Anda di halaman 1dari 22

RANGKUMAN KELOMPOK 10

FILSAFAT ILMU
“FILSAFAT ILMU DAN METAFISIKA”

DOSEN PENGAMPU :

MUHAMMAD MUSAFIR, S.Pd., M.Pd

OLEH :

NAMA : SASNAWATI
NPM : 032001221
KELAS :K

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTON
BABUBAU
2023
FILSAFAT ILMU DAN METAFISIKA

1. Penegrtian Metafisika

Dalam kamus besar bahasa Indonesia [KBBI] metafisika adalah ilmu pengetahuan
yang berhubungan dengan hal-hal nonfisik atau tidak kelihatan. Metafisika adalah
cabang filsafat yang berkaitan dengan proses analitis atas hakikat fundamental mengenai
keberadaan dan realitas yang menyertainya. Kajian mengenai metafisika umumnya
berporos pada pertanyaan mendasar mengenai keberadaan dan sifat-sifat yang meliputi
realitas yang dikaji. Pemaknaan mengenai metafisika bervariasi dan setiap masa dan
filsuf tentu memiliki pandangan yang berbeda. Secara umum topik analisis metafisika
meliputi pembahasan mengenai eksistensi, keberadaan aktual dan karakteristik yang
menyertai, ruang dan waktu, relasi antarkeberadaan seperti pembahasan mengenai
kausalitas, posibilitas, dan pembahasan metafisis lainnya.
Mengingat jangkauan kajian yang dipusatkannya, metafisika menjadi sebuah
disiplin yang fundamental dalam kajian filsafat. Sepanjang sejarah kefilsafatan,
metafisika menjangkau problem-problem klasik dalam filsafat teoretis. Umumnya kajian
metafisika menjadi "batu pijakan" atas struktur gagasan kefilsafatan dan prinsip-prinsip
yang lebih kompleks untuk menjelaskan problem lainnya. Sehingga, dalam
pemahaman metafisika klasik, metafisika membahas pertanyaan-pertanyaan mendasar
yang jawaban-jawaban atasnya dapat digunakan menjadi dasar bagi pertanyaan yang
lebih kompleks Misalnya: adakah maksud utama dalam beradanya dunia ini? Lalu
apakah keberadaannya sebatas keberadaan yang "mengada" atau dependen terhadap
keberadaan lainnya?; Apakah tuhan/tuhan-tuhan ada? Lalu, jika ada, apa saja hal-hal
yang bisa manusia tahu/tidak tahu tentangnya?; Benarkah terdapat hal
semacam intellectus, terutama dalam pembahasan mengenai pembedaan antara problem
pemisahan entitas jiwa–badan?; Apakah jiwa sesuatu yang nyata, dan apakah
ia berkehendak bebas?; Apakah segalanya tetap atau berubah? Apakah terdapat hal atau
relasi yang selalu bersifat tetap yang bekerja dalam berbagai fenomena?; dan pertanyaan-
pertanyaan lainnya yang sejenis.
Objek bahasan metafisika bukan semata-mata hal-hal empiri atau hal-hal yang
dapat dijangkau oleh pengamatan individual, melainkan hal-hal atau aspek-aspek yang
menjadi dasar realitas itu sendiri. Klaim-klaim atas metode dan objek kajian metafisika
telah menjadi problem perenial kefilsafatan.
Pembahasan mengenai metafisika memiliki berbagai subbahasan. Misalnya
pembahasan sentral metafisika adalah ontologi, yaitu proses analitis dan penggalian
klasifikasi berdasarkan prinsip-prinsip kategori keberadaan dan relasi di antaranya.
Bahasan sentral lainnya adalah kosmologi metafisik, yaitu kajian mendalam atas prinsip
keberadaan dunia, realitas, asal mula, dan makna keberadaan atasnya.
Menurut para pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles memberikan asumsi
dasar bahwa dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami (intelligible) yang mana
setiap aliran metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai untuk
memahami dunia. Seolah-olah akal budi memiliki kualitas “ampuh” untuk menyibak
semua realitas mendasar dari segala yang ada.
Sedangkan menurut Hamlyn, metafisika adalah bagian kajian filsafat yang paling
abstrak dan dalam pandangan sementara orang merupakan bagian yang paling “tinggi”
karena berurusan dengan realitas yang paling utama, berurusan dengan “apa yang
sungguh-sungguh ada” yang membedakan sekaligus menentukan bahwa sesuatu itu
mungkin ataukah tidak. Sekalipun demikian, subjek yang pasti dari kajian metafisika
secara terus menerus dipertanyakan, demikian juga validitas klaimklaimnya dan
kegunaannya.
Menurut Aristoteles ilmu metafisika termasuk cabang filsafat terolitis yang
membahas masalah hakikit yang segala sesuatu, seginga dengan demikian ilmu
metafisika menjadi inti filsafat. Masalah-masalah metafisik merupakan sesuatu yang
fundamental dari kehidupan, oleh karena itu setiap orang yang sadar berhadapan dengan
ssesuatu yang metafisik tetap tersangkut dalamnya. Dalam perkembangan lebih lanjut
metafisika mendapat perhatian besar dari para pemikir besar, akan tetapi tidak sedikit
dari para pemikir tersebut yang menyerangnya. Menurut Empirisme radical, metafisika
tidak mungkin, sebab hanya kalimatkalimat empirislah yang sungguh ada. Dalam filsafat
bahasa tidak ada tempat bagi kalimat metafisika. Hal ini dapat di lihat dalam pembagian
kalimat-kalimat bermakna yang hanya terdiri dari kalimat elementer dan kalimat-kalimat
logika. Bagi Martin Heidegger dengan bersandar kepada Nietzsche menjelaskan bahwa
metafisika tidak mungkin lagi.

2. Pemikir Metafisika

3. Ajaran Metafisika
menurut Aristoteles
4. 1#
)
% 
   
#

)
#)
5. 2*#34
)#

## 
# 
#% 
#
#

6. )#

/
#)
#
#)#*#
5#

7. 
##
 )# 
###

 

#

2*#34

8. 6
 ##
 #  
 # 
   
 #
 # 
  7  )
9. ##)
Metafisika8 90%:
990%; 9990%<
9=0%> =0%?
=90%@ =990%A
=9990%B 9C0%9
10. C0%D C90%  E
 C990%F C9990%

 G  C9=00 
*##
 
%

11. #)##
#2#
4#


##
*

12. 
 ). 
*#3 
   
## 
  #
  
# 
H
13. #H
#)
###)

*#3

14.Ajaran Metafisika
menurut Aristoteles
15. 1#
)
% 
   
#

)
#)
16. 2*#34
)#

## 
# 
#% 
#
#

17. )#

/
#)
#
#)#*#
5#

18. 
##
 )# 
###

 

#

2*#34

19. 6
 ##
 #  
 # 
   
 #
 # 
  7  )
20. ##)
Metafisika8 90%:
990%; 9990%<
9=0%> =0%?
=90%@ =990%A
=9990%B 9C0%9
21. C0%D C90%  E
 C990%F C9990%

 G  C9=00 
*##
 
%

22. #)##
#2#
4#


##
*

23. 
 ). 
*#3 
   
## 
  #
  
# 
H
24. #H
#)
###)

*#3

25.Ajaran Metafisika
menurut Aristoteles
26. 1#
)
% 
   
#

)
#)
27. 2*#34
)#

## 
# 
#% 
#
#

28. )#

/
#)
#
#)#*#
5#

29. 
##
 )# 
###

 

#

2*#34

30. 6
 ##
 #  
 # 
   
 #
 # 
  7  )
31. ##)
Metafisika8 90%:
990%; 9990%<
9=0%> =0%?
=90%@ =990%A
=9990%B 9C0%9
32. C0%D C90%  E
 C990%F C9990%

 G  C9=00 
*##
 
%

33. #)##
#2#
4#


##
*

34. 
 ). 
*#3 
   
## 
  #
  
# 
H
35. #H
#)
###)

*#3

36. 1#
)
% 
   
#

)
#)
37. 2*#34
)#

## 
# 
#% 
#
#

38. )#

/
#)
#
#)#*#
5#

39. 
##
 )# 
###

a) Ajaran Metafisika menurut Aristoteles

Bermula dari judul buku, judul atau yang mendiskripsikan bidang studinya
sebagai “Metafisika” tidak berasal dari Aristoteles secara personal, tetapi dari salah
satu editornya yang bernama Andronikos dari Rhodes pada abad pertama sebelum
Masehi. Dia menyatukan karya Aristoteles yang belum terselesaikan. Andronikos
memilih kata “Metafisika” dalam karya-karya Aristoteles karena dia melihat suatu
pola dan kesatuan tematis dari 14 buku tersebut (Metafisika Α (I), α (II), Β (III), Γ
(IV), Δ (V), Ε (VI), Ζ (VII), Η (VIII), Θ (IX), I (X), Κ (XI), Λ (XII), Μ (XIII), Ν
(XIV)). Menurut pendapat Annick Jaulin, Andronikos memberikan keterangan
“meta” untuk menunjukkan suatu tingkatan pengetahuan. Maksudnya adalah bahwa
Metafisika itu suatu pengetahuan yang secara kodrati mendahului Fisika meskipun
Fisika lebih dikenal terlebih dahulu daripada Metafisika.
Menurut Politis, Aristoteles mengungkapkan bahwa Metafisika itu sebagai
“ilmu/pengetahuan” perihal penjelasan akhir (the ultimate explanations) dari segala
sesuatu. Metafisika digolongkan sebagai model pengetahuan yang bersifat
menerangkan (episteme, Yunani), yang dapat disebut sebagai “sains.” Perlu diketahui
bahwa “sains” yang dimaksud di sini bukanlah seperti pengertian saat
ini—ilmu/pengetahuan eksak atau empiris, melainkan apa yang disebut sebagai
episteme itu. Berikut adalah 3 nama pokok untuk Metafisika.

b) Kebijaksanaan (Sophia)

Dalam Buku Metafisika Α, Aristoteles menyebutkan bahwa “setiap orang


menyebutkan apa yang disebut sebagai ‘kebijaksanaan’ (sophia) bagi yang tertarik
dengan penyebab-penyebab pertama (aitia, Yunani) dan ‘poin permulaan’ (sebutan
untuk suatu prinsip). Kebijaksanaan itu disebut sebagai pengetahuan tertinggi yang
menyebabkan seseorang itu mengalami kenikmatan untuk mengetahui. Oleh karena
itu, Aristoteles menganggap “setiap orang berhasrat untuk mengetahui.” Metafisika
dapat disebut sebagai “kebijaksanaan” par excellence karena seseorang “yang
mempunyai hasrat untuk mengetahui dibawa sampai pada penyebab terakhir dan
kodrat suatu realitas, dan menginginkan pengetahuan pada dirinya sendiri.” Dengan
menjadi yang tertinggi, dalam unsur kebijaksanaan terkandung suatu ambisi untuk
mendapatkan “pengetahuan akan segala sesuatu dan segala dasar yang dapat
diketahui;” itulah mengapa Aristoteles menganggap Metafisika sebagai ilmu yang
paling sulit dan abstrak, tetapi paling pasti.
Selain sebagai pengetahuan tertinggi, Metafisika disebut sebagai
“kebijaksanaan” karena ilmu itu bersifat universal dan pertama. Dua sifat ini tidak
bertentangan sama sekali, namun erat menyatu. Latar belakangnya dapat dirunut
dalam konteks di Politeia yang berkembang konsep “pengetahuan dialektika,” yang
menganggap bahwa pengetahuan tertinggi itu semacam akhir (telos) segala
pengetahuan, puncak segala pengetahuan dari yang menyeluruh. Metafisika dapat
disebut bersifat sinoptik, yang berarti mampu melihat secara menyeluruh. Isi ilmu
kebijaksanaan sebenarnya mencari “causa finalis” yang adalah pencarian akan
Kebaikan. Ilmu tersebut menjadi kesimpulan dari pembahasan akan 4 sebab/causa
yang tertuang dalam buku Fisika.

c) Ilmu tentang Being Qua Being

Dalam buku Metafisika, istilah being qua being bukan merujuk pada “sesuatu
hal,” tetapi lebih pada “perspektif terhadap sesuatu.” Dan lebih dalam mengenai
being qua being, Politis mengungkapkan, “Rather, metaphysics, ..., investigates
being qua being; it investigates beings not in so far as they are this or that kind of
beings, ... but simply in so far as they are beingsthings that are.” Yang dimaksud di
sini adalah bahwa being itu tidak hanya merujuk pada satu hal saja, namun
menyeluruh dalam semua kategori.1 Being menurut Aristoteles mempunyai pluralitas
makna atau dapat dijelaskan “dengan berbagai macam cara.” Oleh karena itu,
kedudukan substansi dalam pembelajaran being qua being menjadi utama. Jikalau
1
menyebut kata “ada,” dapat dirujuk being qua being, substansi, materi, forma,
penyebab.
Misalnya, kalau menyebut mengenai manusia, tidak ada pembedaan antara
“satu manusia,” “beberapa manusia,” atau “semua manusia.” Dalam Metafisika, juga
disebutkan bahwa Fisika merupakan filsafat kedua sedangkan Metafisika itu filsafat
pertama (prote philosophia), dan pembedaan ini diandaikan sudah ada. Metafisika
menurut para pengarang kuno disebut sebagai “setelah Fisika” karena objek
kajiannya itu adalah being qua being yang mengarah pada prinsip dan penyebab.
Sedangkan, objek kajian Fisika itu substansi sensible.

d) Filsafat Pertama (Prote Philosophia) – Hal Teologis

Sudah diterangkan bahwa Metafisika itu sebagai filsafat pertama, yang masuk
dalam kategori pengetahuan theoreia pengetahuan yang tidak mewajibkan manusia
memproduksi sesuatu hal konkret (berelasi dengan pemikirannya sendiri karena
hasrat untuk mengetahui), namun lebih mengarah pada kegiatan kontemplatif yang
membawa manusia menimbang “kausalitas” dalam dirinya sendiri dan hal-hal yang
dia amati. Hal ini berbeda dengan ilmu praxis (berkaitan dengan tindakan manusia,
objeknya moral dan politik) dan ilmu poiesis (memproduksi suatu hal). Filsafat
pertama mempelajari mengenai penyebab dan prinsip dari substansi, being sejauh
being, bukan pada being pada tingkat tertentu. Sebagai contoh adalah pembahasan
mengenai hidung pesek. Dalam Fisika, yang dibahas adalah hidung pesek dari
kacamata materi dan forma (substansi komposit), sedangkan dalam filsafat pertama
yang dibahas adalah forma dari hidung pesek yaitu kecekungannya. Filsafat pertama
ini juga dikaitkan dengan hal-hal teologis karena objek kajiannya causa yang bersifat
“kekal” dan “ilahi.” Di sini, Aristoteles tidak bermaksud untuk membedakan
penyebab berdasarkan tingkatan kekekalannya, namun lebih menunjukkan bahwa
filsafat pertama ini pengetahuan “ilahiah” yang dihasratkan oleh manusia untuk
dimiliki.
3. Lingkup Metafisika

Metafisika selalu dikaitkan dengan hal gaib, misterius dan tidak dapat dijelaskan
dengan ilmu pengetahuan. Selama mengandung unsur misteri, sakral dan tak
didefinisikan, serta didefinisikan sebagai analisis apa yang ada di dalam diri atau hasrat
(sebab-akibat), dan posibilitas atau kemungkinan atas hasil perbuatan manusia, maka ia
disebut dengan Metafisika. Contoh objek dari metafisika adalah Tuhan dan hasil kerja
makhluk spiritual. Sedangkan di dalam keilmuan metafisika selalu dikaitkan dengan
teologi, Psikologi rasional dan ontology.
Tujuan utama kajian metafisika adalah pemahaman mengenai struktur dasar dan
prinsip-prinsip realitas. Dengan pemahaman dan pandangan filsafat yang beragam,
pemahaman metafisika dapat menjadi sesuatu yang khusus, yang umumnya mencakup
pembahasan yang kaya.
Sebagai permisalan, metafisika klasik umumnya terdiri dari pertanyaan dasar
seperti:
Mengapa keberadaan berada, dan bukan suatu ketiadaan? (Seperti) apa realitas atas
hal-hal yang "ada" apa keberadaan dari yang "berada"?
Sehingga, dari pembahasan tersebut, secara khusus metafisika klasik membahas topik
seperti:
 Apa konsep fundamental dan prinsip-prinsip ontologi untuk menganalisis Ada dan
ketiadaan; kehendak dan nirkehendak; realitas dan kemungkinan; kebebasan dan
kebutuhan; jiwa dan badan; dan lainnya?
 Konsep apa yang menyusun setiap ide dalam pemahaman yang digunakan untuk
mengkaji konsep metafisika yang diacu? Apa yang membuat hal tersebut
berhubungan dengan ide yang diacu, apa yang membuatnya sahih dan valid?
Misalnya:
Apa relasi antara "yang partikular" dan "yang universal" (seperti warna merah
(universal) dari sekelompok mawar-mawar merah (partikular))?
Apakah kemerdekaan eksistensi individual (partikular) benar-benar ada dalam
komunitas publik (universal)?
Apakah angka-angka (partikular) benar-benar ada dalam jaring-jaring realitas
(universal)?
 Apakah argumen yang diacu normatif atau deskriptif, ungkapan nilai atau
pernyataan atas keberadaan? Apa berelasi dengan pemahaman atau pemahaman
religius tertentu? Apa yang membuatnya benar? Apa terdapat hal-hal yang bersifat
moralitas (nilai, fakta)? Bagaimana argumen yang diacu berelasi dengan elemen-
elemen realitas?

Metafisika tradisional umumnya dibedakan menjadi metafisika umum dan


metafisika khusus, dengan metafisika umum membahas ontologi dan metafisika khusus
meliputi kajian metafisika dalam ranah spesifik seperti teologi, psikologi dan kosmologi.
 Metafisika umum mempertanyakan klasifikasi paling umum dan, karena hal
tersebut, meafisika umum berarti kajian mengenai hal-hal fundamental. Metafisika
umum berurusan dengan keberadaan, karakteristik, dan relasi di antara keduanya.
 Teologi rasional mempertanyakan causa prima, sebab pertama atas segala
sesuatu. Misalnya keberadaan tuhan sebagai hal maha tinggi dan dasar dari
realitas.
 Psikologi rasional atau antropologi metafisik berurusan dengan jiwa atau esensi
(manusia) sebagai substansi.
 Kosmologi rasional berurusan dengan sifat keberadaan dunia.
Pemahaman metafisis dapat dipahami dengan metodologi yang berbeda:
 Adalah sebuah proses deduktif atau spekulatif. Konsep metafisika dapat berawal
dari sebuah perandaian yang merepresentasi realitas secara holistik. Hal tersebut
misalnya Tuhan, yang-Ada, Monad, der Weltgeist, atau konsep keberadaan
spekulatif lainnya.
 Adalah sebuah proses induktif. Konsep metafisika didesain sebagai upaya untuk
memahami gambaran besar dari pemahaman-pemahaman yang lebih praktis.
 Adalah, dapat juga, sebagai sebuah proses reduktif. Konsep metafisika dipahami
hanya sebagai spekulasi hiperbolis atas pemahaman atau asumsi yang telah ada.

Anda mungkin juga menyukai