Anda di halaman 1dari 50

2.

1 PENGERTIAN ANDALALIN

Analisis dampak lalu lintas (andalalin) adalah suatu hasil kajian yang menilai tentang
efek-efek yang ditimbulkan oleh lalu lintas yang dibangkitkan oleh suatu pembangunan
pusat kegiatan dan/atau pengembangan kawasan baru pada suatu ruas jalan terhadap
jaringan transportasi di sekitarnya. Studi Andalalin adalah studi yang meliputi kajian
terhadap jaringan jalan di bagian dalam kawasan sampai dengan jalan di sekitar kawasan
pusat kegiatan dan atau pengembangan kawasan baru yang terpengaruh dan merupakan
akses jalan dari dan menuju kawasan tersebut (UU No. 22 tahun 2009).

Pengembangan pusat kegiatan akan mempengaruhi sistem aktivitas suatu kawasan.


Sistem aktivitas di dalam kota terdiri dari berbagai aktivitas seperti: industri,
perumahan, perhotelan, perdagangan, jasa, dan sebagainya. Aktivitas tersebut berlokasi
pada sebidang lahan dan saling berinteraksi satu sama lain membentuk tata guna lahan.
Interaksi tersebut mengakibatkan timbulnya pergerakan manusia antar tata guna lahan
(Tamin, 2000).

Analisis dampak lalu lintas pada dasarnya merupakan analisis pengaruh pengembangan
tata guna lahan terhadap sistem pergerakan arus lalu lintas di sekitarnya yang
diakibatkan oleh bangkitan lalu lintas yang baru, lalu lintas yang beralih, dan oleh
kendaraan masuk dari/ke lahan tersebut (Tamin, 2000).

Tujuan studi analisis dampak lalu lintas adalah untuk mengantisipasi dampak yang
ditimbulkan oleh suatu kawasan pengembangan terhadap lalu lintas di sekitarnya dan
memprediksi dampak yang ditimbulkan suatu pembangunan kawasan. Kewajiban
melakukan studi andalalin tergantung pada bangkitan dan tarikan lalu lintas yang
ditimbulkan oleh pengembangan kawasan. Besarnya tingkat bangkitan dan tarikan lalu
lintas tersebut ditentukan oleh jenis dan besaran peruntukan lahan. Bangkitan dan
tarikan lalu lintas didapat dengan mempertimbangkan pola pergerakan. Bangkitan dan
tarikan lalu lintas yang didapat mempengaruhi distribusi perjalanan di ruas sekitar
kawasan.

II-1
2.2 KRITERIA STUDI ANDALALIN

Persyaratan ukuran minimal peruntukan lahan yang wajib melakukan andalalin yang
ditetapkan pemerintah Indonesia dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik
Indonesia Nomor PM 75 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Analisis Dampak Lalu Lintas
dapat dilihat padaTabel 2.1.

Tabel 2.1. Persyaratan peruntukan lahan yang wajib melakukan Andalalin

No. Jenis Rencana Pembangunan Ukuran Minimal


1. Pusat Kegiatan
a. Kegiatan Perdagangan;
Pusat perbelanjaan/ritail 500 m2 luas lantai bangunan
b. Kegiatan Perkantoran 1.000 m2 luas lantai bangunan
c. Kegiatan Industri;
Industri dan pergudangan 2500 m2 luas lantai bangunan
d. Fasilitas Pendidikan;
1). Sekolah/universitas 500 siswa
2). Lembaga kursus Bangunan dengan 50 siswa/waktu
e. Fasilitas Pelayanan Umum;
1). Rumah sakit 50 tempat tidur
2). Klinik bersama 10 ruang praktek dokter
3). Bank 500 m2 luas lantai bangunan
f. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum 1 dispenser

g. Hotel 50 kamar

h. Gedung pertemuan 500 m2 luas lantai bangunan


i. Restauran 100 tempat duduk
Kapasitas penonton 100 orang
j. Fasilitas olah raga (indoor atau outdoor)
dan/atau luas 10.000 m2
k. Bengkel kendaraan bermotor 2000 m2 luas lantai bangunan
l. Pencucian mobil 2000 m2 luas lantai bangunan

II-2
No. Jenis Rencana Pembangunan Ukuran Minimal

2. Permukiman
a. Perumahan dan Permukiman;
1). Perumahan sederhana 150 unit
2). Perumahan menengah-atas 50 unit
b. Rumah susun dan Apartemen;
1). Rumah susun sederhana 100 unit
2). Apartemen 50 unit
c. Asrama 50 kamar
d. Ruko Luas Lantai keseluruhan 2000 m2

3. Infrastruktur
a. Akses ke dan dari jalan tol Wajib
b. Pelabuhan Wajib
c. Bandar Udara Wajib
d. Terminal Wajib
e. Stasiun kereta api Wajib
f. Pool kendaraan Wajib
g. Fasilitas parkir untuk umum Wajib
h. Jalan layang (flyover) Wajib
i. Lintas bawah (underpass) Wajib
j. Terowongan (tunnel) Wajib

4. Bangunan/Pemukiman/Infrastruktur lainnya :
Wajib dilakukan Andalalin apabila ternyata diperhitungkan telah
menimbulkan 75 perjalanan (kendaraan) baru pada jam padat dan/atau
menimbulkan rata-rata 500 perjalanan (kendaraan) baru setiap harinya pada
jalan yang dipengaruhi oleh adanya bangunan atau permukiman atau
infrastruktur yang dibangun atau dikembangkan.

Sumber: Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 75 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan


Analisis Dampak Lalu Lintas

Analisis dampak lalu lintas mempunyai banyak ragam, tergantung pada kondisi setempat
dan kebijakan yang diikuti. Andalalin dapat bersifat makroskopik apabila yang menjadi

II-3
perhatian utamanya adalah unsur makronya (land use-transport system). Tetapi dapat
pula bersifat rinci (mikroskopik) apabila yang menjadi perhatian utamanya adalah kinerja
manajemen sistem lalu lintasnya. Kebijakan pemerintah dampak lalu lintas dapat berupa
minimalisasi dampak yang terjadi, sampai penyesuaian prasarana jalan agar dampak lalu
lintas yang diperkirakan terjadi dapat terimbangi.

Fenomena dampak lalu lintas diakibatkan oleh adanya pembangunan dan pengoperasian
pusat kegiatan yang menimbulkan bangkitan lalu lintas yang cukup besar, seperti pusat
perkantoran, pusat perbelanjaan, terminal dan lain-lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa
dampak lalu lintas terjadi pada dua tahap, yaitu:

1. Tahap konstruksi/pembangunan. Pada tahap ini akan terjadi bangkitan lalu lintas
akibat angkutan material dan mobilisasi alat berat yang membebani ruas jalan pada
rute material.

2. Tahap pasca konstruksi/saat beroperasi. Pada tahap ini akan terjadi bangkitan lalu
lintas dari pengunjung, pegawai dan penjual jasa transportasi yang akan membebani
ruas-ruas jalan tertentu, serta timbulnya bangkitan parkir kendaraan.

Setiap ruang kegiatan akan membangkitkan pergerakan dan menarik pergerakan yang
intensitasnya tergantung pada jenis tata guna lahannya. Bila terdapat pembangunan dan
pengembangan kawasan baru seperti pusat perbelanjaan, superblock dan lain-lain tentu
akan menimbulkan tambahan bangkitan dan tarikan lalu lintas baru akibat kegiatan
tambahan di dalam dan sekitar kawasan tersebut. Karena itu pembangunan kawasan baru
dan pengembangannya akan memberikan pengaruh langsung terhadap sistem jaringan
jalan di sekitarnya (Tamin, 2000).

Perkiraan banyaknya lalu lintas yang dibangkitkan oleh fasilitas pembangunan dan
pengembangan kawasan merupakan hal yang mutlak penting untuk dilakukan, termasuk
dalam proses analisis dampak lalu lintas adalah dilakukannya pendekatan manajemen
lalu lintas yang dirancang untuk menghadapi dampak dari perjalanan terbangkitkan
terhadap jaringan yang ada.

Lima elemen penting yang akan menimbulkan dampak apabila sistem guna lahan
berinteraksi dengan lalu lintas, antara lain:

1. Elemen bangkitan/tarikan perjalanan, yang dipengaruhi oleh faktor tipe dan kelas
peruntukan, intensitas serta lokasi bangkitan.

2. Elemen kinerja jaringan ruas jalan, yang mencakup kinerja ruas jalan dan
persimpangan.

II-4
3. Elemen akses, berkenaan dengan jumlah dan lokasi akses.

4. Elemen ruang parkir.

5. Elemen lingkungan, khususnya berkenaan dengan dampak polusi dan kebisingan.

Besar kecilnya dampak kegiatan terhadap lalu lintas dipengaruhi oleh hal-hal sebagai
berikut:

1. Bangkitan/tarikan perjalanan.

2. Menarik tidaknya suatu pusat kegiatan.

3. Tingkat kelancaran lalu lintas pada jaringan yang ada.

4. Prasarana jalan di sekitar pusat kegiatan.

5. Jenis tarikan perjalanan oleh pusat kegiatan.

6. Kompetisi beberapa pusat kegiatan yang berdekatan.

(The Institution of Highways and Transportation ,1994)

Sasaran analisis dampak lalu lintas ditekankan pada:

1. Penilaian dan formulasi dampak lalu lintas yang ditimbulkan oleh daerah
pembangunan baru terhadap jaringan jalan di sekitarnya (jaringan jalan eksternal).
Khususnya ruas-ruas jalan yang membentuk sistem jaringan utama.

2. Upaya sinkronisasi terhadap kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan


penyediaan sarana dan prasarana jalan, khususnya rencana peningkatan prasarana
jalan dan persimpangan di sekitar pembangunan utama yang diharapkan dapat
mengurangi konflik, kemacetan dan hambatan lalu lintas.

3. Penyediaan solusi yang dapat meminimumkan kemacetan lalu lintas yang disebabkan
oleh dampak pembangunan baru, serta penyusunan usulan indikatif terhadap fasilitas
tambahan yang diperlukan guna mengurangi dampak yang diakibatkan oleh lalu lintas
yang dibangkitkan oleh pembangunan baru tersebut, termasuk upaya untuk
mempertahankan tingkat pelayanan prasarana sistem jaringan jalan yang telah ada.

4. Penyusunan rekomendasi pengaturan sistem jaringan jalan internal, titik-titik akses


ke dan dari lahan yang dibangun, kebutuhan fasilitas ruang parkir dan penyediaan
sebesar mungkin kemudahan akses ke lahan yang akan dibangun.

II-5
2.3 PELAKSANAAN STUDI ANDALALIN

Pelaksanaan studi Andalalin ini didasarkan atas dua aspek yang terkait yaitu aspek legal
dan aspek teknis. Aspek legal diperlukan dalam studi ini, mengingat bahwa peruntukan
yang akan dibangun merupakan suatu pusat kegiatan yang dapat menimbulkan dampak
lingkungan dan lalu lintas, sehingga dalam pelaksanaan pembangunan dan operasionalnya
harus berpedoman kepada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Negara
Republik Indonesia. Sedangkan aspek teknis meliputi kajian-kajian lalu lintas yang
berkaitan dengan teknik pengumpulan data, analisis data, teknik perhitungan/pemodelan
dan penyampaian hasil perhitungan.

2.3.1 Apek Legal

Dasar hukum yang digunakan sebagai acuan dalam penyusunan studi Analisa dampak lalu
lintas adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan (Pasal 99,
Ayat 1)telah diatur dengan jelas mengenai analisis dampak lalu lintas berkenaan
dengan setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur
yang menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran
lalu lintas dan angkutan jalan wajib dilakukan analisis dampak lalu lintas. Dari
penjelasanbeberapa pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009, dapat disimpulkan bahwa penyediaan transportasi jalan perlu disertai dengan
kinerja layanan yang baik agar dapat menunjang mobilitas orang dan barang. Oleh
karena itu perlu dilakukannya upaya manajemen dan rekayasa lalu lintas untuk
mengoptimalkan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas dalam rangka
menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan
angkutan jalan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa,
Analisis Dampak,serta Manajemen Kebutuhan Lalu lintas.
Pasal 17
Inventarisasi dan analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf g bertujuan untuk mengetahui dampak lalu lintas terhadap rencana
pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan
gangguan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan
angkutan jalan.
Pasal 18
Inventarisasi dan analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
yang dilakukan oleh:

II-6
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan
angkutan jalan, meliputi:
1) Inventarisasi pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang
menimbulkan gangguan keselamatan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan
jalan; dan
2) Analisis peningkatan lalu lintas akibat pembangunan pusat kegiatan,
permukiman, dan infrastruktur.
b. Menteri yang bertanggung jawab di bidang jalan meliputi : Inventarisasi dan
analisis jalan yang terganggu fungsinya akibat pembangunan pusat kegiatan,
permukiman, dan infrastruktur;
c. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, meliputi:
1) Inventarisasi pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang
menimbulkan atau berpotensi terjadinya gangguan keamanan, keselamatan,
ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan;
2) Analisis peningkatan bangkitan dan tarikan lalu lintas akibat pembangunan
pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur.
d. Gubernur, Bupati, atau Walikota sesuai dengan kewenangannya, meliputi:
1) Inventarisasi dan analisis jalan yang terganggu fungsinya akibat pembangunan
pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur;
2) Inventarisasi pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang
menimbulkan gangguan keselamatan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan
jalan; dan
3) Analisis peningkatan lalu lintas akibat pembangunan pusat kegiatan,
permukiman, dan infrastruktur.
3. Ketentuan-ketentuan lainnya sebagai dasar hukum pendukung studi Andalalin ini
adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan;
c. Peraturan Menteri Perhubungan No. 75 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Analisis Dampak Lalu Lintas;
d. Peraturan Menteri Perhubungan No. 11 Tahun 2017 tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 75 Tahun 2015 Tentang
Penyelenggaraan Analisis Dampak Lalu Lintas
e. Peraturan Menteri Perhubungan No. 13 Tahun 2014 tentang Rambu Lalu Lintas;
f. Peraturan Menteri Perhubungan No. 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan;

II-7
g. Peraturan Menteri Perhubungan No. 49 Tahun 2014 tentang Alat Pemberi Isyarat
Lalu Lintas;
h. Peraturan Menteri Perhubungan No. 111 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan
Batas Kecepatan;
i. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 96 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kegiatan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas;
j. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2010 Tentang Pedoman
Pemanfaatan dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan;

2.3.2 Aspek Teknis

Pelaksanaan teknis kajian analisa dampak lalu lintas ini, secara umum dapat dilihat pada
Gambar 2.1. Tahapan kerja meliputi penentuan jenis dan lokasi survei, pengumpulan
data primer dan sekunder, bangkitan dan tarikan perjalanan, pengembangan model lalu
lintas, analisis kinerja ruas jalan dan simpang, analisis penanganan dampak lalu lintas,
dan rekomendasi. Secara detail kajian teknis yang dilakukan dalam penyusunan dokumen
Andalalin ini diterangkan pada subbab berikut:

II-8
P Data Jaringan Jalan, Tata Guna Data Lay Out Rancang Bangun
E Lahan, dan Sistem Transportasi
N
G
Survei Pendahuluan
U
M
P Penentuan Jenis dan Lokasi Survei
U
L
A
N Survai Inventarisasi Survai Lalu Lintas (traffic Survai Bangkitan
Jalan dan Simpang counting ruas jalan dan Perjalanan
simpang, komposisi
kendaraan, okupansi, Rata-Rata Bangkitan
D
parkir dan kecepatan) Perjalananan
A
T
A
Unjuk Kerja Lalu Lintas Tanpa Unjuk Kerja Lalu Lintas Dengan
Pengembangan Pengembangan

Perbandingan Unjuk Kerja


A
N
A Antisipasi Dampak Lalu Lintas
L (Sirkulasi Kendaraan, Parkir, Manajemen
I Rekayasa Lalu Lintas, Perlengkapan Jalan)
S Buruk
A Unjuk Kerja Pasca Penanganan Dampak

Perbandingan Unjuk Kerja

Baik

R Tanggung Jawab Pemerintah Tanggung Jawab Pengembang


E
K
O
M Rekomendasi Penanganan Dampak
E
N
D Rencana Pemantauan dan Evaluasi
A
S
I

II-9
1. Pengumulan Data
Data yang dibutuhkan dalam studi Andalalin meliputi data sekunder dan data primer.
a. Pengumpulan Data Sekunder
Data yang dikumpulkan dalam tahap ini berupa data prasarana jalan, tata guna
lahan, sistem transportasi dan data mengenai rancang bangun
pembangunan/pengembangan.
1) Data prasarana jalan, tata guna lahan, dan sistem transportasi yang perlu
diketahui mencakup peta jaringan jalan; tata ruang dan fungsi lahan sekitar
kawasan; klasifikasi dan fungsi jalan; rute angkutan umum; fasilitas angkutan
umum, pejalan kaki, sepeda dan parkir; lokasi rambu lalu lintas; dan
karakteristik sistem jalan yang ada meliputi arah lalu lintas, jalur, lajur,
prioritas, pengaturan akses dan pengaturan lalu lintas.
2) Data rancang bangun yang diperlukan sebagai bahan kajian mencakup data
lokasi pembangunan, jenis usaha, luasan lahan, luasan bangunan dan
peruntukannya serta pengaturan akses keluar masuk kawasan.
b. Pengumpulan Data Primer
Untuk mendapatkan gambaran kinerja layanan ruas jalan dan persimpangan
eksisting di sekitar lokasi pembangunan, maka perlu dilakukan pengumpulan data
primer. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung atau survei di lokasi
kajian. Sebelum melakukan survei data primer, terlebih dahulu dilakukan tahap
persiapan survei yang pada intinya mendayagunakan sumber daya perolehan
informasi sekunder bagi kematangan pelaksanaan survei data primer. Dalam
proses pengumpulan data primer, prinsip Garbage In Garbage Out (GIGO)
diterapkan dalam studi ini. Hal ini bertujuan agar data yang diperoleh memiliki
ketepatan dan keakuratan yang tinggi sehingga model transportasi yang dibuat
memiliki validitas yang tinggi pula. Dengan demikian diharapkan hasil keluaran
dari studi ini dapat dipertanggungjawabkan ketepatan dan keakuratannya.
Pelaksanaan waktu survei dilaksanakan pada kondisi lalu lintas jam sibuk pagi,
siang dan sore serta jam tidak sibuk. Adapun penjelasan mengenai teknik dan
waktu pelaksanaan pengumpulan data primer akan dijelaskan berikut ini:
1) Survei Inventarisasi Ruas Jalan dan Persimpangan
Survei inventarisasi ruas jalan dan persimpangan dilaksanakan pada ruas-ruas
jalan dan persimpangan di sekitar lokasi pembangunan. Ruas jalan dan
persimpangan yang disurvei adalah ruas jalan dan persimpangan yang
diasumsikan untuk dilakukan tindakan manajemen maupun rekayasa lalu lintas
dengan dibangunnya pembangunan baru pada lokasi tersebut. Hal-hal yang

II-10
perlu dicatat dalam melakukan survei tersebut yaitu: geometrik ruas jalan,
geometrik dan jenis pengendalian persimpangan.
2) Survei Lalu Lintas Eksisting
a) Survei Pencacahan Lalulintas di Ruas Jalan
Survei pencacahan lalu lintas di ruas jalan dilakukan untuk mendapatkan
data volume dan komposisi kendaraan. Pencacahan lalu lintas dilakukan
terpisah untuk masing-masing arah lalu lintas. Dalam survei ini kendaraan
dikelompokkan ke dalam 4 kelas (MKJI, 1997) yaitu:
(1) Kendaraan Ringan (LV) yaitu kendaraan bermotor ber as dua dengan
empat roda dan dengan jarak as 2,0 - 3,0 meter, meliputi mobil
penumpang, oplet, mikrobis, pick-up, dan truk kecil
(2) Kendaraan Berat (HV) yang terdiri dari Kendaraan Berat Menengah
(MHV) yaitu kendaraan bermotor dengan dua gandar, dengan jarak 3,5
– 5,0 meter, meliputi bis kecil, truk dua as dengan enam roda; dan
Truk Besar (LT) yaitu truk tiga gandar dan truk kombinasi dengan jarak
gandar (gandar pertama ke kedua) > 3,5 meter.
(3) (c) Sepeda motor (MC) yaitu kendaraan bermotor beroda dua dan tiga.
(4) (d) Kendaraan tak bermotor (UM) yaitu kendaraan dengan roda yang
digerakkan oleh orang atau hewan yang meliputi sepeda, becak, kereta
kuda.
b) Survei Pencacahan Kendaraan di Persimpangan
Survei pencacahan lalu lintas di persimpangan dilakukan untuk
mendapatkan data volume, komposisi kendaraan dan distribusi pergerakan
membelok kendaraan. Pencacahan lalu lintas dilakukan terpisah untuk
masing-masing lengan dan arah lalu lintas. Sedangkan jenis kendaraan
yang disurvei disesuaikan dengan yang dilakukan pada survei pencacahan
lalu lintas di ruas jalan.
c) Survei Bangkitan dan Tarikan Perjalanan
Pelaksanaan survei bangkitan dan tarikan perjalanan dilaksanakan dengan
maksud untuk mengetahui tingkat bangkitan dan tarikan perjalanan yang
ditimbulkan pembangunan/pengembangan. Prakiraan bangkitan dan
tarikan perjalanan dari pembangunan dapat dilakukan dengan
menganalogikannya terhadap tingkat bangkitan dan tarikan perjalanan
dari kawasan sejenis yang memiliki kemiripan karakteristik (Modul
Sosialisasi dan Pelatihan Andalalin, Ditjend Perhubungan Darat, 2012).
Beberapa metode pendekatan yang dapat dilakukan yaitu:

II-11
(1) Menggunakan standar bangkitan dan tarikan perjalanan yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang (Studi Metoda Penentuan
Bangkitan dan Tarikan Perjalanan dalam Penyelengaraan Andalalin,
Ditjend Perhubungan Darat, 2012),
(2) (b) Menggunakan data sekunder bangkitan dan tarikan perjalanan dari
kawasan yang memiliki kemiripan karakteristik dengan pembangunan
yang direncanakan, dan
(3) (c) Survei bangkitan dan tarikan perjalanan di kawasan yang memiliki
keimiripan karakteristik dengan pengembangan kawasan yang
direncanakan.
d) Survei Pejalan Kaki
Survei pejalan kaki dilakukan untuk mendapatkan volume pejalan kaki baik
yang menyeberang maupun menyusuri ruas jalan. Pencatatan pejalan kaki
dilakukan pada titik-titik lokasi tertentu yang jumlah pejalan kakinya
cukup tinggi. Metode yang digunakan dalam survei ini yaitu dengan
melakukan pencatatan orang yang menyeberang dan orang yang berjalan
menyusuri jalan pada ruas jalan yang disurvei ke dalam formulir survei
pejalan kaki.
e) Survei Jaringan Pelayanan Angkutan Umum
Survei jaringan pelayanan angkutan untuk mengetahui pelayanan angkutan
yang melayani kawasan. Metode yang digunakan dalam survei ini adalah
dengan melakukan pengamatan langsung pada jaringan jalan kawasan yang
dilalui angkutan umum, dan mencatat data tersebut ke dalam formulir
survei jaringan pelayanan angkutan.
2. Metode Analisis
Di dalam tahapan ini akan dilakukan kompilasi data dan analisis di dalam rangka
analisis besaran dan luasan dampak serta penanganan dampak yang dilakukan.
a. Pengembangan Model
Studi ini menggunakan pemodelan dengan bantuan pedoman Manual Kapasitas
Jalan Indonesia (MKJI, 1997) dalam menganalisis dampak lalu lintas. Pendekatan
makro dimulai dengan penaksiran intensitas tata guna lahan pembangunan. Dari
data tersebut selanjutnya diestimasi bangkitan dan tarikan perjalanan, distribusi
perjalanan, pemilihan moda dan pembebanan lalu lintas. Dalam analisis
dipergunakan empat tahapan pemodelan, yaitu sebagai berikut:
1) Bangkitan dan Tarikan Perjalanan

II-12
Bangkitan dan tarikan perjalanan adalah tahapan pemodelan yang
memperkirakan jumlah perjalanan yang berasal dari suatu zona atau tata guna
lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu zona atau tata guna
lahan. Bangkitan lalu lintas di kawasan pembangunan/pengembangan meliputi
:
a) Lalu lintas yang meninggalkan lokasi, dan
b) Lalu lintas yang menuju lokasi

Hasil keluaran dari perhitungan bangkitan dan tarikan perjalanan lalu lintas
berupa jumlah kendaraan per satuan waktu atau jumlah satuan mobil
penumpang per jam sibuk.

2) Distribusi Perjalanan
Tahap ini merupakan tahap yang menghubungkan interaksi antara tata guna
lahan, jaringan transportasi dan arus lalu lintas di kawasan pembangunan atau
penggembangan. Pola sebaran arus lalu lintas antara zona asal i ke zona
tujuan d adalah hasil dari dua hal yang terjadi secara bersamaan. Distribusi
perjalanan pada intinya adalah tahapan untuk mendapatkan matriks asal-
tujuan yang akan digunakan dalam proses selanjutnya.
3) Pemilihan Moda
Dalam melaksanakan tahapan pemilihan moda, ada dua macam konsep
pendekatan, yaitu Trip End Model dan Trip Interchange Modal Split Model.
Dalam studi ini, dipergunakan konsep pendekatan Trip End Model untuk
membagi total person trip menjadi vehicle trip.
4) Pembebanan Perjalanan
Pembebanan perjalanan bertujuan untuk menentukan jalan yang dilewati oleh
kendaraan berdasarkan asal tujuannya. Setelah proses pembebanan
perjalanan, maka kinerja layanan persimpangan dan ruas jalan dapat
dianalisis.

b. Analisis Kinerja Ruas Jalan dan Persimpangan


Untuk mengetahui dan memahami permasalahan lalu lintas di daerah studi, maka
dilakukan analisis kinerja lalu lintas baik sebelum pembangunan maupun setelah
pembangunan. Analisis kinerja lalu lintas yang dilakukan terdiri dari analisis
kinerja ruas jalan dan persimpangan. Untuk melakukan pengukuran kinerja ruas
jalan dan persimpangan, maka diperlukan standar baku yang dapat digunakan
sebagai acuan dalam menilai kinerja lalu lintas. Standar baku yang dapat
digunakan untuk mengukur kinerja lalu lintas adalah Manual Kapasitas Jalan

II-13
Indonesia (MKJI) yang di terbitkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga tahun
1997. Standar ini didesain sesuai dengan kondisi lalu lintas di Indonesia. Rumus
dasar untuk menghitung kinerja ruas jalan dan persimpangan adalah sebagai
berikut:

1) Ruas Jalan
a) Derajat Kejenuhan
Untuk mengetahui kinerja ruas jalan maka perlu dilakukan perhitungan
besaran derajat kejenuhan ruas jalan. Derajat Kejenuhan merupakan
perbandingan arus total lalu lintas yang melewati suatu ruas jalan dengan
kapasitas jalan ruas jalan tersebut. Derajat Kejenuhan ruas jalan
dinyatakan dengan rumus berikut:
DS = Q/C (2.1)
Dimana :
DS = Derajat kejenuhan
Q = Arus total lalu lintas (smp/jam)
C = Kapasitas jalan (smp/jam)
Nilai arus lalu lintas (Q) dihitung berdasarkan hasil survei pencacahan lalu
lintas di ruas jalan, dimana masing-masing tipe kendaraan dikalikan
dengan nilai ekivalen mobil penumpang (emp). Besaran emp untuk
berbagai tipe kendaraan, sebagai fungsi tipe jalan, tipe alinyemen dan
arus lalu lintas dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Nilai kapasitas jalan (C) untuk Jalan Perkotaan, dihitung berdasarkan
rumus berikut:
C = COx FCW x FCSP x FCSF x FCcs (2.2)
Dimana :

C = Kapasitas sesungguhnya (smp/jam)


CO = Kapasitas dasar (smp/jam)
FCW = Faktor penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas
FCSP = Faktor penyesuaian akibat pemisahan arah
FCSF = Faktor penyesuaian akibat hambatan samping
FCcs = Faktor penyesuaian akibat ukuran kota
Besaran nilai CO, FCW, FCSP, dan FCSF ditentukan berdasarkan Tabel 2.2
sampai dengan Tabel 2.5.

II-14
Tabel 2.2. Emp untuk jalan 2/2 UD (2-jalur 2-arah tak terbagi)

Sumber: MKJI, 1997


Tabel 2.3. Kapasitas dasar (CO)

Sumber: MKJI, 1997


Tabel 2.4. Faktor Penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas (FCW)

II-15
Sumber: MKJI, 1997

Tabel 2.5. Faktor penyesuaian akibat pemisah arah (FCSP)

Pemisahan arah SP %-% 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30


FCSP Dua lajur 2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88
Empat lajur 4/2 1,00 0,985 0,97 0,955 0,94
Sumber: MKJI, 1997
Tabel 2.6. Faktor Penyesuaian akibat hambatan samping (FCSF)

Sumber: MKJI, 1997


Tabel 2.7. Faktor Penyesuaian akibat Ukuran Kota (FCcs)

II-16
Sumber: MKJI, 1997

b) Kecepatan Arus Bebas


Untuk mengetahui kinerja kecepatan suatu ruas jalan maka perlu
dilakukan perhitungan kecepatan arus bebas pada jalan tersebut.
Kecepatan arus bebas (FV) suatu ruas jalan dihitung dengan menggunakan
rumus berikut:
FV = (FVO + FVW) x FFVSF x FFVCS (2.3)
Dimana :
FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi
lapangan (km/jam)
FVO = Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam)
FVW = Faktor penyesuaian untuk lebar efektif jalur lalu lintas
(km/jam)
FFVSF = Faktor penyesuaian untuk kondisi hambatan samping,
FFVCS = Faktor penyesuaian untuk ukuran kota
Besaran nilai FVO, FVW, FFVSF dan FFVCS ditentukan berdasarkan Tabel 2.8
sampai dengan Tabel 2.11.
Tabel 2.8. Kecepatan arus bebas dasar (FVO)

II-17
Sumber: MKJI, 1997
Tabel 2.9. Penyesuaian kecepatan arus bebas akibat lebar jalur lalu lintas
(FVW)

Sumber: MKJI, 1997


2) Simpang Tak Bersinyal

Berikut rumusan terkait perhitungan simpang tidak bersinyal


berdasarkan metode MKJI (1997).

a) Kapasitas (C)

Rumus dasar yang digunakan dalam menghitung kapasitas kaki


persimpangan tanpa lampu lalu lintas adalah sebagai berikut :

II-18
C = Co x FW x FM x FCS x FRSU x FLT x FRT x FMI (2.4)
Dimana :

C = Kapasitas kaki persimpangan (smp/jam)

Co = Kapasitas dasar (smp/jam)

FW = Faktor penyesuaian lebar rata-rata pendekat

FM = Faktor penyesuaian median pada jalan mayor/utama

FCS = Faktor penyesuaian ukuran kota

FRSU = Faktor penyesuaian prosentasi kendaraan tak bermotor

FLT = Faktor penyesuaian prosentase lalu lintas belok kiri

FRT = Faktor penyesuaian prosentase lalu lintas belok kanan

FMI = Faktor penyesuaian arus jalan minor

Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas simpang tidak bersinyal dapat


dilihat pada tabel-tabel berikut.
Tabel 2.10. Kapasitas dasar menurut tipe simpang (Co)

Tipe Simpang IT Kapasitas Dasar (smp/jam)


322 2,700
342 2,900
324 atau 344 3,200
422 2,900
424 atau 444 3,400
Sumber: MKJI, 1997

Sumber: MKJI, 1997

Gambar 2.1. Faktor penyesuaian lebar pendekat (FW)

Tabel 2.11. Faktor penyesuaian median jalan utama (FM)

II-19
Uraian Tipe Median Faktor Median
Tidak ada median jalan utama Tidak ada 1,00
Ada median jalan utama, lebar < 3 m Sempit 1,05
Ada median jalan utama, lebar > 3 m Lebar 1,20
Sumber: MKJI, 1997
Tabel 2.12. Faktor penyesuaian ukuran kota (FCS)

Ukuran Kota Penduduk (juta) Faktor penyesuaian ukuran kota


Sangat kecil < 0,1 0,82
Kecil 0,1 – 0,5 0,88
Sedang 0,5 – 1,0 0,94
Besar 1,0 – 3,0 1,00
Sangat Besar > 3,0 1,05
Sumber: MKJI, 1997
Tabel 2.13. Faktor penyesuaian prosentasi kendaraan tak bermotor (FRSU)

Sumber: MKJI, 1997

Sumber: MKJI, 1997


Gambar 2.2. Faktor penyesuaian prosentase lalu lintas belok kiri (FLT)

II-20
Sumber: MKJI, 1997
Gambar 2.3. Faktor penyesuaian prosentase lalu lintas belok kanan (FRT)

Sumber: MKJI, 1997

Gambar 2.4. Faktor penyesuaian arus jalan minor (FMI)


b) Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan untuk seluruh simpang, (DS), dihitung sebagai berikut:

DS = QTOT / C (2.5)

Dimana :

QTOT = Arus total (smp/jam)


C = Kapasitas (smp/jam)

c) Tundaan

II-21
Tundaan-tundaan yang terjadi simpang tidak bersinyal adalah sebagai
berikut:

(1) Tundaan lalu lintas simpang (DTI) adalah tundaan lalu lintas, rata-rata
untuk semua kendaraan bermotor yang masuk simpang, ditentukan dari
kurva empiris antara DT dan DS (lihat Gambar 2.7).

(2) Tundaan lalu lintas jalan utama (DTMA) adalah tundaan lalu lintas rata-
rata semua kendaraan bermotor yang masuk persimpangan dari jalan
utama, ditentukan dari kurva empiris antara DTMA dan DS (lihat
Gambar 2.8)

(3) Tundaan lalu lintas jalan minor (DTMI), dihitung dengan rumus berikut:

DTMI = (QTOT x DTI – QMA x DTMA) / QMI (2.6)

(4) Tundaan geometrik simpang (DG) adalah tundaan geometrik rata-rata


seluruh kendaraan bermotor yang masuk simpang, dihitung dengan
rumus berikut:

Untuk DS < 1,0

DG = (1 - DS) × (PT × 6 + (1 - PT) × 3) + DS × 4 (2.7)

Untuk DS > 1,0 DG = 4

Dimana

DG = Tundaan geometric simpang (det/smp)


DS = Derajat kejenuhan
PT = Rasio arus belok terhadap arus total
(5) Tundaan simpang (D), dihitung dengan rumus berikut:

D = DG + DTI (2.8)

II-22
Sumber: MKJI, 1997
Gambar 2.5. Tundaan lalu lintas simpang vs derajat kejenuhan

Sumber: MKJI, 1997

Gambar 2.6. Tundaan lalu lintas jalan utama vs derajat kejenuhan

3) Simpang Bersinyal
Berikut rumusan terkait perhitungan simpang bersinyal berdasarkan metode
MKJI (1997).
a) Arus Simpang
Arus simpang (Q) untuk setiap gerakan dikonversikan dari kendaraan per
jam menjadi satuan mobil penumpang (smp) per jam dengan menggunakan
ekivalen kendaraan penumpang (emp) untuk masing-masing pendekat
terlindung dan terlawan (lihat Tabel 2.15).

II-23
Tabel 2.14. Ekivalen Mobil Penumpang Simpang Bersinyal

Emp untuk tipe pendekat


Jenis kendaraan
Terlindung Terlawan

Kendaraan ringan (LV) 1,0 1,0

Kendaraan berat (HV) 1,3 1,3

Sepeda Motor (MC) 0,2 0,4


Sumber : MKJI (1997)
b) Rasio Arus

Rasio arus jalan minor pada simpang ini diperhitungkan sebagai berikut

(2.9)

Rasio arus mayor pada simpang ini diperhitungkan sebagai berikut :

(2.10)

Rasio Kendaraan tak bermotor pada simpang ini diperhitungkan sebagai


berikut :

(2.11)

Rasio belok pada simpang ini diperhitungkan sebagai berikut :

Rasio belok kanan



(2.12)

Rasio belok kiri



(2.13)

c) Waktu Antar Hijau (IG)

Waktu antar hijau (IG) merupakan lamanya waktu kuning (amber)


ditambah dengan waktu merah semua (all red), lihat Tabel 2.16.

Tabel 2.15. Waktu Antar Hijau

Lebar jalan rata- Nilai normal waktu


Ukuran Simpang
rata antar hijau

Kecil 6-9 m 4 det per fase

II-24
Lebar jalan rata- Nilai normal waktu
Ukuran Simpang
rata antar hijau

Sedang 10-14 m 5 det per fase

Besar ≥ 15 m ≥ 6 det per fase


Sumber : MKJI (1997)

d) Waktu Merah Semua

Waktu merah semua memiliki rumus matematis antara lain sebagai berikut
:

erah emua - (2.14)

Keterangan :

LEV dan LAV= Jarak dari garis henti ke titik konflik untukmasing-masing
kendaraan yang bergerak maju atau meninggalkan

IEV = Panjang kendaraan yang berangkat (m)

VEV, VAV = Kecepatan masing-masing kendaraan yang berangkat dan


yang datang (m/det)

e) Waktu Hilang (LTI)

Secara umum waktu hilang memiliki rumusan sebagai berikut:

∑ ∑ (2.15)

∑ (2.16)

Keterangan :

LTI = waktu hilang (detik)

IG = waktu antar hijau (detik)

c = waktu siklus (detik)

g = waktu hijau (detik)

f) Arus Jenuh

Arus jenuh (S) adalah arus berangkat rata-rata dari antrian dalam
pendekat selama sinyal hijau. Satuan yang digunakan adalah smp/jam
hijau. Arus jenuh dapat dihitung menggunakan rumus:

II-25
S=SO x FCS x FSF x FG x FP x FRT x FLT (2.17)

Dimana :

S = Arus jenuh (smp/jam)

SO = Arus jenuh dasar (smp/jam)

FCS = Faktor penyesuaian ukuran kota

FSF = Faktor penyesuaian hambatan samping

FG = Faktor penyesuaian kelandaian

FP = Faktor penyesuaian parkir

FRT = Faktor penyesuaian belok kanan

FLT = Faktor penyesuaian belok kiri

We = Lebar efektif pendekat


g) Rasio Arus Jenuh

Rasio arus (FR) merupakan perbandingan antara besarnya arus (Q) dengan
arus jenuh (S) dari suatu pendekat. Rumus yang digunakan :

FR = Q/S (2.18)

Arus kiri (Fcrit) adalah nilai rasio arus terbesar dalam satu fase. Rasio arus
simpang (IFR) adalah jumlah rasio arus kritis pada masing-masing fase. IFR
dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

∑ crit (2.19)

Perbandingan antara rasio arus kritis (FRcrit) dari masing-masing fase


dengan arus simpang (IFR) akan menghasilkan rasio fase (PR)

PR = (FRcrit)/IFR (2.20)

Dimana :

IFR = rasio arus simpang

Q = arus simpang (smp/jam)

h) Waktu siklus dan waktu hijau

Waktu siklus dan waktu hijau dapat di jabarkan sebagai berikut, Rumus :

cua = (1,5 x LTI + 5) / (1-IFR) (2.21)

Dimana :

II-26
cua = waktu siklus sebelum penyesuaian sinyal (detik)

LTI = waktu hilang total per siklus (detik)

IFR = rasio arus simpang  (FRcrit)

i) Waktu hijau (g)

Secara umum waktu hijau dapat diuraikan dengan rumus matematis


sebagai berikut :

g1 = (cua-LTI) x Pri) (2.22)

Dimana :

g1 = tampilan waktu hijau pada fase 1 (detik)

cua = waktu siklus sebelum penyesuaian (detik)

LTI = waktu hilang total per siklus (detik)

Pri = rasio fase FRcrit/(FRcrit)

j) Kapasitas

Kapasitas adalah arus simpang maksimum yang dipertahankan untuk


melewati suatu pendekat. Rumus matematis sebagai berikut:

C = S x g/c (2.23)

Dimana :

C = kapasitas (smp/jam)

S = Arus jenuh (smp/jam)

G = waktu hijau (detik)

c = waktu siklus yang ditentukan (detik)

k) Perilaku lalu lintas

Panjang antrian

Jumlah rata-rata antrian smp pada awal sinyal hijau (NQ) dihitung sebagai
jumlah smp yang tersisa dari fase sebelumnya (NQ1) ditambah jumlah smp
yang datang selama fase merah (NQ2).

NQ = NQ1+NQ2 (2.24)

s- 5
1 5 [( -1) √ s-1 ] (2.25)

II-27
Untuk DS > 0,5

NQ1 untuk ≤ 5

(2.26)

Dimana :

DS = derajat kejenuhan

Gr = rasio hijau

c = waktu siklus (detik)

C = kapasitas (smp/jam) = arus jenuh kali rasio hijau (S x GR)

Q = arus simpang pada pendekat tersebut (smp/detik)

Panjang antrian (QL) diperoleh dari perkalian (NQ) dengan luas rata-rata
yang dipergunakan per smp (20 m2) dan pembagian dengan lebar masuk

maks (2.27)
masuk

Kendaraan terhenti

Angka henti (NS) adalah jumlah berhenti rata-rata per kendaraan


(termasuk berhenti terulang dalam antrian) sebelum melewati suatu
simpang

c
6 (2.28)

Dimana

NQ = Jumlah rata-rata antrian smp

Q = Arus simpang pada pendekat tersebut (smp/detik)

c = waktu siklus (detik)

l) Tundaan

Tundaan (delay) merupakan waktu tempuh tambahan yang diperlukan


untuk melalui simpang apabila dibandingkan dengan lintasan tanpa adanya
simpang

Dj = DTj+ DGj (2.29)

Tundaan pada suatu simoang dapat terjadi karena 2 hal yaitu tundaan
simpang (DT) karena interaksi simpang dengan gerakan lainnya pada suatu
simpang

II-28
(2.30)

Dimana

c = waktu siklus (detik)

C = kapasita (smp/jam)

GR = rasio hijau

DS = derajat kejenuhan

Tundaan geometrik (DG) kerana perlambatan dan percepatan saat


membelok pada suatu simpang dan atau berhenti karena lampu merah

DG = (1-PSV) x PT x 6 + (PSV x 4) (2.31)

Dimana :

PSV = rasio kendaraan berhenti pada pendekat

PT = rasio kendaraan berbelok pada pendekat

m) Derajat kejenuhan

Perbandingan antara arus dengan kapasitas dari suatu pendekat


menunjukkan derajat kejenuhan (DS) dari pendekat yang ditinjau

DS = Q/C (2.32)

Dimana

DS = derajat kejenuhan

Q = arus simpang (smp/jam)

C = kapasitas (smp/jam)

c. Analisa Keakuratan Data


Pada analisis kekakuratan data ini dipergunakan analisis statistik uji statistik Chi-
Kuadrat. Analisis ini digunakan untuk menguji apakah ada perbedaan antara
volume model dengan volume observasi.
Langkah-langkah dalam uji statistik Chi-Kuadrat adalah sebagai berikut:
1) Hipotesis atau menentukan H0 dan H1
2) Menentukan tingkat kepentingan (Level of Significance)
Tingkat kepentingan yang digunakan adalah 0,01.
3) Menentukan derajat kebebasan (Degree of Freedom = df)

II-29
df = v = k – 1
di mana :
k (kolom) = jumlah outcome/observasi yang mungkin dalam sampel.
4) Menentukan batas daerah penolakan/batas daerah kritis uji

DAERAH DAERAH
PENERIMAAN H0 PENOLAKAN H0

5) Aturan keputusan
Tolak H0 dan terima H1 jika RUx2 > x2 tabel. Jika tidak demikian terima H0.
6) Perhitungan rasio uji
Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio uji adalah :

Keterangan :
= Hasil Observasi
= Hasil Model
7) Pengambilan keputusan secara statistic
Jika nilai rasio uji berada di daerah penerimaan maka hipotesis nol
diterima, sedangkan jika berada di daerah penolakan maka hipotesis nol
ditolak.

d. Analisis Hasil Tingkat Pelayanan

Kinerja ruas jalan dan simpang tidak bersinyal dinilai dengan menggunakan
skala tingkat pelayanan seperti terlihat pada Tabel 2. 17 dan Tabel 2.20.

Tabel 2.16. Karakteristik tingkat pelayanan ruas jalan (arteri primer)

Tingkat
Karakteristik Operasi Terkait
pelayanan

II-30
Tingkat
Karakteristik Operasi Terkait
pelayanan
 Arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan sekurang-
kurangnya 80 km/jam
A  Kepadatan lalu lintas sangat rendah
 Pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya tanpa
atau dengan sedikit tundaan
 Arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan sekurang-
kurangnya 70 km/jam
 Kepadatan lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas belum
B
mempengaruhi kecepatan
 Pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih kecepatannya
dan lajur jalan yang digunakan
 Arus stabil tetapi pergerakan kendaraan dikendalikan oleh volume lalu
lintas yang lebih tinggi dengan kecepatan sekurang-kurangnya 60
km/jam
C  Kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu lintas
meningkat
 Pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan, pindah
lajur atau mendahului
 Arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan
kecepatan sekurang-kurangnya 50 km/jam
 Masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan kondisi arus
 Kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu lintas dan
D hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang
besar
 Pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam
menjalankan kebdaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini masih
dapat ditolerir untuk waktu singkat
 Arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas mendekati
kapasitas jalan dan kecepatan sekrang-kurangnya 30 km/jam pada jalan
E antar kota dan sekurang-kurangnya 10 km/jam pada jalan perkotaan
 Kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas tinggi
 Pengemudi mulai merasakan kemacetan-kemacetan durasi pendek
 Arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang dengan
kecepatan kurang dari 30 km/jam
F  Kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume rendah serta terjadi
kemacetan untuk durasi yang cukup lama
 Dalam keadaan antrian, kecepatan maupun volume turun sampai 0 (nol)
Sumber: PM. No.96 Tahun 2015 tentang Pedoman Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas,

Tabel 2.17. Karakteristik tingkat pelayanan simpang tidak bersinyal

Tingkat Pelayanan Rata-rata tundaan berhenti (detik per kendaraan)


A <5
B 5 – 15
C 16 - 25
D 26 - 40
E 41 - 60
F > 60
Sumber: PM. No.96 Tahun 2015 tentang Pedoman Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas,

II-31
e. Analisis Penanganan Dampak
Tahapan analisis penanganan dampak ialah tahapan di mana skema yang
diusulkan dikaji keefektifannya dengan parameter kinerja lalu lintas. Analisis
yang dilakukan terdiri dari analisis internal lokasi dan analisis jaringan jalan
eksternal. Analisis internal meliputi penataan parkir dan pengaturan sirkulasi arus
kendaraan di dalam kawasan. Sedangkan analisis eksternal meliputi penanganan
akses keluar/masuk lokasi pembangunan, penanganan ruas jalan dan penanganan
persimpangan serta kemungkinan pengaturan jaringan transportasi secara
kawasan.
Beikut ini standar – standar penanganan dampak lalu lintas :
1) Fasilitas Parkir
a) Ukuran kebutuhan ruang parkir pada pusat kegiatan berdasarkan hasil
studi Direktorat Jenderal Perhubungan Darat ditentukan sebagai berikut.
 Kegiatan parker yang tetap
 Pusat Perdagangan

2
Luas Areal Total (100m ) 10 20 50 100 500 1.000 1.500 2.000

Kebutuhan (SRP) 59 67 88 125 415 777 1.140 1.502

 Pusat Perkantoran

Jumlah Karawan 1.000 1.250 1.500 1.750 2.000 2.500 3.000 4.000 5.000

Administrasi 235 236 237 238 239 240 242 246 249
Kebutuhan
(SRP)
Pelayanan Umum 288 289 290 291 291 293 295 298 302

 Pusat Swalayan

2
Luas Areal Total (100m ) 50 75 100 150 200 300 400 500 1.000

Kebutuhan (SRP) 225 250 270 310 350 440 520 600 1.050

 Pasar

2
Luas Areal Total (100m ) 40 50 75 100 200 300 400 500 1.000

Kebutuhan (SRP) 160 185 240 300 520 750 970 1.200 2.300

II-32
 Sekolah/Perguruan Tinggi

Jumlah Mahasiswa
3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000 10.000 11.000 12.000
(Orang)

Kebutuhan (SRP) 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240

 Tempat Rekreasi

Jumlah Areal Total


2
(100m ) 50 100 150 200 400 800 1.600 3.200 6.400

Kebutuhan (SRP) 103 109 115 122 146 196 295 494 892

 Hotel dan Tempat Penginapan

Jumlah Kamar (Buah) 100 150 200 250 350 400 550 550 600

<100 154 155 156 158 161 162 165 166 167

100 -
150 300 450 476 477 480 481 484 485 487

Tarif Standart ($)


150 -
200 300 450 600 798 799 800 803 804 806

200 -
250 300 450 600 900 1.050 1.119 1.122 1.124 1.425

 Rumah Sakit

Jumlah Tempat Tidur (Buah) 50 75 100 150 200 300 400 500 1.000

Kebutuhan (SRP) 97 100 104 111 118 132 146 160 230

 Kegiatan parkir yang bersifat sementara


 Bioskop

Jumlah Tempat Duduk (Buah) 300 400 500 600 700 800 900 1.000 1.100

Kebutuhan (SRP) 198 202 206 210 214 218 222 227 230

 Tempat Pertandingan Olahraga

II-33
Jumlah Tempat
4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000 10.000 11.000 12.000
Duduk (Buah)

Kebutuhan (SRP) 235 290 340 390 440 490 540 590 640

b) Berdasarkkan ukuran ruang parkir yang dibutuhkan tetapi belum tercakup


dalam butir.a.
Tabel 2.18. Ukuran Kebutuhan Ruang Parkir
Peruntukan Satuan (SRP untuk mobil Kebutuhan
penumpang) Ruang Parkir
Pusat Perdagangan
 Pertokoan SRP/100 m2 luas lantai efektif 3,5 – 7,5
 Pasar Swalayan SRP/100 m2 luas lantai efektif 3,5 – 7,5
 Pasar SRP/100 m2 luas lantai efektif
Pusat Perkantoran
 Pelayanan Bukan Umum SRP/100 m2 luas lantai 1,5 – 3,5
 Pelayanan Umum SRP/100 m2 luas lantai

Sekolah SRP/Mahasiswa 0,7 – 1,0


Hotel/Tempat Penginapan SRP/Kamar 0,2 – 1,0
Rumah Sakit SRP/Tempat Tidur 0,2 – 1,3
Bioskop SRP/Tempat Duduk 0,1 – 0,4
Sumber : Naasra 1998

c) Penentuan Satuan Ruang Parkir (SRP)


 Dimensi Kendaraan Standar untuk Mobil Penumpang

Gambar 2.7. Dimensi Kendaraan Standar untuk Mobil Penumpang


a : jarak gandar h : tingi total
b : depan tergantung B : lebar total
c : belakang tergantung L : panjang total
d : lebar
 Ruang Bebas Kendaraan Parkir
Ruang bebas kendaraan parkir diberikan pada arah lateral dan
longitudinal kendaraan. Ruang bebas arah lateral ditetapkan pada saat
posisi pintu kendaraan dibuka, yang diukur dari ujung terluar pintu ke
badan kendaraan parkir yang ada di sampingnya.

II-34
Ruang bebas ini diberikan agar tidak terjadi benturan antara pintu
kendaraan dan kendaraan yang parkir di sampingnya pada saat
penumpang turun dari kendaraan. Ruang bebas arah memanjang
diberikan di depan kendaraan untuk menghindari benturan dengan
dinding atau kendaraan yang lewat jalur gang (aisle). Jarak bebas arah
lateral diambil sebesar 5 cm dan jarak bebas arah longitudinal sebesar
30 cm.
 Lebar Bukaan Pintu Kendaraan
Ukuran lebar bukaan pintu merupakan fungsi karakteristik pemakai
kendaraan yang memanfaatkan fasilitas parkir. Sebagai contoh, lebar
bukaan pintu kendaraan karyawan kantor akan berbeda dengan lebar
bukaan pintu kendaraan pengunjung pusat kegiatan perbelanjaan.
Dalam hal ini, karakteristik pengguna kendaraan yang memanfaatkan
fasilitas parkir dipilih menjadi tiga seperti tabel berikut.
Tabel 2.19. Lebar Bukaan Pintu Kendaraan
Pengguna dan/atau Peruntukan
Jenis Bukaan Pintu Gol
Fasilitas Parkir
Pintu depan/belakang  Karyawan/pekerja kantor I
terbuka tahap awal 55  Tamu/pengunjung pusat kegiatan
cm. perkantoran, perdagangan,
pemerintahan, universitas.
Pintu depan/belakang  Pengunjung tempat olahraga, pusat II
terbuka penu 75 cm. hiburan/rekreasi, hotel, pusat
perdagangan eceran/swalayan,
rumah sakit, bioskop.
Pintu depan terbuka  Orang cacat III
penuh dan ditambah
untuk pergerakan
kursi roda.

Berdasarkan Butir 1 dan 2, penentuan satuan ruang parkir (SRP) dibagi


atas tiga jenis kendaraan dan berdasarkan butir 3, penentuan SRP
untuk mobil penumpang diklasifikasikan menjadi tiga golongan, seperti
pada berikut.
Tabel 2.20. Penentuan Satuan Ruang Parkir
Jenis Kendaraan Satuan Ruangan Parkir (m2)
1. Mobil Penumpang untuk Golongan I 2,30 x 5,00
2. Mobil Penumpang untuk Golongan II 2,50 x 5,00
3. Mobil Penumpang untuk Golongan III 3,00 x 5,00
4. Bus/truk 3,40 x 12,5
5. Sepeda Motor 0,75 x 2,00

II-35
Besar satuan ruang parkir untuk tiap jenis kendaraan adalah sebagai
berikut.
 Satuan Ruang Parkir untuk Mobil Penumpang

Gambar 2.8. Satuan Ruang Parkir (SRP) untuk Mobil Penumpang


(dalam cm)
Keterangan
B : Lebar Total Kendaraan
O : Lebar Bukaan Pintu
L : Panjang Total Kendaraan
R : Jarak Bebas Ara Lateral
a1,a2 : Jarak Bebas Arah Longitudinal

 Satuan Ruang Parkir untuk Bus/Truk

II-36
Gambar 2.9. Satuan Ruang Parkir (SRP) untuk Bus/Truk
(dalam cm)
 Satuan Ruang Parkir Untuk Sepeda Motor

Gambar 2.10. Satuan Ruang Parkir (SRP) untuk Bus/Truk


(dalam cm)
2) Fasilitas Pejalan Kaki
a) Jalur Pejalan Kaki
 Lebar dan alinyemen jalur pejalan kaki harus leluasa, minimal dua
orang pejalan kaki berpapasan, salah satu diantaranya tidak harus
turun ke jalur lalu lintas kendaraan.
 Lebar minimum jalur pejalan kaki adalah 1,50 meter.
 Maksimum arus pejalan kaki adalah 50 pejalan kaki/menit.
 Untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada pejalan kaki
maka jalur harus diperkeras, dan apabila mempunyai perbedaan tinggi
dengan sekitarnya harus diberi pembatas (dapat berupa kerb atau
batas penghalang/barrier).
 Perkerasan dapat dibuat dan blok beton, beton, perkerasan aspal, atau
plesteran. Permukaan harus rata dan mempunyai kemiringan melintang
2 – 4 % supaya tidak terjadi genangan air. Kemiringan memanjang

II-37
disesuaikan dengan kemiringan memanjang jalan dan disarankan
kemiringan maksimum adalah 10 %.
 Lebar lajur pejalan kaki harus ditambah, bila patok rambu lalu lintas,
kotak surat, pohon peneduh, atau fasilitas umum lainnya ditempatkan
pada jalur tersebut.
 Lebar minimum jalur pejalan kaki diambil dari lebar yang dibutuhkan
untuk pergerakan 2 orang pejalan kaki secara bergandengan atau 2
orang pejalan kaki yang berpapasan tanpa terjadinya persinggungan.
Lebar absolut minimum jalur pejalan kaki ditentukan 2 x 75 cm + jarak
antara dengan bangunan-bangunan disampingnya, yaitu (2 x 15 cm) =
1,80 m. Dalam Keadaan ideal untuk mendapatkan lebar minimum
dipakai rumus sebagai berikut :
LT = Lp + Lh
Dimana :
LT : Lebar total jalur pejalan kaki
Lp : Lebar jalur pejalan kaki yang diperlukan sesuai dengan tingkat
kenyamanan yang diinginkan.
Lh : Lebar tambahan akibat halangan bangunan-bangunan yang ada
disampingnya ditentukan pada tabel berikut.
Tabel 2.21. Penambahan Lebar Jalur Pejalan Kaki
Fasilitas Lebar Tambahan (cm)
1. Patok Penerangan 75 – 100
2. Patok Lampu Lalu Lintas 100 – 120
3. Rambu Lalu Lintas 75 – 100
4. Kotak Surat 100 – 120
5. Keranjang Sampah 100
6. Tanaman Peneduh 60 – 120
7. Pot Bunga 150

b) Trotoar
 Trotoar dapat direncanakan pada ruas jalan yang terdapat volume
pejalan kaki lebih dari 300 orang per 12 jam (jam 6.00 – jam 18.00)
dan volume lalu lintas lebih dari 1.000 kendaraan per 12 jam (jam 6.00
– jam 18.00).
 Ruang bebas trotoar tidak kurang dari 2,5 meter dan kedalaman bebas
tidak kurang dari satu meter dari permukaan trotoar. Kebebasan
samping tidak kurang dari 0,3 metrer. Perencanaan pemasangan
utilitas selain harus memenuhi ruang bebas trotoar juga harus

II-38
memenuhi ketentuan-ketentuan dalam buku petunjuk pelaksanaan
pemasangan utilitas.
 Lebar trotoar harus dapat melayani volume pejalan kaki yang ada.
Lebar minimum trotoar sebaiknya seperti yang tercantum dalam tabel
sesuai dengan klasifikasi jalan.
Tabel 2.21. Lebar Trotoar Minimum
Standar Lebar Minimum
Klasifikasi Jalan Rencana
Minimum (m) (Pengecualian)
Tipe II Kelas I 3 1,5
Kelas II 3 1,5
Kelas III 1,5 1

Keterangan :
Lebar minimum digunakan pada jembatan dengan panjang 50 meter
atau lebih pada daerah terowongan dimana volume lalu lintas pejalan
kaki (300 – 500 orang per 12 jam).
 Dimensi Trotoar
 Ruang Bebas Trotoar
Tinggi bebas trotoar tidak kurang dari 2,5 meter dan kedalaman
bebas trotoar kurang dari 1 meter dari permukaan trotoar.
Kebebasan samping trotoar tidak kurang dari 0,3 meter.
Perencanaan pemasangan utilitas selain harus memenuhi ketentuan
ruang bebas trotoar, harus juga memenuhi ketentuan-ketentuan
dalam buku petunjuk pelaksanaan pemasangan utilitas.

 Lebar Trotoar

II-39
Lebar trotoar harus dapat melayani volume pejalan kaki yang ada.
Trotoar yang sudah ada perlu ditinjau kapasitas (lebar), keadaan
dan penggunaannya apabila terdapat pejalan kaki yang
menggunakan jalur lalu lintas kendaraan. Trotoar disarankan untuk
direncanakan dengan tingkat pelayanan serendah-rendahnya C.
Pada keadaan tertentu yang tidak memungkinkan trotoar dapat
direncanakan sampai dengan tingkat pelayanan E.
Tabel 2.22. Tingkat Pelayanan Trotoar
Tingkat Modul (m2/orang) Volume
Pelayanan (orang/meter/menit)
A ≥ 3,25 ≥ 23
B 2,30 - 3,25 23 - 33
C 1,40 - 2,30 33 - 50
D 0,90 - 1,40 50 - 66
E 0,45 - 0,90 66 - 82
F ≤ 0,45 ≤ 82

Kebutuhan lebar trotoar dihitung berdasarkan volume pejalan kaki


rencana (V). Volume pejalan kaki rencana (V) adalah volume rata-
rata per menit pada interval puncak. V dihitung berdasarkan survey
perhitungan pejalan kaki yang dilakukan setiap interval 15 menit
selama enam jam paling sibuk dalam satu hari untuk dua arah.
Lebar trotoar dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

W = Lebar trotoar (meter)


V = Volume pejalan kaki rencana/dua arah
(orang/meter/menit)
N = Lebar tambahan sesuai dengan keadaan setempat (meter)
Tabel 2.23. Hubungan Lebar Trotoar dan Keadaan
N (meter) Keadaan
1,5 Jalan di daerah pasar
1,0 Jalan di daerah perbelanjaan bukan pasar
0,5 Jalan di daerah lain

Lebar trotoar disarankan tidak kurang dari 2 meter. Pada keadaan


tertentu lebar trotoar dapat direncanakan sesuai dengan batasan
lebar minimum pada tabel berikut.

II-40
Tabel 2.24. Lebar Minimum Trotoar Menurut Penggunaan Lahan
Sekitarnya
Penggunaan Lahan Sekitarnya Lebar Minimum (m)
Perumahan 1,5
Perkantor 2,0
Industri 2,0
Sekolah 2,0
Terminal/Stop Bus 2,0
Pertokoan/Perbelanjaan 2,0
Jembatan/Terowongan 1,0

 Struktur dan Kemiringan


Untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada pejalan kaki
maka trotoar harus diperkeras, diberi pembatas (dapat berupa kereb
atau batas penghalang/barrier) dan diberi elevasi lebih tinggi dari
permukaan perkerasan jalan.
Perkerasan trotoar dapat dibuat dengan blok beton, beton, perkerasan
aspal, atau plesteran. Permukaan trotoar harus rata dan mempunyai
kemiringan melintang 2-4% supaya tidak terjadi genangan air.
Kemiringan memanjang trotoar disesuaikan dengan kemiringan
memanjang jalan dan disarankan kemiringan memanjang maksimum
10%.
 Tangga
Tangga digunakan pada jembatan penyeberangan jalan, terowongan
penyeberangan jalan dan trotoar yang mempunyai kemiringan
memanjang lebih besar dari 10%. Ketinggian penyeberangan jembatan
penyeberangan dan kedalaman terowongan penyeberangan jalan harus
memenuhi batasan ruang bebas jalan, yaitu 5 meter ke atas dan 1,5
meter ke bawah dihitung dari permukaan perkerasan jalan.
Tabel 2.25. Dimensi Tangga yang Disarankan
Uraian Minimum Maksimum
Kemiringan memanjang (grade) 200 500
Ketinggian anak tangga - 15 cm
Panjang anak tangga 30 cm -
Jumlah anak tangga menerus - 12
Panjang tempat istirahat 150 cm -
Lebar tempat istirahat 200 cm -
Kemiringan memanjang jalur - 10%
pendekat

II-41
3) Fasilitas Penyeberangan
a) Penyeberangan Sebidang
 Fasilitas penyeberangan pejalan kaki ada kaitannya dengan trotoar,
maka fasilitas penyeberangan pejalan kaki dapat berupa perpanjangan
dan trotoar.
 Untuk penyeberangan dengan Zebra cross dan Pelikan cross sebaiknya
ditempatkan sedekat mungkin dengan persimpangan.
 Lokasi penyeberangan harus terlihat jelas oleh pengendara dan
ditempatkan tegak lurus sumbu jalan.
Tabel 2.26. Fasilitas Penyeberangan Berdasarkan PV2
PV2 P V Rekomendasi
> 108 50 – 1.100 300 – 500 Zebra Cross
> 2 x 108 50 – 1.100 400 – 750 Zebra Cross dengan lapak tunggu
> 108 50 – 1.100 > 500 Pelican
> 108 > 1.100 > 300 Pelican
> 2 x 108 50 – 1.100 > 750 Pelican dengan lapak tunggu
> 2 x 108 > 1.100 > 400 Pelican dengan lapak tunggu

Dimana :
P : Arus lalu lintas penyeberang jalan ang meneberang jalur lalu
lintas sepanjang 100 meter, dinyatakan dengan pejalan kaki/jam.
V : Arus lalu lintas dua arah per jam, dinyatakan dalam
kendaraan/jam.

II-42
Gambar 2.11. Hubungan Peneberang Jalan dengan Arus Lalu Lintas
Catatan :
• Arus penyeberang jalan dan arus lalu-lintas adalah rata-rata arus
lalu-lintas pada jam-jam sibuk.
• Lebar jalan merupakan faktor penentu untuk perlu atau tidaknya
dipasang lapak tunggu.
b) Penyeberangan Tidak Sebidang
Mengingat biaya konstruksi jembatan penyeberangan atau terowongan
cukup mahal, maka fasilitas penyeberangan ini sangat tepat dibangun bila
volume pejalan kaki yang menyeberang jalur lalu-Iintas pada jam sibuk
sangat tinggi.
4) Fasilitas Perlengkapan Jalan
Memasang fasilitas perlengkapan jalan seperti rambu dan marka disekitar
kawasan. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2014
tentang rambu lalu lintas. Maka pemasangan rambu harus mengikuti standar
yang ada. Berikut ini contoh pemasangan rambu lalu lintas yang sesuai dengan
standar :

II-43
Gambar 2.11. Ukuran Daun Rambu Peringatan
5) Fasilitas Tempat Menaikkan dan Menurunkan Penumpang
Penetuan jarak antara halte dan/atau tempat pemberhentian bus dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.26. Jarak Halte dan Tempat Pemberhentian Bus
Jarak Tempat
Zona Tata Guna Lahan Lokasi
Henti (m)
Pusat kegiatan sangat padat : pasar,
1 CBD, Kota 200 – 300*
pertokoan.
2 Padat : perkantoran, sekolah, jasa. Kota 300 – 400
3 Permukiman Kota 300 – 400
Campuran padat : perumahan, sekolah,
4 Pinggiran 300 – 500
jasa.
Campuran jarang : perumahan, ladang,
5 Pinggiran 500 – 1.000
sawah, tanah kosong.
Keterangan *:
Jarak 200 m dipakai bila sangat diperlukan saja, sedangkan jarak umumnya
300 m.
Tata letak halte dan/atau tempat pemberhentian bus terhadap ruang lalu
lintas:
 Jarak maksimal terhadap fasilitas penyeberangan pejalan kaki adalah 100
meter.
 Jarak minimal halte dari persimpangan adalah 50 meter atau bergantung
pada panjang antrian.

II-44
 Jarak minimal gedung (seperti rumah sakit, tempat ibadah) yang
membutuhkan ketenangan adalah 100 meter.
 Perletakan dipersimpangan menganut sistem campuran, yaitu antara
sesudah persimpangan (farside) dan sebelum persimpangan (nearside).
a) Halte
Halte dirancang dapat menampung penumpang angkutan umum 20 orang
per halte pada kondisi biasa (penumpang dapat menunggu dengan
nyaman).

Tabel 2.27. Kapasitas Lindungan (10 berdiri, 10 duduk)


Keterangan gambar:
 Ruang gerak per penumpang di tempat henti 90 cm x 60 cm.
 Jarak bebas antara penumpang dalam kota 30 cm dan antar kota 60
cm.
 Ukuran tempat henti per kendaraan, panjang 12 m dan lebar 2,5 m.
 Ukuran lindungan minimum 4 m x 2 m.

Gambar tampak depan, belakang, samping, dan atas

Catatan:

 Bahan bangunan disesuaikan dengan kondisi setempat.


 Ukuran minimum dengan luas efektif halte adalah panjang ≥ 4 m dan
lebar ≥ m.

II-45
Tabel 2.28. Halte Jenis 1

II-46
Tabel 2.29. Halte Jenis 2

II-47
Tabel 2.30. Halte Jenis 3
b) Tempat Pemberhentian Bus
Untuk menentukan jumlah kebutuhan teluk bus yang dapat menampung
bus tunggal, rangkap dua, atau tiga dipakai patokan umum bahwa sebuah
teluk bus yang menampung bus tunggal dapat melayani 40 buah bus dalam
waktu satu jam. Selain itu penentuannya juga didasarkan pada hitungan
dengan persamaan/berikut.

Keterangan:
N = Jumlah kebutuhan teluk bus
P =Jumlah penumpang maksimal yang menunggu di halte (orang/jam)
S = Kapasitas angkutan umum (orang/kendaraan)
B = Waktu pengisian/boarding time (detik)

II-48
C = Waktu pengosongan teluk bus/cleareance time (detik)

Tabel 2.31. Standar Jalur Henti Bus Tunggal

Tabel 2.32. Standar Jalur Henti Bus Ganda (Multy – Bus Lay By)

Tabel 2.33. Standar Jalur Henti Bus untuk Tempat Henti yang Berdekatan
(Single – Bus/Multy – Stop Lay By)

Tabel 2.33. Standar Jalur Henti Bus Terbuka


(Open – Ended Lay By)

Tabel 2.34. Standar Jalur Henti Bus yang dikombinasikan dengan Lajur
Parkir dan Bongkar Muat (Combined Lay By)

II-49
Tabel 2.35. Standar Jalur Henti Bus untuk Lahan yang Terbatas (Lay By
with Sub – Standard Depth)

Tabel 2.36. Standar Jalur Henti Bus yang Berdekatan dengan Jalan Akses
(Lay By Incorporating Side Road)
6) Akses Masuk/Keluar
Desain pada pintu keluar dan masuk dikarenakan bangkitan dan tarikan pada
siang hari yang cukup besar, yaitu pada pergantian shift karyawan ditambah
dengan pergerakan dari kendaraan operasional dan kedatangan tamu. Hal ini
sesuai dengan persyaratan minimum untuk kendaraan kecil pada Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Dirjen Bina Marga.
Tabel 2.27. Standar Radius

Panjang Lebar Tinggi Radius Putar (R)


Jenis Kendaraan
(cm) (cm) (cm) minimum maksimum

Kendaraan Kecil 4,70 1,70 2,00 4,20 7,30

kendaraan Sedang 12,10 2,60 4,10 7,40 12,80

Kendaraan Besar 21,00 2,60 4,10 9,20 14,00

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan, Dirjen Bina Marga

f. Rekomendasi
Rekomendasi terhadap alternatif penanganan dampak lalu lintas terbaik yang
dipilih dan dilengkapi dengan rencana teknik manajemen dan rekayasa lalu lintas.

II-50

Anda mungkin juga menyukai