Anda di halaman 1dari 12

Cerita Rakyat Asal Sabu Raijua - Nusa Tenggara Timur :

Tentang Lado Buki dan Tudi Buki. (Kurang lebih seperti ini ceritanya, mohon masukan jika salah
bercerita)
Alkisah ada dua orang bersaudara dengan nama Lado Buki dan Tudi Buki. Keduanya bekerja
sebagai tukang iris tuak, sehari-hari mereka naik turun pohon tuak untuk mengambil nira dari pohon
tuak tersebut. Namun Lado Buki lebih rajin dan telaten sehingga kehidupannya menjadi lebih baik
dibanding Tudi Buki. Kenapa cerita ini dimuat di "Pecinta Anjing Kota Kupang", karena Lado Buki
memiliki anjing yang sangat disayanginya. Anjing tersebut sangat setia padanya dan selalu
mengikuti Lado Buki kemanapun dia pergi.
Suatu hari Tudi Buki hendak mengambil hasil irisan tuaknya Lado Buki. Tudi Buki pun memanjat
pohon Tuak tersebut. Saat memanjat pohon tuak ini pisau Tudi Buki jatuh, dan mengenai Lado Buki
yang kebetulan lewat dibawah pohon Tuak. Pisau mengenai Lado Buki, dan Lado Buki pun
meninggal. Tudi Buki menguburkan saudaranya, dan pergi. Anjingnya Lado Buki tetap setia dan
tidak pernah meninggalkan Lado Buki.
Ketika Tudi Buki pergi, anjingnya Lado Buki menggali kuburnya. Menjilati tubuhnya dan lukanya
hingga kering, keajaiban pun terjadi. Lado Buki sembuh dan hidup kembali. Lado Buki pun pergi
jauh ke daerah lain. Disana dia pun memulai hidupnya yang baru sebagai nelayan dan semakin
sukses karena kerajinannya dan ketelatenannya. Anjing setianya selalu mengikutinya.
Kabar tentang Lado Buki pun terdengar oleh Tudi Buki. Tudi Buki pun semakin iri dengan
saudaranya. Tudi Buki mengambil pisaunya dan kemudian pergi mencari Lado Buki. Tudi Buki
berniat ingin mencelakahi saudaranya, Lado Buki.
Bagaimana lanjutan ceritanya.....................?
(Makna ceritanya adalah bekerja dan berusahalah dengan tulus dan ikhlas jangan dengan iri dan
dendam, kasihilah saudaramu. Karena siapa lagi yang akan menolong mu disaat kesusahan, jika
bukan keluargamu sendiri.)
OL - OH Di Kabupaten Alor Pantar, berdiam satu suku yang bernama Suku Mali. Menurut cerita turun-
temurun dari suku ini, moyang pertama mereka bernama Lamaling. Lamaling kemudian
memperanakkan Mou Lamaling. Mou Lamaling memperanakkan Ou Mou, dan Ou Mou memperanakkan
Ol-Oh. Jadi Ol-Oh adalah buyut dari Lamaling. Dikisahkan bahwa Ol-Oh mempunyai seorang cucu
bernama Abulu Apa. Cucu Ol-Oh ini sangat terkenal karena sakti. Ia dapat membunuh orang hanya
dengan menunjukkan jari telunjuknya pada orang itu. Abulu Apa kemudian memperanakkan dua orang
putra yang diberi nama Pin Bain dan Ese Bain. Ese Bain kemudian memperanakkan Bain Ese. Bain Ese
cucu Abulu Apa ini di kemudian hari sangat terkenal pula karena sakti. Ia dapat membunuh binatang
hanya dengan jari telunjuk seperti kakeknya Abulu Apa. Pada suatu malam Bain Ese bermimpi akan
mendapat sebuah Moko Malei. Moko Malei itu bersembunyi di padang Long Baul. Lalu keesokan harinya
padang itu dibakar untuk memperoleh Moko Malei. Tetapi setelah padang Long Baul habis terbakar,
ternyata Moko Malei itu telah berada di rumah kakeknya yaitu Ol-Oh. Bain Ese sangat heran dan kagum
akan kesaktian kakeknya. Tetapi sebagai orang sakti juga Bain Ese tidak kehilangan akal. Ia segera
kembali ke rumahnya lalu menabuh gong dan tambur yang sudah disembur dengan mantra-mantra.
Mendengar bunyi gong dan tambur itu banyak orang dari desa-desa sekitarnya datang dengan
membawa Moko Malei untuk ditukar dengan gong dan tambur milik Bain Ese. Dengan demikian Bain Ese
juga memiliki banyak Moko Malei seperti kakeknya. Pada suatu hari Bain Ese pergi mengail di laut, di
pantai yang bernama Tang Ono. Ketika ia hendak kembali ada sebatang kayu yang mengapung ke
arahnya. Tiba-tiba ada suara yang mengatakan kepada Bain Ese, katanya,”Pulanglah segera ke rumahmu
di Maleng, ambillah sedikit padi dan sepotong kain Cinde serta seekor kambing yang sedang terikat di
sana, dan bawalah semua barang itu ke sini lagi!” Bain Ese lalu bergegas ke rumah lalu mengambil
semua yang dipesan oleh suara itu, kemudian kembali bersama istrinya ke pantai. Air laut sedang pasang
naik ketika Bain Ese dan istrinya tiba di pantai. Batang kayu yang membawa pesan tadi sedang
terombang-ambing jauh dari pantai. Kebetulan pada waktu itu lewatlah Sultan di tempat itu. Maka
berlarilah Bain Ese bersama istrinya menyembah Sultan sambil memohon petunjuk agar dapat bertemu
batang kayu yang sedang mengapung di tengah laut itu. Seketika itu juga laut terbelah dua, lalu kata
Sultan kepada Bain Ese dan istrinya, katanya,”Tumbuklah sekarang padi yang kau bawa, dan bungkuslah
aku dengan kain Cinde itu, setelah itu kuburkanlah aku hidup-hidup di tempat ini!” Bain Ese dan istrinya
berbuat seperti yang dipesankan oleh Sultan. Namun sebelum Sultan dikuburkan, Bain Ese memohon
agar ia dan istrinya diberkati. Atas permohonan itu, Sultan perintahkan, “ Ambillah tujuh butir padi itu
dan tanamlah di tepi sungai di Mali maka kamu akan memperoleh panen yangberlimpah selama-
lamanya!” Setelah berpesan demikian, jatuhlah kedua biji mata Sultan ke dalam tangan Bain Ese.
Sesudah itu Sultan dimakamkan. Bain Ese dan istrinya menanam ketujuh biji padi itu di sana lalu mereka
kembali ke rumahnya. Beberapa bulan kemudian, Bain Ese dan istrinya kembali ke pantai ingin melihat
padi yang telah ditanam. Ternyata seluruh padang di pantai Mali itu sejauh mata memandang telah
ditumbuhi dengan padi yang sudah menguning. Bain Ese bersama istrinya lalu mulai menuai dengan
gembira. Namun keesokan harinya ketika mereka datang menuai lagi, padi yang telah dituai kemarin
sudah berbulir dan menguning kembali. Demkianlah yang terjadi setiap hari sehingga Bain Ese dan
istrinya tidak pernah berhenti menuai. Hingga pada suatu hari, istri Bain Ese sangat lelah lalu membakar
habis semua tanaman padi itu. Akibatnya roh Sultan sangat marah. Berkat yang diberi itupun diambil
kembali. Caranya ialah dengan mengenangi sebagian besar padang di Mali dengan air laut hingga
sekarang. Sejak itu tanaman padi tidak pernah diusahakan orang di daerah Alor karena takut terkena
kutukan dari roh Sultan. Baru pada awal abad modern ini tanaman padi mulai digalakkan kembali di
Kabupaten ini. Moko Malei = Moko Malayu yaitu Moko atau tambur yang terbuat dari perunggu yang
diduga berasal dari Thailand dan dibawa ke Alor melalui Malaysia. Pemegang peran Sultan dalam cerita
ini adalah perlambang kuasa Tuhan Yang Maha Kuasa. Pemberian biji serta tubuh dan nyaqwa Sultan
kepada Bain Eses dan istrinya adalah bukti kasih saying dan berkat besar bagi Bain Ese dan istrinya
sebagai perlambang umat manusia. Tetapi Bain Ese dan istrinya telah menyia-yiakan pengorbanan dan
berkat dari yang Maha Kuasa (Sultan). Akibatnya berkat itu ditarik kembali dan Bain Ese kembali
melarat.

SOBE SONBAI III Sobe Sonbai III adalah seorang raja Timor yang sangat berpengaruh. Ia berkedudukan
sebagai Kaiser Kerajaan Oenam dengan ibukota Kauniki di kecamatan Fatuleu sekarang. Ia adalah sau-
satunya raja yang sampai akhir hayatnya tidak pernah menandatangani perjanjian takluk kepada
Belanda. Oleh karena itu dengan segala cara Belanda berusaha untuk menaklukan Sobe Sonbai III. Hal ini
diketahui pula oleh Sobe Sonbai III. Karena itu Sobe Sonbai III bersama seluruh rakyat dan para “Meo”
(panglima perang) mulai membangun benteng-benteng pertahanan. Mereka membangun tiga benteng
yaitu Benteng Ektob di desa Benu, Benteng Kabun di desa Fatukona dan Benteng Fatusiki di desa
Oelnaineno. Setiap benteng ini dijaga ketat oleh meo-meo dari setiap suku. Meo yang paling terkenal
disebut “Meo Naek” atau panglima besar. Meo Naek Sobe Sonbai III bernama Toto Smaut. Perang
melawan Belanda dimulai pada bulan September tahun 1905. Perang ini dimulai di desa Bipolo,
kecamatan Kupang TImur sekarang. Karena perang ini dikenal dengan perang bipolo hingga sekarang.
Perang ini terus berlanjut dari benteng ke benteng sehingga banyak korban berjatuhan di kedua belah
pihak. Benteng terakhir yang direbut oleh pihak Belanda adalah benteng Fatusiki. Pertempuran di
benteng ini berlangsung sengit karena dipimpin langsung oleh Sobe Sonbai III dan Meo Toto Smaut yang
gagah perkasa. Tapi karena Belanda memakai senjata modern maka benteng Fatusiki dapat direbut.
Sobe Sonbai III akhirnya ditangkap, lalu dibawa ke kupang dan dibuang ke Waingapu. Setelah
mendengar bahwa Sobe Sonbai III ditangkap oleh belanda, maka Toto Smaut menyerah demi kesetiaan
pada rajanya. Toto Smaut dibuang ke Aceh, kemudian dibawa ke Makasar sebagai prajurit Belanda
perang Bone. Karena jasanya dalam perang Bone, Toto Smaut dikembalikan ke kupang, dan diangkat
menjadi Temukung besar di Fatuoni sampai akhir hidupnya. Untuk memperingati perjuangan Sobe
Sonbai III, maka di Kupang didirikan sebuah patung. Patung Sobe Sonbai III ini terletak di salah satu jalan
protokol di Kupang yaitu Jalan Urip Sumoharjo di Kelurahan Merdeka. Adanya patung ini terasa tidak
cukup untuk menghargai dan menghormati pengorbanan dan patriotisme perjuangan Sobe Sonbai III
bersama para “Meo” dan rakyatnya yang sangat heroik. Sebab kerajaan Sonbai adalah kerajaan
Tradisional yang terbesar dipulau Timor pada masa itu. Wilayah kekuasaan kerajaan Sonbai memanjang
dari Miomafo di Kabupaten Timor Tengah Utara sekarang sampai Fatuleu di Kabupaten Kupang. Oleh
karena itu, kerajaan Sonbai sangat ditakuti oleh pemerintah Kolonial Belanda. Sebab kerajaan ini
merupakan tantangan besar untuk dapat menguasai pulau Timor. Inilah sebabnya pengorbanan dan
semangat serta nilai-nilai perjuangan Sobe Sonbai III harus terus dilestarikan dalam dada setiap putra-
putri Timor di Nusa Tenggara Timur. Pada umumnya, pengorbanan dan semangat juang seperti ini, kini
sangat diperlukan untuk mengisi kemerdekaan yang dipertaruhkan Sobe Sonbai III hingga akhir
hayatnya.

Cerita Rakyat Lio : Terbentuknya danau Kelimutu

Dikisahkan, pada jaman dahulu kala, di puncak gunung Kelimutu yang


disebut Bhua Ria (hutan lebat yang selalu berawan), bermukim Konde Ratu bersama
rakyatnya. Di kalangan rakyat kala itu, terdapat dua tokoh yang sangat disegani, yaitu Ata
Polo si tukang sihir jahat dan kejam yang suka memangsa manusia, dan Ata Bupu yang
dihormati karena sifatnya yang berbelas kasih serta memiliki penangkal sihir Ata Polo. 
Walaupun memiliki kekuatan gaib yang tinggi dan disegani masyarakat, keduanya
berteman baik serta tunduk dan hormat kepada Konde Ratu. Ata Bupudikenal sebagai
petani yang memiliki ladang kecil di pinggir Bhua Ria, sedangkan Ata Polo lebih suka
berburu mangsa berupa manusia di seluruh jagat raya.

Pada masa itu, kehidupan di Bhua Ria berlangsung tenang dan tenteram, sampai
kedatangan sepasang Ana Kalo (anak yatim piatu) yang meminta perlindungan Ata
Bupu karena ditinggal kedua orang  tuanya ke alam baka. Karena sifatnya yang berbelas
kasih, permintaan kedua anak yatim  piatu tersebut dikabulkan oleh Ata Bupu namun
dengan satu syarat, yaitu mereka harus menuruti nasehatnya untuk tidak meninggalkan
areal ladangnya agar tidak dijumpai dan dimangsa oleh Ata Polo.
Pada suatu hari, Ata Polo datang menjenguk Ata Bupu di ladangnya. Setibanya di
ladang Ata Bupu, Ata Polo mencium bau menusuk (bau mangsa) dalam pondok Ata Bupu.
Segera meleleh air liur Ata Polo yang kemudian hendak mencari mangsanya di dalam
pondok tersebut. Niat jahat Ata Polotersebut diketahui oleh Ata Bupu yang segera
menahan langkah Ata Polo sambil menyarankan kepadanya untuk datang kembali kelak
setelah anak-anak tersebut sudah dewasa, karena saat ini mereka masih anak-anak, lagi
pula dagingnya tentu tidak sedap untuk disantap. 

Saran ini diterima oleh Ata Polo, yang kemudian pergi meninggalkan Ata


Bupu yang sedang kebingungan memikirkan cara terbaik menyelamatkan dua anak
manusia tadi.

Ancaman Ata Polo tadi begitu menakutkan bagi kedua


anak manusia tersebut, sehingga ketika mereka mulai beranjak remaja atau
menjadi Ko’ofai(gadis muda) dan Nuwa Muri (pemuda), mereka memohon izin pada Ata
Bupuuntuk mencari tempat persembunyian di gua-gua yang ada di luar ladang  Ata Bupu. 

Mereka akhirnya berhasil menemukan sebuah gua yang terlindung tumbuhan


rotan dan akar beringin.
Ketika tiba saatnya, sesuai waktu yang telah disepakati, Ata Polomendatangi
pondok Ata Bupu untuk menagih janji. Namun karena ketika tiba di pondok Ata Bupu,
dilihatnya kedua anak tersebut tidak berada di tempat, maka Ata Polo pun marah dan
menyerang Ata Bupu dengan ganasnya. Menanggapi serangan Ata Polo yang tidak main-
main, Ata Bupu segera membalas serangan itu dengan ilmu andalannya “magi puti” untuk
menangkal “magi hitam” Ata Polo. Pada awalnya perkelahian keduanya berjalan
seimbang karena keduanya memiliki ilmu yang tinggi dan setingkat. Namun, lama
kelamaan tenaga Ata Bupuyang sudah tua kian melemah, sementara gempuran semburan
api Ata Polosemakin gencar dan menjadi-jadi. Ata Bupu hanya bisa mengelak dengan
gempa bumi. Akibatnya timbul gempa bumi dan kebakaran besar hingga kaki gunung
Kelimutu. Ketika merasa tak mampu lagi menandingi kekuatan Ata Polo, Ata
Bupu memutuskan untuk raib ke perut bumi. Akibatnya Ata Polo menjadi semakin murka
dan menggila. 

Ketika mencim bau dua remaja yang tengah bersembunyi di dalam gua, Ata
Polopun bertambah beringas. Namun takdir akhirnya menentukan bahwa Ata Polo harus
tewas di telan bumi karena sepak terjangnya yang kelewatan. Kedua remaja yang tengah
bersembunyi juga turut menjadi korban. Gua tempat persembunyian Ko’ofai dan Nuwa
Muri runtuh akibat gempa dan menguburkan keduanya hidup-hidup.

Beberapa saat setelah kejadian itu, ditempat Ata Bupu raib ke perut bumi, timbul
danau berwarna biru. Di tempat Ata Polo tewas ditelan bumi terbentuk danau yang warna
airnya merah darah yang selalu bergolak. Sedangkan di tempat
persembunyian Ko’ofaidan Nuwa Muri, terbentuk sebuah danau dengan warna air hijau
tenang. 
Ketiga danau berwarna tersebut, masing-masing oleh masyarakat setempat diberi
nama sesuai dengan sejarah terbentuknya tadi, yaitu Tiwu Ata Polo(dipercayai sebagai
danau tempat berkumpulnya arwah-arwah para tukan tenung atau orang jahat yang
meninggal), Tiwu Nuwa Muri Ko’ofai (dipercayai sebagai danau tempat berkumpulnya
arwah muda mudi yang meninggal), dan Tiwu Ata Mbupu (dipercayai sebagai danau
tempat berkumpulnya arwah-arwah para tetua yang sudah meninggal).

Hingga kini, penduduk sekitar gunung Kelimutu percaya bahwa mereka dapat
melakukan kontak dengan arwah orang tua atau leluhur mereka dengan memanggil nama
orang tua atau leluhurnya sebanyak tiga kali di depan Tiwu Ata Mbupu. Menurut
kepercayaan, setelah pemanggilan dilakukan, biasanya arwah orang tuanya atau leluhur
akan datang dan memberikan petunjuk melalui mimpi. Kontak dengan orang tua/leluhur
tersebut biasa dilakukan untuk mendapatkan petunjuk apabila terjadi musibah, seperti
kehilangan barang atau ternak.
CERITA RAKYAT ENDE-LIO #1 ("Legenda Gunung Iya,
Meja, Wongge")

                  Jaman dahulu kala, ada dua orang pria yang bernama Meja dan
Wongge serta seorang wanita berparas sangat cantik yang bernama Iya.
Karena wajah Iya yang sangat cantik dan mempesona, maka tidak heran
jika Iya kemudian menjadi bunga di Ende. Seluruh pria di Ende berusaha
untuk mendapatkan cintanya, berlomba untuk bisa menjadikan Iya
sebagai kekasih hati termasuk Meja dan Wongge.

                  Namun, Iya lebih menyukai Meja daripada Wongge yang memang


berwatak kasar. Pinangan Meja disambut dengan baik oleh Iya,
sedangkan pinangan Wongge ditolak. Wongge pun tidak bisa menerima
kenyataan ini dan marah besar. Dengan penuh amarah karena cintanya
ditolak, Wongge berjanji akan melakukan segala cara untuk
menghalangi hubungan antara Iya dan Meja. Wongge berencana untuk
membunuh Meja. Wongge berpikir bahwa Meja tidak boleh menikah
dengan Iya.

                   Suatu hari, Wongge mendapati Meja dan Iya sedang berjalan


bersama, dengan amarah dan dendam Wongge mengambil parangnya
dan memenggal kepala Meja seketika itu juga Meja tewas tak
bernyawa.  Melihat kekasih hatinya dalam keadaan sudah tak bernyawa
lagi, Iya hanya bisa meratap sedih dan menangis di samping tubuh Meja
yang sudah tak bernyawa.

                    Hingga sekarang masyarakat Ende percaya parang yang


digunakan Wongge untuk menebas kepala Meja menjadi pulau Ende,
kepala Meja yang terlepas dari tubuhnya menjadi pulau Koa, Wongge,
Iya dan Meja kemudian menjadi 3 gunung di Ende yang masih ada
sampai sekarang. Gunung Iya merupakan gunung berapi yang masih
aktif sampai sekarang dan masyarakat Ende percaya bahwa jika Iya
meletus itu tandanya Iya sedang menangisi kekasih hatinya Meja.
Gunung Iya sampai sekarang setia mendampingi kekasih hatinya
Gunung Meja di selatan kota Ende. Wongge yang penuh dengan
amarah dan kebencian pergi menyendiri  di utara kota Ende.

GAMBAR :

KISAH MENARIK PENUH MAKNA  : LEGENDA SASANDO DARI NUSA TENGGARA TIMUR –
Sasando berasal dari kata sari ( petik ) dan sando ( bergetar ). Pada jaman dahulu kala, hiduplah
seorang laki – laki bernama Sanggu Ana di Pulau Dana bersama anaknya yaitu Nale Sanggu.
Pulau kecil dekat pulau Rote Nusa Tenggara Timur. Waktu itu pulau tersebut masauk ke dalam
daerah kekeasaan Raja Taka La’a. Sanggu adalah warga Nusa Ti’i di Pulau Rote Barat Daya. Di
tempat tinggalnya Sanggu di kenal sebagai nelayan yang ulung dan seorang pemusik yang hebat.

Pada suatu hari ia dan teman – temannya pergi menangkap ikan di laut. Di tengah laut mereka di
hadang oleh ombak besar yang menghantam perahu mereka sehingga pecah berkeping – keping.
Akhirnya ia dan teman – teman terdampar di sebuah pulau yaitu pulau Dana. Seorang Raja yang
berkuasa di sana menahan Sanggu dan kawan – kawannya. Raja Dana memiliki seorang Putri yang
sangat cantik.

Setelah beberapa lama Sanggu dan kawan – kawannya di tahan, sang Putri Raja mengetahui jika
Sanggu seorang pemusik yang hebat. Dan meminta di buatkan alat musik baru karena Tuan Putri
hobi membuat hiburan rakyat saat purnama tiba. Karena sering bertemu, akhirnya sang Putri jatuh
cinta kepada Sanggu. 

Terakhir sang Putri minta di buatkan lagi alat musik. Sanggu akhirnya menciptakan Sari Sando yang
artinya bergetar saat di petik. Talinya terbuat dari serat kulit kayu dan akar – akaran. Setelah lama
berhubungan. Sang Raja mengetahui asmara sang Putri dan Sanggu. Raja begitu marah besar dan
menghukum mati Sanggu.

Sanggu akhirnya dihukum mati oleh Raja Dana. Beruntung teman – temannya dapat melarikan diri
dan melaporkan kejadian tersebut kepada warga Nusa Ti’i. Anak Sanggu yaitu Nale Sanggu sangat
marah mendengar bahwa ayahnya telah di bunuh oleh Raja Dana. Nale pun bersiap melakukan aksi
balas dendam terhadap Raja Dana. Lalu dia berangkat dengan membawa 35 orang ksatria dari Ti’i.
Seisi Pulau Dana tidak mengetahui sebab penyerangan itu dan melakukan persiapan. Alhasil semua
penduduk dapat dengan mudah di musnahkan, hanya anak – anak dan alat musik sasando  warisan
ayahnya yang di selamatkan ke Ti’i.

Sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap ayahnya. Raja Ti’i memodifikasi sasando
tersebut menjadi sembilan tali. Pada zaman belanda, abad ke – 18 jumlah tali sasando di tambah
menjadi 10. Dan sesudah Indonesia merdeka sasando mengalami perubahan dengan tali nya
menjadi 11 sampai sekarang.

Sobe Sonbai III, Pejuang Timor Melawan Penjajah


Senin, 05 Juni 2017 | 00:00 WIB


 

 

Raja Sobe Sonbai (Istimewa)

Berita Terkait
 Orang Jawa Ingin Masuk Surga, Beginilah Caranya
 Ini Pesona Gadis Bali yang Dapat Memikat Kaum Pria
 Bukan ‘Kumpul Kebo‘, Ini ‘Kebo-Keboan‘

🔊 Dengarkan Berita
JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Sobe Sonbai III adalah seorang raja
Timor yang sangat berpengaruh pada zamannya. Ia berkedudukan sebagai
Kaisar (Maharaja) Kerajaan Oenam dengan ibukota Kauniki di kecamatan
Fatuleu sekarang, di Pulau Timor.
Sonbe Sonbai adalah seorang raja yang memiliki kekuasaan yang tiada
tandingnya di Pulau Timor. Ia selalu memegang prinsip yang teguh kalau itu
sudah menyangkut tanggung jawab dan kebijakan. Ia adalah satu-satunya
raja yang sampai akhir hayatnya tidak pernah menandatangani perjanjian
takluk kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Oleh karena itu dengan segala cara Belanda berusaha untuk menaklukkan
Sobe Sonbai III. Rencana dan segala usha Belanda itu diketahui pula oleh
Sobe Sonbai III. Karena itu, Sobe Sonbai III bersama seluruh rakyat dan para
“Meo” (panglima perang) mulai membangun benteng-benteng pertahanan.
Mereka membangun tiga benteng yang sangat kokoh, yaitu Benteng Ektob di
Desa Benu, Benteng Kabun di Desa Fatukona dan Benteng Fatusiki didesa
Oelnaineno.
Setiap benteng ini dijaga ketat oleh meo-meo atau para panglima besar dari
setiap suku. Meo yang paling terkenal disebut “Meo Naek” atau panglima
besar. Meo Naek Sobe Sonbai III bernama Toto Smaut. Perang melawan
Belanda dimulai pada bulan September tahun 1905. Perang ini dimulai di
Desa Bipolo, kecamatan Kupang TImur sekarang. Karena perang ini dikenal
dengan Perang Bipolo hingga sekarang. Perang ini terus berlanjut dari satu
benteng ke benteng lainnya, sehingga banyak korban berjatuhan di kedua
belah pihak.
Benteng terakhir yang direbut oleh pihak Belanda adalah benteng Fatusiki.
Pertempuran di benteng ini berlangsung sengit karena dipimpin langsung oleh
Sobe Sonbai III dan dibantu Meo Toto Smaut yang gagah perkasa. Tetapi,
karena Pasukan Kolonial Belanda memakai senjata modern, maka benteng
Fatusiki dapat direbut. Sobe Sonbai III, akhirnya ditangkap, lalu dibawa ke
kupang dan dibuang ke Waingapu. Setelah mendengar bahwa Sobe Sonbai
III ditangkap oleh belanda, maka Toto Smaut menyerah demi kesetiaan pada
rajanya.
Toto Smaut dibuang ke Aceh, kemudian dibawa ke Makasar sebagai prajurit
Belanda perang Bone. Karena jasanya dalam perang Bone dia dihormati
sebagai pahlawan, Lalu, Toto Smaut dikembalikan ke kupang, dan diangkat
menjadi Temukung besar di Fatuoni sampai akhir hidupnya. Untuk
memperingati perjuangan Sobe Sonbai III, maka di Kupang didirikan sebuah
patung. Patung Sobe Sonbai III ini terletak di salah satu jalan protokol di
Kupang yaitu Jalan Urip Sumoharjo di Kelurahan Merdeka

Anda mungkin juga menyukai