Anda di halaman 1dari 5

Lockdown ala Decameron

Decameron adalah cerita berbingkai karya Giovanni Boccaccio, sastrawan Italia yang hidup
pada tahun 1313 sampai 1375. Cerita itu ditulis setelah Wabah Hitam (Black Plague)
melanda Eropa pada tahun 1347-1351. Decameron menceritakan usaha sepuluh anak muda
untuk menyelamatkan diri dari wabah mematikan yang melanda kota mereka, Florentina.
Wabah Hitam adalah sebutan untuk wabah pes atau sampar. Penyakit pandemik ini
sekarang telah hilang. Tapi, sebelum
abad ke-20 wabah pes berulang kali
terjadi dan sangat ditakuti. Sumber
penyebabnya adalah baksil Yersina
pestis. Perwujudannya ada tiga
macam yaitu pes bubo, pneumonia,
dan septikemia. Pes bubo terjadi jika
yang diserang adalah sistem imun.
Penderitanya akan mengalami
pembengkakan kelenjar getah bening
di pangkal paha, ketiak, atau leher. Pes
pneumonia terjadi jika yang diserang
adalah saluran pernapasan. Adapun
pes septikemia terjadi jika yang
diserang adalah darah dan sistem
pencernaan. Serangan yang paling
ringan adalah pes bubo, tetapi ketiga-
tiganya mematikan.
Wabah Hitam pada pertengahan
abad ke-14 itu nyaris membunuh 60%
penduduk Eropa. Pada saat yang
hampir bersamaan terjadi pula epidemi serupa di sebagian besar Asia dan Timur Tengah.
Secara global, kematian akibat wabah ini diperkirakan 75 juta manusia.
Dalam pendahuluan ceritanya, Boccaccio menggambarkan bagaimana orang-orang
Florentina siang malam jatuh dan mati di jalan-jalan. Banyak pula yang sekarat lalu mati
sendirian di rumah sebab anggota keluarga lain sudah pergi atau mati duluan. Para tetangga
biasanya mengetahui kematian orang-orang malang itu setelah mencium bau bangkainya.

1
Ikatan sosial hancur akibat dari teror wabah yang mengerikan ini. Orang akan meninggalkan
saudara, pasangan, bahkan orang tua atau anak sendiri jika orang-orang yang dicintainya itu
terjangkiti pes.
Diceritakan bahwa untuk menghindari wabah maut tersebut, sepuluh anak muda (tujuh
perempuan dan tiga laki-laki), keluar dari kota menuju daerah pedesaan yang jauh. Di sana
mereka mengkarantina diri di sebuah vila selama sepuluh hari. Untuk mengisi hari-hari yang
luang, mereka bersepakat untuk berbagi cerita di samping kegiatan rekreatif lain. Satu hari
masing-masing orang menuturkan sebuah cerita. Jadi, ada seratus cerita selama sepuluh hari
karantina yang mereka jalani. Dari hitung-hitungan kelipatan sepuluh inilah rupanya
Boccaccio memberi judul karyanya: Decameron.
Seratus cerita yang saling mereka bagikan itu mempunyai tema beragam. Namun, ada
suatu aturan yang harus disepakati, yakni cerita-cerita itu harus membawakan kesenangan.
Cerita yang menimbulkan stres dan pikiran buruk harus dihindari. Ini penting untuk menjaga
semangat hidup. Dengan kekuatan cerita-cerita itu mereka melindungi diri dari tekanan
psikologis beraroma maut yang ditebarkan Wabah Hitam. Maka berbagai anekdot, kisah
konyol, satire, mereka ceritakan secara bergiliran.
Salah satu cerita itu, misalnya, adalah kisah asal-usul orang kudus Santo Ciappelletto.
Konon Tuan Ciappelletto dikenal sebagai orang yang luar biasa jahat dan suka menipu.
Menjelang kematiannya karena sakit, dia menyesal dan melakukan pengakuan dosa kepada
seorang biarawan. Mendengar pertobatan itu, sang biarawan tersentuh dan meminta kepada
Tuan Ciappelletto agar mau dimakamkan di dekat biara jika dia mati. Karena kondisi
tubuhnya yang makin melemah, Tuan Ciappelletto benar-benar mati. Dia lalu dimakamkan di
dekat biara dengan prosesi yang khidmat. Dalam pidato pemakaman itu sang biarawan
menyatakannya kekaguman atas pertobatan Tuan Ciappellatto dan karenanya dia pantas
dianggap sebagai orang kudus. Karena mempercayai sang biarawan, orang-orang ikut
menglorifikasi pertobatan Ciappelletto di akhir hidupnya itu. Maka dia pun digelari sebagai
Santo Ciappelletto setelah kematiannya. Namun, ada sesuatu yang tidak diketahui oleh orang-
orang, yaitu bahwa Tuan Ciappelletto telah menipu sang biarawan. Semua pengakuan
dosanya adalah palsu belaka.
Melalui Decameron, Boccaccio menawarkan suatu usaha melindungi diri saat wabah
berjangkit dengan berbagi cerita. Usaha itu boleh kita sebut sebagai suatu “profilaksis
naratif”.  Resep Boccaccio melalui Decameron tampaknya tidaklah asal-asalan. Tomasso del
Garbo, salah satu dokter Florentina yang paling menonjol saat itu, memang menyatakan
bahwa ketika wabah melanda, orang-orang harus menghindarkan diri dari pikiran-pikiran

2
tentang kematian.  Mereka disarankan untuk berkumpul di taman dan melakukan hal-hal
yang menyenangkan tetapi tidak melelahkan. Mereka bisa bernyanyi, bermain, dan berbagi
kisah lucu atau hal-hal lain lain.
Nasihat lain yang serupa datang dari seorang teolog Italia, Nicolas dari Burgo. Dia
merekomendasikan agar selama wabah berjangkit kita harus menghindari rasa takut,
kemarahan, kesedihan, dan pikiran-pikiran yang berat. Kita harus saling menjaga agar tetap
berbahagia. Melalui campuran isolasi sosial dengan kegiatan yang menyenangkan itu, kita
mungkin untuk selamat dari hari-hari terburuk selama berjangkitnya wabah.
Cara-cara menghadapi wabah maut enam setengah abad yang lalu itu agaknya masih
tersimpan dalam ingatan kolektif orang Italia. Melalui dunia maya kita tahu dalam masa
lockdown akibat dari wabah Covid-19 baru-baru ini mereka bernyanyi, membuat “konser” di
balkon-balkon rumah mereka untuk saling menghibur dan menularkan kebahagiaan. Tren itu
tidak berhenti di Italia saja, tetapi kemudian meluas seperti virus ke seluruh Eropa bahkan ke
Spanyol dan Swedia.
Terlepas dari tawarannya mengenai “profilaksis naratif” dalam menghadapi pandemi
maut, sebagai karya sastra Decameron juga diakui sebagai karya prosa awal terbesar Italia.
Seratus cerita yang dimuat di dalamnya diakui sebagai suatu kumpulan narasi tentang komedi
manusia yang melengkapi komedi ilahiah Dante. Modus bercerita sebagai usaha melawan
kematian dalam Decameron juga mengingatkan pada Kisah 1001 Malam yang klasik.
Decameron juga berpengaruh besar pada karya-karya berikutnya, salah satunya adalah pada
The Canterbury Tales karya Chaucer. Decameron juga telah beberapa kali difilemkan, di
antaranya ialah Decameron Night (1953) oleh sutradara Hugo Fregonese; Decameron (1971)
oleh sutradara Pier Paolo Pasolini. Yang paling mutakhir adalah Wondrous Boccaccio (2015)
oleh sutradara Paolo dan Vittorio Taviani.
Decameron agaknya merupakan salah satu bacaan alternatif yang sangat tepat dan
menarik untuk dibaca pada masa-masa kita terkurung akibat wabah Covid-19 yang entah
kapan berakhirnya ini. Buku ini cukup sulit untuk dapat Anda peroleh dalam bentuk
cetaknya, tapi Anda dapat memperoleh e-book-nya di situs Gutenberg Project. Karya ini
cukup tebal, sekitar 800-an halaman, tapi sangat mengasyikkan. Kita bisa membayangkan
kelak setelah menyelesaikan halaman terakhir Decameron, lalu keluar dari rumah dan
mendapati wabah Covid-19 sudah berlalu. Saat itu kita akan mempunyai “mata baru” dalam
melihat orang lain, orang-orang di luar kelompok, golongan, agama, ataupun negara kita.
Saat itu kita lebih jelas melihat bahwa umat manusia pada hakikatnya adalah satu nasib dan
untuk bertahan kita harus bekerja sama.[*]

3
--Rh. Widada

4
Tentang Penulis
Rahmad Widada/ Rh. Widada tinggal di Yogyakarta. Novelnya adalah Gadis-gadis
Amangkurat (2012); Ketika Sekuntum Sumanasas Jatuh di Dadanya: Pembebasan Dyah
Harini (Saduran dari kakawin Sumanasantaka, 2019); Jangan Kautulis Obituari Cinta
(2021). Karya terjemahannya antra lain The Lowland: Tanah Cekung (Novel karya Jhumpa
Lahiri, 2015); Namaku Asher Lev (Novel karya Chaim Potok, 2017).

Alamat: Perum Polri Gowok C5 No.153 Yogyakarta


Rekening: BRI Kantor Cabang Kusumanegara Yogyakarta No. 0986-0103-2812-534
a.n. RAHMAD WIDADA
Telepon/WA: 081578019935

Anda mungkin juga menyukai