Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Energi
Energi merupakan kemampuan melakukan kerja dan besaran yang bersifat kekal, dimana
sesuai dengan Hukum Termodinamika Pertama, energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan
tetapi dapat dikonversi dari satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain. Sumber energi dapat
menghasilkan energi, baik secara langsung maupun melalui proses konversi. Jenis energi
bermacam-macam dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk menggerakkan alat-
alat mekanik maupun elektronik.
Energi digunakan sebagai bahan bakar utama penggerak sektor industri dan transportasi.
Sebagian besar energi yang digunakan pada sektor ini berasal dari bahan bakar fosil yaitu
minyak bumi, gas alam dan batu bara. Ketiga jenis bahan bakar tersebut merupakan pemasok
energi terbesar di dunia. Energi primer dunia 80% didominasi oleh bahan bakar fosil yang
sekaligus berperan sebagai bahan bakar pembangkitan listrik global sebesar 66% (IEA,
2013). .
Energi merupakan kebutuhan dasar bagi industri di seluruh dunia dan merupakan faktor
krusial untuk daya saing ekonomi suatu negara. Sedangkan sektor industri sendiri sebagai
penggerak utama pembangunan diharapkan mampu menjadi penggerak pertumbuhan
ekonomi. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menimbulkan konsekuensi
pada jumlah energi yang dipersiapkan harus cukup besar pula (DEN, 2014).

Gambar 2.1. Konsumsi Energi Final Indonesia Menurut Sektor


(Sumber : DEN, 2014)

1 | Barriers to Improving Energy Efficiency in Industry – Soepardi (2017)


Sektor industri merupakan konsumen energi final terbesar yaitu sebesar 33% pada tahun
2013. Berturut-turut diikuti sektor rumah tangga dan transportasi sebesar 27% dan 27%.
Pangsa konsumsi energi sisanya adalah sektor komersial, sektor lainnya dan penggunaan
untuk non energi sebesar 13%. Total konsumsi energi final pada sektor industri naik rata-
rata sebesar 4,5% per tahun, dimana dengan penggunaan sebesar 44,98 juta TOE pada tahun
2003 akan menjadi 71,62 juta TOE pada tahun 2013 (DEN, 2014).

Gambar 2.2. Konsumsi Energi Primer Dunia per Jenis Energi


(Sumber : DEN, 2014)

Konsumsi energi di sektor industri masih mengandalkan pasokan energi fosil terutama
batubara, gas, bahan bakar minyak (BBM), LPG dan tentu saja listrik sebagai konsumsi
energi final. Proyeksi kebutuhan batubara meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata
sebesar 6,3% per tahun, sehingga pada tahun 2025 dan 2050, kebutuhan batubara berturut-
turut diperkirakan mencapai 45 juta TOE dan 175 juta TOE. Tingginya kebutuhan batubara
terkait erat dengan harga batubara yang relatif murah dibanding dengan jenis energi lainnya,
dan pemanfaatan batubara pada sektor industri padat energi seperti tekstil, semen, keramik
dan baja, sangat diperlukan sebagai sumber energi untuk tungku (DEN, 2014).
Selain batubara, gas bumi juga memiliki potensi besar untuk digunakan pada sektor
industri, rumah tangga, dan komersial. Alasan pemanfaatan energi jenis ini, selain relatif
murah, gas sekaligus dapat digunakan sebagai bahan baku dan sumber energi yang bersih.
Pertumbuhan konsumsi gas meningkat dengan rata-rata yang relatif tinggi, yaitu sebesar
4,9% per tahun sehingga pada tahun 2025 diproyeksikan meningkat menjadi 50 juta TOE.
Penggunaan gas yang semakin naik ini, juga dipicu karena adanya substitusi bahan bakar
dari jenis BBM dan batubara pada industri padat energi seperti tekstil, semen, keramik dan
2
baja. Kebutuhan gas pada sektor industri terutama diperlukan sebagai sumber energi untuk
boiler atau sebagai sumber energi untuk tungku (DEN, 2014).
Selain batubara dan gas, jenis energi yang kebutuhannya diproyeksikan meningkat
tinggi adalah listrik. Pemanfaatan energi listrik diprediksi mengalami peningkatan dengan
laju pertumbuhan 5,9% per tahun, sehingga pangsa listrik sebesar 11% dari total kebutuhan
pada tahun 2025 akan meningkat menjadi 12% pada tahun 2050 (DEN, 2014).

2.2 Efisiensi penggunaan energi


Menurut Patterson (1996), efisiensi penggunaan energi adalah istilah generik dan belum
ada satu ukuran kuantitatif yang tegas terkait dengan pengertian efisiensi penggunaan energi.
Secara umum, efisiensi penggunaan energi mengacu pada penggunaan energi yang lebih
sedikit untuk dapat menghasilkan jumlah output atau layanan yang sama. Di masyarakat
umum, kadang kala efisiensi penggunaan energi diartikan juga sebagai penghematan energi.
Oleh karena itu, efisiensi penggunaan energi sering didefinisikan secara luas dengan rasio
sederhana antara output yang berguna dari suatu proses terhadap input energi yang
digunakan pada suatu proses.
Sejak 1970-an, efisiensi penggunaan energi mulai dipertimbangkan sebagai salah satu
fungsi utama pada sektor industri. Dengan tetap memperhatikan aspek pertumbuhan
ekonomi dan semakin tingginya kesadaran akan pentingnya konservasi lingkungan, sektor
industri memangkas anggaran energinya dengan cara implementasi efisiensi. Kajian
Kuhlmann dan Bauernhansl (2015) menyatakan bahwa intensifikasi kompetisi global,
terutama terkait dengan pertumbuhan negara-negara berkembang menuju negara industri,
salah satu tantangan yang mendesak perusahaan untuk meningkatkan performansinya
adalah upaya dalam pengurangan biaya produksi. Akan tetapi usaha ini terhambat oleh
kenaikan biaya energi. Dalam ulasan tersebut diperoleh informasi bahwa dalam sebuah
survei 436 industri manufaktur plastik di Eropa tahun 2014, diperoleh fakta bahwa biaya
energi merupakan salah satu dari tiga komponen biaya terbesar. Tindakan dan upaya mereka
untuk mengatasi tantangan ini adalah dengan meningkatkan efisiensi penggunaan energi.
Mereka lebih memilih menaikkan efisiensi operasional-energi untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan energi mesin dan proses.

3 | Barriers to Improving Energy Efficiency in Industry – Soepardi (2017)


Menurut Worrell et al., 2001, peningkatan efisiensi penggunaan energi (disebut juga
sebagai konservasi energi) adalah penurunan konsumsi energi spesifik dimana dari
perspektif industri dapat meningkatkan daya tahan dan daya saingnya dalam jangka panjang.
industri. Peningkatan efisiensi penggunaan energi memainkan peranan penting untuk
menjembatani kesenjangan yang terjadi antara berkurangnya pasokan energi dengan
permintaan energi yang semakin meningkat (Phylipsen et al., 1997). Sementara itu,
peningkatan efisiensi penggunaan energi juga masih dianggap sebagai suatu cara/pilihan/alat
yang sangat tepat untuk menurunkan tingkat emisi gas rumah-kaca dan membatasi
penggunaan sumber energi tak terbarukan (Farla dan Blok, 2001).
Industri sering memandang energi sebagai biaya operasional dan penghematan energi
dianggap sebagai manfaat insidentil dari investasi tersebut bukan sebagai suatu program
central value-generating. Industri merupakan salah satu sektor yang paling diuntungkan
dengan implementasi efisiensi penggunaan energi, terutama terkait dengan peningkatan
kemampuan kompetisi di pasar global (IEA, 2014).

Gambar 2.3. Potensi Ekonomis dari Efisiensi Penggunaan Energi


Jangka Panjang Berdasarkan Sektor
(Sumber : IEA, 2014)

Selain penghematan biaya energi (Venmans, 2014), tindakan atau langkah-langkah


efisiensi penggunaan energi memberikan manfaat substansial dalam meningkatkan daya
saing industri (Paramonova et al., 2015), profitabilitas (IEA, 2014), meminimasi dampak
kerusakan lingkungan (Farla et al., 2001), mengurangi ketergantungan suatu negara terhadap
bahan bakar fosil dan impor energi (Neelis et al., 2007). Nilai produktivitas dan manfaat
operasional yang diperoleh dari tindakan efisiensi penggunaan energi bernilai sampai 2,5
kali atau 250% dari nilai penghematan energi sesuai dengan nilai investasinya (IEA, 2014).

4
Menurut Thollander et al. (2013) peningkatan efisiensi penggunaan energi merupakan
salah satu tujuan yang diprioritaskan dalam strategi Eropa untuk pertumbuhan yang cerdas,
berkelanjutan, dan inklusif. Oleh karena itu efisiensi penggunaan energi harus
dipertimbangkan sebagai elemen kunci dalam pengembangan dan perbaikan berkelanjutan
pada sistem produksinya (Fleiter et al., 2012).

Gambar 2.4. Beberapa Manfaat Peningkatan Efisiensi Penggunaan Energi


(Sumber : IEA, 2014)

Pada tahun 2006, tercatat terdapat lima industri sebagai pengguna energi yang intensif
mencapai 68% dari total konsumsi energi (Gambar 2.5). Jumlah dan jenis bahan bakar yang
digunakan oleh industri pada masa mendatang ditentukan oleh kelima industri tersebut.
Selain itu, sebagian besar jumlah emisi CO2 dihasilkan oleh kelima industri itu juga, baik
dalam penggunaan dan proses produksinya. Emisi karbon global meningkat lebih dari 2%
per tahun dan pada tahun 2015 diprediksi mencapai lebih dari 50% di atas level emisi karbon
pada tahun 1997, yang semuanya disebabkan karena meningkatnya permintaan energi dan
cara penggunaan energi yang tidak efisien (Mahmoud, et al., 2009).

Gambar 2.5. Industri Pengguna Energi yang Intensif


(Sumber : Mahmoud, et al., 2009)
5 | Barriers to Improving Energy Efficiency in Industry – Soepardi (2017)
2.3 Indikator Efisiensi penggunaan energi
Menurut Cagno et al. (2015), efisiensi penggunaan energi dapat diukur menggunakan
tiga macam indikator, yaitu (1) konsumsi energi spesifik (Specific Energy Consumption-
SEC), (2) adopsi teknologi hemat energi terbaik yang tersedia (Best Available Technologies),
dan (3) persepsi hambatan/kendala/rintangan dalam melakukan efisiensi penggunaan energi
(Barriers Energy Efficiency).

Konsumsi energi spesifik


Dalam proses industri, seperti industri baja, output yang berguna biasanya diukur sebagai
ton produk yang dihasilkan. Oleh karena itu, indikator physical-thermodynamic seperti SEC
merupakan indikator aktual, obyektif serta paling sering digunakan untuk mengukur efisiensi
penggunaan energi (Siitonen et al., 2010). Istilah lain yang sering digunakan untuk
menggantikan istilah konsumsi energi spesifik adalah intensitas energi (IEA, 2007), nilai
intensitas energi (Worrell et al., 2008) atau intensitas konsumsi energi (Tanaka, 2008). SEC
didefinisikan sebagai berikut (EC, 2008) :

dimana SEC diukur dalam GJ/t.


Energi yang digunakan dalam suatu proses produksi dapat memiliki bentuk yang
berbeda-beda, seperti sebagai bahan bakar, uap, dan listrik. Dalam situasi ini, SEC proses
dihitung sebagai berikut (EC , 2008) :

dimana mana EFuels adalah konsumsi bahan bakar, ESteam adalah konsumsi uap, dan EElectricity
adalah konsumsi listrik yang digunakan pada proses. Jika SEC didefinisikan menurut
persamaan ini, maka umumnya disebut sebagai konsumsi energi final. Jika produksi uap dan
listrik diperhitungkan maka SEC disefinisikan sebagai konsumsi energi primer dengan
persamaan sebagai berikut (EC, 2008) :

6
dimana ηSteam adalah efisiensi produksi uap dan ηElectricity adalah efisiensi produksi listrik.
Konsumsi energi primer ini termasuk konsumsi energi yang dibutuhkan instalasi yang
digunakan dalam proses tetapi tidak termasuk pada tahapan sebelumnya dalam siklus bahan
bakar, seperti produksi bakar, transportasi atau penyimpanan.
Menurut Phylipsen et al. (2002), umumnya nilai SEC yang diperoleh dari hasil
observasi operasi pabrik di seluruh dunia, dapat digunakan sebagai referensi untuk
membandingkan tingkat efisiensi penggunaan energi yang sudah dicapai oleh suatu industri.
Worrell et al. (2008) telah memberikan informasi mengenai praktek baik nilai intensitas
energi untuk sektor industri yang dipilih, termasuk besi dan produksi baja.

Adopsi teknologi hemat energi terbaik yang tersedia


Pada industri padat energi, selain SEC indikator yang juga sering digunakan untuk
mengetahui potensi teknis peningkatan efisiensi penggunaan energi adalah implementasi
atau adopsi teknologi hemat energi terbaik yang tersedia. Pada industri besi dan baja, jumlah
konsumsi energi spesifik sangat dipengaruhi oleh pemilihan jalur atau rute produksi (Flues
et al., 2015). Rute produksi ini berkaitan dengan teknologi proses yang digunakan dalam
aliran operasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, hampir 70% produksi baja kasar dunia diproduksi
menggunakan teknik produksi blast furnace/basic oxygen furnace (BF/BOF) dan hampir
29% menerapkan electric arc furnace (EAF) (WSA, 2013). Di samping dua jalur utama
tersebut terdapat pula beberapa teknologi penyedia bahan baku industri baja yang jumlahnya
relatif kecil seperti teknologi direct smelting, rotary kiln, dan open hearth furnace.
Analisis yang dilakukan oleh Lutz et al. (2005) dan Schleich (2007) menunjukkan
bahwa konsumsi energi pada rute BF/BOF lebih tinggi daripada jumlah energi yang
diperlukan pada rute EAF. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan teknik
produksi ini yang membatasi potensi untuk substitusi metode. Salah satunya adalah aspek
kualitas baja kasar yang dihasilkan dan ketersediaan bahan baku. Selain itu struktur biaya
produksi dari setiap rute juga berbeda (Flues et al., 2015). Sementara itu, kualitas produk
baja kasar yang dihasilkan juga berbeda, rute produksi baja primer menggunakan bahan baku
bijih besi, sedangkan rute produksi sekunder mendaur ulang produk besi bekas atau yang
biasa disebut scrap.

7 | Barriers to Improving Energy Efficiency in Industry – Soepardi (2017)


Persepsi kendala dalam melakukan efisiensi penggunaan energi
Menurut Sorrel et al. (2000), beberapa studi menunjukkan bahwa masih adanya faktor-
faktor potensial yang menghambat implementasi tindakan efisiensi penggunaan energi
(barriers to energy efficiency), yaitu tidak diadopsinya langkah-langkah efisiensi
penggunaan energi oleh industri, walaupun dari tinjauan aspek teknik dan ekonomi, tindakan
tersebut layak untuk diterapkan. Penemuan deviasi antara efisiensi penggunaan energi
tingkat optimal dan tingkat implementasi aktual disebut energy-efficiency gap atau energy
paradox (Jaffe dan Stavins,1994).
Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis
kendala-kendala tersebut tetapi peluang untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi
selalu tetap ada (Worrell et al., 2010). Hal ini menunjukkan bahwa masih adanya keberadaan
rintangan yang menghambat keberhasilan peningkatan efisiensi penggunaan energi (Trianni
et al., 2013). Pemahaman mengenai hambatan yang membatasi adopsi langkah-langkah atau
tindakan hemat energi, baik teknologi maupun praktek, dalam sektor industri sangat penting
diidentifikasi untuk dapat mengembangkan kebijakan yang paling efektif untuk mengatasi
hambatan tersebut .
Jika studi-studi hambatan efisiensi penggunaan energi di atas tidak melibatkan inter-
koneksi antar kendala dimana setiap kendala dianggap bersifat independen dengan kendala
yang lain, maka beberapa penelitian tentang rintangan dalam implementasi tindakan efisiensi
penggunaan energi berikut ini menunjukkan adanya keterkaitan antar kendala-kendala
tersebut. Wang et al. (2008) menganalisis interaksi hambatan untuk memetakan dan
mendapatkan peringkat atau rangking dari setiap hambatan dalam adopsi efisiensi
penggunaan energi di Cina. Studi Nagesha dan Balachandra (2006) mengidentifikasi struktur
kendala efisiensi penggunaan energi pada beberapa klaster sektor industri berskala kecil di
India. Mereka mengusulkan model multi-structural level atau bentuk hirarki untuk setiap
kendalanya. Sedangkan Hasanbeigi et al. (2009) menunjukkan bahwa adanya hubungan
keterkaitan antara rintangan dalam implementasi tindakan efisiensi penggunaan energi di
Thailand dan mengusulkan suatu kerangka kerja untuk proses pengambilan keputusan dalam
investasi efisiensi penggunaan energi.

8
1.4 Faktor kendala efisiensi penggunaan energi
Menurut Sorrel et al. (2000) atau SPRU (2000) dikatakan bahwa:
“A barrier is a postulated mechanism that inhibits investment in technologies that are both
energy efficient and (apparently) economically efficient”

Jadi semua faktor yang menghambat investasi teknologi yang efisien ditinjau dari aspek
penggunaan jumlah energi maupun dari aspek ekonomi, dapat disebut sebagai kendala.
Untuk menentukan keberadaan suatu kendala, menurut Weber (1997) secara empiris perlu
diketahui 3 hal sebagai berikut: (1) Jenis kendalanya; (2) Aktor atau area yang dihambat;
dan (3) Hal apa yang dihambat. Misalnya, kendala berupa kekurangan atau ketiadaan modal
(jenis kendala) dapat menghambat perusahaan (aktor yang dihambat) dalam pembelian
peralatan/mesin hemat energi (hal yang dihambat).
Hampir semua studi terkait dengan kendala implementasi efisiensi penggunaan energi,
menggolongkan jenis-jenis kendala dalam tiga pendekatan, yaitu: ekonomi neo-klasik,
perilaku, dan organisasi. Tabel 2.1 menunjukkan penggolongan kendala beserta penjelasan
dari setiap jenis kendala tersebut.
Tabel 2.1. Taksonomi kendala efisiensi energi

Sumber: Sorrel et al. (2000)


Tabel 2.1. Taksonomi kendala efisiensi energi (lanjutan)

9 | Barriers to Improving Energy Efficiency in Industry – Soepardi (2017)


Sumber: Sorrel et al. (2000)

Pendekatan ekonomi terhadap kendala


Pendekatan ini terkait dengan evaluasi ekonomi terhadap investasi efisiensi energi, di
mana mencoba untuk menyesuaikan adanya kesenjangan efisiensi dengan hipotesis bahwa
konsumen membuat suatu keputusan terkait dengan efisiensi energi dengan cara yang
sepenuhnya rasional. Ekonomi neo-klasik mengasumsikan bahwa individu memiliki
preferensi yang stabil dalam mencapai kepuasan melalui informasi dari transaksi pasar yang
mereka lakukan. Penerimaan atau penolakan terhadap teknologi hemat energi
mencerminkan evaluasi rasional terhadap biaya dan manfaat yang relevan yang dapat
mereka peroleh. Oleh karena itu, faktor informasi yang tidak sempurna dapat mempengaruhi
keputusan mereka untuk mengadopsi teknologi hemat energi.

Pendekatan perilaku terhadap kendala


Pendekatan ini dikembangkan berdasarkan keilmuan psikologi sosial dan telah
mendapatkan perhatian khusus dalam efektivitas pencapaian peningkatan efisiensi energi.
Kendala neo-klasik yang dibahas sebelumnya, dimana alasan rasionalitasnya adalah akan
menghambat investasi teknologi hemat energi jika tidak dapat memaksimalkan laba
perusahaan, sangat mendominasi model ekonomi-energi. Akan tetapi jika ditinjau dari
rasionalitas hipotesisnya, beberapa ahli menganggap memiliki kelemahan. Seringkali
ketiadaan informasi yang lengkap tentang investasi teknologi hemat energi disebabkan oleh
minimnya kemampuan atau keahlian yang dimiliki perusahaan dalam memproses dan
menerapkan informasi yang tersedia. Oleh karena itu, konsep dari perspektif perilaku juga

10
harus diterapkan, yaitu konsepsi perilaku rasional, yang dikenal sebagai rasionalitas terbatas,
yang memasukkan “dimensi manusia” dengan menekankan pada kendala waktu, perhatian
dan kemampuan tenaga kerja untuk memproses informasi.

Pendekatan organisasi terhadap kendala


Pendekatan ini muncul karena adanya interaksi antar fungsi yang berbeda dalam satu
perusahaan dalam merespon aktivitas investasi teknologi untuk meningkatkan efisiensi
energi. Dalam hal ini, pendekatan organisasi mendasarkan argumennya pada konsep teori
organisasi, salah satunya adalah teori kontingensi. Teori ini menekankan bahwa tidak ada
satu cara terbaik untuk mengatur suatu organisasi
Faktor kendala dalam investasi teknologi hemat energi yang berkaitan dengan teori ini,
antara lain struktur organisasi, wewenang, dan kultur atau budaya organisasi. Struktur
organisasi yang tepat akan tergantung pada sifat tugas dan tuntutan lingkungan. Pendekatan
manajemen yang digunakan harus mempertimbangkan kesesuaian antara organisasi, tugas
dan lingkungan organisasinya.

Taksonomi kendala implementasi tindakan efisiensi energi baru telah diusulkan oleh
Cagno et al. (2013). Taksonomi ini lebih banyak melibatkan faktor kendala yang
dimungkinkan berkontribusi terjadinya hambatan dalam adopsi tindakan hemat energi.
Mereka melibatkan aktor atau area yang terkena hambatan. Selain itu, penggolongan kendala
juga didasarkan pada sumber dari mana kendala tersebut berasal, seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 2.2.

11 | Barriers to Improving Energy Efficiency in Industry – Soepardi (2017)


Tabel 2.2. Taksonomi kendala baru usulan Cagno et al. (2013)

12

Anda mungkin juga menyukai