Anda di halaman 1dari 16

TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN

PEMERIKSAAN OTOACCOUSTIC EMISSION (OAE)

Oleh:

Indra Pratama Dana

Pembimbing:

Dr. dr. Muyassaroh, Sp. THT-KL(K), MSi. Med.

PROGRAM STUDI SPESIALIS KESEHATAN


TELINGA HIDUNG TENGGOROK, BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Otoacoustic Emissions (OAE) merupakan alat elektrofisiologi untuk

deteksi dini adanya kurang pendengaran tidak invasif, waktu pengerjaannya cepat,

dan efektif untuk mengukur aktifitas proses biomekanik dari koklea, terutama

outer hair cell (OHC). Sensitivitas OAE sebesar 98- 100% dan spesifitas 94%. 1

The Joint Committe on Infant Hearing tahun 2019 merekomendasikan deteksi dini

kurang pendengaran dengan menggunakan OAE yang dilakukan sebelum usia 3

bulan.2

OAE sensitif untuk mengetahui kerusakan pada OHC. Pemeriksaan OAE

dapat menentukan penilaian klinik telinga perifer/jalur preneural, namun tidak

dapat memeriksa adanya gangguan saraf pendengaran atau respon otak/jalur

neural terhadap suara. Kriteria hasil pemeriksaan yaitu pass atau refer. Jika

terdapat gelombang OAE maka bayi dapat melewati tes OAE (pass), berarti bayi

tersebut tidak mengalami gangguan pendengaran. Jika tidak ditemukan

gelombang OAE berarti ada gangguan pendengaran (refer). Tujuan dari penulisan

ini adalah untuk dapat mengetahui tentang OAE agar dapat memahami dan

menggunakan alat tersebut dengan baik dan benar.


2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi fisiologi telinga dalam

Telinga dalam atau organ corti terdiri dari dua bagian yaitu bagian anterior

koklea dan posterior vestibulum, termasuk kanal semisirkuler, utrikulus dan

sakulus3

Organ corti berisi sel reseptor auditori, terdiri dari satu baris inner hair

cells (IHC) yang merupakan reseptor auditori utama, dan tiga baris OHC

berfungsi sebagai modulator penerimaan akustik. Bagian basal sel-sel rambut

tersebut berhubungan dengan dendrit dari sel ganglion spiral. Inervasi IHC

dimulai pada usia kehamilan 11 minggu dan lengkap pada usia kehamilan 14

minggu, sedangkan inervasi OHC lengkap hingga usia kehamilan 22 minggu.

Nervus delapan mengalami myelinisasi pada usia 20 minggu, dan myelinisasi

jalur auditori kortikal akan terus berlanjut hingga usia 2 tahun setelah kelahiran.3,4

Gambar 1. anatomi telinga dalam3


3

Proses pendengaran dimulai dari energi bunyi yang ditangkap oleh daun

telinga. Energi suara masuk melalui liang telinga dan menyebabkan membran

timpani bergetar. Energi akustik diubah oleh membran timpani menjadi energi

mekanis. Dalam telinga tengah energi mekanis dihantarkan oleh-oleh tulang –

tulang pendengaran yaitu maleus, inkus dan stapes. Kaki dari stapes

menggerakkan oval window kemudian menginduksi gerakan perilimfa pada skala

vestibuli. Getaran diteruskan melalui membrana reisnerr yang mendorong

endolimfa sehingga mengakibatkan membran basilar dan membran tektoria

bergerak seperti gelombang dari bagian basal menuju ke apeks. Sel-sel rambut

bergerak relatif terhadap membran tektoria dan mengalami defleksi stereosilia,

sehingga kanal ion akan terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari

badan sel.

Sel rambut akan mengalami depolarisasi sehingga terjadi eksitasi

neurotransmiter ke dalam sinaps yang kemudian mengakibatkan timbulnya

potensial aksi pada neuron-neuron saraf auditorik. Energi mekanis yang telah

diubah menjadi energi listrik yang kemudian ditransmisikan ke susunan saraf

pusat oleh saraf auditorik.5


4

Gambar 2. Jaras pendengaran4

Suara ditransmisikan ke cairan perilimfe dari telinga bagian dalam oleh

stapes, gelombang tekanan mengubah bentuk membran basalis di area yang

spesifik dengan frekuensi getaran. Frekuensi yang lebih tinggi menyebabkan

pergerakan di dasar koklea, dan frekuensi yang lebih dalam bekerja di puncak.

Karakteristik ini dikenal sebagai tonotopi koklea.6

Gambar 3. Tonotopi koklea6


5

Pola pergeseran membran basilaris membentuk gelombang berjalan

dengan amplitudo maksimum yang berbeda sesuai dengan besar frekuensi

stimulus yang diterima. Gerak gelombang membran basilaris yang timbul oleh

bunyi berfrekuensi tinggi (10 kHz) mempunyai pergeseran maksimum pada

bagian basal koklea, sedangkan stimulus berfrekuensi rendah (125 kHz)

mempunyai pergeseran maksimum lebih ke arah apeks. Gelombang yang timbul

oleh bunyi berfrekuensi sangat tinggi tidak dapat mencapai bagian apeks,

sedangkan bunyi berfrekuensi sangat rendah dapat melalui bagian basal maupun

bagian apeks membran basilaris. Sel rambut luar dapat meningkatkan atau

mempertajam puncak gelombang berjalan dengan meningkatkan gerakan

membran basilaris pada frekuensi tertentu. Keadaan ini disebut sebagai cochlear

amplifier.7,8,9

2.2. Otoaccoustic Emission

Emisi otoakustik merupakan respon koklea yang dihasilkan oleh sel-sel

rambut luar yang dipancarkan dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar

dipersarafi oleh serabut saraf eferen dan mempunyai elektromotilitas, sehingga

pergerakan sel-sel rambut akan menginduksi depolarisasi sel. Hal ini

menunjukkan bahwa emisi otoakustik adalah gerakan sel rambut luar dan

merefleksikan fungsi koklea. Sedangkan sel rambut dalam dipersarafi serabut

aferen yang berfungsi mengubah suara menjadi bangkitan listrik dan tidak ada

gerakan dari sel rambut sendiri.10

Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara memasukkan suatu probe ke

dalam liang telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan pengeras
6

suara (loudspeaker) yang berfungsi memberikan stimulus suara. Mikrofon

berfungsi menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah pemberian stimulus.

Sumbat telinga dihubungkan dengan komputer untuk mencatat respon yang

timbul dari koklea. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang sunyi atau

kedap suara10

Gambar 4. Alat OAE

Cara kerja alat ini dengan memberikan stimulus bunyi yang masuk ke

liang telinga melalui insert probe, dengan bagian luarnya dilapisi karet lunak

(probe tip) yang ukurannya dapat dipilih sesuai besarnya liang telinga,

menggetarkan gendang telinga, selanjutnya melalui telinga tengah akan mencapai

koklea. Saat stimulus bunyi mencapai OHC koklea yang sehat, OHC akan

memberikan respon dengan memancarkan emisi akustik yang akan dipantulkan ke

arah luar (echo) menuju telinga tengah dan liang telinga. Emisi akustik yang tiba

di liang telinga akan direkam oleh mikrofon mini yang juga berada dalam insert

probe, selanjutnya diproses oleh mesin OAE sehingga hasilnya dapat ditampilkan

pada layar monitor mesin OAE. Kerusakan pada OHC misalnya akibat virus,

obat-obat ototoksik, kuranganya oksigenasi dan perfusi yang menuju koklea

menyebabkan OHC tidak dapat memproduksi gelombang OAE. OAE tidak

muncul pada hilangnya pendengaran lebih dari 30-40 dB. Pemeriksaan OAE
7

dapat menentukan penilaian klinik telinga perifer/jalur preneural, namun tidak

dapat memeriksa adanya gangguan saraf pendengaran atau respon otak/jalur

neural terhadap suara. OAE dipengaruhi oleh verniks kaseosa, debris, dan kondisi

telinga tengah (cavum tympani). Neonatus usia kurang dari 24 jam liang telinga

terisi verniks kaseosa yang akan keluar dalam 24-48 jam setelah lahir, sehingga

hasil refer 5-20% bila skrining dilakukan 24 jam setelah lahir. Angka refer <3%

dicapai bila skrining dilakukan usia 24-48 jam Karena perjalanan stimulus bunyi

menuju koklea maupun emisi akustik yang dipancarkan oleh koklea ke liang

telinga harus melewati telinga tengah; maka sebelum pemeriksaan OAE harus

dipastikan bahwa telinga tengah dalam kondisi normal dengan pemeriksaan

timpanometri. Kelainan pada telinga tengah akan memberikan hasil positif palsu.12

Faktor lain yang mempengaruhi hasil tes OAE yaitu ukuran probe (harus

sesuai dengan ukuran liang telinga), posisi penempatan probe (tidak ada

kebocoran atau celah udara dan posisi probe harus lurus ke arah gendang telinga)

serta kebisingan eksternal maupun internal.12

Pemeriksaan OAE sensitif untuk mengetahui adanya kerusakan pada

disfungsi OHC pada koklea. Pemeriksaan OAE juga cukup efektif sebagai alat

screening karena selain sensitif juga mudah dikerjakan tidak memerlukan tempat

khusus (kedap suara). Minesota Newborn Hearing Screening Program memakai

OAE sebagai standar pemeriksaan awal, apabila didapatkan abnormalitas baru

diperiksa dengan ABR. OAE merupakan skrining pendengaran secara obyektif,

namun tidak dapat memberikan informasi tentang derajat gangguan

pendengaran.12
8

2.3 Jenis pemeriksaan OAE

Pemeriksaan OAE dikenal 2 macam yaitu spontan OAE dan evoked OAE.

Spontan OAE dapat timbul tanpa adanya stimulus bunyi, namun tidak semua

manusia memiliki spontan OAE sehingga manfaat klinisnya tidak diketahui.

evoked OAE adalah OAE yang terjadi pasca pemberian stimulus, dibedakan

menjadi Stimulus Frequency OAE (SFOAE), Transient Evoked OAE (TEOAE)

dan Distortion Product OAE (DPOAE). 13

1. SFOAE

SF OAE merupakan respon yang dibangkitkan oleh nada murni yang

panjang dan terus menerus, jenis ini tidak mempunyai arti klinis, dan jarang

digunakan. 13

2. TEOAE

TEOAE digunakan stimulus bunyi click yang onsetnya sangat cepat

(milidetik) dengan intensitas sekitar 40 desibel. Secara otomatis akan

diperiksa 4–6 jenis frekuensi. Spektrum frekuensi yang dapat diperiksa

TEOAE adalah 500 - 4500 Hz untuk orang dewasa dan 5000–6000 Hz pada

bayi. TEOAE tidak terdeteksi pada ketulian >40 dB. Bila TEOAE pass berarti

tidak ada ketulian koklea, sebaliknya bila TEOAE refer berarti ada ketulian

koklea lebih dari 40 dB. TEOAE umumnya hanya digunakan untuk skrining

pendengaran bayi/anak.13

3. DPOAE
9

DPOAE mempergunakan 2 buah stimulus bunyi nada murni sekaligus

(F1,F2), yang berbeda frekuensi maupun intensitasnya. Spektrum frekuensi yang

dapat diperiksa lebih luas dibandingkan dengan TEOAE, dapat mencapai

frekuensi tinggi (12.000 Hz). Sehingga DPOAE selain untuk skrining dapat juga

dipakai unutuk membantu menegakkan diagnosis. DPOAE (+BERA) digunakan

untuk mendiagnosis auditori neuropati, monitoring pemakain obat ototoksik dan

pemaparan bising, tuli mendadak (sudden deafness) dan gangguan pendengaran

lainnya yang disebabkan oleh kelainan koklea.13

OAE frekuensi tinggi

Penilaian fungsi pendengaran pada frekuensi di atas 8kHz dapat untuk

mendeteksi perubahan terkait usia dan kerusakan ototoksik di koklea. Perubahan

fisiologis pada pendengaran karena usia dan ototoksisitas yang paling menonjol,

pada frekuensi di atas 8kHz. Penilaian ambang pendengaran dan emisi otoakustik

di atas 8kHz yang paling diteliti dengan baik adalah dalam memantau fungsi

pendengaran pada pasien yang menjalani kemoterapi. Perubahan terkait usia

dalam pendengaran juga muncul pada frekuensi di atas 8kHz sebelum adanya

perubahan yang dapat diamati pada frekuensi audiometri reguler. Nilai

penggunaan ambang pendengaran pada frekuensi di atas 8kHz untuk mendeteksi

gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan, ambang pendengaran

pada frekuensi di atas 8kHz yang menunjukkan sensitivitas yang lebih besar

terhadap kerusakan yang disebabkan oleh kebisingan daripada frekuensi yang lain

sehingga OAE dapat mendeteksi dini gangguan pendengaran akibat kebisingan.14

2.5. Interpretasi hasil pemeriksaan OAE


10

Prinsip pemeriksaan OAE adalah mengukur emisi yang dikeluarkan oleh

telinga saat suara menstimulasi koklea. Teknik ini sensitif untuk mengetahui

kerusakan pada OHC, kriteria hasil pemeriksaan yaitu pass atau refer. Jika

terdapat gelombang OAE maka stimulus dapat melewati telinga luar telinga

tengah sampai ke OHC dan berespon terhadap stimulus yang disampaikan oleh

alat dan muncul hasil OAE (pass), berarti tidak mengalami gangguan

pendengaran. Jika tidak ditemukan gelombang OAE berarti ada gangguan

pendengaran (refer), maka harus dilakukan tes lanjutan. 11

Gambar 5. Hasil pemeriksaan OAE8

OAE dapat diatur menggunakan 4 frekuensi, 6 frekuensi atau 12 frekuensi.

Deteksi dini pada bayi baru lahir digunakan yang 4 frekuensi atau 6 frekuensi

dengan interpretasi pass dan refer. Pass jika 3 dari 4 frekuensi memiliki rasio SNR

(stimulus to noise ratio) > 6, refer jika 3 dari 4 frekuensi memiliki rasio SNR < 6.

Bila menggunakan yang 6 frekuensi interpretasi pass jika 4 dari 6 frekuensi yang

diperiksa memiliki rasio SNR > 6 dan refer jika 4 dari 6 frekuensi yang diperiksa

memiliki rasio SNR < 6. Pemeriksaan 12 frekuensi digunakan untuk deteksi dini

atau evaluasi kejadian ototoksik dan kurang pendengaran akibat kebisingan dengan

interpretasi hasil dilihat pada setiap frekuensi, refer pada frekuensi tinggi ≥ 8 kHZ

dengan riwayat penggunaan obat obatan bersifat ototoksik, maka dinyatakan

sebagai kejadian ototoksik. Bila terdapat riwayat paparan bising maka dinyatakan
11

sebagai kurang pendengaran akibat kebisingan. Gambar yang dimunculkan berupa

grafik tiap frekuensi seperti pada gambar 6.

1. Telinga yang diperiksa

2. Tanggal dan waktu pemeriksaan

3. Nomor versi software

4. Rentang waktu

5. Jenis tes : DP atau TE

6. Frekuensi (f2)

7. Intensitas stimulus (P1 dan P2)


Gambar
8. Level pada emisi 6. Ekspertise
dalam OAE
dB SPL (DP)

9. Kebisingan sekitar dalam dB SPL (NF)

10. The signal to noise ratio (level DP


dikurangi kebisingan sekitar)

11. A-P mengindikasikan bahwa SNR pada tes


setara atau diatas kriteria SNR

12. Frekuensi (Intensitas dB)


2.6 OAE sebagai skrining pendengaran
13. Intensitas dalam dB pada tiap frekuensi

Pada tahun 1993 National Institute of Health Consensus Conference

pertama kali menganjurkan program Universal Newborn Hearing Screening.

Setahun kemudian The Joint Committee on Infant Hearing merekomendasikan

deteksi gangguan pendengaran harus dilakukan sebelum usia 3 bulan dan

dilakukan

intervensi sebelum usia 6 bulan.2,16

Penggunaan utama TEOAE dan DPOAE adalah untuk menentukan status

koklea, khususnya fungsi sel rambut. Karena sebagian besar gangguan

pendengaran termasuk kerusakan OHC, informasi ini dapat digunakan untuk

mengidentifikasi gangguan pendengaran tanpa mengamati perilaku. 15


12

Amplitudo respons yang ditimbulkan oleh klik memiliki nilai yang sama

pada bayi seperti pada dewasa muda. Kegunaan dari TEOAE untuk skrining

pendengaran bayi adalah mengidentifikasi kemungkinan untuk mengatasi masalah

spesifik yang terkait dengan gangguan pendengaran. TEOAE saat ini

diimplementasikan secara luas dalam skrining pendengaran neonatus dan dapat

juga berguna pada individu yang lebih tua yang sulit untuk diuji karena gangguan

pendengaran fungsional. OAE dapat menilai pasien yang tidur atau koma karena

tidak diperlukan respon perilaku. 15

Analisis dari respons TEOAE dapat menunjukkan kerusakan koklea dalam

frekuensi tinggi karena trauma kebisingan atau ototoksik. Memantau kerusakan

koklea dari penggunaan cisplatin dan obat ototoksik lainnya dengan DPOAEs

telah menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan audiometri nada

murni. OAE juga terbukti berguna untuk membedakan antara sensorik dan saraf

komponen dalam gangguan pendengaran sensorineural (SNHL). 15

TEOAE cepat dan mudah untuk menilai bayi yang baru lahir selama tidur

alami dan adalah metode tes yang paling umum untuk bayi baru lahir dalam

pemeriksaan pendengaran. Namun, selama hari pertama kehidupan, emisi

mungkin tidak ada karena debris di saluran telinga luar, atau cairan telinga tengah

dan karena itu ditunggu setidaknya sampai hari kedua untuk pemeriksaan ulang

mengurangi jumlah negatif palsu.15


13

BAB III

RINGKASAN

Otoacoustic Emissions (OAE) merupakan alat elektrofisiologis yang dapat

dipakai umtuk deteksi dini kurang pendengaran pada bayi dan anak, deteksi

kejadian ototoksik dan kejadian kurang pendengaran akibat kebisingan.

Pemeriksaan bersifat obyektif, mudah dikerjakan, non invasif tidak memerlukan

ruang kedap suara dan waktu pengerjaannya cepat. OAE efektif untuk mengukur

aktifitas proses biomekanik dari koklea, terutama outer hair cell. Sensitivitas OAE

sebesar 98- 100% dan spesifitas 94%. Interpretasi hasil pass dan refer.

Hasil pass dari OAE menandakan fungsi koklea normal <30dB, terbukanya

saluran liang telinga, fungsi telinga tengah normal. Hasil refer menandakan
14

adanya gangguan pendengaran di koklea >30dB, adanya sumbatan pada liang

telinga yang disebabkan serumen, debris atau kelainan bentuk, adanya cairan atau

kelainan bentuk di telinga tengah, level suara terlalu tinggi dan salah pemasangan

probe OAE.
15

DAFTAR PUSTAKA

1. Stearn N, Swanepoel DW. Identifying hearing loss by means of iridology. African


Journal of Traditional, Complimentary and Alternative Medicines 2007;4(2):205-14.
2. Runjan L, Amir I, Suwento R. Skrining gangguan pendengaran pada neonates risiko
tinggi. Sari Pediatri 2005; 6(4):149-54.
3. Rapin I. Hearing impairment. Pediatric neurologic principles and practice. New York,
Mosby Inc. 1997. 77-95
4. Lasky RE, Williams AL. The development of the auditory system from conception to
term. Neoreviews. 2005;6(3): 141-52
5. Wiryadi. I.M & Wirandha.I.M. (2019) Gambaran hasil skrining pendengaran pada pasien
dengan keterlambatan bicara & bahasa di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah periode
Januari-Desember 2017. Jurnal Medicina. 20(3), 252. doi:10.15562/Medicina. V503.677
6. Li, H., Helpard, L., Ekeroot, J. et al. Three-dimensional tonotopic mapping of the human
cochlea based on synchrotron radiation phase-contrast imaging. Sci Rep 11, 4437 (2021).
https://doi.org/10.1038/s41598-021-83225-w
7. Liston SL, Duvall AJ. Embriologi, anatomi dan fisiologi telinga. Dalam : Adams GL,
Boies LR, Higler PH, Ed. Buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 1997.h.27-38.
8. Soetirto I. Tuli akibat bising (Noise induced hearing loss). Dalam : Soepardi EA, Iskandar
N, Ed. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 1990. h.
37-9.
9. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah: Irawati RD,
Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.
10. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan pendengaran (tuli). Dalam buku ajar
ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher edisi ke-6. FKUI. Jakarta.
2007: 10-22.
11. Suwento R. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Dalam seminar sehari
penatalaksanaan gangguan pendengaran dan ketulian ; Semarang 2007 Februari h. 1-12
12. Soepardi & Iskandar (2016) Buku Ajar ilmu kesehatn telinga Hidung dan Tenggorokan.
Fakultas kedokteran universitas Indonesia: Jakarta
13. Thompson DC, Mc Philips H, Davis RL, Lieu TL, Homer CJ, Helfand M. Universal
Newborn Hearing Screaning. JAMA 2001 ; 286:2000-10.
14. Goodman, S. S., Fitzpatrick, D. F., Ellison, J. C., Jesteadt, W., & Keefe, D. H. (2009).
High-frequency click-evoked otoacoustic emissions and behavioral thresholds in
humans. The Journal of the Acoustical Society of America, 125(2), 1014–1032.
https://doi.org/10.1121/1.3056566
15. Sloot F, Hoeve HL, de Kroon ML, Goedegebure A, Carlton J, Griffiths HJ, et al.
Inventory of current EU paediatric vision and hearing screening programmes. J Med
Screen. 2015;22: 55-64
16. Akinpelu OV, Peleva E, Funnell WR, Daniel SJ. Otoacoustic emissions in newborn
hearing screening: a systematic review of the effects of different protocols on test
outcomes. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2014 May;78(5):711-7. doi:
10.1016/j.ijporl.2014.01.021. Epub 2014 Jan 27. PMID: 24613088.

Anda mungkin juga menyukai