Anda di halaman 1dari 5

ETIKA PROFESI DAN TATA KELOLA KORPORAT

KASUS: PT SUMALINDO LESTARI TBK

OLEH :

Cintya Purnama Sari


1707612005

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
Kronologi Kasus

PT Sumalindo Lestari Jaya merupakan perusahaan kayu di Kalimantan Timur berdiri


sejak tanggal 14 April 1880 yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) sejak tanggal 21 Maret
1994 dan memiliki empat anak perusahaan. Pada tahun 2010, 2011 dan 2012 terjadi penurunan
kinerja perusahaan yang menyebabkan perusahaan tidak dapat memenuhi utang yang jatuh
tempo. Pada tahun 2011, pemegang saham publik atas nama Imani United Pte. Ltd dan Deddy
Hartawan Jamin pemegang 13,78% saham perusahaan, mengajukan permohonan pemeriksaan
terhadap perseroan kepada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan karena kinerja perusahaan
selama beberapa tahun terakhir tidak mencerminkan kapasitas perusahaan yang menguasai lebih
dari 840 ribu ha hutan lama dan 73 ribu ha hutan tanaman industri. Upaya pemegang saham
publik memperoleh keterbukaan informasi tidak berhasil, bahkan di RUPS upaya tersebut selalu
digagalkan melalui voting, karena manajemen mendapat dukungan dari pemegang saham
pengendali.

Awal terjadinya konflik antar pemegang saham dipicu ketika Direktur PT. SLJ
mengumumkan bahwa PT. Sumalindo Hutani Jaya (salah satu Pemegang Saham Publik
Minoritas PT. SLJ) telah dijual kepada PT. Tjiwi Kimia Tbk. Berbagai pihak beranggapan bahwa
selain penjualan tersebut tidak memiliki manfaat sama sekali bagi PT SLJ dan penjualan tersebut
dinilai sangat merugikan. Hal tersebut dianggap merugikan karena pada tanggal 1 Juli 2009, PT.
Sumalindo Hutani Jaya telah menerbitkan Zero Coupon Bond (surat utang tanpa bunga) atas
utangnya kepada PT. SLJ sebesar lebih dari Rp 140 Miliyar Rupiah, untuk jangka waktu satu
tahun.

Deddy Hartawan Jamin dalam gugatannya mengklaim bahwa tindakan PT. SLJ dalam
menjual PT. SHJ telah mengabaikan asas good corporate governance, dan banyak mengabaikan
keputusan hukum yang sudah berlaku, sehingga merugikan banyak pihak. Dalam gugatan
tersebut PT. SLJ juga dianggap melakukan kesalahan prosedur dalam mengajukan permohonan
persetujuan pengalihan saham kepada Menteri kehutanan tanpa didahului persetujuan RUPS PT.
SLJ dan atas dasar dokumen palsu yang mengakibatkan kerugian bagi Deddy Hartawan Jamin
sebagai penggugat. Dalam gugatan tersebut, Deddy Hartawan Jamin menuntut ganti rugi materiil
maupun immateriil, senilai Rp 18,7 triliun yang harus dikembalikan ke rekening PT. SLJ untuk
memperbaiki kinerja dan manajemen mereka.

1
Pertanyaan:

1. Pelanggaran prinsip hak pemegang saham dan prinsip perlakuan yang setara kepada
pemegang saham dalam kasus ini yaitu:
 Hak pemegang saham menurut OECD (2004) yang dilanggar adalah hak untuk
mendapatkan informasi yang relevan dan material mengenai perusahaan tepat waktu dan
secara regular serta hak untuk berpartisipasi dan memberikan suara di RUPS. Hal ini
dapat dilihat dari gagalnya upaya pemegang saham publik untuk memperoleh
keterbukaan informasi mengenai penyebab menurunnya kinerja keuangan perusahaan
selama beberapa periode terakhir. Direktur Utama perusahaan yaitu Amir Sunarko hanya
menjelaskan penurunan kinerja tersebut dikarenakan adanya krisis ekonomi pada tahun
2008. Hal ini yang membuat pemegang saham publik meragukan pengelolaan perusahaan
karena tidak adanya transparansi mengenai informasi yang seharusnya menjadi hak bagi
pemegang saham publik. Selain itu, pemegang saham publik tidak diberikan kesempatan
untuk memberikan suara pada saat RUPS karena selalu digagalkan melalui voting dimana
manajemen mendapat dukungan dari pemegang saham pengendali sehingga pemegang
saham publik tidak mendapatkan hak nya untuk ikut berpartisipasi dalam memberikan
suara saat RUPS.
 Salah satu prinsip perlakuan yang setara kepada pemegang saham yaitu kesamaan hak
untuk saham dengan kelas yang sama dimana setiap perubahan pada hak suara harus
mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pemegang saham yang memperoleh
dampak negatif dari perubahan hak suara tersebut. Dalam kasus ini pemegang saham
minoritas tidak mendapat hak suara dalam hal perusahaan menjual kepemilikannya di PT
Sumalindo Hutani Jaya ke PT Tjiwi Kima Tbk. yang dinilai merugikan perusahaan.
Pemegang saham pengendali yaitu PT Sumber Graga Sejahtera diduga berkonspirasi
dengan direksi untuk melakukan kejahatan seperti adanya praktik illegal logging.

2. Hak kendali dan hak arus kas pemegang saham pengendali SULI serta dampak adanya
perbedaan hak kendali dan hak arus kas terhadap insentif ekspropriasi:
 Pada struktur kepemilikan saham dapat dilihat bahwa 24,63% saham PT Sumalindo
dimiliki oleh PT Sumber Graga Sejahtera dimana 99,99% saham PT Sumber Graga
Sejahtera dimilik oleh PT Samko Timber Limited yang menandakan bahwa :

2
- PT Sumber Graga Sejahtera akan memiliki hak kendali dan hak arus kas pemegang
saham pengendali pada PT Sumalindo yang sama yaitu hak pengendali = hak arus kas
saham pengendali = 24,63%.
- PT Samko Timber Limited yang secara tidak langsung berinvestasi pada PT
Sumalindo sehingga memiliki hak kendali pada PT Sumalindo sebesar 24,63% dan
hak arus kas pemegang saham pengendali sebesar 99,9% x 24,63% = 24,62%
 Semakin besarnya hak kendali dibandingkan hak arus kas, menimbulkan insentif untuk
melakukan ekspropriasi atas pemegang saham minoritas. Dari hasil perhitungan diatas
hak kendali lebih besar dibandingkan dengan hak arus kas. Walaupun perbandingannya
sangat tipis, tidak menutup kemungkinan terjadinya ekspropriasi atas pemegang saham
minoritas SULI dikarenakan struktur kepemilikan pemegang saham pengendali dengan
direksi SULI memiliki hubungan keluarga. Oleh karenanya, informasi mengenai
pemegang saham pengendali perusahaan merupakan informasi penting bagi pemegang
saham perusahaan khususnya pemegang saham minoritas.

3. Pola abusive transaction yang mungkin dilakukan oleh manajemen dan/atau pemegang
saham pengendali terhadap pemegang saham publik SULI dan alasan hal tersebut dapat
terjadi:
 Pola abusive transaction yang dilakukan oleh pemegang saham pengendali terhadap
pemegang saham publik SULI yaitu adanya konspirasi antara direksi dengan pemegang
saham pengendali. Hal tersebut karena adanya hubungan kekeluargaan antara direksi
dengan pemegang saham pengendali. Presdir SULI adalah Amir Sunarko sedangkan
komisaris utamanya adalah Ambran Sunarko. Sedangkan pemegang saham pengendali
SULI adalah PT Sumber Graha Sejahtera dimana pemegang saham dan direksinya
dikendalikan oleh Aris Sunarko. Dari struktur kepemilikan tersebut sangat dimungkinkan
terjadinya abusive transaction terhadap pemegang saham SULI, dimana keuntungan
hanya memihak kepada keluarga Sunarko. Seharusnya pihak perusahaan mengungkapkan
kepada para pemegang saham publik (minoritas) tentang siapa saja pemilik saham
pengendali SULI, dimana hal tersebut sudah diatur pada UU PT Nomor 40 Tahiun 2007.
Sehingga para pemegang saham publik mendapatkan informasi yang relevan dan
transaksi yang berpotensi abusive bagi pemegang saham publik dapat ditangani.

3
4. Pendapat mengenai tindakan yang ditempuh oleh Deddy Hartawan Jamin diatas jika dilihat
dari sudut pandang peraturan perundang-undangan di Indonesia:
 Menurut pendapat saya, langkah yang di ambil oleh Dedy Hartawan untuk mengajukan
permohonan pemeriksaan sudah sangat tepat. Hal tersebut sudah seharusnya dilakukan
karena merupakan hak para pemegang saham minoritas dan dilindungi oleh peraturan
perundang undangan yang berlaku di Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang
mengatur hak pemegang saham untuk mengajukan pemerikasaan perseroan adalah UU
PT Nomor 40 Tahun 2007, dimana dalam pasal 138 berbunyi para pemegang saham
(minimum 10% dari seluruh jumlah saham yang memiliki suara) untuk mengajukan
pemeriksaan terhadap perseroan. Pasal tersebut memungkinkan pemegang saham non
pengendali untuk melakukan pemerikasaan terhadap tindakan manajemen dan pemegang
saham pengendali yang dicurigai merugikan pemegang saham non pengendali.

Anda mungkin juga menyukai