Anda di halaman 1dari 18

TRANSFUSI DARAH

Transfusi darah adalah proses pemindahan atau pemberian darah dari seseorang (donor)
kepada orang lain (resipien). Transfusi bertujuan mengganti darah yang hilang akibat perdarahan,
luka bakar, mengatasi shock dan mempertahankan daya tahan tubuh terhadap infeksi (Setyati,
2010).
Proses transfusi darah harus memenuhi persyaratan yaitu aman bagi penyumbang darah dan
bersifat pengobatan bagi resipien. Transfusi darah bertujuan memelihara dan mempertahankan
kesehatan donor, memelihara keadaan biologis darah atau komponen – komponennya agar tetap
bermanfaat, memelihara dan mempertahankan volume darah yang normal pada peredaran darah
(stabilitas peredaran darah), mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah,
meningkatkan oksigenasi jaringan, memperbaiki fungsi hemostatis, tindakan terapi kasus tertentu
(PMI, 2007).
Tidak semua orang dapat menjadi donor, supaya transfusi tidak membahayakan donor dan
juga melindungi resipien dengan menjamin bahwa darah yang didonorkan adalah darah yang
sehat, maka darah donor harus diseleksi terlebih dahulu seperti: tidak menderita penyakit HIV,
hepatitis B, hepatitis C, dan orang yang tidak beresiko karena seks bebas (Hutomo, 2011).

Dasar-Dasar Pemberian Transfusi Darah


Dasar-dasar pemberian transfusi darah secara rasional adalah pemilihan bahan transfusi
yang tepat, jumlah sesuai dengan kebutuhan, pada saat yang tepat dan dengan cara yang benar,
tepat klien dan waspada efek samping yang terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut petugas
kesehatan yang mempunyai kewenangan pemberian transfusi darah perlu memahami tentang
transfusi darah antara lain berbagai komponen darah, manfaat masing-masing komponen,sirkulasi
peredaran darah, stabilitas dan umur berbagai komponen darah dalam tubuh serta adanya indikasi
transfusi itu sendiri.
Ada 5 indikasi umum transfusi darah adalah sebagai berikut :
1. Kehilangan darah akut, bila 20–30% total volume darah hilang dan perdarahan masih terus
terjadi.
2. Anemia berat.
3. Syok septik (jika cairan IV tidak mampu mengatasi gangguan sirkulasi darah dan sebagai
tambahan dari pemberian antibiotik).
4. Memberikan plasma dan trombosit sebagai tambahan faktor pembekuan, karena komponen
darah spesifik yang lain tidak ada.
5. Transfusi tukar pada neonatus dengan ikterus berat (http://www.ichrc.org/106-transfusi-darah).

Jenis Transfusi Darah


1. Darah Lengkap (Whole Blood)
Whole blood atau darah lengkap pada transfusi adalah darah yang diambil dari donor
menggunakan container atau kantong darah dengan antikoagulan yang steril dan bebas
pyrogen. Whole blood merupakan sumber komponen darah yang utama (Anonim, 2002).
Whole blood diambil dari pendonor ± 450-500 ml darah yang tidak mengalami pengolahan.
Komposisi whole blood adalah eritrosit, plasma, lekosit dan trombosit (Hutomo, 2011).
2. Sel Darah Merah (Packed Red Cell)
Packed Red Cell (PRC) adalah suatu konsentrat eritrosit yang berasal dari sentrifugasi
whole blood, disimpan selama 42 hari dalam larutan tambahan sebanyak 100 ml yang berisi
salin, adenin, glukosa, dengan atau tanpa manitol untuk mengurangi hemolisis eritrosit
(Anindita, 2011).
3. Trombosit
Trombosit dibuat dari konsentrat whole blood (buffy coat), dan diberikan pada pasien
dengan perdarahan karena trombositopenia. Produk trombosit harus disimpan dalam kondisi
spesifik untuk menjamin penyembuhan dan fungsi optimal setelah transfusi. Umur dan fungsi
trombosit optimal pada penyimpanan di suhu ruangan 20-24oC (Cahyadi, 2011).
4. Plasma Beku (Fresh Frozen Plasma)
Fresh Frozen Plasma (FFP) adalah plasma segar yang dibekukan dalam waktu 8 jam
dan disimpan pada suhu minimal -20°C dapat bertahan 1 tahun, yang berisi semua faktor
koagulasi kecuali trombosit. FFP diberikan untuk mengatasi kekurangan faktor koagulasi
yang masih belum jelas dan defisiensi anti-thrombin III. FFP berisi plasma, semua faktor
pembekuan stabil dan labil, komplemen dari protein plasma. Volume sekitar 200 sampai 250
ml. Setiap unit FFP biasanya dapat menaikkan masing-masing kadar faktor pembekuan
sebesar 2-3 % pada orang dewasa, dosis inisial adalah 10-15 ml/kg (Harlinda, 2006 ).

WHOLE BLOOD
Darah yang diambil langsung dari donor yang disebut whole blood bercampur dengan
antikoagulan yang sudah tersedia dalam kantong darah. Darah lengkap mempunyai komponen
utama yaitu eritrosit, trombosit dan faktor pembekuan labil (V, VIII). Satu unit kantong darah
lengkap berisi 450 ml darah dan 63 ml antikoagulan. Di Indonesia, 1 kantong darah lengkap berisi
250 ml darah dengan 37 mlantikoagulan, ada juga yang 1 unit kantong berisi 350 ml darah dengan
antikoagulan. Suhu simpan antara 2-4ºC. Satu unit darah (250-450 ml) dengan antikoagulan
sebanyak 15 ml / 100 ml darah (Sudoyo, 2009).
Masa penyimpanan whole blood ada dua, yaitu darah segar (fresh blood), darah yang
disimpan kurang dari 6 jam, masih lengkap mengandung trombosit dan faktor pembekuan labil,
serta darah yang disimpan (stored blood), yaitu darah yang sudah disimpan lebih dari 6 jam. Darah
dapat disimpan maksimal sampai dengan 35 hari. Darah simpan tersebut mengandung trombosit
dansebagian faktor pembeku sudah menurun jumlahnya (Bakta, 2006).

Gambar 1. Whole Blood


Tujuan Transfusi Whole Blood
Whole blood berguna untuk meningkatkan jumlah eritrosit dan plasma secara bersamaan.
Dilakukannya transfusi whole blood harus melalui uji cocok serasi mayor dan minor antara darah
donor dan pasien. Peningkatan hemoglobin post transfusi 450 mL darah lengkap adalah sebesar
0.9-1.2 g/dl dan peningkatan hematokrit 3-4 % (Chunaeni, 2012).
Indikasi
WB harus dicadangkan untuk pendarahan medis atau bedah yang parah, misalnya selama
pendarahan saluran makanan yang cepat atau pada trauma mayor saat diperlukan pemulihan daya
angkut oksigen, volume, dan faktor pembekuan. Bahkan pada syok hemoragik, kombinasi sel
darah merah dan larutan kristaloid atau koloid biasanya efektif, pada keadaan darurat, pergantian
volum secara cepat biasanya mendahului penggantian sel darah merah dan cairan resusitasi bebas
sel harus digunakan apabila jenis darah resipien sedang ditentukan, bila deficit sel darah merah
kritis, diindikasikan pemberian sel darah merah tipe O atau untuk spesifik tipe yang tidak
dicocokkan terlebih dahulu. Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah sel darah merah
dan volume plasma dalam waktu yang bersamaan, misalnya pada pendarahan aktif dengan
kehilangan darah lebih dari 25-30 % volume darah total (Sudoyo, 2009).
Kontra Indikasi
Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia kronik yang
normovolemik atau yang bertujuan meningkatkan sel darah merah.
Dosis dan Cara Pemberian
Satu unit darah lengkap 250 ml pada orang dewasa meningkatkan Hb sekitar 0.5-0.6 g/dl.
Darah lengkap 8 ml/kg pada anak-anak akan meningkatkan Hb sekitar 1 g/dl. Pemberian darah
lengkap sebaiknya melalui filter darah dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan klinis pasien,
namun setiap unitnya sebaiknya diberikan dalam 4 jam (Sudoyo, 2009)

PACKED RED CELL (PRC)


PRC merupakan komponen yang terdiri dari eritrosit yang telah dipekatkan dengan
memisahkan komponen-komponen lain sehingga mencapai hematokrit 65-70%, yang berarti
menghilangnya 125-150 ml plasma dari satu unitnya. PRC merupakan pilihan utama untuk anemia
kronik karena volumenya yang lebih kecil dibandingkan dengan whole blood. Setiap unit PRC
mempunyai volume kira-kira 128-240 ml, tergantung volume kadar hemoglobin donor dan proses
separasi komponen awal. Volume darah diperkirakan mengandung plasma 50 ml atau antara 20-
150 ml (Alimoenthe, 2011).
PRC dibuat khusus di dalam kantong plastik pada saat segera setelah donasi darah diputar
secara khusus sehingga terpisah dari komponen-komponen lain, jauh lebih baik dan lebih tahan
lama disimpan. Packed cells dibuat dengan cara pengendapan darah didalam botol lalu bagian
plasmanya disedot keluar tidak menghasilkan komponen yang ideal karena sudah terbuka resiko
kontaminasi pada waktu penghisapan. Waktu penyimpanannya hanya sampai 24 jam didalam alat
pendingin darah (Depkes RI, 2008).
Gambar 2. Packed Red Cell

Tujuan Transfusi PRC


Tujuan transfusi PRC adalah untuk menaikkan hemoglobin klien tanpa menaikkan volume
darah secara nyata. Keuntungan menggunakan PRC dibandingkan dengan WB adalah kenaikan
Hb dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan, mengurangi kemungkinan penularan penyakit dan
reaksi imunologis, volume darah yang diberikan lebih sedikit sehingga kemungkinan overload
berkurang serta komponen darah lainnya dapat diberikan kepada klien yang lain.
Indikasi
PRC digunakan pada pasien anemia yang tidak disertai penurunan volume darah, misalnya
pasien dengan anemia hemolitik, anemia hipoplastik kronik, leukemia akut, leukimia kronik,
penyakit keganasan, talasemia, gagal ginjal kronis, , dan perdarahan-perdarahan kronis yang ada
tanda “oxygen need” (rasa sesak, mata berkunang, palpitasi, pusing dan gelisah). PRC diberikan
sampai tanda oxygen need hilang, biasanya pada hemoglobin 8-10 gr/dl.
Transfusi PRC hampir selalu diindikasikan pada kadar Hb < 7 g/dl, terutama pada anemia
akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimptomatik atau penyakitnya memiliki terapi spesifik
lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah dapat diterima.Transfusi sel darah merah dapat
dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna
secara klinis dan laboratorium.
Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥10 g/dl, kecuali bila ada indikasi tertentu,
misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transport oksigen lebih tinggi (contoh: penyakit
paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat).
Dosis
Sel darah merah ada tiga jenis yaitu sel darah merah pekat (packed red cell=PRC ), suspensi
sel darah merah, dan sel darah merah yang dicuci. Indikasi mutlak pemberian PRC adalah bila Hb
penderita 5 g/dl. Jumlah PRC yang diperlukan untuk menaikkan Hb dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :

Jumlah PRC = Hb x 3 x BB

BB= berat badan


Hb = selisih Hb yang diinginkan dengan Hb sebelum

TROMBOSIT
Trombosit atau platelet merupakan sel yang tidak mempunyai nukleus pada DNA-nya
berbentuk bulat kecil atau cakram oval dengan diameter 2-4 μm yang merupakan pecahan dari
megakariosit pada sumsum tulang. Daya hidup trombosit dalam darah antara 8 sampai 12 hari
(Ganong WF, 2004).
Sel ini memegang peranan penting pada proses hemostasis karena kerja trombosit yang
membentuk sumbat hemostatik untuk menutup luka. Proses hemostatik terjadi melalui 3 fase yaitu
adhesi trombosit, agregasi trombosit dan reaksi pelepasan.
Indikasi Transfusi Trombosit
Fungsi penting trombosit terlibat dalam mekanisme hemostasis proses terhadap perbaikan
pembuluh darah yang rusak (Guyton, 2015). Indikasi transfusi trombosit diantaranya sebagai
terapi perdarahan akibat trombositopenia, defek fungsi trombosit dan sebagai pencegahan
perdarahan akibat trombositopenia seperti pada kegagalan sumsum tulang (The Clinical Use of
Blood, 2001). Nilai normal jumlah trombosit dalam darah antara 150.000 sampai 400.000/mm 3
(Stone DJ,2011). Indikasi transfusi trombosit keadaan dimana trombositopenia yang dapat
mengancam jiwa. Jumlah trombosit menurun sampai 20.000/mm 3 dapat menyebabkan perdarahan
otak yang berakibat fatal (Eriksson L et al, 2008).
Pemberian transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan pada pasien dengan
trombositopenia bila hitung trombosit kurang <50.000/uL, bila terdapat perdarahan mikrovaskular
difus batasnya menjadi <100.000/uL, atau berapapun jumlah trombosit dengan perdarahan masif.
Dosis pemberian TC 1 unit TC (trombocyte concentrate) 10 kg BB anak dan neonatus 10-20
mL/kgBB/hari. Manfaat pemberian 1 unit TC pada pasien dengan berat badan 70 kg akan
meningkatkan jumlah trombosit 5000/uL. Akan tetapi peningkatan trombosit akan lebih rendah
pada pasien dengan splenomegali, DIC, septikemia((Permenkes No. 91 tahun 2015).
Pembuatan Trombosit
Komponen trombosit dihasilkan dengan dua cara yaitu TC diperoleh dari whole blood dan
trombosit yang diperoleh dari sistem apheresis (The Clinical Used of Blood, 2001; AABB, 2004).
a. Trombocyte Concentrate (TC)
Didapat dari dua cara yaitu trombosit tunggal dari Platelet Rich Plasma (PRP) dan dari
Buffy Coat (BC).
1) Pembuatan TC dari PRP
WB disimpan hingga 24 jam pada suhu 20°C hingga 24°C, disentrifugasi untuk
mendapatkan sejumlah trombosit yang memadai didalam plasma (PRP). Trombosit
disedimentasi melalui sentrifugasi cepat. Plasma dipindahkan dan ditinggalkan sekitar 50
hingga 70 ml. Trombosit didiamkan selama 1 jam, kemudian dimasukkan kedalam agitator
dan inkubator sehingga tersuspensi kembali. FFP tidak boleh dibekukan ulang setelah
thawing (Permenkes No. 91 tahun 2015).
2) TC dari buffy coat (BC)
WB disimpan hingga 24 jam pada suhu 20oC hingga 24oC, disentrifugasi untuk
mengendapkan trombosit kedalam lapisan buffy coat (BC). Selanjutnya disentrifugasi untuk
mengendapkan sel darah merah dan leukosit. Trombosit dipindahkan bersama dengan
plasma.
(a) Jumlah trombosit per unit dari trombosit tunggal >60 x 109
(b) Jumlah leukosit per unit trombosit tunggal dari PRP <0.2 x 109
(c) Jumlah leukosit per unit trombosit tunggal dari BC <0.05 x 109
Keuntungan penggunaan transfusi 6 TC :
1) Terjadi reaksi transfusi, unit lain yang belum ditransfusikan segera bisa disimpan
kembali.
Kerugian penggunaan transfusi 6 TC
1) Jumlah trombosit per unit >60 x 109 ,dengan jumlah lekosit <0.2 x 109 .
2) Tidak efektif bagi pasien yang membutuhkan jumlah trombosit yang besar, dibutuhkan
jumlah unit TC yang banyak diikuti dengan jumlah lekosit yang banyak pula. Dapat
menyebabkan reaksi berupa FNHTR (Febril Non Hemolytic Transfusion Reaction)
yaitu peningkatan suhu badan ≥1°C dengan atau tanpa disertai menggigil,rasa mual dan
gelisah (AABB,2014).FNHTR banyak disebabkan oleh sitokin yang terakumulasi
dalam produk darah, sitokin ini terutama berasal dari sel-sel lekosit(Jeanne V.Linden,
2016).
3) Banyaknya jumlah unit TC yang masuk ke tubuh pasien beresiko lebih besar terhadap
kontaminasi bakteri, malaria,cytomegalovirus (CMV).
4) Besarnya risiko platelet refractoriness terjadinya penolakan trombosit dari tubuh pasien
itu sendiri akibat sering mendapatkan transfusi ulang. Setiap produk darah mengandung
HLA (Human Leucocyte Antigen). Semakin banyak penggunaan jumlah unit TC yang
ditransfusikan antibodi HLA semakin banyak terbentuk di dalam tubuh pasien (AABB,
2004).
b. Trombosit dari Proses Apheresis (Trombopheresis)
Didapat dari donor tunggal melalui proses apheresis trombosit peralatan pemisahan sel
otomatik. WB yang diambil dengan mesin apheresis dari donor bercampur dengan
antikoagulan dan disentrifugasi. Trombosit diekstraksi bersamaan dengan sejumlah plasma
dimana trombosit akan tersuspensi. Sel darah merah kemudian akan dikembalikan ke tubuh
donor.
Prosedur apheresis :
1. Pengambilan darah donor.
2. Pemisahan komponen berdasar berat jenis .
3. Pengumpulan komponen yang diperlukan.
4. Pengembalian darah yang tidak dibutuhkan ke tubuh donor.

Keuntungan penggunaan transfusi trombopheresis


1) Jumlah trombosit per unit >2 x 1011 dan jumlah lekosit <0.3 x 109 Lebih efektif untuk
memenuhi kebutuhan pasien dengan trombositopenia berat diperlukan cukup dengan 1
unit trombopheresis.
2) Adanya sensor khusus pada mesin apheresis untuk mengidentifikasi batas komponen
plasma yang mengandung trombosit dan komponen seluler darah, mengurangi risiko
reaksi FNHTR ,kontaminasi bakteri,malaria dan CMV.
3) Mengurangi risiko alloimunisasi yang dapat menyebabkan terjadinya penolakan
trombosit (platelet refractoriness) dari tubuh pasien itu sendiri post transfusi (AABB,
2004).

Kerugian penggunaan transfusi trombopheresis


1) Tidak sesuai untuk kebutuhan transfusi trombosit dengan volume kecil.
2) Terjadi reaksi transfusi ,maka 1 unit trombopheresis tidak bisa digunakan kembali.

REAKSI TRANSFUSI

Definisi
Reaksi transfusi adalah komplikasi atau efek samping yang terjadi sebagai akibat pemberian
transfusi.2,3Dalam hal ini, risiko akibat transfusi yang didapat mungkin tidak sesuai dengan
keuntungannya. Risiko transfusi darah ini dapat dibedakan atas reaksi cepat, reaksi lambat,
penularan penyakit infeksi dan risiko transfusi masif.4

Klasifikasi
I. Reaksi Akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam setelah
transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat dan reaksi
yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan
rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai
dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan nyeri kepala.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya warna kemerahan di kulit, urtikaria, demam,
takikardia, kaku otot. Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-
berat, demam akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein,
trombosit), kontaminasi pirogen dan/atau bakteri.5
Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri di
sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri punggung, nyeri kepala, dan
dispnea.
Terdapat pula tanda-tanda kaku otot, demam, lemah, hipotensi, takikardia
(naik≥20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini disebabkan oleh
hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri, syok septik, kelebihan cairan, anafilaksis
dan gagal paru akut akibat transfusi.5
A. Hemolisis Intravaskular Akut
Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas
sel darah merah. Antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang
inkompatibel.
Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat
menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan
semakin meningkatkan risiko.5,6
Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat
kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung yang
belum diberikan label, kesalahan pemberian label pada tabung danketidaktelitian
memeriksa identitas pasien sebelum transfusi. Selain itu penyebab lainnya adalah adanya
antibodi dalam plasma pasien melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah
ABO) dari darah yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau Duffy.5,6,7,8
Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul dalam beberapa menit awal
transfusi, kadang-kadang timbul jika telah diberikan kurang dari 10 ml. Jika pasien tidak
sadar atau dalam anestesia, hipotensi atau perdarahan yang tidak terkontrol mungkin
merupakan satu-satunya tanda inkompatibilitas transfusi. Pengawasan pasien dilakukan
sejak awal transfusi dari setiap unit darah.5
B. Kelebihan Cairan
Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal ini dapat terjadi
bila terlalu banyak cairan yang ditransfusikan, transfusi terlalu cepat, atau penurunan
fungsi ginjal. Kelebihan cairan terutama terjadi pada pasien dengan anemia kronik dan
memiliki penyakit dasar kardiovaskular.5,6
C. Reaksi Anafilaksis
Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam plasma
merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada resipien tertentu.
Selain itu, defisiensi IgA dapat menyebabkan reaksi anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat
disebabkan produk darah yang banyak mengandung IgA. Reaksi ini terjadi dalam beberapa
menit awal transfusi dan ditandai dengan syok (kolaps kardiovaskular), distress pernapasan
dan tanpa demam. Anafilaksis dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan cepat dan
agresif.5,6,7,8
D. Transfusion-associated acute lung injury (TRALI)
Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung antibodi yang
melawan leukosit pasien. Kegagalan fungsi paru biasanya timbul dalam 1-4 jam sejak
awal transfusi, dengan gambaran foto toraks kesuraman yang difus. Tidak ada terapi
spesifik, namun diperlukan bantuan pernapasan di ruang rawat intensif.5,6
II. Reaksi Lambat
A. Reaksi Hemolitik Lambat
Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan gejala dan tanda
demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik lambat yang berat dan
mengancam nyawa disertai syok, gagal ginjal dan DIC jarang terjadi. Pencegahan
dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium antibodi sel darah merah dalam plasma
pasien dan pemilihan sel darah kompatibel dengan antibodi tersebut.5,6,7,8
B. Purpura Pasca Transfusi
Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi potensial
membahayakan pada transfusi sel darah merah atau trombosit. Hal ini disebabkan adanya
antibodi langsung yang melawan antigen spesifik trombosit pada resipien. Lebih banyak
terjadi pada wanita. Gejala dan tanda yang timbul adalah perdarahan dan adanya
trombositopenia berat akut 5-10 hari setelah transfusi yang biasanya terjadi bila hitung
trombosit <100.000/uL. Penatalaksanaan penting terutama bila hitung trombosi≤t
50.000/uL dan perdarahan ya ng tidak terlihat dengan hitung trombosit 20.000/uL.
Pencegahan dilakukan dengan memberikan trombosit yang kompatibel dengan antibodi
pasien.5,6
C. Penyakit graft-versus-host
Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial membahayakan. Biasanya terjadi
pada pasien imunodefisiensi, terutama pasien dengan transplantasi sumsum tulang; dan
pasien imunokompeten yang diberi transfusi dari individu yang memiliki tipe jaringan
kompatibel (HLA: human leucocyte antigen), biasanya yang memiliki hubungan darah.
Gejala dan tanda, seperti demam, rash kulit dan deskuamasi, diare, hepatitis,
pansitopenia, biasanya timbul 10-12 hari setelah transfusi. Tidak ada terapi spesifik,
terapi hanya bersifat suportif.5,6
D. Kelebihan besi
Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka waktu panjang akan
mengalami akumulasi besi dalam tubuhnya (hemosiderosis). Biasanya ditandai dengan
gagal organ (jantung dan hati). Tidak ada mekanisme fisiologis untuk menghilangkan
kelebihan besi. Obat pengikat besi seperti desferioksamin, diberikan untuk
meminimalkan akumulasi besi dan mempertahankan kadar serum feritin <2.000 mg/l.5,6
E. Penularan Infeksi
Risiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung pada
berbagai hal, antara lain prevalensi penyakit di masyarakat, keefektifan skrining yang
digunakan, status imun resipien dan jumlah donor tiap unit darah. 8 Penularan infeksi yang
dapat terjadi adalah HIV, virus hepatitis C, hepatitis B dan virus human T-cell
lymphotropic (HTLV). 9
Kontaminasi bakteri mempengaruhi 0,4% konsentrat sel darah merah dan 1-2%
konsentrat trombosit.5 Kontaminasi bakteri pada darah donor dapat timbul sebagai hasil
paparan terhadap bakteri kulit pada saat pengambilan darah, kontaminasi alat dan
manipulasi darah oleh staf bank darah atau staf rumah sakit pada saat pelaksanaan
transfusi atau bakteremia pada donor saat pengambilan darah yang tidak diketahui.11
Jumlah kontaminasi bakteri meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan sel
darah merah atau plasma sebelum transfusi. Penyimpanan pada suhu kamar
meningkatkan pertumbuhan hampir semua bakteri. Beberapa organisme, seperti
Pseudomonas tumbuh pada suhu 2-6°C dan dapat bertahan hidup atau berproliferasi
dalam sel darah merah yang disimpan, sedangkan Yersinia dapat berproliferasi bila
disimpan pada suhu 4°C. Stafilokokus tumbuh dalam kondisi yang lebih hangat dan
berproliferasi dalam konsentrat trombosit pada suhu 20-40°C. Oleh karena itu risiko
meningkat sesuai dengan lamanya penyimpanan.5,10
Kontaminasi parasit dapat timbul hanya jika donor menderita parasitemia pada
saat pengumpulan darah. Kriteria seleksi donor berdasarkan riwayat bepergian terakhir,
tempat tinggal terdahulu, dan daerah endemik, sangat mengurangi kemungkinan
pengumpulan

III. Transfusi Darah Masif


Transfusi masif adalah penggantian sejumlah darah yang hilang atau lebih banyak dari
total volume darah pasien dalam waktu <24 jam (dewasa: 70 ml/kg, anak/bayi: 80-90 ml/kg).
Morbiditas dan mortalitas cenderung meningkat pada beberapa pasien, bukan disebabkan oleh
banyaknya volume darah yang ditransfusikan, tetapi karena trauma awal, kerusakan jaringan
dan organ akibat perdarahan dan hipovolemia. Seringkali penyebab dasar dan risiko akibat
perdarahan mayor yang menyebabkan komplikasi, dibandingkan dengan transfusi itu sendiri.
Namun, transfusi masif juga dapat meningkatkan risiko komplikasi.5
A. Asidosis
Asidosis lebih disebabkan terapi hipovolemia yang tidak adekuat. Pada keadaan
normal, tubuh dengan mudah mampu menetralisir kelebihan asam dari transfusi.
Pemakaian rutin bikarbonat atau obat alkalinisasi lain tidak diperlukan.5
B. Hiperkalemia
Penyimpanan darah menyebabkan konsentrasi kalium ekstraselular meningkat, dan
akan semakin meningkat bila semakin lama disimpan.5,8
C. Keracunan sitrat dan hipokalsemia
Keracunan sitrat jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada transfusi darah
lengkap masif. Hipokalsemia terutama bila disertai dengan hipotermia dan asidosis dapat
menyebabkan penurunan curah jantung (cardiac output), bradikardia dan disritmia
lainnya. Proses metabolisme sitrat menjadi bikarbonat biasanya berlangsung cepat, oleh
karena itu tidak perlu menetralisir kelebihan asam.5,7
D. Kekurangan fibrinogen dan faktor koagulasi
Plasma dapat kehilangan faktor koagulasi secara progresif selama penyimpanan,
terutama faktor V dan VIII, kecuali bila disimpan pada suhu -25°C atau lebih rendah.
Pengenceran (dilusi) faktor koagulasi dan trombosit terjadi pada transfusi masif.5,7
E. Kekurangan trombosit
Fungsi trombosit cepat menurun selama penyimpanan darah lengkap dan trombosit
tidak berfungsi lagi setelah disimpan 24 jam.5
F. KID (Koagulasi Intravaskuler Diseminasi)
KID dapat terjadi selama transfusi masif, walaupun hal ini lebih disebabkan alasan
dasar dilakukannya transfusi (syok hipovolemik, trauma, komplikasi obstetrik). Terapi
ditujukan untuk penyebab dasarnya.5
G. Hipotermia
Pemberian cepat transfusi masif yang langsung berasal dari pendingin
menyebabkan penurunan suhu tubuh yang bermakna. Bila terjadi hipotermia, berikan
perawatan selama berlangsungnya transfusi.5
H. Mikroagregat
Sel darah putih dan trombosit dapat beragregasi dalam darah lengkap yang
disimpan membentuk mikroagregat. Selama transfusi, terutama transfusi masif,
mikroagregat ini menyebabkan embolus paru dan sindrom distress pernapasan.
Penggunaan buffy coat-depleted packed red cell akan menurunkan kejadian sindrom
tersebut.5
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan reaksi transfusi akut didasari oleh simptom, gejala klinis, dan keparahan reaksi.
I. Reaksi Berat
Pada seluruh kasus, hentikan komponen pemberian komponen darah dari pasien dan
mempertahankan akses vena dan pemberian saline fisiologis intravena. Jika pasien sesak napas
berat, pastikan jalan napas lancar dan berikan oksigen aliran tinggi melalui masker reservoir.
Jika terdapat wheezing tanpa obstruksi saluran napas bagian atas, pertimbangkan pemberian
nebulizer beta-2 agonist kerja pendek seperti Salbutamol. Posisikan pasien hipotensi dengan
elevasi kaki, atau dengan posisi recovery jika pasien tidak sadar atau muntah.13
A. Syok atau hipotensi berat berhubungan dengan wheezing atau stridor
Keadaan ini mengarah anafilaktik dengan obstruksi jalan napas, terutama jika pada
pemeriksaan ditemukan angioedema dan/atau urtikaria. Ini membutuhkan intervensi segera
untuk memastikan jalan napas bersih dan pemberian adrenaline (epinefrin). Pemberian
adrenaline intramuscular efektif dan mencegah keterlambatan untuk mendapatkan akses
vena pada pasien yang vena perifer yang sudah sulit. Untuk dewasa, atau anak-anak usia di
atas 12 tahun, berikan adrenaline IM dengan dosis 500 mcg. Pemberian adrenaline dapat
diulang, jika diperlukan, dengan jarak pemberian 5 menit sesuai tekanan darah, nadi, dan
fungsi respiratorik.13
Terapi suportif untuk anafilaktik:
- Resusitasi cairan kristaloid 500-1000 ml
- Pemberian 10 mg chlorphenamine setelah resusitasi cairan
- Pemberian 200 mg hidrokortison setelah resusitasi cairan
- Jika pasien dengan gejala asma atau adanya wheezing, pemberian bronkodilator dapat
dipertimbangkan13
B. Syok/hipotensi tanpa klinis anafilaktik atau kelebihan cairan
Pertimbangkan ketidakcocokan ABO atau kontaminasi bakteri. Keduanya
membutuhkan resusitasi cairan, inotropik, bantuan renal dan/atau respiratorik, terapi
komponen darah untuk DIC dengan perdarahan. Jika kemungkinan karena kontaminasi
bakteri, lakukan kultur darah dari pasien dan mulai pemberian antibiotik spektrum luas.13
C. Sesak napas berat tanpa syok
Pertimbangkan TRALI atau overload cairan, walaupun sesak bisa juga diakibatkan
reaksi alergi dan bisa saja muncul sebagai komplikasi yang tidak terjelaskan dari transfusi.
Investigasi awal termasuk foto thorax dan saturasi oksigen. Selanjutnya diperlukan
bantuan ventilator ataupun pemberian diuretik sesuai dengan kondisi penyebabnya.13

II. Reaksi Sedang


A. Gejala Demam Sedang
Gejala didefinisikan dengan temperatur>39ºC atau peningkatan >2ºC dari awal
dan/atau gejala sistemik menggigil, rigor, myalgia, mual dan muntah, maka harus
dipertimbangkan kontaminasi bakteri atau reaksi hemolisis.13
B. Gejala Alergi Sedang
Gejala berupa angioedema dan sesak napas. Antihistamin, seperti chlorphenamin
oral atau IV, dapat efektif dan penambahan terapi oksigen atau inhalasi beta-2 agonist
berguna untuk gejala respiratorik.13

III. Reaksi Ringan


Keadaan ini didefinisikan dengan tidak adanya atau perubahan terbatas dari keadaan vital
seperti demam terisolasi >38ºC atau peningkatan 1-2ºC dari awal dan/atau pruritus tetapi tanpa
keadaan lain. Pada kasus ini dapat dilakukan transfusi ulang dengan observasi langsung. Tidak
terdapat uji acak terkontrol yang mempertimbangkan penatalaksanaan simtomatik dari demam
yang dikaitkan dengan transfusi. Pengalaman dengan Paracetamol dinyatakan sebagai
antipiretik yang berguna namun kurang efektif untuk keadaan menggigil dan rigor. Tidak
terdapat juga laporan uji dari penatalaksanaan gejala kulit tetapi pengalaman klinis mengatakan
bahwa pasien dengan rekasi kulit seperti gatal tanpa keadaan lain dapat dilanjutkan pemberian
transfusi. Untuk mengurangi gejalanya dapat digunakan antihistamin sistemik.1

KESIMPULAN
Transfusi darah atas indikasi yang tidak tepat tidak akan memberi keuntungan bagi pasien,
bahkan memberi risiko yang tidak perlu. Keputusan melakukan transfusi harus selalu berdasarkan
penilaian yang tepat dari segi klinis penyakit dan hasil pemeriksaan laboratorium. Transfusi dapat
mengakibatkan penyulit akut atau lambat dan membawa risiko transmisi infeksi.1

DAFTAR PUSTAKA
1. Raharjo E, Sunatrio A, Mustafa I, Mz M, Gatot D, Sungkar A, et al. Transfusi komponen
darah indikasi dan skrining. Available from: HTA Indonesia_2003_Transfusi Komponen
Darah: Indikasi dan Skrining_hlm 36/36.
2. Djoerban Z. Dasar-dasar transfusi darah: Sudoyo Aru, Setiohadi Bambang, Alwi Idrus et al.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2006.p672.
3. Sumanni R, Supandiman I, Fadjan TH, Fianza PI, Dehadian A. Pedoman diagnosis
hematologi onkologi medik 2008, Bandung, 2008.p341.
4. Blumberg N, Heal J, Chuang C, Murphy P, Agarwal M. Further evidence supporting a cause
and effect relationship between blood transfusion and earlier cancer recurrence. Ann Surg
1988;207:410-5.
5. WHO. The clinical use of blood: handbook. Geneva, 2002. Didapat dari URL:
http://www.who.int/bct/Main_areas_of_work/Resource_Centre/CUB/English/Handbook.pdf.
6. National Blood Users Group. A guideline for transfusion of red blood cells in surgical
patients. Irlandia, Januari 2001. Didapat dari URL: http://www.doh.ie/pdfdocs/blood.pdf.
7. 16. Panitia Medik Transfusi RSUP Dr. Soetomo. Pedoman pelaksanaan transfusi darah dan
komponen darah. Edisi 3. Surabaya: RSUP Dr. Soetomo-Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga; 2001. h. 18-31.
8. 17. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Perioperative blood transfusion for elective
surgery: a national clinical guideline. Skotlandia, Oktober 2001. Didapat dari URL:
http://www.sign.ac.uk
9. Carson JL, Duff A, Berlin JA, Lawrence VA, Poses RM, Huber EC, dkk. Perioperative blood
transfusion and postoperative mortality. JAMA 1998;279:199-205.
10. Moore FA, Moore EE, Sauaia A. Blood transfusion. An independent risk factor for
postinjury multiple organ failure. Arch Surg 1997;132:620-4; discussion 624-5.
11. Canadian Medical Association. Guidelines for red blood cell and plasma transfusion for
adults and children. Can Med Assoc J 1997;156:S1-24.
12. . Zallen G, Offner PJ, Moore EE, Blackwell J, Ciesla DJ, Gabriel J, dkk. Age of transfused
blood is an independent risk factor for postinjury multiple organ failure. Am J Surg
1999;178:570-2.
13. Tinegate H, Birchall J, Gray A, Haggas R, Massey E, Norfolk D, et al. Guideline on the
investigation and management of acute transfusion reactions, London 2012. Didapat dari
URL: www.bcshguidelines.com.

Anda mungkin juga menyukai