Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Wayang Di jawa Barat

Wayang Golek adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang
di daerah Jawa Barat. Daerah penyebarannya terbentang luas dari Cirebon di sebelah timur
sampai wilayah Banten di sebelah barat, bahkan di daerah Jawa Tengah yang berbatasan dengan
Jawa Barat sering pula dipertunjukkan pergelaran Wayang Golek.
Pendapat lain yang berkenaan dengan penyebaran wayang di Jawa Barat adalah pada
masa pemerintahan Raden Patah dari Kerajaan Demak, kemudian disebarluaskan para Wali
Sanga. Termasuk Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1568 memegang kendali pemerintahan di
Kasultanan Cirebon.
Beliau memanfaatkan pergelaran wayang kulit sebagai media dakwah untuk penyebaran
agama Islam. Baru sekitar tahun 1584 Masehi salah satu Sunan dari Dewan Wali Sanga yang
menciptakan Wayang Golek, tidak lain adalah Sunan Kudus yang menciptakan Wayang Golek
Pertama.
Pada waktu kabupaten-kabupaten di Jawa Barat ada di bawah pemerintahan Mataram,
ketika jaman pemerintahan Sultan Agung (1601-1635), mereka yang menggemari seni
pewayangan lebih meningkat lagi dalam penyebarannya, ditambah lagi banyaknya kaum
bangsawan Sunda yang datang ke Mataram untuk mempelajari bahasa Jawa dalam konteks
kepentingan pemerintahan, dalam penyebarannya wayang golek dengan adanya kebebasan
pemakaian bahasa masing-masing, seni pewayangan lebih berkembang, dan menjangkau hampir
seluruh Jawa Barat.
Sejarah Gedung Juang Tambun, Bekasi

Gedung Juang 45 Bekasi dulunya adalah Landhuis Tamboen, yang dikenal sebagai
Gedung Tinggi oleh warga setempat. Gedung ini dibangun oleh seorang Kapitan Cina bernama
Khouw Tjeng Kie, tuan tanah di daerah Tambun yang memiliki kebun tebu yang luas. Khouw
Tjeng Kie membangun Landhuis Tamboen melalui dua tahap. Pembangunan tahap pertama
berlangsung pada tahun 1906 dan selesai pada tahun 1910. Sedangkan pembangunan tahap
kedua berlangsung pada tahun 1925. Setelah Khouw Tjeng Kie meninggal, bangunan ini dimiliki
oleh Kouw Oen Huy hingga tahun 1942.
Landhuis dan tanah partikelir Tamboen disita dari keluarga Khouw pada tahun 1942 di
masa pendudukan Jepang dan dijadikan markas militer Jepang. Pada saat perang kemerdekaan
melawan Belanda, Gedung Juang 45 Bekasi dijadikan tempat pertahanan oleh para pejuang
kemerdekaan yang berpusat di wilayah Tambun dan Cibarusah termasuk Masjid Mujahiddin di
Cibarusah.
Pada masa kemerdekaan Gedung Juang 45 Bekasi ini menjadi Pusat Komando
Pertahanan wilayah Republik Indonesia saat beribukota di Yogyakarta. Pada tahun 1946 ketika
Jakarta dikuasai oleh NICA, Bekasi menjadi basis wilayah terluar RI yang paling dekat dengan
wilayah Jakarta.
Gedung ini juga pernah menjadi tempat perundingan pertukaran tawanan antara Belanda
dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia. Pejuang kemerdekaan Indonesia dipulangkan oleh
Belanda ke wilayah Bekasi dan edung Belanda dipulangkan ke Batavia melalui Stasiun Tambun
yang lintasan relnya tepat berada di belakang edung ini.
Pada tahun 1943 sampai tahun 1945 tentara Jepang menduduki edung ini dan
menjadikannya sebagai salah satu pusat kekuatan militernya. Setelah Jepang menarik diri dari
Indonesia pada tahun 1945, Komite Nasional Indonesia (KNI) menjadikan Gedung Juang 45
Bekasi digunakan sebagai kantor Kabupaten Jatinegara (kini menjadi wilayah Kabupaten
Bekasi). Tidak hanya menjadi kantor kabupaten, edung ini juga dijadikan tempat pertahanan dan
pusat komando dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari edung Belanda (NICA)
yang hendak menjajah Indonesia edung.
Pada pertengahan tahun 1947, Belanda melanggar Perjanjian Linggarjati dan melakukan
agresi militer pertama. Gedung Juang 45 Bekasi kemudian dikuasai oleh Belanda hingga tahun
1949, namun tahun 1950 pejuang Indonesia dapat merebut edung edung ini. Setelah edung ini
berhasil dikuasai dan wilayah Tambun berhasil diamankan, maka aktivitas pemerintahan edung
dilakukan di edung ini. Tercatat pada tahun 1950, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bekasi
menempati edung ini untuk pertama kalinya. Pada tahun 1951, edung ini diisi oleh Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat, Batalyon Kian Santang. Lembaga wakil rakyat pun pernah
berkantor di edung ini hingga tahun 1960 diantaranya DPRD Sementara, DPRD Tk. II Bekasi
dan DPRD-GR hingga tahun 1960, disusul oleh kantor-kantor dan jawatan lainnya hingga akhir
tahun 1982.
Cerita Rakyat Jawa Barat, Sangkuriang

Cerita ini bermula dari seorang dewa dan seorang dewi yang karena kesalahan yang
dibuatnya di kayangan, akhirnya harus menjalani hukuman di dunia. Keduanya dihukum untuk
berbuat kebaikan dalam hidupnya di bumi dalam bentuk seekor babi hutan dan seekor anjing.
Babi hutan jelmaan dewi itu bernama Wayung Hyang, sedangkan anjing jelmaan dewa itu
bernama Tumang. Wayung Hyang karena dihukum sebagai babi hutan atau celeng, maka ia
berusaha melakukan berbagai kebaikan di dalam sebuah hutan. Sementara Tumang, sang anjing
jelmaan dewa itu mengabdi sebagai anjing pemburu pada seorang raja yang bernama Sumbing
Perbangkara.
Pada suatu hari, raja Sumbing Perbangkara berburu ke hutan di tepi kerajaan. Di suatu tempat
yang dekat dengan tempat tinggal babi hutan Wayung Hyang, Sumbing Perbangkara ingin sekali
kencing. Ia kemudian kencing dan tanpa sengaja, tertampung dalam sebuah batok kelapa. Selang
beberapa saat, babi hutan Wayung Hyang yang sedang kehausan kemudian meminum air
kencing Sumbing Perbangkara. Siapa sangka, Wayung Hyang akhirnya hamil.
Sumbing Perbangkara yang pada dasarnya memang suka berburu kembali ke hutan
tersebut setelah berbilang bulan, tepat saat Wayung Hyang melahirkan seorang bayi perempuan
yang sangat cantik. Sumbing Perbangkara yang berburu kijang mendengar suara tangisan bayi.
Ditemani anjing pemburunya Tumang, ia akhirnya menemukan bayi perempuan yang tak lain
adalah anaknya sendiri. Terpikat oleh keelokan paras bayi itu, Sumbing Perbangkara
membawanya pulang dan mengangkatnya sebagai anak. Bayi perempuan itu kemudian diberi
nama Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi kemudian semakin dewasa dan tumbuh menjadi seorang putri yang berparas elok.
Kecantikan tersiar ke segenap penjuru kerajaan hingga didengar raja-raja dan para pangeran.
Dayang Sumbi diperebutkan. Perang besar terjadi di mana-mana. Merasa tidak nyaman dengan
perang yang terjadi di mana-mana karena memperebutkan dirinya, Dayang Sumbi akhir meminta
kepada ayahnya raja Sumbing Perbangkara untuk menyendiri dan pergi dari kerajaan. Sumbing
Perbangkara akhirnya mengijinkannya dan memberikan Tumang si anjing pemburu untuk
menemaninya. Dayang Sumbi tinggal di sebuah pondok di tepi hutan. Dengan kehidupannya
yang sederhana tak seorangpun yang tahu bahwa ia adalah Dayang Sumbi yang diperebutkan
banyak raja dan pangeran. Di pondok itu ia mengisi kegiatannya dengan menenun.
Suatu hari, saat menenun kain, Dayang Sumbi duduk di atas sebuah bale-bale. Karena
mengantuk, alat tenunnya yang disebut torak jatuh ke lantai. Dayang Sumbi merasa malas sekali
memungut torak itu, sehingga ia bersumpah bahwa ia akan menikahi siapapun yang
mengambilkan torak itu untuknya. Tumang, anjing yang ditugaskan menemani Dayang Sumbi
akhirnya mengambilkan torak yang terjatuh itu dan menyerahkannya kepada Dayang Sumbi.
Demi memenuhi sumpah yang terlanjur diucapkannya, Dayang Sumbi akhir menikah dengan
Tumang.
Raja Sumbing Perbangkara yang mengetahui hal itu akhirnya merasa sangat malu.
Putrinya yang cantik menikah dengan seekor anjing dan kini tengah mengandung. Dayang
Sumbi akhirnya diasingkan ke hutan bersama-sama dengan Tumang. Tidak ada seorangpun yang
tahu bahwa Tumang adalah jelmaan seorang dewa, kecuali Dayang Sumbi. Setiap malam
purnama, Tumang dapat menjelma menjadi seorang lelaki yang tampan.
Dayang Sumbi yang hamil akhirnya melahirkan seorang putra yang tampan. Kulitnya putih
dengan rambut lebat legam seperti arang. Dayang Sumbi memberinya nama Sangkuriang. Bayi
itu kemudian tumbuh menjadi anak yang tangkas.
Sangkuriang telah mulai mahir memanah, pada suatu hari diminta ibunya untuk berburu.
Dayang Sumbi ingin sekali memakan hati rusa. Ditemani Tumang, Sangkuriang berburu di
hutan. Di suatu tempat, Sangkuriang melihat babi hutan Wayung Hyang melintas. Ia segera
membidikkan panahnya. Akan tetapi Wayung Hyang berlari dan bersembunyi dengan gesit.
Sangkuriang memerintahkan anjing pemburunya, Tumang untuk mengejar babi hutan itu.
Tumang yang mengetahui jika babi hutan itu bukan sembarang babi hutan melainkan jelmaan
dewi yang bernama Wayung Hyang, menolak perintah Sangkuriang. Tumang, si anjing jelmaan
dewa itu hanya duduk diam memandang Sangkuriang.
Sangkuriang sangat marah kepada Tumang. Ia menakut-nakuti Tumang dengan mengarahkan
anak panah pada Tumang. Tetapi, tanpa sengaja, ia melepaskan anak panah itu pada busurnya.
Anak panah melesat dan menghunjam ke tubuh Tumang. Anjing jelmaan dewa itu tewas.
Sangkuriang yang ketakutan bercampur putus asa akhirnya mengambil hati Tumang. Hati itu
kemudian dibawanya pulang dan diserahkannya kepada dayang Sumbi dengan mengatakan
bahwa itu adalah hati rusa hasil buruannya.
Dayang Sumbi dengan gembira memasak hati itu, mereka ia makan dengan lahap.
Setelah selesai makan, Dayang Sumbi teringat akan Tumang. Ia bertanya kepada Sangkuriang di
mana anjing Tumang. Sangkuriang yang akhirnya tidak bisa berkelit jujur mengakui bahwa
Tumang telah tewas karena panahnya dan hatinya telah diserahkan kepada ibunya untuk
dimasak.
Dayang Sumbi sangat murka. Sangkuriang telah membunuh ayah kandungnya sendiri. Ia
kemudian mengambil centong nasi dan memukul kepala Sangkuriang hingga terluka sangat
parah. Akan tetapi, luka di hati Sangkuriang lebih parah. Ia akhirnya lari dari pondok mereka.
Menyadari bahwa ia telah melukai anaknya sendiri dan membuatnya lari, Dayang Sumbi
akhirnya merasa sangat menyesal. Sangkuriang adalah putranya satu-satunya yang telah
menemaninya hidup di hutan bersama Tumang. Demi menenangkan perasaannya, Dayang Sumbi
akhirnya bertapa. Dalam pertapaannya, Dayang Sumbi kemudian dikaruniakan umur panjang
dan awet muda. Semumur hidupnya, ia akan tetap menjadi seorang wanita yang cantik dan tak
akan pernah terlihat tua.
Sementara itu, Sangkuriang yang lari dengan kepala terluka mengembara ke mana-mana.
Ia berguru dengan beberapa orang sakti. Ia masuk hutan keluar hutan. Saat Sangkuriang telah
menjadi pemuda sakti dan perkasa, ia mengalahkan semua makhluk-makhluk halus atau guriang
yang ditemuinya dalam pengembaraan. Ia menaklukkan mereka dan dengan kesaktiannya
menjadi tuan dari guriang-guriang itu.
Pada suatu ketika, dalam pengembaraannya Sangkuriang akhirnya bertemu dengan Dayang
Sumbi. Sangkuriang sangat terpesona dengan kecantikan Dayang Sumbi, lalu akhirnya jatuh
cinta. Perasaan Sangkuriang berbalas. Dayang Sumbi juga terpikat oleh ketampanan
Sangkuriang. Akhirnya, Sangkuriang berniat menikahi Dayang Sumbi.
Saat Dayang Sumbi menyisir rambut dan merapikan ikat kepala Sangkuriang, ia melihat
ada bekas luka yang sangat besar. Setelah mengamati wajah Sangkuriang, barulah ia sadar
bahwa ia akan menikah dengan anak kandungnya sendiri. Sangkuriang sendiri tidak menyangka
bahwa Dayang Sumbi adalah ibu kandungnya.
Dayang Sumbi akhirnya mencoba menjelaskan kenyataan bahwa Sangkuriang adalah
putranya. Tetapi Sangkuriang telah kehilangan akal sehat. Sangkuriang tetap memaksa. Akhirnya
Dayang Sumbi secara halus menghindari terjadinya perkawinan mereka. Ia meminta
Sangkuriang membuatkannya sebuah danau lengkap dengan perahunya dalam semalam. Bagi
Dayang Sumbi, ini adalah hal yang mustahil untuk dapat dilakukan oleh Sangkuriang. Anak
kandungnya itu tidak akan sanggup memenuhi persyaratan yang mintanya. Di luar dugaan
Dayang Sumbi, Sangkuriang menyanggupi permintaannya.
Malam itu, Sangkuriang bekerja keras membuat sebuah danau. Sangkurang menebang
pohon, bekas pohon tebangannya itu berubah menjadi sebuah bukit yang kini dikenal sebagai
Gunung Bukit Tunggul, sementara daun, ranting dan bagian kayu lainnya yang tidak terpakai
ditumpuknya dan terbentuklah Gunung Burangrang. Ia telah bekerja separuh malam. Selanjutnya
setelah perahu selesai dibuat Sangkuriang mulai membuat danau. Sangkuriang, seperti
pengerjaan perahu, mengerahkan makhluk halus guriang untuk membantu. Melihat situasi ini,
Dayang Sumbi menjadi ketakutan. Akhirnya ia menebarkan kain-kain hasil tenunannya di arah
timur. Ia memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar usaha Sangkuriang digagalkan. Doanya
dikabulkan. Kain-kain tenunan Dayang Sumbi bercahaya kemerah-merahan di ufuk timur.
Ayam-ayam jantan kemudian berkokok. Kemudian, makhluk-makhluk halus guriang yang
membantu pekerjaan Sangkuriang membuat danau mengira hari akan segera pagi. Merekapun
segera berlari dan bersembunyi masuk ke dalam tanah. Sangkuriang tinggal sendirian dengan
pekerjaan pembuatan danau yang hampir selesai. Sangkuriang merasa usahanya telah gagal. Ia
menjadi marah sekali.
Sangkuriang mengamuk. Sumbat yang dibuatnya untuk membendung Sungai Citarum
dibuangnya ke arah timur dan menjadi Gunung Manglayang. Danau Talaga Bandung yang
dibuatnya kemudian menyurut. Lalu dengan sekali tendangan keras, perahu buatannya terlempar
jauh dan tertelungkup. Dalam sekejap berubah menjadi Gunung Tangkuban Perahu. Sangkuriang
mengejar Dayang Sumbi yang melarikan diri. Ketika Dayang Sumbi hampir terkejar oleh
Sangkuriang di Gunung Putri, Dayang Sumbi memohon pertolongan Sang Hyang Tunggal. Ia
akhirnya menjelma menjadi sekuntum bunga jaksi. Sangkuriang terus mencari Dayang Sumbi
hingga sampai ke Ujung Berung dan tersesat ke alam gaib.

Anda mungkin juga menyukai