“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa Ilaaha Illa Allah Huwaallahu Akbar…”
Suara takbir terdengar mengisi kegelapan malam. Suara yang
penuh makna dengan nada yang merdu, membuat semua orang mengingat akan kebesaran-Nya.
Mungkin kalian berpikir malam ini adalah malam hari raya
yang penuh dengan kegembiraan. Malam dimana seluruh anggota keluarga berkumpul untuk mempersiapkan kebutuhan di hari raya. Tidak, ini bukan malam kebahagiaan.
***
Bintang-bintang bersinar dengan cahayanya. Ketika udara
malam masih menyelimuti mimpi, beberapa santriwati sudah bangun untukn melaksanakan sholat malam serta memanjatkan doa, memohon kepada Sang Khaliq. Untuk mengambil makan sahur kami harus mengantri, namun tentulah hal itu sudah menjadi hal yang biasa. Kemudian setelah adzan shubuh berkumandang, kami pun segera pergi ke masjid dan melaksanakan sholat shubuh berjamaah. Untuk sesaat, semuanya berjalan seperti biasa.
Mentari terus bergulir ke arah barat, hingga akhirnya waktu
berbuka pun tiba. Aku dan teman-temanku pun segera berkumpul untuk menyantap hidangan berbuka. Tak begitu mewah seperti di rumah memang, namun cukup untuk menghilangkan dahaga. Momen ini adalah saat yang paling ditunggu oleh kami setelah berpuasa seharian penuh. Setelah berbuka, kami melaksanakan shalat maghrib. “Rasanya hari ini begitu menyenangkan,” bisikku dalam hati. Namun, tanpa disadari oleh siapapun, ternyata Allah mempunyai scenario lain untuk membuat malam ini lebih berarti. Di sebelah barat pulau Jawa, ribuan mil jauhnya ada sesuatu yang sedang perintah dari-Nya, sesuat yang mungkin tidak akan disadari oleh siapapun saat itu.
***
Setelah shalat maghrib,aku dan teman-temanku segera makan
bersama kelompoknya. Hidangan yang kami santap terasa begitu nikmat. Tak terasa kebersamaan berlangsung begitu cepat. Hingga saatnya pun tiba…
Sebuah getaran akibat longsor besar terjadi dalam waktu
persekian detik. Menghantamsamudra yang tenang menjadi lautan yang penuh dengan gelombang yang berkecamuk.Mengejutkan jutaan biota laut yang hidup di sana. Membentuk sebuah getaran besar yang menghancurkan semua yang dilaluinya. TANPA AMPUN!
Mulai dari pohon hingga gedung-gedung pencakar langit,
membuat orang-orang berlarian untuk meyelamatkan dirinya. Getaran itu terus melaju, tak peduli dengan apa yang dilaluinya. Dengan kecepatan puluhan kilometer persekian detik, hingga akhirnya sampailah di sekolahku, SMP Tashfia.
“Eh, rasanya pusing ya..?” tanyaku kepada teman yang
ada di hadapanku.
“GEMPAAA…!!!” teriak orang-orang.
Semuanya berlarian kebingunan. Getaran yang kuat
masih dapat kami rasakan. Meliha tiang lampu bergetar, dan dunia seolah diguncangkan. Bayangkanlah kepanikan saat itu. Suasana yang awalnya begitu tenang dan damai kini menjadi penuh rasa cemas dan takut.Semua saling bertanya, apa yang terjadi, apa yang harus dilakukan, apakah akan terjadi tsunami, bagaiman keadaan orang tua di sana?
Pertanyaan demi pertanyaan terus beputar di pikiran
kami, namun Jawaban tak kunjung menyahuti kami. Kehidupan pesantren yang terisoasi dari dunia luar membuat kami tak bisa memastikannya. Memikirkan nasib keluarga dan kerabat yang ada disana. Bagaimana jika kami tak bisa bertemu dengan mereka lagi?
***
Syukurlah gempa tersebut berlangsung tidak terlalu lama.
Namun kecemasan masih dapat kami rasakan. Dan benar saja, beberapa hari setelah itu kami menjadi benar-benar terisolasi.Bukan karena mengungsi ke daerah terpencil untuk menghindari gempa susulan, melainkan putusnya jaringan pada saat itu membuat kami tak bisa berkutik. Seluruh listrik padam, saatt itu adalah hari Minggu. Beberapa dari kami masih melakukan puasa Arafah di bulan haram ini.
Waktu terus berlalu, kami hampir saja kehabisan air.
Hingga akhirnya kami harus menggunakan generator sementara. Siang pun berganti malam. Burung-burung kembali ke sarangnya, berkumpul bersama anaknya. Sedangkan kami masih terperangkap di dalam kegelapan. Setelah berbuka kami pun menuju masjid, hanya dengan mengandalkan cahaya bersama anaknya. Sedangkan kami masih terperangkap di dalam kegelapan. Setelah berbuka kami pun menuju masjid, hanya dengan mengandalkan cahaya bersama anaknya. Sedangkan kami masih terperangkap di dalam kegelapan. Setelah berbuka kami pun menuju masjid, hanya dengan mengandalkan cahaya dari bulan dan ingatan kami untuk menunjukkan jalan. Saat malam semakin larut, kegelapan semakin merajaleal. Benar-benar gelap. ***
Tak ada rotan, akar pun jadi. Kira-kira itulah peribahasa
yang cocok untuk menggambarkan keadaan kami saat ini. Hanya mengandal kan sebuah lampu emergency yang menyala dan hiasan lampu dari beberapa pulpen untuk menyinari kesedihan kami. Mengapa listrik tak kunjung hidup, apakah karena gempa itu? Taka da yang tahu kabar di luar sana.
Kami masih mencemaskan keluarga di luar sana. Tak ada
kabar apapun. Kami berkumpul di lantai satu di bawah penerangan lampu seadanya. Tak peduli kelas 8 ataupun 9 Rasa khawatir kami sama. Dalam sebuah ketakutan yang dipeluk erat dengan rasa saling memahami. Kami pun memutuskan untuk bertakbir.
Illa Allah Huwallahu Akbar, Allahu Akbar Wa Lillaah Hilham..”suara takbir terus terdengar, semakin keras dan merdu.
Ya Allah, Maha Besar diri-Mu. Engkau selalu mempunyai
rencana yang baik dalam segala urusan. Aku tak pernah menyangka hal ini bisa sangat menyentuhku. Selama dua tahun aku di sini, ini adalah pemandangan kebersamaan yang sangat indah. Kami saling merangkul, menangis, dan menyemangati yang lain. Itulah kebersamaan pesantren, susah dan senang, semuanya saling berbagi rasa. Bersama menghadapi kesulitan dan keterpurukan. Menjalani indahnya hidup sederhana.
Mungkin kami memang terisolasi dari dunia luar, tapi
tidak untuk perasaan kami. Dan setelah peristiwa ini, aku sadar akan indahnya dan nikmatnya berada di tempat ini. Dan aku selalu yakin pertolongan Allah itu selalu ada bagi hamba-hamba-Nya yang memohon dan bersabar. Benar saja, tak lama setelah itu, dengan izin-Nya, lampu kembali menyala. Air mata mulai berhenti, tangis menjadi tawa haru. Setelah lama menunggu, akhirnya kami dapat merasakan kembali nikmat-Nya. Para santriwati kembali ke kamarnya masing- masing. Sungguh bersyukur dan bersabar adalah nikmat yang indah. Di tengah kesunyian dalam kesendirian, ku pandang bulan bersinar, sambil berbisi dalan hati, ‘Terimakasih, Ya Allah…’