Anda di halaman 1dari 2

HITAM BERSAYAP PUTIH

Hagi Ridho Raras

Malam ini, tabuh genderang perang kian berderu. Sisi putih diriku menampar
keras, membisikkanku untuk berhenti dari banyaknya maksiat yang telah kuraup.
Sedangkan lawannya, tak hentinya merayuku dengan kenestapaan hidup yang
mengerikan di luar sana.

“Mei, tak ada gunanya seperti itu. Bersegeralah keluar dan nikmati malam ini!”

Tak satu katapun keluar dari mulutku untuk mengiyakannya. Akupun segera
keluar dan duduk menyendiri di sudut ruangan. Tak lama kemudian, seorang pria
menghampiri dan duduk menyebelahiku. Parasnya tampan, matanya teduh, poninya
lurus menutupi dahinya yang putih.

“Berapa?”

“Siapa namamu?”

“Djenar. Berapa?”

“...........”

“Berapa?”

“Kau tak akan sanggup membayarnya.”

(Dia menatap mataku penuh makna) “Aku ingin dipuaskan malam ini.”,
sahutnya pelan.

“Kau tak akan pernah tau rasanya betapa sulit berjuang agar bisa terhindar dari
dunia gelap ini. Kusarankan untuk tidak sekalipun menjejakkan kakimu untuk mencicipi
kenikmatan yang tak seberapa. Enaknya hanya sebentar, tapi akibatnya berkepanjangan.
Itupun juga jika Tuhan sudi memaafkanmu.”

“Apa maksudmu?”

“Percayalah, jika bukan karena adikku yang kelaparan. Aku enggan melakukan
pekerjaan nista ini. Dan aku tahu, kau bukan penikmat dunia malam. Kulihat di matamu
ada samudera kebaikan, hanya ada sepenggal badai jemu yang membuatmu jengah. Jika
kau tak pandai meluapkannya, luluh lantak seluruh tarikan nafasmu. Dan lagi aku tak
melihat birahi yang meletup darimu, yang ada hanya tatapan kosong”

Pikiranku menerawang jauh menembus langit. Air mulai menetes dari muara
mataku. Teringat akan nasihat terakhir ibuku, “Wong urip kudu bener laku lan
pituture!”. Bagaimana mungkin aku meraih surga-Nya, jika aku sendiri yang menutup
pintunya. Dan setelah ini, tak akan kubiarkan seorangpun menemaniku di kegelapan
yang tiada berujung kelak.

“Kau di sini untuk memuaskan, bukan untuk memberi ceramah.”

“Dan kau, tidak seharusnya ada di sini bukan?” tanyaku. “Manamungkin aku
tega membiarkan seseorang membayarku hanya untuk menggadaikan ketulusan jiwanya
demi kenikmatan semu.”

Dia mendekatkan tubuhnya, mengenggam erat kedua lenganku, dan menatapku


tajam, lebih tajam dari yang pertama. Kali ini, kuberanikan diri untuk balik menatap
mata indahnya.

“Sudah kubilang kau tak akan mampu membayarnya. Pergilah!”

*****

Perkenalkan saya Hagi Ridho Raras terlahir pada tanggal 30 Januari 21 tahun
silam dari pasangan Bambang Triyono dan Ninik Lestari. Saat ini saya mendapat
amanah dari Allah SWT untuk menjadi mahasiswa Teknik Geologi UGM. Saya bisa
dihubungi melalui akun FB Hagi Ridho Raras atau nomor telepon 085726905737. Saya
berdomisili di Jogjakarta

Anda mungkin juga menyukai