Anda di halaman 1dari 100

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dinding adalah struktur rapuh dan salah satunya paling rentan runtuh dari
seluruh komponen bangunan disaat gempa kuat bergetar. Metode sederhana yang
membuat dinding ini berperilaku kuat dan kaku selama goncangan gempa adalah
dengan membuat dinding berperilaku sama sebagai sebuah box atau kotak, bersama
dengan atap di bagian atas dan dengan fondasi di bagian bawah. Pada sebuah
konstruksi diperlukan aspek untuk memastikan aksi box ini. Salah satunya koneksi
antara dinding harus bagus. Ini dapat dicapai dengan memastikan pasangan bata
saling terkait (Murty 2005).
Seiring dengan kemajuan teknologi banyak ditemukan alternatif bahan
bangunan yang memudahkan pengerjaan, biaya yang semakin murah, ramah
lingkungan, memberikan efek kenyamanan yang lebih, ketahanan umur, kecepatan
dalam aplikasi dan masih banyak lagi keuntungan lainnya. Hal ini dapat juga
ditemukan pada bata ringan dengan teknologi foam (Murtono 2015).
Dalam beberapa tahun ini banyak dilakukan penelitian tentang material dan
model pengisi dinding yang lebih mudah dan cepat dalam pengerjaan. Salah satunya
adalah Interlocking Masonry Bricks, yaitu pasangan dinding yang memanfaatkan
ikatan kait antar bata yang saling mengunci sebagai pengganti spesi pengikat.
Hampir seluruh penelitian terdahulu hanya dilakukan pada sistem interlocking batu
bata press dan bata beton, namun kurangnya penelitian tentang sistem interlocking
pada bata ringan.
Ramadhan (2019) telah melakukan penelitian pada interlocking masonry
brick, dari penelitian tersebut didapatkan hasil pengujian statik portal dinding
interlocking masonry brick, benda uji mampu menerima beban pushover sebesar
63931,2 N yang menghasilkan simpangan ultimet sebesar 35 mm dengan tebal retak
4 mm. Kuat geser dinding yang didapat adalah 21,31 N/mm. Berdasarkan analisis
kurva equivalent energy elastic plastic (EEEP) didapat kekakuan elastis dinding
sebesar 5905,88 N/mm dan beban leleh dinding sebesar 57237,55 N dengan
simpangan leleh 9,69 mm.
2

Berdasarkan latar belakang diatas, untuk menyempurnakan pemodelan bata


ringan berkait dan mengetahui kekuatan geser bidang dinding maka penulis
mengambil judul studi penelitian tentang “Studi Penyempurnaan Model Bata Ringan
Berkait Dan Pengujian Struktur Dinding Akibat Geser Bidang”. Dalam penelitian ini
dilakukan percobaan komposisi benda uji, pembuatan model sambungan baru berupa
bata ringan berkait, pengaplikasian model bata ringan berkait sebagai pasangan
dinding, dan dilakukan pengujian kuat geser bidang terhadap beban siklis pada
pasangan dinding.

1.2 Rumusan Masalah


Dari uraian latar belakang masalah diatas dapat ditarik rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana menganalisis pengaruh faktor air semen, konsentrasi foam agent,
dan persentase penggunaan fiberglass terhadap berat berat jenis, kuat tekan
dan biaya produksi bata ringan berkait?
2. Bagaimana menganalisis hasil trial mix dengan variasi faktor air semen,
konsentrasi foam agent, dan persentase penggunaan fiberglass yang sesuai
untuk pembuatan bata ringan berkait?
3. Bagaimana menganalisis hasil pengujian struktur dinding akibat geser
bidang?

1.3 Batasan Masalah


Untuk mendapatkan hasil yang lebih fokus serta pembahasan dapat lebih
terkonsentrasi terhadap judul yang diambil dan tidak meluas, maka diperlukan
batasan masalah sebagai berikut:
1. Tidak meninjau perhitungan bentuk kait pada bata ringan berkait.
2. Tidak meninjau perhitungan kuat tekan beton kolom balok portal dinding.
3. Tidak meninjau perhitungan kuat geser sambungan bata ringan.
4. Jenis bahan yang digunakan untuk bata ringan berkait adalah bata ringan
dengan foam agent, fiberglass dan semen putih dan tidak menggunakan pasir
atau kapur.
5. Berat jenis ditargetkan sekitar 500-1000 kg/m3, karena termasuk jenis
material non-struktural.
3

6. Trial-mix Memakai benda uji kubus dikarenakan bata ringan bersifat mortar
dan keterbatasan cetakan silinder pada saat penelitian.
7. Tidak melakukan pengujian karakteristik dari semen, karena sudah dianggap
layak.
8. Tidak melakukan pengujian karakteristik sifat fisis dari foam agent.
9. Tidak melakukan pengujian karakteristik dari air yang digunakan pada
campuran bahan karena air di laboratorium bahan Politeknik Negeri Malang
sudah dianggap baik untuk pengecoran.
10. Tidak melakukan pengujian pasir dan kerikil untuk pengecoran beton portal
dinding karena tidak meninjau kekuatan beton untuk kolom dan balok.
11. Metode pengujian tekan pada benda uji kubus dan pembebanan siklis pada
pasangan dinding disesuaikan dengan peraturan SNI 03-1974-1990 dan
ASTM E 2126-2011
12. Tidak memperbandingkan harga dan kuat geser dinding bata ringan model
standar dengan penelitian terdahulu.
13. Lokasi pembuatan benda uji dan pengujian kuat tekan penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Bahan Jurusan Teknik Sipil,
Politeknik Negeri Malang.
14. Pengujian kuat geser pasangan dinding bata ringan berkait dilaksanakan di
Laboratorium Struktur Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Malang.

1.4 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini sebagai
berikut:
1. Menganalisis pengaruh variasi faktor air semen, konsentrasi foam agent, dan
persentase penggunaan fiberglass terhadap berat jenis, kuat tekan dan biaya
produksi bata ringan berkait.
2. Menganalisis hasil trial mix dengan variasi faktor air semen, konsentrasi foam
agent, dan persentase penggunaan fiberglass yang sesuai untuk pembuatan
bata ringan berkait.
3. Menganalisis hasil pengujian struktur dinding akibat geser bidang.
4

1.5 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini diantaranya :
1. Menghasilkan model bata ringan berkait yang mudah dalam pemasangan dan
mempunyai kekuatan menahan gaya geser bidang lebih tinggi.
2. Memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan informasi mengenai kekuatan
bata ringan berkait sehingga dapat diaplikasikan pada konstruksi bangunan
selanjutnya.
3. Dapat digunakan sebagai produk-produk bahan bangunan yang efisien dalam
pengerjaannya, sehingga dapat mempercepat waktu pengerjaan dan
menghemat pengeluaran biaya.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dinding
Dinding pasangan bata adalah elemen pemikul beban vertikal di mana
ketahanan terhadap tekanan tekan merupakan faktor utama dalam desain. Namun,
dinding sering diperlukan untuk menahan gaya geser horizontal atau tekanan lateral
dari angin dan oleh karena itu kekuatan pasangan bata dalam geser dan tegangan juga
harus dipertimbangkan (Hendry et al. 2017).
Dinding memiliki berbagai jenis berdasarkan bahan penyusunnya, antara lain
adalah dinding beton, dinding bata, dinding batako, dinding kayu, dan dinding batu
alam. Sedangkan berdasarkan strukturnya terdapat dua jenis struktur dinding yaitu
struktur dinding pengisi rangka beton bertulang (infill wall) dan struktur dinding
terkekang (confined masonry). Dinding terkekang merupakan sistem struktur yang
material dasarnya sama dengan struktur dinding pengisi rangka beton bertulang, tapi
cara dan urutan pengerjaannya berbeda. Pada dinding terkekang, dinding pasangan
bata dikekang oleh balok dan kolom beton bertulang pada keempat sisinya.
Pembuatannya dengan cara dinding pasangan bata dibangun terlebih dahulu, setelah
itu dilakukan pengecoran pada balok dan kolom secara in-situ (Iyer et al. 2012)

(a) (b)
Gambar 2.1 Perbedaan struktur dinding (a) dinding pengisi, (b) dinding terkekang
Sumber: Iyer et al. 2012
6

2.1.1 Material Dinding


Hendry (2017) mengemukakan bahwa bata didefinisikan sebagai unit batu
dengan dimensi (mm) tidak melebihi 337,5×225×112,5 (L×w×t). Setiap unit dengan
dimensi yang melebihi apa pun salah satu yang disebutkan di atas disebut blok. Blok
dan batu bata adalah terbuat dari tanah liat, kalsium silikat atau beton.
Blok adalah unit dinding tetapi tidak seperti batu bata, blok biasanya terbuat
dari beton. Blok tersedia dalam dua tipe dasar: beton aerasi yang diautoklaf
(sekarang disebut sebagai aircrete) dan beton agregat. Blok aircrete terbuat dari
campuran pasir, abu bahan bakar bubuk, semen dan aluminium bubuk yang
digunakan untuk menghasilkan hydrogen gelembung dalam campuran. Blok agregat
memiliki komposisi mirip dengan beton normal, terutama terdiri dari pasir, agregat
kasar dan halus, dan semen plus ekstender. Blok aircrete cenderung memiliki
kepadatan yang lebih rendah (biasanya 400-900 kg / m3) dari blok agregat (biasanya
1200–2400 kg / m3), berat unit lebih rendah dan kekuatan lebih rendah. Umumnya
kuat tekan blok aircrete adalah 2,9; 3,6; 4,2; 7,3 dan 8.7 N/mm2. Secara umum, blok
beton lebih mahal dari blok agregat (Arya 2009).
Blok diproduksi dalam tiga bentuk dasar: padat, seluler dan berlubang. Blok
padat tidak memiliki lubang atau rongga yang terbentuk selain melekat pada materi.
Blok seluler memiliki satu atau lebih banyak rongga atau rongga yang terbentuk
yang tidak tembus melalui blok. Blok berlubang mirip dengan blok seluler kecuali
rongga yang lewat/tembus melalui blok. Sebagaimana dibahas sebelumnya,
persentase void yang terbentuk dalam blok (dan rongga yang terbentuk dalam bata)
mempengaruhi karakteristik kekuatan tekan dari pasangan bata. Untuk desain
struktural, dua sifat blok paling penting adalah ukuran dan kekuatan tekannya (Arya
2009)

Gambar 2.2 Blok Beton


Sumber: Hendry, 2004
7

2.2 Bata Ringan


Bata beton adalah suatu jenis unsur bangunan berbentuk bata yang dibuat dari
bahan utama semen Portland, air, dan agregat; yang dipergunakan untuk pasangan
dinding, Bata beton dibedakan menjadi bata beton pejal dan bata beton berlubang.
Klasifikasi bata beton pejal maupun berlubang dibedakan menurut tingkat mutunya
yaitu tingkat mutu I, tingkat mutu II, tingkat mutu III, dan tingkat mutu IV (SNI 03-
0349-1989).
Batu bata sekarang ini memang banyak digunakan sebagai bahan konstruksi
dan bangunan. Pengembangan batu bata menjadi batu bata ringan relatif baru pada
bidang bahan konstruksi (Ibrahim et al. 2015). Pengembangan batu bata sekarang ini
juga telah bergerak dalam mengurangi berat dan meningkatkan kemampuan isolasi
thermal. Batu bata ringan biasanya diproduksi dengan menambahkan bahan aditif
(Chiang et al. 2009).
Beton ringan adalah beton yang memakai agregat ringan atau campuran
agregat kasar ringan dan pasir alam sebagai pengganti agregat halus ringan dengan
ketentuan tidak boleh melampaui berat isi maksimum beton 1850 kg/m3 (SNI 03-
3449-2002). Beton ringan dengan kisaran kerapatan lebih rendah telah memperoleh
ketenaran di industri konstruksi untuk penerapannya dalam struktur bantalan non-
struktural dimana kebutuhan untuk rasio kekuatan terhadap berat yang lebih tinggi
dan produk yang mudah dipasang dengan memiliki sifat insulasi yang sangat baik.
Beton ringan diketahui memberikan tingkat isolasi termal yang lebih tinggi karena
struktur berpori yang berisi udara dengan konduktivitas termal yang sangat rendah
(Kashani et al. 2017)

Gambar 2.3 Bata ringan tipe Cellular Lightweight Concrete


Sumber: Dokumen Pribadi
8

Beton ringan seluler (CLC) atau kadang-kadang mungkin sering menyebut


beton berbusa adalah pasta semen atau mortar, diklasifikasikan sebagai beton ringan,
di mana rongga udara terperangkap dalam mortar oleh agen berbusa (foam agent).
Dengan kontrol yang tepat dalam campuran konten busa, berbagai kepadatan dapat
dicapai antara 500 hingga 1600 kg / m3. Suatu studi tentang kehalusan jenis pengisi
pada kuat tekan beton berbusa dengan campuran semen-fly ash, menunjukkan bahwa
dimasukkannya fly ash membantu distribusi rongga udara lebih seragam daripada
pasir halus (Nambiar & Ramamurthy 2006).
Kelayakan bata ringan belum terdapat pada aturan Standar Nasional Indonesia
(SNI). Berdasarkan hal tersebut maka digunakan SNI 03-0349-1989 tentang bata
beton untuk pasangan dinding sebagai syarat yang akan digunakan untuk bata ringan.
Syarat fisis kelayakan bata beton yang harus dipenuhi berdasarkan SNI 03-0349-
1989 yang akan digunakan sebagai acuan bata ringan dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Syarat-Syarat Fisis Bata Beton Pejal
Tingkat Mutu Beton
Syarat Fisis Satuan
I II III IV
Kuat tekan beton rata-rata minimum Kg/cm2 100 70 40 25
Kuat tekan bruto masing-masing benda uji Kg/cm2 90 65 35 21
Penyerapan air rata-rata maksimum % 25 35 - -
Sumber: SNI 03-0349-1989

2.3 Foam Agent


Dua metode pencampuran beton seluler yang paling umum adalah
pencampuran kecepatan tinggi dan metode kompresi udara. Pencampuran
berkecepatan tinggi mencakup penambahan foam agent ke mixer dengan
mencampurnya di kecepatan tinggi untuk membuat gelembung udara, dan kemudian
menambahkan bahan lainnya ke dalam pengaduk yang sama. Secara umum, metode
ini mudah dilakukan, distandarisasi dan banyak digunakan (Ramamurthy, Nambiar &
Ranjani 2009).

Gambar 2.4 Foaming Agents


Sumber: Dokumen Pribadi
9

Metode kompresi udara membutuhkan penggunaan mesin kompresi


udara/kompresor untuk membuat gelembung udara yang ditambahkan ke beton yang
baru dicampur untuk membuat struktur seluler. Metode kompresi udara dapat
menggunakan busa basah atau busa kering. Busa basah mencakup menyemprotkan
larutan berbusa di atas jaring halus 2-5 mm dan busa ini relatif kurang stabil dari
pada busa kering. Busa kering biasanya dianggap lebih stabil daripada busa basah
yang membuatnya lebih mudah untuk pencampuran (Narayanan & Ramamurthy
2000)
Metode kompresi udara lebih mahal daripada pencampuran kecepatan tinggi
tetapi itu menciptakan efisiensi berbusa lebih baik tanpa mengurangi kualitas udara
gelembung. Telah dilaporkan bahwa proses pencampuran berkecepatan tinggi dapat
menghasilkan volume dari gelembung udara yang rusak lebih tinggi, dan berkurang
kandungan udaranya dibandingkan dengan metode kompresi udara (Wang 2010).
Foam Agent ketika ditambahkan ke dalam air campuran itu akan menghasilkan
rongga gelembung yang menjadi tergabung dalam pasta semen. Sifat-sifat beton
berbusa sangat tergantung pada kualitas busa (Hamad 2014).
Nilai kuat tekan bata ringan fascon didapat nilai sebesar 2,82 MPa sedangkan
bata ringan duracon sebesar 0,75 MPa. Pada penambahan foam agent 0,6 lt/m3
mengalami kenaikan sebesar 40,7 % sehingga menjadi 4,02 MPa, pada penambahan
foam agent 0,8 lt/m3 mengalami kenaikan sebesar 32,43 % sehingga menjadi 3,06
MPa, pada penambahan foam agent 1 lt/m3 mengalami penurunan sebesar 6,55%
sehingga menjadi 2,45 MPa. Penurunan kuat tekan pada foam agent 1 lt/m3
dikarenakan busa dalam campuran bata ringan semakin banyak, sehingga tarjadi
banyak rongga didalam bata ringan tersebut (Trinugroho & Murtono 2015).

2.4 Perkuatan Dengan Penambahan Serat Fiberglass


Sitorus & Dahar ( 2012) mengemukakan bahwa serat kaca adalah material
berbentuk serabut– serabut yang sangat halus yang mengandung bahan kaca. Sediaan
serat kaca dapat berupa potongan kecil, batang, dan anyaman di mana masing-
masing serat kaca tersebut menghasilkan kekuatan mekanis yang berbeda-beda
terhadap resin akrilik.
Dalam desain struktur beton, tegangan tarik yang terjadi dipertahankan oleh
baja tulangan, sedangkan beton tarik tidak diperhitungkan menahan tarik, yang
10

terjadi karena beton akan segera retak jika mendapat tegangan tarik yang melampaui
kekuatan tarik. Dari segi ketahanan struktural, retakan ini akan menimbulkan korosi
pada tulangan baja sehingga akan mengurangi luas tulangan baja, meskipun dari
sudut pandang struktur retak ini tidak berbahaya. Salah satu cara untuk mengurangi
retakan pada area tarik adalah dengan menambahkan bahan yang ditambahkan serat.
Penambahan prinsip serat itu sendiri memberikan penguatan pada beton yang
disebarkan secara merata ke dalam campuran beton dengan orientasi acak untuk
mencegah keretakan beton yang terlalu dini pada area tarik karena panas atau hidrasi
akibat beban. Sehingga kekuatan tarik beton bisa lebih tinggi dari kekuatan tarik
beton biasa (Subandi et al. 2019)

Gambar 2.5 Fiberglass


Sumber: Dokumen Pribadi
Penggunaan Fiberglass rebar (FRP) memegang peranan penting dalam
konstruksi modern. Ini disebabkan dengan kekuatannya dan ketahanan korosi yang
tinggi dan konduktivitas termal yang rendah (Barabanshchikov et al. 2015). Subandi
et al. (2019) telah melakukan penelitian kekuatan beton dengan penambahan variasi
fiberglass berukuran 1 cm x 4 cm dan menyimpulkan bahwa penambahan 0,25 %
fiberglass dapat meningkatkan kuat tekan beton sebesar 24,21 MPa daripada beton
tanpa penambahan fiberglass, serta kuat tarik dan kuat lentur beton meningkat
sebesar 3,9 MPa dan 2,889 MPa dengan penambahan fiberglass 0,75 %.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Novan (2019) telah dilakukan
pengujian kuat tekan bata ringan berkait dengan penambahan fiberglass 0%, 1%, 3%,
6% dan 9%. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil dengan penambahan fiberglass
3% adalah campuran paling tepat dengan hasil pengujian kuat tekan sebesar 2,91
MPa. Metode pengujian lentur lateral menggunakan SNI 03-1454-1996 dengan 2
benda uji berukuran 90 cm x 30 cm x 20 cm dengan penambahan fiberglass 3%
dengan hasil rata-rata pengujian lentur lateral pada beban maksimum sebesar 1,087
N/mm2 dengan lendutan sebesar 6,56 mm.
11

2.5 Metode Taguchi


Metode Taguchi diusulkan oleh Dr. Genichi Taguchi. Metode ini merupakan
suatu metode pengendalian kualitas sebelum proses berlangsung atau sering juga
dinamakan off-line quality control. Metode ini sangat efektif dalam peningkatan
kualitas dan juga mengurangi biaya. Rekayasa kualitas yang diusulkan Taguchi
bertujuan agar performansi produk/prosesnya tidak sensitif atau tangguh terhadap
factor yang sulit dikendalikan (Roy 1990).
Dalam metode Taguchi digunakan matriks orthogonal array untuk
menentukan jumlah run percobaan minimal yang dapat memberi informasi sebanyak
mungkin tentang semua faktor yang mempengaruhi hasil percobaan. Array disebut
orthogonal karena setiap level dari masing-masing faktor adalah seimbang dan dapat
dipisah dari pengaruh faktor yang lain dalam percobaan (Roy 2001).
Orthogonal array adalah matriks faktor dan level yang disusun sehingga
pengaruh suatu faktor dan level tidak berbaur dengan faktor dan level lainnya.
Bagian terpenting dari orthogonal array terletak pada pemilihan kombinasi level dari
variabel-variabel input untuk masing-masing percobaan. Notasi Orthogonal Array
adalah Ln(lf) dimana f adalah banyak faktor, l adalah banyak level, n adalah
banyaknya run percobaan dan L lambang orthogonal array (Roy 2001).
Roy (2001) mengemukakan bahwa faktor adalah parameter desain yang
mempengaruhi kinerja, input yang dapat dikontrol, dan bertujuan untuk menentukan
pengaruh serta kontrol mereka pada kinerja yang paling diinginkan. Contoh: Dalam
proses memanggang kue, faktornya adalah: Gula, Tepung, Mentega, Telur, dll. Level
adalah nilai yang diasumsikan oleh faktor saat digunakan dalam percobaan. Contoh:
Seperti dalam proses memanggang kue di atas, kadar gula dan tepung variasinya bisa
menjadi 2 pound, 5 pound, dll.
Tahap analisis data meliputi menghitung Rata-Rata, menghitung Signal to
Noise Ratio (SNR), menghitung Efek Faktor dari Rata-Rata, dan menghitung Efek
Faktor dari Signal to Noise Ratio (SNR).
a. Menghitung rata-rata (ȳ)
Untuk mencari nilai rata-rata data kita dapat menggunakan rumus sebagai
berikut.

ȳ= (2.1)
12

b. Menghitung Signal to Noise Ratio (SNR)


Signal to Noise Ratio (SNR) digunakan untuk mengidentikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi variasi suatu respon. Rancangan produk atau proses
operasi konsisten dengan nilai SNR yang besar selalu menghasilkan produksi
dengan kualitas optimum dan minimum varian (Roy 1990). Menurut Taguchi,
terdapat tiga jenis karakteristik SNR yaitu : Nominal is the best, Smaller is
better, dan Higher is better. Smaller is better merupakan karakteristik terukur
non negatif dengan nilai ideal nol. Nilai nilai yang dituju adalah suatu nilai
terkecil. Nilai SNR untuk karakteristik kualitas Smaller is better adalah

SNR = -10log10[ ∑ ] (2.2)

c. Menghitung efek faktor dari rata-rata (ȳ)


Jumlah untuk faktor A :
A1 = + + +
A2 = + + +
A3 = + + +
A4 = + + +
Jumlah untuk faktor B, C, dan D dapat digunakan rumus yang sama dengan
memperhatikan letak level masing-masing faktor pada unsur matriks
orthogonal array. Perhitungan nilai efek faktor dari rata-rata (ȳ) dilakukan
dengan mengurangi rata-rata terbesar dengan rata-rata terkecil
d. Menghitung Efek Faktor dari Signal to Noise Ratio (SNR)
Jumlah untuk faktor A adalah :
A1 = + + +
A2 = + + +
A3 = + + +
A4 = + + +
Jumlah untuk faktor B, C, dan D dapat digunakan rumus yang sama dengan
memperhatikan letak level masing-masing faktor pada unsur matriks
orthogonal array. Perhitungan nilai efek faktor dari Signal to Noise Ratio
(SNR) dilakukan dengan mengurangi rata-rata terbesar dengan rata-rata
terkecil.
13

2.6 Geser Dinding


Dinding merupakan elemen yang paling mudah mengalami kerusakan yang
disebabkan oleh beban horizontal pada saat terjadi gempa. Distribusi pembebanan
yang terjadi pada saat gempa berlangsung ke segala arah sumbu kuat dinding
maupun sumbu lemah dinding. Pembebanan yang berlangsung pada arah sumbu kuat
dinding memberikan tahanan lateral yang lebih baik dibandingkan pembebanan yang
terjadi pada sumbu lemah dinding (Murty 2005).

Gambar 2.6 Beban gempa pada arah sumbu kuat dan sumbu lemah
Sumber: Murty (2003)
Beban gempa yang terjadi pada arah sumbu kuat dinding dapat menyebabkan
dinding mengalami perubahan geometri menjadi bentuk jajaran genjang
(parallelogram). Perubahan geometri yang terjadi, selain dapat menimbulkan
rusaknya elemen lain yang ada didalam bidang dinding seperti jendela atau kaca,
juga dapat menyebabkan kerusakan atau keruntuhan dinding bila defleksi akibat
beban yang bekerja melebihi kapasitas dari dinding tersebut. Sedangkan pembebanan
pada arah sumbu lemah dinding dapat menyebabkan dinding menjadi runtuh atau
terguling (Murty 2003)
Bangunan dengan struktur dinding bata merah di Indonesia belum
menggunakan tulangan sebagai penguat. Bangunan tersebut dikenal sebagai
pasangan bata tanpa perkuatan. Penggunaan pasangan bata terbatas juga telah dikenal
luas di daerah perkotaan, dan sebaliknya di daerah pedesaan. Di pedesaan masih ada
banyak tempat tinggal tanpa dinding terekang dengan hanya pasangan dinding saja.
Oleh karena itu perlu dicatat bahwa Indonesia berada di zona gempa, sehingga beban
yang menghancurkan bangunan adalah beban gempa. Ini ditunjukkan dalam
peristiwa gempa beberapa waktu lalu (Wisnumurti, Dewi & Soehardjono 2013)
14

2.6.1 Pengaturan Pengujian dan Pembebanan


Contoh pengaturan pengujian yang digunakan untuk uji kuat geser portal
dinding bata ringan berkait ditunjukkan pada Gambar 2.7, gambar 2.8 dan gambar
2.9.

Gambar 2.7 Contoh Pengaturan pengujian untuk uji geser dinding.


Sumber: ASTM E2126 – 11

Gambar 2.8 Permodelan pembebanan dan bentuk nyata pembebanan aktual.


Sumber: Wang, Shi & Tao (2018)
Keterangan gambar di atas adalah : nomor 1 adalah gelagar reaksi, nomor 2
adalah jack hidrolis, nomor 3 adalah balok dudukan, nomor 4 adalah dinding reaksi,
nomor 5 adalah aktuator untuk gaya lateral, nomor 6 adalah sekrup, nomor 7 adalah
spesimen uji, nomor 8 adalah baut dan nomor 9 adalah perkuatan balok pondasi.

Gambar 2.9 Dimensi dan pengaturan uji spesimen dinding


Sumber: Ramadhan (2019)
15

Ramadhan (2019) mengemukakan bahwa saat pengujian beban statik


pushover, dinding interlocking masonry brick dikelilingi oleh portal kolom – balok
dengan ukuran 13 cm x 13 cm untuk mendapatkan kondisi sesuai aplikasi
pembangunan dinding pada umumnya. Contohnya seperti dinding yang dikelilingi
kolom dan balok praktis pada rumah sederhana sehingga jika sampel portal dinding
interlocking masonry brick diberi beban searah in-plane dinding maka akan didapat
hasil pengujian beban – simpangan dan pola retak yang mendekati kondisi di
lapangan.
Wibowo, Wisnumurti & Hermawan (2016) telah melakukan penelitian
mengenai perilaku geser pada dinding panel jaring kawat baja tiga dimensi dengan
variasi rasio tinggi dan lebar (hw/lw) terhadap beban lateral statik dan menyimpulkan
bahwa beban maksimum (Pu) yang bekerja pada dinding dengan rasio tinggi dan
lebar dinding (Hw/Lw) = 1 mempunyai kapasitas beban yang paling besar baik
secara aktual dan teoritis dibandingkan dengan dinding lainnya yaitu berkisar antara
3 sampai 4 ton lebih.

2.6.2 Perilaku Umum dan Pola Kegagalan


Menurut Francisco (1997) Perilaku kegagalan pasangan bata ditandai oleh dua
faktor: kegagalan dari unit pasangan bata dalam pembebanan, dan lemahnya
sambungan mortar. oleh karena itu, faktor kegagalan dihasilkan dari kombinasi
retakan tegangan diagonal yang melintasi batu bata dan rusaknya ikatan di sepanjang
sambungan mortar-bata. Berikut adalah tiga jenis kegagalan yang dapat
dipertimbangkan.

2.6.3.1 Kegagalan Geser dan Gesekan


Tipe kegagalan pertama terjadi pada tegangan normal rendah dan biasanya
disebut kegagalan geser-gesekan. Retakan sering berkembang mengikuti pola tangga.
Berbagai peneliti telah menunjukkan bahwa kegagalan tersebut juga dapat terjadi
dengan rusaknya ikatan pada bed joint (sambungan).
16

Gambar 2.10 Bed joint dan head joint


Sumber: Francisco (1997)

a. Stepped cracks shear failure yaitu kegagalan geser pada dinding sepanjang
pertemuan mortar di sisi bata dan sedikit timbul retak pada bagian bata.

Gambar 2.11 Retak pola stepped cracks shear failure


Sumber: Francisco (1997)

b. Horizontal sliding shear failure yaitu kegagalan geser pada dinding sepanjang
arah horizontal dekat atau tepat pada setengah ketinggian panel dinding
pengisi.

Gambar 2.12 Retak pola Horizontal sliding shear failure


Sumber: Francisco (1997)

2.6.3.2 Kegagalan Tegangan Bata


Untuk nilai sedang hingga tinggi dari tegangan normal, kegagalan tarik dari
batu bata umumnya terjadi. Mode kegagalan ini disebut kegagalan tegangan diagonal
atau tensile failure cracks. Kekuatan geser dari sambungan mortar meningkat karena
efek dari tekanan normal tekan. Oleh karena itu, retak muncul dalam batu bata
bukannya pada sambungan, sebagai akibat dari tegangan tarik yang diakibatkan oleh
keadaan tegangan tekan-tekan. Seperti yang diamati pada gambar, retakan mengikuti
17

head joints (sambungan tegak) dan melewati batu bata dengan kecenderungan yang
tergantung pada orientasi tekanan utama pada batu bata.

Gambar 2.13 Kegagalan tegangan diagonal


Sumber: Francisco (1997)
Ketika panel diperkuat secara horizontal atau ketika kondisi sambungan
panel-frame ditingkatkan, seperti yang terjadi pada pasangan frame, retakan biasanya
kecil dan didistribusikan di zona lebar sepanjang diagonal. Dalam kasus lain,
kerusakan terkonsentrasi pada satu atau dua retak besar.

Gambar 2.14 Retak diagonal karena kegagalan tegangan tarik batu bata
Sumber: Francisco (1997)

2.6.3.3 Kegagalan Tekan


Tipe kegagalan ini terjadi untuk nilai tegangan normal yang sangat tinggi
dibandingkan dengan tegangan geser.
a. Crushing of The Loaded Corners mekanisme pertama kegagalan tekan dapat
terjadi di daerah yang dekat dengan sudut yang dimuat, di mana regimen
tekanan biaksial meningkatkan kekuatan pasangan bata.

Gambar 2.15 Hancur pada sudut dinding karena kegagalan tekan


Sumber: Francisco (1997)
18

Saraj (2008) mengemukakan bahwa kerusakan pada dinding pasangan bata


biasanya ditandai oleh retak. Kategori retak berdasarkan dimensinya untuk struktur
dinding pasangan dibedakan menjadi 2 kategori. Kategori pertama tidak berpengaruh
pada struktur kecuali aestetik bangunan, ukuran retak ini mulai 0,1 mm sampai
dengan 2,0 mm. Kategori kedua retak yang akan berpengaruh pada penggunaan dan
pelayanan bangunan sehingga perlu untuk diperhatikan bila perlu harus diperbaiki
karena dapat mengakibatkan keruntuhan bangunan, dimensi retaknya dimulai dari
2,0 mm sampai yang paling berbahaya adalah 25 mm. Untuk lebih jelasnya bisa
dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kategori retak sesuai dimensi lebarnya
Kategori Ukuran Retak
Efek Retak Pada Struktur
Retak (mm)
P0 < 0,1 Tidak mempunyai efek
P1 0,1 – 0,3 Tidak mempunyai efek penting
P2 0,3 – 1,0 Akan memiliki Aesthetic Effect
P3 1,0 – 2,0 Memiliki Aesthetic Effect
P4 2,0 – 5,0 Cracking of arches
Jamming of doors anf windows, cracking of walls,
P5 5,0 – 15,0 shear diagonal cracking in ceilings, falling plaster
collapsing arches, breaking of plumbing and pipes
P6 15,0 – 25,0 Dinding runtuh lokal
P7 > 25,0 Berbahaya untuk struktur, peringatan untuk struktur
Sumber: Saraj (2008)

2.7 Analisis Ketahanan Geser Beban Siklik Lateral Portal Dinding


Beban siklik adalah pembebanan berulang yang bekerja pada suatu struktur
dengan intensitas yang berbeda, tempat yang berbeda dan arah kerja yang berbeda.
Pembebanan siklik yang dilakukan mengacu pada ASTM E 2126-2011 cyclic
(Reversed) Load Test for Shear Resistance of Vertical Elements of the Lateral Force
Resisting Systems for Buildings.
19

Gambar 2.16 Contoh hysteresis curve dan envelope curve


Sumber: ASTM E 2126-2011
Berikut adalah kurva hysteresis yang dilengkapi dengan keterangan
pembebanan dimulai (elastic loading), pengurangan pembebanan (unloading), dan
pembebanan kembali (reloading), dan garis hubung antara beban puncak saat
loading dan reloading atau bisa disebut strenght envelope curve.

Gambar 2.17 Contoh hysteresis curve dan envelope curve J.C. Francisco
Sumber: Francisco (1997)

2.7.1 Kekakuan Elastis dan Kuat Geser


Kekakuan elastis didefinisikan sebagai kemiringan kurva beban-simpangan
atau kurva envelope pada beban pada saat 0,4Ppeak. Kemiringan garis digunakan
untuk menentukan bagian elastis kurva. Hal ini juga digunakan untuk menemukan
parameter seperti Pyield, Δyield dan daktilitas. Menurut ASTM E 2126-2011 Kekakuan
elastik didapat dengan menggunakan persamaan berikut:

Ke = (2.3)

dengan :
20

Ke : Kekakuan elastis (kN/mm)


0,4 Ppeak : Beban pada saat 0,4 Ppeak (kN)
Δ0,4 Ppeak : Simpangan pada saat beban 0,4 Ppeak (mm)
Menurut ASTM E 2126-2011 Besarnya kuat geser yang terjadi pada dinding
merupakan besarnya beban ultimit terhadap satuan bentang panjang dinding dan
dapat dihitung dengan persamaan:

v peak = (2.4)

dengan :
v peak : Kuat geser (kN/mm)
Ppeak : Beban maksimum (kN)
L : lebar dinding yang dikenai beban (mm)

2.7.2 Beban leleh dan simpangan leleh


Menurut ASTM E 2126-2011 Beban pada saat kondisi leleh (Pyield) dapat
dihitung dengan persamaan berikut:

Pyield = ( √ )𝐾𝑒 (2.5)

dengan :
Pyield : Beban leleh (kN)
Δu : Simpangan pada saat beban ultimit (mm)
A : Luas kurva envelope mulai dari nol hingga simpangan ultimit
(kNmm)
Ke : Kekakuan elastis (kN/mm)
Setelah menentukan Pyield maka menurut ASTM E2126 02a (ASTM 2013)
simpangan leleh dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Δyield = (2.6)

dengan :
Δyield : Simpangan leleh (mm)
Pyield : Beban leleh (kN)
Ke : Kekakuan elastis (kN/mm)
21

2.7.3 Rasio Daktilitas Siklis


Rasio Daktilitas siklis adalah kemampuan suatu struktur untuk melakukan
deformasi melewati batas elastisitasnya yang dinyatakan dengan leleh pertama kali
(first yield) tanpa adanya penurunan kekakuan yang berlebihan. Rasio daktilitas
merupakan perbandingan antara simpangan ultimit dengan simpangan leleh dari
grafik hubungan antara beban dengan simpangan yang dihitung pada butir
sebelumnya (ASTM E2126). Berikut persamaan daktilitas:

D= (2.7)

dengan :
D : Rasio Daktilitas (mm)
Δ𝑢ltimit : Simpangan pada saat beban 0,8Ppeak (mm)
Δ 𝑖𝑒𝑙𝑑 : Simpangan pada saat beban leleh pertama kali (mm)

2.7.4 Kurva equivalent energy elastic – plastic (EEEP)


Kurva EEEP merupakan suatu luasan pendekatan dari kurva beban simpangan
ataupun kurva envelope yang asli yang dipengaruhi oleh simpangan ultimit dan
simpangan pada sumbunya. Bagian dari kurva EEEP (Gambar 2.19) tersebut bisa
terdiri dari kemiringan yang sama dengan kemiringan kurva asli berupa kekakuan
elastis (Ke) sedangkan kondisi plastis ditunjukkan dengan garis horizontal dengan
beban leleh (Pyield).
Luasan kurva elastis plastis didapat dengan prinsip keseimbangan luasan
kurva beban simpangan yang dihubungkan puncaknya. Bagian dari kurva yang
mempunyai garis dengan kemiringan sama berupa kekakuan geser elastis-plastis
pada saat beban 0,4Ppeak dan simpangan Δ0,4Ppeak. Beban runtuh merupakan nilai
0,8Ppeak sedangkan nilai failure limit state menyatakan titik dimana hubungan antara
beban dan simpangan terhadap titik data terakhir dengan beban waktu sebesar atau
lebih besar dari 0,8 Ppeak.
22

Gambar 2.18 Equivalent energy elastic plastic curve


Sumber: ASTM E2126 – 11

2.8 Penelitian Kuat Geser Dinding Sebelumnya


Dari hasil pengujian beban statik pushover, dinding interlocking masonry
brick mampu menerima beban maksimum sebesar 63,931 kN dan simpangan ultimet
35 mm dengan lebar retak 4 mm. Dari hasil pengujian beban statik pushover, dinding
interlocking masonry brick mampu menerima beban maksimum sebesar 63,931 kN
dan simpangan ultimet 35 mm dengan lebar retak 4 mm. Hasil analisis kekakuan
elastis portal dinding interlocking masonry brick didapat 5,9058 kN/mm dan beban
leleh sebesar 57,237 kN dengan simpangan leleh 9,69 mm. Kekuatan geser dinding
interlocking masonry brick didapat 21,22 N/mm dimana tiap lebar 1 mm dinding
dapat menahan beban statik pushover 21,22 N. Berdasarkan pola retak yang terjadi,
portal dinding interlocking masonry brick termasuk tipe stepped cracks shear failure.
Kegagalan portal dinding terjadi akibat gaya geser yang ditandai dengan timbulnya
retak pada dinding seperti pola tangga (Ramadhan 2019). Grafik hasil pengujian
dapat dilihat pada gambar 2.20.
23

Gambar 2.19 Kurva EEEP portal dinding interlocking masonry brick


Sumber: Ramadhan (2019)
Wibowo, Wisnumurti & Hermawan (2016) melakukan penelitian tentang
perilaku geser dinding panel jaring kawat baja tiga dimensi dengan variasi rasio
tinggi dan lebar (hw/lw) terhadap beban lateral statik. Benda uji berupa dinding panel
jaring kawat baja tiga dimensi yaitu dinding M-Panel PSM 80 berukuran 60 x 60 cm,
60 x 90 cm dan 60 x 120 cm yang merupakan rangkaian EPS dan wiremesh. Dinding
tersebut dilapisi plester beton dengan metode pelaksanaan shotcrete dengan alat
Horizontal Spray dengan ketebalan 35 mm yang dilakukan 2 tahap. Dalam analisis
selanjutnya digunakan kuat tarik wiremesh sebesar 600 MPa (fy = 600 MPa). Berat
jenis EPS rata-rata sebesar 1413 kg/m3 dan kuat tekan 0,7 MPa menghasilkan nilai
kuat geser dinding sebesar 70052,17 N/m, dengan nilai kekakuan geser 1789473,7
kg/m pada dinding A dengan rasio tinggi dan lebar Hw/Lw = 1.
Bahri (2016) juga melakukan penelitian tentang kuat geser dinding panel yang
terbuat dari beton ringan dengan hasil berat jenis rata-rata silinder beton yaitu 1709
kg/m3 dan kuat tekan 5,83 MPa menghasilkan nilai kuat geser dinding panel tanpa
perkuatan diagonal sebesar 45100 N/m, dinding panel dengan perkuatan diagonal
baja memiliki kuat geser sebesar 68590 N/m. Nilai kekakuan geser dinding panel
tanpa perkuatan sebesar 2210400 N/m, kekakuan geser dinding panel dengan
perkuatan diagonal baja sebesar 4920130 N/m.
24

2.9 Interlocking Block


Ada banyak upaya untuk meningkatkan konstruksi dinding bangunan dengan
memanfaatkan blok-blok pengunci yang dibentuk dan tidak memerlukan sambungan
mortar tetapi lebih mengandalkan pada interaksi antar struktural pada bagian-bagian
blok untuk menstabilkan dinding. Dua kelemahan dari sistem yang ada dapat
ditemukan bahwa blok individu relatif rumit atau lebih dari satu jenis blok dasar
diperlukan. Kerugian lain terletak pada kenyataan bahwa sistem blok cetakan yang
dikenal tidak mudah disesuaikan untuk menghasilkan tampilan visual yang
sebanding dengan batu bata umum baik sehubungan dengan ukuran atau ikatan
bangunan yang dapat dicapai (Hancock 1976).
Interlocking masonry brick adalah bata beton yang permukaan atas dan bawah
maupun sisi samping bata didesain seperti sambungan yang saling mengunci satu
sama lain. Interlocking masonry brick dimungkinkan untuk tidak memerlukan mortar
sebagai pengikat antar bata. Sehingga pemasangan bata menjadi sebuah pasangan
dinding akan semakin cepat dan efektif daripada pemasangan bata konvensional
(Ramadhan 2019)
Tujuan utama dari penemuan ini adalah untuk menyediakan konstruksi bata
yang saling terkait di mana batu bata di setiap jalur terikat dengan kuat, satu dengan
yang lain, dengan demikian dapat memberikan kekuatan dan ketahanan, serta
berkontribusi untuk pencegahan terhadap api atau rembesan air melalui sambungan
(Brown 1934)

Gambar 2.20 Model bata interlocking untuk pasangan dinding.


Sumber: Brown (1934)
25

2.9.1 Pengaplikasian Bata Ringan Pada Pasangan Dinding


Fitur interlocking pada bata ringan atau beton ringan memberikan
penyelarasan yang tepat di dinding tanpa menggunakan sarana tambahan lainnya.
Kait yang saling mengunci lebih mudah dibentuk dari bahan lain yang cocok dan
tepat. Dalam struktur dinding ikatan ini, setiap blok unit akan dipasang
memproyeksikan dari bentuk kait yang berdekatan, sehingga dengan cara ini setiap
blok unit secara mekanis akan saling bertautan dengan yang lainnya (Calvin 1976).
Dengan pandangan tujuan yang ada di atas, penelitian ini terdiri dari
kombinasi dan campuran bahan, selanjutnya dapat diuraikan lebih lengkap serta
diilustrasikan dalam gambar yang menyertainya, dan lebih khusus lagi dapat
dilakukan dalam bentuk, ukuran, proporsi dan rincian kecil pada sebuah konstruksi
(Sams 1966).

(a) (b)
Gambar 2.21 Contoh blok beton interlocking (a) Sample model bata ringan
interlocking (b) Pengaplikasian model bata ringan interlocking pada dinding
Sumber: www.buildingdesignindex.co.uk (2018)
26

BAB III
METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi pengujian bahan dan material, pembuatan benda uji, dan pengujian
kuat tekan penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Bahan Jurusan
Teknik Sipil, Politeknik Negeri Malang. Sedangkan untuk pengujian kuat geser
pasangan dinding bata ringan berkait dilaksanakan di Laboratorium Struktur Jurusan
Teknik Sipil, Politeknik Negeri Malang.
Waktu yang digunakan untuk penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2019.
Adapun pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan waktu adalah sebagai
berikut:
Tabel 3.1 Waktu pelaksanaan penelitian
Bulan (2020)
Kegiatan Penelitian
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli
a. Perijinan Penelitian
b. Pelaksanaan Penelitian
1) Persiapan Bahan
2) Pemeriksaan Bahan
3) Percobaan Trial-Mix
4) Pembuatan Benda Uji Kubus
5) Pengujian Kuat Tekan Benda Uji Kubus
6) Pembuatan Benda Uji
7) Perawatan Benda Uji
8) Pengujian Benda Uji

3.2 Desain Penelitian


Objek penelitian ini adalah berupa bata ringan berkait (interlocking) yang
nantinya akan dilakukan permodelan pada unit bata ringan kait tersebut dan juga
pada pasangan pada dinding. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode pengujian kuat tekan dan pengujian geser dengan desain penelitian
eksperimen murni yang dilakukan langsung di laboratorium.
27

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data tentang komposisi dan


prosentase pada penggunaan semen putih, air, fiberglass dan foam agent terhadap
kuat geser pada penerapan konstruksi dinding dengan menggunakan model bata
ringan berkait.
Dalam penelitian ini, variabel bebas adalah faktor air semen, penambahan
prosentase fiberglass, dan konsentrasi foam agent terhadap air. Sedangkan untuk
variabel terikatnya adalah prosentase komposisi semen putih. Untuk variable yang
terakhir adalah variable kontrol, yaitu material, tempat penelitian serta alat yang
digunakan sama.
Hipotesis pada penelitian ini adalah berat jenis terkecil dapat dicapai dengan
penambahan prosentase fiberglass terbesar, kuat tekan optimum dapat dicapai
dengan penambahan kadar fiberglass terbesar dan konsentrasi foam agent terkecil
dan kuat geser pasangan dinding dengan bata ringan berkait lebih besar daripada kuat
geser pasangan dinding dengan bata ringan biasa yang diperjualbelikan di pasaran.

3.3 Sampel Penelitian


Sampel awal dalam penelitian ini adalah 16 buah benda uji kubus dengan
dimensi panjang 15 cm, lebar 15 cm dan tinggi 15 cm setelah berumur 28 hari dan
10 unit pasangan bata ringan berkait. Sampel yang digunakan untuk pengujian kuat
tekan masing-masing 1 buah sampel berbentuk kubus 15 cm × 15 cm × 15 cm untuk
setiap komposisi variasi faktor air semen, penambahan prosentase fiberglass, dan
konsentrasi foam agent. Pemilihan benda uji kubus disini karena benda uji bersifat
mortar dan pada peraturan SNI 1974-2011 dikatakan bahwa pengujian kuat tekan
pada benda uji berbentuk silinder berlaku jika berat isinya lebih dari 800 kg/m3, serta
kuat tekan yang ingin dicapai adalah dalam satuan kg/cm2. Untuk pengujian geser
bidang pada bata ringan berkait ini dilakukan dengan menyusun benda uji secara
vertikal dan horisontal membentuk dinding.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Novan (2019) rincian
persentase fiberglass terhadap komposisi campuran adalah 0%, 1%, 3%, 6%, dan
9%. Dari penelitian itu didapatkan hasil dengan penambahan fiberglass 3% adalah
campuran paling tepat dengan hasil pengujian kuat tekan sebesar 2,91 Mpa. Untuk
mengetahui hasil optimum kuat tekan variasi campuran maka penambahan fiberglass
untuk pengujian bahan uji ditunjukkan pada tabel 3.2.
28

Tabel 3.2 Rincian Perbandingan Komposisi Campuran Bahan Uji Kubus


Control and Level
Jumlah
Run Konsentrasi foam Persentase Fiberglass
Faktor Air Semen Sampel
agent terhadap air terhadap berat semen
1 0,50 1:20 1% 1 Buah
2 0,50 1:15 1,5% 1 Buah
3 0,50 1:12,5 2% 1 Buah
4 0,50 1:10 2,5% 1 Buah
5 0,55 1:20 2% 1 Buah
6 0,55 1:15 2,5% 1 Buah
7 0,55 1:12,5 1% 1 Buah
8 0,55 1:10 1,5% 1 Buah
9 0,60 1:20 2,5% 1 Buah
10 0,60 1:15 1% 1 Buah
11 0,60 1:12,5 1,5% 1 Buah
12 0,60 1:10 2% 1 Buah
13 0,65 1:20 1,5% 1 Buah
14 0,65 1:15 2% 1 Buah
15 0,65 1:12,5 2,5% 1 Buah
16 0,65 1:10 1% 1 Buah
Total Sampel 10 Buah

Tabel 3.3 Rincian Sampel Benda Uji Bata Ringan Berkait


No Pengujian Kuat Geser Bidang Jumlah Sampel
1. 10 Buah 10 Buah
Total Sampel 10 Buah

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Data yang digunakan pada penelitian ini adalah variasi faktor air semen,
penambahan prosentase fiberglass, dan konsentrasi foam agent pada campuran bata
ringan dan bentuk serta dimensi bata ringan berkait. Pengumpulan data pada
penelitian ini menggunakan metode pengujian yang datanya bersifat angka-angka
statistik. Peneiti berasumsi bahwa pengujian yang dikenakan pada sampel merupakan
alat atau instrument pengumpul data pada penelitian ini. Pengujian yang dimaksud
adalah mencari pengaruh faktor air semen, penambahan prosentase fiberglass, dan
konsentrasi foam agent pada campuran bata ringan terhadap kuat tekan dan
pemodelan bata ringan berkait terhadap uji kuat geser bidang pada pasangan dinding.

3.4.1 Pengumpulan Data


Pengumpulan data diperoleh dengan pengujian yang dicatat dan digunakan
sebagai bahan untuk pembahasan serta analisa data dalam laporan penelitian.
29

a. Hasil Uji Kuat Tekan Benda Uji Kubus


Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kuat tekan benda uji dengan variasi
faktor air semen, penambahan prosentase fiberglass, dan konsentrasi foam agent
pada campuran.
b. Hasil Uji Geser Pasangan Dinding Bata Ringan Berkait
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui nilai kuat geser maksimal model benda
uji.

3.4.2 Sumber Data


Data yang diperlukan dalam pelaksanakan penelitian ini didapat dua macam
data adalah sebagai berikut:
a. Data yang diperoleh dari jurnal maupun literatur/referensi berupa buku-buku yang
relevan dan jurnal-jurnal penelitian yang dapat membantu proses penelitian
terhadap pemodelan bata ringan berkait.
b. Data yang diperoleh dari hasil pengujian yang telah dilakukan di laboratorium,
yaitu diantaranya pengujian komposisi faktor air semen, penambahan prosentase
fiberglass, dan konsentrasi foam agent yang optimal terhadap berat jenis, kuat
tekan dan pengujian pemodelan bata ringan berkait terhadap kuat geser bidang.

3.5 Alur Penelitian


Metode penelitian ini dapat dijelaskan dalam bentuk diagram alir atau bentuk
flow chart sebagai berikut:

Mulai

Identifikasi masalah

Studi literatur dan pengumpulan data

Persiapan alat dan bahan

Pengujian bahan

Trial Mix dan Pembuatan benda uji kubus

Pengujian kuat tekan

A B
30

A B

Analisis Komposisi optimum

Memenuhi
Tidak
Ya
Pembuatan Benda Uji bata ringan berkait

Pembuatan pasangan dinding

Pengujian Kuat geser

Analisis Data Dan pembahasan

Memenuhi
Tidak
Ya
Kesimpulan dan saran

Selesai

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian


Sumber: Dokumen pribadi

3.6 Persiapan Bahan/Material dan Alat Pengujian


Pada penelitian ini seluruh material/bahan dan peralatan yang akan digunakan
dipersiapkan terlebih dahulu sebelum memulai pengujian material. Material dan
peralatan yang akan digunakan antara lain:

3.6.1 Bahan/Material
a. Air bersih yang digunakan dari Laboratorium Uji Bahan Teknik Sipil Politeknik
Negeri Malang.
b. Semen Putih produksi Semen Tiga Roda kemasan 40 kg. Penggunaan semen putih
karena daya rekatnya tinggi sehingga tidak mudah retak, dan untuk memberikan
warna putih pada dinding sehingga tidak memerlukan plester dan plamir.
31

Gambar 3.2 Semen Putih


Sumber: Dokumen pribadi
c. Fiberglass berukuran panjang 1 mm-10 mm.
d. Foam agent, Foam Agent adalah bahan utama dalam penelitian ini karena
penambahan bahan ini bertujuan untuk membuat gelembung pada campuran bata
ringan.

Gambar 3.3 Foam Agent


Sumber: Dokumen pribadi
e. Sloof, balok dan kolom praktis menggunakan baja tulangan polos 4Ø10 mm untuk
tulangan utama dan tulangan Ø8 mm untuk sengkang dengan jarak antar
sengkang 200 mm pada saat pengujian geser dinding pasangan bata ringan
berkait.
f. Komposisi yang digunakan dalam pencampuran beton sloof, balok dan kolom
praktis adalah 1 semen : 2 pasir : 3 kerikil.
32

3.6.2 Alat Produksi


a. Mesin pengaduk material beton (mixer).

Gambar 3.4 Mesin pengaduk beton


Sumber: Dokumen pribadi
b. Bor listrik dan mata bor pengaduk cat untuk mengaduk adonan bata ringan pada
saat Trial mix.
c. Foam Generator yang didalamnya terdapat kompresor dan komponen lain yang
dirakit untuk membuat foam agent menjadi busa atau foam.

Gambar 3.5 Foam Generator


Sumber: Dokumen pribadi
d. Cetakan untuk bata ringan berkait, digunakan cetakan khusus yang telah
dilakukan fabrikasi dari kayu multipleks.

Gambar 3.6 Bekisting Bata Ringan Berkait


Sumber: Dokumen pribadi
33

e. Cetakan Kubus beton (ukuran 15 cm x 15cm x 15 cm) dan kunci pas.

Gambar 3.7 Cetakan Kubus


Sumber: Dokumen Pribadi
f. Roll Meter.
g. Palu karet dan kapi.
h. Pemotong kertas, untuk memotong fiberglass yang berbentuk lembaran menjadi
ukuran 1 mm – 10 mm.
i. Sendok spesi dan cetok.
j. Gelas ukur kapasitas 1000 ml untuk kebutuhan air dan gelas ukur kapasitas 100
ml untuk pengukuran volume foam agent pada proses pencampuran bahan benda
uji.

Gambar 3.8 Gelas ukur kapasitas 1000 ml dan kapasitas 100 ml


Sumber: Dokumen Pribadi
34

k. Ember/timba, untuk tempat pengadukan adonan.

Gambar 3.9 Ember dari kaleng cat


Sumber: Dokumen Pribadi
l. Timbangan dengan kapasitas 100 kg dan ketelitian mencapai 0,1 kg, untuk
menimbang material dan benda uji, serta timbangan digital untuk menimbang
berat fiberglass dengan ketelitian 0,01 gram.

Gambar 3.10 Timbangan kapasitas 100 kg dan timbangan digital


Sumber: Dokumen Pribadi
35

3.6.3 Alat Pengujian


Pada pengujian ini diperlukan 2 alat, yaitu uji kuat tekan dan uji kuat geser.
a. Alat uji kuat tekan : mesin CTM (Compaction Testing Machine).

Gambar 3.11 Alat uji kuat tekan beton


Sumber: Dokumen pribadi
b. Alat uji kuat geser : Reaction Girder, Dial Gauge, Hydraulic Jack dan Pomba
Hydraulic jack.

Gambar 3.12 Reaction Girder tempat pengujian spesimen


Sumber: Dokumen pribadi

Gambar 13 Dial Gauge


Sumber: Dokumen pribadi
36

Gambar 3.14 Hydraulic Jack dan Pomba Hydraulic jack


Sumber: Dokumen pribadi

3.7 Rancangan Komposisi Trial Mix


Adapun desain kriteria bata ringan berkait adalah sebagai berikut:
1. Kuat tekan rencana : 4 N/mm2 = 40,7886 kg/cm2
2. Berat jenis rencana : 500 – 1000 kg/m3
3. Ukuran fiberglass : 1 mm – 10 mm
Berikut adalah 16 rencana variasi komposisi trial mix yang didapatkan dari
metode Taguchi.
Tabel 3.4 Komposisi Trial Mix Benda Uji Kubus dengan berbagai variasi
Semen Air Fiber Air Untuk Air Untuk Foam Foam Agent
Run
(gram) (ml) (gram) Pasta (ml) Agent (ml) (ml)
1 2500 1250 25 416,7 833,3 41,7
2 2500 1250 37,5 416,7 833,3 55,6
3 2500 1250 50 416,7 833,3 66,7
4 2500 1250 62,5 416,7 833,3 83,3
5 2500 1375 50 458,3 916,7 45,8
6 2500 1375 62,5 458,3 916,7 61,1
7 2500 1375 25 458,3 916,7 73,3
8 2500 1375 37,5 458,3 916,7 91,7
9 2500 1500 62,5 500,0 1000,0 50,0
10 2500 1500 25 500,0 1000,0 66,7
11 2500 1500 37,5 500,0 1000,0 80,0
12 2500 1500 50 500,0 1000,0 100,0
13 2500 1625 37,5 541,7 1083,3 54,2
14 2500 1625 50 541,7 1083,3 72,2
15 2500 1625 62,5 541,7 1083,3 86,7
16 2500 1625 25 541,7 1083,3 108,3

Mengacu pada trial sebelumnya, berat semen pada trial kubus 15 cm x 15 cm


x 15 cm, diperlukan semen 2,5 kg sehingga adonan tidak kurang atau berlebih dan
berat jenis pada saat kering tidak melebihi 1000 kg/m3. Untuk faktor air semen yang
37

diperlukan dan foam agent yang digunakan sesuai seperti tabel 3.4. Proporsi air tidak
seluruhnya dibuat untuk foam melainkan dibagi 1/3 untuk pasta semen dan 2/3 untuk
pembuatan foam. Cara ini bertujuan untuk menanggulangi adonan terlalu kering dan
kasar sehingga menghilangkan busa atau foam yang dicampurkan pada adonan dan
mengakibatkan volume menyusut.

3.8 Pembuatan Benda Uji


Proses pembuatan benda uji secara berurutan adalah persiapan alat dan bahan,
pengadukan campuran, dan pencetakan benda uji baik silinder maupun bata ringan
berkait. Langkah-langkah yang dilakukan untuk pembuatan benda uji adalah sebagai
berikut.

3.8.1 Persiapan Alat dan Bahan


a. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan, seperti memotong
lembaran fiberglass menjadi ukuran 1 mm – 10 mm dengan alat pemotong
kertas.
b. Menimbang bahan material seperti semen, foam agent, fiberglass, dan air
sesuai kebutuhan.

Gambar 3.15 Menimbang berat semen dan fiberglass


Sumber: Dokumen Pribadi
c. Menyiapkan cetakan benda uji kubus dan cetakan bata ringan berkait.

3.8.2 Pengadukan Campuran


a. Memasukkan air dan semen secara berturut-turut ke dalam ember dan diaduk
dengan bor listrik pada saat trial. Sedangkan pada pencetakan bata ringan
berkait bahan-bahan dimasukkan ke mesin pengaduk beton (mixer).
38

b. Membuat busa atau foam menggunakan mesin produksi busa atau foam
generator.

Gambar 3.16 Membuat busa dari foam generator


Sumber: Dokumen Pribadi
c. Memasukkan busa ke dalam adonan ember atau mixer sampai foam
generator tidak mengeluarkan busa lagi.

Gambar 3.17 Hasil busa dimasukkan ke dalam ember


Sumber: Dokumen Pribadi
d. Memasukkan fiberglass pada adonan, dan dilanjutkan mengaduk sampai
tercampur rata.

Gambar 3.18 Pengadukan manual pada saat trial dengan bor listrik
Sumber: Dokumen Pribadi
39

e. Memeriksa berat jenis basah campuran adukan bata ringan.

Gambar 3.19 Pemeriksaan berat basah adonan bata ringan ukuran 1 liter
Sumber: Dokumen Pribadi
3.8.3 Pencetakan Benda Uji
a. Menyiapkan cetakan. Untuk pencetakan pada trial benda uji, menggunakan
cetakan Kubus. Tujuan digunakan cetakan ini adalah nantinya benda uji akan
dilakukan pengujian kuat tekan guna untuk mengetahui kekuatan tekan yang
dapat diterima oleh benda uji yang nantinya dapat dilanjutkan untuk bahan
pembuatan bata ringan berkait.
b. Memasukkan campuran adukan bata ringan ke dalam cetakan.

Gambar 3.20 Menuang Adonan Bata Ringan Ke Dalam Cetakan Kubus


Sumber: Dokumen Pribadi
c. Getarkan perlahan dengan cara memukulkan palu karet ke cetakan untuk
memadatkan bata ringan, lalu memberi label di atas adonan dengan kertas
yang sudah diberi keterangan segera setelah menuangkan adukan.

Gambar 3.21 Memberi label pada trial mix bata ringan


Sumber: Dokumen Pribadi
40

d. Setelah 24 jam, meratakan kelebihan adonan supaya bentuk dan ukuran yang
direncanakan menjadi kubus dengan ukuran 15 cm x 15 cm x 15 cm
menggunakan kapi.
e. Menimbang berat benda uji pada timbangan kapasitas 100 kg

Gambar 3.22 Menimbang berat benda uji trial mix.


Sumber: Dokumen Pribadi
f. Lalu memasukkan ke dalam kolam perawatan (curing).

Gambar 3.23 Memasukkan benda uji ke dalam kolam curing.


Sumber: Dokumen Pribadi

3.9 Metode Pengujian


Metode pengujian adalah suatu metode dimana kita dapat mengetahui
kekuatan benda uji yang telah dibuat. Langkah-langkah penelitian yang tepat perlu
dilakukan untuk mendapatkan hasil pengujian laboratorium yang sesuai.

3.9.1 Pengujian Kuat Tekan dan Perhitungan Specific Strength


Metode pengujian dan rumus untuk perhitungan kuat tekan beton dengan
benda uji silinder pada pengujian ini berdasarkan SNI 03-1974-1990.
41

a. Tujuan: untuk memperoleh nilai kuat tekan pada benda uji bata ringan
b. Alat dan Bahan:
1) Mesin uji tekan.
2) Benda uji bata ringan berbentuk kubus.
c. Langkah kerja:
1) Mengambil benda uji yang akan ditentukan kekuatan tekannya dari bak
perendam/pematangan (curing), bersihkan sampel dari kotoran yang
menempel dengan kain yang lembab
2) Menimbang berat dan ukuran benda uji.
3) Meletakkan benda uji di mesin tekan secara centris.
4) Menjalankan mesin tekan dengan penambahan beban yang konstan
berkisar antara 2 sampai 4 kg/cm2 per detik.
5) Melakukan pembebanan sampai sampel uji menjadi hancur dan mencatat
beban maksimum yang terjadi selama pemeriksaan benda uji.
6) Mematikan mesin lalu mengeluarkan benda uji dari mesin tekan.
7) Catatlah hasil dari kuat tekan yang sudah diperoleh, lalu hitunglah kuat
tekan benda uji dengan membagi beban tekan maksimum dengan luas
penampang benda uji. Berdasarkan SNI 03-1974-1990 rumus yang
digunakan untuk menhitung kuat tekan beton adalah sebagai berikut:

Kuat tekan beton = (kg/cm2) (3.1)

Keterangan:
P = Beban tekan maksimum (kg)
A = Luas penampang benda uji (cm2)
8) Ulangi langkah diatas pada setiap variasi campuran hingga selesai.
Aspek yang lebih penting dari kepadatan atau berat jenis material adalah
dalam menghitung kekuatan spesifiknya. Kekuatan spesifik atau specific strength
adalah rasio kekuatan terhadap berat jenis material. specific strength dari suatu bahan
didapatkan dari kekuatan tarik atau kekuatan leleh dibagi dengan berat jenis bahan.
Bahan dengan specific strength tinggi akan cocok untuk aplikasi seperti pesawat
terbang dan mobil. Ini berarti bahwa bahan memiliki bobot yang ringan dengan
manfaat yang disebutkan di atas, tetapi juga memiliki kekuatan tinggi (Peirson 2005).
42

Dalam konstruksi atau aplikasi struktural, bahan rapuh hampir selalu digunakan
dalam kompresi atau struktur tekan (mis. Batu bata, batu dan beton untuk jembatan
dan bangunan). Specific strength adalah kekuatan / kerapatan - sebagian besar hanya
digunakan untuk membandingkan bahan, sehingga unit tidak penting.

3.9.2 Pengujian Kuat Geser Dinding dengan Beban Cyclic (Reversed) Load Test
Penelitian ini menguji kuat geser dinding pasangan bata ringan berkait dengan
dimensi (1,0 x 1,0 x 0,125) m yang diletakkan di atas sloof sesuai perencanaan agar
tidak terangkat saat pengujian. Proses pembuatan dinding uji dilakukan dengan cara
perakitan angkur sloof pada reaction girder, lalu melakukan pengecoran sloof
berukuran 0,13 m x 0,13 m. Pemasangan dinding bata ringan terlebih dahulu
dilakukan dengan mengaitkan satu pasangan dasar bata ringan berkait dengan sloof.
Lalu menyusun bata ringan berkait tanpa menggunakan mortar. Kemudian dilakukan
pengecoran kolom berukuran 0,13 m x 0,13 m dan ring balok berukuran 0,13 m x
0,13 m bila seluruh bata telah terpasang. Tunggu spesimen dinding hingga berumur 7
hari sehingga sampel dapat diuji.
Pengujian geser dinding bata ringan interlock dengan beban siklik mengacu
pada ASTM E2126 – 11 Standard Test Methods for Cyclic (Reversed) Load Test for
Shear Resistance of Vertical Elements of the Lateral Force Resisting Systems for
Buildings. Penyetelan (setting) alat uji siklik dilakukan dengan memasang hydraulic
jack pada siku atas dinding diletakkan sejajar in-plane dinding dan dilakukan
pembebanan siklis berulang pada kedua arah dinding. Sedangkan sisi depan
hydraulic jack dipasang dial gauge untuk mengetahui displacement lateral yang
terjadi akibat beban siklis.

Gambar 3.24 Jenis arah pembebanan


Sumber: Francisco (1997)
43

Semua dial gauge dan load cell harus sudah dikalibarasi terlebih dahulu untuk
memastikan bahwa alat-alat tersebut berfungsi secara baik dan tidak memengaruhi
hasil penelitian. Pengujian geser dinding bata ringan interlock dengan beban siklik
diperlukan beberapa orang untuk membaca dial load dan dial gauge. Beban diberi
secara bergantian pada kiri dan kanan spesimen dinding dan ditambah secara
bertahap dengan interval kenaikan yang sama yaitu 5 kN, 10 kN, 15 kN dan
seterusnya hingga dinding runtuh. Dinding dikatakan runtuh apabila tebal retak yang
terjadi lebih besar dari 4 mm (Prayuda 2015. Setiap kenaikan beban tiap bar dicatat
dial load, dial indicator, mengamati pola retak yang terjadi dan menggambarnya
pada spesimen dinding dengan spidol. Penyetelan dan letak alat hydraulic jack dapat
lebih jelas dilihat pada gambar 3.25.

Gambar 3.25 Setting uji kuat geser bidang pasangan dinding bata ringan berkait
Sumber: Dokumen pribadi
Berikut adalah tahap pembuatan spesimen dinding bata ringan berkait dan
pengaturan uji pada frame baja IWF.
1. Perakitan dan pengelasan angkur dengan tulangan kolom ke bagian bawah
frame baja. Fungsi angkur disini adalah untuk menahan agar pada saat
pengujian geser, dinding tidak terangkat dan bergeser. Angkur terbuat dari
besi drat berdiameter 10 mm sejumlah 4 buah pada tiap kolom.

(a) (b)
44

Gambar 3.26 (a) Pengelasan tulangan sloof dengan angkur; (b) Perakitan
angkur pada frame baja IWF
Sumber: Dokumen Pribadi
2. Perakitan tulangan kolom praktis dengan tulangan utama 4D10 dan sengkang
Ø6-200, dengan sloof 4D10 dan sengkang Ø6-200.

Gambar 3.27 Perakitan tulangan kolom praktis dan sloof


Sumber: Dokumen Pribadi
3. Pembuatan bekisting sloof dengan ukuran 13 x 13 x 126 cm

Gambar 3.28 Pemasangan bekisting sloof


Sumber: Dokumen Pribadi
4. Pengecoran bekisting sloof dengan perbandingan komposisi campuran 1
semen 2 pasir 3 kerikil.

Gambar 3.29 Pengecoran sloof


Sumber: Dokumen Pribadi
45

5. Penyusunan bata ringan berkait menggunakan mortar dengan perbandingan 1


semen 3 pasir pada susunan pertama dengan sloof agar terdapat ikatan antara
bata ringan dan sloof.

Gambar 3.30 Penyusunan bata ringan pada sloof dengan mortar.


Sumber: Dokumen Pribadi
6. Penyusunan bata ringan susunan ke 2 sampai ke 5 tanpa menggunakan
mortar.

Gambar 3.31 Penyusunan bata ringan ukuran 1 x 1 meter tanpa mortar.


Sumber: Dokumen Pribadi
7. Perakitan tulangan kolom dan pembuatan bekisting kolom praktis ukuran 13
x 13 cm. Lalu dilanjutkan pengecoran kolom praktis dengan komposisi
campuran 1 semen 2 pasir 3 kerikil pada kedua sisi dinding.

Gambar 3.32 Pembuatan bekisting dan pengecoran kolom praktis.


Sumber: Dokumen Pribadi
46

8. Perakitan tulangan ringbalk dengan dimensi tulangan utama 4D10 dan


sengkang Ø6-200.

Gambar 3.33 Perakitan tulangan ringbalk.


Sumber: Dokumen Pribadi
9. Pembuatan bekisting ringbalk ukuran 13 x 13 cm. Lalu dilanjutkan
pengecoran ringbalk dengan komposisi campuran 1 semen 2 pasir 3 kerikil.
Pada sisi atas dinding bata ringan berkait terdapat lubang interlocking yang
terisi beton ringbalk yang membuat dinding lebih kaku.

Gambar 3.34 Perakitan bekisting dan pengecoran ringbalk.


Sumber: Dokumen Pribadi
10. Pembuatan 2 buah stager dari kayu untuk tempat dudukan jack hidrolis dan
memposisikan kedua jack hidrolis di atas stager untuk pembebanan siklik
dengan arah sejajar bidang balok atau in plane pada balok bagian atas portal,
selanjutnya memposisikan dial gauge untuk pembacaan simpangan saat uji
geser dinding.

Gambar 3.35 Pembuatan stager kayu dan pengaturan tempat pembebanan.


Sumber: Dokumen Pribadi
47

3.10 Pemodelan dan Bentuk Nyata Bata Ringan Berkait (Interlocking)


Pada penelitian ini digunakan dua model bata ringan berkait. Keduanya
merupakan bentuk dan modelnya diambil dari jurnal dan penelitian sebelumnya
namun sedikit mengubah dimensi dan bentuk kaitnya. Berikut adalah gambaran
pemodelan dan bentuk nyata konstruksi bata ringan berkait berukuran 50 cm x 20 cm
x 12,5 cm yang akan digunakan.

3.10.1 Pemodelan Bata Ringan Berkait


Pemodelan dilakukan pada aplikasi sketch up. Langkah pertama adalah
memeriksa ukuran bata ringan yang dijual di pasaran, membuat model 3D pada
aplikasi, merencanakan dimensi kait dan lubang kaitnya, lalu mencoba
mensimulasikan pemasangan dinding pada aplikasi sehingga akan diketahui apakah
ukuran kait dan lubang kait memungkinkan untuk dipasang saat sudah diproduksi.

Gambar 3.36 Bentuk 3D Pemodelan Bata Ringan Berkait


Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 3.37 Bentuk 3D Pemodelan Dinding Bata Ringan Berkait


Sumber: Dokumen Pribadi
48

3.10.2 Bentuk Nyata Bata Ringan Berkait


Berikut adalah hasil pencetakan bata ringan berkait yang komposisinya sudah
ditentukan setelah proses perhitungan dengan metode Taguchi.

Gambar 3.38 Tampak depan bentuk nyata bata ringan berkait


Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 3.39 Tampak samping bentuk nyata bata ringan berkait


Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 3.40 Tampak atas bentuk nyata bata ringan berkait


Sumber: Dokumen Pribadi
49

Gambar 3.41 Tampak atas bentuk nyata bata ringan berkait


Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 3.42 Tampilan isometri bentuk nyata bata ringan berkait


Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 3.43 Bata ringan berkait tidak tenggelam saat dimasukkan ke dalam air
Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 3.44 Bentuk 3D Dinding Bata Ringan Berkait


Sumber: Dokumen Pribadi
50

3.10 Analisa Data


Analisia data pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui campuran bata
ringan yang optimal. Hasil pengujian berat jenis dan kuat tekan dilaksanakan dengan
metode di bab 3, dilakukan pengolahan dan perhitungan data-data lalu ditentukan
campuran yang optimal dengan metode Taguchi. Hasil analisa kuat tekan yang
diperoleh nantinya digunakan sebagai acuan dalam desain bata ringan berkait.
51

BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengujian Trial Mix


Sebelum melakukan pengujian dinding, dilakukan pengujian pendahuluan
pada trial mix benda uji kubus yang hasilnya akan dipilih yang optimum dan akan
digunakan sebagai komposisi bata ringan berkait. Pengujian trial mix tersebut yaitu:
a. Pemeriksaan ukuran
b. Pengujian berat jenis
c. Pengujian kuat tekan
d. Perhitungan biaya

4.1.1 Pemeriksaan Ukuran


Setelah dilakukan pengukuran benda uji maka didapatkan data dimensi benda
uji. Berikut adalah hasil pemeriksaan ukuran dari trial mix seluruh benda uji.
Tabel 4.1 Pemeriksaan ukuran trial mix benda uji kubus
Panjang Rata-Rata Lebar Rata-Rata Tinggi Rata-Rata
Benda SNI 03- Benda SNI 03- Benda SNI 03-
No Kode
Uji 0349- Uji 0349- Uji 0349-
(mm) 1989 (mm) 1989 (mm) 1989
1 Run 1 149 151 150
2 Run 2 150 150 150
3 Run 3 150 149 151
4 Run 4 150 151 149
5 Run 5 150 150 150
6 Run 6 150 150 150
7 Run 7 151 150 150
Toleransi Toleransi
8 Run 8 150 150 149 Toleransi
+3 mm ±2 mm
9 Run 9 150 150 149 ±2 mm
-5 mm
10 Run 10 150 150 150
11 Run 11 151 150 150
12 Run 12 150 150 150
13 Run 13 150 150 150
14 Run 14 150 150 150
15 Run 15 150 151 149
16 Run 16 150 150 150
Rata-Rata 150,06 (memenuhi) 150,13 (memenuhi) 149,81 (memenuhi)

Berdasarkan hasil pengukuran dimensi dapat ditarik kesimpulan bahwa benda


uji individu dan rata-rata masih memenuhi standar toleransi ukuran. Hal ini
52

dikarenakan benda uji dipadatkan dengan cara menggetarkan dengan palu karet dan
cetakan yang kokoh karena cetakan terbuat dari besi.

4.1.2 Pengujian Berat Jenis


Pengujian berat jenis menggunakan benda uji kubus 15 x 15 x 15 cm. Berikut
adalah hasil pengujian berat jenis trial mix benda uji kubus.
Tabel 4.2 Pengujian berat jenis trial mix berdasarkan FAS
Variasi campuran Berat Volume Berat jenis
No
Kode (kg) (m3) (kg/m3)
FAS Foam Fiber
(A) (B) (C)=(A/B)
1 RUN 1 0,50 1:20 1% 3 0,003375 888,93
2 RUN 2 0,50 1:15 1,5% 2,85 0,003375 844,44
3 RUN 3 0,50 1:12,5 2% 2,6 0,003375 770,40
4 RUN 4 0,50 1:10 2,5% 3,07 0,003375 909,67
5 RUN 5 0,55 1:20 2% 2,7 0,003375 800,00
6 RUN 6 0,55 1:15 2,5% 2,45 0,003375 725,93
7 RUN 7 0,55 1:12,5 1% 3 0,003398 883,00
8 RUN 8 0,55 1:10 1,5% 3,3 0,003353 984,34
9 RUN 9 0,60 1:20 2,5% 2,45 0,003353 730,80
10 RUN 10 0,60 1:15 1% 3,1 0,003375 918,52
11 RUN 11 0,60 1:12,5 1,5% 2,35 0,003398 691,69
12 RUN 12 0,60 1:10 2% 3,5 0,003375 1037,04
13 RUN 13 0,65 1:20 1,5% 1,8 0,003375 533,33
14 RUN 14 0,65 1:15 2% 2 0,003375 592,59
15 RUN 15 0,65 1:12,5 2,5% 2,5 0,003375 740,77
16 RUN 16 0,65 1:10 1% 3,12 0,003375 924,4444

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa berat jenis terkecil adalah 533,33
kg/m3 dan yang terbesar adalah 1037,03 kg/m3. Semua trial berada pada berat jenis
rencana yaitu pada 500-1000 kg/m3 kecuali trial nomor 12 dengan kode RUN 12
yang mempunyai berat jenis 1037,04 kg/m3. Seluruh benda uji mengapung di air
kolam perawatan karena berat jenisnya di bawah berat jenis air yaitu 1000 kg/m3.
Berdasarkan tabel 4.2 maka didapatkan 3 grafik yaitu grafik berat jenis benda
uji terhadap faktor air semen, grafik berat jenis benda uji terhadap konsentrasi foam
terhadap air, dan grafik berat jenis benda uji terhadap berat fiber terhadap berat
semen. Dari masing-masing grafik tersebut dikembangkan lagi menjadi 2 variasi
grafik.
53

4.1.2.1 Analisis Pengaruh Faktor Air Semen Terhadap Berat Jenis


Berikut adalah grafik berat jenis benda uji yang sudah dikategorikan menurut
faktor air semen dan di setiap kategori FAS terdapat 4 trial mix.

1100

1000
Berat jenis (kg/m3)

900

800

700

600

500
0,45 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70
Faktor Air Semen
Gambar 4.1 Grafik berat jenis benda uji terhadap faktor air semen

Dari grafik diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa semakin besar faktor air
semen, maka berat jenis trial mix semakin kecil. FAS berpengaruh terhadap berat
jenis trial mix karena semakin besar FAS atau semakin banyak air maka semakin
banyak pula busa yang dihasilkan. Campuran dengan busa yang banyak maka akan
menciptakan rongga udara yang semakin banyak dan mengakibatkan perbesaran
volume dan memperkecil berat jenis campuran. Namun, berat jenis terbesar berada
pada FAS 0,6 yaitu 1037,04 kg/m3. Pada penambahan FAS lebih dari 0,6 nilai
optimum berat jenis mengalami penurunan.
Berikut adalah grafik berat jenis benda uji terhadap faktor air semen namun
sudah dikategorikan menurut konsentrasi foam terhadap air dan presentase
penggunaan fiberglass.
54

1100

Berat jenis (kg/m3) 1000

900
Foam Agent

800
1:10
1:12,5
1:15
700
1:20

600

500
0,45 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70
Faktor Air Semen
Gambar 4.2 Grafik berat jenis terhadap Faktor Air Semen dan Foam agent
Dari gambar 4.2 diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa konsentrasi foam agent
1:10 menghasilkan berat jenis terbesar pada seluruh variasi FAS. Pada FAS 0,5
kecenderungan penambahan foam agent menghasilkan berat jenis yang semakin
rendah, namun pada penggunaan foam agent terbesar yaitu 1:10 menghasilkan berat
jenis terbesar. Pada FAS 0,55 dan 0,6 penambahan foam agent tidak berbanding
lurus atau berbanding terbalik dengan berat jenis, hal tersebut kemungkinan
dipengaruhi oleh variasi penambahan fiberglass. Pada FAS 0,65 penambahan foam
agent berbanding lurus dengan berat jenis yaitu semakin banyak besar konsentrasi
foam agent dalam air maka semakin besar pula berat jenisnya.
Pada gambar 4.1 didapat kesimpulan dari garis tren bahwa semakin besar
FAS maka semakin kecil berat jenis. Namun pada gambar 4.2 seharusnya dengan
konsentrasi foam agent yang sama dan seiring bertambahnya FAS maka berat
jenisnya pun bertambah kecil. Tetapi hal tersebut tidak terjadi pada konsentrasi foam
agent 1:10 dari penambahan FAS 0,5 ke 0,55 yang berat jenisnya semakin bertambah
besar. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena pada konsentrasi foam agent 1:10,
penggunaan fiberglass pada FAS 0,5 yaitu 2,5%, lebih besar daripada penggunaan
fiberglass pada FAS 0,55 yaitu 1,5% yang dapat dilihat pada gambar 4.3. Perlu
diketahui juga bahwa seiring berkurangnya penggunaan fiberglass maka berat
jenisnya semakin besar. Hal tersebut dapat dilihat dari garis tren pada gambar 4.7
55

1100

Berat jenis (kg/m3) 1000

900
Fiberglass
800 1%
1,5 %
700 2%
2,5 %

600

500
0,45 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70

Faktor Air Semen


Gambar 4.3 Grafik berat jenis terhadap Faktor Air Semen dan fiberglass

4.1.2.2 Analisis Pengaruh Konsentrasi Foam Terhadap Berat Jenis


Berikut adalah grafik pengaruh konsentrasi foam agent terhadap berat jenis
benda uji trial mix.
1100

1000
Berat jenis (kg/m3)

900

800

700

600

500
0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09 0,10 0,11
Konsentrasi Foam Agent terhadap air

Gambar 4.4 Grafik berat jenis benda uji terhadap konsentrasi foam terhadap air

Dari garis tren pada gambar 4.4 bisa ditarik kesimpulan bahwa semakin besar
konsentrasi foam terhadap air maka semakin besar berat jenis benda uji tersebut.
56

Berat jenis terbesar pada campuran dengan konsentrasi 0,10 atau 1:10 dan berat jenis
terkecil dihasilkan pada campuran dengan konsentrasi 0,05 atau 1:20. Berikut adalah
grafik berat jenis benda uji terhadap konsentrasi foam agent terhadap air namun
sudah dikategorikan menurut faktor air semen dan presentase penggunaan fiberglass.
1100

1000
Berat jenis (kg/m3)

900
FAS
0,65
800
0,6
700 0,55
0,5
600

500
0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09 0,10 0,11
Konsentrasi Foam Agent terhadap air

Gambar 4.5 Grafik berat jenis benda uji terhadap foam agent menurut FAS

Dari gambar 4.5 didapatkan data bahwa pada konsentrasi foam 1:20 dan 1:15
kecenderungan penambahan FAS menghasilkan berat jenis yang semakin kecil.
Namun pada konsentrasi foam 1:15 pada FAS 0,6 berat jenis kembali besar, hal
tersebut kemungkinan terjadi karena penurunan penggunaan fiberglass yang
mengakibatkan berat jenis semakin besar, hal tersebut juga terjadi pada kasus
lainnya.
Pada kesimpulan sebelumnya didapatkan bahwa semakin besar konsentrasi
foam terhadap air maka semakin besar berat jenis benda uji tersebut, namun dengan
FAS yang sama yaitu 0,5 dan pada penambahan konsentrasi foam 0,05 ke 0,067 berat
jenis mengalami penurunan. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena pada foam 0,05
penggunaan fiberglass lebih kecil yaitu 1% daripada penggunaan fiberglass pada
foam 0,067 yaitu 1,5% yang mengakibatkan berat jenis lebih kecil. Hasil berat jenis
menurut penggunaan fiberglass pada variasi konsentrasi foam terhadap air dilihat
pada grafik di bawah ini.
57

1100

1000

Berat jenis (kg/m3)


900
Fiberglass
800 2,5 %
2%
700 1,5 %
1%
600

500
0,04 0,06 0,08 0,10
Konsentrasi Foam Agent terhadap air
Gambar 4.6 Grafik berat jenis benda uji terhadap foam agent menurut fiberglass

4.1.2.3 Analisis Pengaruh Berat Fiberglass Terhadap Berat Jenis


Berikut adalah grafik hubungan persentase berat fiberglass terhadap berat
jenis benda uji trial mix.

1100

1000
Berat jenis (kg/m3)

900

800

700

600

500
0,50% 1,00% 1,50% 2,00% 2,50% 3,00%
Berat Fiber terhadap Berat Semen
Gambar 4.7 Grafik berat jenis benda uji terhadap berat fiber

Dari garis tren pada gambar 4.7 bisa ditarik kesimpulan bahwa semakin besar
persentase berat fiberglass dari berat semen maka semakin rendah berat jenis benda
uji tersebut. Hasil berat jenis tertinggi didapatkan pada nilai optimum penggunaan
fiberglass 2%, namun pada penggunaan fiberglass lebih dari 2% berat jenis
mengalami penurunan kembali.
Berikut adalah grafik berat jenis benda uji terhadap konsentrasi foam agent
terhadap air namun sudah dikategorikan menurut faktor air semen dan presentase
penggunaan fiberglass.
58

1100

1000

Berat jenis (kg/m3)


900
FAS
800 0,65
0,6
700
0,55
600 0,5

500
0,50% 1,00% 1,50% 2,00% 2,50% 3,00%
Berat Fiber terhadap Berat Semen
Gambar 4.8 Grafik berat jenis terhadap presentase fiberglass menurut FAS

Pada kesimpulan sebelumnya didapatkan bahwa semakin besar persentase


berat fiberglass dari berat semen maka semakin rendah berat jenis benda uji tersebut.
Namun saat FAS 0,55 pada penambahan presentase berat fiber dari 1% ke 1,5%
terjadi peningkatan berat jenis, hal tersebut kemungkinan dikarenakan foam agent
pada 1% mengalami peningkatan dari 1:12,5 ke 1:10 yang mengakibatkan
penambahan berat jenis. Dari kesimpulan subbab sebelumnya didapatkan bahwa
semakin besar konsentrasi foam agent maka semakin besar juga berat jenisnya.
1100

1000
Berat jenis (kg/m3)

900 Foam Agent

800 1:10
1:12,5
700
1:15
600 1:20

500
0,50% 1,00% 1,50% 2,00% 2,50% 3,00%

Berat Fiber terhadap Berat Semen


Gambar 4.9 Grafik hasil berat jenis pada presentase fiberglass menurut foam agent

4.1.3 Pengujian Kuat Tekan


Benda uji yang digunakan adalah benda uji kubus berukuran 15 cm x 15 cm x
15 cm. Benda uji diberikan beban maksimum sampai batas benda uji bisa menerima
beban tersebut. Hasil uji kuat tekan kubus dapat dilihat pada tabel 4.3.
59

Tabel 4.3 Hasil uji kuat tekan trial mix benda uji kubus
Gaya Luas Kuat
Konversi
Umur Gaya Tekan
Tekan Tekan Tekan
28 hari
Kode (hari) (kN) (kg) (cm2) (kg/cm2)
(kg/cm2) Mutu
(E)=(D*
(A) (B)=(A*101,97) (C) (D)=(B/C)
konversi)
RUN 1 46 65 6628,05 226,50 29,26 27,66 IV
RUN 2 46 70 7137,90 225,00 31,72 29,98 IV
RUN 3 47 65 6628,05 224,99 29,46 27,84 IV
RUN 4 49 90 9177,30 224,99 40,79 38,20 III
RUN 5 46 60 6118,20 225,00 27,19 25,70 IV
RUN 6 46 55 5608,35 225,00 24,93 23,56 IV
RUN 7 47 75 7647,75 225,00 33,99 32,03 IV
RUN 8 49 95 9687,15 223,50 43,34 40,59 III
RUN 9 46 50 5098,50 223,50 22,81 21,56 IV
RUN 10 46 110 11216,70 225,00 49,85 47,11 III
RUN 11 47 55 5608,35 225,00 24,93 23,56 IV
RUN 12 49 170 17334,90 225,00 77,04 72,16 II
RUN 13 46 30 3059,10 225,00 13,60 12,85 -
RUN 14 46 40 4078,80 225,00 18,13 17,13 -
RUN 15 47 50 5098,50 224,99 22,66 21,42 IV
RUN 16 49 140 14275,80 225,00 63,45 59,42 III

4.1.3.1 Analisis Pengaruh Faktor Air Semen Terhadap Kuat Tekan


Berikut adalah Tabel hasil kuat tekan berdasarkan variasi komposisi
campuran dan selanjutnya akan dibuat grafik kuat tekan yang sudah dikategorikan
menurut faktor air semen dan di setiap kategori FAS terdapat 4 trial mix.
Tabel 4.4 Hasil uji kuat tekan trial mix berdasarkan variasi campuran
Variasi campuran Kuat Tekan
No Kode
Faktor Air Semen Foam Agent Fiberglass (kg/cm2)
1 RUN 1 0,50 1:20 1% 27,66
2 RUN 2 0,50 1:15 1,5% 29,98
3 RUN 3 0,50 1:12,5 2% 27,84
4 RUN 4 0,50 1:10 2,5% 38,20
5 RUN 5 0,55 1:20 2% 25,70
6 RUN 6 0,55 1:15 2,5% 23,56
7 RUN 7 0,55 1:12,5 1% 32,03
8 RUN 8 0,55 1:10 1,5% 40,59
9 RUN 9 0,60 1:20 2,5% 21,56
10 RUN 10 0,60 1:15 1% 47,11
11 RUN 11 0,60 1:12,5 1,5% 23,56
12 RUN 12 0,60 1:10 2% 72,16
13 RUN 13 0,65 1:20 1,5% 12,85
14 RUN 14 0,65 1:15 2% 17,13
15 RUN 15 0,65 1:12,5 2,5% 21,42
16 RUN 16 0,65 1:10 1% 59,42
60

80

70

60
Kuat Tekan (kg/cm2)
50

40

30

20

10

0
0,45 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70
Faktor Air Semen
Gambar 4.10 Grafik kuat tekan terhadap faktor air semen

Dari grafik diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa semakin besar faktor air
semen, maka hasil kuat tekan trial mix semakin kecil. Namun, nilai optimum kuat
tekan terbesar berada pada FAS 0,6 yaitu 72,16 kg/cm2. Nilai optimum pada
penambahan FAS lebih dari 0,6 mengalami penurunan. Berikut adalah grafik kuat
tekan benda uji terhadap faktor air semen namun sudah dikategorikan menurut
konsentrasi foam terhadap air dan presentase penggunaan fiberglass.

80

70

60
Kuat Tekan (kg/cm2)

50 Foam Agent
40 1:10
1:12,5
30 1:15
1:20
20

10

0
0,45 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70
Faktor Air Semen
Gambar 4.11 Grafik kuat tekan terhadap FAS menurut foam agent
61

Dari gambar 4.11 diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa konsentrasi foam
agent 1:10 menghasilkan kuat tekan terbesar pada seluruh variasi FAS. Pada seluruh
variasi FAS kecenderungan penambahan foam agent menghasilkan kuat tekan yang
semakin tinggi. Penggunaan foam agent 1:12,5 dan 1:20 mengalami penurunan nilai
kuat tekan seiring dengan penambahan faktor air semen. Pada penggunaan foam
agent 1:10 dan 1:15 mengalami kenaikan seiring dengan penambahan FAS dan
mencapai nilai optimum pada FAS 0,6 namun pada penambahan FAS lebih dari 0,6
nilai kuat tekan mengalami penurunan.
Pada gambar 4.10 didapat kesimpulan dari garis tren bahwa semakin besar
FAS maka semakin kecil nilai kuat tekannya. Namun pada gambar 4.11 seharusnya
dengan konsentrasi foam agent yang sama dan seiring bertambahnya FAS maka nilai
kuat tekannya bertambah kecil. Tetapi hal tersebut tidak terjadi pada konsentrasi
foam agent 1:10 dari penambahan FAS 0,5 ke 0,55 yang kuat tekannya malah
bertambah besar. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena pada konsentrasi foam
agent 1:10, penggunaan fiberglass pada FAS 0,5 yaitu 2,5%, lebih besar daripada
penggunaan fiberglass pada FAS 0,55 yaitu 1,5% yang dapat dilihat pada gambar
4.12. Perlu diketahui juga bahwa seiring berkurangnya penggunaan fiberglass maka
nilai kuat tekannya semakin besar. Hal tersebut dapat dilihat dari garis tren pada
gambar 4.16

80

70

60
Kuat Tekan (kg/cm2)

50
Fiberglass
1%
40
1,5 %
30 2%
2,5 %
20

10

0
0,45 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70
Faktor Air Semen
Gambar 4.12 Grafik kuat tekan terhadap FAS menurut persentase fiberglass
62

4.1.3.2 Analisis Pengaruh Konsentrasi Foam Agent Terhadap Kuat Tekan


Berikut adalah grafik kuat tekan benda uji yang sudah dikategorikan menurut
konsentrasi foam agent dan di setiap kategori konsentrasi foam agent terdapat 4 trial
mix.
80
70
Kuat Tekan (kg/cm2)

60
50
40
30
20
10
00
0,04 0,06 0,08 0,10
Konsentrasi Foam Agent terhadap air
Gambar 4.13 Grafik kuat tekan benda uji terhadap konsentrasi foam agent
Dari garis tren pada gambar 4.13 bisa ditarik kesimpulan bahwa semakin
besar konsentrasi foam terhadap air maka semakin besar nilai kuat tekan benda uji
tersebut. Nilai kuat tekan terbesar pada campuran dengan konsentrasi 0,10 atau 1:10
dan nilai kuat tekan terkecil dihasilkan pada campuran dengan konsentrasi 0,05 atau
1:20. Berikut adalah grafik nilai kuat tekan benda uji terhadap konsentrasi foam
agent terhadap air namun sudah dikategorikan menurut faktor air semen dan
presentase penggunaan fiberglass.
80
70
Kuat Tekan (kg/cm2)

60
50
FAS
40 0,65
0,6
30 0,55
0,5
20
10
00
0,04 0,06 0,08 0,10
Konsentrasi Foam Agent terhadap air
Gambar 4.14 Grafik kuat tekan terhadap konsentrasi foam agent menurut FAS
63

Dari gambar 4.14 didapatkan data bahwa pada konsentrasi foam 1:20, 1:15
dan 1:12,5 kecenderungan penambahan FAS menghasilkan nilai kuat tekan yang
semakin kecil. Namun pada konsentrasi foam 1:15 pada FAS 0,6 nilai kuat tekan
kembali besar, hal tersebut kemungkinan terjadi karena penurunan penggunaan
fiberglass yang mengakibatkan nilai kuat tekan semakin besar, hal tersebut juga
terjadi pada kasus lainnya.
Pada kesimpulan sebelumnya didapatkan bahwa semakin besar konsentrasi
foam terhadap air maka semakin besar nilai kuat tekan benda uji tersebut, namun
dengan FAS yang sama yaitu 0,6 dan pada penambahan konsentrasi foam 0,067 ke
0,08 berat jenis mengalami penurunan. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan
terjadi penambahan penggunaan fiberglass pada foam 0,08 yaitu 1,5% dari
sebelumnya 1% pada konsentrasi foam 0,067 yang mengakibatkan nilai kuat tekan
lebih kecil. Nilai kuat tekan menurut penggunaan fiberglass pada variasi konsentrasi
foam dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
80

70

60
Kuat Tekan (kg/cm2)

50 Fiberglass
2,5 %
40
2%
1,5 %
30
1%
20

10

00
0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09 0,10 0,11
Konsentrasi Foam Agent terhadap air
Gambar 4.15 Grafik kuat tekan terhadap foam agent menurut fiberglass

4.1.3.3 Analisis Pengaruh Presentase Fiberglass Terhadap Kuat Tekan


Berikut adalah grafik hubungan persentase berat fiberglass terhadap nilai kuat
tekan benda uji trial mix.
64

80

70

60
Kuat Tekan (kg/cm2) 50

40

30

20

10

0
0,50% 1,00% 1,50% 2,00% 2,50% 3,00%
Berat Fiber terhadap Berat Semen
Gambar 4.16 Grafik kuat tekan terhadap persentase berat fiberglass
Dari garis tren pada gambar 4.16 bisa ditarik kesimpulan bahwa semakin
besar persentase berat fiberglass dari berat semen maka semakin rendah nilai kuat
tekan benda uji tersebut. Hasil nilai kuat tekan tertinggi didapatkan pada nilai
optimum penggunaan fiberglass 2%, namun pada penggunaan fiberglass lebih dari
2% nilai kuat tekan mengalami penurunan kembali.
Berikut adalah grafik nilai kuat tekan benda uji terhadap konsentrasi foam
agent namun sudah dikategorikan menurut faktor air semen dan presentase
penggunaan fiberglass.
80
70
Kuat Tekan (kg/cm2)

60
FAS
50
0,65
40
0,6
30 0,55
20 0,5

10
0
0,50% 1,00% 1,50% 2,00% 2,50% 3,00%
Berat Fiber terhadap Berat Semen
Gambar 4.17 Grafik kuat tekan menurut FAS pada variasi persentase fiberglass

Pada kesimpulan sebelumnya didapatkan bahwa semakin besar persentase


berat fiberglass maka semakin rendah nilai kuat tekan benda uji tersebut. Namun
65

pada gambar 4.17 saat FAS 0,55 dan 0,5 pada penambahan presentase berat fiber
dari 1% ke 1,5% terjadi peningkatan nilai kuat tekan, dari kesimpulan subbab
sebelumnya didapatkan bahwa semakin besar konsentrasi foam agent maka semakin
besar juga nilai kuat tekannya. Maka hal tersebut kemungkinan dikarenakan foam
agent pada 1% mengalami peningkatan yang mengakibatkan penambahan nilai kuat
tekan, yang dapat dilihat pada gambar 4.18 di bawah ini.

80

70

60
Kuat Tekan (kg/cm2)

Foam Agent
50
1:10
40 1:12,5
30 1:15
1:20
20

10

0
0,50% 1,00% 1,50% 2,00% 2,50% 3,00%
Berat Fiber terhadap Berat Semen
Gambar 4.18 Grafik kuat tekan menurut foam agent pada variasi fiberglass

4.1.3.4 Analisis Specific Strength dan Penentuan Komposisi Optimal


Penerapan metode taguchi bertujuan untuk mencari specific strength yang
optimal dengan memperhatikan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada
komposisi campuran. Peningkatan atau perbaikan berat jenis dan kuat tekan dapat
dicapai dengan pengen dalian kualitas yang tepat. Terdapat dua pendekatan yang
dapat digunakan dalam pengendalian kualitas, yaitu secara on-line dan off-line.
Secara on-line pengendalian kualitas dilakukan saat proses produksi sedang berjalan,
sedangkan secara off-line dilakukan pada tahap awal dan bersifat preventif.
Salah satu metode pengendalian kualitas secara off-line adalah metode
Taguchi yang diusulkan oleh Dr. Genichi Taguchi. Metode ini bertujuan untuk
menghasilkan produk yang lebih tangguh dan berupaya mengoptimalkan rancangan
produk dan proses sehingga performansi akhir akan sesuai dengan target (Zayendra
dan Yozza, 2016). Berikut ini adalah tabel dan grafik hasil perhitungan specific
66

strength yang didapatkan dari hasil berat jenis dan kuat tekan trial mix benda uji
kubus.
Tabel 4.5 Specific Strength trial mix benda uji kubus
Berat Kuat Ultimate Specific
Berat Volume
jenis Tekan Strength Strength
Kode (kg) (m3) (kg/m3) (kg/cm2) (N/m2) (Nm/kg)
(A) (B) (C)=(A/B) (D) (E)=(D*98066,5) (F)=(E/C)
RUN 1 3 0,00337 888,93 27,66 2712136,42 3051,02
RUN 2 2,85 0,00338 844,44 29,98 2940234,05 3481,86
RUN 3 2,6 0,00337 770,40 27,84 2730338,68 3544,03
RUN 4 3,07 0,00337 909,67 38,20 3780468,94 4155,87
RUN 5 2,7 0,00338 800,00 25,70 2520200,61 3150,25
RUN 6 2,45 0,00338 725,93 23,56 2310183,89 3182,40
RUN 7 3 0,00340 883,00 32,03 3150250,77 3567,66
RUN 8 3,3 0,00335 984,34 40,59 4017098,29 4081,01
RUN 9 2,45 0,00335 730,80 21,56 2114262,26 2893,09
RUN 10 3,1 0,00338 918,52 47,11 4620367,79 5030,24
RUN 11 2,35 0,00340 691,69 23,56 2310183,89 3339,94
RUN 12 3,5 0,00338 1037,04 72,16 7140568,40 6885,55
RUN 13 1,8 0,00338 533,33 12,85 1260100,31 2362,69
RUN 14 2 0,00338 592,59 17,13 1680133,74 2835,23
RUN 15 2,5 0,00337 740,77 21,42 2100260,52 2835,23
RUN 16 3,12 0,00338 924,44 59,42 5880468,10 6361,08

80
70
60
50
Kuat Tekan (kg/cm2)

40
30
20
10
00
500,00 600,00 700,00 800,00 900,00 1000,00 1100,00
Berat jenis (kg/m3)
Gambar 4.19 Grafik hubungan nilai kuat tekan dan berat jenis trial mix
Pada penelitian ini akan dikaji penggunaan metode Taguchi untuk
optimalisasi specific strength bata ringan. Percobaan dilakukan di Laboratorium
67

Teknologi Bahan Politeknik Negeri Malang dengan melibatkan tiga faktor yaitu
faktor air semen, penambahan prosentase fiberglass terhadap berat semen, dan
konsentrasi foam agent terhadap air dengan respon specific strength bata ringan.
Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data primer dan diperoleh secara
langsung melalui percobaan. Faktor dan level yang digunakan pada percobaan ini
dapat dilihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.6 Faktor dan Level Percobaan
Level
kode Faktor dan Level Percobaan
1 2 3 4
A Faktor Air Semen 0,50 0,55 0,60 0,65
B Konsentrasi Foam terhadap air 1:10 1:12,5 1:15 1:20
C Persentase berat fiberglass terhadap semen 1% 1,5% 2% 2,5%

Berdasarkan jumlah faktor dan level dapat diketahui bahwa rancangan


percobaan pada Taguchi menggunakan matriks orthogonal array L16(43). Pada Tabel
4.7 diberikan unsur matriks orthogonal array L16(43) dengan nilai level pada tiap
faktor.
Tabel 4.7 Matriks orthogonal array
Faktor
Run
A B C
1 0,50 1:20 1%
2 0,50 1:15 1,5%
3 0,50 1:12,5 2%
4 0,50 1:10 2,5%
5 0,55 1:20 2%
6 0,55 1:15 2,5%
7 0,55 1:12,5 1%
8 0,55 1:10 1,5%
9 0,60 1:20 2,5%
10 0,60 1:15 1%
11 0,60 1:12,5 1,5%
12 0,60 1:10 2%
13 0,65 1:20 1,5%
14 0,65 1:15 2%
15 0,65 1:12,5 2,5%
16 0,65 1:10 1%
68

Pelaksanaan percobaan dilakukan sesuai dengan perencanaan percobaan. Pada


tabel 4.8 diberikan hasil percobaan yaitu specific strength bata ringan kubus 15 x 15
x 15 cm, dengan satu kali pengulangan pada setiap run.
Tabel 4.8 Hasil Percobaan
Faktor Specific Strength
Run
A B C (Nm/kg)
1 1 4 1 3051,02
2 1 3 2 3481,86
3 1 2 3 3544,03
4 1 1 4 4155,87
5 2 4 3 3150,25
6 2 3 4 3182,40
7 2 2 1 3567,66
8 2 1 2 4081,01
9 3 4 4 2893,09
10 3 3 1 5030,24
11 3 2 2 3339,94
12 3 1 3 6885,55
13 4 4 2 2362,69
14 4 3 3 2835,23
15 4 2 4 2835,23
16 4 1 1 6361,08

Setelah mendapatkan data specific strength, maka dilakukan tahap analisis


data. Tahap analisis data meliputi menghitung Rata-Rata, menghitung Signal to
Noise Ratio (SNR), menghitung Efek Faktor dari Rata-Rata, dan menghitung Efek
Faktor dari Signal to Noise Ratio (SNR).

e. Menghitung rata-rata (ȳ)


Untuk mencari nilai rata-rata data kita dapat menggunakan rumus 2.1 pada
bab 2 yaitu sebagai berikut.

ȳ=

maka ȳ run 1 =

= 3051,02
dari contoh perhitungan yang dilakukan maka diperoleh data rata-rata (ȳ)
seperti pada tabel 4.9 di bawah ini.
69

Tabel 4.9 Nilai Rata-rata


Specific Strength
Run Rata-rata (ȳ)
(Nm/kg)
1 3051,02 3051,02
2 3481,86 3481,86
3 3544,03 3544,03
4 4155,87 4155,87
5 3150,25 3150,25
6 3182,40 3182,40
7 3567,66 3567,66
8 4081,01 4081,01
9 2893,09 2893,09
10 5030,24 5030,24
11 3339,94 3339,94
12 6885,55 6885,55
13 2362,69 2362,69
14 2835,23 2835,23
15 2835,23 2835,23
16 6361,08 6361,08

f. Menghitung Signal to Noise Ratio (SNR)


SNR dapat dicari menggunakan rumus 2.2 pada bab 2 yaitu sebagai berikut.

SNR = -10log10[ ∑ ]

Nilai Signal to Noise Ratio (SNR) dari data dapat dilihat pada tabel 4.10.
Tabel 4.10 Nilai Nilai Signal to Noise Ratio (SNR)
Specific Strength
Run Signal to Noise Ratio (SNR)
(Nm/kg)
1 3051,02 -69,689
2 3481,86 -70,836
3 3544,03 -70,990
4 4155,87 -72,373
5 3150,25 -69,967
6 3182,40 -70,055
7 3567,66 -71,048
8 4081,01 -72,215
9 2893,09 -69,227
10 5030,24 -74,032
11 3339,94 -70,475
12 6885,55 -76,759
13 2362,69 -67,468
14 2835,23 -69,052
15 2835,23 -69,052
16 6361,08 -76,071
70

g. Menghitung efek faktor dari rata-rata (ȳ)


Jumlah untuk faktor A :
A1 = + + +
A2 = + + +
A3 = + + +
A4 = + + +
Jumlah untuk faktor B, C, dan D dapat digunakan rumus yang sama dengan
memperhatikan letak level masing-masing faktor pada unsur matriks
orthogonal array. Perhitungan nilai efek faktor dari rata-rata (ȳ) dilakukan
dengan mengurangi rata-rata terbesar dengan rata-rata terkecil, sehingga
diperoleh Tabel 4.11.
Tabel 4.11 Nilai Efek Faktor dari rata-rata (ȳ)

Faktor Level Jumlah Rata-Rata Efek Faktor Peringkat

1 14232,774 3558,194
2 13981,313 3495,328 1041,875
A 3
3 18148,811 4537,203
4 14394,223 3598,556
1 21483,506 5370,877
2 13286,853 3321,713 2506,616
B 1
3 14529,717 3632,429
4 11457,044 2864,261
1 18009,999 4502,500
2 13265,487 3316,372
C 1235,855 2
3 16415,057 4103,764
4 13066,578 3266,644

Dapat disimpulkan bahwa faktor B (Konsentrasi foam) memiliki pengaruh


terbesar pada specific strength. Dari rata-rata tiap faktor dipilih nilai paling besar
untuk disarankan sebagai rancangan usulan karena karakteristik mutu pada kasus ini
adalah bigger is better sehingga dari semua analisis diatas didapatkan rancangan
usulan A3, B1, dan C1 yaitu FAS 0,6, konsentrasi foam 1:10, dan fiber 1% dari berat
semen.
h. Menghitung Efek Faktor dari Signal to Noise Ratio (SNR)
Jumlah untuk faktor A adalah :
A1 = + + +
71

A2 = + + +
A3 = + + +
A4 = + + +
i. Jumlah untuk faktor B, C, dan D dapat digunakan rumus yang sama dengan
memperhatikan letak level masing-masing faktor pada unsur matriks
orthogonal array. Perhitungan nilai efek faktor dari Signal to Noise Ratio
(SNR) dilakukan dengan mengurangi rata-rata terbesar dengan rata-rata
terkecil, sehingga diperoleh Tabel 4.12.
Tabel 4.12 Nilai Efek Faktor dari Signal to Noise Ratio (SNR)

Faktor Level Jumlah Rata-Rata Efek Faktor Peringkat

1 -283,888 -70,972
2 -283,285 -70,821 2,213 3
A
3 -290,493 -72,623
4 -281,642 -70,411
1 -297,418 -74,354
2 -281,564 -70,391 5,267 1
B
3 -283,975 -70,994
4 -276,351 -69,088
1 -290,839 -72,710
2 -280,994 -70,249
C 2,533 2
3 -286,767 -71,692
4 -280,707 -70,177

Dapat disimpulkan bahwa faktor B (Konsentrasi foam) memiliki pengaruh


terbesar pada specific strength. Dari rata-rata tiap faktor dipilih nilai paling kecil
untuk disarankan sebagai rancangan usulan sehingga dari semua analisis diatas
didapatkan rancangan usulan A3, B1, dan C1 yaitu FAS 0,6, konsentrasi foam 1:10,
dan fiber 1% dari berat semen.
Berdasarkan analisis data menggunakan metode Taguchi dengan menghitung
Rata-Rata, menghitung Signal to Noise Ratio (SNR), menghitung Efek Faktor dari
Rata-Rata, dan menghitung Efek Faktor dari Signal to Noise Ratio (SNR) dapat
disimpulkan bahwa semua perhitungan dan analisis memperlihatkan hasil yang sama
yaitu specific strength akan optimal jika menggunakan rancangan usulan A3, B1, dan
C1 yaitu FAS 0,6, konsentrasi foam 1:10, dan fiber 1% dari berat semen.
72

Berdasarkan hasil pengujian kuat tekan, perhitungan specific strength, dan


hasil perhitungan metode taguchi di atas, maka trial yang akan dipilih untuk
pembuatan bata ringan berkait adalah Run-12 karena mempunyai kuat tekan dan
specific strength paling tinggi, serta memiliki kesamaan komposisi paling mendekati
dengan rancangan usulan yaitu FAS 0,6, konsentrasi foam 1:10, dan fiberglass 1%.

4.1.4 Perhitungan Kebutuhan Biaya Material


Perhitungan kebutuhan biaya yang diperlukan untuk memproduksi 1 m3 bata
ringan berkait dapat dilakukan dengan cara menghitung kebutuhan biaya setiap
benda uji pada trial mix dan mengkonversi volumenya dari satuan 0,003375 m3 ke
dalam satuan 1 m3. Berikut adalah tabel hasil perhitungan biaya trial mix bata ringan
berkait.
Tabel 4.13 Perhitungan kebutuhan biaya bata ringan per m3
Harga
Jumlah
Fiber Foam Semen Fiber Foam
Semen Jumlah harga per
glass agent putih glass agent
(kg) harga m3
Run (gr) (ml) (Rp (Rp (Rp
(Rp) (Rp)
2500/kg) 20/gr) 30/ml)
(D)=(A* (E)=( (F)=(C (G)=(D+ (H)=(G/0,0
(A) (B) (C)
2500) B*20) *30) E+F) 03375)
1 2,5 25 41,7 6.250 500 1.250 8.000 2.370.370
2 2,5 37,5 55,6 6.250 750 1.667 8.667 2.567.901
3 2,5 50 66,7 6.250 1.000 2.000 9.250 2.740.741
4 2,5 62,5 83,3 6.250 1.250 2.500 10.000 2.962.963
5 2,5 50 45,8 6.250 1.000 1.375 8.625 2.555.556
6 2,5 62,5 61,1 6.250 1.250 1.833 9.333 2.765.432
7 2,5 25 73,3 6.250 500 2.200 8.950 2.651.852
8 2,5 37,5 91,7 6.250 750 2.750 9.750 2.888.889
9 2,5 62,5 50,0 6.250 1.250 1.500 9.000 2.666.667
10 2,5 25 66,7 6.250 500 2.000 8.750 2.592.593
11 2,5 37,5 80,0 6.250 750 2.400 9.400 2.785.185
12 2,5 50 100,0 6.250 1.000 3.000 10.250 3.037.037
13 2,5 37,5 54,2 6.250 750 1.625 8.625 2.555.556
14 2,5 50 72,2 6.250 1.000 2.167 9.417 2.790.123
15 2,5 62,5 86,7 6.250 1.250 2.600 10.100 2.992.593
16 2,5 25 108,3 6.250 500 3.250 10.000 2.962.963

Dari tabel di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa biaya paling rendah
pembuatan bata ringan berkait dengan bahan semen putih yaitu Rp 2.370.000,00
masih lebih mahal daripada harga bata ringan di pasaran yaitu di kisaran harga Rp
550.000,00 sampai Rp 780.000,00. Kebutuhan biaya yang besar tersebut dikarenakan
73

penggunaan semen putih yang harganya dua kali lipat harga semen PPC biasa. Dari
tabel diatas didapatkan 3 analisa harga berdasarkan faktor air semen, konsentrasi
foam agent, dan presentase berat fiberglass yang digunakan.

4.1.4.1 Analisis Pengaruh Faktor Air Semen Terhadap Biaya Produksi


Berikut adalah grafik biaya produksi benda uji yang sudah dikategorikan
menurut faktor air semen dan di setiap kategori FAS terdapat 4 trial mix.

3.100.000

3.000.000

2.900.000
Harga per m3 (Rp)

2.800.000

2.700.000

2.600.000

2.500.000

2.400.000

2.300.000
0,45 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70
Faktor Air Semen

Gambar 4.20 Grafik biaya produksi benda uji terhadap faktor air semen

Dari grafik diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa semakin besar faktor air
semen, maka biaya produksi trial mix semakin besar. FAS berpengaruh terhadap
biaya produksi karena semakin besar FAS atau semakin banyak air maka
penggunaan foam agent juga semakin besar. Namun, biaya produksi terbesar berada
pada FAS 0,6 yaitu Rp 3.037.037,00. Pada penambahan FAS lebih dari 0,6 nilai
optimum biaya produksi mengalami penurunan.
Berikut adalah grafik biaya produksi benda uji terhadap faktor air semen
namun sudah dikategorikan menurut konsentrasi foam terhadap air dan presentase
penggunaan fiberglass
74

3.100.000

3.000.000

2.900.000 Foam Agent


Harga per m3 (Rp)

2.800.000 1:10

2.700.000 1:12,5
1:15
2.600.000
1:20
2.500.000

2.400.000

2.300.000
0,45 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70
Faktor Air Semen
Gambar 4.21 Grafik biaya produksi terhadap Faktor Air Semen dan Foam agent

3.100.000

3.000.000

2.900.000
Harga per m3 (Rp)

2.800.000 Fiberglass
1%
2.700.000
1,5 %
2.600.000 2%
2,5 %
2.500.000

2.400.000

2.300.000
0,45 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70
Faktor Air Semen
Gambar 4.22 Grafik biaya produksi terhadap Faktor Air Semen dan fiberglass

Dari gambar 4.21 diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa konsentrasi foam
agent 1:10 menghasilkan biaya produksi terbesar pada FAS 0,5, 0,55 dan 0,6. Pada
FAS 0,65 biaya produksi paling tinggi dihasilkan saat konsentrasi foam agent 1:12.
Pada semua variasi FAS kecenderungan penambahan foam agent menghasilkan
biaya produksi yang semakin tinggi. Pada FAS 0,55 dan 0,6 penambahan foam agent
tidak berbanding lurus dengan biaya produksi, hal tersebut kemungkinan dipengaruhi
oleh variasi penambahan fiberglass.
Pada gambar 4.20 didapat kesimpulan dari garis tren bahwa semakin besar
FAS maka semakin tinggi biaya produksi. Namun pada gambar 4.21 seharusnya
75

dengan konsentrasi foam agent yang sama dan seiring bertambahnya FAS maka
biaya produksi pun bertambah besar. Tetapi hal tersebut tidak terjadi pada
konsentrasi foam agent 1:10 dari penambahan FAS 0,5 ke 0,55 yang biaya
produksinya menurun. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena pada konsentrasi
foam agent 1:10, penggunaan fiberglass pada FAS 0,5 yaitu 2,5%, lebih besar
daripada penggunaan fiberglass pada FAS 0,55 yaitu 1,5% yang dapat dilihat pada
gambar 4.22. Perlu diketahui juga bahwa seiring berkurangnya penggunaan
fiberglass maka biaya produksinya semakin rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari
garis tren pada gambar 4.26

4.1.4.2 Analisis Pengaruh Konsentrasi Foam Agent Terhadap Biaya Produksi


Berikut adalah grafik biaya produksi benda uji yang sudah dikategorikan
menurut faktor air semen dan di setiap kategori FAS terdapat 4 trial mix.
3.100.000
3.000.000
2.900.000
Harga per m3 (Rp)

2.800.000
2.700.000
2.600.000
2.500.000
2.400.000
2.300.000
0,04 0,06 0,08 0,10
Konsentrasi Foam Agent terhadap air
Gambar 4.23 Grafik biaya produksi benda uji terhadap konsentrasi foam agent

Dari garis tren pada gambar 4.23 bisa ditarik kesimpulan bahwa semakin
besar konsentrasi foam terhadap air maka semakin besar biaya produksi benda uji
tersebut. Biaya produksi terbesar pada campuran dengan konsentrasi 0,10 atau 1:10
dan berat jenis terkecil dihasilkan pada campuran dengan konsentrasi 0,05 atau 1:20.
Berikut adalah grafik biaya produksi benda uji terhadap konsentrasi foam agent
terhadap air namun sudah dikategorikan menurut faktor air semen dan presentase
penggunaan fiberglass.
76

3.100.000

3.000.000
Harga per m3 (Rp) 2.900.000
FAS
2.800.000
0,65
2.700.000
0,6
2.600.000 0,55
2.500.000 0,5

2.400.000

2.300.000
0,04 0,06 0,08 0,10
Konsentrasi Foam Agent terhadap air
Gambar 4.24 Grafik biaya produksi terhadap foam agent menurut FAS

Dari gambar 4.24 didapatkan data bahwa pada konsentrasi foam 1:20 dan
1:15 kecenderungan penambahan FAS menghasilkan biaya produksi yang semakin
besar. Pada kesimpulan sebelumnya didapatkan bahwa semakin besar konsentrasi
foam terhadap air maka semakin besar biaya produksi benda uji tersebut, namun
dengan FAS yang sama yaitu 0,6 dan pada penambahan konsentrasi foam 0,05 ke
0,067 biaya produksi mengalami penurunan. Hal tersebut kemungkinan terjadi
karena pada foam 0,05 penggunaan fiberglass lebih besar yaitu 2,5% daripada
penggunaan fiberglass pada foam 0,067 yaitu 1% yang mengakibatkan biaya
produksi lebih kecil. Hasil biaya produksi menurut penggunaan fiberglass pada
variasi konsentrasi foam agent terhadap air dilihat pada grafik di bawah ini.
3.100.000

3.000.000

2.900.000
Harga per m3 (Rp)

2.800.000
Fiberglass
2.700.000 2,5 %
2%
2.600.000
1,5 %
2.500.000 1%

2.400.000

2.300.000
0,04 0,06 0,08 0,10
Konsentrasi Foam Agent terhadap air
Gambar 4.25 Grafik biaya produksi terhadap foam agent menurut fiberglass
77

4.1.4.3 Analisis Pengaruh Berat Fiberglass Terhadap Biaya Produksi


Berikut adalah grafik hubungan persentase berat fiberglass terhadap biaya
produksi benda uji trial mix.

3.100.000
3.000.000
Harga per m3 (Rp)

2.900.000
2.800.000
2.700.000
2.600.000
2.500.000
2.400.000
2.300.000
0,50% 1,00% 1,50% 2,00% 2,50% 3,00%
Berat Fiber terhadap Berat Semen
Gambar 4.26 Grafik biaya produksi terhadap berat fiberglass

Dari garis tren pada gambar 4.26 bisa ditarik kesimpulan bahwa semakin
besar persentase berat fiberglass maka semakin tinggi biaya produksi benda uji
tersebut. Biaya produksi tertinggi didapatkan pada nilai optimum penggunaan
fiberglass 2%, namun pada penggunaan fiberglass lebih dari 2% nilai optimum biaya
produksi mengalami penurunan kembali.
Berikut adalah grafik biaya produksi benda uji terhadap konsentrasi foam
agent terhadap air namun sudah dikategorikan menurut faktor air semen dan
presentase penggunaan fiberglass.

3.100.000
3.000.000
2.900.000
Harga per m3 (Rp)

2.800.000 FAS
2.700.000 0,65
0,6
2.600.000
0,55
2.500.000 0,5
2.400.000
2.300.000
0,50% 1,00% 1,50% 2,00% 2,50% 3,00%
Berat Fiber terhadap Berat Semen
Gambar 4.27 Grafik biaya produksi menurut FAS pada variasi fiberglass
78

Pada kesimpulan sebelumnya didapatkan bahwa semakin besar persentase


berat fiberglass maka semakin tinggi biaya produksi benda uji tersebut. Namun saat
FAS 0,65 pada penambahan presentase berat fiber dari 1% ke 1,5% terjadi
penurunan biaya produksi, hal tersebut kemungkinan dikarenakan foam agent pada
1% mengalami penurunan dari 1:10 ke 1:20 yang mengakibatkan penurunan biaya
produksi. Dari kesimpulan subbab sebelumnya didapatkan bahwa semakin rendah
konsentrasi foam agent maka semakin rendah juga biaya produksinya.

3.100.000

3.000.000

2.900.000
Harga per m3 (Rp)

2.800.000
Foam Agent

1:10
2.700.000
1:12,5
2.600.000
1:15
2.500.000 1:20

2.400.000

2.300.000
0,50% 1,00% 1,50% 2,00% 2,50% 3,00%
Berat Fiber terhadap Berat Semen
Gambar 4.28 Grafik biaya produksi menurut foam agent pada variasi fiberglass

4.2 Hasil Pengujian Bata Ringan Berkait


Sebelum melakukan pengujian dinding, dilakukan pengujian pendahuluan
pada bata ringan berkait. Pengujian bata ringan berkait tersebut yaitu:
a. Pemeriksaan sifat tampak
b. Pemeriksaan ukuran
c. Pengujian berat jenis
d. Pengujian kuat tekan

4.2.1 Pemeriksaan Sifat Tampak


Berikut adalah hasil pemeriksaan tampak bata ringan berkait yang dapat
dilihat pada tabel 4.14.
79

Tabel 4.14. Hasil Pemeriksaan Tampak Bata Ringan Berkait


Benda
Kerataan Keretakan Kehalusan kesikuan ketajaman kekuatan
uji
BRB-1 Rata Tidak retak Halus Siku Tajam Kuat
BRB-2 Rata Tidak retak Halus Siku Tajam Kuat
BRB-3 Rata Tidak retak Halus Siku Tajam Kuat
BRB-4 Rata Tidak retak Halus Siku Tajam Kuat
BRB-5 Rata Tidak retak Halus Siku Tajam Kuat
BRB-6 Rata Tidak retak Halus Siku Tajam Kuat
BRB-7 Rata Tidak retak Halus Siku Tajam Kuat
BRB-8 Rata Tidak retak Halus Siku Tajam Kuat
BRB-9 Rata Tidak retak Halus Siku Tajam Kuat
BRB-10 Rata Tidak retak Halus Siku Tajam Kuat
Kondisi
Rata Tidak retak Halus Siku Tajam Kuat
Rata-rata

Pada tabel 4.14 bata ringan berkait yang telah dicetak memenuhi syarat
tampak luar menurut ketentuan SNI-3-0349-1989 tentang bata beton untuk pasangan
dinding. Ketentuan dari SNI tersebut yakni bidang permukaan yang tidak cacat,
rusuk-rusuknya siku terhadap yang lain, dan sudut rusuknya tidak tidak rapuh.

4.2.2 Pemeriksaan Ukuran


Setelah dilakukan pengukuran benda uji bata ringan berkait maka didapatkan
data dimensi benda uji bata ringan berkait. Berikut adalah hasil pemeriksaan ukuran
dari bata ringan berkait.
Tabel 4.15 Pemeriksaan ukuran benda uji bata ringan berkait
Panjang Rata-Rata Lebar Rata-Rata Tinggi Rata-Rata
No Kode Benda Uji Benda Uji Benda Uji
(mm) (mm) (mm)
1 BRB-1 500 124 201
2 BRB-2 500 125 202
3 BRB-3 500 125 201
4 BRB-4 500 125 200
5 BRB-5 500,5 125 201
6 BRB-6 500 125 200
7 BRB-7 500 125 200
8 BRB-8 500 125 200,5
9 BRB-9 499 125 200
10 BRB-10 500 125 201
11 BRB-11 500 125 201
Rata-Rata 499,95 124,91 200,68
80

Berdasarkan hasil pengukuran didapat rata-rata dimensi sudah sesuai


perencanaan dan masih memenuhi standar toleransi menurut SNI 03-0349-1989 yaitu
panjang 500 mm dengan toleransi 3 mm, lebar 125 mm dengan toleransi 2 mm dan
tinggi 200 mm dengan toleransi 2 mm. Hal ini dikarenakan benda uji dipadatkan
dengan cara menggetarkan dengan palu karet juga karena cetakan yang kokoh karena
model cetakan yang saling mengunci satu sama lain.

4.2.3 Pengujian Berat Jenis


Pengujian berat jenis menggunakan benda uji bata ringan berkait. Berikut adalah
hasil pengujian berat jenis benda uji bata ringan berkait.
Tabel 4.16 Pengujian berat jenis benda uji bata ringan berkait
Berat (kg) Volume (m3) Berat jenis (kg/m3)
No Kode
(A) (B) (A/B)
1 BRB-1 9,0 0,0125 722,2
2 BRB-2 9,2 0,0126 728,7
3 BRB-3 10,3 0,0126 819,9
4 BRB-4 11,5 0,0125 920,0
5 BRB-5 10,0 0,0126 795,2
6 BRB-6 10,3 0,0125 824,0
7 BRB-7 10,0 0,0125 800,0
8 BRB-8 10,4 0,0125 829,9
9 BRB-9 9,0 0,0125 721,4
10 BRB-10 9,4 0,0126 748,3
11 BRB-11 8,7 0,0126 692,5
Rata-rata 9,80 0,0125 782,0

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa berat jenis rata-rata adalah 782 kg/m3
dengan berat jenis terkecil adalah 692,5 kg/m3 dan yang terbesar adalah 920,0 kg/m3.
Semua benda uji bata ringan berkait berada pada berat jenis rencana yaitu pada 500-
1000 kg/m3. Seluruh benda uji mengapung di air kolam perawatan karena berat
jenisnya di bawah berat jenis air yaitu 1000 kg/m3.

4.2.4 Pengujian Kuat Tekan


Benda uji yang digunakan adalah benda uji kubus berukuran 15 cm x 15 cm x
15 cm. Benda uji diberikan beban maksimum sampai batas benda uji bisa menerima
beban tersebut. Hasil uji kuat tekan kubus dapat dilihat pada tabel 4.17.
81

Tabel 4.17 Hasil uji kuat tekan bata ringan berkait benda uji kubus
Gaya Gaya Luas kuat
Berat Kuat Tekan 28 hari
Kode Tekan Tekan Tekan tekan
(kg)
(kN) (kg) (cm2) (kg/cm2) (MPa)
1 2,70 70 7137,90 225,0 31,7 3,11
2 2,70 70 7137,90 225,0 31,7 3,11
Rata-rata 31,7 3,11

Berdasarkan hasil analisa pengujian kuat tekan di atas maka dapat


disimpulkan bahwa bata ringan berkait termasuk dalam kategori tingkat mutu IV
dengan kuat tekan rata rata 31,7 kg/cm2. Ketentuan ini tercantum pada SNI 03-0349-
1989 bahwa kuat tekan bruto rata-rata minimum adalah 40 kg/cm2.
Perbedaan hasil kuat tekan dengan desain dikarenakan metode pada saat trial
dan pencetakan bata ringan berbeda yang dapat mempengaruhi berat jenis dan pada
akhirnya berpengaruh juga pada hasil kuat tekan bata ringan berkait. Namun kuat
tekan bata ringan berkait pada penelitian ini lebih besar daripada kuat tekan bata
ringan standar yang diteliti oleh Trinugroho & Murtono (2015), yaitu Nilai kuat
tekan bata ringan fascon didapat nilai sebesar 2,82 MPa sedangkan bata ringan
duracon sebesar 0,75 MPa.
Hasil kuat tekan bata ringan berkait pada penelitian ini juga lebih besar dari
bata merah dari Malang, Mojokerto, Kediri, dan Tulungagung yang telah diuji
dengan benda uji kubus berturut-turut yaitu 8,32 kg/cm2, 21,28 kg/cm2, 10,50 kg/cm2
dan 27,21 kg/cm2 (Wisnumurti, Dewi & Soehardjono 2013)

4.3 Hasil Pengujian Portal Dinding Bata Ringan Berkait


Pengujian portal dinding bata ringan berkait dilakukan saat benda uji yaitu
bata ringan berkait sudah melebihi umur 28 hari. Pembebanan siklis diberikan pada
bagian sambungan balok dan kolom dari spesimen dinding. Dinding diberi
pembebanan siklis dan bergantian dari arah kiri kanan secara bertahap sampai
mengalami keruntuhan atau retak dengan lebar 4 mm lalu dilanjutkan sampai beban
ultimit dan mengalami penurunan beban.
82

4.3.1 Pengujian Geser Dengan Beban Siklis


Hasil pengujian geser dengan beban siklis portal dinding bata ringan berkait
dapat dilihat pada tabel 4.18. Pembacaan simpangan horizontal dilakukan setiap
kenaikan beban 1 kN pada dial load jack hidrolis dan pengulangan siklus setiap 5
kN. Berikut adalah hasil pengujian portal dinding bata ringan berkait yang dapat
dilihat pada tabel 4.18.
Tabel 4.18 Hasil pengujian geser portal dinding bata ringan berkait
Beban Simpangan (Δ) Kekakuan
Arah
Siklus Dorong (N) (mm) (N/mm)
Pembebanan
A B C=A/B
0 0 0
1000 0,11 9090,91
2000 0,34 5882,35
Kanan 3000 0,42 7142,86
4000 0,56 7142,86
5000 0,705 7092,20
0 0 0,00
1
0 0 0
-1000 -0,155 6451,61
-2000 -0,49 4081,63
Kiri -3000 -0,745 4026,85
-4000 -1,085 3686,64
-5000 -1,745 2865,33
0 0 0,00
0 0 0,00
6000 1,05 5714,29
7000 1,14 6140,35
Kanan 8000 1,32 6060,61
9000 1,48 6081,08
10000 1,8 5555,56
0 0 0,00
2
0 0 0,00
-6000 -1,91 3141,36
-7000 -2,14 3271,03
Kiri -8000 -2,35 3404,26
-9000 -2,61 3448,28
-10000 -2,94 3401,36
0 -0,2 0,00
83

Lanjutan Tabel 4.18 Hasil pengujian geser portal dinding bata ringan berkait
Beban
Simpangan (Δ) Kekakuan
Arah Dorong
Siklus (mm) (N/mm)
Pembebanan (N)
A B C=A/B
0 -0,2 0,00
11000 2,06 5339,81
12000 2,34 5128,21
Kanan 13000 2,81 4626,33
14000 3,41 4105,57
15000 3,62 4143,65
0 0,3 0,00
3
0 0,3 0,00
-11000 -3,08 3571,43
-12000 -3,53 3399,43
Kiri -13000 -4,02 3233,83
-14000 -4,5 3111,11
-15000 -5,03 2982,11
0 -0,4 0,00
0 -0,4 0,00
16000 6,04 2649,01
17000 6,44 2639,75
Kanan 18000 7,04 2556,82
19000 7,6 2500,00
20000 8,48 2358,49
0 0,6 0,00
4
0 0,6 0,00
-16000 -6,53 2450,23
-17000 -6,91 2460,20
Kiri -18000 -7,57 2377,81
-19000 -7,94 2392,95
-20000 -8,42 2375,30
0 -1,7 0,00
0 -1,7 0,00
21000 10,54 1992,41
22000 11,04 1992,75
Kanan 23000 11,57 1987,90
24000 12,34 1944,89
5
25000 13,44 1860,12
0 1,8 0,00
0 1,8 0,00
Kiri -21000 -10,93 1921,32
-22000 -11,92 1845,64
84

Lanjutan Tabel 4.18 Hasil pengujian geser portal dinding bata ringan berkait
Beban
Simpangan (Δ) Kekakuan
Arah Dorong
Siklus (mm) (N/mm)
Pembebanan (N)
A B C=A/B
-23000 -12,45 1847,39
-24000 -13 1846,15
5 Kiri
-25000 -14 1785,71
0 -2,2 0,00
0 -2,2 0,00
5000 -0,7 -7142,86
10000 3,8 2631,58
15000 8,3 1807,23
20000 11,5 1739,13
25000 14,6 1712,33
26000 15,03 1729,87
Kanan
27000 15,48 1744,19
28000 16,08 1741,29
29000 16,68 1738,61
30000 17,56 1708,43
20000 14,6 1369,86
10000 8,3 1204,82
0 2,3 0,00
6
0 2,3 0,00
-5000 -1,7 2941,18
-10000 -6,8 1470,59
-15000 -8,7 1724,14
-20000 -13,43 1489,20
-25000 -15,8 1582,28
-26000 -16,7 1556,89
Kiri
-27000 -17,25 1565,22
-28000 -17,67 1584,61
-29000 -18,29 1585,57
-30000 -18,94 1583,95
-20000 -15,7 1273,89
-10000 -11,2 892,86
0 -2,4 0,00
0 -2,4 0,00
5000 -0,4 -12500,00
10000 4,6 2173,91
7 Kanan
15000 7,6 1973,68
20000 10,6 1886,79
25000 13,6 1838,24
85

Lanjutan Tabel 4.18 Hasil pengujian geser portal dinding bata ringan berkait
Beban
Simpangan (Δ) Kekakuan
Arah Dorong
Siklus (mm) (N/mm)
Pembebanan (N)
A B C=A/B
30000 17,6 1704,55
31000 18,31 1693,06
32000 18,68 1713,06
33000 18,92 1744,19
34000 19,35 1757,11
Kanan
35000 19,6 1785,71
30000 18,6 1612,90
20000 14,6 1369,86
10000 9,6 1041,67
0 4 0,00
0 4 0,00
-5000 -2 2500,00
-10000 -7 1428,57
7
-15000 -12 1250,00
-20000 -15 1333,33
-25000 -17,5 1428,57
-30000 -19 1578,95
-31000 -20 1550,00
Kiri
-32000 -20,8 1538,46
-33000 -22,26 1482,48
-34000 -23,07 1473,78
-35000 -23,78 1471,83
-30000 -21 1428,57
-20000 -17 1176,47
-10000 -12 833,33
0 -4 0,00
0 -4 0,00
5000 0,5 10000,00
10000 5,2 1923,08
15000 7,5 2000,00
20000 11 1818,18
25000 14 1785,71
8 Kanan
30000 18 1666,67
35000 20 1750,00
36000 20,5 1756,10
37000 21 1761,90
38000 21,3 1784,04
39000 21,5 1813,95
86

Lanjutan Tabel 4.18 Hasil pengujian geser portal dinding bata ringan berkait
Beban
Simpangan (Δ) Kekakuan
Arah Dorong
Siklus (mm) (N/mm)
Pembebanan (N)
A B C=A/B
40000 22 1818,18
30000 20 1500,00
Kanan 20000 17 1176,47
10000 12 833,33
0 6 0,00
0 6 0,00
-5000 -8 625,00
-10000 -14 714,29
-15000 -18 833,33
-20000 -21 952,38
-25000 -23,5 1063,83
8
-30000 -25 1200,00
-35000 -29 1206,90
Kiri -36000 -30 1200,00
-37000 -31,5 1174,60
-38000 -33 1151,52
-39000 -34 1147,06
-40000 -35,5 1126,76
-30000 -35 857,14
-20000 -33 606,06
-10000 -29 344,83
0 -14 0,00
0 -14 0,00
5000 5 1000,00
10000 13 769,23
15000 18 833,33
20000 21 952,38
25000 24 1041,67
30000 26 1153,85
35000 27,5 1272,73
9 Kanan
40000 29 1379,31
41000 29,3 1399,32
42000 29,8 1409,40
43000 30,2 1423,84
44000 30,6 1437,91
45000 31 1451,61
40000 30,5 1311,48
30000 30 1000,00
87

Lanjutan Tabel 4.18 Hasil pengujian geser portal dinding bata ringan berkait
Beban
Simpangan (Δ) Kekakuan
Arah Dorong
Siklus (mm) (N/mm)
Pembebanan (N)
A B C=A/B
20000 27 740,74
Kanan 10000 24 416,67
0 10 0,00
0 10 0,00
-5000 -10 500,00
-10000 -16 625,00
-15000 -21,5 697,67
-20000 -25 800,00
-25000 -27 925,93
-30000 -29 1034,48
-35000 -32 1093,75
9
-40000 -46 869,57
Kiri -41000 -49 836,73
-42000 -50 840,00
-43000 -52 826,92
-44000 -53 830,19
-45000 -55 818,18
-40000 -53 754,72
-30000 -52 576,92
-20000 -50 400,00
-10000 -45 222,22
0 -30 0,00
0 -30 0,00
5000 8 625,00
10000 19 526,32
15000 25 600,00
20000 28 714,29
10 Kanan 25000 30 833,33
30000 35 857,14
35000 40 875,00
35000 50 700,00
34000 55 618,18
33000 60 550,00

Dari hasil pengujian di atas dapat disimpulkan bahwa semakin bertambah


beban maka simpangan lateral yang terjadi juga semakin besar, dan dapat menerima
beban maksimum sebesar 45000 N. Pengujian dihentikan saat spesimen dinding
mengalami retak dengan tebal 4 mm (Prayuda, 2016). Pada saat pengujian dihentikan
88

dinding menerima beban 25000 N dan memperoleh simpangan lateral sebesar 13,44
mm. Lalu pembebanan dilakukan kembali sampai dinding memperoleh beban
maksimum dan simpangan maksimum. Berikut adalah kurva hysteresis loop yang
didapat dari hasil pengujian geser dengan beban siklis.

Gambar 4.29 Observed Hysteresis Curve and Envelope Curves dinding


Bila dibandingkan dengan penelitian Ramadhan (2019) dinding interlocking
masonry brick dengan kolom dan balok yang menghasilkan beban maksimum
63931,2 N serta simpangan lateral sebesar 35 mm, hasil pengujian portal dinding
bata ringan berkait ini menerima beban maksimum lebih kecil dan simpangannya
juga lebih besar. Hal ini terjadi karena susunan antar bata ringan berkait dipasang
tanpa menggunakan mortar dan hanya dari kait dan lubang sebagai pengunci
pasangan. Bata ringan berkait mengalami kehancuran pada sisi samping lubang kait
bata ringan. Berikut adalah grafik beban terhadap siklus bata ringan berkait

Gambar 4.30 Pola pembebanan terhadap siklus


89

Gambar 4.31 Pola simpangan lateral terhadap beban siklus

Dari gambar grafik 4.31 diatas dapat disimpulkan bahwa simpangan lateral
pada tiap perulangan siklus tidak selalu kembali ke 0 mm. Hal ini dikarenakan
semakin banyak pengulangan siklus dan pertambahan pembebanan maka kekakuan
struktur dinding semakin berkurang sehingga kemampuan dinding kembali ke bentuk
semula semakin menurun. Maka saat pembebanan lebih dari kekakuan elastis yaitu
0,4Ppeak atau 18000 N, simpangan lateral pada beban 0 N pada pengulangan siklus
selanjutnya tidak kembali ke 0 mm.

4.3.2 Analisis Hubungan Beban Dan Simpangan Lateral


Berdasarkan ASTM E 2126-2011 data hasil pengujian ini yaitu data beban-
simpangan lateral dapat diperoleh nilai kekakuan elastis, kuat geser, beban leleh,
simpangan leleh, daktilitas, modulus geser dan kurva EEEP. Berikut hasil
perhitungan yang diperoleh dengan rumus persamaan 2.3 sampai 2.7.
a. Kekakuan Elastis
0,4 Ppeak =
Δe = Simpangan pada saat 0,4 Ppeak = 7,04 mm

Kekakuan Elastis (Ke) = =

= 2556,82 N/mm = 2556818,18 N/m


90

b. Kuat Geser

Kuat Geser (vpeak) = = = 35714,286 N/m

c. Beban Leleh
A (luasan kurva dari perhitungan aplikasi autocad) = 1209,525 Nm
= 39,1 mm = 0,0391 m

Pyield = ( √ )𝐾𝑒

=( √ ) 2556818,18 = 38252,49 N

d. Simpangan Leleh

Simpangan Leleh (Δyield) = = = 0,01496 m = 14,961 mm

e. Rasio Daktilitas Siklis

Rasio Daktilitas Siklis (D) = = = 2,61

Tabel 4.19 Hasil pengujian geser portal dinding bata ringan berkait
Kuat
Kekakuan Rasio
Δyield Pu Geser
Elastis (Ke) Daktilitas
(N) (mm) (N) (N) (mm) (vpeak)
(N/m) (D)
(N/m)
38252,49 14,961 45000 35000 39,1 2556818,18 35714,286 2,61

Dari hasil analisis di atas nilai – nilai tersebut dapat digambarkan menjadi
kurva equivalent energy elastic plastic sebagai berikut:

Gambar 4.32 Kurva EEEP dinding bata ringan berkait


91

Gambar 4.33 Kurva EEEP dinding saat pembebanan dari arah kiri

Gambar 4.34 Kurva EEEP dinding saat pembebanan dari arah kanan
Dari grafik di atas terlihat bahwa garis yang awalnya linear berubah menjadi
tidak linear setelah 0,4Ppeak karena pada saat 0,4Ppeak adalah batas kekakuan elastis
dinding sehingga sehingga ketahanan dinding dalam menerima beban semakin
berkurang. pada garis EEEP digambarkan linear untuk memudahkan penentuan
beban leleh dinding, dan dinding dianggap runtuh dengan pembebanan sebesar beban
leleh secara konstan. Dari analisis berat jenis bata ringan berkait yaitu 800 kg/m3 dan
pengujian kuat geser portal dinding bata ringan berkait didapatkan hasil kuat geser
35714,286 N/m lebih besar dari penelitian interlocking masonry brick sebelumnya
yang dilakukan Ramadhan (2019) yaitu 21310,4 N/m dengan berat jenis 2120 kg/m3,
92

namun lebih kecil dari penelitian kuat geser dinding panel beton ringan yang
dilakukan Bahri (2016) yaitu 45100 N/m dengan berat jenis 1709 kg/m3

4.3.3 Analisis Pola Retak Terhadap Kekakuan Struktur Dinding


Berikut adalah pola retak dinding bata ringan berkait setelah dilakukan
pengujian geser pada beban maksimum dan dengan simpangan maksimum. Pola
retak diamati setelah pembebanan pada tiap siklus dan pola keretakan yang terjadi
digambarkan pada dinding bata ringan dengan menggunakan spidol. Pengamatan
pertama dilakukan setelah pembebanan siklus pertama dari arah kiri ke arah kanan,
setelah itu dilakukan pengamatan kedua pada siklus pertama dari arah kanan ke arah
kiri, begitu pula seterusnya sampai siklus terakhir.

Gambar 4.35 Pola retak pada beban maksimum bata ringan berkait
Pola retak pertama terjadi pada saat pembacaan beban dorong 10000 N ke
kanan dengan simpangan 1,8 mm yang menghasilkan retak rambut pada pojok kiri
bawah. Pada saat retak pertama dinding masih memiliki kekakuan 5555,56 N/mm.
Lalu pada pembacaan 15000 N dan simpangan 3,62 mm terjadi retak rambut pada
pojok kanan bawah dengan kekakuan 4143,65 N/mm. Lalu pada pembacaan beban
25000 N ke kanan retak yang terjadi mencapai lebar 4 mm dan bed joints
(sambungan horizontal) antara bata lapis 3 dan 4 terjadi kegagalan/patah pada kait
bata ringan yang mengakibatkan sambungan terbuka 5 mm dengan kekakuan
1860,12 N/mm. Pada beban 30000 N dengan simpangan 17,56 lebar bukaan
sambungan (bed joints) bertambah menjadi 8 mm dan kekakuan dinding menjadi
1708,43 N/mm.
93

Gambar 4.36 Pola retak tipe diagonal stepped cracks pada beban 30000 N
Pola retak bata ringan berkait pada pembebanan sampai 35000 N merupakan
tipe diagonal stepped cracks karena pembebanan masih relatif kecil dan yang hancur
masih 1 kait bata ringan yang mulai patah. Namun pada pembebanan sampai beban
puncak yaitu 45000 N pola retak menjadi diagonal tensile cracks failure karena bata
ringan sudah melewati batas kekuatan akibat pergeseran. Keretakan tipe Diagonal
tensile cracks failure disebabkan oleh keretakan pada sisi sebelah lubang kait
dikarenakan luas penampang lebih kecil dari luas penampang kait. Kolom kiri terjadi
retak pada bagian tengah dan di sisi bagian bawah frame beton tidak retak karena
pergeseran dapat ditahan oleh angkur yang ditanam pada portal baja.
Dari pengujian geser dinding ini dapat diambil kesimpulan bahwa semakin
dinding mengalami kerusakan atau keretakan maka kekakuan struktur akan semakin
berkurang, hal ini dibuktikan pada saat kemunculan retak pertama dinding masih
memiliki kekakuan sebesar 5555,56 N/mm, namun pada saat lebar retak mencapai 4
mm, kekakuan dinding mengalami penurunan sebesar 66,52% % menjadi 1860,12
N/mm. Saat pembacaan beban 30000 N, keretakan mencapai 8 mm dan kekakuan
dinding mengalami penurunan lagi menjadi 1708,43 N/mm.
Hal ini juga dikemukakan oleh Yongzhen (2010) Bahwa sebelum retak,
kekakuan akan konstan seperti kekakuan saat pembebanan belum terjadi, namun jika
beton mengalami retak akibat beban eksternal maka kekakuan struktur juga akan
berkurang seiring dengan penambahan lebar retak.
94

Gambar 4.37 Pola retak tipe diagonal tensile cracks pada beban puncak
95

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari pengujian bata ringan berkait dan pengujian
pembebanan pada spesimen dinding bata ringan berkait, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
a. Berdasarkan hasil pengujian disimpulkan bahwa berat jenis rata-rata adalah
810,99 kg/m3 dengan berat jenis terkecil adalah 533,33 kg/m3 dan yang
terbesar adalah 1037,03 kg/m3. Semua benda uji bata ringan berkait berada
pada berat jenis rencana yaitu pada 500-1000 kg/m3. Seluruh benda uji
mengapung di air kolam perawatan karena berat jenisnya di bawah berat jenis
air yaitu 1000 kg/m3.
b. Berdasarkan hasil pengujian kuat tekan trial mix, maka benda uji kubus
paling optimal termasuk dalam kategori II dengan nilai kuat tekan 72,16
kg/cm2.
c. Dari hasil pengujian kuat tekan dan perhitungan berat jenis seluruh benda uji
kubus, didapatkan kesimpulan bahwa semakin besar berat jenis bata ringan
maka akan semakin besar kuat tekannya. Hal ini dibuktikan dengan berat
jenis paling kecil yaitu 533,33 kg/cm3 menghasilkan nilai kuat tekan 12,85
kg/cm2 dan berat jenis paling besar yaitu 1037,04 kg/cm3 menghasilkan nilai
kuat tekan 72,16 kg/cm2.
d. Berdasarkan beberapa spesimen trial mix dan analisis data menggunakan
metode Taguchi dapat disimpulkan bahwa berat jenis bata ringan berkait akan
optimal jika menggunakan rancangan usulan A4, B4, dan C2 yaitu FAS 0,65,
konsentrasi foam 1:20, dan fiber 1,5% dari berat semen.
e. Berdasarkan hasil pengujian bata ringan berkait yang telah dicetak memenuhi
syarat tampak luar menurut ketentuan SNI-3-0349-1989 tentang bata beton
untuk pasangan dinding. Ketentuan dari SNI tersebut yakni bidang
permukaan yang tidak cacat, rusuk-rusuknya siku terhadap yang lain, dan
sudut rusuknya tidak mudah dirapikan dengan kekuatan jari tangan (tidak
rapuh).
96

f. Berdasarkan hasil pengukuran didapat dimensi yang sesuai dengan


perencanaan yaitu panjang 500 mm, lebar 125 mm dan tinggi 200 mm. Hal
ini dikarenakan benda uji dipadatkan dengan cara menggetarkan dengan palu
karet dan cetakan yang kokoh karena model cetakan yang saling mengunci
satu sama lain.
g. Dari hasil pengujian geser dengan beban cyclic (reversed) load test , dapat
disimpulkan bahwa bata ringan berkait dapat menerima beban maksimum
sebesar 45 kN dan simpangan lateral pada beban puncak sebesar 45 mm.
Pada saat spesimen dinding mengalami retak dengan tebal 4 mm bata ringan
berkait menerima beban pada 25 kN dengan simpangan lateral sebesar 15,14
mm. Pembebanan dihentikan pada siklus setelah beban puncak yaitu disaat
beban 35 kN, karena simpangan semakin besar dan beban sudah tidak bisa
bertambah kembali.
h. Dari hasil analisis bata ringan berkait dengan berat jenis 782 kg/m3 dan kuat
tekan spesimen 31,7 kg/cm2 didapatkan kuat geser portal dinding bata ringan
berkait adalah 35,714 kN/mm, yang artinya setiap lebar 1 mm dinding dapat
menahan beban sebesar 35,714 kN.
i. Kekakuan elastis dinding bata ringan berkait yang didapat dari hasil analisis
sebesar 2,55 kN/mm, simpangan leleh sebesar 14,961 mm, beban leleh
sebesar 38,25 kN dan daktilitas sebesar 2,61.
j. Kegagalan portal dinding bata ringan berkait yang terjadi akibat gaya geser
menghasilkan pola retak kombinasi tipe stepped cracs shear failure dan
diagonal tensile cracks failure yang ditandai timbulnya retak pada
sambungan seperti pola tangga dan retak diagonal pada bata ringan.
k. Semakin besar kekakuan dinding maka semakin besar kekuatan dinding
menahan beban lateral sehingga tidak mudah mengalami retak maupun
pergeseran.

5.2 Saran
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dan untuk perbaikan penelitian
pasangan dinding bata ringan berkait, maka pada penelitian selanjutnya disarankan:
a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap metode pengadukan, rasio air
pasta dan air untuk pembuatan foam pada proses pengecoran benda uji.
97

b. Pada tahap trial mix disarankan menggunakan concrete mixer supaya metode
dan waktu pencampuran lebih seragam karena menggunakan mesin.
c. Pencetakan bata ringan harus menggunakan bekisting yang kokoh dan tidak
lentur saat adonan dituang ke dalam cetakan agar hasil cetakan presisi dan
tidak mengembung.
d. Perlu dilakukan pengujian geser dinding bata ringan berkait tanpa portal
dinding beton.
98

DAFTAR PUSTAKA

Alireza Kashani, Tuan Duc Ngo, Priyan Mendis, Jay R. Black, Ailar
Hajimohammadi 2017, A Sustainable Application Of Recycled Tyre Crumbs As
Insulator In Lightweight Cellular Concrete, Journal Of Cleaner Production.
American Standard Testing and Material. 2011. ASTM E 2126 – 2011. Cyclic
(Reversed) Load Test for Shear Resistance of Vertical Elements of the Lateral
Force Resisting Systems for Buildings.
Ari Wibowo, Wisnumurti, Ribut Hermawan 2016, Perilaku Geser Pada Dinding
Panel Jaring Kawat Baja Tiga Dimensi Dengan Variasi Rasio Tinggi Dan
Lebar (Hw/Lw) Terhadap Beban Lateral Statik, Rekayasa Sipil / Volume 10,
No.2 – 2016 Issn 1978 – 5658.
Arya, C 2009, Design Of Structural Elements: Concrete, Steelwork, Masonry And
Timber Designs To British Standards And Eurocodes. Crc Press.
Badan Standarisasi Nasional. 1974. SNI 03-1974-1990: Metode Pengujian Kuat
Tekan Beton.
Badan Standarisasi Nasional. 1989. SNI 03-0349-1989: Bata Beton Untuk Pasangan
Dinding.
Badan Standarisasi Nasional. 2002. SNI 03-3449-2002: Tata Cara Rencana
Pembuatan Campuran Beton Ringan Dengan Agregat Ringan
Bahri, Saiful 2016, Perilaku Kuat Geser Dinding Panel Dengan Perkuatan Diagonal
Tulangan Baja. Publikasi Ilmiah. Universitas Muhammadiyah Surakarta
Barabanshchikov, Y., Belyaeva, S., Avdeeva, A. And Perez, M. 2015, Fiberglass
Reinforcement For Concrete. In Applied Mechanics And Materials (Vol. 725,
Pp. 475-480). Trans Tech Publications.
Brown, P. 1932, U.S. Patent No. 1,984,393. Brooklyn, N.Y: U.S. Patent Office.
Calvin, E. L. 1976, U.S. Patent No. 3,936,987. Washington, DC: U.S. Patent and
Trademark Office.
Chiang, K.Y., Chou, P.H., Hua, C.R., Chien, K.L. and Cheeseman, C., 2009,
Lightweight bricks manufactured from water treatment sludge and rice
husks. Journal of hazardous materials, 171(1-3), pp.76-82.
Francisco J. C. 1997, Seismic Behaviour Of Reinforced Conrete Structures With
Masonry Infills. Thesis. University Of Canbury. New Zaeland
Hamad, A. J. 2014, Materials, production, properties and application of aerated
lightweight concrete. International Journal of Materials Science and
Engineering, 2(2), pp. 152-157.
Hancock, N. L. 1976, U.S. Patent No. 3,936,989. Washington, DC: U.S. Patent and
Trademark Office
Hendry, Arnold W, Sinha, Bhek Pati, Davies, S. R 2017, Design Of Masonry
Structures. Crc Press.
Ibrahim, W., Mastura, W., Hussin, K., Al Bakri, M.M.A., Abdul Kadir, A. and
Binhussain, M., 2015, Development of Fly Ash-Based Geopolymer Lightweight
Bricks Using Foaming Agent-A Review. In Key Engineering Materials (Vol.
660, pp. 9-16). Trans Tech Publications.
Iyer, K., Mulkarni, S.M., Subraniam, S., Murty, C.V.R., Goswami,
R.,Vijayanarayanan, A.R. 2012. Build a Safe House with Confined Masonry.
Gujarat State Disaster Management Authority. Government of Gujarat
99

Murtono, A. 2015, Pemanfaatan Foam Agent dan Material Lokal dalam Pembuatan
Bata Ringan, Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Murty, C. V. R. 2005, Earthquake Tips. National Information Center Of Earthquake
Engineering, Indian Institute Of Technology Kanpur, India.
Nambiar, E.,K.K. And Ramamurthy, K. 2006, 'Models Relating Mixture
Composition To The Density And Strength Of Foam Concrete Using Response
Surface Methodology.'. Cement & Concrete Composites 28 (2006), 752-760
Narayanan N, Ramamurthy K 2000, Structure And Properties Of Aerated Concrete:
A Review. Cem Concr Compos;22:321–9.
Pierson, Brad 2005, Comparison of Specific Properties of Engineering Materials,
School of Engineering, Grand Valley State University.
Prasetya, Novan I. 2019, Studi Penelitian Penggunaan Bata Ringan Berkait
(Interlocking) Terhadap Geser Dan Lentur Lateral Untuk Pasangan Dinding.
Skripsi. Program Studi Diploma IV Manajemen Rekayasa Konstruksi, Jurusan
Teknik Sipil, Politeknik Negeri Malang.
Prayuda, Hakas 2016, Gaya Lateral In-Plane Struktur Dinding Pasangan Bata ½
Batu Melalui Beban Siklik. Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil, 370-377.
Ramadhan, Pandu 2019, Perilaku Geser Portal Dinding Interlocking Masonry Brick
dengan Substitusi Abu Vulkanik Gunung Sinabung Terhadap Beban Statik
Pushover. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.
Ramamurthy K, Kunhanandan Nambiar Ek, Indu Siva Ranjani G 2009, A
Classification Of Studies On Properties Of Foam Concrete. Cem Concr
Compos;31:388–96.
Roy, R K. 1990. A Primer on the Taguchi Method. Van Nostrand Reinhold. New
York.
Roy, R K. 2001. Design of Experiments Using the Taguchi Approach. Jhon Wiley
and Sons, Inc. New York.
Sams, C. R. 1966. U.S. Patent No. 3,292,331. Washington, DC: U.S. Patent and
Trademark Office.
Saraj, Fatemeh. 2008. A Comprehensice Approach Towards The Classification of
Cracks in Un-Reinforced Masonry Building. IUST International Journal of
Engineering Science, Architect Engineering Special Issue Vol 19 No 6 pp 41-
45. Iran University of Science and Technology. Iran.
Sitorus, Z., & Dahar, E 2012, Perbaikan Sifat Fisis Dan Mekanis Resin Akrilik
Polimerisasi Panas Dengan Penambahan Serat Kaca. Dentika Dental
Journal, 17(1), 24-29.
Subandi, Santi Yatnikasari, Mukhripah Damaiyanti, Rafidah Azzahra, Vebrian 2019,
Effect of Additional Fiberglass Fiber on Concrete Performance, Universitas
Muhammadiyah Kalimantan Timur, Samarinda, Kalimantan Timur
Trinugroho, S., & Murtono, A 2015, Pemanfaatan Foam Agent dan Material Lokal
dalam Pembuatan Bata Ringan.
Wang W 2010, The Study Of Mix Design, Density And Strength Of Cellular
Concrete;. (Retrieved 03.02.12) (In Chinese).
Wang, Q., Shi, Q. And Tao, Y., 2018, Seismic Behavior And Shear Strength Of New-
Type Fired Perforated Brick Walls With High Void Ratio. Advances In
Structural Engineering, 22(5), Pp.1035-1048.
Wisnumurti, Sri Murni Dewi, Agoes Soehardjono MD 2013, Investigation Of
Elasticity, Compression And Shear Strength Of Masonry Wall From
100

Indonesian Clay Brick. International Journal of Engineering Research and


Applications (IJERA)
Yongzhen Li 2010. Predicting of the Stiffness of Cracked Reinforced Concrete
Structures. Delft University of Technology.
Zayendra, S. and Yozza, H., 2016. Penerapan Metode Taguchi Untuk Optimalisasi
Hasil Produksi Roti di Usaha Roti Meyza Bakery, Padang Sumatera
Barat. Jurnal Matematika UNAND.

Anda mungkin juga menyukai