Anda di halaman 1dari 26

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Esa, Saya panjatkan puja dan puji

Syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan Rahmat,hidayah,dan inayah-Nya

kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan Makalah Virologi yang berjudul “Virus

Rabies” .

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami

menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam

pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan

baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan

terbuka Kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar Kami dapat

memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan

menambah ilmu terhadap pembaca.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rabies merupakan penyakit mematikan yang ditularkan dari hewan ke manusia

dan menyerang sistem saraf pusat (WHO, 2017). Rabies menyebabkan kematian lebih

dari 59 000 orang atau hampir 1 kematian setiap 9 menit di seluruh dunia (CDC, 2017).

Anjing merupakan sumber utama penular rabies ke manusia melalui air liur yang

mengandung virus rabies (WHO, 2017). Sekitar 99 persen kematian manusia yang

terinfeksi rabies disebabkan oleh gigitan anjing (Yousaft et al., 2012)

Penyakit rabies di Indonesia bersifat endemis dan sampai saat ini penyakit

rabies telah menyerang 26 dari 34 propinsi yang ada, dengan rataan 150-300 kasus

kematian manusia akibat rabies setiap tahunnya (Nugroho et al., 2013). Bali merupakan

salah satu propinsi yang tertular rabies di Indonesia. Bali dinyatakan sebagai daerah

tertular rabies semenjak adanya laporan kasus gigitan anjing yang menyebabkan

kematian pada manusia di daerah Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten

Badung, pada 26 November 2008 (Dalem et al., 2012). Gigitan korban rabies di Bali

paling banyak terjadi pada korban yang berumur 41-50 tahun diikuti umur 21-30, 31-

40, dan 1-10 tahun (Iffandi et al., 2013).

Pada waktu yang bersamaan, rabies pada anjing mewabah di desa nelayan yakni

di Desa Kedonganan, Kuta Selatan, Badung, Bali (Supartika et al., 2009). Setelah

kejadian rabies pada wilayah dengan ketinggian beberapa meter di atas permukaan laut,

rabies kemudian menyebar ke berbagai wilayah, sehingga pada tahun 2001 tercatat 281

desa tertular rabies dari 722 desa yang ada di Bali (Batan et al., 2014). Desa-desa yang

tertular rabies termasuk yang berada di daerah dataran tinggi seperti di Kecamatan
Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, seperti Desa Rabies merupakan penyakit zoonosis

yang bersifat ganas. Penyebaran penyakit rabies telah terjadi diberbagai wilayah

dengan kondisi geografis yang beraneka ragam (Guo et al., 2013).

Bahkan rabies telah tersebar hingga wilayah dataran tinggi. Berdasarkan laporan

Prado et al. (2016) wabah rabies pertama kali dilaporkan terjadi di dataran tinggi utara

Provinsi Carchi, Ekuador pada tahun 1942 dan 1943. Kabupaten Karangasem, Bali

sebagian besar wilayahnya merupakan daerah pegunungan dan perbukitan. Di antara

pegunungan itu terdapat gunung berapi yang masih aktif, yaitu Gunung Agung (3.142

m). Pada Oktober 2009 kasus rabies pada anjing dilaporkan muncul pertama kali di

Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem yang terjadi pada tiga ekor anjing

(Septianingsih et al., 2017). Pada tahun 2010 kasus rabies semakin meluas kKintamani,

Batur Utara, Batur Selatan, dan Desa Songan (Andriani et al., 2016).

Rabies merupakan penyakit zoonosis yang bersifat ganas. Penyebaran penyakit

rabies telah terjadi diberbagai wilayah dengan kondisi geografis yang beraneka ragam

(Guo et al., 2013). Bahkan rabies telah tersebar hingga wilayah dataran tinggi.

Berdasarkan laporan Prado et al. (2016) wabah rabies pertama kali dilaporkan terjadi di

dataran tinggi utara Provinsi Carchi, Ekuador pada tahun 1942 dan 1943. Kabupaten

Karangasem, Bali sebagian besar wilayahnya merupakan daerah pegunungan dan

perbukitan. Di antara pegunungan itu terdapat gunung berapi yang masih aktif, yaitu

Gunung Agung (3.142 m). Pada Oktober 2009 kasus rabies pada anjing dilaporkan

muncul pertama kali di Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem yang

terjadi pada tiga ekor anjing (Septianingsih et al., 2017).

Pada tahun 2010 kasus rabies semakin meluas ke beberapa kecamatan yang ada di

Kabupaten Karangasem, yaitu: Kecamatan Abang, Karangasem, Bebandem, Manggis,

Selat, dan Rendang (Dharmawan et al., 2011).


1.2 Rumusan Masalah

1.Apakah pengertian virus rabies?

2.Apakah etiologi virus rabies?

3.Bagaimana epidemiologi virus rabies?

4.Apa gejala-gejala penyakit rabies?

5.Bagaimana pencegahan virus rabies?

6.Bagaimana pengobatan virus rabies?

1.3 Tujuan Penulisan

1.Mengetahui defisis virus rabies

2.Mengetahui etiologi virus rabies

3.Mengetahui epidemiologi virus rabies

4.Mengetahui gejala-gejala virus rabies

5.Mengetahui pencegahan dan pengobatan virus rabies


BAB I I

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Rabies adalah penyakit zoonosis yang dapat menyerang manusia dan hewan dengan darah

hangat. Virus rabies disebarkan oleh air liur hewan yang terinfeksi rabies. Biasanya, virus

masuk ke dalam tubuh melalui luka (seperti goresan) atau kontak langsung dengan

permukaan mukosa air liur hewan yang terinfeksi (seperti gigitan). Virus rabies tidak dapat

menembus kulit tanpa cedera (tanpa menimbulkan luka). Virus rabies memiliki

kemampuan untuk bereplikasi begitu mencapai otak, sehingga menimbulkan gejala klinis

pada pasien. (Kementrian Kesehatan RI, 2017).

Penyakit yang dikenal sebagai rabies, atau penyakit anjing gila, disebabkan oleh virus

yang membunuh manusia dan hewan berdarah panas. Air liur mengandung banyak virus

rabies. Melalui gigitan hewan pembawa rabies seperti anjing dan hewan karnivora lainnya

yang sering menggigit, virus ini akan menyebar ke manusia atau hewan lain. Gangguan

saraf disebabkan oleh rabies, yang menyebabkan hewan yang terinfeksi menjadi lebih

agresif, kehilangan kesadaran, dan menyerang apapun (Mamoto et al., 2021).

Pada manusia dan hewan berdarah panas lainnya, rabies adalah penyakit virus yang

menyebabkan radang otak akut. Sebagian besar rabies menyebar melalui gigitan atau

cakaran yang mengandung air liur hewan yang terinfeksi. Virus rabies akan masuk ke

susunan saraf pusat (SSP), dimana akan beredar secara sentrifugal ke berbagai organ

(Imelda & Sudew, 2015).

2.2 Sejarah
Rabies merupakan penyakit hewan yang sangat terkenal, bahkan sudah dikenal
sejak ribuan tahun sebelum masehi. Prasasti rabies yang berisikan aturan denda bagi
pemilik anjing, yang positif rabies menggigit manusia hingga mati telah dibuat pada zaman
kekuasaan raja Hamurabi (2300 SM). Rabies pada anjing dan kucing telah digambarkan
oleh Democritus (500 SM) dan Aristoteles (322 SM), Celcus (100 tahun sesudah
masehi) untuk pertama kalinya memperkenalkan hubungan antara gejala takut air
(hidrofobia) pada manusia dengan rabies pada hewan.
Di Indonesia rabies pertama kali dilaporkan pada kerbau oleh Esser (1884),
kemudian oleh Penning pada anjing (1889) dan oleh E.V. De Haan pada manusia (1894),
selanjutnya selama pendudukan Jepang situasi daerah tertular rabies tidak diketahui
dengan pasti, namun setelah Perang Dunia II peta rabies di Indonesia berubah. Secara
kronologis tahun kejadian penyakit rabies mulai di Jawa Barat (1948), Sumatera
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan
dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), D.I. Aceh (1970), Jambi dan
Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi Tenggara (1972), Kalimantan
Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983) dan P.
Flores (1997).
Pada akhir tahun 1997, KLB (Kejadian Luar Biasa) rabies muncul di Kab. Flores
Timur-NTT sebagai akibat pemasukan secara ilegal anjing dari pulau Buton- Sulawesi
Tenggara yang merupakan daerah endemik rabies. Sampai dengan saat ini selain beberapa
provinsi di kawasan Timur Indonesia yang tersebut diatas pulau- pulau kecil di sekeliling
Pulau Sumatera masih dinyatakan bebas rabies.

2. Patogenesis

Rabies adalah penyakit zoonosis dimana manusia terinfeksi melalui jilatan atau

gigitan hewan yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing, kera, musang, serigala,

raccoon, kelelawar. Virus masuk melalui kulit yang terluka atau melalui mukosa utuh

seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia eksterna, atau transplantasi kornea.

Setelah virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui luka gigitan, ia tetap berada di

dekat tempat masuknya selama dua minggu sebelum berpindah ke ujung serabut saraf

posterior tanpa mengubah cara kerjanya. Tingkat infeksi paling tinggi pada gigitan pada

wajah, sedang pada gigitan pada lengan dan tangan, dan rendah pada gigitan pada tungkai

dan kaki. Virus akan bereplikasi dengan cepat begitu mencapai otak dan menyebar luas di
antara sel saraf dan neuron di sana, terutama di sistem limbik, hipotalamus, dan batang

otak. Virus menyebar ke sistem saraf tepi melalui serabut saraf eferen baik di sistem saraf

sadar dan otonom setelah berkembang biak di neuron otak. Akibatnya, virus ini menyerang

hampir setiap organ dan jaringan tubuh, dan akan berkembang biak di jaringan seperti

ginjal dan kelenjar ludah (Kemenkes R.I., 2016)

2.3 Etiologi

Virus neurotropik milik keluarga Rhabdoviridae dan milik genus Lyssavirus inilah

yang menyebabkan rabies. Partikel virus berbentuk seperti peluru, berdiameter 75 m, dan

panjangnya berkisar antara 100 hingga 300 m. Varietas ukuran ini dapat dikenali sebagai

strain infeksi rabies. Virus memilikimatriks/membran dan selubung glikoprotein yang

menyusun strukturnya. Sebuah virus non-segmen milik genus Lyssavirus, spesies virus

Rabies, keluarga Rhabdoviridae, kelompok Mononegavirales, dan kelompok V (virus

RNA) bertanggung jawab untuk rabies. Kelelawar Lagos, virus Makola, virus Duvenhage,

virus kelelawar Eropa satu dan dua, dan virus kelelawar Australia semuanya adalah

anggota genus Lyssavirus, bersama dengan virus rabies. Rhabdovirus merupakan virus

dengan panjang kira-kira 180 nm dan lebar 75 nm. Genom rabies mempunyai lima jenis

protein: matrik protein (M), nukleoprotein (N) yang berperan dalam enkapsidasi dan

melindungi RNA dari aktivitas ribonuklease endogen dan juga berperan dalam transkripsi

dan replikasi virus. Fosfoprotein (P) dan protein polimerase (L) adalah komponen

penyusun yang terkait dengan protein ribonukleat (RNP). Glikoprotein (G) adalah protein

pembentuk virus mirip spike (kurang lebih 400 duri) dan memiliki peran utama dalam

perlekatan virus ke permukaan sel, patogenisitas, dan neurovirulensi RABV. Protein M

dikaitkan dengan amplop dan RNP, dan mungkin menjadi protein pusat perakitan rhabdo-

virus (Rahmahani et al., 2019).


Struktur dasar dan komposisi rabies dapat dilihat pada diagram di bawah ini:

Gambar 2 Virus Rabies

Paku glikoprotein mengelilingi virus rabies berbentuk peluru. Gambar 2 Virus Rabies 9

Ribonukleoprotein terbuat dari nukleoprotein RNA, terfosforilasi atau fosfoprotein dan

polimerase.

2.4 Epidemiologi
Penyakit rabies tersebar di seluruh dunia antara lain Rusia, Argentina, Brasilia,
Australia, Israel, Spanyol, Afghanistan, Amerika Serikat, Indonesia dan lain sebagainya
dengan frekuensi kasus dan spesifikasi vektor penular yang berbeda-beda. Di Amerika
Serikat ada beberapa kota yang bebas rabies (New York dan Philadelphia), tetapi sebagian
besar negara bagian melaporkan kasus rabies pada binatang. Pada tahun 1975 dilaporkan
terjadi 25 kasus rabies pada anjing. Vektor utama di Amerika Utara adalah rubah, racoon,
dan kelelawar. Di Amerika Tengah den Latin, kelelawar penghisap darah ternak (vampire
bat) adalah vektor utama penyakit selain anjing. Rubah juga merupakan hewan penular
terpenting di Eropa, sedangkan di Asia dan Afrika.anjing merupakan vektor terbanyak
yang ditemukan.
Rabies ditemukan di Indonesia pada tahun 1889 pada seekor kerbau di Bekasi,
sementara rabies pada manusia pertama kali dilaporkan pada tahun 1894 oleh E.V. de
Haan. Di daerah tropis.vektor utama rabies adalah hewau karnivora. Dari hasil penelitian
pada bewan peliharaan seperti anjing.kucing. dan kera, didapatkan data bahwa dari 12.581
gigitan hewan tersangka rabies, sebanyak 1112 hewan positif rabies, 120 orang meninggal,
dengan kasus tertinggi di NTT, Sumatera Barat, dan Riau. Di Jawa Tengah sejak tahun
1995 tidak terdapat lagi kasus rabies. Sasaran pengobatan adalah pasien yang tergigit
hewan tersangka dan anjing.
Di Indonesia sampai Agustus 2010 sudah 113 orang positif terinfeksi penyakit
rabies. Penyebaran virus rabies sulit dihentikan. Kecepatan penyebarannya tiga milimeter
perjam. Tidak mengherankan bila angka kematian akibat penyakit ini mencapai 100%.
Ciri-ciri yang terkena rabies korban akan merasa sakit di luka gigitan, setelah itu sakit
kepala, takut cahaya, takut air dan sesak napas.
Penyakit ini, seperti dilansir dalam siaran pers Kementerian Kesehatan, juga kerap
menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Tahun 2005 KLB terjadi di provinsi Maluku,
Maluku Utara dan Kalimantan Barat, akhir tahun 2007, KLB terjadi di Banten. November
2008, KLB terjadi di Kab. Badung, Bali.Di Pulau Nias, Sumatera Utara sampai dengan Juli
2010 terjadi 857 gigitan hewan penular rabies (GHPR), sekitar 815 diberi vaksin anti
rabies, dan 23 diantaranya meninggal dunia. Di Bali, sejak kasus ini menyebar tahun 2008
di Kab. Badung, sampai bulan Agustus 2010 terdata 53.418 kasus GPHR, 83 diantaranya
meninggal (4 orang tahun 2008, 26 orang tahun 2009, dan 53 orang tahun 2010).
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan rata-rata di Asia ada 50.000
kasus kematian akibat rabies pertahun. Kasus di negara Asia terbanyak ditemukan di India
(20.000-30.000 kasus pertahun), Vietnam (rata-rata 9.000 kasus pertahun), China (rata-rata
2.500 kasus pertahun), Filipina (200-300 kasus pertahun) dan Indonesia (rata-rata 125
kasus pertahun). Di Indonesia rabies sebagian besar disebabkan gigitan anjing (98%)
sementara sebagian kecil diebabkan oleh gigitan kera dan kucing (2%).
Forum Regional Zoonotic Meeting SEARO yang berlangsung di Jakarta pada
November 2007, menetapkan rabies sebagai penyakit prioritas kedua setelah Avian
Influenza. Penyakit Rabies atau anjing gila merupakan penyakit mematikan yang
ditularkan lewat gigitan anjing. Untuk menghindari kematian, bila seseorang digigit hewan
yang menderita rabies, tindakan pertama yang dilakukan adalah cuci luka secepatnya
dengan air mengalir dan sabun atau deterjen selama 10-15 menit. Kemudian luka diberi
antiseptik/ alkohol 70%, setelah itu segera bawa ke Rabies Center (Puskesmas atau Rumah
Sakit) atau ke dokter untuk mendapatkan pengobatan selanjutnya.
Data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
Kementerian Kesehatan menyebutkan, Indonesia merupakan negara terbesar ke lima di
Asia yang menjadi negara dengan jumlah korban rabies. Posisi Indonesia terbesar setelah
India, China, Filipina dan Vietnam.
Data kasus kematian yang disebabkan rabies (lyssa) di Indonesia tercatat sekitar
125 kasus per tahun. Wilayah di Indonesia yang terinfeksi rabies juga tidak main-main.
Sejak tahun 2004 hingga Desember 2009 lalu, penyebaran rabies tersebar di 24 Provinsi.
Berarti hanya 9 Provinsi saja yang bebas rabies, yaitu Jawa Tengah, DI Yogjakarta, Jawa
Timur, Bali, NTT, Papua, Kalimantan Barat dan Maluku Utara. Selain sembilan Provinsi
tersebut, semua terkena penyebaran rabies dan berpotensi menambah jumlah korban
meninggal akibat gigitan ataupun liur anjing liar yang tertular rabies.
Kejadian penyakit rabies di Indonesia pada tahun 2004 (1308 kasus), 2005 (889
kasus), 2006 (1708 kasus), dan pada tahun 2007 (1936 kasus).
Rita Kusriastuti, Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang,
Kementerian Kesehatan menyebutkan, sembilan Provinsi yang saat ini masih bebas dari
ancaman rabies tersebut adalah Bangka Belitung, Kepri, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa
Timur, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, dan Papua. Sementara hingga
Juli 2010 , tercatat sekitar 24 provinsi yang telah melaporkan terjadinya kasus rabies
berujung pada kematian. Sebanyak 24 Provinsi tersebut adalah Sumut, Sumbar, Riau,
Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Banten, Jabar, Bali, NTT, Sulut, Gorontalo, Sulteng,
Sultra, Sulsel, Sulbar, Kalsel, Kaltim, Maluku, Malut dan Kalteng. Provinsi Bali
merupakan yang paling tinggi dan mengkhawatirkan.

2.5 Gejala klinis pada manusia dan anjing

Gejala klinis penyakit rabies pada manusia dibagi menjadi empat stadium (Masriadi, 2017)

yaitu :

a. Stadium Prodromal Ketika virus menyerang sistem saraf pusat, gejala pertama adalah

gelisah, demam, sakit kepala, malaise, nyeri, kehilangan nafsu makan, mual, sakit

tenggorokan, batuk, dan kelelahan ekstrim yang berlangsung selama 1-4 hari. Dalam satu

hingga dua bulan setelah digigit hewan yang terinfeksi rabies, seseorang yang terinfeksi

virus mulai menunjukkan gejala tertentu.

b. Stadium Sensoris Pada bagian bekas luka, pasien mengalami nyeri terbakar dan

kesemutan, gejala kecemasan, dan respon yang berlebihan terhadap stimulasi sensorik. c.

Stadium Eksitasi Dengan gejala seperti ketakutan yang berlebihan, haus, dan ketakutan
akan rangsangan ringan, angin, atau suara keras, aktivitas simpatik meningkatkan tonus

otot. Biasanya, selalu mengeluh sebelumnya. kehilangan kesadaran. Penderita mengalami

kebingungan, kegelisahan, ketidaknyamanan, dan ketidakteraturan. Agresi, halusinasi, dan

ketakutan terusmenerus muncul saat kebingungan semakin meningkat. kekakuan atau

gemetar di seluruh tubuhd. Stadium Paralis Berbagai strain virus rabies yang dibawa oleh

spesies tertentu dari hewan glider dan lokasi gigitan pada tubuh keduanya berdampak pada

timbulnya berbagai gejala klinis rabies pada manusia. Sejauh angka, fase hilangnya gerak

rabies pada manusia dilacak di sekitar seperlima dari kasus, namun bagi makhluk itu

adalah efek samping yang paling normal sebelum kematian terjadi. Tahap eksitasi adalah

saat sebagian besar pasien rabies meninggal. Ada juga kasus di mana tidak ada tanda-tanda

kegembiraan melainkan tanda-tanda paresis, seperti tonus otot progresif. Hal ini terjadi

akibat gangguan pada sumsum tulang belakang, yang menimbulkan kekhawatiran tentang

tanda dan gejala paresis, atau kelumpuhan otot pernapasan, pada otot yang menaik. Selain

efek samping klinis rabies pada manusia, ada juga efek samping klinis rabies pada hewan,

yang meliputi tiga tahap berikut (Infodatin 2016) :

a. Fase prodromal Hewan mencari kesunyian, kamar mandi, dan tempat sejuk seperti di

bawah pohon. Namun, hewan tersebut juga dapat menjadi lebih agresif. Pupil melebar,

kornea menjadi kering, dan refleks kornea berkurang atau dihilangkan. Nada otot hewan

meningkat, membuatnya tampak kaku atau waspada.

b. Fase eksitasi Selama fase ini, hewan akan menyerang dan memakan benda-benda aneh

di sekitarnya: kawat, rambut, kayu, dan sebagainya. Kejang, gerakan tidak terkoordinasi,

dan mata berkabut adalah beberapa gejalanya.

c. Fase paralisi Hewan itu bangun, kehilangan semua refleks, kejang, dan akhirnya mati.

2.6 Masa inkubasi penyakit rabies


Jumlah virus rabies yang masuk ke dalam tubuh, tingkat keparahan dan luasnya

kerusakan jaringan di lokasi gigitan, kedekatan lokasi gigitan dengan sistem saraf pusat,

persarafan area luka gigitan, dan sistem imun semuanya mempengaruhi masa inkubasi

virus, yang dapat berkisar dari 7 hari hingga lebih dari 1 tahun, atau rata-rata satu hingga

dua bulan. 30 hari berlalu antara gigitan pada kepala, wajah, dan leher, 40 hari berlalu

antara gigitan pada lengan, tangan, dan jari, 60 hari berlalu antara gigitan pada tungkai,

kaki, dan jari kaki, dan 45 hari berlalu antara gigitan pada kaki. tubuh. Asumsi lain

menyatakan bahwa masa inkubasi tidak ditentukan oleh panjang saraf melainkan oleh

tingkat persarafan di setiap bagian tubuh; misalnya, gigitan pada jari dan alat kelamin akan

memiliki masa inkubasi yang lebih singkat (Tanzil, 2014).

2.7 Pola penyebaran

Kondisi anjing yang tidak dirawat dengan baik atau jenis anjing liar yang merupakan ciri

khas anjing di pedesaan yang perkembangannya fluktuatif dan seringkali sulit dikendalikan

dapat mengakibatkan penyebaran atau penularan penyakit rabies di lapangan, yang dikenal

dengan istilah rabies pedesaan (Mau & Desato, 2011). Karena belum ada laporan kasus

manusia menggigit anjing atau anjing liar, korban gigitan biasanya mengincar manusia

sebagai target utamanya. Anjing domestik liar dapat menggigit satu sama lain. Jika salah

satu anjing yang menggigit positif (+) rabies, maka kasus positif (+) rabies akan

bertambah.

2.8 Penanggulangan dan pencegahan

2.8.1 Pencegahan
Vaksinasi anjing peliharaan dan eliminasi aniing liar perlu dilakukan.Orang
dengan .risiko tinggi seperti dokter hewan, pekerja laboratorium, dan anak-anak (yang
dianggap sering berhubungan dengan hewan peliharaan) juga perlu diimunisasi. Pada
daerah endemik rabies.gigitan anjing tanpa provokasi (anjing tidak diganggu) harus
dianggap menularkan rabies. Dokter mengelola pasien yang tergigit, sedangkan hewan
yang menggigit akan ditangani oleh petugas dari dinas peternakan.
A. Pencegahan primer
1. Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing,
kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies.
2. Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk
tanpa izin ke daerah bebas rabies. Dilarang melakukan vaksinasi atau
memasukkan vaksin rabies kedaerah- daerah bebas rabies.
3. Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70%
populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus.
4. Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing yang
telah divaksinasi.
5. Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak bertuan dengan jalan
pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan.
6. Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus
didaftarkan ke Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas Dinas
Peternakan setempat.
7. Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari2
meter. Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan
rantai tidak lebih dari 2 meter dan moncongnya harus menggunakan
berangus (beronsong).
8. Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita
rabies, selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama
observasi atau yang dibunuh, maka harus diambil spesimen untuk
dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk diagnosa.
9. Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan
sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies.
10. Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies
sekurang-kurangnya 1 meter.

B. Pencegahan sekunder
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan untuk meminimalkan resiko
tertularnya rabies adalah mencuci luka gigitan dengan sabun atau dengan
deterjen selama 5-10 menit dibawah air mengalir/diguyur. Kemudian luka
diberi alkohol 70% atau Yodium tincture. Setelah itu pergi secepatnya ke
Puskesmas atau Dokter yang terdekat untuk mendapatkan pengobatan
sementara sambil menunggu hasil dari rumah observasi hewan.Resiko yang
dihadapi oleh orang yang mengidap rabies sangat besar. Oleh karena itu, setiap
orang digigit oleh hewan tersangka rabies atau digigit oleh anjing di daerah
endemic rabies harus sedini mungkin mendapat pertolongan setelah terjadinya
gigitan sampai dapat dibuktikan bahwa tidak benar adanya infeksi rabies.

C. Pencegahan terier
Tujuan dari tiga tahapan pencegahan adalah membatasi atau menghalangi
perkembangan ketidakmampuan, kondisi, atau gangguan sehingga tidak
berkembang ke tahap lanjut yang membutuhkan perawatan intensif yang
mencakup pembatasan terhadap ketidakmampuan dengan menyediakan rehabilitasi.
Apabila hewan yang dimaksud ternyata menderita rabies berdasarkan
pemeriksaan klinis atau laboratorium dari Dinas Perternakan, maka orang
yang digigit atau dijilat tersebut harus segera mendapatkan pengobatan khusus
(Pasteur Treatment) di Unit Kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan Anti
Rabies dengan lengkap.

2.9 Pengendalian
a. Aturan Perundangan
Upaya pencegaan dan pengendalian rabies telah dilakukan sejak lama, di Indonesia
dilaksanakan melalui kegiatan terpadu secara lintas sektoral antara lain dengan
adanya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yaitu Menteri Kesehatan, Menteri
Pertanian, dan Menteri Dalam Negeri No: 279A/MenKes/SK/VIII/1978; No:
522/Kpts/Um/8/78; dan No: 143/tahun1978.7. Penerapan aturan perundangan ini
perlu ditegakkan, agar pelaksanaan di lapangan lebih efektif dan secara tegas
memberikan otoritas kepada pelaksana untuk melakukan kewajibannya sesuai
dengan aturan perundangan yang ada, baik tingkat nasional, tingkat kawasaan,
maupun tingkat lokal.
b. Surveilans
Pelaksanaan surveilans untuk rabies merupakan dasar dari semua program dalam
rangka pengendalian penyakit ini. Data epidemiologi harus dikumpulkan sebaik
mungkin, dianalisis, dipetakan, dan bila mungkin segera didistribusikan secepat
mungkin. Informasi ini juga penting untuk dasar perencanaan, pengorganisasian,
dan pelaksanaan program pengendalian.
c. Vaksinasi Rabies
Untuk mencegah terjadinya penularan rabies, maka anjing, kucing, atau kera
dapat diberi vaksin inaktif atau yang dilemahkan (attenuated). Untuk memperoleh
kualitas vaksin yang efektif dan efisien, ada beberapa persyaratan yang harus
dipenui, baik vaksin yang digunakan bagi hewan maupun bagi manusia, yakni :
- Vaksin harus dijamin aman dalam pemakaian.
- Vaksin harus memiliki potensi daya lindung yang tinggi.
- Vaksin harus mampu memberikan perlindungan kekebalan yang lama.
- Vaksin arus mudah dalam cara aplikasinya.
- Vaksin harus stabil dan menghasilkan waktu kadaluwarsa yang lama.
- Vaksin harus selalu tersedia dan mudah didapat sewaktu-waktu dibutuhkan

2.10 Definisi Tindakan

Memahami tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan

dalam suatu situasi adalah fokus teori tindakan. Ketika sesuatu menjadi kebiasaan, itu akan

selalu dilakukan secara otomatis. Namun, akan ada perhatian terhadap teori tindakan dan

upaya untuk memperbaikinya ketika tindakan tersebut tidak lagi efektif (Johnson, 2012).

2.11 Faktor yang mempengaruhi Tindakan

Faktor predisposisi seperti sikap, keyakinan, nilai, motivasi, dan pengetahuan

merupakan beberapa faktor penyebab tindakan menurut Noorkasiani (2009). Tingkah laku

seseorang tidak selalu mencerminkan sikapnya. Sarana dan prasarana merupakan contoh

faktor pendukung atau kondisi pemungkin yang diperlukan agar sikap menjadi tindakan

nyata. Untuk membentuk sikap, pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang

membekas. Tindakan seseorang dapat dipengaruhi oleh sikap dan pengetahuan.

2.12 Pertolongan Pertama Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR)


Pertolongan pertama adalah memberikan perawatan dan pertolongan darurat sementara

dengan benar dan cepat. Tujuan utamanya bukan untuk memberikan pengobatan akhir;

sebaliknya, ini adalah upaya untuk melindungi korban dari kesengsaraan lebih lanjut

(Lutfiasari, 2016). Akibatnya, setiap kasus gigitan hewan penular rabies harus segera

ditangani. Hal ini bertujuan untukmengurangi atau menghilangkan efek virus rabies yang

masuk ke dalam tubuh melalui luka gigitan (Mau & Desato, 2011).

Penanganan penderita gigitan hewan penular rabies dilakukan melalui :

1. Periksa luka gigitan Luka gigitan ringan : sebagian besar gigitan anjing dapat diobati di

rumah. Jika kulit atau gigi anjing tidak rusak, luka gigitannya hanya berupa goresan kecil.

Luka gigitan berat : termasuk satu atau lebih luka dalam yang disebabkan oleh gigi anjing

yang memotong jaringan yang tertusuk atau tidak.

2. Pencucian luka Saat merawat gigitan HPR, mencuci luka merupakan langkah pertama

yang penting. Mencuci luka gigitan sesegera mungkin dengan sabun atau detergen dan air

mengalir selama 10 sampai 15 menit merupakan cara yang paling efektif untuk

mengurangi atau menonaktifkan virus rabies pada luka. Setelah itu luka harus dikeringkan

dengan handuk.

3. Menekan luka Berikan tekanan pada luka gigitan dengan handuk bersih atau kain kasa

jika masih mengeluarkan darah setelah dicuci. Dalam beberapa menit, pendarahan akan

berhenti atau melambat setelah itu luka diperban.

4. Pemberian antiseptik Antiseptik (obat merah, betadine, alkohol 70%, dll.) dapat

diberikan setelah mencuci luka. Pemberian steril tanpa membasuh luka tidak akan

memberikan manfaat yang luar biasa dalam mencegah rabies. Alhasil, mencuci luka

mutlak diperlukan saat menangani kasus gigitan HPR .

5. Pasang perban pada luka Oleskan perban ke luka dengan benar segera setelah antiseptik
diberikan. Berikan sedikit tekanan untuk membantu melindungi luka, tetapi jangan sampai
menghentikan aliran darah atau membuat Anda merasa tidak nyaman. 6. Tindakan
penunjang Luka gigitan HPR tidak boleh dijahit untuk mengurangi tindakan invasif virus
pada jaringan luka, kecuali pada luka yang lebar dan dalam yang terus mengeluarkan darah
dapat dilakukan penjahitan situasi untuk menghentikan perdarahan. Sebelum dilakukan
penjahitan luka harus diberikan suntikan infiltrasi Serum Anti Rabies (SAR) sebanyak
mungkin di sekitar luka dan sisanya diberikan secara Intra Muskuler (IM) (Dinas
Kesehatan Kabupaten Sikka, 2012)

2.13 Diagnosa

1.Diagnosa Lapangan

Untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang paling tepat adalah
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut ;

- Anjing yang menggigit harus ditangkap dan diobservasi.

- Riwayat penggigitan, ada tidaknya provokasi.

- Jumlah penderita gigitan.

Penahanan dan observasi klinis selama 10 - 15 hari dilakukan terhadap anjing,


kucing yang walaupun tampak sehat dan diketahui telah menggigit orang (sedangkan
anjing atau kucing yang tidak ada pemiliknya dapat langsung dibunuh dan diperiksa
otaknya)

Berdasarkan pengalaman di lapangan, anjing menggigit lebih dari satu orang


tanpa didahului oleh adanya provokasi dan anjing tersebut mati dalam masa observasi
yang kemudian specimen otaknya diperiksa dilaboratorium hasilnya adalah positif
rabies, selanjutnya indikasi kecenderungan rabies di lapangan tanpa adanya tindakan
provokasi dapat ditentukan sebagai berikut :

- Hewan menggigit 1 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 25 %.

- Hewan menggigit 2 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 50 %.

- Hewan menggigit 3 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 75 %.

- Hewan menggigit 4 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 100 %.

2. Diagnosa Laboratorium

Diagnosa rabies secara laboratorium didasarkan atas :


a. Penemuan badan negri (negri body)

b. Penemuan antigen

c. Penemuan virus (isolasi)

Antigen, badan negri dan virus banyak ditemukan pada sel saraf (neuron)
sedangkan kelenjar ludah dapat mengandung antigen dan virus tetapi badan negri
tidak selalu dapat ditemukan pada kelenjar ludah anjing. Adanya kontaminasi pada
specimen dapat mengganggu pemeriksaan dan khususnya untuk ”isolasi virus”
pengiriman harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kelestarian hidup virus dalam
specimen tetap terjamin sampai ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan dapat berupa seluruh kepala, otak, hippocampus, cortex cerbri
dan cerebellum, preparat pada gelas objek dan kelenjar ludah. Bila negri body tidak
ditemukan, supensi otak (hippocampus) atau kelenjar ludah sub maksiler
diinokulasikan intrakranial pada hewan coba (suckling animals), misalnya hamster,
tikus (mice) atau kelinci (rabbits).

Cara diagnosis rabies secara laboratoris dapat dilakukan dengan :

a. Mikroskopis untuk melihat dan menemukan badan negri, yakni pewarnaan cepat
Sellers, FAT (Fluorescence Antibody Technique) dan histopatologik.

b. Antigen-antibody reaksi dengan uji virus nertralisasi, gel agar presipitasi atau reaksi
peningkatan komplemen dan FAT Isolasi virus secara biologis pada mencit atau in
vitro pada biakan jaringan diikuti identifikasi isolat dengan cara pewarnaan FAT
atau uji virus netralisasi.

2.14 Pengobatan

Rabies berisiko tinggi menyebabkan kematian, terutama jika virus sudah menginfeksi otak.
Oleh sebab itu, penanganan harus cepat diberikan, bahkan bila memungkinkan, sebelum
gejalanya muncul.
Pengobatan yang dilakukan tergantung pada kategori luka, yaitu:

 Kategori luka risiko rendah, berupa pembersihan luka secara menyeluruh dengan
cairan desinfektan
 Kategori luka risiko sedang, berupa pencucian luka dan vaksinasi rabies
 Kategori luka risiko tinggi, berupa pencucian luka, vaksinasi rabies, dan serum
antirabies

Berikut adalah penjelasan pengobatan rabies:


Pembersihan luka
Pembersihan luka bekas gigitan atau cakaran hewan yang dicurigai terinfeksi rabies
dilakukan dengan sabun antiseptik dan air selama 15 menit. Selanjutnya, luka harus
diberikan povidine iodine. Jika diperlukan, dokter akan memberikan serum antirabies
langsung ke luka tersebut.

Serum antirabies
Serum antirabies atau human rabies immune globulin (HRIG) diberikan kepada pasien
yang belum pernah menerima vaksin rabies dan memiliki luka dengan kategori risiko
tinggi.
Serum antirabies juga diutamakan kepada pasien dengan kondisi berikut:

 Memiliki lebih dari satu gigitan


 Tergigit pada area yang memiliki banyak saraf, seperti kepala, leher, atau tangan
 Memiliki daya tahan tubuh lemah, misalnya akibat menderita HIV atau
menggunakan obat antikanker, seperti rituximab
 Tergigit oleh hewan yang terkonfirmasi terinfeksi rabies

Serum antirabies diberikan bersama dengan dosis pertama vaksin rabies. Tujuannya adalah
sebagai perlindungan bagi pasien sebelum antibodi dari vaksin rabies terbentuk.

Vaksin rabies
Vaksin rabies mengandung virus rabies yang telah dilemahkan. Vaksin ini akan
merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi yang akan membunuh
virus rabies. Idealnya, vaksin rabies diberikan sebagai pencegahan, terutama pada orang
yang berisiko tinggi terpapar virus rabies.
Namun, selain untuk mencegah, vaksin rabies juga dapat diberikan kepada orang yang baru
dicakar atau digigit hewan yang berisiko membawa virus rabies. Vaksin ini disebut
dengan post-exposure prophylaxis (PEP).
Vaksin rabies sebagai PEP diberikan kepada pasien yang diduga terinfeksi virus rabies
dengan kategori luka risiko sedang dan tinggi. Dosis vaksin akan disesuaikan dengan
kondisi pasien apakah ia sudah atau belum pernah menerima vaksin rabies.
Pada pasien yang belum pernah mendapatkan vaksin rabies, dokter akan memberikan 4
dosis vaksin dengan rincian sebagai berikut:

 Dosis pertama diberikan segera setelah tergigit, diikuti dengan suntik serum
antirabies untuk membantu sistem kekebalan tubuh dalam melawan infeksi
 Dosis kedua diberikan pada hari ke-3 setelah digigit
 Dosis ketiga diberikan pada hari ke-7 setelah digigit
 Dosis keempat diberikan antara hari ke-14 sampai ke-28 setelah digigit

Sementara pada pasien yang sudah pernah menerima vaksin rabies, dokter akan
memberikan 2 dosis vaksin dengan rincian:

 Dosis pertama diberikan secepatnya setelah tergigit


 Dosis kedua diberikan 3 hari setelah digigit hewan

Pemberian VAR (vaksin anti-rabies), atau VAR dan SAR (serum anti- rabies)
1. Pada luka risiko rendah: VAR diberikan pada semua penderita kasus gigitan
HPR yang belum pemah mendapatkan VAR. Sejumlah 0,5 mL VAR
disuntikkan 1M pada regio deltoideus anak kanan dan kiri sedangkan pada bayi
disuntikkan di pangkal paha. Penyuntikkan diberikan 4 kali (hari ke-0 2x pada
pangkal lengan kanan kiri, hari ke-7 1x, dan hari ke-21 1x); sedangkan pada
penderita yang sudah pernah mendapat VAR lengkap sebelum 3 bulan tidak
perlu diberi VAR, bila sudah berusia 3 bulan sampai 1 tahun maka perlu
diberikan VAR 1x, dan bila sudah berusia lebih dari 1 tahun maka perlu
diberikan VAR lengkap karena dianggap sebagai penderita baru.
2. Pada luka risiko tinggi: Perlu diberikan VAR dan SAR. VAR disuntikkan
sebagaimana pada luka risiko rendah ditambah ulangan 1x pada hari ke-90.
SAR disuntikkan di sekitar luka gigitan dan sisanya secara IM dengan dosis 0,1
mL/kgBB pada hari ke-0, bersamaan dengan pemberian VAR.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Rabies adalah suatu penyakit yang menyerang susunan saraf pusat yang disebabkan
oleh virus rabies, yang termasuk dalam famili Rhabdovirus. Penyakit anjing gila ini
mempunyai sifat zoonotik yaitu penyakit yang dapat ditularkan dari hewan pada manusia
melalui gigitan. Di Indonesia virus rabies ditularkan kepada manusia melalui gigitan
hewan misalnya anjing, kucing, kera dan kelelawar.
Penyakit rabies tersebar di seluruh dunia antara lain Rusia, Argentina, Brasilia,
Australia, Israel, Spanyol, Afghanistan, Amerika Serikat, Indonesia dan lain sebagainya
dengan frekuensi kasus dan spesifikasi vektor penular yang berbeda-beda. Negara endemis
rabies adalah India, Srilangka, Bangladesh dan Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia
(WHO) menunjukkan rata-rata di Asia ada 50.000 kasus kematian akibat rabies pertahun.
Penyakit rabies ditularkan melalui gigitan binatang. Kuman yang terdapat dalam air
liur binatang ini akan masuk ke aliran darah dan menginfeksi tubuh manusia.Masa
inkubasi adalah waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala penyakit .Masa
inkubasi penyakit Rabies pada anjing dan kucing kurang lebih 2 minggu (10 hari- 14 hari).
Pada manusia 2-3 minggu dan paling lama 1 tahun. Gejala Klinis rabies pada manusia
memiliki empat tahap yaitu tahap prodromal, sensoris, eksitasi dan tahap paralitik.

3.2 Saran
Saran penulis terhadap pembaca khususnya yang memiliki hewan peliharaan yakni
kucing, anjing, kera dan hewan lainnya yang rentan terkena virus rabies agar dapat menjadi
seorang pemelihara yang baik dengan selalu melakukan pemeriksakan hewan peliharaan
dan memberikan vaksin secara teratur. Selain itu apabila terdapat kasus gigitan dari hewan
yang diduga terjangkit rabies, secepatnya di laporkan ke dinas kesehatan atau pihak terkait
agar dapat meminimalisir terjadinya wabah dari penyakit tersebut
DAFTAR PUSTAKA

Andriani F, Batan IW, Kardena IM. 2016. Penyebaran Rabies dan Analisis Korelasi

Kejadiannya pada Anjing dengan Manusia di Kabupaten Bangli Tahun 2009-2014.

Indonesia Medicus Veterinus 5(1): 79-88.

Guo D, Zhou H, Zou Y, Yin W, Yu H, Si Y, Li J, Zhou Y, Zhou X, Soares Magalhaes RJ.

2013. Geographical Analysis of the Distribution and Spread of Human Rabies in China

from 2005 to 2011. PLoS ONE 8(8): 72352

Iffandi C, Widyastuti SK, Batan IW. 2013. Sebaran Umur Korban Gigitan Anjing Diduga

Berpenyakit Rabies pada Manusia di Bali. Indonesia Medicus Veterinus 2(1): 126- 131.

Supartika IKE, Setiaji G, Wirata K, Hartawan DHW, Putra AGG, Dharma DMN,

Soegiarto, Djusa ER. 2009. Kasus Rabies Pertama Kali di Provinsi Bali. Buletin Veteriner

BBVet Denpasar 21(74): 7-12

Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI, 2016, Ifodation,Pusat Data dan Informasi

Kementrian Kesehatan RI. Jangan Ada Lagi Kematian Akibat Rabies. Kementrian

Kesehatan RI 2016, Jakarta .

Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI. 2017, Infodation, Pusat Data dan Informasi

Kementrian Kesehatan RI. Situasi RABIES di Indonesia. Kementrian Kesehatan RI 2017,

Jakarta
Mamoto, G. G., Gosal, R., & Liando, D. M. (2021). Implementasi Kebijakan Pemerintah

Dalam Penanggulangan Hewan Beresiko Rabies Di Kabupaten Minahasa Tenggara (Studi

Di Dinas Pertanian Kab. Minahasa Tenggara). Jurnal Governance, 1(2), 2.

Rahmahani, J., Suwarno, S., Yuniarti, W. M., & Abdul Rantam, F. (2019). Situs antigenik

gen nukleoprotein dari virus rabies Indonesia. Veterinary World, 12(5), 724–728.

https://doi.org/10.14202/vetworld.2019.724-728

Kementrian Kesehatan RI. (2017). Situasi Rabies di Indonesia. In Pusat data dan informasi

kementrian kesehatan RI (Issue May).

Masriadi, D. H. (2017). Epidemiologi Penyakit Menular. Pengaruh Kualitas Pelayanan…

Jurnal EMBA (Vol. 109, Issue 1).

Imelda, Y. M., & Sudew, A. A. R. (2015). Patogenesis Rabies – Aspek Neurotransmiter.

Continuing Continuing Medical Medical Education, 42(2), 87.


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................

DAFTAR ISI........................................................................Error! Bookmark not defined.

BAB 1 : PENDAHULUAN..................................................Error! Bookmark not defined.

1.1 Latar Belakang............................................................Error! Bookmark not defined.

1.2 Perumusan Masalah....................................................Error! Bookmark not defined.

1.3 Tujuan Penulisan........................................................Error! Bookmark not defined.

BAB 2 : PEMBAHASAN....................................................Error! Bookmark not defined.

2.1 Definisi.......................................................................Error! Bookmark not defined.

2.2 Sejarah ...........................................................................................................................

2.3 Etiologi.......................................................................Error! Bookmark not defined.

2.4 Epidemiologi.............................................................................................................viii

2.5 Gejala Klinis...............................................................Error! Bookmark not defined.

2.6 Masa inkubasi.............................................................Error! Bookmark not defined.

2.7 Pola penyebaran..........................................................Error! Bookmark not defined.

2.8 Penanggulangan dan pencegahan...............................Error! Bookmark not defined.

2.9 Pengendalian...............................................................Error! Bookmark not defined.

2.10 Definisi tindakan..........................................................................................................

2.11 Faktor yang mempengaruhi tindakan...........................................................................

2.12 Pertolongan pertama gigitan hewan rabies...................................................................

2.13 Diagnosa.......................................................................................................................
2.14 Pengobatan...................................................................................................................

BAB 3 : PENUTUP..............................................................Error! Bookmark not defined.

3.1 Kesimpulan.................................................................Error! Bookmark not defined.

3.2 Saran..........................................................................................................................xxi

DAFTAR PUSTAKA...........................................................Error! Bookmark not defined.

Anda mungkin juga menyukai