Anda di halaman 1dari 5

CAHAYA TAKBIR

Syifa Aulia

“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa Ilaaha Illa Allah
Huwaallahu Akbar…”

Suara takbir terdengar mengisi kegelapan malam. Suara yang


penuh makna dengan nada yang merdu, membuat semua orang
mengingat akan kebesaran-Nya.

Mungkin kalian berpikir malam ini adalah malam hari raya


yang penuh dengan kegembiraan. Malam dimana seluruh anggota
keluarga berkumpul untuk mempersiapkan kebutuhan di hari raya.
Tidak, ini bukan malam kebahagiaan.

***

Bintang-bintang bersinar dengan cahayanya. Ketika udara


malam masih menyelimuti mimpi, beberapa santriwati sudah
bangun untukn melaksanakan sholat malam serta memanjatkan
doa, memohon kepada Sang Khaliq. Untuk mengambil makan sahur
kami harus mengantri, namun tentulah hal itu sudah menjadi hal
yang biasa. Kemudian setelah adzan shubuh berkumandang, kami
pun segera pergi ke masjid dan melaksanakan sholat shubuh
berjamaah. Untuk sesaat, semuanya berjalan seperti biasa.

Mentari terus bergulir ke arah barat, hingga akhirnya waktu


berbuka pun tiba. Aku dan teman-temanku pun segera berkumpul
untuk menyantap hidangan berbuka. Tak begitu mewah seperti di
rumah memang, namun cukup untuk menghilangkan dahaga.
Momen ini adalah saat yang paling ditunggu oleh kami setelah
berpuasa seharian penuh. Setelah berbuka, kami melaksanakan
shalat maghrib. “Rasanya hari ini begitu menyenangkan,” bisikku
dalam hati.
Namun, tanpa disadari oleh siapapun, ternyata Allah
mempunyai scenario lain untuk membuat malam ini lebih berarti.
Di sebelah barat pulau Jawa, ribuan mil jauhnya ada sesuatu yang
sedang perintah dari-Nya, sesuat yang mungkin tidak akan disadari
oleh siapapun saat itu.

***

Setelah shalat maghrib,aku dan teman-temanku segera makan


bersama kelompoknya. Hidangan yang kami santap terasa begitu
nikmat. Tak terasa kebersamaan berlangsung begitu cepat. Hingga
saatnya pun tiba…

Sebuah getaran akibat longsor besar terjadi dalam waktu


persekian detik. Menghantamsamudra yang tenang menjadi lautan
yang penuh dengan gelombang yang berkecamuk.Mengejutkan
jutaan biota laut yang hidup di sana. Membentuk sebuah getaran
besar yang menghancurkan semua yang dilaluinya. TANPA AMPUN!

Mulai dari pohon hingga gedung-gedung pencakar langit,


membuat orang-orang berlarian untuk meyelamatkan dirinya.
Getaran itu terus melaju, tak peduli dengan apa yang dilaluinya.
Dengan kecepatan puluhan kilometer persekian detik, hingga
akhirnya sampailah di sekolahku, SMP Tashfia.

“Eh, rasanya pusing ya..?” tanyaku kepada teman yang


ada di hadapanku.

“GEMPAAA…!!!” teriak orang-orang.

Semuanya berlarian kebingunan. Getaran yang kuat


masih dapat kami rasakan. Meliha tiang lampu bergetar, dan dunia
seolah diguncangkan. Bayangkanlah kepanikan saat itu. Suasana
yang awalnya begitu tenang dan damai kini menjadi penuh rasa
cemas dan takut.Semua saling bertanya, apa yang terjadi, apa yang
harus dilakukan, apakah akan terjadi tsunami, bagaiman keadaan
orang tua di sana?

Pertanyaan demi pertanyaan terus beputar di pikiran


kami, namun Jawaban tak kunjung menyahuti kami. Kehidupan
pesantren yang terisoasi dari dunia luar membuat kami tak bisa
memastikannya. Memikirkan nasib keluarga dan kerabat yang ada
disana. Bagaimana jika kami tak bisa bertemu dengan mereka lagi?

***

Syukurlah gempa tersebut berlangsung tidak terlalu lama.


Namun kecemasan masih dapat kami rasakan. Dan benar saja,
beberapa hari setelah itu kami menjadi benar-benar
terisolasi.Bukan karena mengungsi ke daerah terpencil untuk
menghindari gempa susulan, melainkan putusnya jaringan pada
saat itu membuat kami tak bisa berkutik. Seluruh listrik padam,
saatt itu adalah hari Minggu. Beberapa dari kami masih melakukan
puasa Arafah di bulan haram ini.

Waktu terus berlalu, kami hampir saja kehabisan air.


Hingga akhirnya kami harus menggunakan generator sementara.
Siang pun berganti malam. Burung-burung kembali ke sarangnya,
berkumpul bersama anaknya. Sedangkan kami masih terperangkap
di dalam kegelapan. Setelah berbuka kami pun menuju masjid,
hanya dengan mengandalkan cahaya bersama anaknya. Sedangkan
kami masih terperangkap di dalam kegelapan. Setelah berbuka kami
pun menuju masjid, hanya dengan mengandalkan cahaya bersama
anaknya. Sedangkan kami masih terperangkap di dalam kegelapan.
Setelah berbuka kami pun menuju masjid, hanya dengan
mengandalkan cahaya dari bulan dan ingatan kami untuk
menunjukkan jalan. Saat malam semakin larut, kegelapan semakin
merajaleal. Benar-benar gelap.
***

Tak ada rotan, akar pun jadi. Kira-kira itulah peribahasa


yang cocok untuk menggambarkan keadaan kami saat ini. Hanya
mengandal kan sebuah lampu emergency yang menyala dan hiasan
lampu dari beberapa pulpen untuk menyinari kesedihan kami.
Mengapa listrik tak kunjung hidup, apakah karena gempa itu? Taka
da yang tahu kabar di luar sana.

Kami masih mencemaskan keluarga di luar sana. Tak ada


kabar apapun. Kami berkumpul di lantai satu di bawah penerangan
lampu seadanya. Tak peduli kelas 8 ataupun 9 Rasa khawatir kami
sama. Dalam sebuah ketakutan yang dipeluk erat dengan rasa saling
memahami. Kami pun memutuskan untuk bertakbir.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaaha


Illa Allah Huwallahu Akbar, Allahu Akbar Wa Lillaah Hilham..”suara
takbir terus terdengar, semakin keras dan merdu.

Ya Allah, Maha Besar diri-Mu. Engkau selalu mempunyai


rencana yang baik dalam segala urusan. Aku tak pernah menyangka
hal ini bisa sangat menyentuhku. Selama dua tahun aku di sini, ini
adalah pemandangan kebersamaan yang sangat indah. Kami saling
merangkul, menangis, dan menyemangati yang lain. Itulah
kebersamaan pesantren, susah dan senang, semuanya saling
berbagi rasa. Bersama menghadapi kesulitan dan keterpurukan.
Menjalani indahnya hidup sederhana.

Mungkin kami memang terisolasi dari dunia luar, tapi


tidak untuk perasaan kami. Dan setelah peristiwa ini, aku sadar
akan indahnya dan nikmatnya berada di tempat ini. Dan aku selalu
yakin pertolongan Allah itu selalu ada bagi hamba-hamba-Nya yang
memohon dan bersabar.
Benar saja, tak lama setelah itu, dengan izin-Nya, lampu
kembali menyala. Air mata mulai berhenti, tangis menjadi tawa
haru. Setelah lama menunggu, akhirnya kami dapat merasakan
kembali nikmat-Nya. Para santriwati kembali ke kamarnya masing-
masing. Sungguh bersyukur dan bersabar adalah nikmat yang indah.
Di tengah kesunyian dalam kesendirian, ku pandang bulan bersinar,
sambil berbisi dalan hati, ‘Terimakasih, Ya Allah…’

Anda mungkin juga menyukai