikat dan Selandia
Baru adalah 1 per 1 juta unit sel darah merah dan 1 per 65.000 unit sel darah
merah. Resiko terjadinya kontaminasi tersebut berhubungan lanngsung dengan
lamanya penyimpanan. Resiko sepsis yang berhubungan dengan transfusi
trombosit adalah 1 per 12.000. bakteri yang mengkontaminasi trombosit yang
dapat menyebabkan kematian adalah S.aureus, K.pneumoniae, Serratia
marcescens, dan S.epidermidis.
Penyimpanan pada suhu kamar meningkatkan pertumbuhan hampir
semua bakteri. Beberapa organisme, seperti Pseudomonas tumbuh pada suhu
2-6C dan dapat bertahan hidup atau berproliferasi dalam sel darah merah yang
disimpan, sedangkan Yersinia dapat berproliferasi bila disimpan pada suhu 4C.
Stafilokokus tumbuh dalam kondisi yang lebih hangat dan berproliferasi dalam
konsentrat trombosit pada suhu 20-40C. Oleh karena itu, risiko meningkat
sesuai dengan lamanya penyimpanan (Moore, 1997).
F.Cedera Akut Paru
Transfusion related acute lung injury (TRALI) adalah suatu diagnosis
klinik berupa manifestasi klinis hipoksemia akut dan edema pulmoner bilateral
yang terajadi 6 jam setelah transfusi. Gejala yang ditemui dapat berupa dispnea,
takipnea, demam, takikardi, hipotensi/ hipertensi, leukopenia akut sementara.
Beberapa mekanisme diperkirakan menjadi penyebab terjadinya kondisi seperti
ini. Salah satunya adalah reaksi antara neutrofil resipien dengan antibodi donor
yang mempunyai HLA atau antigen neutrofil spesifik, sehingga akibatnya terjadi
penignkatan permeabilitas kapiler pada sirkulasi mikro di paru.

21

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Transfusi darah adalah pemindahan darah dari donor ke dalam peredaran
darah resipien. Darah dan berbagai komponen darah dapat ditransfusikan secara
terpisah sesuai dengan kebutuhan. Darah tersusun dari berbagai komponen
yaitu eritrosit (red blood cells), trombosit pekat (thrombocyte concentrate),
kriopresipitat, dan plasma segar beku (fresh frozen plasma). Reaksi transfusi
darah dapat berupa demam, menggigil tanpa demam, reaksi alergi, reaksi
hemolitik, overload sirkulasi, penularan infeksi dan kontaminasi.
3.2 Saran
Diperlukan pemahaman dan pengertian dalam melakukan transfusi darah
agar pemberian transfusi darah menjadi efektif sesuai kebutuhan pasien, dan
reaksi transfusi dapat dihindari, termasuk komplikasi-komplikasi transfusi seperti
penyebaran infeksi melalui darah yang ditransfusikan.

22

DAFTAR PUSTAKA

Bermawi, H. 2010. Transfusi Darah dan Komponen Darah. In: M.S. Kosim et
al.eds. Buku Ajar Neonatologi. 1 ed. s. l. IDAI, p285
Bethesda, L. 2005. Blood Group and Red Cells Antigen. National Center for
Biotechnology Information (US).
Bogui, S., Dembele, B., Sekongo, Y. 2014. Phenotypic Profile of Rh and Kell
Blood Group Systems among Blood Donors in Cote dIvoire, West
Africa.
Journal
of
Blood
Transfusion
Volume 2014 (2014), Article ID 309817
Djoerban, Z. 2009. Dasar-dasar Transfusi Darah. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Ed V, Jakarta: Interna Publishing. Hal 1185-89
Giri, A.P., Yadav, S., Parhar, S., Phalke, B. 2011. Frequency of ABO and Rhesus
Blood Groups: A Study from a Rural Tertiary Care Teaching Hospital in
India. Institute of Medical Sciences: India.
Harmono, M.T. 2009. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi Transfusi Darah.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed V, Jakarta: Interna
Publishing. Hal 1198-1204
Haroen, H. 2009. Darah dan Komponen: Komposisi, Indikasi dan Cara
Pemberian. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed V, Jakarta:
Interna Publishing. Hal 1190-97
Latief SA, Suryadi KA, Cachlan MR. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
Kedua, Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI : 2002
Norfolk, D. 2013. Handbook of
Kingdom Blood Service.

Transfusion Medicine. 5th edition. United

Zerihun, T. Degarege, A. Erko, B. 2011. Association of ABO blood group and


Plasmodium falciparum malaria in Dore Bafeno Area, Southern Ethiopia.
Asian Pac J Trop Biomed. 2011 Aug; 1(4): 289294. doi:
10.1016/S2221-1691(11)60045-2.

23

Anda mungkin juga menyukai