Anda di halaman 1dari 6

Konflik pemegang saham merupakan permasalahan yang sering terjadi di dalam  

perusahaan,
terutama pada perusahaan besar yang terdaftar di bursa saham, baik itu berupa konflik antar
sesama pemegang saham mayoritas, antara pemegang saham mayoritas dengan  pemegang
saham minoritas, ataupun konflik antara manajemen perusahaan dengan para  pemegang
sahamnya. Permasalahan yang sering terjadi biasanya terkait dengan pelanggaran hak dari para
pemegang saham akibatb dari tidak adanya transparansi dari pihak manajemen  perusahaan,
dan yang biasanya yang selalu menjadi korban adalah para pemegang saham minoritas.
Pemegang saham minoritas yang posisinya sering terlupakan, kerap kali hak nya terabaikan
oleh perusahaan. Berikut disajikan beberapa contoh pelanggaran hak pemegang saham yang
pernah terjadi di Indonesia.
Kasus PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk
Kasus sengketa di Sumalindo cukup menarik perhatian karena melibatkan pemegang saham
mayoritas sekaligus pendiri perusahaan (Sampoerna dan Sunarko), dengan pemegang saham
minoritas (Deddy Hartawan Jamin). Konflik di Sumalindo dipicu oleh anjloknya kinerja
perusahaan, bahkan terus merugi setiap tahunnya. Padahal dalam laporan tahunan
perusahaan patungan keluarga Sampoerna dan Sunarko pada 2012, total menguasai lebih dari
840 ribu hektar hutan alam dan 73 ribu hektar Hutan Tanaman Industri (HTI). Dengan kapasitas
produksi kayu lapis hingga 1,1 juta meter kubik per tahun, Sumalindo menguasai lebih dari 30
persen pasar Indonesia dan termasuk lima besar produsen kayu di dunia. Sejak 1980-an,
keluarga Hasan Sunarko sudah malang melintang di bisnis kayu dengan bendera Hasko Group
dan PT Buana Alam Semesta. Adapun Sampoerna baru masuk ke industri hutan pada 2007
dengan mengibarkan bendera Samko Timber, Ltd di bursa Singapura. Sebagai perusahaan
raksasa pemegang hak penguasaan hutan terbesar, hal itu tentu  bukanlah sebuah hal yang
wajar. Indikator paling nyata adalah harga saham perusahaan yang  pada 2007 senilai Rp 4.800,
terjun bebas di kisaran Rp 100 pada 2012. Terkait hal tersebut, Deddy Hartawan Jamin, pemilik
336,27 juta saham atau 13,6 persen, sejak awal mempertanyakan duduk soalnya kepada
direktur utama Amir Sunarko bin Hasan Sunarko. Ketika itu, direktur utama hanya menjawab
bahwa Sumalindo merugi karena dampak krisis ekonomi 2008. Sementara upaya untuk
mendapat keterbukaan selalu kandas, bahkan di RUPS upaya ini selalu digagalkan melalui
voting, karena manajemen mendapat dukungan dari pemegang saham mayoritas / pengendali.
 
Kenyataan bahwa selalu kalah dalam voting ketika meminta audit perusahaan, Deddy Hartawan
Jamin akhirnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ada dua hal yang
dituntutnya, yakni audit terhadap pembukuan perusahaan dan audit dalam  bidang industry
kehutanan. Hasilnya, pada 9 Mei 2011 majelis hakim PN Jakarta Selatan mengabulkan
permohonan tersebut. Upaya memperjuangkan keterbukaan ini sempat mendapat halangan
dari Sumalindo dengan mengajukan kasasi di MA, namun mendapat  penolakan tahun 2012.
Selain persoalan tersebut. Deddy Hartawan Jamin merasa yakin untuk memperkarakan konflik
tersebut ke meja hijau karena adanya sejumlah temuan penting, yakni: Pertama, pada laporan
keuangan Sumalindo tercetak “Piutang Ragu
-
Ragu” tanpa ada penjelasan sedikit pun
tentang siapa yang menerima utang tersebut. Padahal selama ini laporan keuangan PT.
Sumalindo Lestari Jaya, Tbk diaudit oleh auditor Ernst & Young, belakangan diketahui  bahwa
Piutang Ragu-Ragu tersebut adalah pinjaman tanpa bunga sama sekali yang diberikan kepada
anak perusahaan Sumalindo, yakni PT. Sumalindo Hutani Jaya (SHJ) mencapai lebih dari Rp 140
miliar sejak 1997. Kejanggalan kedua, adalah terkait pernyataan direktur utama kepada
pemegang saham  publik minoritas bahwa PT. Sumalindo Hutani Jaya telah dijual kepada PT.
Tjiwi Kimia Tbk. Selain tidak memiliki manfaat sama sekali bagi Sumalindo, penjualan tersebut
dinilai sangat merugikan. Pada 1 Juli 2009, SHJ telah menerbitkan Zero Coupon Bond (surat
utang tanpa  bunga) atas utangnya kepada Sumalindo sebesar 140 miliar lebih, untuk jangka
waktu satu tahun. Atas dasar itulah, bisa dikatakan arah dan tujuan penjualan anak perusahaan
ini cukup merugikan. Pada 15 Juli 2009, tak lama setelah surat utang diterbitkan, Sumalindo dan
pabrik kertas Tjiwi Kimia menandatangani akta pengikatan jual beli. Selain memberi uang muka,
Tjiwi Kimia membayar kepada Sumalindo dengan cara mencicil selama tiga tahun, sebagian
lainnya dibayar dengan kayu hasil tebangan yang ada di areal eks lahan SHJ. Penentuan nilai
aset SHJ pun sarat kongkalikong, karena penilaian hanya didasarkan atas saham dan besaran
utang kepada Sumalindo. Padahal, banyaknya pohon yang ada di areal SHJ pun seharusnya
masuk dalam perhitungan aset. Ketiga, Surat Menteri Kehutanan yang menyetujui penjualan
SHJ kepada Tjiwi Kimia  patut dipertanyakan. Menteri Kehutanan merilis surat persetujuan
pengalihan saham tersebut tertanggal 1 Oktober 2009. Padahal Rapat Umum Pemegang Saham
Luar Biasa (RUPSLB) yang mengagendakan penjualan SHJ baru dilangsungkan pada 15 Oktober
2009. Apalagi dalam satu klausulnya, ditegaskan bahwa jika terjadi sengketa di antara
pemegang saham,
 
maka hal tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan dan tidak melibatkan Kementeriaan
Kehutanan.
Kasus PT. Blue Bird Taxi
Inilah.com, Jakarta
 – 
 Perseteruan pemilik saham PT. Blue Bird Taxi semakin panas. Mintarsih A Latief, salah satu
pemilik saham merasa sahamnya perlahan dikuasai oleh bos  besar Blue Bird Group, Purnomo
Prawiro. Sadar dengan hal itu, Mintarsih menilai banyak kejanggalan-kejanggalan yang
dilakukan oleh Purnomo untuk menyingkirkan sahamnya dari Blue Bird. Kejanggalan tersebut
menurut Mintarsih, mulai dari penentuan sendiri nilai aset PT. Blue Bird Taxi hingga adanya
modus penambahan modal dari para pemegang saham.
“Upaya itu kami tolak 
, karena sebagian pemilik saham tidak bisa mendapat akses untuk
memeriksa pembukuan perusahaan, mereka juga tidak pernah mendapat dividen”, ungkap
Mintarsih di Jakarta, Sabtu (27/2/2016). Dia khawatir, jika hal ini dibiarkan maka aka nada
upaya lain untuk mengambil alih
sahamnya karena nilainya dikondisikan menyusut. “Mereka melakukan penghitungan dengan
cara tidak adil. Bayangkan saja, satu unit mobil aset perusahaan dihargai di bawah Rp 3 juta.
Mana mungkin harganya segitu! Harga motor saja jauh lebih mahal, ini mobil Toyota yang
masih beroperasi sebagai taksi harganya sekian. Padahal mobil bekas yang sudah tidak dipakai
saja jualnya diatas Rp 70 juta, tapi dia hitung hanya dibawah Rp 3 juta per taksi, jadi
habis saham saya karena diambil oleh dia”, paparnya.
 Sementara itu pada laporan keuangan, kata Mintarsih, pihak Purnomo cs menunjuk sendiri
akuntan untuk menghitung nilai aset perusahaan. Hal itu dinilai aneh karena sebuah
perusahaan dengan nilai aset besar dan kepemilikan yang beragam seharusnya menggunakan
kantor penilai aset publik yang disepakati seluruh pemegang saham.
“Sampai saat ini putusan dalam pengadilan selalu dimenangkan oleh pihak yang kuat
secara materi. Saya sudah biasa dikalahkan dalam putusan pengadilan. Memang keadilan
tidak pernah ada dan belum terlihat adanya suatu keadilan, serta tidak ada kejelasan hukum”,
kesalnya. Secara terpisah. Pakar hukum dari Universitas Pancasila, Barkah berpendapat, nilai
aset sebuah perusahaan harus dikeluarkan oleh appraisal yang ditentukan pada saat RUPS.
“Apa yang dilakukan Purnomo cs dengan tujuan untuk menurunkan nilai saham, itu tandanya
dia mau membeli sahamnya. Nanti kalau misalkan ada si pemegang saham mau menjual saham,
pak 
ai harga yang paling murah”, ujarnya.
 Dikutip dari sumber berita okezone.com, sengketa kepemilikan saham ini bermula kala
Mintarsih yang juga memiliki saham di perusahaan tersebut dinyatakan telah mengundurkan
 
diri dari PT. Blue Bird Taxi yang dimiliki oleh Purnomo Prawiro. Padahal, meski telah mundur
dari jajaran direksi PT. Blue Bird Taxi, dirinya tidak pernah melepas kepemilikan saham di
perusahan taksi tersebut. Mintarsih memiliki sepertiga saham mayoritas di CV. Lestiani atau
setara 15 persen saham di PT. Blue Bird Taxi. CV. Lestiani sendiri diketahui memiliki 45 persen
saham di PT. Blue Bird Taxi. Seperti yang diberitakan, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat menolak gugatan Mintarsih dengan alasan yang bersangkutan telah mengundurkan diri
dari CV. Lestiani. Dimana, pengunduran diri dari CV. Lestiani dikuatkan dengan penetapan PN
Jakarta Pusat  pada 30 April 2001 silam. Pengesahan pengunduran diri itupun turut tertuang
dalam akta notaris.
Kasus Transaksi Penjualan Aset PT. Karwell Indonesia, Tbk
Salah satu contoh kasus di bidang pasar modal yang ditengarai sebagai transaksi yang
mengandung benturan kepentingan dan dapat merugikan kepentingan pemegang saham
minoritas adalah kasus penjualan aset PT. Karwell Indonesia, Tbk kepada afiliasi yaitu PT. Kaho
Indah Citragarment. PT. Karwell Indonesia, Tbk merupakan perseroan yang bergerak dalam
bidang industri pakaian jadi. PT. Karwell Indonesia, Tbk telah menjual sebagian kecil aset
miliknya yaitu berupa mesin-mesin produksi milik perseroan yang dimiliki oleh Divisi Jaket
Karwell kepada PT. Kaho Indah Garment pada tanggal 5 dan 15 Desember 2008 dengan Nilai
Jual Total sebesar Rp 10.636.053.000,00 dimana transaksi ini merupakan suatu transaksi yang
memiliki sifat  benturan kepentingan. PT. Kaho Indah Citragarment merupakan pihak terafiliasi
Karwell dimana terdapat hubungan kepengurusan antara perseroan dengan PT. Kaho Indah
Citragarment. Untuk dapat transaksi ini disetujui sebelumnya, perseroan harus memenuhi
ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku di bidang pasar modal serta penerapan prinsip
keterbukaan sebagai perusahaan publik. Untuk itu transaksi ini harus mendapat pula
persetujuan pemegang saham independen melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa
(RUPS-LB) Perseroan. Akan tetapi, berdasarkan hasil pemeriksaan dan penyidikan dari
BAPEPAM-LK PT. Karwell Indonesia, Tbk tidak melakukan kewajiban RUPS-LB sehingga hal ini
tentu saja dapat merugikan kepentingan pemegang saham minoritas dalam perseroan. Dari
beberapa contoh yang disajikan diatas, terlihat bahwa kebanyakan kasus konflik  pemegang
saham yang terjadi di Indonesia berupa pelanggaran hak pemegang saham
 
minoritas akibat tidak adanya transparansi informasi terkait kondisi dan kegiatan bisnis
perusahaan. Pemegang saham minoritas merupakan pemegang saham yang posisinya dibawah
pemegang saham mayoritas sehingga haknya dalam perusahaan sering kali terabaikan, karena
kedudukannya yang demikian perusahaan sering melakukan tindakan tanpa mementingkan
akibatnya bagi pemegang saham minoritas. Padahal pemegang saham minoritas juga
merupakan bagian
 stakeholders
 perusahaan yang memiliki hak yang sama dalam hal memperoleh informasi yang layak dan
hak-hak lainnya sesuai kedudukan mereka. Adapun perlindungan hukum mengenai hak para
pemegang saham minoritas diatur dalam Undang Undang Perusahaan Terbatas (UUPT) No. 40
Tahun 2007. Posisi pemegang saham minoritas dalam pengambilan kebijakan suatu perusahaan
yaitu, antara lain: 1.
 
Pasal 61 ayat (1), setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke
Pengadilan Negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan
tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, direksi, dan/atau dewan komisaris. 2.
 
Pasal 62, setiap pemegang saham berhak meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli
dengan harga yang apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan perseroan yang
merugikan pemegang saham atau perseroan, berupa perubahan anggaran dasar,  pengalihan
atau penjaminan perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% kekayaan  bersih perseroan
atau peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan. 3.
 
Pasal 79 ayat (2), pemegang saham perseroan meminta diselenggarakannya RUPS,  pemegang
saham minoritas hanya sekedar mengusulkan tanpa ada kewenangan untuk memutuskan
diadakannya RUPS. Menurut Sumantor dalam Syofia (2017) , hak pemegang saham minoritas
secara umum dapat disebutkan antara lain:

 
Hak untuk mengeluarkan suara

 
Hak untuk mengetahui jalannya perusahaan

 
Hak untuk menerima keuntungan

 
Hak untuk memeriksa pembukuan perusahaan

 
Hak-hak yang berhubungan dengan likuiditas perusahaan

 
Hak untuk menentukan pengurusan perusahaan. Pelaporan dan keterbukaan informasi dapat
melindungi investor sebagai pemegang saham minoritas dari pelanggaran dalam pasar modal,
disebutkan dalam Pasal 85 Undang Udang Pasar Modal (UUPM) mengenai pelaporan dan
keterbukaan informasi dimana seluruh emiten
 
yang telah memperoleh izin persetujuan wajib melapor kepada OJK, dan bagi yang melakukan
kejahatan akan mendapatkan sanksi administratif yaitu sanksi yang dikenakan oleh OJK yang
diatur dalam Pasal 102 UUPM. Selain sanksi administratif, adapun denda yang cukup besar
apabila adanya pelanggaran dalam pasar modal. Pemegang saham minoritas juga dilindungi
dalam UUPT. UUPT juga memberikan  perlindungan hukum kepada pemegang saham minoritas
seperti dalam pasal 54 ayat 1, pasal 55, pasal 66 ayat 2, pasal 67, pasal 110 ayat 3, pasal 117
ayat 1 huruf b. Pemegang saham minoritas berhak untuk mendapatkan harga saham yang
sesuai dengan harga pasar jika tidak setuju dengan kebijakan perusahaan atau pemegang
saham mayoritas, pemegang saham minoritas berhak menentukan kebijakan perusahaan
melalui RUPS. Selain hal diatas,  pemegang saham minoritas juga perlu diberikan hak untuk
memaksa perusahaan untuk mengelola perusahaan sesuai dengan ketentuan undang-undang
yang berlaku. Dengan demikian, sebagai bagian dari
 stakeholders
suatu perusahaan sudah sepatutnya  bagi perusahaan untuk melakukan perlindungan bagi para
pemegang sahamnya, terutama  bagi pemegang saham minoritas, sebab perlindungan bagi
pemegang saham mayoritas sudah terjamin melalui mekanisme RUPS, dan keputusan
musyawarah yang dapat diterima oleh mayoritas. Konflik antar pemegang saham selalu
berkaitan dengan kinerja buruk perusahaan. Buruknya kinerja perusahaan selalu diikuti dengan
pelanggaran terhadap prinsip akuntabilitas dan transparansi, sehingga menimbulkan
ketidakpercayaan dan penuh curiga dari para pihak yang berkepentingan. Keterbukaan adalah
keharusan yang fundamental dan perlu dimiliki oleh perusahaan bukan saja untuk menciptakan
iklim kondusif bagi keuntungan perusahaan tetapi juga terutama menciptakan iklim investasi
yang baik bagi sebuah negara. Konflik  perusahaan yang berlarut tentu berpotensi pada
anjloknya kepercayaan publik dan menurunnya kinerja investasi. Oleh sebab itu, penting bagi
perusahaan untuk menerapkan  prinsip
 good corporate governance
 (tata kelola perusahaan yang baik) dan mematuhi segala Undang-Undang serta peraturan yang
berlaku dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Disamping itu baik perusahaan dan pemegang
saham juga wajib mengetahui dan menjalankan apa saja yang menjadi hak dan kewajibannya,
bagi perusahaan hal tersebut tentu saja berguna untuk menjaga kepercayaan dari setiap
 stakeholder 
nya, dan bagi para pemegang saham hal tersebut penting untuk memastikan semua haknya
sudah terpenuhi dan apabila ada  pelanggaran atas hak mereka, mereka diharapkan dapat
melakukan tuntutan secara tepat sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku.
 
Daftar Pustaka
Gayatri, Syofia. 2017. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Minoritas Pada
Perusahaan Terbuka Di Indonesia.
Skripsi
. Bandar Lampung: Fakultas Hukum, Universitas Lampung. Roesadi, Lintang Agustina, Budiharto,
dan Rinitami Njatrijani. 2017. Perlindungan Pemegang Saham Minoritas Dalam Terjadi
Pengambilalihan Saham Pada Anak Perusahaan (Kasus PT. Sumalindo Lestari Jaya, Tbk).
 Diponegoro Law Journal 
. Volume 6. Nomor 2. https://m.inilah.com/news/detail/2277345/sengketa-pemilik-pt-taksi-
blue-bird-kian-memanas https://news.okezone.com/read/2014/03/02/500/948849/kasus-
sengketa-saham-ini-alasan- mintarsih-ajukan-banding#lastread
https://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id/amp_version/mwikuz

https://jurnal.iain-bone.ac.id/index.php/adara/article/download/420/345

https://www.researchgate.net/publication/
345815537_TUGAS_PENGANTAR_MANAJEMEN_REVIEW_JURNAL

https://www.researchgate.net/publication/
345815537_TUGAS_PENGANTAR_MANAJEMEN_REVIEW_JURNAL
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwiDof2-
k8P2AhXpzjgGHZykA00QFnoECAMQAQ&url=http%3A%2F%2Feprints.unm.ac.id
%2F6098%2F2%2FARTIKEL.pdf&usg=AOvVaw0tgdpQPCkGxGAP3ItqqZv3

Anda mungkin juga menyukai