Anda di halaman 1dari 51

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Kependudukan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi di suatu wilayah. Penduduk sebagai motorik dalam roda
perekonomian mengalami pertumbuhan yang cepat di dunia. Pertumbuhan
penduduk ini akan memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perekonomian
seperti dialami oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia (Aidi, 2016
dalam artikel Wardhana dkk, 2020).
Indonesia memiliki sumber daya alam berlimpah dan ukuran populasi
manusia yang besar dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara.
Bahkan Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di
dunia. Yang dimana hal tersebut memiliki dampak negatif yaitu jumlah
pengangguran menjadi meningkat akibat kurangnya lapangan pekerjaan
sehingga memicu peningkatan angka kemiskinan, meningkatnya tindak
kriminalitas di Indonesia, kesehatan masyarakat yang menurun, banyaknya
limbah dan polusi, serta berkembangnya pemukiman kumuh dan tidak layak
huni. Untuk itu diperlukannya beberapa hal untuk menangani hal tersebut. Salah
satunya pembatasan jumlah penduduk di suatu wilayah atau disebut dengan
program Keluarga Berencana (KB) (Christy, 2019 dalam data.tempo.co)
Presiden Jokowi sudah menggalakan program Keluarga Berencana (KB)
sejak tahun 2015. Indonesia mengalami pertumbuhan populasi sebesar 31
persen. Angka ini masih dianggap cukup besar, yang artinya program KB tak
berjalan seperti rencana. Pada bulan Juli 2019, Kepala Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wordoyo mengatakan
bahwa semua daerah membutuhkan program Keluarga Berencana (KB) dan
menjadi akseptor Keluarga Berencana (KB) atau anggota masyarakat yang
mengikuti gerakan Keluarga Berencana (KB) dengan menggunakan alat

1
2

kontrasepsi. Salah satu tujuannya ialah untuk melindungi bonus demografi


(besarnya penduduk usia produktif antara 15-64 tahun) yang akan mencapai
puncaknya pada tahun 2030 mendatang (Christy, 2019 dalam data.tempo.co).
Berdasarkan rencana strategis BKKBN 2020-2024 merujuk pada
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024, BKKBN diberi
mandat untuk berkontribusi secara langsung terhadap 2 (dua) dari 7 (tujuh)
agenda Pembangunan/Prioritas Nasional (PN) pada RPJMN IV 2020-2024,
yaitu untuk “Meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) Berkualitas dan
Berdaya Saing”, serta mendukung “Revolusi Mental dan Pembangunan
Kebudayaan”.
Dalam konteks inilah Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan
Keluarga Berencana (Bangga Kencana) dan khususnya Pelayanan Keluarga
Berencana memiliki peran penting. Banyak hal yang menyebabkan pencapaian
Pelayanan KB belum sesuai harapan diantaranya :
1. Angka kematian ibu dan bayi masih tinggi. Kondisi kesehatan ibu dan anak
juga belum menunjukkan hal yang menggembirakan, dimana Angka
Kematian Ibu (AKI) sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup (Survei
Penduduk Antar Sensus, 2015). Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB)
sebesar 24 per 1.000 kelahiran hidup (Survei Demokrasi Kesehatan
Indonesia, 2017). Situasi ini harus mendapat perhatian khusus serta
membutuhkan Rencana Strategis BKKBN 2020-2024 kerja keras bersama
(lintas sektor dan pelibatan pihak swasta dan masyarakat) untuk terus
menurunkan angka kematian ibu dan bayi di Indonesia sebagaimana target
yang ditetapkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs). BKKBN
berkontribusi dalam Kegiatan Prioritas Nasional, Peningkatan Kesehatan
Ibu Anak, Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi tentu perlu
merumuskan strategi program atau kegiatan yang spesifik dalam
penanganan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)
ini. Salah satu penyebab tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) adalah 4
3

(empat) yakni terlalu muda, terlalu banyak, terlalu dekat dan terlalu tua.
Kehamilan yang tidak diinginkan di usia muda akan sangat berisiko pada
kematian atau dapat berdampak buruk pada bayi yang dikandungnya.
2. Penggunaan kontrasepsi modern (modern Contraceptive Prevalence Ratem/
mCPR) menurun dari 57,9 persen (SDKI 2012) menjadi 57,2 persen (SDKI
2017). Penurunan tertinggi bahkan terjadi pada segmen usia 15 tahun hingga
29 tahun yang merosot hingga 4%. Diperkirakan 2 (dua) penyebab utama
menurunnya jumlah pengguna kontrasepsi modern, khususnya di kalangan
kelompok usia produktif/pasangan usia muda adalah masih rendahnya
pengetahuan pasangan muda terhadap kesehatan reproduksi dan kurangnya
akses terhadap informasi yang akurat dan tepercaya mengenai alat
kontrasepsi (khususnya alat kontrasepsi modern). Diperlukan strategi yang
tepat untuk meningkatkan mCPR, diantaranya melalui peningkatan akses
layanan kontrasepsi, termasuk jaminan ketersediaan alat kontrasepsi dan
perluasan akses atau jangkauan pelayanan KB (melalui penggerakan
Penyuluh Keluarga Berencana/PKB dan pelayanan KB bergerak), serta
peningkatan pemahaman kesehatan reproduksi dan pengetahuan tentang
kontrasepsi modern.
3. Rendahnya pemahaman remaja tentang kesehatan reproduksi dan
penyiapan kehidupan berkeluarga; Kesehatan Reproduksi Remaja
merupakan topik yang perlu diketahui oleh masyarakat khususnya para
remaja agar mereka memiliki informasi yang benar mengenai proses
reproduksi serta berbagai faktor yang ada disekitarnya. Dengan informasi
yang benar, diharapkan remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang
bertanggung jawab mengenai proses reproduksi.
4. Kebutuhan ber-KB Pasangan Usia Subur yang belum terlayani (unmet need)
di Indonesia dikategorikan masih tinggi. Selama kurun waktu empat tahun
terakhir, unmet need terus mengalami penurunan walaupun terjadi luktuasi
di antara tahun 2017 dan 2018. Pada tahun 2015, posisi unmet need sebesar
18,3 persen (Supas 2015), turun menjadi 15,8 persen pada tahun 2016, naik
4

menjadi 17,50 persen pada tahun 2017 dan kembali turun menjadi 12,4
persen pada tahun 2018 (Survei RPJMN/SKAP 2016-2018). Dengan
memperhatikan karakteristik sosial budaya, diketahui bahwa unmet need
lebih tinggi di daerah perkotaan (11 persen) dibandingkan di daerah
perdesaan (10 persen). Dua puluh tiga persen wanita tidak mau ber-KB
Karena alasan kekhawatiran terhadap efek samping, sedangkan pada
kalangan pria, ada 32 persen pria yang dirinya ataupun isterinya tidak
menggunakan alat kontrasepsi dengan alasan tidak ingin ber-KB.
(Sumber: Rencana Strategis BKKBN 2020-2024).
Selain beberapa alasan tersebut yang menjadi penyebab pencapaian
Pelayanan KB belum sesuai harapan yaitu salah satunya adalah
berkurangnya jumlah petugas lapangan Keluarga Berencana (KB) sehingga
menyebabkan pembinaan kesertaan ber-KB menjadi terbatas, jangkauan
pelayanan keluarga berencana tidak merata, dan belum optimalnya kualitas
pelayanan keluarga berencana. Kegiatan advokasi untuk memberikan
pemahaman tentang pentingnya keluarga berencana kepada berbagai
pemangku kepentingan juga belum menghasilkan komitmen yang kuat
untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan Keluarga Berencana (KB).
Ditambah lagi dengan kegiatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
yang dilakukan kepada masyarakat belum mampu mengubah nilai pandang
tentang jumlah anak ideal yang diinginkan maupun perilaku masyarakat
dalam mendapatkan pelayanan kontrasepsi sesuai kebutuhan (Dewi, 2016).
Dengan berkomunikasi secara teurapeutik, bidan dapat mencapai titik
tertentu berhubungan secara interpersonal dengan pasien. Maka dalam
sarana dan prasarana kesehatan dibutuhkan seorang bidan yang
berkompetensi dalam menjalankan tugasnya. Salah satunya yaitu dengan
menerapkan asuhan kebidanan dan komunikasi teurapeutik dengan baik
(Imanda, 2021). Pentingnya komunikasi dalam kehidupan menjadikan salah
satu kunci keberhasilan di bidang kesehatan yaitu dalam merawat,
memberikan konsultasi, memotivasi dan memberikan informasi kepada
5

pasien dalam memilih alat kontrasepsi yang akan digunakan di Puskesmas


Lingkar Timur, Kota Bengkulu.
Berdasarkan observasi awal dan wawancara yang telah dilakukan di
Puskesmas Lingkar Timur terdapat beberapa pasien yang masih sedikit ragu
akan program KB yang dimana berdasarkan pengalamannya menggunakan
metode kontrasepsi KB beberapa pasien mengalami ketidakcocokan yang
mengakibatkan gangguan terhadap siklus menstruasi selain itu masih ada
beberapa pasien yang lebih percaya menggunakan metode KB alami yaitu
dengan metode kalender dan seks terputus (Pra penelitian, 2023).
Berdasarkan wawancara awal yang dilakukan peneliti terhadap salah
satu pasien Puskesmas Lingkar Timur Kota Bengkulu yaitu Wilna (29
tahun) mengatakan:
“saya pernah menggunakan KB dengan jenis IUD dan Implan akan
tetapi sekarang saya sedang tidak menggunakan KB dikarenakan
saya mengalami ketidakcocokan yang mengakibatkan gangguan
terhadap siklus menstruasi saya yang deras dan terus menerus selama
1 bulan”. (Pra Penelitian, 2023)

Selain itu peneliti juga melakukan wawancara kepada ibu Ade Irma (23
tahun) selaku pasien di Puskesmas Lingkar Timur Kota Bengkulu dan
mengatakan :
“saya tidak menggunakan alat kontrasepsi KB karena terdapat
ketidakcocokan yang akhirnya saya sekaarang menggunakan metode
KB alami yaitu dengan cara metode kalender dan seks terputus”. (Pra
Penelitian, 2023).

Risiko-risiko tersebut dapat diminimalkan dengan operasionalisasi


Program Keluarga Berencana (KB) yang tepat. Salah satunya dengan
melakukan konseling pada bidan yang terjalin melalui komunikasi dan
hubungan terapeutik yang terbina antara bidan dan pasien sehingga dapat
membantu memastikan individu maupun pasangan memiliki akses terhadap
informasi Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi (Kespro),
6

serta layanan Keluarga Berencana (KB) untuk merencanakan waktu dan


jarak kehamilan serta jumlah anak yang ideal (Pra penelitian, 2023).
Berdasarkan wawancara awal yang dilakukan peneliti terhadap salah
satu bidan di puskesmas lingkar timur yaitu Ermi Suryani yang merupakan
pengelola program Keluarga Berencana (KB) mengatakan:
“Kami sebagai bidan dalam melayani pasien harus sesuai dengan
peraturan yang ada. Dan setiap pasien yang ingin melakukan program
KB baik itu suntik, pil, implant dan sebagainya memang harus
melakukan konseling terlebih dahulu kepada kami selaku bidan, setelah
di check kesehatan meliputi tensi dan usia subur baru kami anjurkan
untuk memilih alat kontresepsi yang cocok. Tetapi memang sebagian
masyarakat tidak terlalu perduli dengan konseling yang dilakukan dan
terkadang terburu-buru ingin langsung saja melakukan KB dan tidak
tahu mengenai jenis KB apa yang akan digunakan, maka disinila kami
sebagai bidan melakukan konseling dan penjelasan mengenai alat
kontrasepsi yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh individu yang
melakukan konseling”. (Pra penelitian, 2023).

Peranan bidan memiliki andil yang besar bagi kelancaran komunikasi


terapeutik dalam konseling pada upaya peningkatan kualitas pelayanan
keluarga berencana di Kota Bengkulu. Pemahaman konsep serta perilaku
komunikasi terapeutik dalam konseling yang dilakukan bidan kepada klien
merupakan suatu yang harus diperhatikan. Berdasarkan hal tersebut, peneliti
ingin mengetahui lebih dalam perilaku komunikasi terapeutik dalam
konseling bidan pada pelaksanaan pelayanan keluarga berencana di Kota
Bengkulu khususnya di Puskesmas Lingkar Timur yang dilandasi dengan
tingkat pengetahuan bidan tentang komunikasi terapeutik dalam konseling,
keterampilan-keterampilan komunikasi terapeutik dalam konseling dan
hambatan-hambatan komunikasi terapeutik dalam konseling yang dihadapi
bidan. Maka dari itu berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis
tertarik melaksanakan penelitian dengan judul “Komunikasi Terapeutik
Dalam Konseling Bidan Pada Pelaksanaan Pelayanan Keluarga
Berencana (KB) (Studi Kasus Pada Puskesmas Lingkar Timur Kota
Bengkulu)”.
7

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang perlu
dikemukakan dalam penelitian ini adalah bagaimana komunikasi terapeutik
dalam konseling bidan pada pelaksanaan pelayanan Keluarga Berencana (KB)
(studi kasus pada puskesmas Lingkar Timur Kota Bengkulu).

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dikemukakan di atas, penelitian ini
memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana komunikasi terapeutik dalam
konseling bidan pada pelaksanaan pelayanan Keluarga Berencana (KB) (studi
kasus pada puskesmas Lingkar Timur Kota Bengkulu).

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan mengembangkan
wawasan, informasi, pemikiran, dan ilmu pengetahuan kepada pihak
lain yang berkepentingan khususnya dalam bidang ilmu komunikasi.
b. Sebagai acuan dan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya khususnya
yang berkaitan dengan pelayanan dan komunikasi terapeutik dalam
konseling bidan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran
kepada khalayak tentang penerapan komunikasi terapeutik yang tepat dalam
konseling bidan dan dapat menjadi masukan yang bermanfaat bagi
masyarakat khususnya yang berkaitan dengan masalah komunikasi
terapeutik dalam konseling bidan pada pelaksanaan pelayanan Keluarga
Berencana (KB).
8

Bidan berusaha mengungkapkan perasaan, mengidentifikasikan


dan mengkaji masalah serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam
perawatan, proses komunikasi yang baik dapat memberikan pengertian
tingkah laku klien dan membantu klien dalam rangka mengatasi
persoalan yang dihadapi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Pada penelitian ini peneliti membutuhkan penelitian terdahulu yang


digunakan sebagai acuan dan rujukan dalam penyelesaian penelitian yaitu
sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Amajida Pangesti Imanda (2021) Program


Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Muhammadiyah Malang. Dengan judul “Pelaksanaan Komunikasi
Terapeutik Pada Kasus Kehamilan (Studi Kasus Pada Bidan Dsa di
Kecamatan Bandung Kabupaten Tulungagung)”. Jenis penelitian yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang dimaksudkan
untuk untuk mengetahui peran komunikasi terapeutik di beberapa desa di
kecamatan bandung berlangsung sebagaimana mestinya menurut
sistematika Tindakan yang seharusnya dengan fase-fase sebagai berikut :
fase pra-interaksi, fase orientasi, dan fase terminasi. Namun pada fase pra-
interaksi bidan seringkali melewatkannya karena menganggap mereka dan
pasien sudah saling mengenal baik dan dekat.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Nur Iman H. Husain (2019)
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Negeri Gorontalo. Dengan judul “Komunikasi
Terapeutik Terapis Kepada Anak Berkebutuhan Khusus (Studi Deskriptif
Komunikasi Terapeutik Terapis Kepada Anak Penyandang Autis Pada Pusat
Pelayanan Autis Provinsi Gorontalo) ”. Jenis penelitian yang digunakan
adalah deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk
untuk mengetahui peran komunikasi terapeutik antara terapis dan anak
penyandang autis, telah berlangsung dengan baik. Hal ini tercermin dari
cara terapis memberikan terapi dengan cara yang lembut dan memberikan

9
10

3. komunikasi secara langsung dengan menggunakan ekspresi yang


menyenangkan sehingga dapat membantu untuk meningkatkan
kepercayaan diri dari anak penyandang autis tersebut, komunikasi yang
terjalin antara terapis dan anak penyandang autis terbilang cukup afektif
karena dengan menggunakan ruangan yang berukuran 4x8 meter dan
dengan menggunakan tempat duduk yang berhadapan. Dengan
menggunakan kesabaran dan ketulusan, aktivitas komunikasi terapeutik
yang terjadi cukup baik. Disetiap komunikasinya selalu dibarengi dengan
maksud dari pernyataan tersebut sehingga anak mampu menangkap apa
yang terapis maksudkan.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Fidya Faturochman (2014) Program Studi
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sebelas Maret Dengan judul “Komunikasi Terapeutik Perawat Dan Pasien
Gangguan Jiwa (Studi Deskriptif Kualitatif Aktivitas Komunikasi
Terpeutik Perawat Dengan Pasien Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Soerojo Magelang)”. Jenis penelitian yang digunakan adalah
deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk untuk
mengetahui peran komunikasi terapeutik yang diterapkan di Rumah Sakit
Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang terdiri dari empat fase/tahap, yaitu fase
pra interaksi, fase orientasi, fase kerja, dan fase terminasi. Dalam
melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien, para perawat di Rumah
Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang, menggunakan teknik-teknik dan
sikap tertentu. Jalinan hubungan antara perawat dengan pasien di Rumah
Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang merupakan hal penting dalam
komunikasi terapeutik. Melalui jalinan hubungan perawat dan pasien yang
terbina dengan baik, perawat dan pasien bekerja sama untuk mencapai
tujuan.
11

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

1. Judul Penelitian Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Pada Kasus Kehamilan


(Studi Kasus Pada Bidan Desa Di Kecamatan Bandung
Kabupaten Tulungagung)

Peneliti Amajida Pangesti Imanda (2021)


Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif
Hasil Penelitian Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses komunikasi
terapeutik di beberapa desa di kecamatan bandung berlangsung
sebagaimana mestinya menurut sistematika Tindakan yang
seharusnya dengan fase-fase sebagai berikut : fase pra-interaksi,
fase orientasi, dan fase terminasi. Namun pada fase pra-interaksi
bidan seringkali melewatkannya karena menganggap mereka
dan pasien sudah saling mengenal baik dan dekat.
Persamaan Penelitian ini juga membahas komunikasi terapeutik dalam
Penelitian pelaksanaan konseling bidan kepada pasien dengan metode
penelitian deskriptif kualitatif.
Perbedaan 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
Penelitian penerapan komunikasi terapeutik oleh bidan dalam
menangani kasus pada ibu hamil
2. Peneltian ini dilakukan di Desa Kecamatan Bandung,
Kabupaten Tulungagung
Kontribusi Pada penelitian ini, peneliti mendapatkan referensi mengenai
Penelitian metode penelitian yaitu metode deskriptif kualitatif dan
pemahaman komunikasi terapeutik yang diterapkan oleh bidan.
2. Judul Penelitian Komunikasi Terapeutik Terapis Kepada Anak Berkebutuhan
Khusus (Studi Deskriptif Komunikasi Terapeutik Terapis
Kepada Anak Penyandang Autis Pada Pusat Pelayanan Autis
Provinsi Gorontalo)
Peneliti
Muhammad Nur Iman H. Husain (2019)
Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif
Hasil Penelitian Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
1) komunikasi terapeutik antara terapis dan anak penyandang
autis, telah berlangsung dengan baik. Hal ini tercermin dari cara
terapis memberikan terapi dengan cara yang lembut dan
memberikan komunikasi secara langsung dengan menggunakan
ekspresi yang menyenangkan sehingga dapat membantu untuk
meningkatkan kepercayaan diri dari anak penyandang autis
tersebut.
2) komunikasi yang terjalin antara terapis dan anak penyandang
autis terbilang cukup afektif karena dengan menggunakan
ruangan yang berukuran 4x8 meter dan dengan menggunakan
tempat duduk yang berhadapan.
3) dengan menggunakan kesabaran dan ketulusan, aktivitas
komunikasi terapeutik yang terjadi cukup baik. Disetiap
12

komunikasinya selalu dibarengi dengan maksud dari pernyataan


tersebut sehingga anak mampu menangkap apa yang terapis
maksudkan.
Persamaan Penelitian sama sama membahas komunikasi terapeutik dengan
Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif.
Perbedaan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui situasi, peristiwa, dan
Penelitian tindakan komunikasi terapeutik yang dilakukan terapis kepada
anak yang berkebutuhan khusus agar dapat mudah berinteraksi
dengan lingkungan di sekitarnya.
Kontribusi Peneltian Pada penelitian ini, peneliti mendapatkan referensi mengenai
metode penelitian yaitu metode deskriptif kualitatif dan
pemahaman mengenai komunikasi terapeutik.
3. Judul Penelitian Komunikasi Terapeutik Perawat Dan Pasien Gangguan Jiwa
(Studi Deskriptif Kualitatif Aktivitas Komunikasi Terapeutik
Perawat Dengan Pasien Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Soerojo Magelang)

Peneliti Fidya Faturochman (2014)


Metode Peneltian Deskriptif kualitatif
Hasil Penelitian Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa komunikasi
terapeutik yang diterapkan di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.
Soerojo Magelang terdiri dari empat fase/tahap, yaitu fase pra
interaksi, fase orientasi, fase kerja, dan fase terminasi. Dalam
melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien, para perawat
di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang, menggunakan
teknik-teknik dan sikap tertentu. Jalinan hubungan antara
perawat dengan pasien di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo
Magelang merupakan hal penting dalam komunikasi terapeutik.
Melalui jalinan hubungan perawat dan pasien yang terbina
dengan baik, perawat dan pasien bekerja sama untuk mencapai
tujuan.
Persamaan Penelitian ini sama sama membahas komunikasi terapeutik
Penelitian dalam menghadapi pasien dengan empat tahan dan
menggunakan metode kualitatif
Perbedaan 1. Penelitian dilakukan oleh perawat sedangkan yang akan
Penelitian diteliti penulis dilakukan oleh bidan
2. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui komunikasi
terapeutik perawat dan pasien gangguan jiwa (studi
deskriptif kualitatif aktivitas komunikasi terapeutik perawat
dengan pasien gangguan jiwa di rumah sakit jiwa prof. dr.
soerojo magelang)

Kontribusi Pada penelitian ini, peneliti mendapatkan referensi terkait


Penelitian metode penelitian yang digunakan yaitu metode deskriptif
kualitatif dan komunikasi terapeutik yang diterapkan dalam
menghadapi pasien.
13

2.2 Komunikasi Terapeutik


2.2.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik
Komunikasi merupakan sebuah kegiatan yang selalu dilakukan oleh
manusia untuk menjalankan berbagai aktivitas sehari-hari dalam kehidupannya.
Sebagian besar kegiatan manusia tidak terlepas dari komunikasi, tanpa
komunikasi manusia tidak akan mungkin dapat berinteraksi dengan orang lain
untuk mendapatkan informasi ataupun menyampaikan suatu informasi. Dikutip
oleh Hafied Cangara dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi, Rogers
bersama D. Lawrence Kincaid (1981) menyatakan bahwa "Komunikasi adalah
suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan
pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba
saling pengertian yang mendalam" yang berarti Rogers menyimpulkan hakikat
suatu hubungan dengan pertukaran informasi, dan terjadi adanya perubahan
sikap dan tingkah laku serta kebersamaan dengan saling pengertian diantara
orang-orang yang berpartisipasi dalam proses komunikasi (Cangara, 2016:22).
Komunikasi terapeutik tercantum ke dalam komunikasi interpersonal
dengan titik tolak membagikan pengetahuan serta penafsiran antara bidan
dengan pasien, perkara mendasar serta inti komunikasi ini adalah saling
membutuhkannya antara bidan serta pasien, sehingga dikategorikan ke dalam
komunikasi antar individu di antara bidan dan pasien, bidan menolong serta
pasien menerima dorongan, (Suryani, 2005 dalam Imanda 2021).
Menurut Stuart G.W yang dikutip Damaiyanti dalam bukunya yang berjudul
Komunikasi Terapeutik Dalam Praktik Keperawatan 2016 yaitu untuk
memperoleh pengalaman belajar bersama dan berusaha untuk membantu
memperbaiki kondisi emosional pasien, bidan dan perawat membutuhkan
teknik terapeutik yang mana teknik tersebut termasuk ke dalam komunikasi
interpersonal, (Damaiyanti, 2016).
Komunikasi terapeutik sendiri dilaksanakan dan dilakukan secara sadar
dengan tujuan membantu memulihkan pasien demi kesembuhan mereka, dalam
prosesnya terapeutik dituntut untuk menjaga hubungan baik dengan
14

lingkungannya, dalam hal ini adalah lingkungan kesehatan yang mencakup


bidan atau perawat dengan pasien atau kliennya. Komunikasi terapeutik sangat
berarti untuk menggapai tujuan asuhan yang lebih efisien, sebab bidan
hendaknya akan lebiih gampang menjalankan ikatan silih yakin dengan pasien.
Kala bidan tidak memakai ikatan yang bisa membagikan dampak dari terapeutik
yang kesimpulannya memesatkan kesembuhan pasien, namun dapat pula
dengan ikatan sosial biasa.
Menurut Suryani di kutip oleh Etik Anjar Fitriarti Komunikasi terapeutik
adalah kemampuan atau keterampilan konselor untuk membantu klien
beradaptasi terhadap stress, mengatasi gangguan psikologis, serta belajar
bagaimana berhubungan dengan orang lain (Fitriarti, 2017). Komunikasi
terapeutik merupakan bentuk keterampilan dasar untuk melakukan wawancara
dan penyuluhan dalam artian wawancara digunakan pada saat petugas
kesehatan melakukan pengkajian memberi penyuluhan kesehatan dan
perencanaan perawatan, (Purwanto, 2007).
Dalam (Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan, 2007), terapeutik
dapat juga menyangkut persahabatan yang kegiatannya saling berbagi
pengalaman dari masing-masing pihak, dan mereka bisa saling mengisi
kekurangan atau kelebihan satu sama lain. Dapat membantu secara psikologis
dan menciptakan ikatan emosional yang kuat di antara keduanya. Secara
psikologis komunikasi yang bersifat terapeutik akan membuat pasien tidak
terlalu gelisah dan akan lebih tenang.

2.2.3 Tujuan Komunikasi Terapeutik

Dengan memiliki keterampilan dalam komunikasi terapeutik bidan akan


lebih mudah dalam menjalin hubungan saling percaya dengan pasien sehingga
lebih efektif dalam mencapai tujuan asuhan kebidanan yang diterapkan,
memberikan pelayanan secara professional.
15

Menurut Purwanto dalam buku Damaiyanti berjudul Asuhan


Keperawatan Jiwa (2012) tujuan komunikasi terapeutik yaitu:

1. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan


pikiran serta dapat mengambil Tindakan untuk mengubah situasi yang ada
bila pasien percaya pada hal yang diperlukan.
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal pengambilan Tindakan yang
efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
3. Mempengaruhi orang lain. Lingkungan fisik dan dirinya sendiri

Selain itu menurut Stuart dan Sundeen juga Lidenberg, Hunter dan
Kruszweski (Rita Yulifah dan Yuswanto, 2009:19) komunikasi terapeutik juga
diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi hal-hal berikut ini :

1. Penerimaan diri dan peningkatan terhadap penghormatan diri. Klien yang


sebelumnya tidak menerima diri apa adanya atau merasa rendah diri, setelah
berkomunikasi terapeutik dengan perawat atau konselor akan mampu
menerima dirinya. Diharapkan perawat atau konselor dapat mengubah cara
pandang pasien atau klien tentang dirinya dan masa depannya sehingga
klien dapat menghargai dan menerima diri apa adanya.
2. Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superfisial dan
saling bergantung dengan orang lain. Klien belajar bagaimana menerima
dan diterima oleh orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur dan
menerima klien apa adanya, perawat akan dapat meningkatkan kemampuan
klien dalam membina hubungan saling percaya (Hibdon S., dalam Suryani,
2005)
3. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta
mencapai tujuan yang realistis. Sebagian klien menetapkan ideal diri atau
tujuan yang terlalu tinggi tanpa mengukur kemampuannya. Tugas perawat
dengan kondisi seperti itu adalah membimbing klien dalam membuat tujuan
16

yang realistis serta meningkatkan kemampuan pasien memenuhi kebutuhan


dirinya.
4. Rasa identitas personal yang jelas dan meningkatkan integritas diri. Klien
yang mengalami gangguan identitas personal biasanya tidak mempunyai
integritas terhadap dirinya. Disini perawat diharapkan membantu klien
untuk meningkatkan integritas dirinya dan idenitas diri klien melalui
komunikasinya. (Yulifah dan Yuswanto 2009).

2.2.4 Manfaat Komunikasi Terapeutik

Dengan tenaga kesehatan memiliki keahlian dalam berbicara dan


menyampaikan pesan teurapeutik, akan memudahkan mereka menjalin ikatan
dengan pasien. Kepuasan dan memiliki keyakinan yang sama antara bidan dan
pasien menjadi sebuah tujuan utama asuhan tenaga kesehatan yang telah
diterapkan. Adapaun manfaat dari komunikasi teurapeutik adalah:
1. Mendesak dan menyarankan adanya kerjasama antara bidan dengan
pasien melalui hubungan bidan pasien.
2. Mengenali, menguak perasaan, serta mengkaji permasalahan dan
mengevaluasi aksi yang dicoba oleh bidan. Dari manfaat
komunikasi tersebut dapat disimpulkan bahwa komunikasi
terapeutik sangat diwajibkan bagi tenaga kesehatan untuk dimiliki
demi menjalin suatu hubungan dan membangun sebuah pemahaman
dan pengetahuan mengenai komunikasi terapeutik, khususnya
mengenai asuhan kebidanan dalam melayani pasien (Suryani, 2016).
2.2.5 Proses Komunikasi Terapeutik
Dalam proses komunikasi teurapeutik menurut Suryani 2016 dalam
bukunya berjudul Komunikasi Terapeutik: Teori dan Praktik proses
komunikasi terapeutik dibagi menjadi empat fase yaitu fase prainteraksi, fase
orientasi, fase kerja, fase terminasi. Berikut penjabarannya:
17

1. Fase Pra-Interaksi
Fase pra-interaksi ialah fase yang diawali saat sebelum berhubungan
dengan pasien. Pada fase ini bidan berupaya mencari informasi data dari
pasien, mengidentifikasi adanya kesalahan serta kelebihan yang ada pada
pasien termasuk keluhan yang diutarakan pasien. Sehabis memperoleh data
tersebut bidan mulai membuat strategi buat berjumpa dengan pasien. Pada
fase ini ada dua faktor yang butuh buat dipelajari serta dipersiapkan ialah
faktor yang ada pada diri bidan sendiri serta faktor dari pasien. Hingga ada
pula hal-hal yang bisa dipelajari dari diri bidan sendiri ialah :
a) Informasi yang dipunya dan terkait dengan dunia kesehatan,
penyakit, dan pasien.
b) Kecemasan dan kekalutan diri
c) Analisis kekuatan diri
d) Waktu pertemuan baik saat pertemuan maupun lama pertemuan
Ada pula sikap pasien yang tertutup dan malu-malu dalam
mengutarakan penyakitnya dan serta ada pula pasien yang terbuka dengan
penyakitnya. Kenaikan rasa yakin terhadap diri sendiri sert rasa optimis
untuk sembuh akan menunjang kesembuhan pasien juga. Ada pula metode
komunikasi yang dapat digunakan untuk memperkenalkan pasien terhadap
keadaan realita yang sebelumnya sudah pernah dicoba, tujuannya untuk
memperkenalkan ataupun menampilkan kepada pasien aksi yang sudah
dicoba dengan harapan sikap pasien yang lebih destruktif.
2. Fase Orientasi
Fase ini adalah fase di mana kontak pertama dengan pasien dilakukan.
Tujuannya ialah guna memverifikasi akuratnya data dari pasien dan
informasi yang didapatkan meliputi keluhan, kekurangan, atau sakit yang
diderita pasien, membuat kontrak pertemuan dan kerja dengan pasien, serta
memberikan evaluasi atas kerja atau proses konsultasi.
18

3. Fase Kerja
Fase kerja ialah bagian utama dalam ikatan antara tenaga kesehatan
serta pasien. Ikatan tersebut terpaut dengan penerapan rencana aksi
kebidanan yang dilakukan secara cocok dengan tujuan yang dikehendaki
untuk dicapai. Pada bagian ini diharapkan dari pihak bidan ataupun pasien
akan berupaya untuk berkolaborasi. Dalam bagian ini bidan akan
membutuhkan active listening, dengan lewat active listening bidan
menolong pasien buat membongkar permasalahan yang dialami serta
membagikan jalan keluar pemecahan masalah untuk menanggulaninya,
serta mengevaluasi pemecahan masalah tersebut jika dirasa pasien masih
dalam keadaan belum baik atau mengalami permasalahan yang sama. Nama
Individu (perawat dan pasien) Peran perawat dengan pasien Tanggung
jawab perawat dan pasien Tujuan berhubungan Tempat bertemu Waktu
bertemu Situasi saat hiatus Rahasia
4. Fase Terminasi
Pada fase inilah semua proses komunikasi terapeutik akan berakhir.
Pada fase ini pula hal utama pada fase terapeutik terbentuk, sebab ikatan
saling mempercayai secara maksimal telah terbuka serta terletak dalam
tingkatan yang maksimal. Tahap terminasi ini dipecah menjadi dua akan
menjadi terminasi sementara dan akhir. Fase sementara merupakan tempat
di mana bidan nantinya akan bertemu kembali dengan pasiennya di suatu
waktu lain, sedangkan fase akhir adalah merupakan benarbenar situasi di
mana semuanya proses pemeriksaan ataupun kontrol setiap bulan berakhir
karena pasien sudah benar-benar dinyatakan sembuh atau tidak ada masalah
apapun yang menjadi alasan untuknya kembali. Biasanya setelah melalui
fase terminasi ini, bidan dan pasien melakukan penjanjian yang dilakukan
agar pasien dan bidan bisa saling mempersiapkan dirinya masing-masing
untuk kelanjutan konsultasi (Suryani, 2016).
19

2.2.6 Karakteristik Komunikasi Terapeutik


Karakteristik yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik yaitu sebagai
berikut:
a) Ikhlas (Genuines) Pesan/stimulus Pengirim Encoder Media Decoder
Penerima Respon Umpan balik Faktor yang mempengaruhi
komunikasi.
b) Empati (Empathy) Merupakan sikap jujur dalam menerima kondisi
pasien. Obyektif dalam meberikan penilaian terhadap klien dan
tidak berlebihan.
c) Hangat (Warmth) Kehangatan dan sikap permisif yang diberikan
diharapkan dapat memberikan dan mewujudkan ide-idenya tanpa
rasa takut, sehingga klien dapat mengekspresikan perasaannya lebih
mendalam (Musliha & Fatmawati, 2010).
2.2.7 Proses Komunikasi Terapeutik Dalam Komunikasi Interpersonal
Proses komunikasi teurapeutik pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan
prosesi belajar mengajar. Oleh sebab itu proses dalam penelitian ini
diterapkan dengan proses komunikasi teurapeutik. Di mana seorang tenaga
kesehatan (bidan) menjadi seorang komunikator. Komunikasi teurapeutik
merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh tenaga kesehatan (bidan).
Bidan harus mampu menjalin hubungan dengan pasien dan membantu dalam
memenuhi perilaku yang sehat melalui komunikasi teurapeutik. Kompetensi
seorang bidan tergantung pada kemampuannya dalam mengirimkan pesan
yang bermakna. Proses terapeutik yang dilalui bidan sebagai proses pelayanan
konseling Keluarga Berencana (KB) adalah tindakan yang direncanakan dan
dilakukan dengan kesadaran penuh bertujuan untuk membantu proses
interaksi mereka. Dalam mengamati keterkaitan antara bidan dan pasien
dalam konseling program Keluarga Berencana (KB) dibutuhkan evaluasi
ulang sehingga akan ditemukan teknik dan keterampilan yang pas dan
bertahap. Seperti di bawah ini contoh proses komunikasi teurapeutik dalam
menangani pasien:
20

Tabel 1 : Tugas Tenaga Kesehatan dalam Proses Komunikasi Teurapeutik


untuk Menangani Pasien
Fase Tugas
Pra- Interaksi 1. Penjelajahan terhadap apa yang dirasakan dan
ditakutkan.
2. Eksplorasi kelemahan dan yang ditakutkan.
3. Mencari informasi awal pasien jika mungkin.
4. Merencanakan pertemuan lanjutan
Orientasi 1. Penentuan alasan utama pertolongan yang dibutuhkan.
2. Membangun hubungan penuh kepercayaan.
3. Membuat perjanjian kontrak dengan pasien.
4. Menganalisis tingkah laku dari klien.
5. Memutuskan masalah utama yang dialami pasien.
6. Membuat tujuan yang melibatkan pasien bersama
medik.
Kerja 1. Mencari pemicu stress yang tepat.
2. Mendukung berekembangnya keadaan mental klien dan
pemakaian mekkanisme koping yang konstruktrif.
3. Atasi penolakan perilaku maladaptif.
Terminasi 1. Membuat situasi yang memungkinkan untuk berpisah.
2. Diskusi mengenai terapi apa yang akan dilakukan untuk
mencapai tujuan yang dimaksud.
3. Saling megerti satu sama lain dan mengerti jika ada
penolakan, sedih, marah, dan lainnya
Sumber : Stuart dan Sundeen, 2016 dalam Imanda 2021.
21

2.2.8 Teori Interaksi Simbolik

Beberapa ilmuan yang memiliki andil utama sebagai perintis


interaksionalisme simbolik, diantaranya James Mark Baldwin, William
James, Charles H. Cooley, John Dewey, William I. Thomas, dan George
Herbert Mead. Akan terapi George Herbert Mead-lah yang paling popular
sebagai perintis dasar Teori Interaksi Simbolik, ia sangat mengagumi
kemampuan manusia untuk menggunakan simbol; dia mengatakan bahwa
orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul di dalam sebuah
situasi tertentu. Teori Interaksi Simbolik (Symbolic Interaction Theory)
menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi.

Interaksi simbolik merupakan salah satu teori komunikasi yang


memberikan informasi kepada khalayak untuk bertindak berdasarkan makna
yang diberikannya pada orang, benda, dan peristiwa. Makna- makna yang
diciptakan dalam bahasa yang digunakan orang baik untuk berkomunikasi
dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri, atau pikiran pribadinya.
Bahasa memungkinkan orang untuk mengembangkanperasaan mengenai diri
dan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam suatu komunitas.

Pelaku komunikasi tidak hanya berinteraksi dengan orang lain dan


dengan objek-objek sosial; mereka juga berinteraksi dengan diri mereka
sendiri. Para pelaku komunikasi melakukan percakapan sendiri sebagai
bagian dari proses interaksi; kita berbicara kepada diri kita sendiri dan
memiliki percakapan dalam pikiran kita untuk membedakan benda dan
manusia. Ketika mengambil keputusan mengenai bagaimana bertindak
terhadap suatu objek sosial, kita menciptakan apa yang disebut Kuhn sebagai
rencana tindakan yang dipandu oleh sikap atau pernyataan verbal yang
menunjukkan nilai-nilai terhadap tindakan apa yang akan diarahkan. Sebagai
contoh, kuliah melibatkan sebuah rencana tindakan-sebenarnya sebuah
kumpulan tindakan-yang dipandu oleh sebuah susunan sikap mengenai apa
22

yang anda inginkan untuk keluat dari kampus. Sebagai contoh, bagaimana
anda terhubung dengan kuliah dapat dipengaruhi oleh sikap positif terhadap
uang, karier, dan keberhasilan pribadi.

A. Dasar-dasar Teori Interaksi Simbolik


Menurut West dan Turner, terdapat tiga inti pemikiran George Herbert
Mead terkait Interaksi Simbolik, yakni:

a. Pikiran (Mind)

Mead mendefinisikan pikiran (mind) sebagai kemampuan


untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang
sama, dan Mead percaya bahwa manusia harus mengembangkan
pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Dalam hal ini bahasa
menjadi sesuatu yang sangat penting, karena interaksi antara satu
orang dengan orang lainnya diawali dengan bahasa. Mead menyebut
bahasa dalam hal ini sebagai simbol signifikan (significant symbol),
atau simbol-simbol yang memunculkan makna yang sama bagi
banyak orang. Dengan menggunakan bahasa dan berinteraksi dengan
orang lain, kita mengembangkan apa yang dikatakan Mead sebagai
pikiran, dan ini mampu membuat seseorang untuk menciptakan
setting interior bagi masyarakat yang beroperasi di luar diri sendiri.
Jadi, pikiran dapat digambarkan sebagai cara orang
menginternalisasi masyarakat.
b. Diri (Self)
Definisi diri (self) menurut Mead dipahami sebagai kemampuan
untuk merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain.
Dalam hal ini diri berkembang dari sebuah jenis pengambilan peran
yang khusus, maksudnya membayangkan bagaimana kita dilihat oleh
orang lain. Mead menyebut hal tersebut sebagai cermindiri (looking-
glassself). Maksud dari ‘cermin diri’ ini adalah kemampuan
23

seseorang untuk melihat dirinya sendiri dalam pantulan orang lain.


Adapun tiga konsep pengembangan yang dihubungak dengan
cermin diri yang sekaligus menjadi unit analisis pada penelitian ini
(1) kita membayangkan bagaimana kita terlihat di mata orang lain,
(2) kita membayangkan penilaian mereka mengenai penampilan
kita, (3) kita merasa tersakiti atau bangga berdasarkan perasaan
pribadi. Inti dari konsep ini adalah seseorang belajar mengenai diri
sendiri dari cara orang lain memperlakukan, memandang, dan
memberi label pada dirinya. Sedangkan pemikiran Mead mengenai
cermin diri mengimplikasikan kekuasaan yang dimiliki oleh label
terhadap konsep diri dan perilaku. Selain itu juga ia menjelaskan
bahwa pemberian sebuah label atau yang disebut sebagai efek
Pygmalion adalah hal yang merujuk pada harapan-harapan orang
lain yang mengatur tindakan seseorang. Seperti contohnya
perbedaan antara perempuan kelas atas dan seorang penjual bunga
yang miskin bukanlah perilakunya tetapi bagaimana orang lain
memperlakukan dirinya.
Teori Mead mengenai diri mengatakan bahwa melalui bahasa,
orang mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi
dirinya sendiri. Sebagai subjek, kita bertindak, dan sebagai objek,
kita mengamati diri kita sendiri bertindak.
3.Sosial (Society)
Mead beragumen interaksi mengambil tempat di dalam sebuah
struktur sosial yang dinamis-budaya, masyarakat, dan sebagainya.
Individu-individu ke dalam konteks sosial yang sudah ada. Mead
mendefinisikan masyarakat (society) sebagai jejaring sosial yang
diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di dalam masyarakat
melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi,
masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat
perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat
24

ada sebelum individu, tetapi juga diciptakan dan dibentuk oleh


individu dengan tindakansejalan dengan orang lainnya. Masyarakat
karenanya terdiri dari individu- individu dan Mead berbicara
mengenai dua bagian penting masyarakat yang mempengaruhi
pikiran dan diri. Pemikiran Mead mengenai orang lain secara khusus
(particular others) merujuk pada individu- individu dalam
masyarakat yang signifikan bagi kita. Orang-orang ini biasanya
adalah anggota keluarga, teman, dan kolega di tempat kerja. Kita
melihat orang lain secara khusus terebut untuk mendapatkan rasa
penerimaan dan rasa mengenai diri.
Orang lain secara umum (generalized other) merujuk pada
cara pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai suatu
keseluruhan. Hal ini diberikan oleh masyarakat kepada kita dan
“sikap dari orang lain secara umum adalah sikap dari keseluruhan
komunitas”. Orang lain secara umum memberikan penyediaan
informasi mengenai peranan, aturan, dan sikap yang dimiliki
bersama oleh komunitas. Orang lain secara umum juga memberikan
kita perasaan mengenai bagaimana orang lain bereaksi kepada kita
dan harapan sosial secara umum. Perasaan ini berpengaruh dalam
mengembangkan kesadaran sosial. Orang lain secara umum dapat
menengahi konflik yang dimunculkan oleh kelompok-kelompok
orang lain secara khusus yang berkonflik.
(Sumber: Richard West dan Lynn H.Turner dalam Buku Pengantar
Teori Komunikasi).

2.3 Konseling Bidan


2.3.1 Konseling

Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh


seorang ahli kepada individu yang mengalami sesuatu masalah yang bermuara
25

pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Istilah ini pertama kali
digunakan oleh Frank Parsons di tahun 1908 saat ia melakukan konseling
karier. Selanjutnya juga diadopsi oleh Carl Rogers yang kemudian
mengembangkan pendekatan terapi yang berpusat pada klien (Indriyani,
2011).

Definisi konseling dalam Buku Ajar Pengantar Dasar Keterampilan


Konseling Bagi Konselor Pendidikan oleh Mulawarman Ph.D konseling
adalah suatu layanan profesional yang dilakukan oleh para konselor yang
terlatih secara profesional. Hal ini bukan merupakan hubungan yang
secara kebetulan direncanakan untuk membereskan masalah klien.
Konseling merupakan suatu proses yang direncanakan untuk mempercepat
pertumbuhan klien. Untuk memperoleh definisi atau pengertian lebih jelas
tentang konseling maka berikut ini beberapa pendapat dari para ahli
mengenai definisi konseling:

a) Rogers (1952) dalam Rosjidan mengemukakan bahwa konseling


merupakan proses dimana sturktur diri (pribadi) dibuat sesantai
mungkin demi menjaga hubungan dengan ahli terapi, dan
pengalaman-pengalaman sebelumnya yang tertolak dirasakan dan
selanjutnya diintegrasikan kedalam suatu diri (self) yang telah
dirubah.
b) Rogers (1942) dalam Hendrarno (2003:24), menyatakan bahwa
konseling merupakan rangkaian-rangkaian kontak atau hubungan
secara langsung dengan individu yang tujuannya memberikan
bantuan dalam merubah sikap dan tingkah lakunya.
c) Gibson (1985) menyatakan bahwa konseling adalah hubungan
bantuan antara konselor dan klien yang difokuskan pada
pertumbuhan pribadi dan penyesuaian diri serta pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan (Mulawarman, 2017).
26

2.3.2 Bidan
Bidan adalah seorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan bidan yang telah diakui pemerintah dan lulus ujian sesuai
dengan persyaratan yang telah berlaku, dicatat (registrasi), diberi izin secara
sah untuk menjalankan praktek (Sari dan Rury, 2012).
Bidan mempunyai tugas penting dalam konsultasi dan pendidikan
kesehatan baik bagi wanita sebagai pusat keluarga maupun masyarakat
umumnya, tugas ini meliputi antenatal, intranatal,postnatal, asuhan bayi
baru lahir, persiapan menjadi orang tua, gangguan kehamilan dan
reproduksi serta keluarga berencana. Bidan juga dapat melakukan praktek
kebidanan pada Puskesmas, Rumah sakit, klinik bersalin dan unit-unit
kesehatan lainnya di masyarakat (Nazriah, 2009).
2.3.3 Peran Bidan
Peran bidan sebagai petugas kesehatan yaitu sebagai komunikator,
motivator, fasilitator, dan konselor bagi masyarakat (Potter dan Perry,
2007). Macam-macam peran tersebut yaitu:
a. Komunikator
Komunikator adalah orang yang memberikan informasi kepada orang
yang menerimanya. Komunikator merupakan orang ataupun kelompok
yang menyampikan pesan atau stimulus kepada orang atau pihak lain
dan diharapkan pihak lain yang menerima pesan (komunikan) tesebut
memberikan respon terhadap pesan yang diberikan (Putri ,2016). Proses
dari interaksi komunikator ke komunikan disebut juga dengan
komunikasi. Selama proses komunikasi, tenaga kesehatan secara fisik
dan psikologis harus hadir secara utuh, karena tidak cukup hanya dengan
mengetahui teknik komunikasi dan isi komunikasi saja tetapi juga
penting untuk mengetahui sikap, perhatian, dan penampilan dalam
berkomunikasi.
27

b. Sebagai Motivator
Motivator adalah orang yang memberikan motivasi kepada orang lain.
Sementara motivasi diartikan sebagai dorongan untuk bertindak agar
mencapai suatu tujuan tertentu dan hasil dari dorongan tersebut
diwujudkan dalam bentuk perilaku yang dilakukan (Notoatmodjo,
2007). Menurut Saifuddin (2008) motivasi adalah kemampuan
seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan motif adalah kebutuhan,
keinginan, dan dorongan untuk melakukan sesuatu. Peran tenaga
kesehatan sebagai motivasi tidak kalah penting dari peran lainnya.
Seorang tenaga kesehatan harus mampu memberikan motivasi, arahan,
dan bimbingan dalam meningkatkan kesadaran pihak yang dimotivasi
agar tumbuh kearah pencapaian tujuan yang diinginkan (Mubarak,
2012). Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya sebagai motivator
memiliki ciri-ciri yang perlu diketahui, yaitu melakukan pendampingan,
menyadarkan, dan mendorong kelompok untuk mengenali masalah
yang dihadapai, dan dapat mengembangkan potendinya untuk
memecahkan masalah tersebut (Novita, 2011).
c. Sebagai Fasilitator
Fasilitator adalah orang atau badan yang memberikan kemudahan dalam
menyediakan fasilitas bagi orang lain yang membutuhkan. Tenaga
Kesehatan dilengkapi dengan buku KIA dengan tujuan agar mampu
memberikan penyuluhan mengenai kesehatan ibu dan anak (Putri,
2016). Tenaga kesehatan juga harus membantu klien untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal agar sesuai dengan tujuan yang
diharapkan.
d. Sebagai Konselor
Konselor adalah orang yang memberikan bantuan kepada orang lain
dalam membuat keputusan atau memecahkan suatu masalah melalui
pemahaman tehadap fakta-fakta, harapan, kebutuhan dan perasaan-
28

perasaan klien (Depkes RI, 2008). Proses dari pemberian bantuan


tersebut disebut juga konseling.
Konselor yang baik harus memiliki sifat peduli dan mau mengajarkan
melalui pengalaman, mampu menerima orang lain, mau mendengarkan
dengan sabar, optimis, terbuka terhadap pandangan interaksi yang
berbeda, tidak menghakimi, dan menyimpan rahasia, mendorong
pengambilan keputusan, memberikan dukungan, membentuk dukungan
atas dasar kepecayaan, mampu berkomunikasi, mengerti perasaan dan
kekhawatiran klien, serta mengerti keterbatasan yang dimiliki oleh klien
(Simatupang, 2008).
2.4 Keluarga Berencana (KB)
2.4.1 Pengertian Keluarga Berencana
Keluarga Berencana (KB) atau Family Planning (planned
parenthood) adalah pengaturan keturunan, yaitu pasangan suami istri yang
mempunyai perencanaan yang kongkrit mengenai kapan anak-anaknya
diharapkan lahir. Keluarga berencana adalah istilah resmi yang dipakai
dalam lembaga-lembaga negara kita seperti Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN).
Keluarga berencana adalah sarana bagi manusia untuk mencapai
kesejahteraan lahir dan batin, dan kesejahteraan adalah hak bagi semua
manusia. Kesejahteraan bukanlah persoalan personal, keluarga atau
kelompok, melainkan merupakan persoalan bersama pemerintah sebagai
penyelenggara negara yang berkewajiban memenuhi terwujudnya
kesejahteraan bagi rakyatnya. Antara individu, keluarga, kelompok, dan
negara tidak bisa terpisahkan satu dengan yang lainnya. Kesejahteraan
personal, satu orang saja dari masyarakat, akan berdampak dan berpengaruh
pada kesejahteraan sebuah negara. Begitupun sebaliknya, kebijakan yang
dibuat negara yang setuju kesejahteraan akan berdampak bagi kesejahteraan
rakyatnya, baik komunal maupun personal.
29

Menurut Mahjuddin dalam bukunya yang berjudul Masail Al Fiqh


menjelaskan pengertian keluarga berencana di Indonesia dengan pengertian
umum dan khusus yaitu :
1. Pengertian Umum Keluarga berencana suatu usaha yang mengatur
banyaknya jumlah kelahiran sedemikian rupa, sehingga bagi ibu
maupun bayinya, dan bagi ayah serta keluarganya atau masyarakat
yang bersangkutan tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat
langsung dari kelahiran tersebut
2. Pengertian Khusus Keluarga berencana dalam kehidupan sehari-hari
berkisar pada pencegahan konsepsi atau pencegahan terjadinya
pembuahan, atau pencegahan pertemuan antara sel mani dari laki-
laki dan sel telur dari perempuan sekitar persetubuhan. Dari
pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa keluarga berencana
adalah istilah yang resmi digunakan di Indonesia terhadap usaha-
usaha untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga,
dengan menerima dan mempraktekan gagasan keluarga kecil yang
potensial dan bahagia (Mahjuddin, 2012).
2.4.2 Tujuan Keluarga Berencana
Program keluarga berencana memiliki dua tujuan yaitu tujuan
demografis dan tujuan normatif :
c. Tujuan demografis, yaitu menurunkan tingkat pertumbuhan
penduduk. Semakin sedikit jumlah penduduk di suatu negara,
semakin mudah pengaturan penduduk di negara tersebut, dan
semakin mudah pula untuk mencapai keluarga sejahtera dan
bahagia, terutama masalah kesehatan ibu dan anak.
d. Tujuan normatif, yaitu menciptakan suatu norma ke tengah-tengah
masyarakat agar timbul kecenderungan untuk berkeluarga kecil
dengan motto “dua anak lebih baik, tiga orang stop, laki-laki
perempuan sama saja”. Hal tersebut dapat melembaga dan
menimbulkan rasa bangga dengan jumlah keluarga yang relatif
30

kecil, yaitu caturwarga atau pancawarga. Selain itu memberikan


kesempatan yang seluas-luasnya bagi ibu untuk melaksanakan
kegiatan yang lebih bermanfaat, tidak hanya mengurus anak dan
melupakan kewajiban lainnya (Bunyamin dan Hermanto, 2016).
2.4.3 Macam-Macam Metode Kontrasepsi
Dalam pelaksanaan KB harus menggunakan salah satu alat kontrasepsi
yang sudah dikenal, sebagai hasil penemuan ilmu dan teknologi, seperti :
a. Pil, berupa tablet yang berisi bahan progestin dan progesteren yang
bekerja dalam tubuh wanita untuk mencegah terjadinya ovulasi dan
melakukan perubahan pada endometrium. Kedua bahan tersebut
mengandung hormon dalam kadar rendah, tetapi mampu
menimbulkan efek kontrasepsi tanpa menimbulkan kontraindiksi
yang berarti, kecuali terhadap wanita yang sedang mengidap salah
satu penyakit seperti kanker payudara, penyakit kuning, atau pernah
menderita liver dalam tiga tahun terakhir, penyakit pada pembuluh
darah, hipertensi varices, diabetes atau ashma. Efektifitasnya cukup
tinggi, sekitar 95%. Pil sebaiknya tidak digunakan oleh wanita yang
belum berumur 18 tahun yang haidnya belum teratur, dan wanita
yang telah berumur 35 tahun atau yang sedang menyusui anaknya,
karena dapat mengganggu pembentukan air susu ibu.
b. Suntikan, yaitu menginjeksikan cairan ke dalam tubuh wanita yang
dikenal dengan cairan Devo Provera, Net Den dan Noristerat.
Efektifitasnya mencapai 99%. Cara kerjanya yaitu menghalangi
terjadinya ovulasi, menipiskan endometrin sehingga nidasi tidak
mungkin terjadi, dan memekatkan lendir serviks sehingga
menghambat perjalanan sperma melalui canalis servikalis.
c. Susuk KB, yaitu berupa levemorgestrel, terdiri dari enam kapsul
yang diinsersikan di bawah kulit lengan bagian dalam kira-kira 6-10
cm dari lipatan siku. Cara kerjanya, kontra indikasi dan efek
31

sampingnya sama dengan suntikan, tetapi daya tahannya mencapai


lima tahun.
d. AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim), terdiri atas lippessloop
(spiral), multi load dan coope-T terbuat dari plastik halus dililit
dengan tembaga tipis. Cara kerjanya ialah membuat lemahnya daya
sperma untuk membuahi sel telur wanita karena penyempitan akar
regangan spiral dan pengaruh dari tembaga yang melilit pada plastik
itu. Efektifitasnya mencapai 98% dan bertahan lama, ekonomis dan
reversible. Efek sampingnya mungkin sedikit mulas dan nyeri,
keputihan, terlambat haid, infeksi karena asepsis, dan keluhan
subyektif suami karena sentuhan benangnya.
e. terilisasi (Vasektomi/Tubektomi), yaitu operasi pemutusan atau
pengikatan saluran/pembuluh yang menghubungkan testis (pabrik
sperma) dengan kelenjar prostat (gudang sperma menjelang
diejakulasi) bagi laki-laki, atau tubektomi dengan operasi yang sama
pada wanita sehingga ovarium tidak dapat masuk ke dalam rongga
rahim, sementara sperma laki-laki yang masuk ke dalam vagina tidak
mengandung spermatozoa sehingga tidak akan terjadi kehamilan
walaupun coitus tetap normal tanpa gangguan apapun. Akibat dari
sterilisasi ini akan menjadi mandul selamanya. Kontra indikasi tidak
ada, hanya ada kemungkinan berupa kelainan lokal, yaitu peradangan
kulit di daerah scrotum, hernia, hydroce cele testis atau gangguan
sistem pembekuan darah dan kelainan psikologis. Efek sampingnya
mungkin terjadi pembengkakan dan rasa sakit, mungkin pula terjadi
radang setempat epidimis, humatoma dan glanuloma. Gejala
sampingan ini terjadi akibat persiapan dan perawatan yang kurang
sempurna.
f. Alat-alat kontrasepsi lainnya adalah kondom, diafragma, tablet
vaginal, dan akhir-akhir ini adalagi semacam tisu yang dimasukkan
ke dalam vagina. Dari macam-macam alat kontrasepsi yang telah
32

dikemukakan di atas sebagian besar sasaran pemakaiannya adalah


wanita, yaitu pil, suntikan, susuk KB, AKDR dan kadang-kadang
tubektomi, sedangkan laki-laki (suami) hanya kondom dan
vasektomi.
g. Intra Uterine Device (IUD) adalah alat kontrasepsi yang dipasang
pada rahim wanita untuk mencegah kehamilan. KB yang dilakukan
dengan spiral (IUD) ke dalam rongga rahim, bukan didalam vagina,
sehingga tidak mengganggu persetubuhan. Metode KB dengan
menggunakan spiral adalah metode yang paling aman dan paling
berhasil (efektif), karena tingkat kebocoran atau kehamilannya
rendah dan efek sampingnya pun paling sedikit, hampir tidak ada
(Handayani, 2010).

Di samping itu pula beberapa cara kontrasepsi yang bersifat tradisional


seperti sistem kalender, coitus interuptus („azl) atau senggama terputus, jamu-
jamuan, urut dan sebagainya, yang tidak termasuk dalam kontrasepsi
tehnologis, atau yang disebut juga dengan metode KB ilmiah Metode ilmiah
adalah metode yang tidak menggunakan alat, bahan kimia, maupun obat-
obatan. Ada beberapa cara yang dilakukan dengan metode ini, diantaranya :

a. Memberi ASI selama enam bulan


b. Metode pengecekan lendir atau metode pengamatan irama, biasanya
disebut dengan metode/sistem kalender, yaitu metode berpantang
hubungan dengan (memakai metode perintang) pada hari-hari subur
istri. Cara mengetahui masa subur istri dapat dilakukan dengan
menghitung siklus bulanan istri atau dengan mengecek lendir
(cairan) dari vagina istri setiap hari. Pantang berkala yaitu
menyetubuhi wanita pada saat-saat tertentu. Menurut George
Drysdale (Pelopor gerakan KB di Amerika Serikat), masa tidak
subur adalah antara dua tiga hari sebelum haid hingga delapan hari
setelah haid. Kemudian pada tahun 1930 diadakan penelitian oleh
33

Kyusaku Ogino dan Herman Knauss. Menurut Ogino ovulasi terjadi


antara 12 sampai dengan 15 hari sebelum haid. Metode ini terkenal
hingga sekarang dengan metode Ogino Knauss. Atas ide dua peneliti
tersebut lahirlah kontrasepsi pantang berkala atau sistem kalender.
c. Azl/Coitus Interupus (Senggama terputus) Senggama terputus
merupakan metode kontrasepsi yang telah dikenal umat manusia
sejak berabad-abad yang lampau. Cara yang digunakan untuk
menghalangi atau mengurangi kelahiran adalah mengeluarkan air
mani di luar rahim ketika terasa akan keluar (Handayani, 2010).
34

2.5 Kerangka Pemikiran

Interaksi Simbolik

1. Pikiran (Mind) 2. Diri (Self)


3. Masyarakat (Society)

Proses Komunikasi Terapeutik

Fase Pra-Interaksi Fase Orientasi Fase Kerja Fase Terminasi

Komunikasi Terapeutik Dalam


Konseling Bidan Pada Pelaksanaan
Pelayanan Keluarga Berencana (KB)
(Studi Kasus Pada Puskesmas Lingkar
Timur Kota Bengkulu)

Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran


Sumber: olahan peneliti 2023
35

Dari kerangka pemikiran di atas, peneliti akan meneliti bagaimana Komunikasi


Terapeutik Dalam Konseling Bidan Pada Pelaksanaan Pelayanan Keluarga
Berencana (Studi Kasus Pada Puskesmas Lingkar Timur Kota Bengkulu). Lalu
setelahnya peneliti akan menganalisis temuan komunikasi terapeutik antara bidan
dan pasien dalam konseling pada pelayanan Keluarga Berencana (KB)
menggunakan teori interaksi simbolik yang dimana untuk menggambarkan
bagaimana manusia menggunakan bahasa untuk membentuk makna, bagaimana
manusia menciptakan serta menampilkan dirinya sendiri, dan bagaimana manusia
menggunakan simbol-simbol untuk mencipatakan masyarakat dengan cara bekerja
sama dengan orang lain dan menggunakan beberapa proses komunikasi terapeutik
yaitu fase pra-interaksi, fase orientasi, fase kerja, dan fase terminasi. Kemudian
peneliti akan mengetahui komunikasi terapeutik yang dilakukan antara karyawan
bidan dan pasien dalam konseling pada pelayanan Keluarga Berencana (KB).
BAB III

METODE PENELITIAN

1.1 Paradigma Penelitian


Penelitian ini menggunakan Paradigma post-postivisme atau paradigma
interpretif. Paradigma interpretif menurut Sarankantos (1995) adalah
paradigma yang berupaya memahami perilaku manusia. Paradigma ini
memberikan penekanan kepada peranan bahasa, interpretasi, dan pamahaman
(dalam Manzilati, 2017:4).
Peneliti menggunakan paradigma ini karena peneliti mencoba untuk masuk
dalam sudut pandang secara keseluruhan, dan mengembangkan pemahaman
yang mendalam mengenai bagaimana tiap aspek terhubung secara keseluruhan.
Paradigma ini kerap kali menggunakan observasi partisipasi dan penelitian
lapangan. Peneliti juga bertatap muka dengan informan, interpretif berfokus
pada bagaimana individu pada umumnya mengatur hal-hal praktis dalam
kehidupan sehari-hari atau bagaimana mereka mengerjakan sesuatu.
Paradigma ini juga fokus pada bagaimana individu berinteraksi dan bersama
orang lain.
Pada penelitian ini peneliti masuk pada paradigma post-positivisme,
karena peneliti ingin mengetahui dan memahami realitas sosial yang terjadi
dalam komunikasi terapeutik yang dilakukan antara bidan dan pasien dalam
konseling pada pelayanan Keluarga Berencana (KB) dari berbagai sudut
pandang bidan yang melakukan penanangan keluhan pasien KB.
1.2 Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini metode penelitian yang digunakan adalah penelitian
kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pendekatan studi kasus menurut
Bogdan dan Biklen (dalam Syamsudin, 2009:175) merupakan pengujian secara
rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan
dokumen atau satu peristiwa tertentu. Sementara itu, Surachman (dalam

36
37

Syamsudin, 2009:175) menjelaskan bahwa, “membatasi pendekatan studi


kasus sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada satu kasus
secara intensif dan rinci”. Peristiwa studi kasus biasanya dipilih berdasarkan
hal yang aktual, sedang berlangsung, bukan hal yang sudah lewat. Penggunaan
pendekatan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dengan pendekatan ini
dapat membantu peneliti untuk menjelaskan komunikasi terapeutik yang
dilakukan antara bidan dan pasien dalam konseling pada pelayanan Keluarga
Berencana (KB) di Puskesmas Lingkar Timur Kota Bengkulu.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif artinya penelitian dilakukan
secara mendalam yang bermaksud untuk mendapatkan gambaran tentang
komunikasi terapeutik yang dilakukan antara bidan dan pasien dalam konseling
pada pelayanan Keluarga Berencana (KB) di Puskesmas Lingkar Timur Kota
Bengkulu. Menurut Sugiyono (2008:9) penelitian kualitatif adalah metode
penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk
meneliti pada kondisi objek yang alamiah dengan peneliti sebagai instrumen
kunci, teknik pengumpulan datanya dilakukan secara triangulasi, analisis
datanya bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
makna dari pada generalisasi.
1.3 Informan Penelitian
Informan merupakan subjek atau orang yang akan dimanfaatkan informasi
yang diberikannya terkait suatu kondisi atau situasi dari latar penelitian.
Informan ini akan menjadi sumber dari data yang dibutuhkan oleh sebuah
penelitian (Moleong, 2018). Penelitian yang dilakukan peneliti nantinya
menggunakan teknik purposive dalam pengambilan samplenya. Purposive
sampling merupakan teknik untuk mengambil sample dari sebuah sumber data
tertentu dan dengan hal-hal tertentu yang perlu dipertimbangkan. Hal yang
harus dipertimbangkan, misalnya siapa orang yang bisa dianggap paling tahu
tentang apa yang diharapkan atau orang tersebut mungkin juga dianggap
sebagai penguasa sehingga dapat memudahkan peneliti untuk menjalankan
penelitian berdasarkan objek dan kondisi sosial yang diteliti.
38

Peneliti memilih subjek atau informan pokok yaitu mereka yang


mengetahui dan mempunyai informasi pokok yang diperlukan dalam
penelitian. Informan pokok penelitian adalah bidan pada Pada Puskesmas
Lingkar Timur Kota Bengkulu yang menangani konseling pada pelayanan
Keluarga Berencana (KB). Informan pokok yang akan diambil menjadi sample
dalam penelitian ini memiliki kriteria yaitu:
1. Bidan Puskesmas Lingkar Timur Kota Bengkulu
2. Bidan dengan masa kerja lebih dari 5 tahun.
3. Telah memiliki pengalaman dalam bidang pelayanan konseling program
Keluarga Berencana.
4. Pasien KB Puskesmas Lingkar Timur Kota Bengkulu
Peneliti memilih subjek atau informan pokok dan informan pendukung.
Yang mana informan pokok adalah mereka yang mengetahui dan mempunyai
informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Informan pokok penelitian
adalah bidan pada Puskesmas Lingkar Timur yang menangani proses dalam
konseling pada pelayanan Keluarga Berencana (KB). Sedangkan Informan
pendukung merupakan orang yang dapat memberikan informasi tambahan
sebagai pelengkap analisis dan pembahasan dalam penelitian kualitatif.
Informan tambahan terkadang memberikan informasi yang tidak diberikan
oleh informan utama atau informan pokok. Informan pendukung pada
penelitian ini adalah pasien pada Puskesmas Lingkar Timur yang melakukan
konseling pada pelayanan Keluarga Berencana (KB). Oleh sebab itu, informan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Tabel 3.1 Profil Informan


Profil Informan
Nama Usia Jabatan
Ermi Suryani 54 tahun Bidan
Puspitarini 42 tahun Bidan
39

Alma Leli 42 tahun Bidan


Silvia Reni 36 tahun Bidan
Oshadiarti 51 tahun Bidan
Ade Irma 23 tahun Pasien
Wilna 29 Tahun Pasien

1.4 Teknik Pengumpulan Data


Penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif ini menggunakan
teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1.4.1 Data Primer
Pengumpulan data dalam penelitian ini salah satunya menggunakan
teknik pengumpulan data primer. Data primer diperoleh melalui beberapa
cara yaitu:
1. Teknik Wawancara, suatu proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
secara tatap muka mendengarkan secara langsung informasi atau
keterangan yang berkaitan dengan penelitian. Teknik wawancara
dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode semi
terstruktur. Wawancara semi terstruktur dilakukan dengan bertanya
langsung kepada informan untuk menggali dan mendapatkan
informasi yang berkaitan dengan data yang dibutuhkan. Proses
wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara,
sehingga peneliti dapat mengembangkan pertanyaan-pertanyaan
penelitian sesuai dengan kebutuhan informasi yang diinginkan.
Penulis dalam penelitian ini melakukan wawancara dengan Bidan
dan Pasien Puskesmas Lingkar Timur yang sesuai dengan kriteria
informan yang telah ditetapkan.
40

2. Teknik Observasi, metode pengumpulan data yang di gunakan untuk


mendapatkan data penelitian melalui pengamatan. Observasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah observasi non partisipasi.
Observasi non partisipasi adalah observasi yang dalam
pelaksanaannya tidak melibatkan peneliti sebagai partisipasi atau
kelompok yang diteliti. Observasi dilakukan dengan cara mengamati
secara langsung di Puskesmas Lingkar Timur Kota Bengkulu.
Peneliti mengamati langsung di lapangan untuk mengetahui kondisi
dan fenomena yang terjadi di lokasi penelitian. Observasi yang
dilakukan dalam penelitian ini mencakup aktivitas komunikasi yang
dilakukan bidan terhadap pasien. Peneliti mengamati tahap-tahap
bidan ketika melayani pasien untuk konsultasi mengenai program
Keluarga Berencana (KB).
3. Dokumentasi adalah catatan-catatan peristiwa yang lampau dari
seseorang (Sugiyono, 2013). Penelitian ini mengumpulkan
dokumen-dokumen atau foto-foto serta lampiran yang berguna
sebagai informasi. Alat bantu yang digunakan pada saat
dokumentasi adalah handphone. Kegiatan dokumentasi dalam
penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data-data tentang bidan
dan pasien.
1.4.2 Studi Pustaka
Studi Pustaka diperoleh melalui studi literatur terhadap dokumen yang
relevan dengan topik penelitian seperti buku, jurnal, artikel, makalah dan
tulisan untuk melengkapi data yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
Kemudian dokumentasi, dokumentasi merupakan catatan persitiwa yang
sudah berlalu. Metode ini dalam penelitian adalah semua bentuk dan macam
alat catatan data sekunder yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian seperti foto, buku, literatur, arsip, dan dokumen lainnya.
41

1.5 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data merupakan proses analisis data yang dilakukan
peneliti dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai
sumber literatur. Analisis data merupakan proses pengolahan, penyajian,
interpretasi, dan analisis data yang diperoleh dari lapangan dengan tujuan agar
data yang disajikan mempuyai makna, sehingga pembaca dapat mengetahui
hasil penelitian (Martono, 2015:11). Berikut ini adalah teknik analisis data
yang digunakan oleh peneliti:
1.5.1 Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses pemilihan data, menggolongkan,
mengarahkan, membuang data yang tidak dibutuhkan dan
mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya
dapat terverifikasi. Teknik ini digunakan oleh peneliti ketikan mendapatkan
informasi hasil wawancara dari informan, dokumentasi dari observasi
penelitian. Data yang diperoleh dari lapangan sangat banyak, oleh karena
itu peneliti perlu mencatat dengan rinci data yang ditemukan dilapangan.
Kemudian merangkum dan memilih hal-hal penting serta dicari tema dan
pola yang sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui tentang
komunikasi terapeutik dalam konseling bidan pada pelayanan Keluarga
Berencana (studi kasus di Puskesmas Lingkar Timur Kota Bengkulu).
1.5.2 Penyajian Data
Seluruh data yang didapat, baik berupa hasil wawancara,
dokumentasi dan sebagainya akan dianalisis sesuai dengan teori interaksi
simbolik yang sudah dipaparkan sebelumnya. Penyajian data memudahkan
untuk memahami apa yang terjadi. Proses ini akan menyajikan data yang
telah direduksi dalam uraian berupa jawaban dari informan penelitian dalam
teks deskripsi yang berkaitan dengan bagaimana komunikasi terapeutik
dalam konseling bidan pada pelayanan keluarga berencana (studi kasus di
Puskesmas Lingkar Timur Kota Bengkulu).
42

1.5.3 Penarikan Kesimpulan


Kegiatan penarikan secara utuh dari objek yang diteliti pada proses
penarikan kesimpulan berdasarkan penggabungan informasi yang disusun
dalam suatu bentuk yang tepat dalam penyajian data. maka dari itu ada
tahapan analisis dalam penarikan kesimpulan. Tahapan analisis pada
penelitian ini yaitu:
1. Mencari literatur penelitian terdahulu mengenai komunikasi terapeutik,
bidan, pasien, dan konseling pelayanan Keluarga Berencana (KB).
2. Membuat kerangka berpikir dan konsep mengenai komunikasi
terapeutik, bidan, pasien, dan konseling pada pelayanan Keluarga
Berencana (KB).
3. Menganalisis data yang telah terkumpul dengan cara membandingkan
antara literatur teori dengan data yang didapatkan berdasarkan keadaan
lapangan saat penelitian.
4. Membuat kesimpulan dan pemaparan hasil analisis data.
1.6 Teknik Keabsahan Data
Uji keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara triangulasi.
Triangulasi dalam pengujian kredibilitas diartikan sebagai pengecekan data
dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Tujuan
triangulasi adalah untuk meningkatkan kekuatan teoritis, metodologis, maupun
interpretatif dari penelitian kualitatif. Triangulasi diartikan juga sebagai
kegiatan pengecekan data melalui beragam sumber, teknik, dan waktu (Zamili,
Moh, 2015). Maka terdapat beberapa bentuk triangulasi yaitu:
1. Triangulasi sumber, dilakukan dengan cara mengecek data yang didapatkan
melalui beberapa sumber. Data dari beberapa sumber kemudian
dideskripsikan, dikategorisasikan, mana yang sama dan mana yang
berbeda, serta mana yang lebih spesifik dari berbagai sumber tersebut. Data
yang telah dianalisis oleh peneliti sehingga menghasilkan kesimpulan
kemudian dilakukan member check dengan sumber tersebut.
43

2. Triangulasi teknik, dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber


yang sama namun dengan teknik yang berbeda. Teknik yang berbeda
seperti data yang diperoleh dari wawancara, kemudian dicek dengan
observasi atau dokumentasi.
3. Triangulasi waktu, waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Maka
dari itu, dalam pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan cara
melakukan pengecekan wawancara, observasi, atau teknik lain pada waktu
atau situasi yang berbeda (Sugiyono, 2013:274).

Pada penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi sumber dan


teknik. Teknik triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas dari data yang
dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui
berbagai sumber. Data berbagai sumber tersebut nantinya dideskripsikan,
dikategorikan, mana pandangan yang sama, mana pandangan yang
berbeda, dan mana yang spesifik dari beberapa sumber tersebut. Kemudian
nantinya data dianalisis oleh peneliti sehingga akan menghasilkan suatu
simpulan. Sedangkan triangulasi teknik dilakukan dengan menggunakan
beragam teknik untuk mengecek data kepada sumber yang sama namun
dengan teknik yang berbeda. Teknik yang berbeda seperti data yang
diperoleh dari wawancara, kemudian dicek dengan observasi atau
dokumentasi.
44

DAFTAR PUSTAKA

Sumber dari Buku :


Bunyamin, Mahmudin dan Agus Hermanto. 2016. Fiqih Kesehatan, Permasalahan
Aktual dan Kontemporer. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Cangara, Hafied. 2016. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.
Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung
: Refika Aditama.
Damaiyanti, Mukhripah. 2016. Therapeutic Communication in Nursing Practice.
Bandung: Refika Aditama.
Handayani, S. 2010. Buku Ajar Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta:
Pustaka Rihama.
Hendrarno, Edy dkk. 2003. Bimbingan dan Konseling. Semarang: Perc. Swadaya
Manunggal.
Liliweri. 2007. Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mahjuddin. 2012. Masail Al-Fiqh Kasus-Kasus Aktual Dalam Hukum Islam


Cetakan Pertama. Jakarta: Kalam Mulia.
Manzilati. 2017. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma, Metode dan
Aplikasi. Malang: Universitas Brawijaya Press.
Martono, Nanang. 2015. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
Moleong, Lexy J. 2018. Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Cet.38.Juli
2018. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mubarak, W.I. 2012. Promosi Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
Mulawarman, Ph.D. 2017. Buku Ajar Pengantar Keterampilan Dasar Konseling
bagi Konselor Pendidikan. Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Prenada Media.

Musliha & Siti Fatmawati, 2010. Komunikasi Keperawatan Plus Materi


Komunikasi Terapeutik. Nuha Medika, Yogyakarta

Nazriah. 2009. Konsep Dasar Kebidanan. Banda Aceh: Yayasan Pena.


Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka
Cipta.
Novita. 2011. Promosi Kesehatan dalam Pelayanan Kebidanan. Jakarta: Salemba
Medika.
45

Potter, A., & Perry. A.G. 2007. Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC.
PT. Citra Aditya Bakti.
Purwanto. 2007. Metodologi Penelitian Untuk Psikologi Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Richard West dan Lynn H.Turner. 2017. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis
Dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika.
Saifuddin, A.B; Trijatmo R; Gulardi HW, ed. 2008. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo Edisi 4 Cetakan Kedua. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Sari, Rury Narulita. 2012. Konsep Kebidanan.Yogyakarta : Graha Ilmu.
Simatupang. 2008. Manajemen Pelayanan Kebidanan. Jakarta: EGC.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta, CV.
Suryani. 2016. Komunikasi Terapeutik: Teori dan Praktik. Jakarta: EGC.

Syamsuddin A.R dan Vismaia S. Damaianti. 2009. Metode Penelitian Pendidikan


Bahasa. Bandung: Kerjasama SPS UPI dengan PT Remaja Rosdakarya.

Sumber dari Jurnal , Artikel, Thesis dan Skripsi :


Dewi, Mayza Lenny. 2016. Komunikasi Interpersonal Dalam Konseling Bidan
Pada Pelaksanaan Pelayanan KB (Studi Kasus di Puskesmas Gambok
Kabupaten Sijunjung). Masters thesis, Universitas Andalas, 1-14.
http://scholar.unand.ac.id/17299/2/2.%20Bab%201.pdf
Fitriarti, Etik Anjar. 2017. Komunikasi Terapeutik Dalam Konseling (Studi
Deskriptif Kualitatif Tahapan Komunikasi Terapeutik Dalam Pemulihan
Trauma Korban Kekerasan Terhadap Istri Di Rifka Annisa Women’s Crisis
Center Yogyakarta). file:///C:/Users/ASUS/Downloads/1223-2409-1-
SM.pdf
Imanda, Amajida Pangesti. 2021. Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Pada
Kasus Kehamilan (Studi Kasus Pada Bidan Desa Di Kecamatan Bandung
Kabupaten Tulungagung). Undergraduate (S1) thesis, Universitas
Muhammadiyah Malang, 1-26.
https://eprints.umm.ac.id/71853/2/BAB%20I.pdf
Indriyani, Diyan. 2011. Konseling Infertilitas. Staf Pengajar Prodi Keperawatan,
Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Jember.
46

http://digilib.unmuhjember.ac.id/files/disk1/52/umj-1x-diyanindri-2587-1-
jurnal11-).pdf
Putri, M. (2016). Hubungan Peran Tenaga Kesehatan Terhadap Kepatuhan Ibu
Hamil Dalam Mengkonsumsi Tablet Fe Naskah Publikasi, 1–23.
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/2422/NASKAH%
20PUBLIKASI.pdf
Rosjidan. 2005. Konseling Bercorak Budaya: Penerapannya Dalam Komunikasi
Konseling. Makalah. Konvensi XIV dan Konggres Nasional X ABKIN.
Semarang.
http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=2577010&va
l=24157&title=Konseling%20Bercorak%20Budaya%20Penerapannya%2
0dalam%20Komunikasi%20Konseling
Wardhana, Adhitya , Bayu Kharisma, Dan Sarah Annisa Noven. 2020. Dinamika
Penduduk Dan Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia. Artikel Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Jawa Barat, 22-40.
https://www.researchgate.net/publication/342953322_Dinamika Penduduk
Dan Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia.
Yulifah, Rita, dan Tri Johan Agus Yuswanto. 2009. Komunikasi Dan Konseling
Dalam Kebidanan. https://www.semanticscholar.org/paper/Komunikasi-
dan-konseling-dalam-kebidanan-Yulifah
Yuswanto/a80abf55e4372db8a2863d55c77d3f69eec6d8b7
Zamili, Moh. (2015). Menghindar Dari Bias: Praktik Triangulasi dan Kesahihan
Riset Kualitatif. Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan Lisan
Al-Hal, 283-304. doi: https://doi.org/10.35316/lisanalhal.v9i2.97

Sumber dari Website :


Christy, firdhy estherina. 2019. Populasi Indonesia meningkat 31%.
https://data.tempo.co/data/481/populasi-indonesia-meningkat-31
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman Pemberian Tablet
BesiFolat dan Sirup Besi Bagi Petugas 2009. Jakarta: Depkes RI.
https://farmalkes.kemkes.go.id/artikel/unduh/buku/
Rencana Strategis Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana Nasional
Cetakan Pertama. Mei 2020.
https://www.academia.edu/43513691/RENCANA_STRATEGIS_BKKBN
_2020_2024
47

LAMPIRAN PEDOMAN WAWANCARA

"Komunikasi Terapeutik Dalam Konseling Bidan Pada Pelaksanaan


Pelayanan Keluarga Berencana (KB) (Studi Kasus Pada Puskesmas Lingkar
Timur Kota Bengkulu)"

Biodata Informan

- Informan Bidan
1. Nama :
Jenis Kelamin :
Umur :
Pekerjaan :

- Daftar Pertanyaan Wawancara Penelitian:


 Informasi Bidan :
1. Boleh diceritakan sudah berapa lama anda menjalankan profesi ini?
2. Dapatkah anda ceritakan bagaimana pengalaman anda selama
menjadi Bidan di Puskesmas Lingkar Timur Kota Bengkulu ?
3. Menurut anda, seperti apa dan bagaimana tugas utama Bidan dalam
melakukan proses konseling di Puskesmas Lingkar Timur Kota
Bengkulu?

 Proses Komunikasi Terapeutik Fase Pra-Interaksi :


1. Apa yang biasanya anda lakukan sebelum bertatap muka dan
memulai komunikasi dengan pasien?
2. Bagaimana cara anda memperkenalkan diri kepada pasien?
3. Apa yang anda lakukan untuk memperoleh informasi tentang
keluhan pasien?
4. Seperti apa penggunaan bahasa anda ketika berinteraksi dengan
pasien?
48

5. Bagamana sikap atau gerak tubuh yang anda tunjukkan saat


berinteraksi dengan pasien?
6. Seperti apa ciri khas suara atau intonasi yang anda keluarkan ketika
berkomunikasi dengan pasien?

 Proses Komunikasi Terapeutik Fase Orientasi :


1. Bagaimana cara anda untuk mengidentifikasi permasalahan pasien?
2. Bagaimana cara anda membantu pasien mengetahui kebutuhannya
dalam menggunakan program KB?
3. Bagaimana cara anda menciptakan suasana nyaman sehingga
mendorong pasien untuk terbuka dan menjelaskan apa yang
dirasakan?
4. Bagaimana cara anda menunjukkan perhatian terhadap kondisi
kesehatan pasien pada saat konseling?
5. Bagaimana sebaiknya komunikasi teraupetik yang dijalankan bidan
saat memberikan konseling pada pasien yang mengikuti program KB?
6. Bagaimana cara anda menjelaskan kepada pasien tentang kontrak
yang harus disepakati kedua pihak selama proses terapeutik? Apakah
kontrak dilakukan dengan proses resmi atau hanya kontrak verbal?
Mengapa demikian?

 Proses Komunikasi Terapeutik Fase Kerja :


1. Beberapa pasien tentu memiliki sifat ketakutan dan kecemasan yang
tinggi dalam menggunakan KB. Bagaimana cara anda mengatasi hal
tersebut?
2. Apa sajakah ketentuan yang harus dipenuhi oleh pasien terkait
penggunaan program KB?
3. apakah anda sering menggunakan symbol atau tanda-tanda kepada
pasien anda saat berinteraksi?
49

4. Hambatan apa saja yang anda hadapi dalam memberikan konseling


dan pelayanan KB ?
5. Bagaimana cara anda tetap membuat komunikasi terjalin dua arah dan
hambatan teratasi?
6. Apakah waktu visit yang sangat dibatasi menjadi hambatan dalam
memberikan komunikasi yang baik dan jelas?
7. Fase kerja merupakan fase terpanjang dalam hubungan terapeutik,
bagaimana cara agar anda selalu aktif menjadi pendengar setiap kali
pasien mencurahkan pemikirannya?
8. Bagaimana cara anda melakukan evaluasi ulang selama proses
pemasangan program KB berlangsung? apakah hal tersebut dilakukan
secara terus menerus?

 Proses Komunikasi Terapeutik Fase Terminasi :


1. Bagaimana cara anda agar pasien selalu mengingat tujuan yang harus
dicapai dalam proses konseling pada program KB ini?
2. Bagaimana cara anda membina realitas tentang perpisahan terhadap
pasien?
3. Bagaimana anda bisa mengetahui bahwa komunikasi yang terjalin
sudah cukup baik?
50

- Informan Pasien
Nama :
Jenis Kelamin :
Umur :
Pekerjaan :

- Daftar Pertanyaan Wawancara Penelitian:


1. Apakah anda menerima konseling bidan sesuai dengan yang anda
harapkan?
2. Menurut anda bagaimana komunikasi yang terjalin antara anda dan
bidan tersebut?
3. Apakah anda bisa memahami konseling dengan baik ?
4. Apasaja hal yang harus lebih diperhatikan oleh bidan dalam
berkomunikasi dan berinteraksi dengan pasiennya?
5. Apakah anda menyukai cara bidan memberikan konselin pelayanan
mengenai KB?
6. Hambatan apa yang anda rasakan saat berinteraksi dengan bidan?
7. Bagaimana proses komunikasi antar anda dengan bidan berjalan?
8. Menurut anda apakah komunikasi yang terjalin sudah efektif?
9. Apa yang menyebabkan anda mengikuti konseling bidan ini?
51

PEDOMAN OBSERVASI

Pada proses pengumpulan data, peneliti juga akan melakukan teknik


observasi. Dimana ada beberapa hal yang harus dieprhatikan antara lain ialah
sebagai berikut:

1. Aktivitas saat melakukan wawancara/berkomunikasi dengan informan


2. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa
yang dikatakannya secara pribadi
4. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu
5. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang
6. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.

Anda mungkin juga menyukai