PENDAHULUAN
1
2
(empat) yakni terlalu muda, terlalu banyak, terlalu dekat dan terlalu tua.
Kehamilan yang tidak diinginkan di usia muda akan sangat berisiko pada
kematian atau dapat berdampak buruk pada bayi yang dikandungnya.
2. Penggunaan kontrasepsi modern (modern Contraceptive Prevalence Ratem/
mCPR) menurun dari 57,9 persen (SDKI 2012) menjadi 57,2 persen (SDKI
2017). Penurunan tertinggi bahkan terjadi pada segmen usia 15 tahun hingga
29 tahun yang merosot hingga 4%. Diperkirakan 2 (dua) penyebab utama
menurunnya jumlah pengguna kontrasepsi modern, khususnya di kalangan
kelompok usia produktif/pasangan usia muda adalah masih rendahnya
pengetahuan pasangan muda terhadap kesehatan reproduksi dan kurangnya
akses terhadap informasi yang akurat dan tepercaya mengenai alat
kontrasepsi (khususnya alat kontrasepsi modern). Diperlukan strategi yang
tepat untuk meningkatkan mCPR, diantaranya melalui peningkatan akses
layanan kontrasepsi, termasuk jaminan ketersediaan alat kontrasepsi dan
perluasan akses atau jangkauan pelayanan KB (melalui penggerakan
Penyuluh Keluarga Berencana/PKB dan pelayanan KB bergerak), serta
peningkatan pemahaman kesehatan reproduksi dan pengetahuan tentang
kontrasepsi modern.
3. Rendahnya pemahaman remaja tentang kesehatan reproduksi dan
penyiapan kehidupan berkeluarga; Kesehatan Reproduksi Remaja
merupakan topik yang perlu diketahui oleh masyarakat khususnya para
remaja agar mereka memiliki informasi yang benar mengenai proses
reproduksi serta berbagai faktor yang ada disekitarnya. Dengan informasi
yang benar, diharapkan remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang
bertanggung jawab mengenai proses reproduksi.
4. Kebutuhan ber-KB Pasangan Usia Subur yang belum terlayani (unmet need)
di Indonesia dikategorikan masih tinggi. Selama kurun waktu empat tahun
terakhir, unmet need terus mengalami penurunan walaupun terjadi luktuasi
di antara tahun 2017 dan 2018. Pada tahun 2015, posisi unmet need sebesar
18,3 persen (Supas 2015), turun menjadi 15,8 persen pada tahun 2016, naik
4
menjadi 17,50 persen pada tahun 2017 dan kembali turun menjadi 12,4
persen pada tahun 2018 (Survei RPJMN/SKAP 2016-2018). Dengan
memperhatikan karakteristik sosial budaya, diketahui bahwa unmet need
lebih tinggi di daerah perkotaan (11 persen) dibandingkan di daerah
perdesaan (10 persen). Dua puluh tiga persen wanita tidak mau ber-KB
Karena alasan kekhawatiran terhadap efek samping, sedangkan pada
kalangan pria, ada 32 persen pria yang dirinya ataupun isterinya tidak
menggunakan alat kontrasepsi dengan alasan tidak ingin ber-KB.
(Sumber: Rencana Strategis BKKBN 2020-2024).
Selain beberapa alasan tersebut yang menjadi penyebab pencapaian
Pelayanan KB belum sesuai harapan yaitu salah satunya adalah
berkurangnya jumlah petugas lapangan Keluarga Berencana (KB) sehingga
menyebabkan pembinaan kesertaan ber-KB menjadi terbatas, jangkauan
pelayanan keluarga berencana tidak merata, dan belum optimalnya kualitas
pelayanan keluarga berencana. Kegiatan advokasi untuk memberikan
pemahaman tentang pentingnya keluarga berencana kepada berbagai
pemangku kepentingan juga belum menghasilkan komitmen yang kuat
untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan Keluarga Berencana (KB).
Ditambah lagi dengan kegiatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
yang dilakukan kepada masyarakat belum mampu mengubah nilai pandang
tentang jumlah anak ideal yang diinginkan maupun perilaku masyarakat
dalam mendapatkan pelayanan kontrasepsi sesuai kebutuhan (Dewi, 2016).
Dengan berkomunikasi secara teurapeutik, bidan dapat mencapai titik
tertentu berhubungan secara interpersonal dengan pasien. Maka dalam
sarana dan prasarana kesehatan dibutuhkan seorang bidan yang
berkompetensi dalam menjalankan tugasnya. Salah satunya yaitu dengan
menerapkan asuhan kebidanan dan komunikasi teurapeutik dengan baik
(Imanda, 2021). Pentingnya komunikasi dalam kehidupan menjadikan salah
satu kunci keberhasilan di bidang kesehatan yaitu dalam merawat,
memberikan konsultasi, memotivasi dan memberikan informasi kepada
5
Selain itu peneliti juga melakukan wawancara kepada ibu Ade Irma (23
tahun) selaku pasien di Puskesmas Lingkar Timur Kota Bengkulu dan
mengatakan :
“saya tidak menggunakan alat kontrasepsi KB karena terdapat
ketidakcocokan yang akhirnya saya sekaarang menggunakan metode
KB alami yaitu dengan cara metode kalender dan seks terputus”. (Pra
Penelitian, 2023).
TINJAUAN PUSTAKA
9
10
Selain itu menurut Stuart dan Sundeen juga Lidenberg, Hunter dan
Kruszweski (Rita Yulifah dan Yuswanto, 2009:19) komunikasi terapeutik juga
diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi hal-hal berikut ini :
1. Fase Pra-Interaksi
Fase pra-interaksi ialah fase yang diawali saat sebelum berhubungan
dengan pasien. Pada fase ini bidan berupaya mencari informasi data dari
pasien, mengidentifikasi adanya kesalahan serta kelebihan yang ada pada
pasien termasuk keluhan yang diutarakan pasien. Sehabis memperoleh data
tersebut bidan mulai membuat strategi buat berjumpa dengan pasien. Pada
fase ini ada dua faktor yang butuh buat dipelajari serta dipersiapkan ialah
faktor yang ada pada diri bidan sendiri serta faktor dari pasien. Hingga ada
pula hal-hal yang bisa dipelajari dari diri bidan sendiri ialah :
a) Informasi yang dipunya dan terkait dengan dunia kesehatan,
penyakit, dan pasien.
b) Kecemasan dan kekalutan diri
c) Analisis kekuatan diri
d) Waktu pertemuan baik saat pertemuan maupun lama pertemuan
Ada pula sikap pasien yang tertutup dan malu-malu dalam
mengutarakan penyakitnya dan serta ada pula pasien yang terbuka dengan
penyakitnya. Kenaikan rasa yakin terhadap diri sendiri sert rasa optimis
untuk sembuh akan menunjang kesembuhan pasien juga. Ada pula metode
komunikasi yang dapat digunakan untuk memperkenalkan pasien terhadap
keadaan realita yang sebelumnya sudah pernah dicoba, tujuannya untuk
memperkenalkan ataupun menampilkan kepada pasien aksi yang sudah
dicoba dengan harapan sikap pasien yang lebih destruktif.
2. Fase Orientasi
Fase ini adalah fase di mana kontak pertama dengan pasien dilakukan.
Tujuannya ialah guna memverifikasi akuratnya data dari pasien dan
informasi yang didapatkan meliputi keluhan, kekurangan, atau sakit yang
diderita pasien, membuat kontrak pertemuan dan kerja dengan pasien, serta
memberikan evaluasi atas kerja atau proses konsultasi.
18
3. Fase Kerja
Fase kerja ialah bagian utama dalam ikatan antara tenaga kesehatan
serta pasien. Ikatan tersebut terpaut dengan penerapan rencana aksi
kebidanan yang dilakukan secara cocok dengan tujuan yang dikehendaki
untuk dicapai. Pada bagian ini diharapkan dari pihak bidan ataupun pasien
akan berupaya untuk berkolaborasi. Dalam bagian ini bidan akan
membutuhkan active listening, dengan lewat active listening bidan
menolong pasien buat membongkar permasalahan yang dialami serta
membagikan jalan keluar pemecahan masalah untuk menanggulaninya,
serta mengevaluasi pemecahan masalah tersebut jika dirasa pasien masih
dalam keadaan belum baik atau mengalami permasalahan yang sama. Nama
Individu (perawat dan pasien) Peran perawat dengan pasien Tanggung
jawab perawat dan pasien Tujuan berhubungan Tempat bertemu Waktu
bertemu Situasi saat hiatus Rahasia
4. Fase Terminasi
Pada fase inilah semua proses komunikasi terapeutik akan berakhir.
Pada fase ini pula hal utama pada fase terapeutik terbentuk, sebab ikatan
saling mempercayai secara maksimal telah terbuka serta terletak dalam
tingkatan yang maksimal. Tahap terminasi ini dipecah menjadi dua akan
menjadi terminasi sementara dan akhir. Fase sementara merupakan tempat
di mana bidan nantinya akan bertemu kembali dengan pasiennya di suatu
waktu lain, sedangkan fase akhir adalah merupakan benarbenar situasi di
mana semuanya proses pemeriksaan ataupun kontrol setiap bulan berakhir
karena pasien sudah benar-benar dinyatakan sembuh atau tidak ada masalah
apapun yang menjadi alasan untuknya kembali. Biasanya setelah melalui
fase terminasi ini, bidan dan pasien melakukan penjanjian yang dilakukan
agar pasien dan bidan bisa saling mempersiapkan dirinya masing-masing
untuk kelanjutan konsultasi (Suryani, 2016).
19
yang anda inginkan untuk keluat dari kampus. Sebagai contoh, bagaimana
anda terhubung dengan kuliah dapat dipengaruhi oleh sikap positif terhadap
uang, karier, dan keberhasilan pribadi.
a. Pikiran (Mind)
pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Istilah ini pertama kali
digunakan oleh Frank Parsons di tahun 1908 saat ia melakukan konseling
karier. Selanjutnya juga diadopsi oleh Carl Rogers yang kemudian
mengembangkan pendekatan terapi yang berpusat pada klien (Indriyani,
2011).
2.3.2 Bidan
Bidan adalah seorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan bidan yang telah diakui pemerintah dan lulus ujian sesuai
dengan persyaratan yang telah berlaku, dicatat (registrasi), diberi izin secara
sah untuk menjalankan praktek (Sari dan Rury, 2012).
Bidan mempunyai tugas penting dalam konsultasi dan pendidikan
kesehatan baik bagi wanita sebagai pusat keluarga maupun masyarakat
umumnya, tugas ini meliputi antenatal, intranatal,postnatal, asuhan bayi
baru lahir, persiapan menjadi orang tua, gangguan kehamilan dan
reproduksi serta keluarga berencana. Bidan juga dapat melakukan praktek
kebidanan pada Puskesmas, Rumah sakit, klinik bersalin dan unit-unit
kesehatan lainnya di masyarakat (Nazriah, 2009).
2.3.3 Peran Bidan
Peran bidan sebagai petugas kesehatan yaitu sebagai komunikator,
motivator, fasilitator, dan konselor bagi masyarakat (Potter dan Perry,
2007). Macam-macam peran tersebut yaitu:
a. Komunikator
Komunikator adalah orang yang memberikan informasi kepada orang
yang menerimanya. Komunikator merupakan orang ataupun kelompok
yang menyampikan pesan atau stimulus kepada orang atau pihak lain
dan diharapkan pihak lain yang menerima pesan (komunikan) tesebut
memberikan respon terhadap pesan yang diberikan (Putri ,2016). Proses
dari interaksi komunikator ke komunikan disebut juga dengan
komunikasi. Selama proses komunikasi, tenaga kesehatan secara fisik
dan psikologis harus hadir secara utuh, karena tidak cukup hanya dengan
mengetahui teknik komunikasi dan isi komunikasi saja tetapi juga
penting untuk mengetahui sikap, perhatian, dan penampilan dalam
berkomunikasi.
27
b. Sebagai Motivator
Motivator adalah orang yang memberikan motivasi kepada orang lain.
Sementara motivasi diartikan sebagai dorongan untuk bertindak agar
mencapai suatu tujuan tertentu dan hasil dari dorongan tersebut
diwujudkan dalam bentuk perilaku yang dilakukan (Notoatmodjo,
2007). Menurut Saifuddin (2008) motivasi adalah kemampuan
seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan motif adalah kebutuhan,
keinginan, dan dorongan untuk melakukan sesuatu. Peran tenaga
kesehatan sebagai motivasi tidak kalah penting dari peran lainnya.
Seorang tenaga kesehatan harus mampu memberikan motivasi, arahan,
dan bimbingan dalam meningkatkan kesadaran pihak yang dimotivasi
agar tumbuh kearah pencapaian tujuan yang diinginkan (Mubarak,
2012). Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya sebagai motivator
memiliki ciri-ciri yang perlu diketahui, yaitu melakukan pendampingan,
menyadarkan, dan mendorong kelompok untuk mengenali masalah
yang dihadapai, dan dapat mengembangkan potendinya untuk
memecahkan masalah tersebut (Novita, 2011).
c. Sebagai Fasilitator
Fasilitator adalah orang atau badan yang memberikan kemudahan dalam
menyediakan fasilitas bagi orang lain yang membutuhkan. Tenaga
Kesehatan dilengkapi dengan buku KIA dengan tujuan agar mampu
memberikan penyuluhan mengenai kesehatan ibu dan anak (Putri,
2016). Tenaga kesehatan juga harus membantu klien untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal agar sesuai dengan tujuan yang
diharapkan.
d. Sebagai Konselor
Konselor adalah orang yang memberikan bantuan kepada orang lain
dalam membuat keputusan atau memecahkan suatu masalah melalui
pemahaman tehadap fakta-fakta, harapan, kebutuhan dan perasaan-
28
Interaksi Simbolik
METODE PENELITIAN
36
37
DAFTAR PUSTAKA
Potter, A., & Perry. A.G. 2007. Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC.
PT. Citra Aditya Bakti.
Purwanto. 2007. Metodologi Penelitian Untuk Psikologi Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Richard West dan Lynn H.Turner. 2017. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis
Dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika.
Saifuddin, A.B; Trijatmo R; Gulardi HW, ed. 2008. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo Edisi 4 Cetakan Kedua. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Sari, Rury Narulita. 2012. Konsep Kebidanan.Yogyakarta : Graha Ilmu.
Simatupang. 2008. Manajemen Pelayanan Kebidanan. Jakarta: EGC.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta, CV.
Suryani. 2016. Komunikasi Terapeutik: Teori dan Praktik. Jakarta: EGC.
http://digilib.unmuhjember.ac.id/files/disk1/52/umj-1x-diyanindri-2587-1-
jurnal11-).pdf
Putri, M. (2016). Hubungan Peran Tenaga Kesehatan Terhadap Kepatuhan Ibu
Hamil Dalam Mengkonsumsi Tablet Fe Naskah Publikasi, 1–23.
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/2422/NASKAH%
20PUBLIKASI.pdf
Rosjidan. 2005. Konseling Bercorak Budaya: Penerapannya Dalam Komunikasi
Konseling. Makalah. Konvensi XIV dan Konggres Nasional X ABKIN.
Semarang.
http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=2577010&va
l=24157&title=Konseling%20Bercorak%20Budaya%20Penerapannya%2
0dalam%20Komunikasi%20Konseling
Wardhana, Adhitya , Bayu Kharisma, Dan Sarah Annisa Noven. 2020. Dinamika
Penduduk Dan Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia. Artikel Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Jawa Barat, 22-40.
https://www.researchgate.net/publication/342953322_Dinamika Penduduk
Dan Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia.
Yulifah, Rita, dan Tri Johan Agus Yuswanto. 2009. Komunikasi Dan Konseling
Dalam Kebidanan. https://www.semanticscholar.org/paper/Komunikasi-
dan-konseling-dalam-kebidanan-Yulifah
Yuswanto/a80abf55e4372db8a2863d55c77d3f69eec6d8b7
Zamili, Moh. (2015). Menghindar Dari Bias: Praktik Triangulasi dan Kesahihan
Riset Kualitatif. Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan Lisan
Al-Hal, 283-304. doi: https://doi.org/10.35316/lisanalhal.v9i2.97
Biodata Informan
- Informan Bidan
1. Nama :
Jenis Kelamin :
Umur :
Pekerjaan :
- Informan Pasien
Nama :
Jenis Kelamin :
Umur :
Pekerjaan :
PEDOMAN OBSERVASI