Anda di halaman 1dari 6

Yuliza Rizka Andini / 105070107111005 / Pend.

Dokter - A

Kegagalan Program KB dan Strateginya


Keluarga Berencana (KB) adalah suatu program yang dicanangkan
pemerintah dalam upaya peningkatan kepedulian dan peran serta
masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan
kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan
keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Tujuan utama program KB nasional
adalah untuk memenuhi permintaan masyarakat akan pelayanan KB dan
kesehatan reproduksi yang berkualitas, menurunkan tingkat atau angka
kematian

Ibu

dan

bayi

serta

penanggulangan

masalah

kesehatan

reproduksi dalam rangka membangun keluarga kecil yang berkualitas.


Selama tiga dasawarsa terakhir, tingkat kelahiran menunjukkan
kecenderungan

menurun.

Namun,

jumlah

penduduk

masih

terus

bertambah. Jika pada periode 1971-1980 laju pertumbuhan penduduk per


tahun 2,32%, pada 1980-1990 turun menjadi 1,98%, dan pada dekade
1990-2000 (1,47%). Data Badan Pusat Statistik (BPS) terakhir mencatat,
laju pertumbuhan penduduk turun lagi menjadi 1,3%. Namun, diisyaratkan
apabila program KB tidak berhasil, maka laju pertumbuhan penduduk ke
depan akan meningkat.

Badan

Kependudukan

dan

Keluarga

Berencana

Nasional

(BKKBN) tampaknya harus bekerja keras sekaligus perlu memiliki strategi


untuk menekan laju pertumbuhan penduduk nasional. Menurut Sugiri,
untuk mencapai sasaran fertilitas 2,2 pada 2009 diperlukan peningkatan
kesertaan ber-KB sekitar 67%. Selanjutnya kesertaan ber-KB perlu
ditingkatkan lagi menjadi sekitar 71% pada 2015 untuk mencapai tingkat
kelahiran 2,1%. Jika saat ini sampai tahun 2015 terjadi peningkatan
kesertaan ber-KB rata-rata 1% per tahun, maka pada 2015 penduduk
Indonesia akan berjumlah sekitar 237 juta jiwa. Tetapi sebaliknya, jika
kesertaan ber-KB menurun sebesar 0,5 persen per tahun, maka jumlah
penduduk Indonesia pada 2015 bisa mencapai 264 juta jiwa.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nafisah Mboi mengatakan
selama 10 tahun terakhir program keluarga berencana (KB) telah
mengalami kegagalan untuk menurunkan angka fertilitas. Hal ini bisa di
lihat pada sekitar 2012 angka fertilitas di Indonesia sebesar 2,6 dan angka
tersebut masih bertahan hingga saat ini. Artinya program KB dalam 10
tahun terakhir gagal. Ia mengatakan, seharusnya pada 2014 angka

fertilitas (indikasi kelahiran hidup dari seorang atau sekelompok wanita) di


Indonesia 2,1 sesuai dengan target Millenium Developmeng Goal's
(MDG's). Namun pada kenyataannya angka tersebut stagnan dari 2012
yang lalu.
Menurut Menkes RI, penyebab kegagalan ini adalah usia pernikahan
malah cenderung turun. Hal ini bisa kita lihat dari makin banyak remaja
dibawa 20 tahun yang sudah melakukan seks dan pernikahan akibat
pergaulan bebas. Saat ini banyak ibu muda yang usianya baru 15-20
tahun. Ia juga mengatakan angka pernikahan dini banyak terjadi di
wilayah rural, sementara pada daerah urban angka pernikahan dini tidak
begitu tinggi. Usia pernikahan dini yang terjadi di Indonesia juga
meningkatkan resiko kematian ibu saat melahirkan karena alat reproduksi
belum sempurna sepenuhnya. Selain itu, resiko pendarahan dan kematian
pada ibu saat melahirkan saat usia melahirkan terlalu tua (diatas 35
tahun), melahirkan terlalu sering, dan jarak kelahiran terlalu rapat.
Kepala BKKBN Perwakilan Kepri, Bambang Marsudi mengatakan saat
ini angka fertilitas di wilayah Kepri masih berada pada angka 2,6. Di Kepri
banyak penduduk usia muda yang datang untuk mencari pekerjaan dan
menikah. Sehingga angka fertilitas tinggi.
Sebelumnya,

Plt

Kepala

Badan

Kependudukan

dan

Keluarga

Nasional (BKKBN) Sudibyo Alimoeso mengatakan akan terus mendorong


adanya kenaikan batas usia pernikahan bagi perempuan dari 16 tahun
menjadi 18 tahun. Dengan dinaikkannya batas usia pernikahan, maka hak
perempuan dan anak bisa terpenuhi. Program dari BKKBN sendiri ingin
menaikkan derajat perempuan dengan memberikan kesempatan agar bisa
meningkatkan kualitas dengan peningkatan usia pernikahan. akibat lain
dari pernikahan dini adalah panjangnya masa reproduksi pada perempuan.
Hasil sementara Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2012 menunjukkan indikasi yang kurang menggembirakan dalam
progres pencapaian program KKB sebagaimana telah ditetapkan dalam
RPJMN 2010-2014. Angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) yang
ditargetkan sebesar 2,1 anak per wanita, namun baru tercapai 2.6. Untuk
CPR, yang disasar sebesar 65 persen pada tahun 2014, tetapi baru dapat
mencapai 57,9 persen. Sementara unmet need yang ditargetkan sebesar
5 persen pada tahun 2014 baru dapat diturunkan menjadi 8,5 persen.
Fertilitas remaja (ASFR 15-19 tahun), yang ditargetkan sebesar 30 per

1.000 wanita pada tahun 2014 baru tercapai 48 per 1.000 wanita.
Kegagalan program KKB ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Komunikasi, Persepsi dan Pengetahuan
Komunikasi dalam penyampaian informasi mengenai program keluarga
berencana masih kurang. Masyarakat banyak yang belum mengerti
betul tentang program KB, penyuluhan yang tidak merata bisa menjadi
salah satu penyebab. Persepsi masyarakat mengenai KB yang dinilai
cukup

negatif

berjerawat,

seperti

haid

KB

tidak

bisa

teratur,

menyebabkan
menyakitkan

kegemukan,
dll

harus

kulit

segera

dihapuskan. Sekarang ini sudah banyak aneka macam KB yang bisa


disesuaikan dengan kondisi dan keinginan konsumen. Masih sedikitnya
pengetahuan

masyarakat

mengenai

KB

membuat

mereka

tidak

memahami pentingnya KB serta kesadaran diri untuk memeriksakan


dan konsultasi diri ke dokter. Selain itu juga mitos mengenai banyak
anak banyak rejeki masih dipercaya oleh masyarakat.
2. Partisipasi
Antusias dan partisipasi masyakat dinilai masih kurang. masyarakat
cenderung

dipengaruhi

oleh

keadaan

masa

lampaunya

yang

memandang, KB itu tugas wanita bukan pria. Wanitalah yang


mengandung dan melahirkan jadi wanita harus ber-KB. Selain itu
muncul juga parasangka yang memandang KB Pria itu berbahaya dan
dapat menyebabkan impotensi sehingga baik dari pihak pria / suami
maupun wanita / istri tidak setuju pada program KB. Diharapkan untuk
kedepannya, pasangan suami-istri saling mendukung dan setuju
dengan program KB pilihan mereka.
3. Pergaulan bebas
Remaja Indonesia saat ini marak dengan pergaulan bebas hingga seks
bebas. Akibat dari seks bebas ini meningkatnya angka kehamilan usia
remaja dan pernikahan dini, sehingga fertility rate terus meningkat
dengan tidak diimbangi penggunaan alat kontrasepsi.
4. Kesalahan memilih jenis KB
Sebuah penelitian yang pernah dilakukan BKKBN sekitar 50 persen dari
seluruh pasangan yang sudah mempunyai 2 orang anak, mengaku
tidak mau punya anak lagi kemudian memasang KB. Tapi kebanyakan
dari mereka justru gagal, alias punya anak lagi. Ternyata kesalahan
memilih jenis KB yang dipasangkan pada pasien pun masih banyak
yang salah sasaran. Misalnya, imbuh dr Julianto, bisa dipasangkan

implan atau IUD ternyata hanya diberi pil atau suntik padahal pasien
tidak patuh/sering lupa untuk meminum pil KB nya. Sehingga program
KB pasien akan gagal.
Menurut saya, strategi yang dilakukan oleh Kemenkes dan BKKBN
dalam mengendalikan populasi pertumbuhan penduduk sudah tepat,
hanya saja mungkin dari pelaksaannya sulit dilakukan, karena untuk
memberikan penyuluhan tentang KB ini tidak mudah. Contohnya saja,
masih banyak masyarakat yang beranggapan KB adalah sebuah produk
orde baru jadi tidak perlu didukung. Ditambah lagi dengan adanya
anggapan

masyarakat

Indonesia,

banyak

anak

banyak

rezeki.

Seharusnya kita mengganti mindset masyarakat mengenai hal itu menjadi


2 anak cukup. Dari tagline 2 anak cukup sudah terlihat maksud dari
program KB ini. Masyarakat kurang memahami esesnsi tagline tersebut
sehingga sampai saat ini program KB masih belum berhasil.
Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang KB dan pernikahan
dini. Ditambah lagi, gagalnya program keluarga berencana ini lebih
banyak

di

tingkat

masyarakat

yang

berstatus

sosial

rendah

dan

masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, meskipun sebagian dari


mereka ada juga yang menjalankan program dari pemerintah ini.
Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai KB dapat dilihat dari
anggapan

masyarakat

mengenai

dampak

pemakaian

KB

seperti

menggemukan dan membuat kulit berjerawat. Hendaknya pasien sering


konsultasi ke dokter mengenai program KB apa yang cocok untuk kondisi
nya serta sesuai dengan keinginan pasien. Dokter pun harus menjelaskan
kelebihan maupun efek samping dari tiap program KB yang dipilih,
sehingga pasien akan nyaman menggunakan KB pilihannya. Saat ini,
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sedang
menggaungkan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) yang dinilai
jauh lebih efektif dalam menekan angka kelahiran melalui penggunaan
alat kontrasepsi implan. Implan sudah dikenal di Indonesia sejak 1980-an.
Implan saat ini mengalami perkembangan yang lebih praktis, yakni hanya
satu batang. Implan bekerja dengan melepaskan hormon progesteron
alami dalam tubuh dengan tingkat kegagalan 0,05% per 100 perempuan,
jauh lebih rendah dibandingkan kontrasepsi lain yang mencapai di atas
satu persen.di Indonesia bisa menjadi penyebab kegagalan program KB,
sehingga untuk menyukseskannya perlu waktu yang tidak singkat.

Faktor kedua, pernikahan dini. Pergaulan bebas yang berujung seks


bebas dan akhirnya pernikahan dini. Pernikahan dini ini biasanya karena
orang tua merasa malu jika anaknya hamil diluar pernikahan, sehingga
dilakukan lah pernikahan. Pernikahan di usia terlalu muda memiliki banyak
resiko, terutama resiko kehamilan usia muda. Telah dilaporkan angka
kematian ibu muda akibat melahirkan di usia terlalu dini mencapai 228
per 100.000 kelahiran pada 2007. Di desa atau daera yang belum modern,
anggapan bahwa usia produktif belum menikah adalah suatu aib,
sehingga pernikahan dini sering terjadi. Pasangan muda ini kebanyakan
tidak menunda untuk memiliki anak. Oleh karena itu tidak heran jika di
desa-desa banyak wanita muda yang sudah memiliki banyak anak.
Persepsi seperti inilah yang harus diubah agar populasi penduduk
Indonesia dapat terkontrol.
Perihal tingginya laju pertumbuhan penduduk pasca era reformasi,
khususnya pada era desentralisasi yang memberi wewenang otonomi
kepada

daerah

dari

sebelumnya

pada

era

sentralisasi

(terpusat),

mengundang banyak pihak menyikapinya. Ada pendapat bahwa alasan


merosotnya ekonomi menjadi penyebab orang enggan mengikuti program
KB. Ada juga yang beranggapan, lebih penting mencari penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang makin mahal ketimbang
berpikir untuk repot-repot datang ke puskesmas, bidan atau dokter hanya
untuk ber-KB.
Jika 10 tahun dari sekarang saya menjadi dokter praktik layanan
primer yang dipandang kompeten untuk menyusun dan menjalankan
program kesehatan, program yang saya usulkan untuk ikut serta
melakukan pengendalian populasi penduduk adalah tetap program KB.
Tetapi sebelum saya menyarankan pilihan program KB, saya akan
mengevaluasi jenis KB seperti apa yang disukai oleh masyarakat. Nah,
dari evaluasi ini saya dapat menyarankan kepada masyarakat jenis KB
yang seperti apa yang memang cocok untuk setiap individunya, dan
meminta untuk setiap masyarakat agar selalu rajin kontrol di Puskesmas
terdekat untuk mengetahui perkembangan memakai jenis KB sesuai
pilihan mereka, karena hal ini penting untuk kesehatan mereka sendiri.
Serta saya akan mengajak semua tenakes, terutama tenakes di

perifer atau daerah yang jarang terjangkau akses kesehatan untuk


menggalakan program KB.

Sumber:
1. Surya

karya

(http://www.suarakarya-online.com/news.html?

id=260603)
2. BKKBN Semarang
(http://jateng.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/DispForm.aspx?ID=407)
3. Kesehatan Ibu dan Anak (http://kesehatan-ibuanak.net/index.php?
option=com_content&view=article&id=192:tentang-millenniumdevelopment-goals-4-dan-5&catid=78:mdg-4a5)
4. Skripsi atau Tesis
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28404/4/Chapter
%20II.pdf)
5. Medan Bisnis Daily
(http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2013/03/31/20855/ren
dahnya_kesadaran_ber-kb/)

Anda mungkin juga menyukai