BAB 1 Pendahuluan
Dengan adanya Pembagunan Underpass pada Simpang Tidak Sebidang Jl. Dewi
Sartika kota Depok mempunyai pengaruh terhadap lalu lintas di sekitarnya.
Dilakukannya pengaturan dan pengendalian lalu lintas untuk dapat melayani lalu
lintas yang ada (eksisting) ditambah dengan lalu lintas yang dibangkitkan atau.
Jika prasarana yang ada tidak dapat mendukung lalu lintas tersebut maka harus
dilakukan penanganan prasarana tersebut atau pengaturan manajemen terhadap
lalu lintasnnya. Secara umum telah diterima suatu konsep analisis
1
“menginternalkan eksternalitas” dengan kosnsekuensi “poluter pays” dengan
penaganan dampak lalu lintas sebagai akibat pembangunan suatu Kawasan atau
lokasi tertentu.
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kinerja simpang kondisi eksisting Pembangunan Underpass
Dewi Sartika Kota Depok.
2. Mengetahui kondisi kinerja simpang pada saat Pembangunan dan Setelah
Pembangunan Underpasss Simpang Tidak Sebidang Jl. Dewi Sartika Kota
Depok dengan permodelan mikrosimulasi.
2
1. Melakukan analisis kinerja ruas jalan menggunakan Manual Kapasitas Jalan
Indonesia (MKJI) 1997.
2. Survei lalu lintas dilakukan pada jam padat yaitu pada hari kerja dan hari
libur.
3. Memodelkan kondisi ruas jalan menggunakan software Vissim.
4. Tidak memperhitungkan analisis biaya.
Gambar 1. 1 Lokasi Survai Pencacahan Lalu Lintas di Ruas Jalan dan Simpang
Sumber: Google Earth Pro
No
Nama Ruas Jalan
Simpang
3
4 Simpang Jl. Siliwangi
BAB 6 Kesimpulan
Bab ini terdiri dari kesimpulan hasil analisis Dampak Lalu Lintas
Akibat Pembangunan Underpass Pada Simpang Tidak Sebidang Jl.
Dewi Sartika Kota Depok
4
BAB 2 Tinjauan Pustaka
1
3. Permukiman lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan
Lalu Lintas.
2
Tabel 2.1 Kriteria Ukuran Minimal Analisis Dampak Lalu Lintas
Kategori Bangkitan
No. Jenis Rencana Pembangunan Ukuran Minimal
Lalu Lintas
1 Pusat Kegiatan
a. Kegiatan Perdagangan dan diatas 3.000 m² luas Bangkitan Tinggi
perbelanjaan lantai bangunan (Dokumen Andalalin)
1.001 m² s.d. 1000 m² Bangkitan Sedang
luas lantai bangunan (Dokumen Andalalin)
500 m² s.d. 1000 m² Bangkitan Rendah
luas lantai bangunan (Dokumen Andalalin)
b. Kegiatan Perkantoran diatas 10.000 m² luas Bangkitan Tinggi
lantai bangunan (Dokumen Andalalin)
4.001 m² s.d. 10.000
m² luas lantai Bangkitan Sedang
bangunan (Dokumen Andalalin)
1.000 m² s.d. 4.000 m² Bangkitan Rendah
luas lantai bangunan (Dokumen Andalalin)
c. Kegiatan Industri dan
pergudangan
1) Industri diatas 10.000 m² luas Bangkitan Tinggi
lantai bangunan (Dokumen Andalalin)
5.001 m² s.d. 10,000
m² luas lantai Bangkitan Sedang
bangunan (Dokumen Andalalin)
2.500 m² s.d. 5.000 m² Bangkitan Rendah
luas lantai bangunan (Dokumen Andalalin)
2) Pergudangan diatas 500.000 m² luas Bangkitan Tinggi
lantai bangunan (Dokumen Andalalin)
1
Kategori Bangkitan
No. Jenis Rencana Pembangunan Ukuran Minimal
Lalu Lintas
170.001 m² s.d.
500.000 m² luas lantai Bangkitan Sedang
bangunan (Dokumen Andalalin)
40.000 m² s.d. 170.000
m² luas lantai Bangkitan Rendah
bangunan (Dokumen Andalalin)
d. Kegiatan Industri dan
pergudangan
Wajib Bangkitan Tinggi
1) Kawasan Pariwisata (Dokumen Andalalin)
2) Tempat Wisata diatas 10 hektar luas Bangkitan Tinggi
lahan (Dokumen Andalalin)
5,0 s.d 10,0 hektar luas Bangkitan Sedang
lahan (Dokumen Andalalin)
1,0 s.d 5,0 hektar luas Bangkitan Rendah
lahan (Dokumen Andalalin)
e. Fasilitas Pendidikan
1) Sekolah / Universitas Bangkitan Tinggi
Diatas 1.500 siswa
(Dokumen Andalalin)
500 s.d. 1500 siswa Bangkitan Sedang
(Dokumen Andalalin)
f. Fasilitas Pelayanan Umum
1) Rumah Sakit Diatas 700 tempat Bangkitan Tinggi
tidur (Dokumen Andalalin)
201 s.d. 700 tempat Bangkitan Sedang
tidur (Dokumen Andalalin)
75 s.d. 200 termpat Bangkitan Rendah
tidur (Dokumen Andalalin)
2
Kategori Bangkitan
No. Jenis Rencana Pembangunan Ukuran Minimal
Lalu Lintas
3
Kategori Bangkitan
No. Jenis Rencana Pembangunan Ukuran Minimal
Lalu Lintas
4
Kategori Bangkitan
No. Jenis Rencana Pembangunan Ukuran Minimal
Lalu Lintas
5
Kategori Bangkitan
No. Jenis Rencana Pembangunan Ukuran Minimal
Lalu Lintas
6
Kategori Bangkitan
No. Jenis Rencana Pembangunan Ukuran Minimal
Lalu Lintas
Bangkitan Sedang
100 s.d. 300 SRP
(Dokumen Andalalin)
4 Pusat
Kegiatan/Pemukiman/Infrastruktur
lainnya :
a. Stasiun Pengisian Bahan Bangkitan Tinggi
Bakar diatas 6 dispenser
(Dokumen Andalalin)
Bangkitan Sedang
3 s.d. 6 dispensers
(Dokumen Andalalin)
Bangkitan Rendah
1 s.d. 2 dispensers
(Dokumen Andalalin)
b. Hotel Bangkitan Tinggi
Diatas 300 kamar
(Dokumen Andalalin)
121 s.d. 300 kamar Bangkitan Sedang
(Rekomendasi Teknis)
75 s.d. 120 kamar Bangkitan Rendah
(Standar Teknis)
c. Gedung Pertemuan diatas 3.000 m² luas Bangkitan Tinggi
lantai bangunan (Dokumen Andalalin)
1.000 m² s.d. 3.000 m² Bangkitan Sedang
luas lantai bangunan (Rekomendasi Teknis)
d. Restaurant Diatas 300 tempa Bangkitan Sedang
duduk (Rekomendasi Teknis)
100 s.d. 300 tempat Bangkitan Rendah
duduk (Standar Teknis)
e. Fasilitas Olahraga (indoor diatas 20.000 m² luas Bangkitan Tinggi
atau outdorr) lantai bangunan (Dokumen Andalalin)
7
Kategori Bangkitan
No. Jenis Rencana Pembangunan Ukuran Minimal
Lalu Lintas
8
Kategori Bangkitan
No. Jenis Rencana Pembangunan Ukuran Minimal
Lalu Lintas
9
Kategori Bangkitan
No. Jenis Rencana Pembangunan Ukuran Minimal
Lalu Lintas
10
2.2 Jalan
Menurut UU nomer 23 tahun 2006, Jalan adalah prasarana transportasi darat yang
meliputi segala bagian jalan termasuk di dalamnya bangunan pelengkap dan
perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas yang berada pada permukaan
tanah, di atas permukaan tanah di bawah tanah dan air, serta di atas permukaan
air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.
2. Bahu Jalan
Bahu Jalan adalah jalur lalu lintas untuk menampung kendaraan yang
berhenti dan keperluan darurat. Kemiringan normal bahu yaitu 3-5%.
Lebar bahu dapat ditentukan berdasarkan table berikut ini.
1
Tabel 2.2 Lebar lajur jalan dan bahu jalan
Lebar Lajur Lebar bahu sebelah luar (m)
Kelas Jalan Tanpa Trotoar Ada Trotoar
Disarankan Minimum
Disarankan Minimum Disarankan Minimum
I 3.60 3.50 2.50 2.00 1.00 0.50
II 3.60 3.00 2.50 2.00 0.50 0.25
III A 3.60 2.75 2.50 2.00 0.50 0.25
III B 3.60 2.75 2.50 2.00 0.50 0.25
III C 3.60 *) 1.50 0.50 0.50 0.25
Sumber: SNI Geometri Jalan Perkotaan. BSN 2004
3. Trotoar
Trotoar adalah jalur lalu lintas untuk pejalan kaki yang umumnya sejajar
dengan sumbu jalan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan. Lebar
trotoar ditentukan pada tabel berikut:
4. Median
Median adalah bagian dari jalan yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan
dengan memanjang sejajar jalan, terletak di sumbu/tengah jalan,
dimaksudkan untuk memisahkan arus lalu lintas yang berlawanan, median
dapat berbentuk median yang di tinggikan, median yang diturunkan atau
median datar. Lebar median ditentukan pada tabel berikut.
2
5. Saluran samping
Saluran samping adalah bagian dari jalan yang digunakan untuk
mengalurkan dari permukaan perkerasan jalan/dari bagian luar jalan.
Saluran samping pada umumnya berbentuk trapesium, persegi empat,
persegi pajang atau setengah lingkaran. Ukuran saluran samping
ditentukan berdasarkan debit yang diperkirakan akan mengalir pada
saluean tersebut.
6. Separaton jalan
Separaton jalan adalah pemisah jalur lambar dengan jalur cepat.
Separatorn terdiri dari atas bangunan fisik yang ditinggikan dengan kereb
dan jalur tepian. Lebar minimum separaton adalah 1,0 meter.
3
dengan dimensi dan berat kendaraan. Penentuan klasifikasi jalan terkait dengan
besarnya volume lalu lintas yang menggunakan pembangunan dan perawatan
jalan.
1. Klasifikasi Berdasarkan Fungsi Jalan
Klasifikasi berdasarkan fungsi jalan menurut SNI Geometri Jalan
Perkotaan 2004 terbagi menjadi empat yaitu:
a. Jalan Arteri
Jalan Arteri adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan
ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan
jumlah jalan masuk dibatasai secara efisien.
b. Jalan Kolektor
Jalan Kolektor adalah jalan yang melayani angkutan
pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri perjalan jarak sedang,
kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
c. Jalan Lokal
Jalan Lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan
ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan
jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
d. Jalan Lingkungan
Jalan Lingkungan adalah jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan dekat dan kecepatan
rata-rata rendah.
2. Klasifikasi Berdasarkan Kelas Jalan
Klasifikasi kelas jalan menurut SNI Geometri Jalan Perkotaan 2004
terbagi menjadi enam kelas berdasarkan fungsi jalan dan muatan sumbu
terberat (MST) dalam satuan ton.
4
III C Lokal 9 2.1 8
Sumber: SNI Geometri Jalan Perkotaan. BSN 2004
a. Jalan Kelas I
Jalan Kelas I ini mencakup semua jalan utama dan dimaksudkan
untuk dapat melayani lalu lintas cepat dan berat =. Jalan ini dapat
dilalui oleh kendaraan yang lebarnya tidak melebihi 2,5 meter.
ukuran Panjang tidak melebihi 18meter dan muatan sumbu terberat
yang diizinkan lebih besar dari 10 ton.
b. Jalan Kelas II
Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan sekunder. Dalam
komposisi lalu lintas lambat. Jalan ini dapat dilalui oleh kendaraan
dengan lebar tidak lebih dari 2,5 meter, Panjang tidak melebihi
18meter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan yaitu 8 ton.
c. Jalan Kelas III A
Jalan kelas ini adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur atau lebih.
Jalan ini dapat dilalui oleh kendaraan dengan lebar tidak lebih dari
2,5 meter, Panjang tidak melebihi 18meter dan muatan sumbu
terberat yang diizinkan 8 ton.
d. Jalan Kelas III B
Jalan kelas ini adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan
konstruksi permukaan dari penetrasi berganda atau yang setara
dimana dalam kompoisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat
tapi tanpa kendaraan tak bermotor. Jalan ini dapat dilalui oleh
kendaraan dengan lebar tidak lebih dari 2,5 meter, Panjang tidak
melebihi 12meter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan yaitu
8 ton.
e. Jalan Kelas III C
Jalan kelas ini adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan
konstruksi permukaan jalan dari jenis penetrasi tunggal dimana
dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat dan
kendaraan tak bermotor. Jalan ini dapat dilalui oleh kendaraan
dengan lebar tidak melebihi 2,5 meter, Panjang tidak melebihi 9-
meter dan muatan sumbu terberatnya yang diizinkan 8 ton.
5
3. Klasisfikasi Menurut Wewenang Pembina Jalan
Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai PP. No.26/1985
adalah jalan Nasional, Jalan Provinsi, Jalan Kabupaten/Kotamadya, Jalan
Desa, dan Jalan Khusus.
a. Jalan Nasional
Jalan Nasional adalah jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem
jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibu kota provinsi
dan jalan strategis nasional serta jalan tol.
b. Jalan Provinsi
Jalan Provinsi adalah jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan
primer yang menghubungkan ibu kota provinsi dan ibu kota
kabupaten.
c. Jalan Kabupaten
Jalan Kabupaten adalah jalan lokal dalam sistem jaringan jalan
primer yang menghubungkan ibu kota kabupaten dengan ibu kota
kecamatan serta jalan umum dalam jaringan jalan sekunder dalam
wilayah kabupaten.
d. Jalan Kota
Jalan Kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan sekunder
yang fungsinya menghubungkan pusat pelayanan kota, pusat
pelayanan dengan persil serta antar pemukimam dalam kota.
e. Jalan Desa
Jalan Desa adalah jalan umum yang berfungsi menghubungkan
wilayah pemukiman dalam desa.
f. Jalan Khusus
Jalan Khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan
usaha, perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan
sendiri.
6
Menurut Undang – Undang No. 38 Tahun 2004 tentang jalan bahwa
Ruang Manfaat Jalan (Rumaja) adalah suatu daerah sepanjang jalan yang
dikiri – kanan jalan dibatasi oleh patok ambang pengaman jalan, terdiri
dari badan jalan saluran tepi jalan dan ambang pengamannya.
2. Ruang Milik Jalan (Rumija)
Menurut Undang – Undang No.38 Tahun 2004 tentang jalan bahwa Ruang
Milik Jalan (Rumija) adalah suatu ruang sepanjang jalan yang dikiri-kanan
yang dibatasi oleh patok batas pemilikan tanah (patok RMJ)
3. Ruang Pengawasan Jalan (Ruwasja)
Menurut Undang – Undang No.38 Tahun 2004 tentang jalan bahwa Ruang
Pengawasan Jalan (Ruwasja) adalah suatu ruang tertentu diluar ruang
milik jalan yang ada dibawah pengawasan penyelanggara jalan, dengan
zona udara setinggi 5meter dari permukaan as jalan.
7
2.3 Simpang
Simpang Jalan adalah titik pertemuan beberapa ruas jalan dan perpotongan arus
kendaraan. Masing-masing lengan simpang menggunakan ruang jalan pada
persimpangan secara bersama-sama dengan lalu lintas lainnya. Walaupun ruas
jalan yang baik tapi tidak diikuti dengan kinerja persimpangan yang baik juga
makan kinerja sistem jaringan jalan tersebut rendah (heri Azwansyah dan Fery
Juniardi, 2015). Oleh karena itu persimpangan merupakan faktor yang paling
penting dalam
Menentukan kapasitas dan waktu perjalanan pada suatu jaringan jalan.
8
b. Simpang tak bersinyal (Unsignalised Intersection) adalah
persimpangan jalan yang pergerakan tiap pendekatnya tidak
menggunakan lampu sinyal.
9
Gambar 2.5 Contoh Simpang Tak Sebidang
Sumber: Morlok, E. K, 1991
10
Gambar 2.6 Diverging
Sumber: Departemen PU 1997
2. Merging (Bergabung)
Merging adalah pergerakan bergabungnya kendaraan dari suatu jalur ke
jalur lainnya.
11
3. Weaving (Menyilang)
Weaving adalah pergerakan pertemuan pada dua arus lalu lintas atau lebih
dengan arah yang sama sepanjang suatu lintasan jalan raya tanpa bantuan
rambu lalu lintas. Gerakan ini sering terjadi pada kendaraan yang
berpindah dari satu jalur ke jalur lainnnya.
4. Crossing (Berpotongan)
Crossing adalah pergerakan perpotongan antara arus kendaraan dari satu
jalur ke jalur lain pada persimpangan.
12
Gambar 2.9 Crossing
Sumber: Departemen PU 1997
13
2.3.3 Pengendalian Simpang
Tujuan utama pengendalian simpang adalah mengurangi terjadinya konflik yang
terjadi di daerah simpang dan menyediakan fasilitas yang memberikan
kemudahan, kenyamanan, dan keselamaan terhadap pemakai jalan yang melalui
persimpangan. Masalah utama yang terjadi pada persimpangan yaitu:
1. Volume dan kapasitas yang mempengaruhi terjadinya hambatan
2. Geometrik jalan yang mempengaruhi jarak antar simpang
3. Kecelakaan, keselamatan jalan, kecepatan kendaraan dan lampu jalan
4. Pejalan kaki, parkir, akses dan pembangunan yang bersifat umum.
Dalam upaya meminimalkan konflik dan melancarkan arus lalu lintas ada
beberapa metode pengendalian persimpangan yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Persimpangan prioritas
Metode pengendalian persimpangan ini adalah memberikan prioritas yang
lebih tinggi kepada kendaraan yang datang dari jalan utama dari semua
kendaraan yang bergerak dari jalan kecil (jalan minor),
2. Persimpangan dengan lampu pengatur lalu lintas
Metode ini mengendalikan persimpangan dengan suatu alat yang
sederhana (manual, mekanis dan elektris) dengan memberikan prioritas
bagi masing-masing pergerakan lalu lintas secara berurutan untuk
memerintahkan pengemudi berhenti atau berjalan,
14
3. Persimpangan dengan bundaran lalu lintas
Metode ini mengendalikan persimpangan dengan cara membatasi alih
gerak kendaraan menjadi pergerakan berpencar (diverging), bergabung
(merging), berpotongan (crossing), dan bersilangan (weaving) sehingga
dapat memperlambat kecepatan kendaraan,
4. Persimpangan tidak sebidang
Metode ini mengendalikan konflik dan hambatan di persimpangan dengan
cara menaikkan lajur lalu lintas atau di jalan di atas jalan yang lain
melalui penggunaan jembatan atau terowongan.
Peralatan standar ini terdiri dari sebuah tiang, dan kepala lampu dengan tiga
warna lampu merah untuk berhenti, kuning untuk berhati-hati dan hijau untuk
berjalan. Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997) penggunaan sinyal
dengan lampu tiga warna yaitu hijau, kuning, dan merah diterapkan untuk
memisahkan lintasan dari gerakan-gerakan lalu lintas yang saling bertentangan
dalam dimensi waktu.
Prinsip dasar pengendalian persimpangan dengan alat pemberi isyarat lalu lintas
harus memenuhi aturan yang disampaikan oleh isyarat lampu tersebut.
Keberhasilan dari pengaturan ini dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas
(APILL) ditentukan dengan berkurangnya penundaan waktu untuk melalui
persimpangan (waktu antri yang minimal) dan berkurangnya angka kecelakaan
pada persimpangan yang bersangkutan. Lampu pengatur (isyarat) lalu lintas
merupakan alat yang sederhana (manual, mekanis, elektris), alat ini memberi
prioritas bergantian dalam suatu periode waktu.
15
Gambar 2.11 Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL)
Sumber: Tribun Jogja, 2019
Menurut Direktorat Jendral Bina Marga dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia
1997, alasan dipergunakannya sinyal lalu lintas pada persimpangan adalah:
1. Untuk menghindari kemacetan simpang akibat adanya konflik arus lalu
lintas sehingga terjamin bahwa suatu kapasitas tertentu dapat di
pertahankan bahkan selama kondisi lalu lintas jam padat.
2. Untuk memberi kesempatan kepada kendaraan dan atau pejalan kaki dari
jalan simpang (kecil) untuk memotong jalan utama.
3. Untuk mengurangi jumlah kecelakaan lalu lintas akibat tabrakan antara
kendaraan dari arah yang berlawanan.
16
2.4.2 Istilah-istilah operasional (APILL)
Beberapa istilah yang digunakan dalam operasional lampu persimpangan
bersinyal sebagai berikut:
1. Siklus adalah urutan lengkap suatu lampu lalu lintas.
2. Fase (phase) adalah bagian dari suatu siklus yang dialokasikan untuk
kombinasi pergerakan secara bersamaan.
3. Waktu hijau efektif adalah periode waktu hijau yang dimanfaatkan
pergerakan pada fase yang bersangkutan.
4. Waktu antar hijau adalah waktu antara lampu hijau untuk satu fase dengan
awal lampu hijau untuk fase lainnya.
5. Rasio hijau adalah perbandingan antara waktu hijau efektif dan Panjang
siklus.
6. Merah efektif adalah waktu selama suatu pergerakan atau sekelompok
pergerakan secara efektif tidak diijinkan bergerak, dihitung sebagai
Panjang siklus dikurangi waktu hijau efektif
7. Lost time adalah waktu hilang dalam suatu fase karena keterlambatan start
kendaraan dan berakhirnya tingkat pelepasan kendaraan yang terjadi
selama waktu kuning.
17
lintas lintas yang terjadi. Pada jenis lampu lalu lintas ini terdapat detektor
pada seluruh kaki simpang sehingga simpang tersebut bersifat responsive
terhadap kebutuhan atau kondisi lalu lintas
2.5.1 Geometri
Perhitungan dikerjakan secara terpisah untuk setiap pendekat. Satu lengan
simpang dapat terdiri lebih dari satu pendekat, yaitu dipisahkan menjadi dua atau
lebih sub- pendekat. Hal ini terjadi jika gerakan belok-kanan dan/atau belok-kiri
mendapat sinyal hijau pada fase yang berlainan dengan lalu-lintas yang lurus,
atau jika dipisahkan secara fisik dengan pulau-pulau lalu-lintas dalam pendekat.
18
2.5.2 Arus Lalu Lintas
Perhitungan dilakukan per satuan jam untuk satu atau lebih periode, misalnya
didasarkan pada kondisi arus lalu-lintas rencana jam puncak pagi, siang dan
sore. Arus lalu-lintas (Q) untuk setiap gerakan (belok-kiri QLT, lurus QST dan
belok- kanan QRT) dikonversi dari kendaraan per-jam menjadi satuan mobil
penumpang (smp) per-jam dengan menggunakan ekivalen kendaraan penumpang
(emp) untuk masing-masing pendekat terlindung dan terlawan:
Tabel 2.6 Jenis Kendaraan
Jenis Kendaraan EMP Untuk Tipe Pendekat
Terlindung Terlawan
Kendaraan Ringan (LV) 1 1
Kendaraan Berat (HV) 1.3 1.3
Sepeda Motor (MC) 0.2 0.4
Sumber: MKJI 1997
Qum
PUM = (2.3)
Qmv
2.5.3 Kapasitas
Kapasitas pendekatan simpang bersinyal dapat dinyatakan sebagai berikut:
g
C=S X (2.4)
c
Dengan
19
C = Kapasitas (smp/jam)
S = Arus jenuh, yaitu arus berangkat rata-rata dari antrian dalam pendekat
selama sinyal hijau (smp/jam hijau = smp per-jam hijau)
g = Arus Jenuh, yaitu arus berangkat rata-rata dari antrian dalam pendekat
selama sinyal hijau (smp/jam hijau = smp per-jam hijau)
C = Waktu siklus, yaitu selang waktu untuk urutan perubahan sinyal yang
lengkap (yaitu antara dua awal yang berrutan pada fase yang sama)
Oleh karena itu perlu diketahui atau ditentukan waktu sinyal dari simpang agar
dapat menghitung kapasitas dan ukuran perilaku lalu-lintas lainnya.
Pada rumus (1) di atas, arus jenuh dianggap tetap selama waktu hijau. Meskipun
demikian dalam kenyataannya, arus berangkat mulai dari 0 pada awal waktu
hijau dan mencapai nilai puncaknya setelah 10-15 detik. Nilai ini akan menurun
sedikit sampai akhir waktu hijau.
20
- Ukuran Kota CS, jutaan penduduk
- Hambatan Samping SF, kelas hambatan samping dari lingkungan jalan
dan kendaraan tak bermotor
- Kelandaian G, % naik (+) atau turun (-)
- Parkir P, jarak garis henti kendaraan parker pertama
- Gerakan membelok RT, % belok-kanan
LT, % belok-kiri
2. Waktu Hijau
( c−LTI ) xFrcrit
gi= (2.8)
Σ( FRcrit )
Dmana:
gi = Tampilan waktu hijau pada fase I (detik)
c = Waktu siklus sinyal (detik)
LTI = Jumlah waktu hilang per siklus (detik)
21
Frcrit = Nilau FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat
pada suatu fase sinyal.
Σ FRcrit = Jumlah FRcrit dari semua fase pada siklus tersebut
22
DS = derajat kejenuhan
GR = rasio hijau
c = waktu siklus (det)
C = Kapasitas (smp/jam) = arus jenuh kali rasio hijau (SxGR)
Q = arus lalu-lintas pada pendekat tersebut (smp/det)
23
C = Kapasitas (smp/jam)
NQ1 = Jumlah smp yang tertinggal dari fase hijau sebelumnya
24
3. Faktor peyesuaian untuk kelandaian (Fg)
Gambar 2.14 Faktor Penyesuaian Untuk Pengaruh Parkir dan Lajur Belok Kiri
yang Pendek (Fp)
Sumber: MKJI 1997
25
5. Faktor penyesuaian belok kanan (Frt)
26
2.6 Simpang Tak Bersinyal
Simpang bersinyal adalah suatu persimpangan yang tidak meiliki lampu pengatur
sinyal lalu lintas (Traffic Light). Sehingga jenis persimpangan ini tidak cocok
untuk diletakan pada jalan yang mengalami tingkat kepadatan yang sangat tinggi.
Metodologi untuk analisa simpang bersinyal yang diuraikan di bawah ini,
didasarkan pada prinsip prinsip utama sebagai berikut:
2.6.1 Kapasitas
Kapasitas total untuk seluruh lengan simpang adalah hasil perkalian antara
kapastias dasar (C0) yaitu kapasitas pada kondisi tertentu (ideal) dan factor-faktor
penyesuaian (F), dengan memperhitungkan pengaruh kondisi lapangan terhadap
kapastias.
Bentuk model kapastias menjadi sebagai berikut:
C=C 0 x F W x F M x F CS x F RSU x F¿ x F RT x F MI (2.18)
Dimana
Qsmp = Arus total (smp/jam) dihitung sebagai berikut :
Qsmp = Qkend x Fsmp
Fsmp = Faktor smp, dihitung sebagai berikut :
27
Fsmp = (empLV, LV%, empHV, HV%, empMC dan MC% adalah emp dan
komposisi lalu-lintas untuk kendaraan ringan, kendaraan berat dan
sepeda motor.
C = Kapasitas
2.6.3 Tundaan
Tundaan pada simpang dapat terjadi karena dua sebab :
1. Tundaan Lalu-Lintas Simpang (DTI)
Tundaan lalu-lintas simpang adalah tundaan lalu lintas, rata-rata untuk
semua kendaraan bermotor yang masuk simpang. DTI ditentukan dari
kurva empiris antara DTI dan DSI lihat pada gambar 2-
28
Gambar 2.18 Tundaan lalu-lintas jalan utama VS Derajat Kejenuhan
Sumber: Manual Kapastias Jalan Indonesia (MKJI) (1997)
Gambar 2.19 Rentang peluang antrian (QP%) terdapat derajat kejenuhan (DS)
Sumber: Manual Kapastias Jalan Indonesia (MKJI) (1997)
29
2.7 Koordinasi Sinyal Pada Simpang
Koordinasi sinyal antara kedua simpang diperlukan dengan tujuan untuk
mengoptimalkan kapasitas jaringan jalan karena dengan adanya koordinasi sinyal
antar simpang diharapkan tundaan yang dialami kendaraan dapat berkurang dan
menghindari ntrian kendaraan yang terlalu panjang. Kendaraan yang telah
bergerak meninggalkan satu simpang upayakan tidak mendapati sinyal merah
pada simpang berikutnya, sehingga dapat terus berjalan dengan kecepatan
normal. Sistem sinyal terkoordinasi mempunyai indikasi sebagai salah satu
bentuk manajemen transportasi yang dapat memberikan keuntungan berupa
efisiensi biaya operasional (Sandra Chitra Amelia dkk, 2008).
Secara terperinci dampak positif dari pengaturan koordinasi lampu lalu lintas
simpang berinyal diklasifikasikan pada table sebagai berikut.
Tabel 2.10 Dampak dari pengaturan koordinasi
No Tujuan Dampak
1 Pengurangan jumlah 1. Mempertingi kenyamanan perjalanan
berhenti kendaraan 2. Pegurangan populasi gas CO2
3. Pengurangan gangguan suara kendaraan
4. Pengurangan kemungkinan kecelakaan
30
Gambar 2.20 Prinsip Koordinasi Sinyal dan Green Wave
Sumber: Taylor dan youg, 1996
31
d. Sistem progresif fleksibel (flexible progressive system), memiliki
mekanisme pengendali induk yang mengatur pengendali pada tiap
sinyal. Pengendalian ini tidak hanya memberikan koordinasi yang baik
diantara sinyal-sinyal tetapi juga memungkinkan panjang siklus dan
pengambilan siklus pada interval di sepanjang hari.
32
Gambar 2.21 Bentuk Offset dan Brandwith
Sumber: Taylor, 1996
33
2. Jika pengaturan untuk menyebrang jalan diterapkan berdasarkan
parameter pergerakan arus lalu lintas dari satu arah tertentu, maka arus
lalu lintas arah berlawanan akan menderita kerugian. Kecuali jika lokasi
penyebrangan tepat berada di tengah-tengah ruas jalan tersebut.
3. Diagram waktu jarak Konsep koordinasi pengaturan lampu lalu lintas
biasanya dapat digambarkan dalam bentuk diagram waktu-jarak (Time
Distance Diagram). Diagram waktujarak adalah visualisasi dua dimensi
dari beberapa simpang yang terkoordinasi sebagai fungsi jarak dan pola
indikasi lampu lalu lintas di masing-masing simpang yang bersangkutan
sebagai fungsi waktu.
4. Metode koordinasi lampu lalu lintas
a. Pola pengaturan waktu tetap (Fixed Time Control). Pola
pengaturan waktu yang diterapkan hanya satu, tidak berubah-
ubah. Pola pengaturan tersbut merupakan pola pengaturan yang
paling cocok untuk kondisi jalan atau jaringan jalan yang
terkoordinasikan. Pola-pola pengaturan tersebut ditetapkan
berdasarkan data-data dan kondisi dari jalan atau jaringan yang
bersangkutan.
b. Pola pengaturan waktu berubah berdasarkan kondisi lalu lintas.
Pola pengaturan waktu yang diterapkan tidak hanya satu tetapi
diubah-ubah sesuai dengan kondisi lalu lintas yang ada. Biasanya
ada tiga pola yang diterapkan yang sudah secara umum ditetapkan
berdasarkan kondisi lalu lintas sibuk pagi (morning peak
condition), kondisi lalu lintas sibuk sore (evening peak
condition), dan kondisi lalu lintas di antara kedua periode waktu
tersebut (off peak condition).
c. Pola pengaturan waktu berubah sesuai kondisi lalu lintas (traffic
responsive system). Pola pengaturan waktu yang diterapkan dapat
berubah-ubah setiap waktu sesuai dengan perkiraan kondisi lalu
lintas yang ada pada waktu yang bersangkutan. Pola-pola tersebut
ditetapkan berdasarkan perkiraan kedatangan kendaraan yang
dilakukan beberapa saat sebelum penerapannya. Sudah barang
34
tentu metode ini hanya dapat diterapkan dengan peralatan-
peralatan yang lengkap.
.
2.8 Level Of Service (LOS)
Pada umumnya tujuan dari adanya tingkat pelayanan adalah untuk melayani
seluruh kebutuhan lalu lintas (demand) dengan sebaik mungkin. Baiknya
pelayanan dapat dinyatakan dalam tingkat pelayanan Level Of Service (LOS).
Level Of Service (LOS) merupakan ukuran kualitas sebagai rangkaian dari
beberapa factor yang mencakup kecepatan kendaraan dan waktu perjalanan,
interupsi lalu lintas, kebebasan untuk manuver, keamanan, kenyamanan
mengemudi, dan ongkos operasi (operation cost), sehingga LOS sebagai tolak
ukur kualitas suatu kondisi lalu lintas, maka volume pelayanan harus kurang dari
kapasitas jalan itu sendiri. LOS yang tinggi didapatkan apabila cycle time -nya
pendek sebab cycle time yang pendek akan menghasilkan delay yang kecil. Dalam
klasifikasi pelayanannya LOS dibagi menjadi 6 tingkatan yaitu:
1. Tingkat Pelayanan A
a. Arus lalu lintas bebas tanpa hambatan
b. Volume dan kepadatan lalu lintas rendah
c. Kecepatan kendaraan ditentukan oleh pengemudi
2. Tingkat Pelayanan B
a. Arus lalu lintas stabil
b. Kecepatan mulai dipengaruhi oleh keadaan lalu lintas, tetapi tetap
dapat dipilih seusi kehendak pengemudi
3. Tingkat Pelayanan C
a. Arus lalu lintas masih stabil
b. Kecepatan perjalanan dan kebebasan bergerak sudah dipengaruhi
oleh besarnya volume lalu lintas sehingga pengemudi tidak dapat
lagi memilih kecepatan yang diinginkan
4. Tingkat Pelayanan D
a. Arus lalu lintas mulai memasuki arus tidak stabil
b. Perubahan volume lalu lintas sangat mempengaruhi besarnya
kecepatan perjalanan
35
5. Tingkat Pelayanan E
a. Arus lalu lintas sudah tidak stabil
b. Volume kira-kira sama dengan kapasitas
c. Sering terjadi kemacetan
6. Tingkat Pelayanan F
a. Arus lalu lintas tertahan pada kecepatan rendah
b. Sering terjadi kemacetan total
c. Arus lalu lintas rendah
Tingkat tundaan dapat digunakan sebagai indikator tingkat pelayanan, baik untuk
setiap pendekatan maupun seluruh persimpangan. Kaitan antara tingkat
pelayanan dan lamanya tundaan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.11 Tundaan berhenti pada berbagai Tingkat Pelayanan (LOS)
Tundaan
Tingkat Pelayanan Keterangan
(DET/SMP)
A <5 Baik Sekali
B 5,1-15 Baik
C 15,1 - 25 Sedang
D 25,1 - 40 Kurang
E 40,1 - 60 Buruk
F >60 Buruk Sekali
Sumber: MKJI 1997
LOS=V /C (2.20
dimana
LOS = Tingkat Pelayanan
V = Volume Kendaraan rata-rata (smp/jam)
C = Kapasitas jalan (smp/jam)
36
terukur (Tamin,1997). Simulasi sistem transportasi kini semakin diminati karena
kemudahannya dalam proses pergantian berbagai skenario dengan tetap melihat
potensi yang dapat diimplementasikan di lapangan.
Adapun Model simulasi dapat dibedakan menjadi tiga kategori diantara lain
sebagai berikut:
1. Makroskopik adalah simulasi jaringan transportasi secara section-by-
section. Pemodelan makroskopik adalah pemodelan arus lalu-lintas
dengan pendekatan dari sudut pandang hidrodinamik dimana arus lalu-
lintas dianalogikan sebagai proses fluida yang dipengaruhi oleh variabel
densitas, volume dan kecepatan.
2. Mikroskopik adalah simulasi pergerakan kendaraan individu dalam arus
lalu lintas. Pemodelan mikroskopik mempelajari variabel mikroskopik
lalu-lintas dan pola karakteristik yang mencerminkan sikap dari setiap
kendaraan secara individu dalam arus lalu-lintas (Kerner, 2009).
3. Mesoskopik adalah model simulasi yang menggabungkan sifat
makroskopik dan mikroskopik.
37
Validasi adalah proses memalidasi atau pengujian kebenaran kalibrasi
yang telah dilakukan. Pada penelitian ini digunakan metode Geoffrey E.
Havers (GEH). GEH adalah rumus statistic yang dimodifikasi dari chi
squared. Berikut rumus GEH :
q=√ ¿ ¿ ¿ (2.21)
keterangan :
qsimulated = data volume lalu lintas hasil simulasi (kend/jam)
qobserved = data volume lalu lintas hasil observasi (kend/jam)
38
BAB 3 Metodologi Penelitian
3.1 Umum
Metodelogi Penelitian adalah suatu cara agar dapat memperoleh data yang
dibutuhkan untuk analisis sehingga didapat solusi yang ingin dicapai pada
penelitian ini. Pada metodelogi penelitian ini terdiri dari penggunaan literatur,
tahapan penelitian, metode pengumpulan data dan analisis data.
1
3.4 Diagram Alir
Tahapan metode penelitian ditunjukan pada bagian alir pada gambar berikut ini.
2
Gambar 3.1 Diagram Alir
3.5 Metode Pengumpulan Data
Dalam Analisis Dampak Lalu Lintas Pembangunan Underpass Kota Depok
terdapat jenis tahapan persiapan dan tahap pengumpulan data yaitu data primer
dan data sekunder.
3
3.5.1 Data Primer
Data primer merupakan data yang dalam proses pengambilannya
dilakukan secara langsung di lapangan atau lokasi tinjauan. Data primer
digunakan untuk mengetahui kondisi eksisting dari lokasi tinjauan pada
waktu penelitian. Survei yang digunakan untuk mendapatkan data primer
sebagai berikut:
1. Kondisi Geometrik
Survei ini dilakukan untuk mengetahui kondisi geometrik lokasi tinjauan.
Survei ini terdiri dari:
a. Pengukuran Panjang dan lebar jalan
b. Pengukuran lebar dan tinggi trotar pejalan kaki
c. Pengukuran lebar per lajur
Pengukuran dilakukan pada tiap lengan simpang menggunakan bantuan
walking measure
2. Jenis Kendaraan
Kendaraan yang melewati titik pengamatan dibedakan dalam beberapa
jenis yaitu
a. Kendaraan Ringan (Light Vehicle)
Terdiri dari kendaraan bermotor beroda 4 termasuk mobil
penumpang.
b. Kendaraan Berat (Heavy Vehicle)
Terdiri dari kendaraan bermotor yang mempunyai lebih dari 4 roda
termasuk truk 2 gandar dan kombinasi truk lainnya.
c. Seperda Motor (Motor Cycle)
Terdiri dari kendaraan bermotor beroda 2 atau 3 termasuk sepeda
motor dan kendaraan roda lainnya.
3. Volume Kendaraan
Survei ini dilakukan untuk mengukur volume lalu lintas pada ruas jalan
dan simpang pada waktu penelitian. Pelaksanaan survei ini dilakukan
dengan menghitung jumlah kendaraan dan mengelompokan berdasarkan
jenis kendaraan yang melintas. Survei ini dilakukan menggunakan alat
handy tally counter dan handy cam.
4
4. Jumlah Fase / Waktu Sinyal
Survei ini dilakukan untuk memperoleh data waktu dari Alat Pemberi
Isyarat Lalu Lintas (APILL). Waktu yang dihitung adalah waktu sinyal
(merah, kuning dan hijau) masing-masing fase dan waktu merah semua
(all red). Survei ini dilakukan menggunakan bantuan alat stopwatch
5. Kecepatan Kendaraan
Suivei ini dilakukan untuk mendapakan pada kecepatan kendaraan di
lapangan dilakukan pada saat bersamaan dengan pengambilan data
volume kendaraan. Pada pencatatan data kecepatan ini jenis kendaraan
yang dicatat adalah kecepatan jenis kendaraan bermotor. Untuk mengukur
kecepatan kendaraan bermotor dapat menggunakan alat speed radar gun.
6. Lingkungan Simpang
d. Survei Panjang Antrian
Survei ini dilakukan untuk memperoleh jumlah kendaraan yang
terlibat dalam antrian pada lengan-lengan simpang akibat lampu
merah. Survei ini dilakukan menggunakan bantuan alat walking
measure.
e. Survei Waktu Tundaan
Survei ini dilakukan untuk mengetahui waktu pengendara yang
terlibat antrian sampai pengendara keluar dari simpang tersebut.
Survei ini dilakukan menggunakan bantuan alat stopwatch
.
5
Gambar 3.2 Sketsa Titik Survei Simpang Bersinyal Segon
Sumber: Pribadi (2022)
Gambar 3.3 Sketsa Titik Survei Simpang Tak Bersinyal Naming Bothin
Sumber: Pribadi (2022)
6
Gambar 3.4 Sketsa Titik Survei Simpang Tak Bersinyal Kartini Raya
Sumber: Pribadi (2022)
7
3.7 Pengolahan Data
Data yang sudah didapat kemudian diolah melalui dua tahapan yaitu
analisis menggunakan MKJI 1997 dan permodelan menggunakan PTV
VISSIM.
8
4. Level Of Service
LOS (Level of Service) atau tingkat pelayanan jalan adalah salah satu
metode yang digunakan untuk menilai kinerja jalan yang menjadi
indikator dari kemacetan. Suatu jalan dikategorikan mengalami kemacetan
apabila hasil perhitungan LOS menghasilkan nilai mendekati 1. Dalam
menghitung LOS di suatu ruas jalan, terlebih dahulu harus mengetahui
kapasitas jalan (C) yang dapat dihitung dengan mengetahui kapasitas
dasar, faktor penyesuaian lebar jalan, faktor penyesuaian pemisah arah,
faktor penyesuaian pemisah arah, faktor penyesuaian hambatan samping,
dan faktor penyesuaian ukuran kota. Kapasitas jalan (C) sendiri
sebenarnya memiliki definisi sebagai jumlah kendaraan maksimal yang
dapat ditampung di ruas jalan selama kondisi tertentu.
9
sebelum melakukan kalibrasi dan validasi perlu dilakukan beberapa langkah
langkah input data PTV VISSIM sebagai berikut:
1.input data
a. Input gambar
Gambar yang dimaksud adalah lokasi dari penelitian berdasarkan skala dan
ukuran yang sebenarnya. Langkah awal dalam memasukan gambar
background yaitu klik background image pada network objects. lalu klik
kanan pada layar kerja kemudian pilih add untuk memilih gambar
background yang akan digunakan.
b. Mengatur skala pada background
Gambar background yang telah dimasukan kemudian diatur skalanya
dengan cara menekan klik kanan pada gambar background dan pilih set
scale
c. Membuat jaringan jalan (network mode )
Pada tahap ini akan dibuat permodelan jaringan jalan yang disebut dengan
network coding
d. Input data lalu lintas kendaraan
a). 2D/3D model segment dan distribusi
b). jenis kendaraan / Vehicle type
c). kelas kendaraan / Vehicle classes
d). input kendaraan / Vehicle input
e). distribusi kecepatan / Desired Speed Distribution
f). Vehicle Compositions
g). rute kendaraan / Vehicle Routes
h). kecepatan berkurang / Reduced Speed
i). aturan prioritas / Priority Rules
e. Membuat lampu lalu lintas
a). Kontrol sinyal / Signal Controller
b). Grup sinyal / Signal Groups
c). Signal Program
10
1. Kalibrasi
Pada tahapan ini dilakukan proses penyesuaian parameter kondisi
lapangan berdasarkan input data yang telah dilakukan.
2. Validasi
Pada tahapan ini dilakukan proses pengecekan kondisi vissim terhadap
kondisi lapangan dengan metode Geoffrey E. Havers (GEH). Nilai yang
sudah dihitung berdasarkan metode GEH kemudian diidentifikasi
terhadap syarat GEH. Jika tidak sesuai dengan syarat diterima maka
lakukan pengecekan ulang pada tahapan permodelan.
11
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Bina Jalan Kota (BINKOT). (1997) Manual Kapasitas Jalan Indonesia.
Indonesia : Republik Indonesia Direkctorat Jenderal Bina Marga.
Rusgisyarto, F., Desijayanti, G., & Islami, W.S. (2019) : Evaluasi Simpang
Dikota Cimahi Dengan Metode Simulasi. Jurnal Transportasi, 19(3), 171 –
178. (Majalah/Jurnal/Laporan)
Tama, Ishardita, P., Sari, Ratih A., dan Umar , Faishol. (2016) : Analisis Durasi
Lampu Lalu Lintas Menggunakan Metode Simulasi. Journal of Engineering
and Management in Industrial System, 4(2), 130 – 140.
(Majalah/Jurnal/Laporan)
Zega, M. (2013) : Analisis Koordinasi Sinyal Antar Simpang (Studi kasus: Jl.
Jamin Ginting-Jl. Pattimura-Jl.Mongonsidi). Jurnal Teknik Sipil USU, 2(1),
90 – 123. (Majalah/Jurnal/Laporan)
viii
ix