Anda di halaman 1dari 5

NAMA: Muhammad Almer Abyudaya

NPM: 2174201028

MATA KULIAH : PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUB. INDUSTRIAL

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN KEPENTINGAN DI PT HOLCIM INDONESIA Tbk

Pada gugatan yang masuk ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Semarang, dalam kasus perselisihan yang terjadi antara pihak perusahaan PT. Holcim
Indonesia Tbk yang beralamat di Jln Ir. H Juanda, Cilacap, Jawa Tengah, selaku Tergugat
dengan Serikat Pekerja/buruh Nusantara-F.SP.ISI, yang beralamat di Perum Bayur Blok B1 No
7 Kelurahan Gumilir, Kecamatan Cilacap Utara, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang
bertindak sebagai Penggugat. Dimana obyek yang diperselisihkan ialah karena perbedaan
penafsiran/pendapat dalam hal pemberian bonus yang diberikan oleh perusahaan kepada
pekerja atau buruh. Bonus merupakan pendapatan di luar upah, sebagai prestasi yang
diterima oleh pekerja atau buruh atas kinerjanya dalam tercapainya beban target yang
ditentukan oleh perusahaan. Dalam kasus tersebut, pada awalnya antara Penggugat dengan
Tergugat tidak pernah ada masalah tentang pemberian bonus karena beban target pada
tahun 2009, 2010, 2011, 2012 yang ditetapkan oleh Tergugat masih relatif stabil yaitu 10%
sampai dengan 15%.

Namun pada tahun 2013 secara sepihak Tergugat menetapkan beban target untuk sebagai
penghitungan bonus, dengan menaikannya menjadi sebesar 36,8% dari tahun sebelumnya
(tahun 2012). Suatu lonjakan yang luar biasa sehingga sudah bisa dipastikan bahwa
Penggugat tidak mungkin menerima bonus dari Tergugat. Hingga pada akhirnya memang
apa yang dikhawatirkan oleh Penggugat terbukti bahwa pada tahun 2013 ketika beban
target itu tidak tercapai sehingga bonus tidak diberikan oleh Tergugat. Hal ini yang
menimbulkan permasalahan bagi Penggugat yang merasa bahwa itu merupakan tindakan
sepihak dari Tergugat, dengan alasan tidak memenuhi target, padahal pemberian bonus
tersebut merupakan hasil dari kesepakatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara Penggugat
dengan Tergugat. Merasa dirugikan oleh tindakan Tergugat, dan upaya-upaya untuk
penyelesaian perselisihan tersebut tidak berhasil dan tidak ada tanggapan dari Tergugat,
maka Penggugat akhirnya menggugat Tergugat melalui jalur Litigasi yakni melalui Pengadilan
Hubungan Industrial.

Dalam kasus perselisihan PT Holcim, setelah dilakukannya proses mediasi yang ditengahi
oleh Mediator yang netral ternyata dari kedua belah pihak tetap tidak tercapai kesepakatan,
sehingga Mediator memberikan anjuran tertulis, yang mana para pihak boleh menyetujui
anjuran tertulis tersebut boleh juga tidak. Namun dalam kasus, dari kedua belah pihak tidak
menyetujui isi anjuran tertulis tersebut, sehingga dalam hal ini Penggugat melanjutkan ke
proses penyelesaian selanjutnya yakni dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial.
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PT SAMINDO UTAMA
KALTIM

Dalam kasus ini, terjadi perselisihan antara pekerja dengan perusahaan multinasional
di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Seperti diketahui, Provinsi Kalimantan Timur
memiliki sumber daya alam yang melimpah, seperti minyak bumi, batu bara, dan hasil
hutan yakni kelapa sawit. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi banyak perusahaan
asing yang datang untuk mengambil sumber daya alam dengan berinvestasi di
perusahaan lokal. Hal itu terjadi hampir di seluruh kabupaten di Kalimantan Timur,
termasuk Kabupaten Paser. Kabupaten Paser dianggap sebagai rumah bagi beberapa
perusahaan multinasional yang mayoritas pemiliknya adalah orang asing. Oleh karena
itu, dengan banyaknya perusahaan multinasional di kabupaten ini, banyak
perselisihan yang muncul antara buruh dan perusahaan multinasional.
PT Samindo Utama Kaltim adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa penunjang
kegiatan transportasi pertambangan batubara dan merupakan anak perusahaan dari
Samindo Resource Tbk. Induk perusahaan Samindo Resource Tbk adalah Samtan Co.
Ltd., sebuah perusahaan energi asal Korea Selatan dengan kepemilikan saham sebesar
59,03% (Pertiwi, 2018).
Kasus ini merupakan perselisihan hubungan industrial antara perusahaan
multinasional bernama PT Samindo Utama Kaltim dengan dua pekerjanya
terkait pemutusan hubungan kerja (PHK). Perselisihan PT Samindo Utama
Kaltim termasuk dalam perselisihan pemutusan hubungan kerja yang terjadi
pada tanggal 10 Januari 2020 karena mogok kerja tidak sah. Menurut para
pekerja, apa yang dilakukan perusahaan tersebut merupakan tindakan yang
tidak sesuai dengan hukum. Dalam undang-undang tidak disebutkan bahwa
hukuman bagi yang melakukan mogok kerja adalah pemutusan hubungan
kerja. Karena ketidaksepakatan antara PT Samindo Utama Kaltim dan para
pekerja, maka diadakan perundingan bipartit untuk menyelesaikan perselisihan
antara kedua belah pihak. Perundingan bipartit ini dilakukan pada 17 Januari
2020, atau tujuh hari kerja setelah dikeluarkannya surat keputusan hubungan
kerja oleh PT Samindo Utama Kaltim, yang berujung pada perselisihan
hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja.
Namun karena perundingan bipartit, tidak ditemukan kesepakatan antara
kedua pihak Itu karena keinginan masing-masing pihak saling bertentangan.
Buruh menginginkan pesangon sebesar 200 juta rupiah karena menurut buruh,
apa yang dilakukan PT Samindo Utama Kaltim termasuk dalam pemutusan
hubungan kerja sepihak dengan alasan tidak sesuai dengan undang-undang.
Sementara itu, PT Samindo Utama Kaltim tidak setuju karena pesangon yang
diminta pekerja tidak sesuai dengan undang-undang.
Oleh karena itu, hasil perundingan bipartit tidak mencapai kesepakatan.
Setelah itu, manajemen PT Samindo Utama Kaltim dan para pekerja
meneruskan perselisihan ini ke Kanwil Depnakertrans. Hingga tidak ditemukan
kesepakatan antara kedua belah pihak PT Samindo Utama Kaltim dengan
para pekerja.
Karena tidak ada kesepakatan, para pekerja secara resmi meminta
penyelesaian perselisihan dari Kanwil Depnakertrans melalui bagian hubungan
industrial pada 27 Januari 2020. Namun, masih belum ada kesepakatan antara
Kanwil Tenaga Kerja dan Depnakertrans. . Selanjutnya pada tanggal 3
Februari 2020, Kanwil Disnakertrans mengeluarkan somasi kepada kedua
belah pihak untuk dipertemukan pada tanggal 10 Februari 2020 untuk
melakukan perundingan tripartit dengan Kanwil Disnakertrans sebagai pihak
ketiga yang netral. Selanjutnya, pada tanggal 10 Februari, sesuai somasi yang
dikeluarkan oleh Kanwil Depnakertrans, kedua pihak dipertemukan di ruang
rapat hubungan industrial untuk melakukan perundingan tripartit dengan
Kanwil Depnakertrans sebagai pihak ketiga yang membantu dalam
menyelesaikan sengketa tersebut. Namun, akibat negosiasi tersebut,
perusahaan bersikukuh dengan keputusannya bahwa tidak akan ada negosiasi
dengan siapapun.
Dengan hasil rekomendasi tersebut terlihat bahwa PT Samindo Utama Kaltim
tetap bersikukuh bahwa apa yang dilakukannya dengan memutuskan
pemutusan hubungan kerja terhadap dua orang pekerja merupakan tindakan
yang tepat dan tidak melanggar ketentuan ILO meskipun berbeda dengan
hukum.
Kesimpulan dari perselisihan tersebut, yakni :
Dalam perselisihan hubungan industrial PT Samindo Utama Kaltim, keputusan
yang dikeluarkan perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerjanya karena mogok kerja dapat dianggap sebagai pelanggaran
hukum. Di satu sisi, meski dilihat dari aturan yang ditetapkan ILO, apa yang
dilakukan PT Samindo Utama Kaltim tidaklah salah, ILO juga menetapkan
prinsip bahwa setiap perusahaan harus menghormati dan mengikuti hukum
yang berlaku meskipun hukum tersebut tidak mengikuti apa yang telah
ditetapkan oleh ILO. Artinya, PT Samindo Utama Kaltim melanggar hukum dan
tidak mengikuti prinsip-prinsip yang dikeluarkan ILO sebagai lembaga dunia
yang mengatur ketenagakerjaan dan juga PT Samindo Utama Kaltim sebagai
perusahaan multinasional tetap berpegang pada aturan yang telah ditetapkan
oleh ILO, terlihat dari keputusan perusahaan untuk melakukan pemutusan
hubungan kerja mengikuti apa yang diatur oleh ILO dalam Konvensi 158
tentang pemutusan hubungan kerja. Namun, juga tidak mengikuti prinsip-
prinsip yang ditetapkan ILO karena perusahaan tidak mengikuti undang-
undang yang ada di Indonesia.
UU Nomor 2 Tahun  2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
Shalahudin, A., & Fayed, A. (2022). Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial PT Samindo Utama Kaltim by the Regional Office of Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Paser Regency , East Kalimantan. 1(1), 54--65.

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA: STUDI


KASUS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PT. PELINDO II (PERSERO)

Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut sebagai BUMN) adalah badan usaha
yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara, melalui penyertaan
secara langsung, yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Maksud dan
tujuan pendirian BUMN adalah untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan
perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
mengejar keuntungan; menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup
orang banyak; menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; turut aktif memberikan bimbingan dan
bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Pengurusan BUMN dilakukan oleh Direksi, sedangkan pengawasan BUMN dilakukan
oleh Komisaris dan Dewan Pengawas. Dalam rangka melakukan usaha tersebut,
BUMN dapat mempekerjakan tenaga kerja. Karyawan BUMN merupakan pekerja
BUMN, yang pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajiban
ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
Kasus PHK di BUMN yang terjadi di akhir tahun 2013, adalah pemberhentian Cipto
Pramono yang menjabat Direktur Personalia dan Umum PT Pelindo II (Persero), yang
memicu pengunduran diri sebanyak 21 orang pejabat dan satu direktur lainnya.
Mereka merasa tidak sejalan dengan pimpinan perusahaan, yaitu Direktur Utama PT
Pelindo II (Persero), Richard Joost Lino. Pengunduran diri ini dipicu saat Direktur
Utama PT Pelindo II (Persero) meminta Direktur Personalia dan Umum mundur dari
jabatannya. Kasus PHK yang dilakukan terhadap sejumlah karyawan BUMN tersebut
menjadi polemik, bahkan DPR ingin mengetahui proses yang terjadi, karena proses
PHK tersebut berawal dari polemik pengunduran diri, antara peletakan jabatan dan
mengundurkan diri. Artikel ini didasarkan pada hasil penelitian hukum dengan
pendekatan peraturan perundang-undangan berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku serta dengan didukung hasil pengamatan lapangan. Isu hukum yang akan
dibahas dalam artikel ini adalah mengenai PHK di PT Pelindo II (Persero) sebagai
BUMN dan perlindungan hukum bagi para pekerja yang terkena PHK berdasarkan UU
Nomor 13 Tahun 2003

Anda mungkin juga menyukai