Anda di halaman 1dari 2

SANG PEMELIHARA KEHIDUPAN

Lelaki itu sedang duduk menunduk di bawah pohon yang "suntuk", ia menundukkan
kepalanya dalam-dalam setelah melihat keadaan di sekitar perbukitan Selomangleng. Tidak ada
satu patah katapun yang keluar dari bibirnya, kecuali hening merinding seketika mataku
terbuka, aku tersadar dari tidur malam. Aku merasa bingung atas mimpi yang baru saja.
Mengapa ada di mimpiku. Aku sungguh merasa aneh dan linglung pada saat yang bersamaan.
Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam hatiku. Lalu, aku putuskan untuk tidak
melanjutkan tidur, duduk termenung di atas kasur sambil memikirkan apa yang akan terjadi.
Tampak sambutan cahaya Matahari yang masih malu-malu muncul dari ufuk timur.
Tanpa menunggu lama, aku segera bergegas memakai topi Panama menuju perbukitan
Selomangleng. Kulangkahkan kakiku ke perbukitan Selomangleng itu. Sesampainya di bukit,
kulihat ada bekas kebakaran semak-semak yang terjadi semakin menambah suasana gersang.
Banyak pohon yang mati karena terbakar. Tidak banyak hewan-hewan hutan yang dapat tinggal
di sana. Tampaknya baru saja terjadi kebakaran semak yang meluas. Kerusakan seperti itu
pernah di peringatkan oleh Tuhan dalam Firman Nya “Telah tampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Entah kerusakan itu, kebakaran itu karena disulut oleh manusia atau karena alam yang
sedang kemarau. Aku pun tak begitu tahu. Namun, naluriku berkata, naluriku memberi tahu
bahwa menanam kembali itu lebih baik. Aku pun melanjutkan perjalanan ke tepi hutan yang
tidak terbakar. Di tepi hutan itu aku mencari pohon-pohon kecil di antara pohon-pohon besar.
Kemudian ku gali pohon kecil itu untuk ku pindahkan ke tempat yang baru yaitu perbukitan
Selomangleng itu. Tentu juga kurawat dan kusirami di hari-hari berikutnya agar bisa bertahan
hidup ditempat yang baru. Ada beberapa pohon yang bisa bertahan hidup dan tumbuh
berkembang, namun ada juga pohon yang layu. Namun tekad ku sudah bulat, aku tetap
melanjutkan perjuangan ku menghijaukan perbukitan Selomangleng, karena sesungguhnya
Tuhan berfirman “Barangsiapa yang memelihara kehidupan, maka dia seakan-akan memelihara
seluruh kehidupan”. Meskipun ada beberapa orang yang pesimis terhadap tekadku itu. Namun
aku percaya bahwa menghijaukan perbukitan itu, sama halnya dengan aku menyelamatkan
makhluk hidup yang tinggal di sekitar lingkungan tersebut. “Seperti kamu, mahluk lain di alam
lain di alam semesta layak untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang.” Siddharta Gautama
Buddha.
Bulan berikutnya aku mulai menanami bukit itu dengan bermacam bibit buah-buahan dan
beberapa bunga. Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, pohon-pohon kecil yang dulu itu
telah tumbuh menjadi pohon-pohon besar, bibit yang ku tanam mulai tumbuh tinggi dan lebat.
Akar-akarnya menguat. Hal itu menjadikan lingkungan perbukitanu Selomangleng menjadi
semakin hijau sehingga cukup memberikan kesejukan dan pasokan air untuk lingkungan
sekitar. Banyak petani sudah tidak mengeluh akan ketersediaan air, sehingga panen yang mereka
dapatkan cukup melimpah. Petani berbahagia, perbukitan Selomangleng kini bukan lagi
pemandangan bukit yang tandus seperti dulu. Sekarang tanahnya hijau dan udara di sekitarnya
segar.
Cita-citaku telah menjadi kenyataan. Cita-cita yang mulai dari mimpi, pada malam itu.
Lanjut ku kembangkan cita-cita itu, dengan cara pemberdayaan bersama warga. Peran serta
masyarakat sangat berpengaruh terhadap kemajuan desa. Jika masyarakat aktif dan dapat
bekerjasama dengan pemerintah maka akan dapat menjadi desa yang maju dalam hal
pembangunan maupun pemberdayaan. Hal itu sesuai dengan Firman Tuhan “Dan hendaklah di
antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang
makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Senja menghilang di balik bukit sebelum jam belum benar-benar menunjukan pukul
enam lewat, tetapi desa di balik bukit itu sudah remang-remang, karena berada di seberang
bukit. Sisa-sisa rona senja memantul indah dari atas bukit dan terpancar ke perkampungan.
Anak-anak kecil dengan riang kembali ke rumahnya mereka masing-masing dengan membawa
cerita-cerita unik yang terjadi di tanah kelahiran mereka sendiri.
Bulan merangkak semakin tinggi. Cahaya yang memantul ke permukaan sungai
membias ke pucuk-pucuk pepohonan di atas bukit itu, cahaya bulan itu memantul dan
merambah di antara pepohonan. Bulan malam seperti merasakan untuk optimis. Lanjut siap
melancarkan proyek itu karena telah kita musyawarahkan. Untuk membangun jalan yang lebih
lebar dan bagus menuju bukit. Saat bulan berpindah posisi dan sedikit bias cahayanya menyusup
masuk dari sela-sela atap rumah yang dibiarkan sedikit terbuka, sesaat setelah mengibas tirai
pembatas ruang tengah dan ruang tamu, saat hendak melangkah ke ruang tamu, aku bergumam.
“Desaku ini adalah tanah tetes keringat para bapak kami.” Aku berbisik seperti tak terdengar
oleh diriku sendiri .
Kini, bumi tempat kami berpijak itu telah berkembang menjadi destinasi wisata. Terima
kasih kepada semua warga.
TERIMA KASIH TUHAN

Anda mungkin juga menyukai