ABSTRAK
The post-reform moral crisis shows that the achievement of moral competence processed at
school has not developed the learners’ moral intelligence output. This condition may be due
to the growth of the verbal culture from the learning process that tends to teach moral values
textually. These phenomena make many parties consider the important role of intensive
character education as the essence of moral intelligence development (moral intelligence
building). This perspective places moral as the main environmental aspect which determines
the learners’ characterization. Therefore, moral intelligence must be consciously learned and
grown through applied character education. At the first step of the character education
implementation at school, it requires moral conditioning followed by moral training. Such a
character education design functions as a systematic tool for developing the learners’ moral
intelligence competence and character.
Keywords: Character education, Moral intelligence, Moral conditioning, Moral training
ABSTRAK
Kondisi krisis moral pasca reformasi menunjukkan capaian kompetensi moral yang diproses
melalui bangku persekolahan belum menghasilkan keluaran pengembangan kecerdasan moral
peserta didik. Kondisi demikian diduga berawal dari tumbuhnya budaya verbalistik dari
proses pembelajaran yang cenderung mengajarkan pendidikan moral sebatas tekstual.
Fenomena dan fakta tersebut, menyebabkan banyak pihak menyimpulkan pentingnya peran
pendidikan karakter secara intensif sebagai esensi pengembangan kecerdasan moral (building
moral intelligence). Pandangan ini menjelaskan bahwa moral menjadi hal yang utama di
dalam setiap pembentukan karakteristik peserta didik. artikel ini bertujuan untuk menjadikan
peserta didik bisa mendapatkan pendidikan moral yang bermanfaat untuk menjadikan peserta
didik yang memiliki kecerdasan moral. Artikel ini menggunakan metode kualitatif dengan
menggunakan pendekatan normatif, studi literatur dan kepustakaan yang bersumber dari
artikel jurnal ilmiah. Tujuan dan manfaat yang bisa didapatkan oleh peserta didik maka
diperlukanlah proses pembelajaran pendidikan moral.
Kata Kunci : Pendidikan karakter, Kecerdasan moral, Pengondisian moral, Pelatihan moral
A. PENDAHULUAN
Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Seorang remaja
sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai kanak-kanak, namun ia masih belum cukup
matang untuk dapat dikatakan dewasa. Ia sedang mencari pola hidup yang paling sesuai
baginya dan inipun sering dilakukan melalui metode coba-coba walaupun melalui
banyak kesalahan. Kesalahan yang dilakukannya sering menimbulkan kekuatiran serta
perasaan yang tidak menyenangkan bagi lingkungannya, orangtuanya. Kesalahan yang
diperbuat para remaja hanya akan menyenangkan teman sebayanya. Hal ini karena
mereka semua memang sama-sama masih dalam masa mencari identitas. Kesalahan-
kesalahan yang menimbulkan kekesalan lingkungan inilah yang sering disebut sebagai
kenakalan remaja. Remaja merupakan aset, Masa remaja merupakan salah satu periode
yang penting dalam suatu rentang kehidupan (Fitri, Zola, & Ifdil, 2018; Ifdil, Denich, &
Ilyas, 2017). Pada masa ini para remaja memiliki kesempatan yang besar untuk
mengalami hal-hal yang baru serta menemukan sumber-sumber dari kekuatan, bakat
serta kemampuan yang ada di dalam dirinya. Sementara itu pada masa remaja juga
dihadapkan pada tantangan, batasan dan kekangan-kekangan yang datang baik dari
dalam diri maupun dari luar dirinya sendiri. Dari segi definisi remaja merupakan
individu yang telah mengalami masa balig atau telah berfungsinya hormon reproduksi.
Pengertian remaja dari segi umur yaitu individu yang berada dalam rentangan usia antara
13 sampai 21 tahun. Pada masa remaja mereka dituntut untuk menjalani tugas-tugas
perkembangan (Falentini, Taufik, & Mudjiran, 2013).
Pendidikan karakter adalah dua kata yang mempunyai makna berbeda.
Pendidikan adalah proses pendewasaan untuk m3manusiawikan manusia melalui proses
pembelajaran, sedangkan karakter adalah “Identitas diri” (jati diri) yang melekat pada
sosok masyarakat bangsa dan negara, yang mempunyai sifat terbuka dan lentur untuk
menghadapi perubahan, dan untuk memilah-milah secara kritis.13 Pendidikan karakter
bergerak dari knowing menuju doing atau acting. William Kilpatrick menyebutkan salah
satu penyebab ketidakmampuan seseorang berperilaku baik meskipun ia telah memiliki
pengetahuan tentang kebaikan itu (moral knowing) adalah karena ia tidak terlatih untuk
melakukan kebaikan (moral doing). Mengacu pada pemikiran tersebut maka kesuksesan
pendidikan karakter sangat bergantung pada ada tidaknya knowing, loving, dan doing
atau acting dalam peyelenggaraan pendidikan karakter.
Akhir-akhir ini di beberapa , media masa sering kita membaca tentang perbuatan
kriminalitas yang terjadi di negeri yang kita cinta saat ini. Ada anak remaja yang
meniduri ibu kandungnya sendiri, perkelahian antar pelajar, tawuran, penyalahgunaan
narkoba dan minum-minuman keras dan masih banyak kriminalitas yang terjadi di negeri
ini. Kerusakan moral sudah merebak di seluruh lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak
sampai orang dewasa serta orang yang sudah lanjut usia.
B. METODE PENELITIAN
Jenis metode penelitian dilakukan menggunakan metodologi kualitatif dengan
pendekatan normatif , studi literatur dan studi kepustakaan yang bersumber dari, buku,
dan artikel jurnal ilmiah yang membahas tentang upaya yang harus dilakukan di dalam
pembentukan kecerdasan moral pada peserta didik usia remaja.
C. PEMBAHASAN
Desain Pendidikan Karakter Berbasis Kecerdasan Moral
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu
untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat dan negara.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap
mempertanggungjawabkan akibat dari keputusan yang dibuatnya (Suyatno, 2009).
Pendidikan karakter pada hakikatnya adalah pendidikan nilai (Kirschenbaum, 2000;
Golemen, 2001) yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan
tindakan (action). Lickona (1991) mmengemukakan bahwa pendidikan nilai/moral yang
menghasilkan karakter, didalamnya terkandung tiga komponen karakter yang baik
(components of good character), yakni: pengetahuan tentang moral (moral knowing),
perasaan tentang moral (moral feeling) dan perbuatan moral (moral action).
Kecerdasan moral (moral intelligence) adalah kemampuan memahami hal yang
benar dan yang salah dengan keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan
keyakinannya tersebut dengan sikap yang benar serta perilaku yang terhormat (Borba,
2008:4). Pendidikan karakter berbasis kecerdasan moral menjadi sesuatu yang urgen,
karena kecerdasan moral terbangun dari beberapa kebajikan utama yang kelak akan
membantu peserta didik dalam menyikapi dan menghadapi tantangan hidup yang penuh
dengan kontradiktif. Lebih lanjut, Borba (2008:7) menguraikan tujuh kebajikan utama
yang perlu dimiliki peserta didik dalam mengembangkan kecerdasan moral, yakni:
empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan.
D. KESIMPULAN
Masalah kenakalan remaja mulai mendapat perhatian masyarakat secara khusus
sejak terbentuknya peradilan untuk anak-anak nakal (juvenile court) pada 1899 di
Illinois, Amerika Serikat. Kenakalan remaja meliputi semua perilaku yang menyimpang
dari norma-norma hukum pidana yang dilakukan oleh remaja. Perilaku tersebut akan
merugikan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Faktor yang melatar belakangi
terjadinya kenakalan remaja dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal berupa krisis identitas dan kontrol diri yang lemah. Sedangkan
faktor eksternal berupa kurangnya perhatian dari orang tua, minimnya pemahaman
tentang agama dan pengaruh lingkungan sekitar. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
kenakalan remaja akan berdampak kepada diri remaja itu sendiri, keluarga, dan
lingkungan masyarakat. Solusi dalam menanggulangi kenakalan remaja dapat dibagi ke
dalam tindakan preventif, tindakan represif, dan tindakan kuratif dan rehabilitasi.
E. PENUTUP
Pendidikan formal sebagai wahana sistemik pembangunan karakter bangsa belum
memberikan luaran optimal terhadap pembentukan karakter peserta didik. Hal ini diduga
karena dunia pendidikan hingga saat ini lebih cenderung mementingkan capaian
kompetensi akademik ketimbang capaian kompetensi karakter. Untuk itu, usulan adanya
pendidikan karakter yang teraktualisasikan secara integralistik sebagai wahana sistemik
pengembangan kecerdasan moral (building moral intelligence), perlu mendapat
dukungan berbagai pihak dalam menghasilkan luaran peserta didik yang memiliki
kompetensi kecerdasan plus.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, N., Tanod, M. J., dan Prayogi Fiki. (2022). Manajemen Pengembangan Sekolah
Dasar Berbasis Pendidikan Karakter. Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia
Dini, 6(5), 4910-4918.