Anda di halaman 1dari 3

SIARAN PERS

“RESPON JARINGAN PEMBELA HAK PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN SEKSUAL (JPHPKKS)


ATAS KASUS PEMBUNUHAN BRIGADIR YOSUA HUTABARAT (BRIGADIR J) YANG
MELIBATKAN DUGAAN ADANYA MOTIF KEKERASAN SEKSUAL”
Kasus kematian Brigadir J telah menjadi perbincangan yang cukup hangat di tengah
masyarakat sejak dua bulan yang lalu hingga hari ini. Perbincangan yang terus memanas di
masyarakat, tidak terlepas dari berbagai kejanggalan yang terekspose mengiringi kematian
Brigadir J dan keterlibatan sejumlah personel kepolisian dalam kasus tersebut. Adapun isu
kekerasan seksual diduga sebagai motif pembunuhan sempat muncul di awal kasus, namun
kasusnya dihentikan oleh Kepolisian setelah dilakukan investigasi dan gelar perkara.
Laporan tersebut dihentikan atau SP3 karena tidak memiliki peristiwa pidana.
Isu kekerasan seksual kembali mencuat menyusul kesimpulan dan rekomendasi yang
disampaikan oleh Lembaga Negara yang terlibat dalam pemeriksaan kasus pembunuhan
Brigadir J Dimana kesimpulan dan rekomendasi tersebut banyak menuai kritikan publik. Di
satu sisi Lembaga Negara tersebut menyatakan dalam temuannya, bahwa terdapat langkah-
langkah sistematis untuk menghalang-halangi proses hukum atau obstruction of justice.
Tetapi disisi yang lain, tetap memeriksa PC dan tidak mencurigai perubahan TKP yang
semula di Jakarta diubah ke Magelang, juga mengubah dari laporan pelecehan seksual
menjadi kekerasan seksual.
Sebagai Jaringan yang concern dengan isu kekerasan seksual, kami ingin menyampaikan
beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, bahwa benar adanya ketimpangan gender di masyarakat membuat perempuan
dipandang lebih rentan ketimbang laki-laki sebagai korban kekerasan seksual. Sehingga
tidak melihat latar belakang dan status sosial perempuan, perempuan bisa menjadi korban.
Namun disisi lain, anggapan bahwa semua perempuan lemah dan tidak berdaya juga keliru.
Perempuan memiliki agensi pada dirinya, dan mengabaikan hal ini justru membuat kita
menjadi bias.
Dalam kasus PC kita perlu hati-hati, profil PC berbeda dengan umumnya korban kekerasan
seksual yang diketahui atau didampingi lembaga layanan selama ini. Ada peristiwa besar
terkait pembunuhan berencana dan temuan obstruction of justice dimana PC yang mengaku
sebagai korban KS merupakan tersangka pembunuhan dan terlibat dalam upaya
perintangan proses hukum. Laporan PC sebelumnya terkait pelecehan seksual di TKP Jakarta
berakhir dihentikan, dan dianggap sebagai upaya menghalangi penyidikan. Dengan
preseden sebelumnya, tidak menutup kemungkinan pengakuannya terakhir sebagai korban
perkosaan di TKP Magelang, menjadi obstruction of justice jilid kedua, setelah yang pertama
gagal, untuk menutup-nutupi motif sebenarnya dibalik terbunuhnya Brigadir J.
Analisis relasi kuasa antara pelaku kekerasan dengan perempuan korban yang biasanya
digunakan dalam kasus perkosaan atau kekerasan seksual lainnya, tidak serta merta dapat

1
diterapkan begitu saja dalam kasus PC. Faktor relasi mana yang lebih dominan dalam
hubungan PC dengan Brigadir J terutama terkait status sosial, struktur dan kultur kepolisian,
semua faktor-faktor ini perlu dipertimbangkan
Kedua, kasus pembunuhan Brigadir J memperlihatkan ada permasalahan serius di tubuh
Polri, sehingga perlu melakukan pembenahan. Terutama terkait penanganan kasus
kekerasan seksual yang masih diskriminatif selama ini. Dalam kasus PC sebagai tersangka,
penyidik tidak melakukan penahanan padahal ia merupakan tersangka pembunuhan
berencana dengan ancaman hukuman yang serius dan terlibat dalam tindakan obstruction
of justice. Sebelumnya, laporan PC terkait pelecehan seksual di Polres Jakarta Selatan
secara cepat di proses ke tahap penyidikan.
Respon penyidik memperlihatkan sikap yang membedakan atau tepatnya memberikan
perlakuan istimewa (privilis) terhadap PC dibanding banyak perempuan lainnya baik sebagai
tersangka maupun sebagai korban kekerasan seksual. Dari banyak laporan penanganan
kasus kekerasan seksual, laporan korban sulit diproses, dan membutuhkan usaha keras
untuk bisa naik ke tahap sidik, bahkan menghabiskan waktu yang lama namun tidak berhasil.
Begitupun bagi perempuan tersangka atau terpidana, penahanan tetap dilakukan meskipun
memiliki anak bayi bahkan yang masih menyusui.
Berdasarkan catatan tersebut, Kami meminta kepada Kepolisian dan lembaga yang memiliki
kewenangan serta pihak terkait lainnya, agar:
1. Kepolisian segera melakukan pembenahan di internalnya, dan menghentikan praktek
diskriminasi terhadap korban kekerasan seksual selama ini, termasuk diskriminasi dalam
pelayanan dan penegakan hukum berdasarkan status sosial.
2. Mempercayakan kepada Kepolisian untuk membuka secara terang benderang
kebenaran dibalik kematian Brigadir J. Dan Kepolisian harus bekerja secara profesional
dan akuntabel.
3. Khususnya, bagi lembaga negara yg melakukan pemantauan agar menjalankan sesuai
tugas dan fungsi yang diemban dalam kasus pembunuhan Brigadir J dengan secara jernih
mempertimbangkan seluruh fakta-fakta.
4. Dalam penerapan analisis relasi kuasa pada laporan dugaan kekerasan seksual, perlu
mempertimbangkan faktor relasi mana yang lebih dominan dalam hubungan PC dengan
Brigadir J terkait dengan status sosial, struktur dan kultur kepolisian, semua faktor-faktor
ini perlu dipertimbangkan.
5. Kepolisian agar menghadirkan ahli-ahli secara independen, untuk mencegah upaya
perintangan proses hukum (obstruction of justice), agar preseden sebelumnya tidak
berulang.
6. Mendorong adanya kebijakan afirmasi bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum
(PBH) dengan situasi khusus, misalnya tahanan perempuan yg punya balita apalagi
menyusui, perlu mempertimbangkan peran reproduksi mereka.

Jakarta, 08 September 2022


JARINGAN PEMBELA HAK PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN SEKSUAL (JPHPKKS)

2
Contact Person:
1. Ratna Batara Munti (0813 1850 1072)
2. Yeni Rosa Damayanti (0812 8296 7011)
3. Lia Marpaung (0812 8328 5818)
4. Salma Safitri Rahayaan (082231708622)
5. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (021 8370 1809)

Anda mungkin juga menyukai