Thalhah bin Ubaidillah bernama lengkap Thalhah bin Ubaidillah bin Usman bin Kaab bin
Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah, al-Qurasyi at-Taimi al-Makki
dan al-Madani, Thalhah merupakan sahabat Rasulullah yang berasal dari suku Quraisy.
Karena perjuangan memeluk dan menegakkan syariat Islam, Thalhah bin Ubaidillah
diizinkan masuk surga oleh Allah SWT.
Thalhah bin Ubaidillah menghabiskan hartanya untuk kebaikan dan membela islam serta
menolong mereka yang membutuhkan. Ia sangat dermawan, sudah begitu banyak manfaat
yang ia berikan untuk orang lain sehingga tidak sedikit orang yang mengapresiasikan
kedermawannya tersebut. Thalhah merupakan sosok yang selalu turun dalam perang jihad,
melindungi Rasulullah, membela dakwahnya, serta menyebarkan risalhanya.
Sahabat Al-Hilal, tahukah kalian jika Thalhah bin Ubaidillah merupakan seorang pria yang
begitu sangat mencintai istri Rasulullah SAW yakni Aisyah. Tetapi disisi lain, Thalhah pun
merupakan sepupu dari Aisyah.
Diriwayatkan Ibn Abi Hatim dari Ibn Sa’ad yang bersumber dari Abu Bakar ibn Muhammad
ibn ‘Amr ibn Hazm, dan ditulis oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Lubab an-Nuqul fi
Asbab an-Nuzul diceritakan bahwa suatu hari Thalhah sedang berbincang dengan Aisyah,
istri Muhammad SAW yang sangat ia cintai.
Ketika ia sedang berbincang dengan Aisyah, Rasulullah datang dengan menunjukkan wajah
tidak suka. Rasulullah cemburu, saat itu Rasulullah langsung meminta Aisyah untuk masuk
ke dalam kamar tetapi tidak terang-terangan, Rasulullah menggunakan Bahasa isyarat,
Aisyah mengerti.
Atas kejadian tersebut Thalhah merasa malu, ia berpamitan sambal bergumam dalam hati
hingga bersumpah untuk menunggu Muhammad sampai wafat demi menikahi Aisyah.
“Beliau melarangku berbincang dengan Aisyah. Padahal ia adalah sepupuku. Demi Allah,
jika beliau telah wafat, takkan kubiarkan orang lain mendahuluiku melamar Aisyah.”
Atas perkataan Thalhah tersebut, Allah SWT menurunkan firmanNya dalam QS Al-Ahzab
ayat 53 yang berbunyi:
ط َع ٍام َغ ْي َر نَا ِظ ِرينَ ِإنَاهُ َو ٰلَ ِك ْن ِإ َذا د ُِعيتُ ْم فَا ْد ُخلُوا فَِإ َذا طَ ِع ْمتُ ْمَ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَ ْد ُخلُوا بُيُوتَ النَّبِ ِّي ِإاَّل َأ ْن يُْؤ َذنَ لَ ُك ْم ِإلَ ٰى
ق ۚ َوِإ َذا َسَأ ْلتُ ُموه َُّن َمتَاعًا َّ ِث ۚ ِإ َّن ٰ َذلِ ُك ْم َكانَ يُْؤ ِذي النَّب
ِّ ي فَيَ ْستَحْ يِي ِم ْن ُك ْم ۖ َوهَّللا ُ اَل يَ ْستَحْ يِي ِمنَ ْال َح ٍ فَا ْنتَ ِشرُوا َواَل ُم ْستَْأنِ ِسينَ لِ َح ِدي
طهَ ُر لِقُلُوبِ ُك ْم َوقُلُوبِ ِه َّن ۚ َو َما َكانَ لَ ُك ْم َأ ْن تُْؤ ُذوا َرسُو َل هَّللا ِ َواَل َأ ْن تَ ْن ِكحُوا َأ ْز َوا َجهُ ِم ْن بَ ْع ِد ِه ْ ب ۚ ٰ َذلِ ُك ْم َأ
ٍ فَا ْسَألُوه َُّن ِم ْن َو َرا ِء ِح َجا
َظي ًما ٰ
ِ َأبَدًا ۚ ِإ َّن َذلِ ُك ْم َكانَ ِع ْن َد هَّللا ِ ع
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi
kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak
(makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan,
keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu
akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah
tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada
mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih
suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan
tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya
perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.”
Ketika surat itu dibacakan dan Thalhah mendengar surat tersebut, ia menangis, ia malu
kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Setelah mendengar surat tersebut, Thalhah
mewujudkan cintanya yang besar kepada Aisyah itu dengan hal yang lebih berguna, seperti
menyumbangkan hartanya, memerdekakan budaknya, serta menunaikan umrah dengan
berjalan kaki sebagai bentuk taubatnya.
Sahabat Al-Hilal, seiring berjalannya waktu Thalhah pun dikaruniai oleh cinta yang lainnya
ketika cintanya kepada Aisyah tak sampai. Ia menikahi seorang wanita, dalam pernikahannya
ia dikaruniai seorang putri cantik yang ia namai Aisyah binti Thallhah.
Dan Thalhah bin Ubaid Allah, yang bersama dengan Abu Bakr Al-Siddiq dari Bani Taym,
yang terkenal dengan perlakuan dan didikan yang baik, telah menikah, seperti kebiasaan
masyarakat pada masanya, dengan empat wanita. rumah Nabi, semoga doa dan damai Allah
besertanya, ada seorang saudara perempuan untuk masing-masing dari mereka, dan mereka
adalah sebagai berikut: Umm Kultsum bint Abi Bakr dan saudara perempuannya Aisha Umm
al-Mu'minin, Hamna bint Jahsh, dia saudari Zainab binti Jahsh, ibunya Umayyah binti Abd
al-Muttalib, bibi Rasulullah, al-Fara'a binti Abi Sufyan, dan saudarinya Umm Habiba,
Ruqayyah binti Abi Umayyah dan saudarinya Ummu Salama. Talhah memiliki empat belas
anak dari mereka , termasuk Muhammad, yang dijuluki "karpet" karena ibadahnya yang
agung, dan Imran dan Yesus dan dia adalah Naska dan Yakub, yang sama dermawannya
dengan ayahnya, dan Musa, yang merupakan salah satu pemimpin Abd al-Malik ibn Marwan,
tetapi putrinya Aisha adalah orang yang terkenal sepanjang sejarah karena sastra, kecantikan,
dan keberaniannya.
Aisha Bint Talha bukan hanya seorang wanita cantik, tetapi dia adalah seorang penghafal Al-
Qur'an dan seorang ahli hukum.
Dan Aisha bint Talha adalah keponakan Nyonya Aisha, Bunda Orang Beriman, semoga
Tuhan meridhoi dia. Dia menikah dengan putra paman dari pihak ibu, Abdullah Abd al-
Rahman bin Abi Bakr al-Siddiq, dan dia melahirkan putra satu-satunya untuknya , Talha Dia
terkenal dengan pendiriannya yang berani dan kemauannya yang mandiri yang menolak
untuk tunduk.
Seorang pria mendatanginya dan berkata kepadanya: "Aku melihat Thalhah - ayahmu - dalam
mimpi, dan dia berkata: Katakan pada Aisha untuk mengusirku dari tempat ini, karena
kelembapan telah menyakitiku. Kepalanya dipotong, dan itu lebih dari tiga puluh tahun antara
kematiannya dan pemecatannya.
Dan suaminya, Abdullah bin Abdul Rahman bin Abi Bakr Al-Siddiq, meninggal, maka
Musab bin Al-Zubayr menikahinya, dan mas kawinnya lima ratus ribu dirham, dan dia
memberikannya sama. Al-Dhahabi mengatakan: Ketika Musab bin Al-Zubayr terbunuh,
Omar bin Obaidullah Al-Taymi menikahinya, jadi dia memberinya seribu dirham (yaitu satu
juta dirham) Dan setahun di Mekah, dan Aisha hidup, dan orang-orang berbicara tentang
kebajikan, sastra, dan kepemimpinan sampai dia meninggal pada tahun 110 H dan
dimakamkan di Madinah.
Tabiut Tabiin
Aisyah Binti Thalhah (Wafat 110 H)
Abu Zur’ah ad-Dimasyqi: “Aisyah binti Thalhah adalah seorang wanita mulia. Ia
mendapatkan hadits dari Aisyah Ummul Mukminin.”
al-`Ajliy: “Aisyah binti Thalhah seorang wanita Madinah, seorang tabiin dan tsiqah
(terpercaya dalam riwayatnya).”
Al-Mazziy: “Tidak ada wanita yang lebih pandai dari murid-murid Aisyah Ummul-
mukminin; Amrah binti Abdur-Rahman, Hafshah binti Sirin dan Aisyah binti Thalhah.”
Inilah seorang tabiin wanita yang mulia, sebagai keturunan keluarga yang
berpengaruh di masa rasul. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga Nabi Shalallahu
`alaihi wa Sallam di bawah bimbingan Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq
Radhiyallahu `Anhu memiliki kelebihan dalam hal identitas, etika dan kemuliaan.
Senada dengan ini adalah pernyataan dari Anas bin Malik Radhiyallahu `Anhu
“Sungguh demi Allah, saya tidak pernah melihat seorang yang lebih cantik darimu,
kecuali Muawiyah saat berada di atas mimbar Rasulullah Shalallahu `alaihi wa
Sallam! maka ia menjawab: “Sungguh demi Allah, sesungguhnya saya lebih baik dari
api di mata orang yang menggigil pada malam yang sangat dingin.” Lalu dari
keluarga yang manakah tabiin wanita ini berasal?
Ayahandanya adalah Thalhah bin Ubaidillah at-Taimi al-Qurasyi, satu dari sepuluh
orang shahabat yang dijanjikan surga, salah seorang shahabat terbaik dan
demawan. Rasulullah Shalallahu `alaihi wa Sallam, memberikan sebutan `Thalhah al-
Juud (sang dermawan)’ , `Thalhah al-Khair (yang baik)’ dan `Thalhah al-Fayyadh
(yang sangat gemar berderma). Pernah suatu ketika beliau memanggilnya ash-
Shabih, al-Malih, al-fashih (yang sangat cemerlang, ramah dan fashih berbahasa)’.
Cukup sudah kebanggaan baginya sebagai salah satu dari delapan orang yang
terdahulu masuk Islam.
Sedangkan ibunya adalah; Ummu Kultsum binti Abi Bakr at-Taimi al-Qurasyi, seorang
tabiinyah yang mulia, ibunya Habibah bin Kharijah al-Anshariyyah melahirkannya saat
setelah Abu Bakar ash-Shiddiq meninggal dunia. Dan Ummu Kultsum inilah yang
dikatakan oleh Abu Bakar kepada Aisyah Radhiyallahu `Anha putrinya saat akan
wafat, “Sesunggunya mereka berdua adalah dua saudaramu laki-laki dan dua
saudaramu perempuan.”
Aisyah Radhiyallahu `Anha menimpali, “Ini Asma yang sudah saya mengerti, lalu
mana yang lainnya? Abu Bakar menjawab, “adalah yang ada di kandungan binti
Kharijah – yakni istrinya Habibah yang tengah hamil- padahal menurut persepsi saya
sebelumnya ia adalah seorang budak wanita, namun yang kenyataannya adalah
seperti yang dikatakan oleh Abu Bakar Radhiyallahu `Anhu dan Ummu Kultsum lahir
setelah wafarnya.
Bibi Aisyah binti Thalhah ini adalah Aisyah Ummul Mukminin, juga bibi yang lainnya
adalah Dzatun-Nithaaqain Asma binti Abu Bakar .
Inilah keluarga yang suci mulia yang menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya
Aisyah binti Thalhah bin Ubaidillah, yang mendapat sebutan Ummu Imran at-Taimi al-
Qurasyi.
Pernikahannya
Aisyah binti Thalhah menikah dengan saudara sepupu (anak paman dari ibu)nya, ia
menikahinya atas saran dari Aisyah Ummul Mukminin, sedangkan nama suaminya
adalah Abdullah bin Abdur-Rahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu `Anhu ia
mempunyai anak laki-laki darinya bernama Imran, dan dengan anaknya itu ia
mendapatkan sebutan Ummu Imran, lalu Abdur-Rahman, Abu Bakar, Thalhah dan
Nafisah.
Anaknya yang bernama Thalhah bin Abdullah termasuk orang yang sangat
dermawan dan tokoh terhormat dari kalangan Quraisy. Adalah al-Huzain ad-Daili,
seorang penyair yang menuturkan sifat dermawan dan nasabnya:
Apabila engkau berikan aku
seekor unta besar yang mudah bagimu, wahai Tahlhah!
Dermamu kepadaku tidak hanya sekali dua kali,
Akan tetapi berkali-kali
Ayahmu dahulu seorang yang membenarkan Rasul Pilihan
Selalu mengikuti beliau kemanapun berjalan
Dan ibumu, wanita cemerlang dari suku Taimi
Jika orang dihubungkan nasabnya pada suku tersebut,
Maka adalah kebanggaan baginya.
Aisyah binti Thalhah orang yang paling mirip dengan bibinya, Aisyah Ummul
Mukminin, orang yang paling dicintainya, orang yang paling berhasil dibimbing oleh
Aisyah Radhiyallahu `Anha dalam hal ilmu dan adabnya, sebab ia telah berguru
kepadanya, begitu juga meriwayatkan darinya, dan hadits-hadits yang
diriwayatkannya di-Takhrij-kan dalam kelompok hadits-hadits yang shahih.
Ia mengutip ilmu, adab dan ilmu-ilmu seputarnya dari bibinya, sehingga menjadi
tabiin perempuan terbaik yang menjadi perawi hadits.
Dan darinya banyak tokoh-tokoh tabiiin dan ulamanya yang meriwayatkan hadits,
diantaranya adalah: anaknya sendiri, Thalhah bin Abdullah, keponakannya –Thalhah
bin Yahya, keponakannya yang lain –Muawiyah bin Ishaq, juga Minhal bin Amr,
Fudhail bin Amr al-Faqimi, Hubaib bin Abu Amrah, juga Atha’ bin Abi Rabah dan Umar
bin Said juga yang lain-lainnya.
Termasuk riwayat hadits dari Aisyah binti Thalhah, sebagaimana hadits yang
dikeluarkan (dari kumpulan besar hadits) oleh al-Hafizh Ibnu `Asakir beserta
sanadnya dari Aisyah Ummul Mukminin, berkata, “saya bertanya: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya seorang anak kecil dari golongan Anshar yang belum baligh, apakah
menjadi seperti burung pipit surga?” Maka Rasulullah Shalallahu `alaihi wa Sallam,
menjawab, “atau selain dari itu semua wahai Aisyah. Sesungguhnya Allah
menciptakan surga dan menciptakan penghuninya, juga mencipatkan neraka, dan
menciptakan penghuninya. Sedangkan mereka berada dalam keturunan bapak-
bapak mereka.”
Riwayat haditsnya yang lain, hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dengan
sanadnya dari al-Minhal bin Amr dari Aisyah bin Thalhah dari Ummul-Mukminin
Aisyah Radhiyallahu `Anha berkata, “saya tidak melihat orang yang paling banyak
kemiripan tingkah, sikap dan kebaikan hati seperti Rasulullah Shalallahu `alaihi wa
Sallam, melebihi Fathimah ra. dia ketika datang menemui Rasulullah Shalallahu
`alaihi wa Sallam, maka Beliau meraih tangannya lalu menciumnya dan
mendudukkannya di tempat duduknya, dan ketika Beliau datang menemuinya maka
ia berdiri menyambutnya, lalu meraih tangannya dan menciumnya kemudian
mempersilahkan duduk di tempat duduknya.
Termasuk riwayat haditsnya yang lain adalah seperti yang diriwayatkan dalam
kumpulan hadits-hadits shahih yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dengan
sanadnya dari Thalhah bin Yahya bin Thalhah dari Aisyah binti Thalhah danri Aisyah
Ummul Mukminin, berkata, “Rasulullah Shalallahu `alaihi wa Sallam, bersabda,
“Orang tercepat dari kalian
Tidak diragukan lagi, bahwa seorang wanita tabiin seperti Aisyah binti Thalhah yang
tumbuh dalam keluarga besar Rasulullah Shalallahu `alaihi wa Sallam, jika kemudian
menjadi tokoh wanita dalam ilmu, kedudukan dan kejujurannya. Karenanya banyak
ulama dan tokoh-tokoh besar yang mengenal riwayat hadits dan memiliki
pengalaman dengan ilmu-ilmunya memberikan pujian dan apresiasi yang positif.
Cukup baginya sebagai kebanggaan tatkala seorang Imam Jarh dan Ta’dil, tokoh
ilmu hadits dan imam bagi para ahli-hadits di jamannya Yahya bin Ma’yan
memasukkannya dalam golongan perawi yang tsiqat dan hadits-haditsnya dijadikan
sebagai hujjah (sandaran argumentasi hukum), dia mengatakan, “perawi yang tsiqat
dari kalangan wanita adalah Aisyah binti Thalhah, ia seorang rawi yang tsiqah dan
haditsnya sebagai hujjah.”
Begitu juga dalam kitab `ats-Tsiqat’ Ibnu Hibban memasukkan namanya dan
memberikan pujian kepadanya..
Dan dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, Imam Ibnu Katsir mengutip pernyataan
dari gurunya al-Mazziy, “Tidak ada dalam golongan perempuan yang lebih pandai
dari murid-murid perempuan dari Aisyah Ummul-Mukminin, mereka adalah Amrah
binti Abdur-Rahman, Hafshah binti Sirin dan Aisyah binti Thalhah.”
Aisyah binti Thalhah menghabiskan banyak waktunya untuk berdzikir, lidahnya tidak
lelah untuk melantunkan tasbih di pagi dan sore hari, menjadikan jiwanya bersih
dengan kejernihan yang menjadikannya istimewa diantara anak-anak perempuan
Thalhah, ini dilakukan dalam rangka menunaikan suatu hal penting yang dilihatnya
dalam mimpi.
Setelah suaminya Abdullah bin Abdur-Rahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq meninggal
dunia, ia dinikahi oleh pemimpin Iraq saat itu, Mush’ab bin az-Zubair al-Qurasyi al-
Asadi, ia seorang ksatria pemberani, tampan dan menarik, tentang sifat-sifatnya
seperti yang digambarkan oleh Ubaidillah bin Qays ar-Ruqayyat:
Sungguh, Mush’ab adalah macan dari Allah,
Tampak dari wajahnya ketegasan
Singgasananya adalah singgasana kemuliaan,
Tanpa kemewahan dan keangkuhan
Senantiasa bertaqwa kepada Allah dalam segala urusan
Sungguh beruntung orang yang mencita-citakan ketaqwaan.
Sebelumnya Mush’ab mengidamkan dapat menikahi Aisyah binti Thalhah,
perempuan cerdas nan cantik dari Quraisy ini, untuk hal ini ada kisahnya yang lucu
namun juga mengharukan, dan sekaligus menunjukkan cita-cita yang tinggi.
Maka ia mengatakan, “Kekuasaan di Iraq dan pernikahan dengan Sukainah binti al-
Husain serta Aisyah binti Thalhah bin Ubaidillah.” Maka ia mendapatkan semuanya
dan ia memberikan maskwin pada masing-masing keduanya sebanyak 500.000
dirham serta menyiapkan semua pakaian dan perhiasan seperti lainnya.
Sedangkan Urwah bin az-Zubair berharap ilmu fiqih dan dapat mengahal hadits,
maka ia mendapatkan harapannya itu.
Mush’ab benar menikahi Aisyah, seorang wanita tercantik dan terdepan di jamannya,
sampai wanita-wanita cantik di masanya mengakui kecantikannya dan memberikan
komentar manis seputar dirinya. Ini adalah pengakuan besar bagi Aisyah. Sebab
hanya wanita yang lebih memahami wanita dan lebih jeli dengan rahasia-rahasia
kecantikan yang tersembunyi daripada laki-laki.
Dari beberapa cerita tentang Aisyah ini, terkesan bahwa ia agak bersikap keras
dalam batasan tertentu terhadap suaminya, Mush’ab. Terkadang ia bertengkar
dengannya. Dan pada sisi ini terdapat cerita dan peristiwa yang lucu.
Maka Asy’ab bergegas pergi menemui Aisyah, lalu berkata, “Aku bertaruh untuk
menjadi penjaminmu!, ini sebuah kesempatan yang terhampar untukku sekiranya
engkau memenuhi hakku dan terima kasihku untukmu.”
Pada cerita yang lain tentang sisi kepribadiannya, ia termasuk orang yang sering
membanggakan diri, banyak bersikap manja pada suaminya, sikap ini terkadang
berlanjut hingga sampai pada batas yang berlebihan. Suatu ketika Mush’ab datang
kepadanya saat ia sedang tidur di pagi hari. Ia membawakan butiran-butiran berlian
yang nilainya mencapai duapuluh ribu dinar, ia menyebarkan berlian-berlian itu di
pangkuan istrinya. Maka Aisyah berkata kepada suaminya, “Tidurku ini lebih aku
senangi daripada berlian-berlian ini”. Suatu ketika Mush’ab mengeluhkan seringnya
sang istri membanggakan diri kepada Abdullah bin Abi Farwah, sekeretarisnya.
Barangkali ia menemukan jalan keluar dan solusi bagi sikap berlebihan Aisyah dalam
kemanjaan dan ke-ngambek-annya.
Mush’ab menjawab, “Ya, lakukan yang engkau inginkan, sebab ia adalah kemewahan
dunia terindah yang aku dapatkan.” Maka Ibnu Abi Farwah mendatangi Aisyah
malam hari, lalu ia meminta ijin masuk. Aisyah berkata, “Waktu selarut ini?”
Ia menjawab, “Ya.” maka Aisyah terkejut karena takut sebab ia datang bersama dua
orang yang besar dan hitam kulitnya.
Ia menjawab, “Si penjahat yang gemar membantai orang ini menyuruhku untuk
membuat sumur, lalu aku kuburkan Aisyah di dalamnya hidup-hidup, padahal saya
sudah berusaha untuk menghindar dari tugas ini lalu ia mengancam akan
membunuhku.”
Ia menjawab dengan suara keras dan tegas, “Tidak mungkin, engkau tidak ada
kesempatan lagi.” Kemudian ia berkata kepada kedua orang hitam itu dengan nada
yang sangat tegas, “Buatlah galian!”
Aisyah berkata, “Saya berjanji kepada Allah untuk tidak mengulanginya lagi.”
Ibnu Abi Farwah berkata, “Berikanlah bukti-bukti tentang hal itu kepadaku!.” maka ia-
pun memberikannya, lalu ia berkata kepada kedua orang yang hitam itu, “kembalilah
ke asal kamu sekarang.”
Maka Aisyah bersumpah dan berkomitmen padanya, serta berbuat baik kepada
Mush’ab berkat pelajaran langka dan luar-biasa itu.
Setelah Mushab
Setelah meninggalnya Mush’ab, Aisyah menikah lagi dengan Umar bin Ubaidillah bin
Ma’mar at-Taimi, ia tinggal bersamanya selama delapan tahun, dan suaminya ini
meninggal tahun 82 H, lalu ia menangis dengan berdiri. Menurut kebiasaan bangsa
Arab, apabila seorang wanita menangisi suaminya yang mati dengan berdiri, maka
mereka mengetahui bahwa sang istri tidak akan menikah lagi sesudahnya.
Dan setelah menjanda, ia tinggal di Makkah selama setahun, di Madinah selama
setahun, lalu ia keluar untuk keperluan bisnisnya ke Thaif sekaligus mengurus
kehidupannya sendiri. Pada saat kehidupan di Thaif ini banyak sekali cerita bersama
para penyair, ini menunjukkan kejelian pemahamannya serta kebaikan ide dan
semangat bersastra.
Aisyah binti Thalhah hidup dalam gelimang kekayaan, ia sangat suka melihat jejak
kenikmatan yang Allah berikan kepadanya. Diceritakan saat ia hendak menunaikan
ibadah haji ia membawa barang-barang mewah yang ia perlukan, semua
kebutuhannya itu diangkut oleh enam puluh kuda raja lengkap dengan tandu
diatasnya serta muatannya. Urwah bin az-Zubair –satu dari ahli-fiqih Tabiin yang
berjumlah tujuh mengatakan,
Hidup, wahai pemilik enampuluh kuda, Apakah setiap tahun seperti ini engkau
menunaikan ibadah haji?
Sifat-sifat ini menjadikan Aisyah bangga pada lainnya dengan nikmat yang telah
Allah berikan kepadanya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Disebutkan
bahwa ia berhaji bersama madu-nya Sukainah binti al-Husain, dan Aisyah lebih baik
dalam penampilan dan perbekalan, lalu penuntun kudanya menirukan perkataan
Urwah bin az- Zubair tadi,Hidup, wahai pemilik enampuluh kuda, Apakah setiap tahun
seperti ini engkau menunaikan ibadah haji?
Ungkapan ini terdengar kurang menyenangkan di hati Sukainah, maka penuntun
kudanya berkata,
Hidup, inilah madumu yang meragukanmu, Seandainya bukan karena kakeknya,
niscaya kakekmu tidak akan mendapatkan Hidayah,
Maka Aisyah memerintahkan penuntun kudanya untuk diam, maka ia-pun diam
sebagai bentuk penghormatan kepada Sukainah.
Sang ibu lalu terheran dengannya dan berkata, “engkau lebih baik dariku?” lalu
Aisyah Ummul-Mukminin berkata, “Tidakkah sebaiknya aku menjadi penengah untuk
kalian berdua?” mereka berdua menjawab, “Ya.”
Aisyah –Ummul-mukminin berkata, “Suatu ketika Abu Bakar datang menemui
Rasulullah Shalallahu `alaihi wa Sallam, lalu beliau bersabda, “engkau wahai Abu
Bakar adalah `Atiiqullah (orang yang Allah halangi) dari neraka.” maka siapa
gerangan setelah itu yang mendapat julukan `Atiiq.
Sedikit sekali kita temukan wanita yang diberikan limpahan harta-kekayaan, dan
diberikan kecantikan yang menawan masih mempunyai perhatian yang besar pada
ilmu dan pengetahuan, selain Aisyah binti Thalhah dan wanita-wanita yang berada
dalam tingkatannya yang sangat berbeda dengan kebanyakan wanita yang sering
sibuk dengan dandanan, perhiasan dan aksesoris dari segala sesuatu.
Aisyah adalah seorang yang cerdas dan pandai, juga berani mengungkapkan ide,
memiliki keluasan pengetahuan yang beraneka-ragam. Termasuk cerita yang
memberikan kesaksian tentang ilmu dan keberaniannya dalam mengatakan
kebenaran, sebagaimana yang diriwayatkan bahwasanya ia pergi dalam rombongan
Hisyam bin Abdul-Malik menuju ke Damascus. Hisyam berkata kepadanya,
“Apa yang membuatmu pergi wahai Aisyah??.”
Hisyam berkata, “saya akan mengubungkan kerabatmu, dan saya mengetahui hak-
hakmu.”
Ia menjawab, “Saya belajar dari bibiku Aisyah Ummul Mukminin,.” maka Hisyam
memberikan hadiah kepadanya sebanyak 100.000 dirham dan mengembalikan
Aisyah ke Madinah secara baik, mulia dan terhormat.
Aisyah senantiasa menjadi wanita langka di jamannya, dengan kisah yang penuh
kebaikan dan keindahan, langkah dan etika, kehormatan dan keilmuan hingga wafat
pada tahun 101 H.
Sumber :
- Dari kitab Tarikh Dimasyq hal.209 dan 210.
- Tarikh Dimasyq, hal.207. Nawadir al-Makhthuthat jilid 1 hal 70, dan Taqrib at-
Tahdzib jilid 2 hal. 606.
- Lihat Jamharatu Ansabi al-`Arab, Ibnu Hazm jilid 1 hal 137.
- al-Qashshab, Abu Abdullah al-Hammani, budak mereka yang berasal dari Kufah,
seorang Tabiiy, ia meriwayatkan hadits dari Mujahid, Said bin Jubair, Aisyah binti
Thalhah, Ummu ad-Darda, dan juga banyak tokoh-tokoh Tabiin yang meriwayatkan
hadits darinya. Ia dikenal tsiqah, sedikit riwayatnya, sekitar 15 hadits. Menurut
pendapat Ibnu Ma’yandan an-Nasai, “ia orang yang tsiqah”, sedangkan menurut
Imam Ahmad, “Ia adalah seorang Syaikh yang tsiqah” wafat pada tahun 142 H. di
ringkas dari Tahdzib at-Tahdzib jilid 2 hal 188, dan Taqrib at-Tahdzib jilid 1 hal 150.
1.2 KELUARGA
Thalhah menikah dengan Su'da binti Auf. Thalhah dikaruniai 14 orang putera
dan puteri, yaitu: Muhammad As Sajjad, Imran, Isa, Ismail, Ishak, yaakub,
Musa, Zkaria, Yusuf, Yahya, Aisyah (Istri Mush'ab bin Zubair bin Awwam),
Ummu Ishak (Istri Hasan bin Ali), Sha'bah, Maryam.
1.3 WAFAT
Thalhah bin Ubaidillah RA wafat pada 36 hijriyah atau sekitar tahun 656
masehi.
Artikel ini sudah tayang di VIVA.co.id pada hari Rabu, 6 April 2022 - 22:16 WIB
Judul Artikel : Kisah Perang Jamal dalam Perkembangan Sejarah Islam
Link Artikel : https://www.viva.co.id/edukasi/1464168-perang-jamal
Oleh : Nuvola Gloria
Perang Unta: Syahidnya Dua Sahabat Nabi, Thalhah dan Zubair Miftah H. Yusufpati Jum'at,
29 Januari 2021 - 14:57 WIB views: 11.559 Ilustrasi/Ist A A A
SEKALIPUN sebenarnya peperangan sudah tak dapat dihindarkan lagi, namun Ali bin Abu
Thalib r.a. masih tetap berusaha untuk dapat mencegah berkobarnya peperangan sesama
muslimin. Ia teringat kenangan lama yang indah, ketika bersama Thalhah dan Zubair
berjuang bahu membahu menegakkan Islam di bawah pimpinan Rasulullah SAW .
Buku " Sejarah Hidup Imam Ali ra " karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini mengungkapkan
Ali bin Abu Thalib r.a. berusaha bertemu muka dengan dua tokoh bekas sahabatnya, yang
saat itu telah mengangkat senjata untuk menentangnya. Pada pertemuan muka dengan
Thalhah, Ali bin Abu Thalib r.a. berkata: "Sahabatku Thalhah! Engkau menyimpan isterimu
sendiri di rumahmu, tetapi engkau datang ke tempat ini membawa isteri Rasulullah SAW
Dengan mempergunakan diakah engkau berperang?"
Pertanyaan Ali bin Abu Thalib r.a. ini nampaknya sangat mengenai hati Thalhah. Ia tak bisa
menjawabnya sama sekali dan hanya dapat menundukkan kepala untuk kemudian pelan-pelan
menarik diri dari barisan yang dipimpinnya.
Ketika Marwan bin Al-Hakam melihat Thalhah memisahkan diri dari pasukan dan
meninggalkan medan pertempuran (ia tergabung dalam pasukan Thalhah), segera mengikuti
sambil berkata: "Demi Allah, aku tak akan melepaskan tekadku untuk menebus darah
Utsman. Aku tidak akan membiarkan dia (Thalhah) lolos. Akan kubunuh dia, karena dia juga
turut membunuh Utsman!"
Beberapa saat kemudian ia membidikkan anak panahnya ke arah Thalhah. Ketika anak panah
itu lepas dari busurnya, lambung Thalhah menjadi sasaran. Gugurlah salah seorang sahabat
Rasulullah SAW tertembus panah yang dilepaskan oleh anggota pasukannya sendiri.
Menoleh ke belakang, Thalhah dikenal sebagai orang yang jujur dan teguh pendirian. Sejak
awal keislamannya, ia juga tak pernah ingkar janji dan dermawan. Pernah dia membawa
pulang keuntungan dagang sebesar 700.000 dirham. Ia membagikan uang tersebut kepada
fakir miskin Anshar dan Muhajirin keesokan harinya.
Ia tak merasa berhak memegang harta sebanyak itu meski itu adalah hasil keuntungan
dagangnya. Pantas jika Rasulullah memberinya gelar Thalhah Al-Jaud (Thalhah yang
pemurah) dan Thalhah Al-Fayyadh (atau Thalhah yang dermawan).
Thalhah bin Ubaidillah syahid pada usia 60 tahun dalam peristiwa tersebut akibat luka yang
cukup dalam di kakinya. Thalhah menjadi salah satu orang yang dijamin Rasulullah SAW
masuk surga bersama 9 sahabat lainnya. Nasib Zubair Sementara itu ketika Ali bin Abu
Thalib r.a. berhasil bertemu muka dengan Zubair, ia bertanya: "Hai Abdullah, apakah yang
mendorongmu sampai datang ke tempat ini?"
"Untuk menuntut balas atas kematian Utsman," jawab Zubair dengan terus terang.
"Engkau menuntut balas atas kematian Utsman?" tanya Ali bin Abu Thalib r.a. menanggapi
jawaban Zubair tadi. "Allah mengutuk orang yang membunuhnya! Hai Zubair, engkau
kuingatkan. Ingatkah dahulu ketika engkau berjalan bersama Rasulullah SAW waktu itu
beliau bertopang pada tanganmu, melewati aku, kemudian beliau tersenyum padaku, lalu
menoleh kepadamu sambil berkata: 'Hai Zubair, engkau kelak akan memerangi Ali secara
zalim!'"
"Oh, ya," jawab Zubair, setelah beberapa saat mengingat-ingat.
"Mengapa engkau sekarang memerangi aku?" tanya Ali bin Abu Thalib r.a. pula.
"Demi Allah," sahut Zubair, "aku lupa. Seandainya aku ingat aku tidak akan keluar untuk
memerangimu."
Selesai mengucapkan kata-kata itu, Zubair cepat-cepat keluar meninggalkan pasukan dengan
air mata membasahi pipi. Tetapi malang bagi Zubair. Salah seorang anggota pasukan Ali bin
Abu Thalib yang bernama Ammar bin Jarmuz ketika melihat Zubair terpisah dari
pasukannya, segera diikuti dan kemudian dibunuh.
Cerita lain menuturkan, pada saat genting Ali bin Abu Thalib mengingatkan Zubair, “Wahai
Zubair, aku memanggilmu atas nama Allah. Tidakkah engkau ingat, suatu hari di mana
engkau lalui bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat itu kita berada di suatu
tempat, Rasulullah bertanya kepadamu, ‘Wahai Zubair, apakah engkau mencintai Ali?’ Kau
jawab, ‘Bagaimana bisa aku tidak mencintai anak dari pamanku (baik dari pihak ayah
ataupun ibu) dan dia seagama denganku’. Beliau melanjutkan sabdanya, ‘Demi Allah wahai
Zubair, sungguh engkau akan memeranginya dan saat itu engkau berada di pihak yang
keliru’.” Zubair mengatakan, "Aku ingat sekarang, dan aku hilaf dari pesan beliau itu. Demi
Allah, aku tidak akan memerangimu.”
Setelah pergi dari perang fitnah itu, akhirnya saat sedang salat, Zubair wafat dibunuh Amr bin
Jurmuz. Si pembunuh itu pergi kepada Khalifah Ali, dengan maksud melaporkan tindakannya
terhadap Zubair, dengan dugaan bahwa kabar itu akan membuat beliau bersenang hati,
apalagi sambil menanggalkan pedang-pedang Zubair yang telah dirampasnya setelah
melakukan kejahatan tersebut . Tetapi Ali berteriak demi mengetahui bahwa di muka pintu
ada pembunuh Zubair yang minta izin masuk dan memerintahkan orang untuk mengusirnya.
"Sampaikan berita kepada pembunuh putra ibu Shafiah itu, bahwa untuknya telah disediakan
api neraka!" ujar Khalifah Ali.
Dan ketika pedang Zubair ditunjukkan kepada Sayidina Ali oleh beberapa sahabatnya, ia
mencium dan lama sekali ia menangis kemudian katanya: "Demi Allah, pedang ini sudah
banyak berjasa, digunakan oleh pemiliknya untuk melindungi Rasulullah dari marabahaya.”
Ali lalu berkata, "Selamat dan bahagia bagi Zubair dalam kematian sesudah mencapai
kejayaan hidupnya! Selamat, kemudian selamat kita ucapkan kepada pembela Rasulullah!"
Rasulullah SAW menjamin 10 sahabatnya masuk surga. Dua di antaranya adalah Thalhah
dan Zubair.
Untuk membaca berita lebih mudah, nyaman, dan tanpa banyak iklan, silahkan
download aplikasi SINDOnews.
- Android: https://sin.do/u/android
- iOS: https://sin.do/u/ios
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Jum'at, 29 Januari 2021 -
14:57 WIB oleh Miftah H. Yusufpati dengan judul "Perang Unta: Syahidnya Dua Sahabat
Nabi, Thalhah dan Zubair". Untuk selengkapnya kunjungi:
https://kalam.sindonews.com/read/318086/70/perang-unta-syahidnya-dua-sahabat-nabi-
thalhah-dan-zubair-1611903686
Untuk membaca berita lebih mudah, nyaman, dan tanpa banyak iklan, silahkan download
aplikasi SINDOnews.
- Android: https://sin.do/u/android
- iOS: https://sin.do/u/ios