BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Rabies adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus. Penyakit ini
menginfeksi hewan domestik dan liar. Penyakit rabies merupakan penyakit
zoonosis yang sangat penting artinya bagi kesehatan masyarakat, karena apabila
penyakit tersebut menyerang manusia dan tidak sempat atau terlambat mendapat
perawatan medis akan mengakibatkan kematian dengan gejala klinis yang
mengharukan. Lebih dari 55.000 orang meninggal karena rabies setiap tahunnya
dan 95 % dari kematian tersebut terjadi di Asia dan Afrika. Menurut World Health
Organization (WHO), rabies terjadi di lebih dari 150 negara, termasuk Indonesia.
Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan ditularkan
melalui gigitan, cakaran atau melalui kulit yang terluka.
Rabies telah ada di Indonesia sejak abad ke-19 dan telah tersebar
disebagian besar wilayah. Rabies dilaporkan pertama kali di Indonesia pada tahun
1884 di Bekasi, Jawa Barat. Selanjutnya kasus rabies pada tahun 1890 di
Tangerang. Kasus rabies pada manusia dilaporkan pada seorang anak di Desa
Palimanan, Cirebon tahun 1894. Selanjutnya rabies dilaporkan semakin menyebar
kebeberapa wilayah di Indonesia, yaitu Sumatra Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur tahun 1953, Sulawesi Selatan tahun 1959, Lampung 1969, Aceh tahun 1970,
Jambi dan DI Yogyakarta tahun 1971. Rabies di Bengkulu, DKI Jakarta, dan
Sulawesi Tengah di laporkan tahun 1972, Kalimantan Timur tahun 1974 dan Riau
tahun 1975. Pada dekade tahun 1990 sampai dengan tahun 2000-an rabies masih
terus menyebar ke wilayah yang sebelumnya bebas yaitu Pulau Flores tahun 1997
(Kab. Flores Timur), Pulau Ambon dan Pulau Seram tahun 2003, Halmahera dan
Morotai tahun 2005, Ketapang tahun 2005, serta Pulau Buru tahun 2006. Kemudian
Pulau Bali dilaporkan tertular rabies tahun 2008, Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat
di Propinsi Riau tahun 2009.
Kasus rabies muncul pertama kali di Provinsi NTT tahun 1997 di Kabupaten
Flores Timur. Pada awal tahun 1998, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur
melalui Dinas Peternakan merasa optimis bahwa munculnya penyakit rabies akan
dapat diatasi dengan cepat karena hanya tersebar Kabupaten Flores Timur. Namun
dengan berjalannya waktu penanganannya, pada tahun 1998, kasus rabies mulai
menyebar ke Kabupaten Sikka (Kecamatan Bola) dan terus ke kabupaten lain di
seluruh pulau Flores dan mengakibatkan penanganan rabies tidak dapat
dikendalikan sehingga muncul kecemasan masyarakat terhadap penyakit ini.
Pada bulan Maret - Mei 2023, telah terjadi kasus gigitan hewan penular
rabies di Kabupaten TTS namun tidak diketahui, dan pada tanggal 2 April 2023,
terjadi lagi kasus gigitan yang mengakibatkan seorang warga Desa Fenun
Kecamatan Amanatun Selatan mengalami gejala demam, nyeri tenggorokan, tidak
bisa menelan, tidak bisa minum air, cemas, gelisah, takut api dan kejang. Sejak
tanggal 2 april 2023- 12 Mei 2023 korban tidak ada keluhan tentang luka gigitan
anjing sehingga tidak berobat ke Fasilitas kesehatan yang ada. Anjing yang sudah
menggigit korban ditemukan mati pada keesokan harinya. Dan pada tanggal 13 Mei
2023 ada keluhan tidak enak badan. Pada hari selasa tanggal 16 Mei 2023, korban
mengeluh demam dan sakit kerongkongan, pada pukul 16.00 wita, merasa haus
tapi tidak bisa minum (hidrofobia) ketika dipaksa untuk minum sampai mengalami
kejang. Pada hari Rabu tanggal 17 Mei 2023, korban merasakan nyeri hebat pada
bagian bekas luka gigitan, malam hari sekitar pukul 20.00 wita korban tidak suka
dengan nyala api, bau asap api, asap rokok dan cemas dan berjalan mengelilingi
rumah. Pada tanggal 18 Mei 2023, korban diberi makan tetapi tidak bisa menelan,
dan mulai gelisah, cemas dan akhirnya meninggal pada jam 24.00 WITA.
Dinamika penyebaran kasus rabies terjadi karena perilaku atau
pemeliharaan anjing masih dengan cara dilepas/tidak dikandangkan atau anjing
tanpa pemilik yang ditemukan ditempat umum (cari makan sendiri) serta anjing liar,
pemilik anjing yang masih menyembunyikan atau memindahkan anjingnya ke
kebun, mencari atau membeli anjing dari tempat lain yang tidak diketahui riwayat
penyakitnya, program eliminasi anjing yang tidak selektif dan terarah untuk
mengurangi populasi karena kelahiran anjing baru hanya dalam kurun waktu
singkat (2 bulan). Untuk kriteria kelompok anjing rumahan memiliki tingkat resiko
penularan dibawah 40% bahkan bisa jauh lebih rendah karena mudah
mendapatkan vaksinasi sedangkan anjing tanpa pemilik dan anjing liar memiliki
tingkat resiko penularan mencapai 81% akan sulit untuk divaksinasi sehingga akan
mudah tertular virus rabies. Dan lebih dari 92% anjing rabies tidak dapat ditelusuri
status vaksinnya ditambah lagi dengan adanya kegagalan vaksinasi akibat kualitas
vaksin yang tidak baik perlakuannya,
Rabies merupakan penyakit zoonosis yang tingkat kefatalannya hampir
mencapai 100% dan belum ada obat untuk menyembuhkannya, namun rabies
dapat dicegah dengan pengenalan dini kasus GHPR dan penatalaksanaan kasus
GHPR sedini mungkin. Pada tahun 2023 (periode Januari - Mei), sudah terdapat
3.487 kasus dengan kematian sebanyak 5 kasus yang berasal dari kabupaten
Sikka (2 kasus), Manggarai (2 kasus) dan TTS (1 kasus).
Berdasarkan Laporan Kabupaten TTS, maka perlu dilakukannya Kegiatan
Bimbingan Teknis Kekarantinaan Kesehatan dan Penyelidikan Epidemiologi KLB
Rabies di Kabupaten TTS pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 2023.
B. TUJUAN
1. UMUM
Untuk mengetahui penyebab terjadinya kematian akibat penyakit rabies dan
upaya penanggulangannya.
2. KHUSUS
a. Mengetahui factor risiko kejadian kasus gigitan hewan penular rabies
(GHPR).
b. Memberikan KIE kepada masyarakat dan pimpinan wilayah setempat dalam
upaya pencegahan dan penanggulangan sedini mungkin.
c. Menjalin komunikasi dan kerjasama dengan lintas program dan lintas sector
terkait dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kasus.
d. Memastikan ketersediaan sumber daya logistic, vaksin anti rabies (VAR) dan
serum anti rabies (SAR) serta perbekalan kesehatan lainnya yang berkaitan
dengan penanggulangan penyakit rabies.
C. KRONOLOGIS KEJADIAN
1. Pada hari Minggu tanggal 2 April 2023 sekitar pukul 01.00 Wita Bapak Antonius
Banunaek hendak melerai anjing tetangga yang datang dan menggigit anjing
miliknya, pada saat tersebut anjing milik tetangga langsung mengggit bagian
bawah betis kaki kiri yang menyebabkab luka dan berdarah, luka tersebut dilap
dengan air hangat dan diberi minyak kelapa oleh istrinya. Sejak tanggal 2 april
2023- 12 Mei 2023 Bapak Antonius Banunaek tidak ada keluhan tentang luka
gigitan anjing tersebut hal ini menyebabkan Bapak Antonius tidak berobat ke
Fasilitas kesehatan yang ada.
2. Setelah menggigit Bapak Antonius Banunaek anjing milik tetangga tersebut
ditemukan mati pada keesokan harinya.
3. Pada hari Sabtu tanggal 13 Mei 2023 Bapak Antonius Banunaek mengeluh
badan tidak fit.
4. Pada hari Minggu Tanggal 14 Mei 2023 Bapak Antonius Banunaek mengikuti
Missa/Ibadah Minggu di gereja dan setelah pulang gereja Bapak Antonius
Banunaek minum minuman keras (Sopi) bersama dengan teman-temannya.
5. Pada hari Senin tanggal 15 Mei 2023, Bapak Antonius Banunaek tetap mengeluh
tidak enak badan.
6. Pada hari selasa tanggal 16 Mei 2023, Bapak Antonius Banunaek mengeluh
demam dan sakit kerongkongan, pada pukul 16.00 wita, Bapak Antonius
Banunaek merasa haus tapi tidak bisa minum (hidrofobia) ketika dipaksa untuk
minum membuat Bapak Antonius menjadi kejang.
7. Pada hari Rabu tanggal 17 Mei 2023, Bapak Antonius Banunaek merasakan
nyeri hebat pada bagian bekas luka gigitan. Pada malam hari sekitar pukul 20.00
wita Bapak Antonius Banunaek tidak suka dengan nyala api, bau asap api, asap
rokok dan cemas dan berjalan mengelilingi rumah.
8. Pada hari Kamis tanggal 18 Mei 2023, Bapak Antonius Banunaek makan nasi
dan jagung tetapi tidak bisa minum air, ketika dipaksa untuk minum air sulit untuk
menelan sehingga Bapak Antonius Banunaek sampai melompat-lompat tapi
tidak bisa menelan air yang diminum, Bapak Antonius tetap merasa cemas,
gelisah dan demam.
9. Pada hari kamis tanggal 18 Mei 2023, sekitar pukul 24.00 Wita Bapak Antonius
Banunaek dikatakan meninggal oleh keluarga.
10. Berdasarkan masa inkubasi penyakit rabies yaitu 10 hari sampai 2 (dua) tahun
dan sesuai gejala klinis penderita, dapat di simpulkan bahwa penderita terinfeksi
penyakit Rabies.
Distribusi kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) dan penderita yang divaksin
di 10 Kabupaten endemis rabies di Provinsi NTT
Perode Januari - Mei 2023
4500 7
J u m la h K a s u s d a n d ib e r i V A R
4000
6
3500
5
3000
2500 4
2000 3
1500
2
1000
1
500
0 0
Manggar TOTAL N
Flotim Nagekeo Ngada Sikka Ende Mabar Matim Lembata TTS
ai TT
Kasus 678 585 483 773 471 354 260 171 239 72 4086
diberi VAR 606 585 483 466 396 354 219 108 233 18 3468
Meninggal 0 0 2 0 1 1 0 1 0 1 6
Penyebaran kasus Gigitan Hewan Penular Rabies di Provinsi NTT bulan
Januari - Mei 2022 berjumlah 4.086 kasus dengan kematian sebanyak 6
kasus di Kabupaten Manggarai (2 kasus meninggal), Sikka (1 kasus
meninggal), Ende (1 kasus), Manggarai Timur (1 kasus) dan Kabupaten TTS
(1 kasus).
16000
14000
12000
Jumlah Kasus
10000
8000
6000
4000
2000
0
tahun 2018 thun 2019 tahun 2020 tahun 2021 thun 2022 Jan - Mei 2023
Series1 12530 13599 11262 10588 12721 4086
2. Puskesmas Oinlasi
Sosialisasi tentang Penyakit Rabies oleh Tim
Surveilans Provinsi NTT oleh Yosevita Juwita
dan Apris L. Isu tentang Tanda dan Gejala
serta bahaya yang ditimbulkannya bagi
masyarakat Desa Fenun Kec. Amanatun
Selatan.
Pemberian VAR oleh dokter Klif dari
Puskesmas Oinlasi ke 18 korban gigitan HPR
di Desa Fenun Kec. Amanatun Selatan.
3. Puskesmas Nunukniti
Wawancara/diskusi dengan salah satu warga
Desa Silu Kecamatan Fatumolo tentang
kejadian saat salah satu cucunya digigit oleh
anjing gila.
Foto bekas gigitan HPR di Desa Silu
Kecamatan Fatumolo Kab. TTS
G. SIMPULAN
Berdasarkan data dan hasil Analisa serta diskusi yang dilaksanakan, dapat diambil
beberapa simpulan sebagai berikut :
1. Surveilans epidemiologi perlu dilakukan secara rutin dan terpadu dengan
melibatkan unit-unit surveilans di puskesmas di Kabupaten TTS.
2. Pengumpulan dan pengolahan data Kasus GHPR baik yang sedang dirawat di
sarana pelayanan kesehatan maupun laporan dari masyarakat belum seluruhnya
dilaporkan ke Kecamatan, Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan Kabupaten
TTS untuk segera dilakukan upaya pencegahan dan penanggulangan.
3. Respons cepat dalam rangka mengantisipasi kasus yang tidak terlaporkan atau
tidak mencari pengobatan ke sarana pelayanan kesehatan masih lambat.
4. Hewan/anjing yang menggigit masyarakat selalu diduga sebagai HPR sehingga
langsung dibunuh.
5. Laporan kasus GHPR dari korban tidak disampaikan ke Dinas Peternakan untuk
segera diambil specimen otak anjing terduga rabies.
6. Tidak tersedianya vaksin anti rabies khususnya untuk hewan penular rabies
(anjing) di tingkat provinsi.
7. Korban GHPR yang meninggal tidak divaksinasi setelah digigit anjing, dan anjing
langsung dibunuh.
H. REKOMENDASI
Rekomendasi hasil Penyelidikan Epidemiologi Kejadian Luar Biasa (KLB) Rabies,
sebagai berikut :
- Segera lakukan koordinasi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Rabies
Lingkup Kabupaten TTS.
- Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten TTS segera mengumpulkan, mengolah
dan menganalisis data laporan kasus GHPR, kasus Lyssa yang diterima dari
puskesmas untuk selanjutnya dikirimkan kepada Dinas Kesehatan,
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi.
- Segera membentuk Tim Surveilans Tingkat Kabupaten TTS dengan melibatkan
lintas program dan lintas sector terkait.
- Setiap kasus GHPR yang ditangani di Puskesmas atau fasilitas Kesehatan
terdekat wajib disampaikan ke Dinas Peternakan Kabupaten untuk segera
melakukan penyelidikan dan vaksinasi serta observasi HPR.
- Lakukan sosialisasi dan KIE kepada masyarakat agar setiap HPR yang telah
menggigit korban untuk tidak dibunuh tetapi dilaporkan ke Dinas Peternakan
Kabupaten agar segera mengambil specimen otak untuk diperiksa di
Laboratorium Veteriner Denpasar.
- Lakukan validasi dan berikan feedback setiap bulan.
- Apabila terjadi kasus Lyssa di suatu daerah, maka petugas segera mengirimkan
laporan W1 (laporan KLB/wabah) ke Dinas Kesehatan Kabupaten, lakukan
Analisa menurut variable epidemiologi (waktu, tempat, orang) serta segera beri
rekomendasi tindak lanjut.
- Petugas surveilans bersama dengan pengelola program segera melakukan
Penyelidikan Epidemiologi ke wilayah terjadinya GHPR.
- Sharing data dan sinergisitas kegiatan antara Dinas Kesehatan dengan Dinas
Peternakan dalam pengendalian HPR.
- Penemuan dan Tatalaksana Kasus GHPR dilakukan oleh petugas surveilans
puskesmas berdasarkan laporan dari masyarakat atau penderita yang berobat
ke fasilitas pelayanan kesehatan.
- Lakukan On the Job Training Tatalaksana kasus rabies bagi petugas puskesmas
di tingkat kabupaten.
- Penyuluhan dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam pencegahan kasus
GHPR di lingkungan tempat tinggal.
- Pengalokasian anggaran pengadaan buffer stok VAR dan SAR serta kegiatan
program dalam rangka pencegahan dan pengendalian kasus di tingkat
Kabupaten TTS.
I. PENUTUP.
Demikian laporan penyelidikan epidemiologi ini dibuat sebagai bahan
pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan.
d. Distribusi data
Data jumlah kasus GHPR berdasarkan orang,
tempat, dan waktu di kabupaten/kota telah
didistribusikan ke Dinas Kesehatan Provinsi
Sumatera Utara dengan rutin dalam bentuk
laporan bulanan.
(2) Penemuan dan Tata Laksana Kasus GHPR