Anda di halaman 1dari 2

Penganugerahan gelar doktor honoris causa atau doktor kehormatan

Buku itu saya temukan di lemari tua yang seharusnya saya bersihkan. Judulnya
“Tauhid Adalah Djiwaku”. Semula saya menduganya sebagai buku biasa yang
membahas ajaran dasar dalam Islam. Namun, setelah membuka dan membaca
halaman judulnya secara komplit, saya merasa buku itu lumayan istimewa.
Buku setebal 58 halaman terbitan Tjendekia Djakarta tahun 1965 itu ternyata berisi
amanat Presiden Sukarno pada penganugerahan “Gelar Doktor Honoris Causa
dalam Falsafah Ilmu Tauhid” untuk dirinya dari Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Acara itu digelar di Istana Negara Jakarta pada 3 Agustus 1965. Jadi, 57 hari
sebelum malapetaka nasional 1965, situasinya tampak “baik-baik saja”. Bung Karno
masih dipuja-puja dan dijunjung tinggi, menerima gelar doktornya di istana,
bukannya di kampus.
Namun, itu semua adalah perkara yang lain. Tentang pokok masalah amanat Bung
Karno itu sendiri juga tak akan saya bicarakan. Itu terlalu berat, biar bapaknya Dilan
yang membicarakannya. Jadi, saya hanya akan mencomoti hal remeh temeh yang
menarik. kalau tidak menarik.
Dari amanat itu, saya bisa merasakan betapa Bung Karno punya rasa humor yang
tinggi dan pembawaan yang santai. Bayangkan, orang macam apa Bung Karno itu
karena di dalam forum akademik yang resmi, dengan segala protokolernya yang
ketat dan khidmat itu, ia sempat-sempatnya meminta agar dibebaskan dari utang-
utang pribadinya kepada salah seorang tamu undangan yang hadir saat itu—
kepadanya Bung Karno dahulu, dalam masa pembuangan di Bengkulu, pernah
meminjam uang.
Orang baik yang meminjami uang Bung Karno itu namanya Oei Tjing Hin. Dan
begini cara Bung Karno secara resmi minta diizinkan untuk “ngemplang” utangnya—
dari atas mimbar, di sela-sela pidato penerimaan gelar doktor honoris causanya.
“Pada waktu itu saja bergaul dengan Saudara jang makai kacamata
hitam itu, duduk di sana, Saudara Oei Tjing Hin. Itu jang ketawa itu.
Saudara Oei Tjing Hin, berdiri. Ee, sebelum saja meneruskan pidato
saja ini, saja minta Saudara ichlaskan hutang saja kepada Saudara, 30
gulden. Ichlas, Saudara bebaskan saja daripada hutang 30 gulden?
Ichlas?! ... Sjukur, alhamdulillah, dan saja mengutjap banjak-banjak
terima kasih, Saudara Oei Tjing telah mengichlaskan 30 gulden itu
kepada saja.” (Hal. 18)
Bukan itu saja, masih di sela pidatonya itu, Bung Karno juga menceritakan bahwa ia
juga pernah punya hutang kepada pastur-pastur Katholik saat ia dibuang di Ende,
Flores. Ia berhutang untuk membiayai pementasan sandiwara-sandiwara karyanya
di Gedung Societet Katholik di Ende. Salah satunya ialah hutang kepada Pastur
Huitnik sebesar 70 gulden. “Dan sjukur alhamdulillah pula, tatkala saja beberapa
tahun jang lalu berdjumpa dengan Pater Huitnik, saja minta diichlaskan 70 gulden
ini! Djadi sekarang saja tidak punja hutang.”
Bung kita itu, sang pemimipin besar revolusi, tampaknya punya jurus andal dan
solutif saat menghadapi masalah utang: ngemplang!
Selanjutnya, dari amanat itu saya juga jadi yakin bahwa Bung Karno benar-benar
orang yang peka akan kecantikan dan murah hati untuk mengapresiasinya.
Simaklah bagaimana di sela-sela pidato penerimaan gelar doktor honoris causa itu
ia masih sempat menyelipkan pujian untuk “saudari-saudari” yang bertugas
membaca ayat-ayat suci Al Quran dalam acara itu (ingat, ya, ini acaranya
Universitas Muhammadiyah).
“Saudara-saudara, barangkali baik saja terdjemahkan atau batja
terdjemahan ajat-ajat Qur’an yang tadi dibatjakan oleh Saudari Hasanah dan
Saudari Umihani. Ini lebih dulu Saudara Hasanah, jang membatja Qur’an
lebih dahulu, dan kemudian terdjemahan daripada batjaan Qur’an oleh
Saudari Umihani. Dua-duanja tjantik, Saudara-saudara!”
Nah, dua-duanya cantik Saudara-saudara! Saya tidak tahu secantik apa
kedua saudari itu, tapi saya percaya sepenuhnya kepada Bung Karno untuk urusan
ini. Dan seperti Chairil Anwar, saya rasanya ingin membuat sajak semacam
“Persetujuan dengan Bung Karno”. Lalu jika saya punya universitas, saya pasti akan
memberikan gelar pula kepadanya guna melengkapi 26 gelar doktor honoris causa
yang telah diterimanya. Ya, saya akan memberinya gelar Dr.HC+, doktor honoris +
humoris causa.

Anda mungkin juga menyukai