Anda di halaman 1dari 6

Nama: Fahmi Arief Amrullah

NIM : 21312241

Tugas Quiz

Corporate Governance
Jawaban:

1. Berbagai penelitian akademik (misalnya Zahra dan Pearce, 19891 cenderung


mengategorikan kelembagaan BOD berdasarkan kepada tiga peranan kritikal organ
korporasi tersebut; service, strategy, dan control. Sementara itu menurut Johnson et al.
(1996) minimnya konsensus dari BOD secara efektif dapat diakibatkan oleh multiple
roles yang harus dilakukan board member sebagai anggota BOD. Apalagi multi peran
tersebut berpotensi dan dapat saling berkontradiksi satu sama lainnya. Lebih lanjut para
penel di atas memberikan argumentasi bahwa multiple roles dimaksud dapat tercapai
walaupun dengan cara relatif berbeda sebagai fungsi dari perspektif teori yang dipilih.

Sebagaimana dijelaskan pada bahagian sebelumnya tentang perspektif BOD, peranan dan
cakupan penugasan BOD, dapat dibedakan berdasarkan empat perspektif berbeda (lihat lampiran
10). Dari berbagai perspektif dimaksud, agency theory telah muncul sebagai paradigma yang
dominan dalam bidang financial economics sehingga teori ini merupakan kontributor terbesar
dari berbagai riset yang berhubungan dengan BOD (ihat Hill dan Snell, 1989). Berhubungan
dengan karakteristik agency theory di dalam memandang peran dan fungsi BOD, Zahra dan
Pearce (1989) mengemukakan pendapat sebagai berikut.

"Agency theory places a premium on the board's strategic contribution, specifically the board's
involvement in and contribution to the articula- tion of the firm's mission, the development of the
firm's strategy, and the setting of guidelines for implementation and effective control of the cho-
sen strategy." (pp.301-302)

Berdasarkan kutipan dan perspektif teori menyangkut peran dan fungsi BOD, dapat dinyatakan
bahwa pendekatan agency theory merupakan satu-satunya perspektif yang mencakup fungsi
strategis dari BOD (lihat juga Lukviarman, 2005b). Di samping itu, perspektif dimaksud tetap
menempatkan fungsi pengendalian, yang secara konsepsional dan normatif merupakan
fungsi-penting, karena menyangkut fiduciary roles dari 800 lihat Johnson et al, 1996). Tanpa
mengabaikan fungsi pengendalian di balik fungsi lainnya, melalui pendayagunaan BOD sebagai
salah satu mekanisme CG, diharapkan keberadaan dan peran BOD menjadi lebih optimal bagi
korporasi (lihat Fama dan Jensen, 1983b. Hal ini mengisyaratkan bahwa dari sudut pandang
agency theory, keberadaan BOD bukan hanya menjalani fungsi kontrol dalam mekanisme
governance, namun juga memberikan kontribusi dalam formulasi strategi perusahaan.

Studi yang dilakukan oleh Henke (1983) menemukan bahwa BOD mempunyai pengaruh
terhadap setiap keputusan menyangkut berbagai hal yang berhubungan dengan isu strategis
perusahaan. Namun demikian, kebanyakan dari BOD tidak memahami bahwa mereka sudah
dilibatkan di dalam berbagai keputusan strategis perusahaan. Sehubungan dengan keterlibatan
BOD di dalam proses dimaksud, Judge dan Zeithaml (1992) memberikan argumentasi bahwa
tekanan terhadap semakin besarnya akuntabilitas dalam setiap pengambilan keputusan korporasi,
menyebabkan semakin fokusnya perhatian terhadap keterlibatan BOD di dalam proses
pengambilan keputusan.

Contoh:

● Meningkatnya aktivitas investor Institusional semakin memberikan tekanan pada BOD


untuk mengkritisi kepemimpinan stratejik oleh manajemen.
● Bentuk pertahanan terbaik dalam menghadapi corporate raiders adalah melalui
keterlibatan mendalam BOD dalam proses pengambilan keputusan strategis.
● Ancaman potensial dan riil menyangkut unwanted takeovers menyebabkan terjadinya
tekanan eksternal yang secara signifikan mendorong perlunya keterlibatan BOD di dalam
proses strategis.

Berdasarkan contoh diatas, mendeskripsikan semakin pentingnya keterlibatan BOD di dalam


setiap aspek strategis perusahaan, khususnya di dalam proses pengambilan keputusan strategis
(lihat lampiran 12). Namun demikian, para ahli governance sepakat bahwa peran strategis BOD
tersebut selayaknya tidak mengurangi peran utama BOD sebagai instrumen pengendalian dan
monitoring perusahaan (Lukviarman, 2005b).

2. sistem two-tier memisahkan fungsi pengawasan (supervisory) dan manajemen


(management) ke dalam dua badan yang berbeda level dalam struktur perusahaan.
Dengan kata lain, Board of Directors dalam sistem one-tier = Board of Directors (Dewan
Manajemen) + Board of Commissioners (Dewan Pengawas) dalam sistem two-tier.
Sistem inilah yang diterapkan di Indonesia dan negara-negara Eropa daratan, seperti
Belanda dan Jerman.

Terdapat perbedaan struktur antara keberadaan BOD sebagai organ perseroan (Perseroan
Terbatas) dengan organisasi perseroan atau korporasi yang sama di berbagai negara Perbedaan
tersebut bukan hanya karena Indonesia mengadopsi pola two-tier board system, sementara di
negara lainnya (seperti Malaysia dan Singapura) unitary board system. Bahkan antara pola board
governance yang dianut Indonesia dibandingkan dengan negara kontinental Eropa lainnya yang
juga menganut pola two-tier board system, juga memiliki perbedaan substansial. Hal ini di
antaranya disebabkan oleh perbedaan tradisi dan sistem hukum yang dianut oleh masing-masing
negara tempat perusahaan melaksanakan aktivitasnya, sehingga akan berpengaruh terhadap
governance system dan governance model yang dianut (lihat Berglot, 1990)

Perseroan Terbatas (PT) di Indonesia merupakan persekutuan modal atau 'asosiasi modal yang
oleh undang-undang diberi status hukum (Tumbuan, 2006). Dengan dasar demikian, PT
mempunyai dua hakikat; merupakan badan hukum dan sebagai wadah tempat mewujudkan kerja
sama antara para pemegang saham sebagai pemilik modal (p. 21. Sebagai subjek hukum, PT
mempunyai hak dan kewajiban yang pada dasarnya tidak berbeda dengan hak dan kewajiban
yang dimiliki manusia karena PT merupakan subjek hukum mandiri. Konsekuensi sebagai subjek
hukum mandiri, maka keberadaan PT tidak tergantung dari keberadaan para pemegang
sahamnya, para anggota Direksi dan Dewan Komisaris. Akibatnya, jika terjadi pergantian pada
ketiga organ perusahaan tersebut, pada dasarnya tidak akan mempengaruhi PT selaku "persona
standi in judicio" (p. 3).

PT didirikan dengan membuat akta pendirian, di antaranya memuat Anggaran Dasar (AD) yang
merupakan hukum positif dan mengikat semua pemegang saham, anggota direksi dan anggota
dewan komisaris (UU PT, pasal 4). Di dalam AD juga dimuat maksud dan tujuan PT yang akan
berlaku sebagai pembatasan kewenangan bertindak PT yang bersangkutan (Tumbuan, 2006).
Tujuan PT mempunyai dua segi, di satu pihak merupakan sumber kewenangan bertindak bagi PT
dan di lain pihak menjadi pembatasan dari ruang lingkup kewenangan bertindak PT yang
bersangkutan (p. 5). Oleh karena itu, terdapat beberapa kriteria suatu perbuatan hukum yang
berada di luar maksud dan tujuan PT. (Tumbuan, 2006, pp. 5-6)

Di dalam melaksanakan aktivitas dan untuk kelangsungan hidup PT, dibutuhkan beberapa organ
perseroan (Tumbuan, 2006);

(1) RUPS sebagai wadah pemilik modal merupakan pihak berkepentingan berwenang
sepenuhnya untuk menentukan siapa yang dipercayakan untuk kepengurusan PT,
(2) Direksi yang oleh undang-undang ditugaskan untuk mengurus dan mewakili PT, dan
(3) Dewan Komisans yang oleh undang-undang ditugaskan untuk melakukan pengawasan serta
memberikan nasihat kepada Direksi.

Penjelasan ini mempertegas bahwa berbagai kegiatan yang tercakup dalam organisasi usaha
sebuah PT yang dibuat untuk mencapai maksud dan tujuan PT, sepenuhnya menjadi wewenang
Direksi dan Dewan Komisaris (Tumbuan, 2006, p. 7). mengatur secara tegas pemisahan antara
fungsi pemegang saham dan fungsi Direksi, atau pemisahan antara kepemilikan modal dengan
kepengurusannya. Jika dihubungkan dengan
Menurut Tumbuan (2006), berbeda dengan keberadaan RUPs sebagai organ pembela
kepentingan pemegang saham PT, maka Direksi merupakan organ yang mewakili kepentingan
P7 selaku subjek hukum mandi Dengan demikian, PT adalah sebab keberadaan Direksi, karena
apabila tidak ada PT, juga tidak perlu ala Direkap, 10. Dengan dasar demikian, Tumbuan (2006)
berpendapat bahwa Direksi sepatutnya mengabdi kepada kepentingan PT (yaitu semua
pemegang saham) bukan kepentingan satu atau beberapa pemegang saham. Direksi bukan wakil
pemegang saham, karena Direksi merupakan wakil PT selaku "persona standi in judicio" (p. 10).
Konsepsi ini sejalan dengan tujuan korporasi berdasarkan Corporate Wealth Maximization
Model atau dikenal juga dengan Stakeholder Capitalism Model Lebih lanjut, pola ini
mengkonfirmasi karakteristik model governance yang terdapat pada Continental European model
sebagaimana dijelaskan oleh Kakabadse et al. (2005), Hal paling mendasar pada model CG ini
bahwa loyalitas BOD adalah kepada organisasi korporasi

Selanjutnya, tugas manajerial di dalam pengelolaan IT pada hakikatnya merupakan tugas dari
semua anggota Direksi tanpa terkecuali, sehingga Direksi bertanggung jawab secara pribadi dan
tanggung renteng (Tumbuan, 2006, p. 11). Pada umumnya AD perseroan mengatur bahwa
perbuatan hukum tertentu dari PT hanya boleh dilakukan oleh Direksi setelah mendapat
persetujuan RUPS atau Dewan Komisaris (UU PT, pasal 100 dan 114) Namun demikian,
menurut Tumbuan (2006) pembalasan dimaksud seharusnya tidak membatasi Meniadakan
kemandirian Direksi untuk mengelola dan mewakili PT secara wajar demi kepentingan
perseroan. Lebih lanjut, undang-undang yang mengatur bahwa RUPS selaku organ yang
satu-satunya berwenang mengangkat anggota Direksi adalah juga organ yang secara eksklusif
berhak memberhentikan mereka." (Tumbuan, 2006, p. 21) Hal ini mempertegas bahwa
berdasarkan undang-undang perseroan di Indonesia, Direksi perseroan diangkat dan
diberhentikan oleh RUPS, bukan oleh institusi Dewan Komisaris.

Keberadaan Dewan Komisaris dalam suatu PT mempunyai tugas utama untuk melakukan
pengawasan atas kebijakan pengurusan perseroan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik
mengenal PT maupun usaha PT, dan memberikan nasihat kepada Direksi demi kepentingan PT
(Tumbuan, 2006). Selanjutnya, tugas dan kewenangan pengawasan yang dipercayakan kepada
Dewan Komisaris demi kepentingan PT, bukan kepentingan satu atau beberapa pemegang
saham. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya larangan bagi anggota Dewan Komisaris untuk
bertindak selaku kuasa pemegang saham dalam pemungutan suara sewaktu RUPS. Selanjutnya
pasal 104 UU PT menyatakan bahwa Dewan Komisaris diberi kewenangan untuk
memberhentikan sementara anggota Direksi dengan menyebutkan alasannya. Namun demikian,
kondisi tersebut tidak berarti bahwa Dewan Komisaris membawahi Direksi, sehingga dalam hal
pengurusan perseroan, Direksi merupakan organ mandiri (Tumbuan, 2006, p. 25). Di dalam
model konvensional two- tier board pada Continental European model, Institusi supervisory
board berada di atas board of management sehingga berwenang untuk mengangkat (hire) dan
memberhentikan board of management.
Contohnya:
- Direksi bertanggung jawab untuk mengelola usaha perseroan, sementara Dewan
Komisaris bertanggung jawab untuk melakukan supervisi terhadap Direksi di dalam
mengelola perusahaan untuk kepentingan perseroan.
- Komisaris Independen melalui mekanisme RUPS dari individu yang tidak memiliki
afiliasi dengan pemegang saham mayoritas, anggota Direksi serta anggota Dewan
Komisaris lainnya, akan memperkuat berjalannya mekanisme checks and balances
tersebut dalam suatu korporasi.
- Undang-Undang Nomor 40 tentang Perseroan Terbatas mensyaratkan setiap perusahaan
di Indonesia untuk memiliki two-tier board, sehingga dapat membedakan secara tegas
fungsi keduanya.

3. Secara legal sesuai dengan ketentuan undang-undang perseroan, dewan komisaris


bertugas untuk mengarahkan berbagai aktivitas perusahaan, namun tidak bertanggung
jawab untuk pengelolaan aktivitas operasional korporasi. Dewan komisaris bertanggung
jawab untuk bertindak dengan due care atau due diligence di dalam melaksanakan peran
dan fungsinya dalam perusahaan. Uraian pada bagian sebelumnya mengisyaratkan
semakin pentingnya peran dewan komisaris di dalam meningkatkan implementasi CG.

Hal ini terutama disebabkan oleh semakin meningkatnya tekanan dari stakeholders agar
perusahaan di govem secara lebih baik, diantaranya melalui penguatan peran the governing
board. Dengan demikian, diharapkan peran aktif dewan komisaris untuk meningkatkan
akuntabilitas dan kinerjanya, sehingga memerlukan perubahan yang signifikan dan bersifat
substantif menyangkut implementasi board governance dalam perusahaan.

Menurut Hitt, Hoskisson, dan Ireland (2007), pada intinya CG berhubungan dengan upaya untuk
meyakinkan bahwa berbagai keputusan strategis telah dilakukan secara efektif. Dalam kaitan ini
peranan strategis komisaris berhubungan dengan karakteristik, kemampuan dan expertise yang
dimiliki oleh anggota dewan komisaris. Untuk keperluan strategis, misalnya perlu diperhatikan
peningkatan keberagaman latar belakang anggota komisaris. Selanjutnya, pada saat melakukan
peran dan fungsinya komisaris selalu berupaya untuk mengikuti aturan main dan regulasi sebagai
cerminan duty of loyalty terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Sehingita di dalam menilai
efektivitas kinerja governing board perlu disusun dan diterapkan proses yang formal, jelas, dan
konsisten. Bersamaan dengan hal tersebut, komisaris perlu menyusun dan mengacu pada board
agenda dalam melaksanakan fungsi oversight terhadap direksi dan anggota komisaris lainnya.

Pearce dan Robinson (2007) menyatakan bahwa keberadaan BOD memiliki greatest impact on
the behavior of firm sebagai akibat dari peranannya di dalam menentukan misi perusahaan.
Lebih lanjut, Hitt, Hoskisson, dan Ireland (2007) mengemukakan bahwa berbagai riset
menunjukkan bahwa penerapan governance mechanism secara intensif dapat menghasilkan
perubahan yang signifikan terhadap strategi perusahaan. Dengan demikian, strategic
competitiveness sebuah perusahaan diharapkan dapat meningkat jika mekanisme governance
yang ada mempertimbangkan berbagai kepentingan stakeholders. Dalam kaitan ini, keberadaan
dewan komisaris sebagai komponen utama dari internal governance mechanisms diharapkan
dapat berfungsi sebagal stewards dari sejumlah sumber daya yang dimiliki perusahaan, sehingga
keberadaannya diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan stakeholders. Lebih lanjut,
partisipasi aktif dewan komisaris dalam menjalankan peran, fungsi, dan tanggung jawabnya
dalam perusahaan mampu menciptakan boundaries terhadap etika dan nilai nilai yang dianut oleh
perusahaan.

Misalnya:
- Dalam beberapa tahun terakhir di berbagai negara Eropa (lihat misalnya Enriques dan
Vlopin, 2007) terdapat dorongan yang signifikan tentang perlunya penguatan internal
governance mechanism melalui peningkatan peran BOD.
- Reformasi di Jerman pada tahun 1998 dilakukan terhadap peningkatan peran BOD
melalui redefinisi peran supervisory dan management board. Supervisory board harus
mengadakan pertemuan dengan frekuensi paling sedikit empat kali dalam setahun dan
peningkatan peran dalam kaitannya dengan pemilihan dan hubungan dengan eksternal
auditor perusahaan.
- Reformasi yang dilakukan di Prancis menyangkut upaya yang minim dibandingkan
dengan negara Eropa lainnya di dalam memberdayakan peran BOD sehubungan dengan
internal governance mechanism. Menurut Enriques dan Vlopin (2007), reformasi yang
dilakukan hanya dengan mengizinkan pemisahan peranan antara chairman of the board
dan CEO. Upaya lain yang dilakukan adalah dengan memberikan mandat penuh kepada
BOD untuk memperoleh lebih banyak informasi dari luar perusahaan guna
mengoptimalkan perannya.
- Di negara Italia, penguatan mekanisme governance secara internal dilakukan dengan
mewajibkan direktur eksekutif (CEO) untuk menyajikan informasi yang reguler kepada
BOD.

Anda mungkin juga menyukai