Anda di halaman 1dari 20

KISAH THALHAH BIN UBAIDILLAH JATUH HATI PADA AISYAH RA

Thalhah bin Ubaidillah bernama lengkap Thalhah bin Ubaidillah bin Usman bin Kaab bin
Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah, al-Qurasyi at-Taimi al-Makki
dan al-Madani, Thalhah merupakan sahabat Rasulullah yang berasal dari suku Quraisy.
Karena perjuangan memeluk dan menegakkan syariat Islam, Thalhah bin Ubaidillah
diizinkan masuk surga oleh Allah SWT.

Thalhah bin Ubaidillah menghabiskan hartanya untuk kebaikan dan membela islam serta
menolong mereka yang membutuhkan. Ia sangat dermawan, sudah begitu banyak manfaat
yang ia berikan untuk orang lain sehingga tidak sedikit orang yang mengapresiasikan
kedermawannya tersebut. Thalhah merupakan sosok yang selalu turun dalam perang jihad,
melindungi Rasulullah, membela dakwahnya, serta menyebarkan risalhanya.

Sahabat Al-Hilal, tahukah kalian jika Thalhah bin Ubaidillah merupakan seorang pria yang
begitu sangat mencintai istri Rasulullah SAW yakni Aisyah. Tetapi disisi lain, Thalhah pun
merupakan sepupu dari Aisyah.

Diriwayatkan Ibn Abi Hatim dari Ibn Sa’ad yang bersumber dari Abu Bakar ibn Muhammad
ibn ‘Amr ibn Hazm, dan ditulis oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Lubab an-Nuqul fi
Asbab an-Nuzul diceritakan bahwa suatu hari Thalhah sedang berbincang dengan Aisyah,
istri Muhammad SAW yang sangat ia cintai.

Ketika ia sedang berbincang dengan Aisyah, Rasulullah datang dengan menunjukkan wajah
tidak suka. Rasulullah cemburu, saat itu Rasulullah langsung meminta Aisyah untuk masuk
ke dalam kamar tetapi tidak terang-terangan, Rasulullah menggunakan Bahasa isyarat,
Aisyah mengerti.

Atas kejadian tersebut Thalhah merasa malu, ia berpamitan sambal bergumam dalam hati
hingga bersumpah untuk menunggu Muhammad sampai wafat demi menikahi Aisyah.
“Beliau melarangku berbincang dengan Aisyah. Padahal ia adalah sepupuku. Demi Allah,
jika beliau telah wafat, takkan kubiarkan orang lain mendahuluiku melamar Aisyah.”

Atas perkataan Thalhah tersebut, Allah SWT menurunkan firmanNya dalam QS Al-Ahzab
ayat 53 yang berbunyi:

‫ط َع ٍام َغ ْي َر نَا ِظ ِرينَ ِإنَاهُ َو ٰلَ ِك ْن ِإ َذا د ُِعيتُ ْم فَا ْد ُخلُوا فَِإ َذا طَ ِع ْمتُ ْم‬َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَ ْد ُخلُوا بُيُوتَ النَّبِ ِّي ِإاَّل َأ ْن يُْؤ َذنَ لَ ُك ْم ِإلَ ٰى‬
‫ق ۚ َوِإ َذا َسَأ ْلتُ ُموه َُّن َمتَاعًا‬ َّ ِ‫ث ۚ ِإ َّن ٰ َذلِ ُك ْم َكانَ يُْؤ ِذي النَّب‬
ِّ ‫ي فَيَ ْستَحْ يِي ِم ْن ُك ْم ۖ َوهَّللا ُ اَل يَ ْستَحْ يِي ِمنَ ْال َح‬ ٍ ‫فَا ْنتَ ِشرُوا َواَل ُم ْستَْأنِ ِسينَ لِ َح ِدي‬
‫طهَ ُر لِقُلُوبِ ُك ْم َوقُلُوبِ ِه َّن ۚ َو َما َكانَ لَ ُك ْم َأ ْن تُْؤ ُذوا َرسُو َل هَّللا ِ َواَل َأ ْن تَ ْن ِكحُوا َأ ْز َوا َجهُ ِم ْن بَ ْع ِد ِه‬ ْ ‫ب ۚ ٰ َذلِ ُك ْم َأ‬
ٍ ‫فَا ْسَألُوه َُّن ِم ْن َو َرا ِء ِح َجا‬
‫َظي ًما‬ ٰ
ِ ‫َأبَدًا ۚ ِإ َّن َذلِ ُك ْم َكانَ ِع ْن َد هَّللا ِ ع‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi
kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak
(makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan,
keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu
akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah
tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada
mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih
suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan
tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya
perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.”

Ketika surat itu dibacakan dan Thalhah mendengar surat tersebut, ia menangis, ia malu
kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Setelah mendengar surat tersebut, Thalhah
mewujudkan cintanya yang besar kepada Aisyah itu dengan hal yang lebih berguna, seperti
menyumbangkan hartanya, memerdekakan budaknya, serta menunaikan umrah dengan
berjalan kaki sebagai bentuk taubatnya.

Sahabat Al-Hilal, seiring berjalannya waktu Thalhah pun dikaruniai oleh cinta yang lainnya
ketika cintanya kepada Aisyah tak sampai. Ia menikahi seorang wanita, dalam pernikahannya
ia dikaruniai seorang putri cantik yang ia namai Aisyah binti Thallhah.

KISAH SINGKAT TENTANG AISYAH BINTI THALHAH


Bahasa Arab: terjemah:
Ayahnya adalah salah satu dari sepuluh orang yang diberi kabar gembira tentang surga, dan
Nabi, semoga doa dan damai Allah besertanya, menamainya Talha al-Fayyad ketika dia
membeli sebuah sumur, menyembelih seekor unta, dan memberi makan orang-orang, dan
menamainya pada hari Khaybar Talha al-Jawad, dan ibunya yang saleh, Ummu Kulthum,
putri As-Siddiq. Talha bin Ubaid Allah melahirkan empat putri, Aisyah, Ummu Ishak, Al-
Sa’bah, dan Maryam.

Dan Thalhah bin Ubaid Allah, yang bersama dengan Abu Bakr Al-Siddiq dari Bani Taym,
yang terkenal dengan perlakuan dan didikan yang baik, telah menikah, seperti kebiasaan
masyarakat pada masanya, dengan empat wanita. rumah Nabi, semoga doa dan damai Allah
besertanya, ada seorang saudara perempuan untuk masing-masing dari mereka, dan mereka
adalah sebagai berikut: Umm Kultsum bint Abi Bakr dan saudara perempuannya Aisha Umm
al-Mu'minin, Hamna bint Jahsh, dia saudari Zainab binti Jahsh, ibunya Umayyah binti Abd
al-Muttalib, bibi Rasulullah, al-Fara'a binti Abi Sufyan, dan saudarinya Umm Habiba,
Ruqayyah binti Abi Umayyah dan saudarinya Ummu Salama. Talhah memiliki empat belas
anak dari mereka , termasuk Muhammad, yang dijuluki "karpet" karena ibadahnya yang
agung, dan Imran dan Yesus dan dia adalah Naska dan Yakub, yang sama dermawannya
dengan ayahnya, dan Musa, yang merupakan salah satu pemimpin Abd al-Malik ibn Marwan,
tetapi putrinya Aisha adalah orang yang terkenal sepanjang sejarah karena sastra, kecantikan,
dan keberaniannya.

Aisha Bint Talha bukan hanya seorang wanita cantik, tetapi dia adalah seorang penghafal Al-
Qur'an dan seorang ahli hukum.
Dan Aisha bint Talha adalah keponakan Nyonya Aisha, Bunda Orang Beriman, semoga
Tuhan meridhoi dia. Dia menikah dengan putra paman dari pihak ibu, Abdullah Abd al-
Rahman bin Abi Bakr al-Siddiq, dan dia melahirkan putra satu-satunya untuknya , Talha Dia
terkenal dengan pendiriannya yang berani dan kemauannya yang mandiri yang menolak
untuk tunduk.

Seorang pria mendatanginya dan berkata kepadanya: "Aku melihat Thalhah - ayahmu - dalam
mimpi, dan dia berkata: Katakan pada Aisha untuk mengusirku dari tempat ini, karena
kelembapan telah menyakitiku. Kepalanya dipotong, dan itu lebih dari tiga puluh tahun antara
kematiannya dan pemecatannya.

Dan suaminya, Abdullah bin Abdul Rahman bin Abi Bakr Al-Siddiq, meninggal, maka
Musab bin Al-Zubayr menikahinya, dan mas kawinnya lima ratus ribu dirham, dan dia
memberikannya sama. Al-Dhahabi mengatakan: Ketika Musab bin Al-Zubayr terbunuh,
Omar bin Obaidullah Al-Taymi menikahinya, jadi dia memberinya seribu dirham (yaitu satu
juta dirham) Dan setahun di Mekah, dan Aisha hidup, dan orang-orang berbicara tentang
kebajikan, sastra, dan kepemimpinan sampai dia meninggal pada tahun 110 H dan
dimakamkan di Madinah.

Tabiut Tabiin
Aisyah Binti Thalhah (Wafat 110 H)

Abu Zur’ah ad-Dimasyqi: “Aisyah binti Thalhah adalah seorang wanita mulia. Ia
mendapatkan hadits dari Aisyah Ummul Mukminin.”

al-`Ajliy: “Aisyah binti Thalhah seorang wanita Madinah, seorang tabiin dan tsiqah
(terpercaya dalam riwayatnya).”

Al-Mazziy: “Tidak ada wanita yang lebih pandai dari murid-murid Aisyah Ummul-
mukminin; Amrah binti Abdur-Rahman, Hafshah binti Sirin dan Aisyah binti Thalhah.”

Gadis yang Suci

Inilah seorang tabiin wanita yang mulia, sebagai keturunan keluarga yang
berpengaruh di masa rasul. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga Nabi Shalallahu
`alaihi wa Sallam di bawah bimbingan Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq
Radhiyallahu `Anhu memiliki kelebihan dalam hal identitas, etika dan kemuliaan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniainya kecantikan yang memikat, seakan-akan


ia adalah salah satu bidadari surga yang ada di dunia ini.
Adalah Abu Hurairah Radhiyallahu `Anhu melihatnya lalu berkata. “Saya tidak melihat
seorang pun yang lebih cantik (indah) dari Aisyah binti Thalhah, kecuali Muawiyah
saat berada di atas mimbar Rasulullah Shalallahu `alaihi wa Sallam.”

Senada dengan ini adalah pernyataan dari Anas bin Malik Radhiyallahu `Anhu
“Sungguh demi Allah, saya tidak pernah melihat seorang yang lebih cantik darimu,
kecuali Muawiyah saat berada di atas mimbar Rasulullah Shalallahu `alaihi wa
Sallam! maka ia menjawab: “Sungguh demi Allah, sesungguhnya saya lebih baik dari
api di mata orang yang menggigil pada malam yang sangat dingin.” Lalu dari
keluarga yang manakah tabiin wanita ini berasal?

Sebelum kita masuk dalam kisah hidupnya, biarkan kami memperkenalkan


keluarganya yang subur bagi benih-benih Islam.

Ayahandanya adalah Thalhah bin Ubaidillah at-Taimi al-Qurasyi, satu dari sepuluh
orang shahabat yang dijanjikan surga, salah seorang shahabat terbaik dan
demawan. Rasulullah Shalallahu `alaihi wa Sallam, memberikan sebutan `Thalhah al-
Juud (sang dermawan)’ , `Thalhah al-Khair (yang baik)’ dan `Thalhah al-Fayyadh
(yang sangat gemar berderma). Pernah suatu ketika beliau memanggilnya ash-
Shabih, al-Malih, al-fashih (yang sangat cemerlang, ramah dan fashih berbahasa)’.

Cukup sudah kebanggaan baginya sebagai salah satu dari delapan orang yang
terdahulu masuk Islam.

Sedangkan ibunya adalah; Ummu Kultsum binti Abi Bakr at-Taimi al-Qurasyi, seorang
tabiinyah yang mulia, ibunya Habibah bin Kharijah al-Anshariyyah melahirkannya saat
setelah Abu Bakar ash-Shiddiq meninggal dunia. Dan Ummu Kultsum inilah yang
dikatakan oleh Abu Bakar kepada Aisyah Radhiyallahu `Anha putrinya saat akan
wafat, “Sesunggunya mereka berdua adalah dua saudaramu laki-laki dan dua
saudaramu perempuan.”

Aisyah Radhiyallahu `Anha menimpali, “Ini Asma yang sudah saya mengerti, lalu
mana yang lainnya? Abu Bakar menjawab, “adalah yang ada di kandungan binti
Kharijah – yakni istrinya Habibah yang tengah hamil- padahal menurut persepsi saya
sebelumnya ia adalah seorang budak wanita, namun yang kenyataannya adalah
seperti yang dikatakan oleh Abu Bakar Radhiyallahu `Anhu dan Ummu Kultsum lahir
setelah wafarnya.

Bibi Aisyah binti Thalhah ini adalah Aisyah Ummul Mukminin, juga bibi yang lainnya
adalah Dzatun-Nithaaqain Asma binti Abu Bakar .

Inilah keluarga yang suci mulia yang menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya
Aisyah binti Thalhah bin Ubaidillah, yang mendapat sebutan Ummu Imran at-Taimi al-
Qurasyi.

Pernikahannya

Aisyah binti Thalhah menikah dengan saudara sepupu (anak paman dari ibu)nya, ia
menikahinya atas saran dari Aisyah Ummul Mukminin, sedangkan nama suaminya
adalah Abdullah bin Abdur-Rahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu `Anhu ia
mempunyai anak laki-laki darinya bernama Imran, dan dengan anaknya itu ia
mendapatkan sebutan Ummu Imran, lalu Abdur-Rahman, Abu Bakar, Thalhah dan
Nafisah.

Anaknya yang bernama Thalhah bin Abdullah termasuk orang yang sangat
dermawan dan tokoh terhormat dari kalangan Quraisy. Adalah al-Huzain ad-Daili,
seorang penyair yang menuturkan sifat dermawan dan nasabnya:
Apabila engkau berikan aku
seekor unta besar yang mudah bagimu, wahai Tahlhah!
Dermamu kepadaku tidak hanya sekali dua kali,
Akan tetapi berkali-kali
Ayahmu dahulu seorang yang membenarkan Rasul Pilihan
Selalu mengikuti beliau kemanapun berjalan
Dan ibumu, wanita cemerlang dari suku Taimi
Jika orang dihubungkan nasabnya pada suku tersebut,
Maka adalah kebanggaan baginya.

Perawi yang Cerdas

Aisyah binti Thalhah orang yang paling mirip dengan bibinya, Aisyah Ummul
Mukminin, orang yang paling dicintainya, orang yang paling berhasil dibimbing oleh
Aisyah Radhiyallahu `Anha dalam hal ilmu dan adabnya, sebab ia telah berguru
kepadanya, begitu juga meriwayatkan darinya, dan hadits-hadits yang
diriwayatkannya di-Takhrij-kan dalam kelompok hadits-hadits yang shahih.

Ia mengutip ilmu, adab dan ilmu-ilmu seputarnya dari bibinya, sehingga menjadi
tabiin perempuan terbaik yang menjadi perawi hadits.

Dan darinya banyak tokoh-tokoh tabiiin dan ulamanya yang meriwayatkan hadits,
diantaranya adalah: anaknya sendiri, Thalhah bin Abdullah, keponakannya –Thalhah
bin Yahya, keponakannya yang lain –Muawiyah bin Ishaq, juga Minhal bin Amr,
Fudhail bin Amr al-Faqimi, Hubaib bin Abu Amrah, juga Atha’ bin Abi Rabah dan Umar
bin Said juga yang lain-lainnya.

Beberapa Hadits dari Riwayatnya

Termasuk riwayat hadits dari Aisyah binti Thalhah, sebagaimana hadits yang
dikeluarkan (dari kumpulan besar hadits) oleh al-Hafizh Ibnu `Asakir beserta
sanadnya dari Aisyah Ummul Mukminin, berkata, “saya bertanya: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya seorang anak kecil dari golongan Anshar yang belum baligh, apakah
menjadi seperti burung pipit surga?” Maka Rasulullah Shalallahu `alaihi wa Sallam,
menjawab, “atau selain dari itu semua wahai Aisyah. Sesungguhnya Allah
menciptakan surga dan menciptakan penghuninya, juga mencipatkan neraka, dan
menciptakan penghuninya. Sedangkan mereka berada dalam keturunan bapak-
bapak mereka.”

Riwayat haditsnya yang lain, hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dengan
sanadnya dari al-Minhal bin Amr dari Aisyah bin Thalhah dari Ummul-Mukminin
Aisyah Radhiyallahu `Anha berkata, “saya tidak melihat orang yang paling banyak
kemiripan tingkah, sikap dan kebaikan hati seperti Rasulullah Shalallahu `alaihi wa
Sallam, melebihi Fathimah ra. dia ketika datang menemui Rasulullah Shalallahu
`alaihi wa Sallam, maka Beliau meraih tangannya lalu menciumnya dan
mendudukkannya di tempat duduknya, dan ketika Beliau datang menemuinya maka
ia berdiri menyambutnya, lalu meraih tangannya dan menciumnya kemudian
mempersilahkan duduk di tempat duduknya.

Termasuk riwayat haditsnya yang lain adalah seperti yang diriwayatkan dalam
kumpulan hadits-hadits shahih yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dengan
sanadnya dari Thalhah bin Yahya bin Thalhah dari Aisyah binti Thalhah danri Aisyah
Ummul Mukminin, berkata, “Rasulullah Shalallahu `alaihi wa Sallam, bersabda,
“Orang tercepat dari kalian

yang menyusulku adalah orang dari kalian yang terpanjang tangannya.”

Maka mereka menjulur-julurkan tangannya untuk mengetahui siapakah gerangan


yang terpanjang tangannya dari mereka, dan ternyata yang terpanjang tanganya
adalah Zainab binti Jahsy istri Nabi Shalallahu `alaihi wa Sallam, sebab ia selalu
bekerja dengan tangannya dan banyak memberi shadaqah..

Aisyah Dalam Pandangan Ulama

Tidak diragukan lagi, bahwa seorang wanita tabiin seperti Aisyah binti Thalhah yang
tumbuh dalam keluarga besar Rasulullah Shalallahu `alaihi wa Sallam, jika kemudian
menjadi tokoh wanita dalam ilmu, kedudukan dan kejujurannya. Karenanya banyak
ulama dan tokoh-tokoh besar yang mengenal riwayat hadits dan memiliki
pengalaman dengan ilmu-ilmunya memberikan pujian dan apresiasi yang positif.
Cukup baginya sebagai kebanggaan tatkala seorang Imam Jarh dan Ta’dil, tokoh
ilmu hadits dan imam bagi para ahli-hadits di jamannya Yahya bin Ma’yan
memasukkannya dalam golongan perawi yang tsiqat dan hadits-haditsnya dijadikan
sebagai hujjah (sandaran argumentasi hukum), dia mengatakan, “perawi yang tsiqat
dari kalangan wanita adalah Aisyah binti Thalhah, ia seorang rawi yang tsiqah dan
haditsnya sebagai hujjah.”

Sementara itu, Abu Zar’ah ad-Dimasyqi memberikan pujian, dan menuturkan


keutamaan dan kedudukannya dengan mengatakan, “Aisyah binti Thalhah adalah
seorang wanita mulia yang meriwayatkan hadits dari Aisyah Ummul-Mukminin, dan
banyak orang yang meriwayatkan hadits darinya karena kedudukan dan adabnya.”

Dalam komentar pujian terhadapnya, al-`Ajli mengatakan, “Aisyah binti Thalhah


seorang wanita yang berpikiran positif, seorang tabiin dan tsiqah.”

Begitu juga dalam kitab `ats-Tsiqat’ Ibnu Hibban memasukkan namanya dan
memberikan pujian kepadanya..

Dan dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, Imam Ibnu Katsir mengutip pernyataan
dari gurunya al-Mazziy, “Tidak ada dalam golongan perempuan yang lebih pandai
dari murid-murid perempuan dari Aisyah Ummul-Mukminin, mereka adalah Amrah
binti Abdur-Rahman, Hafshah binti Sirin dan Aisyah binti Thalhah.”

Kehormatan Bagi Aisyah

Aisyah binti Thalhah menghabiskan banyak waktunya untuk berdzikir, lidahnya tidak
lelah untuk melantunkan tasbih di pagi dan sore hari, menjadikan jiwanya bersih
dengan kejernihan yang menjadikannya istimewa diantara anak-anak perempuan
Thalhah, ini dilakukan dalam rangka menunaikan suatu hal penting yang dilihatnya
dalam mimpi.

Banyak literatur menyebutkan dengan merangkum semuanya, bahwasanya Aisyah


melihat ayahnya dalam mimpi setelah tigapuluh sekian tahun wafatnya sang ayah,
dalam mimpinya sang ayah berkata kepadanya,
“Wahai putriku, keluarkanlah aku dari air yang menyakitiku ini, sesungguhnya air
rembesan ini sangat menggangguku.”
maka saat terjaga dari tidurnya, ia mengumpulkan teman-temannya kemudian
bergegas menaiki kudanya bersama letihnya menuju kuburan sang ayah lalu
menggalinya, lalu ia mendapatinya seperti sediakala saat dikuburkan, tidak berubah
sehelai rambutpun, sisi badannya berona hijau seperti bilur air yang mengalir
padanya. Pembongkaran itu dipimpin oleh Abdur-Tahman bin Salamah al-Taimi,
kemudian ia melipatkan beberapa lipat kain padanya. Sementara Aisyah binti
Thalhah membeli sebidang tanah dari Abu Bakarah di Bashrah lalu menguburkan
ayahnya disana, dan kemudian membangun masjid di sampingnya. Sementara ada
seorang wanita Bashrah datang membawa botol berisi air kembang lalu
menuangkannya di atas kubur itu hingga habis. Dan wanita-wanita yang lainnya
melakukan hal ini hingga tanah kubur itu menjadi berbau harum dan wangi. Kuburan
itu sangat terkenal di sana.

Bersama Mushab Bin Az Zubair

Setelah suaminya Abdullah bin Abdur-Rahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq meninggal
dunia, ia dinikahi oleh pemimpin Iraq saat itu, Mush’ab bin az-Zubair al-Qurasyi al-
Asadi, ia seorang ksatria pemberani, tampan dan menarik, tentang sifat-sifatnya
seperti yang digambarkan oleh Ubaidillah bin Qays ar-Ruqayyat:
Sungguh, Mush’ab adalah macan dari Allah,
Tampak dari wajahnya ketegasan
Singgasananya adalah singgasana kemuliaan,
Tanpa kemewahan dan keangkuhan
Senantiasa bertaqwa kepada Allah dalam segala urusan
Sungguh beruntung orang yang mencita-citakan ketaqwaan.
Sebelumnya Mush’ab mengidamkan dapat menikahi Aisyah binti Thalhah,
perempuan cerdas nan cantik dari Quraisy ini, untuk hal ini ada kisahnya yang lucu
namun juga mengharukan, dan sekaligus menunjukkan cita-cita yang tinggi.

Dalam sebuah kelompok pertemuan di pelataran Ka’bah, terkumpul Abdullah,


Mush’ab, Urwah bin az-Zubair serta Abdullah bin Umar, dan menurut sebuah versi
riwayat Abdul-Malik bin Marwan. Mush’ab berkata kepada mereka, “berharaplah
kalian!!.” maka mereka mengatakan, “Mulailah kamu dahulu!.”

Maka ia mengatakan, “Kekuasaan di Iraq dan pernikahan dengan Sukainah binti al-
Husain serta Aisyah binti Thalhah bin Ubaidillah.” Maka ia mendapatkan semuanya
dan ia memberikan maskwin pada masing-masing keduanya sebanyak 500.000
dirham serta menyiapkan semua pakaian dan perhiasan seperti lainnya.

Sedangkan Urwah bin az-Zubair berharap ilmu fiqih dan dapat mengahal hadits,
maka ia mendapatkan harapannya itu.

Sementara Abdul-Malik bin Marwan mengharap kepemimpin khalifah, dan ia


mendapatkannya. Lalu Abdullah bin Umar mengharap surga, dan semoga Allah
mengampuninya.

Mush’ab benar menikahi Aisyah, seorang wanita tercantik dan terdepan di jamannya,
sampai wanita-wanita cantik di masanya mengakui kecantikannya dan memberikan
komentar manis seputar dirinya. Ini adalah pengakuan besar bagi Aisyah. Sebab
hanya wanita yang lebih memahami wanita dan lebih jeli dengan rahasia-rahasia
kecantikan yang tersembunyi daripada laki-laki.

Beberapa Cerita Lucu

Dari beberapa cerita tentang Aisyah ini, terkesan bahwa ia agak bersikap keras
dalam batasan tertentu terhadap suaminya, Mush’ab. Terkadang ia bertengkar
dengannya. Dan pada sisi ini terdapat cerita dan peristiwa yang lucu.

Diceritakan bahwa suatu ketika ia marah kepada Mush’ab, padahal ia sangat


dicintainya. Maka Mush’ab mengeluhkan hal ini kepada Asy’ab. Maka ia berkata,
“Apa yang akan aku dapatkan jika ia mau kembali?.”

Mush’ab menjawab, “Terserah engkau!.”

Asy’ab berkata, “sepuluh ribu dirham.”

Mush’ab menjawab, “Setuju.”

Maka Asy’ab bergegas pergi menemui Aisyah, lalu berkata, “Aku bertaruh untuk
menjadi penjaminmu!, ini sebuah kesempatan yang terhampar untukku sekiranya
engkau memenuhi hakku dan terima kasihku untukmu.”

Aisyah bertanya, “Apa keperluanmu wahai Asy’ab.” Ia menjawab, “baginda (gubernur)


menjanjikanku uang sepuluh ribu dirham seandainya engkau mau kembali
kepadanya.” Aisyah menjawab, “Sialan, dia tidak akan mendapatkan diriku dengan
upaya seperti ini.”

Asy’ab terus membujuknya, “sungguh saya mohon, relakanlah dan kembalilah


padanya sampai ia memberiku uang itu, kemudian kembalilah pada keburukan
akhlak yang telag engkau biasakan ini!.”
Maka Aisyah tertawa dan kembali kepada Mush’ab.

Pada cerita yang lain tentang sisi kepribadiannya, ia termasuk orang yang sering
membanggakan diri, banyak bersikap manja pada suaminya, sikap ini terkadang
berlanjut hingga sampai pada batas yang berlebihan. Suatu ketika Mush’ab datang
kepadanya saat ia sedang tidur di pagi hari. Ia membawakan butiran-butiran berlian
yang nilainya mencapai duapuluh ribu dinar, ia menyebarkan berlian-berlian itu di
pangkuan istrinya. Maka Aisyah berkata kepada suaminya, “Tidurku ini lebih aku
senangi daripada berlian-berlian ini”. Suatu ketika Mush’ab mengeluhkan seringnya
sang istri membanggakan diri kepada Abdullah bin Abi Farwah, sekeretarisnya.

Barangkali ia menemukan jalan keluar dan solusi bagi sikap berlebihan Aisyah dalam
kemanjaan dan ke-ngambek-annya.

Ia berkata kepadanya, “Apakah engkau mengijinkanku untuk membuat alibi?.”

Mush’ab menjawab, “Ya, lakukan yang engkau inginkan, sebab ia adalah kemewahan
dunia terindah yang aku dapatkan.” Maka Ibnu Abi Farwah mendatangi Aisyah
malam hari, lalu ia meminta ijin masuk. Aisyah berkata, “Waktu selarut ini?”

Ia menjawab, “Ya.” maka Aisyah terkejut karena takut sebab ia datang bersama dua
orang yang besar dan hitam kulitnya.

Pembantu Aisyah bertanya, “Apa keperluanmu?”

Ia menjawab, “petaka bagi tuamu Aisyah.”

Ia bertanya, “Ada apa dengannya?”

Ia menjawab, “Si penjahat yang gemar membantai orang ini menyuruhku untuk
membuat sumur, lalu aku kuburkan Aisyah di dalamnya hidup-hidup, padahal saya
sudah berusaha untuk menghindar dari tugas ini lalu ia mengancam akan
membunuhku.”

Ia berkata, “lepaskan aku agar dapat menemuinya.”

Ia menjawab dengan suara keras dan tegas, “Tidak mungkin, engkau tidak ada
kesempatan lagi.” Kemudian ia berkata kepada kedua orang hitam itu dengan nada
yang sangat tegas, “Buatlah galian!”

Maka Aisyah langsung menangis, ia melihat kesungguhan pada sekretaris suaminya


ini, lalu ia berkata, “Wahai Ibnu Abi Farwah, engkau sungguh akan membunuhku?”
Ia menjawab, “Tidak ada pilihan lain, meski saya yakin Allah akan membalasnya
sesudah kematianmu, akan tetapi sungguh ia telah marah dengan semarah-
marahnya.”

Aisyah berkata, “perlakuan diriku yang manakah yang membuatnya marah?”

Ia menjawab, “Penolakanmu terhadapnya, ia mengira engkau telah benci padanya,


dan engkau telah mulai berpaling pada laki-laki selain dirinya, sehingga ia sekarang
menjadi gila.”

Aisyah berkata, “Saya berjanji kepada Allah untuk tidak mengulanginya lagi.”

Ia menjawab, “Saya khawatir ia akan membunuhku.”

Maka Aisyah beserta pembantu-pembantunya menangis, Ibnu Abi Farwah melihat


hal ini dan merasakan tuan putrinya ini mulai tenang, ia berkata kepadanya, “Saya
berempati dengan keadaanmu sekarang, lalu apa yang harus saya katakan kepada
Mush’ab?.” ia menjawab, “sebuah jaminan dariku bahwasanya aku tidak akan
mengulangi perselisihan dengannya lagi selamanya.”

Ibnu Abi Farwah berkata, “Berikanlah bukti-bukti tentang hal itu kepadaku!.” maka ia-
pun memberikannya, lalu ia berkata kepada kedua orang yang hitam itu, “kembalilah
ke asal kamu sekarang.”

Kemudian Ibnu Abi Farwah mendatangi Mush’ab untuk memberitahukan semua


yang terjadi, maka Mush’ab berkata kepadanya, “Mintalah komitmen darinya dengan
bersumpah.” Ia-pun bergegas pergi menemui Aisyah, “Sesungguhnya Mush’ab sudah
mulai melunak sedikit, bersumpahlah kepadaku kiranya engkau tidak akan
mengulanginya.”

Maka Aisyah bersumpah dan berkomitmen padanya, serta berbuat baik kepada
Mush’ab berkat pelajaran langka dan luar-biasa itu.

Setelah Mushab

Setelah meninggalnya Mush’ab, Aisyah menikah lagi dengan Umar bin Ubaidillah bin
Ma’mar at-Taimi, ia tinggal bersamanya selama delapan tahun, dan suaminya ini
meninggal tahun 82 H, lalu ia menangis dengan berdiri. Menurut kebiasaan bangsa
Arab, apabila seorang wanita menangisi suaminya yang mati dengan berdiri, maka
mereka mengetahui bahwa sang istri tidak akan menikah lagi sesudahnya.
Dan setelah menjanda, ia tinggal di Makkah selama setahun, di Madinah selama
setahun, lalu ia keluar untuk keperluan bisnisnya ke Thaif sekaligus mengurus
kehidupannya sendiri. Pada saat kehidupan di Thaif ini banyak sekali cerita bersama
para penyair, ini menunjukkan kejelian pemahamannya serta kebaikan ide dan
semangat bersastra.

Cerita Tentang Kedudukan dan Kebanggaannya

Aisyah binti Thalhah hidup dalam gelimang kekayaan, ia sangat suka melihat jejak
kenikmatan yang Allah berikan kepadanya. Diceritakan saat ia hendak menunaikan
ibadah haji ia membawa barang-barang mewah yang ia perlukan, semua
kebutuhannya itu diangkut oleh enam puluh kuda raja lengkap dengan tandu
diatasnya serta muatannya. Urwah bin az-Zubair –satu dari ahli-fiqih Tabiin yang
berjumlah tujuh mengatakan,
Hidup, wahai pemilik enampuluh kuda, Apakah setiap tahun seperti ini engkau
menunaikan ibadah haji?
Sifat-sifat ini menjadikan Aisyah bangga pada lainnya dengan nikmat yang telah
Allah berikan kepadanya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Disebutkan
bahwa ia berhaji bersama madu-nya Sukainah binti al-Husain, dan Aisyah lebih baik
dalam penampilan dan perbekalan, lalu penuntun kudanya menirukan perkataan
Urwah bin az- Zubair tadi,Hidup, wahai pemilik enampuluh kuda, Apakah setiap tahun
seperti ini engkau menunaikan ibadah haji?
Ungkapan ini terdengar kurang menyenangkan di hati Sukainah, maka penuntun
kudanya berkata,
Hidup, inilah madumu yang meragukanmu, Seandainya bukan karena kakeknya,
niscaya kakekmu tidak akan mendapatkan Hidayah,
Maka Aisyah memerintahkan penuntun kudanya untuk diam, maka ia-pun diam
sebagai bentuk penghormatan kepada Sukainah.

Tampak pada cerita-cerita tentang Aisyah bahwa superioritas dan sikap


membanggakan diri menjadi karakternya, pernah ia membanggakan ibunya, seperti
yang diceritakan kembali oleh Ishaq bin Thalhah –saudara seayah- berkata,
“Suatu ketika saya berkunjung kepada Ummul-mukminin Aisyah Radhiyallahu `Anha
dan sana ada Aisyah binti Thalhah, ia berkata kepada ibunya –Ummu Kultsum binti
Abu Bakar, “Saya lebih baik darimu, dan ayahku lebih baik dari ayahmu.”

Sang ibu lalu terheran dengannya dan berkata, “engkau lebih baik dariku?” lalu
Aisyah Ummul-Mukminin berkata, “Tidakkah sebaiknya aku menjadi penengah untuk
kalian berdua?” mereka berdua menjawab, “Ya.”
Aisyah –Ummul-mukminin berkata, “Suatu ketika Abu Bakar datang menemui
Rasulullah Shalallahu `alaihi wa Sallam, lalu beliau bersabda, “engkau wahai Abu
Bakar adalah `Atiiqullah (orang yang Allah halangi) dari neraka.” maka siapa
gerangan setelah itu yang mendapat julukan `Atiiq.

Kemudian Thalah bin Ubaidillah masuk, lalu ia berkata,


“Engkau wahai Thalhah, adalah termasuk orang yang meneruskan perjalanannya.”

Pengetahuan dan Ilmunya

Sedikit sekali kita temukan wanita yang diberikan limpahan harta-kekayaan, dan
diberikan kecantikan yang menawan masih mempunyai perhatian yang besar pada
ilmu dan pengetahuan, selain Aisyah binti Thalhah dan wanita-wanita yang berada
dalam tingkatannya yang sangat berbeda dengan kebanyakan wanita yang sering
sibuk dengan dandanan, perhiasan dan aksesoris dari segala sesuatu.

Aisyah adalah seorang yang cerdas dan pandai, juga berani mengungkapkan ide,
memiliki keluasan pengetahuan yang beraneka-ragam. Termasuk cerita yang
memberikan kesaksian tentang ilmu dan keberaniannya dalam mengatakan
kebenaran, sebagaimana yang diriwayatkan bahwasanya ia pergi dalam rombongan
Hisyam bin Abdul-Malik menuju ke Damascus. Hisyam berkata kepadanya,
“Apa yang membuatmu pergi wahai Aisyah??.”

ia menjawab, “karena langit menahan hujannya, dan sang raja menghalangi


kebenaran.”

Hisyam berkata, “saya akan mengubungkan kerabatmu, dan saya mengetahui hak-
hakmu.”

Kemudian ia mengirimkan utusan kepada pembesar-pembesar Bani Umayyah dan


berpesan, “Bahwasanya Aisyah binti Thalhah al-Taimiyyah berada padaku, maka
pergilah secara diam-diam ke sini malam hari.” dan ternyat benar mereka datang,
maka tidak ada sesuatu yang mereka perbincangkan tentang cerita-cerita dan syair
Arab serta peristiwa yang terjadi kecuali Aisyah ikut dalam perbincangan itu
bersama mereka, dan tidak ada bintang kemintang dan rasi yang muncul kecuali ia
dapat menamainya. Lalu Hisyam berkata kepadanya dengan kagum, “Adapun yang
pertama –tentang cerota dan syair Arab saya tidak mengingkarinya; namin tentang
perbintangan, dari manakah engkau mendapatkannya?.”

Ia menjawab, “Saya belajar dari bibiku Aisyah Ummul Mukminin,.” maka Hisyam
memberikan hadiah kepadanya sebanyak 100.000 dirham dan mengembalikan
Aisyah ke Madinah secara baik, mulia dan terhormat.

Aisyah senantiasa menjadi wanita langka di jamannya, dengan kisah yang penuh
kebaikan dan keindahan, langkah dan etika, kehormatan dan keilmuan hingga wafat
pada tahun 101 H.

Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada Aisyah binti Thalhah, dan


memejamkan kedua-matanya dengan penuh kenikmatan.

Sumber :
- Dari kitab Tarikh Dimasyq hal.209 dan 210.
- Tarikh Dimasyq, hal.207. Nawadir al-Makhthuthat jilid 1 hal 70, dan Taqrib at-
Tahdzib jilid 2 hal. 606.
- Lihat Jamharatu Ansabi al-`Arab, Ibnu Hazm jilid 1 hal 137.
- al-Qashshab, Abu Abdullah al-Hammani, budak mereka yang berasal dari Kufah,
seorang Tabiiy, ia meriwayatkan hadits dari Mujahid, Said bin Jubair, Aisyah binti
Thalhah, Ummu ad-Darda, dan juga banyak tokoh-tokoh Tabiin yang meriwayatkan
hadits darinya. Ia dikenal tsiqah, sedikit riwayatnya, sekitar 15 hadits. Menurut
pendapat Ibnu Ma’yandan an-Nasai, “ia orang yang tsiqah”, sedangkan menurut
Imam Ahmad, “Ia adalah seorang Syaikh yang tsiqah” wafat pada tahun 142 H. di
ringkas dari Tahdzib at-Tahdzib jilid 2 hal 188, dan Taqrib at-Tahdzib jilid 1 hal 150.

Daftar nama anak Thalhah bin Ubaidillah:


Sahabat Thalhah mempunyai beberapa istri dan sebelas orang anak laki-lakinya [2] yang
diambil namanya dari nama-nama para nabi, antara lain:
1. Muhammad bin Thalhah As-Sajjad, ibunya Hamnah binti Jahsy
2. Imran bin Thalhah, ibunya Hamnah binti Jahsy
3. Musa bin Thalhah, ibunya Khaulah binti Al-Qa'qa'
4. Ya'qub bin Thalhah, ibunya Ummu Abban binti Utbah
5. Ismail bin Thalhah, ibunya Ummu Abban binti Utbah
6. Ishaq bin Thalhah, ibunya Ummu Abban binti Utbah
7. Zakariya bin Thalhah, ibunya Ummu Kultsum binti Abu Bakar Ash-Shiddiq
8. Yusuf bin Thalhah, ibunya Ummu Kultsum binti Abu Bakar Ash-Shiddiq
9. Yahya bin Thalhah, ibunya Su'dah binti Auf
10. Isa bin Thalhah, ibunya Su'dah binti Auf
11. Shalih bin Thalhah, ibunya Far'ah binti 'Ali
12. Aisyah binti Thalhah, ibunya Ummu Kultsum binti Abu Bakar Ash-Shiddiq
13. Ummu Ishaq binti Thalhah, ibunya Ummul Harits binti Qasamah
14. Shu'bah binti Thalhah
15. Maryam binti Thalhah, ibunya Qaribah binti Abu Umayyah saudarinya, Ummu
Salamah.
Thalhah mengikuti Perang Uhud dan menderita luka parah yang luar biasa. Dia menggunakan
dirinya menjadi perisai bagi Nabi Muhammad dan mengalihkan panah yang akan menancap
diri Rasulullah dengan tangannya sehingga semua jari-jarinya terputus. Ia akhirnya
meninggal akibat terpanah pada Perang Jamal. Dan dimakamkan di Basra, Irak.

1.2 KELUARGA
Thalhah menikah dengan Su'da binti Auf. Thalhah dikaruniai 14 orang putera
dan puteri, yaitu: Muhammad As Sajjad, Imran, Isa, Ismail, Ishak, yaakub,
Musa, Zkaria, Yusuf, Yahya, Aisyah (Istri Mush'ab bin Zubair bin Awwam),
Ummu Ishak (Istri Hasan bin Ali), Sha'bah, Maryam.

1.3 WAFAT
Thalhah bin Ubaidillah RA wafat pada 36 hijriyah atau sekitar tahun 656
masehi.

Berkat perjuangannya, Thalhah dianggap masih hidup bersama dengan orang-orang


yang berjuang di Bumi
Atas keridhoannya dalam melindungi Rasulullah dan telah berani menghadang musuh di
jalan Allah, Thalhah menjadi satu dari 10 sahabat Nabi Muhammad yang dijanjikan Allah
untuk masuk surga setelah Rasulullah menyebut nama Ali bin Abi Thalib sebagai ahli surga
sebelum dirinya.
Thalhah syahid pada usia enam puluh tahun dalam berita perang Jamal, wafatnya terjadi
sewaktu pertempuran "Aljamal," Thalhah (di pihak lain) bertemu dengan Ali bin Abi Thalib
dan Ali memperingatkan agar ia mundur ke barisan paling belakang.
Sebuah panah mengenai betisnya, maka dia segera dipindahkan ke Basra dan tak berapa lama
kemudian ia wafat karena lukanya yang cukup dalam.
Rasulullah pernah berkata kepada para sahabat, "Orang ini termasuk yang gugur dan barang
siapa senang melihat seorang syahid berjalan diatas Bumi maka lihatlah Thalhah. Hal itu juga
dikatakan Allah dalam firman-Nya: "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang -orang
yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang
gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak
merubah janjinya." (Al-Ahzaab: 23)
Ada pula sumber lain yang memberikan keterangan bahwa Thalhah wafat pada hari Khamis
10 Jamadil Akhir 36 H. Ada pula yang mengatakan bahwa ada sebatang anak panah dari arah
barat yang mencucuk di lehernya. Lalu Thalhah berkata, ”Bismillah, sesungguhnya takdir
Allah adalah sesuatu yang telah ditetapkan.”
VIVA – Perang Jamal adalah perang yang terjadi di Basra, Irak pada tahun 656 masehi,
antara pasukan yang berpihak pada Ali bin Abi Thalib (sepupu dan menantu dari Nabi
Muhammad) dan pasukan yang berpihak kepada Aisyah, Istri dari nabi Muhammad, yang
menginginkan keadilan atas terbunuhnya khalifah terdahulu yaitu Utsman bin Affan.
Setelah berbaiat atas kekhalifahan Ali bin Abi Talib, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin
Awwam pergi ke Mekkah dan bertemu dengan Aisyah untuk meminta pertanggung jawaban
kematian Utsman bin Affan. Kemudian Ya’la bin Munyah dari Basra dan Abdullah bin Amir
dari Kufah turut bergabung. Akhirnya mereka sepakat untuk berangkat ke Basra beserta 700
orang lainnya untuk mencari pembunuh Utsman bin Affan.
Sesampainya di Basra mereka menemui Gubernur Basra yaitu Utsman bin Hunaif dan
menahan pergerakan pasukan ini berharap mereka mau menunggu kedatangan Ali dari
Madinah. Tetapi karena provokasi salah seorang khawarij yang bernama Jalabah, peperangan
antara Utsman bin Hunaif dan pasukan Aisyah tidak terbendung. Yang mengakibatkan
terbunuhnya Utsman bin Hunaif. Ali pun baru mendengar kematian gubernurnya saat di
Kufah. Di sini dia mengumpulkan pasukan hingga berjumlah 10.000 pasukan.
Sejarah Perang Jamal Dalam sejarah perkembangan agama Islam yang dikutip dari buku
Sejarah & peradaban Islam, Moh Nurhakim (2003:51), salah satu peristiwa penting adalah
Perang Jamal. Pada saat perang terjadi, istri Nabi SAW, yakni Aisyah menjadi pemimpin
perang. Perang Jamal disebut juga Perang Unta, yang terjadi antar kaum muslimin untuk
pertama kalinya. Lebih dari 500.000 orang telah gugur baik di pihak Ali bin Abi Thalib
maupun pihak Aisyah. Perang yang terjadi karena gugurnya Utsman ini membuat pihak
Aisyah menuntut terhadap Ali bin Abi Thalib, namun sayangnya pihak Ali tak bisa
mengabulkan tuntutan dari pihak Aisyah karena alasan berikut:
Tugas utama Ali adalah menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan oleh
Utsman kepada kaum kerabatnya menjadi milik Tugas Ali bukan untuk mengusut kematian
Utsman. Menghukum pembunuh bukanlah perkara yang mudah, karena situasi politik yang
sangat kacau.
Kronologi terjadinya perang Jamal adalah sebagai berikut: Khalifah Ali ingin melakukan
kompromi kepada Thalhah dan yang lainnya agar tak pecah pertikaian, namun kesepakatan
sulit tercapai, sehingga perang pun terjadi. Aisyah maju dan memberi Mushaf kepada Ka'ab
bin Sur Qadhi Bashrah dan berkata, "Ajaklah mereka kepada Kitabullah!" Ka'ab bin Sur pun
maju dengan membawa Mushaf dan mengajak mereka kepadanya, dan disambut pasukan
Kufah.
Abdullah bin Saba' dan para pengikutnya yang berada di depan pasukan membunuh siapa
saja dari pasukan Bashrah , saat Ka'ab bin Sur mengangkat mushaf mereka menghujaninya
dengan anak panah hingga ia tewas. Aisyah dihujani anak panah namun ia tak mundur dan
terus mendesak pasukan ke arah khalifah Ali. Banyak sekali pasukan yang gugur Aisyah
terus mendesak maju dan mengejar pembunuh Utsman, sampai akhirnya unta yang
dinaikinya tertebas kakinya. Unta tersebut roboh ke tanah dan ditebas kakinya adalah dengan
tujuan agar Aisyah tak terkena anak panah, dan agar ia bisa keluar dari medan pertempuran.
Setelah unta itu roboh, pasukan Aisyah banyak yang menarik diri, dan akhirnya Aisyah
meminta perjanjian damai.
Terjadinya Perang Jamal Bagi mereka, persoalan qishash terhadap pembunuh Utsman harus
segera diselesaikan, sebab khawatir kejadian serupa akan terulang kembali di masa yang akan
datang. Ali sebenarnya paham dan memaklumi tuntutan para sahabat itu. Namun, saat itu Ali
berada dalam posisi terjepit sehingga qishash pun ditangguhkan. Ali kelihatannya ingin
membentuk kekuatan terlebih dahulu dari kalangan kaum muslim, terutama dari para
pembesar sahabat. Jika itu sudah terbentuk, maka kekuatan hukum untuk mengusut tuntas
siapa pembunuh khalifah Utsman akan dapat dilaksanakan dengan lancar.
Bagi Ali, persoalan qishash baru dapat ditegakkan manakala situasi politik sudah tenang dan
kaum muslimin sudah bersatu pada dalam satu pemerintahan yang kokoh. Kemudian ada
pengaduan dan tuntutan dari pihak keluarga yang jadi ahli waris Utsman. Sebab, pembunuhan
Khalifah Utsman bukanlah kriminal biasa melainkan tragedi politik yang tidak terbayangkan
sebelumnya. Lagi pula jumlah pembunuh Utsman yang sebenarnya belum diketahui secara
pasti, sementara para pendukung yang terlibat di dalamnya datang dari berbagai kabilah dan
suku yang berbeda. Sangat rawan bagi Ali dan bagi keutuhan umat jika ia ceroboh
menetapkan qishash kepada para tersangka tanpa menunggu situasi yang tepat.
Banyak Korban Syahid Berguguran Pada hari Kamis pertengahan bulan Jumadil Akhir,
Perang Jamal meletus. Sebelum pertempuran dimulai, Sahabat Ali membacakan salah satu
mushaf dan berharap perang tidak jadi dilakukan. Namun, pihak Aisyah tidak mau
mendengarkannya. Salah seorang sahabat Ali bin Abi Thalib justru terbunuh, dan pasukannya
juga dihujani menggunakan anak panah. Akhirnya Ali mengatakan kepada pasukannya
bahwa perang sudah boleh dilakukan dengan beberapa ketentuan. Mereka tidak boleh
menyerang terlebih dahulu, tidak boleh membunuh yang terluka, tidak boleh melukai anak-
anak dan wanita, serta ketentuan lainnya.
Sedangkan Aisyah telah siap di atas unta dengan pakaian besi yang lengkap. Ibnu Katsir
menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu orang dari kedua belah pihak perang Jamal menjadi
korban.
Abu Khatsamah dari Wahab bin Jarir meriwayatkan bahwa jumlah pasukan Basrah yang
terbunuh mencapai 2500 orang. Sedangkan riwayat lain menyebutkan bahwa jumlah korban
dalam Perang Jamal berkisar antara 2500 – 6000 orang.
Di sisi lainnya lagi, pasukan Ali ibn Abi Thalib RA kehilangan 400 – 600 sebagai korban.
Bahkan dua tokoh sahabat, Thalhah dan Zubeir yang oleh Rasulullah SAW dijamin masuk
surga, meninggal dunia.
Thalhah mendapatkan serangan anak panah di kakinya. Ia dirawat di salah satu rumah warga
di Basra karena mengalami pendarahan yang hebat. Akhirnya Thalhah meninggal karena
telah kehabisan banyak darah. Sementara Zubair melarikan diri dengan kembali ke Madinah
setelah perang Jamal selesai. Namun, Amru bin Jurmuz yang mengetahui bahwa Zubair
melarikan diri mengikutinya kembali ke Madinah. Amru pun membunuh Zubair di tengah
perjalanan. Akhir Perang Jamal Perang itu sendiri dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib.
Ali beserta pengikutnya kemudian mengurusi para korban, menyolati, dan menguburkannya.
Ketika itu, Aisyah segera turun dari pelana unta setelah perang selesai. Ia pun dibuatkan
tenda di sekitar tempat peperangan. Usai tinggal di Basra selama beberapa hari, Ali
memulangkan Aisyah ke Madinah dengan penuh penghormatan.
Perang Jamal yang terjadi membuka mata Aisyah karena banyak provokator yang sengaja
menyelendup baik ke pihak Ali maupun Aisyah hingga perang tak terelakkan. Sejak kejadian
tersebut, Aisyah menghabiskan umurnya untuk beribadah dan mengajarkan hadits kepada
para penuntut ilmu di Madinah. Ia menjauhkan diri dari hiruk pikuk percaturan politik yang
terus bergejolak sampai akhir hayatnya. Ia juga banyak merenung dan menyesali
perbuatannya karena ikut terlibat dalam peperangan. Adapun dampak dari perang Jamal,
yaitu banyaknya korban syahid yang berjatuhan dan kerugian materil lainnya. Padahal,
seharusnya perang ini dapat dihindari, tetapi karena adanya provokasi, perang Jamal terjadi.

Artikel ini sudah tayang di VIVA.co.id pada hari Rabu, 6 April 2022 - 22:16 WIB
Judul Artikel : Kisah Perang Jamal dalam Perkembangan Sejarah Islam
Link Artikel : https://www.viva.co.id/edukasi/1464168-perang-jamal
Oleh : Nuvola Gloria
Perang Unta: Syahidnya Dua Sahabat Nabi, Thalhah dan Zubair Miftah H. Yusufpati Jum'at,
29 Januari 2021 - 14:57 WIB views: 11.559 Ilustrasi/Ist A A A
SEKALIPUN sebenarnya peperangan sudah tak dapat dihindarkan lagi, namun Ali bin Abu
Thalib r.a. masih tetap berusaha untuk dapat mencegah berkobarnya peperangan sesama
muslimin. Ia teringat kenangan lama yang indah, ketika bersama Thalhah dan Zubair
berjuang bahu membahu menegakkan Islam di bawah pimpinan Rasulullah SAW .
Buku " Sejarah Hidup Imam Ali ra " karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini mengungkapkan
Ali bin Abu Thalib r.a. berusaha bertemu muka dengan dua tokoh bekas sahabatnya, yang
saat itu telah mengangkat senjata untuk menentangnya. Pada pertemuan muka dengan
Thalhah, Ali bin Abu Thalib r.a. berkata: "Sahabatku Thalhah! Engkau menyimpan isterimu
sendiri di rumahmu, tetapi engkau datang ke tempat ini membawa isteri Rasulullah SAW
Dengan mempergunakan diakah engkau berperang?"
Pertanyaan Ali bin Abu Thalib r.a. ini nampaknya sangat mengenai hati Thalhah. Ia tak bisa
menjawabnya sama sekali dan hanya dapat menundukkan kepala untuk kemudian pelan-pelan
menarik diri dari barisan yang dipimpinnya.
Ketika Marwan bin Al-Hakam melihat Thalhah memisahkan diri dari pasukan dan
meninggalkan medan pertempuran (ia tergabung dalam pasukan Thalhah), segera mengikuti
sambil berkata: "Demi Allah, aku tak akan melepaskan tekadku untuk menebus darah
Utsman. Aku tidak akan membiarkan dia (Thalhah) lolos. Akan kubunuh dia, karena dia juga
turut membunuh Utsman!"
Beberapa saat kemudian ia membidikkan anak panahnya ke arah Thalhah. Ketika anak panah
itu lepas dari busurnya, lambung Thalhah menjadi sasaran. Gugurlah salah seorang sahabat
Rasulullah SAW tertembus panah yang dilepaskan oleh anggota pasukannya sendiri.
Menoleh ke belakang, Thalhah dikenal sebagai orang yang jujur dan teguh pendirian. Sejak
awal keislamannya, ia juga tak pernah ingkar janji dan dermawan. Pernah dia membawa
pulang keuntungan dagang sebesar 700.000 dirham. Ia membagikan uang tersebut kepada
fakir miskin Anshar dan Muhajirin keesokan harinya.
Ia tak merasa berhak memegang harta sebanyak itu meski itu adalah hasil keuntungan
dagangnya. Pantas jika Rasulullah memberinya gelar Thalhah Al-Jaud (Thalhah yang
pemurah) dan Thalhah Al-Fayyadh (atau Thalhah yang dermawan).
Thalhah bin Ubaidillah syahid pada usia 60 tahun dalam peristiwa tersebut akibat luka yang
cukup dalam di kakinya. Thalhah menjadi salah satu orang yang dijamin Rasulullah SAW
masuk surga bersama 9 sahabat lainnya. Nasib Zubair Sementara itu ketika Ali bin Abu
Thalib r.a. berhasil bertemu muka dengan Zubair, ia bertanya: "Hai Abdullah, apakah yang
mendorongmu sampai datang ke tempat ini?"
"Untuk menuntut balas atas kematian Utsman," jawab Zubair dengan terus terang.
"Engkau menuntut balas atas kematian Utsman?" tanya Ali bin Abu Thalib r.a. menanggapi
jawaban Zubair tadi. "Allah mengutuk orang yang membunuhnya! Hai Zubair, engkau
kuingatkan. Ingatkah dahulu ketika engkau berjalan bersama Rasulullah SAW waktu itu
beliau bertopang pada tanganmu, melewati aku, kemudian beliau tersenyum padaku, lalu
menoleh kepadamu sambil berkata: 'Hai Zubair, engkau kelak akan memerangi Ali secara
zalim!'"
"Oh, ya," jawab Zubair, setelah beberapa saat mengingat-ingat.
"Mengapa engkau sekarang memerangi aku?" tanya Ali bin Abu Thalib r.a. pula.
"Demi Allah," sahut Zubair, "aku lupa. Seandainya aku ingat aku tidak akan keluar untuk
memerangimu."
Selesai mengucapkan kata-kata itu, Zubair cepat-cepat keluar meninggalkan pasukan dengan
air mata membasahi pipi. Tetapi malang bagi Zubair. Salah seorang anggota pasukan Ali bin
Abu Thalib yang bernama Ammar bin Jarmuz ketika melihat Zubair terpisah dari
pasukannya, segera diikuti dan kemudian dibunuh.
Cerita lain menuturkan, pada saat genting Ali bin Abu Thalib mengingatkan Zubair, “Wahai
Zubair, aku memanggilmu atas nama Allah. Tidakkah engkau ingat, suatu hari di mana
engkau lalui bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat itu kita berada di suatu
tempat, Rasulullah bertanya kepadamu, ‘Wahai Zubair, apakah engkau mencintai Ali?’ Kau
jawab, ‘Bagaimana bisa aku tidak mencintai anak dari pamanku (baik dari pihak ayah
ataupun ibu) dan dia seagama denganku’. Beliau melanjutkan sabdanya, ‘Demi Allah wahai
Zubair, sungguh engkau akan memeranginya dan saat itu engkau berada di pihak yang
keliru’.” Zubair mengatakan, "Aku ingat sekarang, dan aku hilaf dari pesan beliau itu. Demi
Allah, aku tidak akan memerangimu.”

Setelah pergi dari perang fitnah itu, akhirnya saat sedang salat, Zubair wafat dibunuh Amr bin
Jurmuz. Si pembunuh itu pergi kepada Khalifah Ali, dengan maksud melaporkan tindakannya
terhadap Zubair, dengan dugaan bahwa kabar itu akan membuat beliau bersenang hati,
apalagi sambil menanggalkan pedang-pedang Zubair yang telah dirampasnya setelah
melakukan kejahatan tersebut . Tetapi Ali berteriak demi mengetahui bahwa di muka pintu
ada pembunuh Zubair yang minta izin masuk dan memerintahkan orang untuk mengusirnya.
"Sampaikan berita kepada pembunuh putra ibu Shafiah itu, bahwa untuknya telah disediakan
api neraka!" ujar Khalifah Ali.
Dan ketika pedang Zubair ditunjukkan kepada Sayidina Ali oleh beberapa sahabatnya, ia
mencium dan lama sekali ia menangis kemudian katanya: "Demi Allah, pedang ini sudah
banyak berjasa, digunakan oleh pemiliknya untuk melindungi Rasulullah dari marabahaya.”
Ali lalu berkata, "Selamat dan bahagia bagi Zubair dalam kematian sesudah mencapai
kejayaan hidupnya! Selamat, kemudian selamat kita ucapkan kepada pembela Rasulullah!"
Rasulullah SAW menjamin 10 sahabatnya masuk surga. Dua di antaranya adalah Thalhah
dan Zubair.

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Jum'at, 29 Januari


2021 - 14:57 WIB oleh Miftah H. Yusufpati dengan judul "Perang Unta: Syahidnya
Dua Sahabat Nabi, Thalhah dan Zubair | Halaman Lengkap". Untuk selengkapnya
kunjungi:
https://kalam.sindonews.com/read/318086/70/perang-unta-syahidnya-dua-sahabat-
nabi-thalhah-dan-zubair-1611903686?showpage=all

Untuk membaca berita lebih mudah, nyaman, dan tanpa banyak iklan, silahkan
download aplikasi SINDOnews.
- Android: https://sin.do/u/android
- iOS: https://sin.do/u/ios

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Jum'at, 29 Januari 2021 -
14:57 WIB oleh Miftah H. Yusufpati dengan judul "Perang Unta: Syahidnya Dua Sahabat
Nabi, Thalhah dan Zubair". Untuk selengkapnya kunjungi:
https://kalam.sindonews.com/read/318086/70/perang-unta-syahidnya-dua-sahabat-nabi-
thalhah-dan-zubair-1611903686

Untuk membaca berita lebih mudah, nyaman, dan tanpa banyak iklan, silahkan download
aplikasi SINDOnews.
- Android: https://sin.do/u/android
- iOS: https://sin.do/u/ios

Anda mungkin juga menyukai