Anda di halaman 1dari 50

22 STUDI LITERATUR

2.1 Analisis Dampak Lalu Lintas

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 75 Tahun


2015, Analisis Dampak Lalu Lintas adalah serangkaian kegiatan kajian mengenai dampak
lalu lintas dari pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang hasilnya
dituangkan dalam bentuk dokumen hasil analisis dampak lalu lintas. Menurut Tamin (2000),
Analisis Dampak Lalu Lintas (Andalalin) pada dasarnya merupakan analisis pengaruh
pengembangan tata guna lahan terhadap sistem pergerakan arus lalu lintas di sekitarnya,
yang diakibatkan oleh bangkitan lalu lintas yang baru, lalu lintas yang beralih dan oleh
kendaraan keluar masuk dari/ke lahan tersebut. Pembangunan kawasan perkotaan,
kawasan superblock dan beberapa pusat kegiatan lain yang banyak dilakukan saat ini pasti
berdampak langsung terhadap pergerakan lalu lintas pada sistem jaringan jalan yang ada di
sekitar kawasan tersebut. Pembangunan pasti menimbulkan bangkitan dan tarikan lalu
lintas yang disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan di kawasan itu. Andalalin sangat
beragam, bergantung pada kondisi setempat dan kebijakan yang ada. Kebijakan
pengendalian dampak lalu lintas dapat berupa usaha meminimalkan dampak lalu lintas,
misalnya peningkatan kapasitas jalan.

Menurut Murwono (2003), fenomena dampak lalu lintas diakibatkan oleh adanya
pembangunan dan pengoperasian pusat kegiatan yang menimbulkan bangkitan lalu lintas
yang cukup besar, seperti kawasan industri, pusat perkantoran, pusat pertokoan, terminal
dan lain-lain. Jenis dampak pada komponen transportasi adalah gangguan kelancaran arus
lalu lintas, baik lalu lintas kendaraan bermotor, tidak bermotor dan pejalan kaki di ruas dan
persimpangan jalan. Tambahan arus lalu lintas kendaraan akibat tarikan/bangkitan dari
adanya pusat kegiatan tersebut akan memperbesar volume arus lalu lintas yang ada dan
akan menurunkan tingkat pelayanan jalan (volume/kapasitas menurun dan kecepatan arus
lalu lintas berkurang). Besar penurunan tingkat pelayanan jalan sangat dipengaruhi oleh
jenis dan besaran pusat kegiatan (mall/pasar/RS/kawasan industri dll), kondisi lalu lintas
dan jalan (kapasitas) pada ruas jalan dan simpang yang dilalui.

2-1
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

2.1.1 Fenomena Andalalin

Menurut Murwono (2003), fenomena dampak lalu lintas diakibatkan oleh adanya
pembangunan dan pengoperasian pusat kegiatan yang menimbulkan bangkitan lalu lintas
yang cukup besar, seperti pusat perkantoran pusat perbelanjaan, terminal, dan lain-lain.
Lebih lanjut dikatakan bahwa dampak lalu lintas terjadi pada 2 (dua) tahap, yaitu:

a. Tahap konstruksi/ pembangunan. Pada tahap ini akan terjadi bangkitan lalu lintas
akibat angkutan material dan mobilisasi alat berat yang membebani ruas jalan pada
rute material;
b. Tahap pasca konstruksi/ saat beroperasi. Pada tahap ini akan terjadi bangkitan lalu
lintas dari pengunjung, pegawai dan penjual jasa transportasi yang akan membebani
ruas-ruas jalan tertentu, serta timbulnya bangkitan parkir kendaraan.

Tamin (2000) mengatakan bahwa setiap ruang kegiatan akan "membangkitkan" pergerakan
dan "menarik" pergerakan yang intensitasnya tergantung pada jenis tata guna lahannya. Bila
terdapat pembangunan dan pengembangan kawasan baru seperti pusat perbelanjaan,
superblok dan lain-lain tentu akan menimbulkan tambahan bangkitan dan tarikan lalu lintas
baru akibat kegiatan tambahan di dalam dan sekitar kawasan tersebut. Karena itulah,
pembangunan kawasan baru dan pengembangannya akan memberikan pengaruh langsung
terhadap sistem jaringan jalan di sekitarnya.

Dikun (1993) menyatakan bahwa analisis dampak lalu lintas harus merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari keseluruhan proses perencanaan, evaluasi rancang bangun dan
pemberian izin. Untuk itu diperlukan dasar peraturan formal yang mewajibkan pemilik
melakukan analisis dampak lalu lintas sebelum pembangunan dimulai. Di dalam analisis
dampak lalu lintas, perkiraan banyaknya lalu lintas yang dibangkitkan oleh fasilitas tersebut
merupakan hal yang mutlak penting untuk dilakukan. Termasuk dalam proses analisis
dampak lalu lintas adalah dilakukannya pendekatan manajemen lalu lintas yang dirancang
untuk menghadapi dampak dari perjalanan terbangkitkan terhadap jaringan jalan yang ada.

Djamal (1993) mengemukakan 5 (lima) faktor/ elemen penting yang akan menimbulkan
dampak apabila sistem guna lahan berinteraksi dengan lalu lintas. Kelima elemen tersebut
adalah:

a. Elemen Bangkitan/ Tarikan Perjalanan, yang dipengaruhi oleh faktor tipe dan kelas
peruntukan, intensitas serta lokasi bangkitan.
b. Elemen Kinerja Jaringan Ruas Jalan, yang mencakup kinerja ruas jalan dan
persimpangan.

2-2
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

c. Elemen Akses, berkenaan dengan jumlah dan lokasi akses.


d. Elemen Ruang Parkir.
e. Elemen Lingkungan, khususnya berkenaan dengan dampak polusi dan kebisingan.

2.1.2 Sasaran Andalalin

Arief (1993) menyatakan bahwa sasaran Andalalin ditekankan pada:

a. Penilaian dan formulasi dampak lalu lintas yang ditimbulkan oleh daerah
pembangunan baru terhadap jaringan jalan di sekitarnya (jaringan jalan eksternal),
khususnya ruas-ruas jalan yang membentuk sistem jaringan utama;
b. Upaya sinkronisasi terhadap kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan
penyediaan prasarana jalan, khususnya rencana peningkatan prasarana jalan dan
persimpangan di sekitar pembangunan utama yang diharapkan dapat mengurangi
konflik, kemacetan dan hambatan lalu lintas;
c. Penyediaan solusi-solusi yang dapat meminimumkan kemacetan lalu lintas yang
disebabkan oleh dampak pembangunan baru, serta penyusunan usulan indikatif
terhadap fasilitas tambahan yang diperlukan guna mengurangi dampak yang
diakibatkan oleh lalu lintas yang dibangkitkan oleh pembangunan baru tersebut,
termasuk di sini upaya untuk mempertahankan tingkat pelayanan prasarana sistem
jaringan jalan yang telah ada;
d. Penyusunan rekomendasi pengaturan sistem jaringan jalan internal, titik-titik akses ke
dan dari lahan yang dibangun, kebutuhan fasilitas ruang parkir dan penyediaan
sebesar mungkin untuk kemudahan akses ke lahan yang akan dibangun.

The Institution of Highways and Transportation (1994) merekomendasikan pendekatan


teknis dalam melakukan analisis dampak lalu lintas, sebagai berikut:

a. Gambaran kondisi lalu lintas saat ini (eksisting);


b. Gambaran pembangunan yang akan dilakukan;
c. Estimasi pilihan moda dan tarikan perjalanan;
d. Analisis Penyebaran Perjalanan;
e. Identifikasi Rute Pembebanan Perjalanan;
f. Identifikasi Tahun Pembebanan dan pertumbuhan lalu lintas;
g. Analisis Dampak Lalu Lintas.
h. Analisis Dampak Lingkungan;
i. Pengaturan Tata Letak Internal;

2-3
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

j. Pengaturan Parkir;
k. Angkutan Umum;
l. Pejalan kaki, pengendara sepeda dan penyandang cacat.

Analisis dampak lalu lintas didasarkan pada suatu kondisi puncak yang menunjukkan
dampak lalu lintas terbesar. Kondisi puncak diwakili oleh suatu bangkitan lalu lintas per jam
yang menimbulkan dampak terbesar. Kondisi puncak terjadi karena kombinasi kondisi lalu
lintas sekitarnya dan bangkitan lalu lintas dari pembangunan baru. Kondisi puncak dianggap
terjadi pada salah satu kondisi berikut:

a. Kondisi lalu lintas sekitarnya pada jam sibuk;


b. Kondisi bangkitan lalu lintas yang maksimum;
c. Kondisi sibuk khusus lainnya yang dianggap menentukan.

Dari ketiga kondisi di atas dicari kondisi yang mempunyai kombinasi terbesar dengan kondisi
lalu lintas sekitarnya ditambah dengan bangkitan lalu lintas akibat pembangunan baru
tersebut. Dampak lalu lintas sebenarnya merupakan selisih dari bangkitan pada kondisi
puncak akibat pembangunan baru dan bangkitan kondisi puncak dari penggunaan lahan
sebelumnya.

2.1.3 Identifikasi Karakteristik Pengembangan Kawasan

Dari proposal pengembangan kawasan yang disampaikan oleh pemrakarsa, perlu


diidentifikasi beberapa karakteristik dari pengembangan kawasan yang akan menentukan
kebutuhan andalalin, yakni:

a. Lokasi pengembangan kawasan, terkait dengan lokasi pengembangan kawasan yang


ditunjukkan dalam peta tata guna lahan dan peta jaringan jalan;
b. Jenis kegiatan dan/atau usaha yang akan dikembangkan, misalnya: untuk kawasan
permukiman, perkantoran, hotel, restoran, dan lain sebagainya;
c. Ukuran atau skala pengembangan yang direncanakan, misalnya: berapa unit rumah
yang akan dikembangkan, berapa luas lantai bangunan perkantoran yang akan
dibangun, berapa jumlah kamar hotel yang akan disediakan, berapa jumlah tempat
duduk yang akan disediakan, dan lain sebagainya;
d. Rencana sirkulasi lalu lintas, terkait dengan sistem sirkulasi lalu lintas di dalam
kawasan yang akan dikembangkan serta pengaturan akses hubungannya dengan
jaringan jalan di sekitarnya.

2-4
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Hasil identifikasi karakteristik pengembangan kawasan ini harus disertai dengan peta dan
gambar yang menjelaskan mengenai denah rencana pengembangan kawasan, lokasi
pengembangan kawasan di dalam peta tata guna lahan dan peta jaringan jalan, serta tata
letak (layout) dari sistem sirkulasi lalu lintas di dalam kawasan dan aksesnya ke dalam
jaringan jalan.

2.1.4 Prakiraan Bangkitan/ Tarikan Perjalanan Pengembangan Kawasan

Bangkitan adalah banyaknya pergerakan yang berasal dari suatu tata guna lahan (zona),
sedangkan tarikan adalah banyaknya pergerakan yang menuju suatu tata guna lahan (zona).
Model bangkitan dan tarikan digunakan untuk mengetahui besarnya pergerakan yang
masuk atau keluar dari atau masuk ke sebuah zona. Data yang digunakan dalam model
bangkitan dan tarikan adalah data yang berbasis zona seperti penduduk, PDRB, jumlah
kendaraan, dan sebagainya. Hasil output dari perhitungan bangkitan dan tarikan lalu lintas
berupa jumlah kendaraan, orang atau angkutan barang per satuan waktu, misalnya
kendaraan/jam.

Bangkitan ini mencangkup:

a. Lalu lintas yang meninggalkan lokasi.


b. Lalu lintas yang menuju atau tiba ke suatu lokasi.

Sumber: Wells, (1975)


Gambar 2. 1 Bangkitan dan Tarikan Pergerakan

Model bangkitan dan tarikan menggunakan konsep pemodelan pergerakan secara terpisah
karena setiap pergerakan mempunyai tujuannya sendiri dan ketika dilakukan generalisasi
atas tujuan dari pergerakan tersebut hasil yang didapat tidaklah valid, akan ada tumpeng
tindih data. Oleh karena itu, klasikasi atas pergerakan dilakukan terlebih dahulu sebelum
membuat model ini.

2-5
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Beberapa klasifikasi pergerakan yang sering digunakan antara lain:

1. Berdasarkan tujuan
Pergerakan berdasarkan tujuan dibagi menjadi:
 Pergerakan ke tempat kerja
 Pergerakan ke tempat belajar
 Pergerakan ke tempat belanja
 Pergerakan untuk kepentingan sosial dan rekreasi
 Pergerakan ke tempat lain selain yang disebutkan di atas.
2. Berdasarkan waktu
Pergerakan berdasarkan waktu dikelompokkan pada jam sibuk dan jam tidak sibuk.
Namun, pada beberapa kasus dibedakan lagi menjadi jam sibuk kerja dan sibuk hari
libur.
3. Berdasarkan jenis orang
Pergerakan berdasarkan jenis orang memperhatikan atribut sosio-ekonomi masing-
masing individu dengan asumsi orang tersebut bergerak berdasarkan perilaku sosial
dan kemampuan ekonominya. Biasanya dibagi menjadi tiga kategori yaitu:
 Tingkat pendapatan
 Tingkat kepemilikan kendaraan
 Ukuran dan struktur rumah tangga

Bangkitan dan tarikan lalu lintas tersebut tergantung pada dua aspek tata guna lahan:
a. Jenis tata guna lahan
b. Jumlah aktifitas (dan intensitas) pada tata guna lahan tersebut.

Jenis tata guna lahan yang berbeda (permukiman, pendidikan dan komersial) mempunyai
ciri bangkitan lalu lintas yang berbeda, seperti:
a. Jumlah arus lalu lintas
b. Jenis lalu lintas (pejalan kaki, truk atau mobil)
c. Lalu lintas pada waktu tertentu (kantor menghasilkan arus lalu lintas pada pagi hari
dan sore hari, pertokoan menghasilkan arus lalu lintas di sepanjang hari.

Bangkitan pergerakan bukan saja beragam dalam jenis tata guna lahan, tetapi juga tingkat
aktifitasnya. Semakin tinggi tingkat pengguna sebidang tanah, semakin tinggi pergerakan
lalu lintas yang dihasilkan. Salah satu ukuran intensitas aktifitas sebidang tanah adalah
kepadatannya.

2-6
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Berdasarkan Tamin (2000), setiap ruang kegiatan akan membangkitkan pergerakan dan
menarik pergerakan yang intensitasnya tergantung pada jenis tata guna lahannya. Sistem
tersebut merupakan sistem pola kegiatan tata guna lahan yang biasanya terdiri atas
kegiatan sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain. Bila terdapat pembangunan dan
pengembangan kawasan baru tentu akan menimbulkan tambahan bangkitan dan tarikan
lalu lintas baru akibat kegiatan tambahan di dalam dan sekitar kawasan tersebut. Karena
itulah, pembangunan kawasan baru dan pengembangannya akan memberikan pengaruh
langsung terhadap sistem jaringan jalan di sekitarnya.

Bangkitan perjalanan harus diperkirakan untuk setiap zona yang ditetapkan, antara lain:
a. Bangkitan perjalanan dari/ ke zona rencana pengembangan kawasan,
b. Bangkitan perjalanan dari/ ke zona internal selain zona pengembangan kawasan yang
direncanakan;
c. Bangkitan perjalanan dari/ ke zona eksternal.

Untuk mendapatkan prakiraan bangkitan perjalanan dari pengembangan kawasan bagi jenis
kegiatan dan/atau usaha tertentu, dapat diprakirakan dari standar bangkitan perjalanan
yang berlaku atau dari hasil studi terdahulu atau berdasarkan data lalu lintas yang ada di
wilayah studi atau menggunakan metode-metode lain yang umum digunakan dalam kajian
transportasi, atau dapat dilakukan dengan menganalogikannya terhadap tingkat bangkitan
perjalanan dari kawasan sejenis yang memiliki kemiripan karakteristik.

Analogi ini dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yakni:


a. Cara 1, menggunakan standar bangkitan perjalanan (trip rate standard) yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang;
b. Cara 2, menggunakan data sekunder bangkitan perjalanan dari kawasan yang
memiliki kemiripan karakteristik dengan pengembangan kawasan yang direncanakan.

Jika cara 1 atau cara 2 tidak dapat dilakukan, maka dilakukan survei bangkitan perjalanan
di kawasan yang memiliki kemiripan karakteristik dengan pengembangan kawasan yang
direncanakan.

Prediksi Bangkitan dan Tarikan dengan ITE (1991)

I. Permukiman

A. Perumahan Tunggal (Single Housing)

2-7
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Acuan rumus yang digunakan menggunakan trip generation dari ITE (210), yaitu
single family detached housing. Besarnya nilai perjalanan tersebut dikalikan
dengan faktor penyesuaian berdasar ukuran dari unit perumahan yang dibangun.
Persamaan dan faktor penyesuaian untuk nilai perjalanan pada kawasan rumah
tinggal ditunjukkan sebagai berikut. Dimana nilai x merupakan jumlah unit rumah
yang dibangun, dan T merupakan besarnya perjalanan.

Untuk hari kerja di pagi hari:


Ln(T) = 0,858Ln(x) – 0,464
(in : out = 26% : 74%)

Untuk hari kerja di sore hari:


Ln(T) = 0,892Ln(x) – 0,590
(in : out = 65% : 35%)

Untuk hari libur:


(in : out = 54% : 46%)

Tabel 2. 1 Penyesuaian Faktor Perumahan Tinggal


Faktor Penyesuaian
Rumah kecil 0,644
Rumah sedang 0,812
Rumah besar 1,000

B. Apartemen

Analisis potensi tingkat perjalanan pada lahan yang diperuntukkan bagi apartemen
mengacu pada ITE (222), yaitu high rise apartment. Nilai bangkitan dan tarikan (T)
dihitung berdasarkan variabel unit kamar yang dibangun (x). Pada perhitungan ini,
luas 1 unit kamar diasumsikan 100 m2 dan kamar tersebut mengisi 80% dari luas
lantai gedung apartemen. Persamaan yang digunakan ditunjukkan sebagai berikut.

Untuk hari kerja di pagi hari:


Ln(T) = 0,935Ln(x) – 0,706
(in : out = 22% : 78%)

Untuk hari kerja di sore hari:


Ln(T) = 0,914Ln(x) – 0,404
(in : out = 62% : 38%)

Untuk hari libur:


(in : out = 57% : 43%)

2-8
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

C. Rumah Susun

Pada lahan yang diperuntukkan bagi rumah susun, perhitungan besarnya


bangkitan dan tarikan (T) dihitung berdasarkan variabel unit kamar yang dibangun
(x). Adapun pada perhitungan ini, luas 1 unit kamar diasumsikan 100 m 2 dan
kamar-kamar tersebut mengisi 80% dari luas lantai gedung. Persamaan yang
digunakan dalam perhitungan ini ditunjukkan sebagai berikut:

Untuk hari kerja di pagi hari:


T = 0,35(x)
(in : out = 29% : 71%)

Untuk hari kerja di sore hari dan hari libur:


T = 0,44(x)
(in : out = 59% : 41%)

II. Wilayah Perniagaan

A. Gedung Perkantoran
Perkiraan total perjalanan pada area gedung perkantoran mengacu pada
persamaan ITE (710), yaitu General Office Building. Berdasar persamaan tersebut,
besarnya perjalanan (T) dihitung untuk setiap 1000 kaki 2 lantai bangunan/ gross
floor area (x). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut.

Untuk hari kerja di pagi hari:


Ln(T) = 0,777Ln(x) + 1,674
(in : out = 89% : 11%)

Untuk hari kerja di sore hari:


Ln(T) = 0,737Ln(x) + 1,831
(in : out = 17% : 83%)

Untuk hari libur:


Ln(T) = 0,814Ln(x) – 0,115
(in : out = 54% : 46%)

B. Hotel
Untuk menghitung besarnya pergerakan pada kawasan hotel, digunakan acuan
persamaan ITE (310) yaitu Hotel. Besarnya bangkitan dan tarikan dihitung
berdasarkan perkiraan jumlah karyawan hotel. Pada perhitungan ini, diasumsikan

2-9
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

tingkat kepadatan karyawan adalah 0,5 karyawan per kamar hotel. Luas kamar
hotel diasumsikan 20 m2 dan memenuhi 70% dari luas lantai bangunan. Berikut
merupakan persamaan yang digunakan.

Untuk hari kerja di pagi hari:


T = 0,392(x) + 67,885
(in : out = 55% : 45%)

Untuk hari kerja di sore hari:


T = 102,517Ln(x) – 331,631
(in : out = 57% : 43%)

Untuk hari libur:


T = 0,69Ln(x) + 55,734
(in : out = 56% : 44%)

III. Wilayah Perbelanjaan dan Hiburan

A. Pusat Perbelanjaan atau Mall


Besarnya bangkitan dan tarikan pada kawasan pusat hiburan dan pusat konvensi
dihitung dengan pendekatan hasil studi tingkat perjalanan pada Kawasan Mall
Pondok Indah Jakarta. hasil studi tersebut menunjukkan besarnya bangkitan dan
tarikan (T) untuk setiap 100 m2 Gross Leasable Area (x). Besarnya pergerakan pada
jam-jam sibuk untuk kawasan pusat hiburan ditunjukkan pada persamaan berikut.

Untuk hari kerja di pagi hari:


Tin = 1,17(x)
Tout = 0,76(x)

Untuk hari kerja di sore hari dan hari libur:


Tin = 1,38(x)
Tout = 1,16(x)

B. Shop House/ Mixed House


Pergerakan yang dihasilkan dari area ruko mengacu pada Trip Generation Manual
hasil studi San Diego untuk Specialty Retail Centre. Berdasarkan acuan tersebut,
besarnya pergerakan (T) dihitung untuk setiap Gross Leasable Area dalam satuan
acre. Sedangkan pada jam-jam sibuk besarnya bangkitan dan tarikan ditunjukkan
seperti pada persamaan berikut ini.

2-10
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Untuk hari kerja di pagi hari:


T = 360(x) × 3%
(in : out = 60% : 40%)

Untuk hari kerja di sore hari dan hari libur:


T = 360(x) × 9%
(in : out = 50% : 50%)

C. Low Density Commercial


Total pergerakan pada area Low Density Commercial dihitung dengan mengacu
pada ITE (750), yaitu Office Park. Berdasarkan persamaan tersebut, besarnya
perjalanan (T) dihitung untuk setiap 1000 kaki2 luas lantai bangunan (x).
Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut.

Untuk hari kerja di pagi hari:


Ln(T) = 0,818Ln(x) + 1,679
(in : out = 89% : 11%)

Untuk hari kerja di sore hari:


Ln(T) = 0,825Ln(x) + 1,418
(in : out = 15% : 85%)

Untuk hari libur:


T = 0,14(x)
(in : out = 74% : 26%)

D. Fasilitas Umum
Kawasan yang termasuk dalam fasilitas umum meliputi sekolah, rumah ibadah,
fasilitas layanan umum, rumah sakit, pusat kegiatan olahraga, dan lainnya. Untuk
memperkirakan pergerakan yang terjadi pada kawasan fasilitas umum tersebut,
digunakan acuan Trip Generation Manual hasil studi San Diego untuk Hospital,
School, and Library. Berdasarkan acuan tersebut, besarnya pergerakan (T) dihitung
untuk setiap 1000 kaki2 luas kawasan (x). Sedangkan pada jam-jam sibuk, rata-
rata besarnya bangkitan dan tarikan ditunjukkan seperti pada persamaan berikut.

Untuk hari kerja di pagi hari:


T = 16(x) × 2%
(in : out = 70% : 30%)

Untuk hari kerja di sore hari dan hari libur:

2-11
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

T = 16(x) × 10%
(in : out = 50% : 50%)

E. Taman Kota
Pergerakan yang terjadi karena adanya taman kota dihitung dengan acuan ITE
(412), yaitu County Park. Berdasarkan kondisi acuan tersebut, besarnya
pergerakan (T) dihitung untuk setiap luas kawasan (x) dalam satuan acre.
Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut.

Untuk hari kerja di pagi hari:


T = 2,87(x)
(in : out = 72% : 28%)

Untuk hari kerja di sore hari:


T = 3,14(x)
(in : out = 35% : 65%)

Untuk hari libur:


T = 2,24(x)
(in : out = 59% : 41%)

Berdasarkan luasan lahan, tata guna lahan dan rencana tahapan pengembangan maka
disusun prediksi trip end atau analisis bangkitan/ tarikan perjalanan. Analisis bangkitan dan
tarikan perjalanan ini direncanakan per tahun sesuai tahapan pengembangan. Selanjutnya
ITE pada tahun 2013 mengeluarkan panduan penentuan bangkitan dan tarikan untuk
beberapa jenis guna lahan seperti pada tabel berikut ini.

2-12
Tabel 2. 2 Trip Generation Manual ITE Tahun 2013

2-13
(lanjutan)

2.1.5 Penetapan Kelas Andalalin

Kelas andalalin ditetapkan berdasarkan skala pengembangan kawasan. Berdasarkan


informasi mengenai prakiraan bangkitan perjalanan yang akan ditimbulkan, maka
pengembangan kawasan yang direncanakan dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Pengembangan kawasan berskala kecil, yang diprakirakan akan menghasilkan


bangkitan perjalanan kurang dari 500 perjalanan orang per jam;
b. Pengembangan kawasan berskala menengah, yang diprakirakan akan menghasilkan
bangkitan perjalanan antara 500 perjalanan orang per jam sampai dengan 1000
perjalanan orang per jam;
c. Pengembangan kawasan berskala besar, yang diprakirakan akan menghasilkan
bangkitan perjalanan lebih dari 1000 perjalanan orang per jam;

2-14
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

d. Pengembangan kawasan berskala menengah atau pengembangan kawasan berskala


besar yang dilakukan secara bertahap, yang pelaksanaan pembangunannya
dilakukan dalam beberapa tahun.

Setiap kelas pengembangan kawasan yang disampaikan sebelumnya, akan menghasilkan


skala dampak lalu lintas jalan yang berbeda, sehingga dibutuhkan cakupan wilayah studi
dan lama waktu tinjauan yang berbeda. Pada Tabel 2.3 disampaikan klasifikasi andalalin
untuk setiap kelas pengembangan kawasan.

2-15
Tabel 2. 3 Klasifikasi Andalalin
Kelas
Kelas
Pengembangan Waktu Tinjauan Ukuran Minimum Wilayah Studi Ruas Jalan dan Persimpangan Jalan yang Dikaji
Andalalin
Kawasan
I Pengembangan Tahun pembukaan Wilayah yang berbatasan dengan: a) Ruas jalan yang diakses oleh pengembangan
kawasan berskala a. ruas jalan yang diakses oleh pengembangan kawasan;
kecil kawasan; b) Persimpangan bersinyal dan/atau
b. persimpangan bersinyal dan/atau persimpangan tak bersinyal yang terdekat.
persimpangan tak bersinyal yang terdekat.
II Pengembangan a) Tahun pembukaan; Wilayah yang terluas dari dua batasan Ruas jalan dan persimpangan jalan yang dikaji
kawasan berskala b) 5 tahun setelah berikut: minimal adalah:
menengah pembukaan. a) wilayah yang dibatasi oleh persimpangan- a) ruas jalan yang diakses oleh pengembangan
persimpangan jalan terdekat, minimal kawasan;
persimpangan antara jalan kolektor b) persimpangan bersinyal dan/atau
dengan jalan kolektor, atau; persimpangan tak bersinyal terdekat, dan;
b) wilayah di dalam radius 1 km dari batas c) semua ruas jalan arteri dan jalan kolektor di
terluar lokasi pengembangan kawasan. dalam wilayah studi, dan;
d) semua persimpangan jalan yang ada di ruas
jalan arteri dan jalan kolektor di dalam wilayah
studi.
III Pengembangan a) Tahun pembukaan; Wilayah yang terluas dari dua batasan Ruas jalan dan persimpangan jalan yang dikaji
kawasan berskala b) 5 tahun setelah berikut: minimal adalah:
besar pembukaan; a) wilayah yang dibatasi oleh persimpangan- a) ruas jalan yang diakses oleh pengembangan
c) 10 tahun setelah persimpangan jalan terdekat, minimal kawasan;
pembukaan. persimpangan antara jalan kolektor b) persimpangan bersinyal dan/atau
dengan jalan kolektor, atau; persimpangan tak bersinyal terdekat, dan;
b) wilayah di dalam radius 2 km dari batas c) semua ruas jalan arteri dan jalan kolektor di
terluar lokasi pengembangan kawasan. dalam wilayah studi, dan;
d) semua persimpangan jalan yang ada di ruas
jalan arteri dan jalan kolektor di dalam wilayah
studi.

2-16
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Kelas
Kelas
Pengembangan Waktu Tinjauan Ukuran Minimum Wilayah Studi Ruas Jalan dan Persimpangan Jalan yang Dikaji
Andalalin
Kawasan
IV Pengembangan a) Tahun pembukaan Wilayah yang terluas dari dua batasan Ruas jalan dan persimpangan jalan yang dikaji
kawasan berskala setiap tahap; berikut: minimal adalah:
menengah atau b) 5 tahun setelah a) wilayah yang dibatasi oleh persimpangan- a) ruas jalan yang diakses oleh pengembangan
besar yang pembukaan setiap persimpangan jalan terdekat, minimal kawasan;
dibangun secara tahap; persimpangan antara jalan kolektor dengan b) persimpangan bersinyal dan/atau
bertahap c) 10 tahun setelah jalan kolektor, atau; persimpangan tak bersinyal terdekat, dan;
pembukaan setiap b) wilayah di dalam radius 2 km dari batas c) semua ruas jalan arteri dan jalan kolektor di
tahap. terluar lokasi pengembangan kawasan. dalam wilayah studi, dan;
d) semua persimpangan jalan yang ada di ruas
jalan arteri dan jalan kolektor di dalam wilayah
studi.

2-17
2.2 Jaringan Jalan

Jaringan infrastruktur transportasi mempunyai peranan yang sangat berarti untuk membuka
daerah-daerah yang sebelumnya terisolasi dan belum tereksploitasi, meningkatkan
pembangunan ekonomi serta menghubungkan wilayah-wilayah dalam negara (Johara,
1999). Oleh karena itu perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin maju biasanya
ditandai dengan meningkatnya mobilitas yang tinggi sebagai akibat tersedianya jasa
transportasi, sebaliknya perkembangan kehidupan masyarakat akan berada dalam keadaan
statis bila keadaan jasa transportasi yang tersedia belum memadai dengan kata lain sangat
terbatas.

Menurut Miro (1997), berdasarkan perannya jaringan jalan dapat dibagi atas:

1. Jalan Arteri adalah jalan yang melayani angkutan jarak jauh dengan kecepatan rata-
rata tinggi dan jumlah masuk (access road) dibatasi secara efisien.
2. Jalan Kolektor adalah jalan yang melayani angkutan jarak sedang dengan kecepatan
rata-rata sedang dan jumlah masuk (acces road) yang masih dibatasi.
3. Jalan Lokal adalah jalan yang melayani angkutan jarak dekat (angkutan setempat)
dengan kecepatan rata-rata rendah dan jumlah masuk yang tidak dibatasi.

Pembagian jalan menurut perannya di atas adalah suatu hubungan jaringan jalan menurut
jaraknya dan kecepatan hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2. 2 Hirarki Jalan Berdasarkan Peranan

Sistem jaringan jalan menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (1985) bahwa sistem
jaringan jalan terbagi atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder.

2-18
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan yang berperan sebagai pelayanan
jasa distribusi untuk pengembangan semua wilayah di tingkat Nasional dengan simpul jasa
distribusi yang kemudian berwujud kota, sedangkan sistem jaringan jalan sekunder adalah
sistem jaringan jalan yang berperan sebagai pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat di
dalam kota.

Klasifikasi jalan menurut perannya dalam sistem jaringan jalan primer berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1985 tentang klasifikasi jalan dibagi atas: a) jalan
arteri adalah jalan yang melayani angkutan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah
jalan masuk dibatasi secara efisien, b) jalan kolektor adalah jalan yang melayani angkutan
pengumpulan/ pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang dan kecepatan rata-rata
sedang, c) jalan lokal adalah jalan yang melayani jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah
dan jumlah jalan masuk dibatasi.

Sementara persyaratan jalan menurut perannya dapat dibagi atas, jalan arteri primer, jalan
kolektor primer dan jalan lokal primer dengan peran sebagai berikut:

1. Jalan Arteri Primer


Adalah ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang ke satu dengan jenjang ke satu
lainnya yang berdampingan, serta ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang ke
satu dengan jenjang ke dua (pasal 4 ayat 2). Kecepatan minimal 60 km/jam, lebar
badan jalan minimal 8 meter.

2. Jalan Kolektor Primer


Adalah ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang
kedua lainnya, serta kota jenjang ke dua dengan kota jenjang ketiga yang berada di
bawah pengaruhnya (pasal 4 ayat 3). Kecepatan rata-rata minimal 40 km/jam, lebar
badan jalan minimal 7 meter.

3. Jalan Lokal Primer


Adalah ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang ke tiga dengan kota jenjang
ketiga lainnya, kota jenjang ke satu dengan persil, kota jenjang ke dua dengan persil
serta ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang ke tiga dengan kota jenjang di
bawahnya sampai dengan persil (pasal 4 ayat 4). Kecepatan rata-rata minimal 20
km/jam, lebar badan jalan minimal 6 meter tidak terputus walupun melalui desa.

Menurut Miro (1997) jaringan jalan berdasarkan sistem pelayanan penghubung terbagi atas:

a. Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan yang menghubungkan kota
wilayah tingkat nasional.

2-19
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

b. Sistem jaringan jalan sekunder adalah sistem jaringan jalan yang menghubungkan
zona-zona, kawasan-kawasan (titik simpul di dalam kota).

2.3 Perencanaan Transportasi

Prakiraan lalu lintas secara umum mencakup analisis dari komponen-komponen sebagai
berikut:

1. Lalu lintas normal (normal traffic)


Lalu lintas normal adalah lalu lintas yang menggunakan jalan tanpa memperhatikan
apakah sedang ada proyek atau tidak. Metode prakiraan pertumbuhan lalu lintas
normal pada umumnya berdasarkan pada sejarah pertumbuhan lalu lintas dan
hubungan antara:
 Prediksi pertumbuhan penduduk dan lapangan kerja
 Prediksi pertumbuhan ekonomi
 Penjualan dan registrasi kendaraan
2. Lalu lintas teralih (diverted traffic)
Pengalihan lalu lintas dari rute paralel atau dari moda lainnya. Lalu lintas teralih terjadi
biasanya karena faktor pertimbangan rute perjalanan tercepat dan atau termurah.
3. Lalu lintas terbangkit (generated traffic)
Munculnya potensi perjalanan lalu lintas baru yang diakibatkan adanya perbaikan
prasarana karena alasan biaya, waktu perjalanan dan aksesibilitas.
4. Lalu lintas yang merubah tujuan (converted traffic)
Lalu lintas yang merubah tujuan karena adanya prasarana yang lebih baik, tetapi
maksud perjalanan tidak berubah.
5. Lalu lintas yang terpendam (suppressed traffic)
Lalu lintas lama yang terpendam yang timbul kembali akibat tersedianya waktu, karena
waktu perjalanannya berkurang. Volume jam perencanaan merupakan volume lalu
lintas per jam yang dipakai untuk menentukan dimensi jalan, yang dinyatakan dalam
smp/jam, dan dicari dari hubungan empiris berikut ini:
VJP = k × L
dimana:
VJP = volume jam perencanaan
k = faktor lalu lintas pada jam sibuk (% terhadap LHRT)
L = Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) pada tahun rencana

2-20
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Pertumbuhan normal lalu lintas masa depan dapat dicari dengan mengekstrapolasi data
LHR yang ada dari tahun-tahun sebelumnya. Prakiraan lalu lintas masa depan dapat juga
diperoleh melalui asumsi bahwa pertumbuhan lalu lintas berkaitan erat dengan
pertumbuhan ekonomi di wilayah studi.

Dari survei lalu lintas selanjutnya diolah sehingga diperoleh volume dan komposisi
kendaraan di wilayah studi dalam besaran jam puncak dan Lintas Harian Rata-rata (LHR).
Pada tahap ini dilakukan juga penyusunan database jaringan jalan sebagai masukan paket
program simulasi model jaringan jalan.

Dengan data asal tujuan yang diperoleh sebelumnya dan dengan data volume lalu lintas
(smp/ jam puncak) selanjutnya dibentuk Matriks Asal Tujuan perjalanan (smp/ jam puncak).
Matriks ini dibebankan dalam jaringan jalan eksisting sehingga diperoleh kinerja
(performance) ruas-ruas jalan di sekitar wilayah studi. Kesemua langkah ini merupakan
gambaran umum pemodelan transportasi empat tahap yang detailnya dijelaskan sebagai
berikut.

2.4 Pemodelan Transportasi Empat Tahap

Model perencanaan transportasi empat tahap merupakan pilihan konsep pemodelan yang
paling sering digunakan dalam berbagai studi transportasi di Indonesia, karena selain
kemudahannya juga kemampuannya dalam menggambarkan berbagai interaksi antara
sistem transportasi dan tata ruang di wilayah studi.

Secara umum model ini merupakan gabungan dari beberapa seri submodel yang masing-
masing harus dilakukan secara berurutan, yakni: bangkitan perjalanan, sebaran perjalanan,
pemilihan moda, dan pemilihan rute. Struktur umum konsep model perencanaan
transportasi empat tahap ini disajikan pada Gambar 2.3.

Pendekatan model dimulai dengan menetapkan sistem zona dan jaringan jalan, termasuk di
dalamnya adalah karakteristik populasi yang ada di setiap zona. Dengan menggunakan
informasi dari data tersebut kemudian diestimasi total perjalanan yang dibangkitkan dan/
atau yang ditarik oleh suatu zona tertentu (trip ends) atau disebut dengan proses bangkitan
perjalanan (trip generation). Tahap ini akan menghasilkan persamaan trip generation yang
menghubungkan jumlah perjalanan dengan karakteristik populasi serta pola dan intensitas
tata guna lahan di zona yang bersangkutan.

2-21
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Sumber: Tamin, 2000


Gambar 2. 3 Model Perencanaan Transportasi Empat Tahap

Selanjutnya diprediksi dari/ kemana tujuan perjalanan yang dibangkitkan atau yang ditarik
oleh suatu zona tertentu atau disebut tahap distribusi perjalanan (trip distribution). Dalam
tahap ini akan dihasilkan matriks asal tujuan (MAT). Pada tahap pemilihan moda (modal
split) MAT tersebut kemudian dialokasikan sesuai dengan moda transportasi yang
digunakan para pelaku perjalanan untuk mencapai tujuan perjalanannya. Dalam tahap ini
dihasilkan MAT per moda. Terakhir, pada tahap pembebanan (trip assignment) MAT
didistribusikan ke ruas-ruas jalan yang tersedia di dalam jaringan jalan sesuai dengan kinerja
rute yang ada. Tahap ini menghasilkan estimasi arus lalu lintas di setiap ruas jalan yang akan
menjadi dasar dalam melakukan analisis kinerja.

2-22
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Dengan melihat proses di atas maka secara garis besar proses analisis transportasi jalan
terdiri atas beberapa kegiatan utama, yaitu: penetapan wilayah studi, analisis sistem
jaringan, analisis kebutuhan pergerakan, dan analisis sistem pergerakan. Dalam beberapa
butir berikut ini disampaikan bahasan mengenai setiap tahap pemodelan transportasi yang
dilakukan.

2.4.1 Penentuan Batas-Batas Wilayah Studi dan Sistem Zona

Area yang ditentukan sebagai wilayah studi adalah semua area yang dianggap berpengaruh
terhadap pergerakan di Masjid. Batas wilayah studi dapat berupa batas administratif, batas
alam (sungai, gunung, dsb.), atau batas lainnya (seperti: jalan, rel kereta api, dll). Wilayah
studi ini dibagi menjadi beberapa zona perjalanan, dimana jumlah zona menentukan tingkat
kedalaman analisis. Makin banyak zona, makin detail analisis yang diperlukan. Untuk
keperluan pemodelan setiap zona diwakilkan oleh satu pusat zona (centroid) yang
dihubungkan ke jaringan jalan melalui centroid connector. Pembagian zona dapat
didasarkan kepada perwilayahan administratif, kondisi alam (dibatasi oleh sungai, gunung,
dsb.), atau berdasarkan tata guna lahan. Sistem zona ini digunakan sebagai dasar
pergerakan.

Untuk keperluan membentuk sistem zona maka wilayah studi dibagi menjadi beberapa
bagian (zona) yang merepresentasikan agregasi wilayah pembangkit/ penarik (asal/ tujuan)
perjalanan. Dalam hal ini terminologi zona dikategorikan menjadi 2 (dua), yakni:

 Zona Internal, yaitu zona yang berada di dalam garis batas wilayah studi;
 Zona Eksternal, yaitu zona yang berada di luar wilayah studi.

Untuk memudahkan dalam pengumpulan data dan dalam tahap prakiraan lalu lintas
selanjutnya, maka dalam menetapkan sistem zona internal perlu diperhatikan pola-pola
pembagian ruang yang telah ada, misalnya dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) atau
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), pembagian wilayah administrasi dan sistem zona yang
pernah digunakan pada studi terdahulu.

Penetapan zona-zona eksternal didasarkan pada representasi terhadap arah lalu lintas
utama dari wilayah kota lainnya yang menuju ke wilayah studi, sehingga lokasi dan jumlah
zona eksternal ditetapkan sesuai dengan lokasi dan jumlah jalan arteri dan/ atau jalan
kolektor yang berbatasan dengan wilayah studi.

2-23
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

2.4.2 Pembentukan Model Jaringan

Pembangunan basis data jaringan jalan meliputi identifikasi kondisi eksisting jaringan jalan
menyangkut lebar dan panjang jalan, geometrik, kecepatan pada kondisi volume kendaraan
= 0 (free flow speed), kapasitas ruas jalan, beserta sistem kodifikasinya (node and centroid
numbering or codification).

Selanjutnya basis data jaringan jalan ini dibentuk ke dalam format SATURN yang digunakan
sebagai alat simulasi dalam studi ini. Penyusunan data jaringan tersebut juga memasukkan
sistem zona ke dalam jaringan. Setiap perpotongan ruas merupakan suatu node yang diberi
kode tertentu, sehingga ruas jalan merupakan penghubung dua node. Sementara itu zona
juga diberi kode, kemudian pusatnya (centroid) dihubungkan dengan jaringan menggunakan
centroid connector ke node terdekat atau yang paling dianggap mewakili. Selain itu pada
basis data jaringan tersebut juga perlu dimasukkan karakteristik-karakteristik ruas jalan
yang meliputi besarnya kapasitas dan kecepatan pada kondisi bebas (free flow speed),
kecepatan pada kondisi kapasitas (speed under capacity), dan jarak atau panjang ruas.

Format input SATURN terdiri dari 8 (delapan) kolom, seperti terlihat di bawah ini:

254 285 36 18 1258 2S 110 1.23

Dimana:

o Angka 254 dan 285 menunjukkan nomor node ujung-ujung ruas


o Angka 36 menunjukkan kecepatan pada ruas bebas dalam km/jam
o Angka 18 menunjukkan kecepatan pada saat kapasitas dalam km/jam
o Angka 1258 menunjukkan kapasitas dalam smp/jam
o Angka 2 menunjukkan jalan dua arah
o S menunjukkan bahwa yang dipakai adalah kecepatan
o Angka 110 menunjukkan panjang jalan dalam meter
o Angka 1.23 menunjukkan parameter yang menyatakan fungsi biaya-arus

Adapun penyusunan database jaringan jalan tersebut dilakukan untuk 2 (dua) kondisi yaitu:

 Kondisi tanpa penanganan (Do-Nothing),


 Kondisi dengan penanganan (Do-Something).

2-24
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

2.4.3 Tahap Bangkitan Perjalanan

Bangkitan/ tarikan perjalanan dapat diartikan sebagai banyaknya jumlah perjalanan/


pergerakan/ lalu lintas yang dibangkitkan oleh suatu zona (kawasan) per satuan waktu (per
detik, menit, jam, hari, minggu dan seterusnya). Dari pengertian tersebut, maka tahap
bangkitan/ tarikan perjalanan merupakan tahapan pemodelan transportasi yang bertugas
untuk memperkirakan jumlah perjalanan yang berasal atau meninggalkan dari suatu zona
atau kawasan yang datang atau tertarik menuju ke suatu zona pada masa yang akan datang
(tahun rencana) per satuan waktu.

Prakiraan bangkitan perjalanan harus dibuat di setiap tahun tinjauan dengan


memperhatikan tingkat pertumbuhan lalu lintas jalan dan perubahan tata guna lahan di
wilayah studi. Untuk mengestimasi atau memprediksi bangkitan dan tarikan perjalanan di
masa datang diperlukan model bangkitan dan tarikan perjalanan yang mengaitkan antara
jumlah bangkitan/tarikan dengan faktor sosial ekonomi atau faktor penentu pertumbuhan
perjalanan di setiap zona (misalnya: jumlah penduduk, PDRB, penggunaan lahan, dlsb).

Model bangkitan perjalanan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah model regresi
multilinier dengan rumusan pokok sebagai berikut:

Yei = a + b1ix1i + b2ix2i + b3ix3i+ ..... + bnixni + ui

Dalam kasus ini, Yei mewakili jumlah perjalanan (yang lebih tepat dipandang sebagai hasil
pemodelan) yang terbangkit atau tertarik dari dan ke zona i sebagai variabel terikat pada
model yang bersangkutan. Sedangkan xni adalah besarnya variabel bebas ke-n yang diamati
dari zona i, misalnya: tingkat kepadatan zona industri, jumlah penduduk atau kondisi
ekonomi dan lain sebagainya. Selanjutnya a adalah konstanta yang akan diperoleh dari
perhitungan dan bni adalah koefisien yang menyatakan efek perubahan setiap satuan
variabel xni terhadap jumlah perjalanan. Dalam ilmu statistik, koefisien bni biasa disebut
dengan koefisien regresi parsial. Sedangkan ui menyatakan besarnya residu yang akan
diperoleh dari estimasi.

2-25
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Data trip ends


Variabel terikat (Y)
zona

Data sosio-ekonomi/ Kandidat variabel Seleksi variabel bebas


tata ruang zona bebas (X1, X2, X3) (tes korelasi dan logika)

Seleksi alternatif persamaan Kombinasi variabel bebas


regresi yang mungkin

Pengujian kualitas persamaan Alternatif persamaan


(tes R2) yang terpilih

Gambar 2. 4 Prosedur Penyusunan Tahap Bangkitan Perjalanan dengan Analisis Regresi Multilinier

2.4.4 Tahap Distribusi Perjalanan

Tahap distribusi perjalanan harus dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai:

a. Zona asal/tujuan dari perjalanan yang dibangkitkan oleh kawasan pengembangan;


b. Distribusi asal/ tujuan perjalanan dari lalu lintas jalan yang ada di wilayah studi dari/
ke zona-zona internal dan eksternal;
c. Distribusi penggunaan moda transportasi dari perjalanan yang dibangkitkan oleh zona
pengembangan kawasan. Hal ini diperlukan jika proporsi pengguna angkutan umum
dan pejalan kaki diperkirakan cukup besar.

Distribusi perjalanan harus dilakukan di setiap tahun tinjauan sesuai dengan hasil prakiraan
bangkitan perjalanan sebelumnya. Distribusi perjalanan dapat dilakukan dengan metode-
metode yang umum digunakan dalam kajian transportasi.

Representasi dari karakteristik dan pola pergerakan suatu wilayah biasanya berupa
pergerakan antarunit wilayah, atau pergerakan antarzona, yang biasa diungkapkan dengan
Matriks Asal Tujuan. Matriks Asal Tujuan (MAT) merupakan matriks yang berisikan sejumlah
pergerakan yang terjadi pada suatu daerah, yang dapat menggambarkan karakteristik dan
pola pergerakan, baik pergerakan penumpang maupun pergerakan barang. Zona asal
berada pada kolom matriks, sedangkan zona tujuan berada pada baris matriks.

Distribusi perjalanan merupakan proses yang berhubungan dengan jumlah asal dan tujuan
perjalanan tiap zona dalam daerah studi. Pada tahap ini mempertimbangkan penetapan

2-26
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

hubungan interaksi antara sejumlah zona berdasarkan besarnya bangkitan dan tarikan
perjalanan yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya.

Dasar pemikiran distribusi perjalananan adalah mengestimasikan volume perjalanan orang


antarzona (Tij) berdasarkan produksi perjalanan dari tiap zona i dan daya tarik dari zona j
serta kendala antarzona (Fij). Masukan produksi dan tarikan diperoleh dari tahap bangkitan
perjalanan. Prakiraan kendala antarzona untuk tahun rencana diperoleh dari spesifikasi
rencana transportasi, di antaranya adalah jarak, waktu dan biaya perjalanan.

Untuk menyebarkan bangkitan tarikan perjalanan di masa datang hasil prediksi model
bangkitan perjalanan pada subbab sebelumnya, maka diperlukan model distribusi
perjalanan, atau yang disebut trip distribution. Model distribusi perjalanan yang paling sering
digunakan dalam berbagai kajian adalah model gravity.

Model Gravity adalah nama yang diberikan pada bentuk model trip distribusi matematika
sintetik yang sering digunakan dalam studi-studi transportasi. Secara sederhana model ini
menyatakan bahwa potensi pergerakan ke suatu zona adalah sebanding dengan ukuran
zona tersebut dan berbanding terbalik dengan jarak antara kedua zona tersebut.

Bentuk persamaan model trip distribusi gravity adalah:

tij =ai . bj .f(Cij)

Dimana tij adalah jumlah perjalanan dari zona i ke zona j, ai adalah faktor yang berhubungan
dengan perjalanan dari zona i, bj adalah faktor yang berhubungan dengan perjalanan ke
zona j, Cij adalah biaya/ongkos perjalanan dari zona i ke zona j dan F(Cij) = Cij-nβ exp (-β.cij),
dan adalah besaran resistance pergerakan pada jaringan jalan antara zona i dan j. Dalam
hal ini, nilai β harus dikalibrasi dengan metoda seperti gambar berikut.

2-27
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Definisikan Cij

Cari nilai C*

Mulai iterasi dengan asumsi  =


1/C*

Estimasi MAT dengan nilai  dari iterasi


sebelumnya

Cari nilai Cij dan C*

Hitung nilai 

ya
Apakah  sudah
Selesai
memenuhi syarat
konvergensi?

tidak

Hitung nilai yang lebih baik

Gambar 2. 5 Proses Kalibrasi Nilai β Pada Model Gravity

Jika hasil kalibrasi β menggunakan model gravity tidak menghasilkan nilai β yang
berkualifikasi baik, maka sebaiknya diaplikasikan dengan nilai parameter penyebar
perjalanan sama dengan nol, maka model ini akan mirip dengan model Furness. Model
Furness merupakan basis termudah dalam meramalkan matriks perjalanan di mana
perilaku matriks di masa datang akan mirip dengan yang ada pada saat ini. Dengan demikan
model Furness, cocok untuk wilayah studi yang sudah stabil tanpa perubahan yang berarti
dalam basis data sistem zona dan sistem jaringan jalannya. Proses kalibrasi matriks dengan
Model Furness disajikan pada gambar berikut.

2-28
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Total bangkitan Prediksi bangkitan perjalanan di


MAT saat ini perjalanan saat ini tahun ke-n
(Oi (0) dan Dd (0)) (Oi (n) dan Dd (n))

Jumlah perjalanan antarzona


saat ini (Tid (0)) Tingkat pertumbuhan
perjalanan (Ei dan Ed)

Iterasi (1): Tid (1) = Tid (0) x Ei

Iterasi (2): Tid (2) = Tid (1) x Ei

Jumlahkan Tid (2) untuk setiap asal dan


tujuan sehingga diperoleh
Oi (2) dan Dd (2)

Oi (2) =Oi (n) tidak


Dd (2) = Dd (n) Anggap Tid (2) = Tid (0)
?

ya
Selesai

Gambar 2. 6 Proses Iterasi MAT dengan Model Furness

2.4.5 Tahap Pembebanan Lalu Lintas

Pada sistem transportasi terjadi keseimbangan pada beberapa tingkat. Salah satunya
adalah pada tingkat jaringan. Setiap pelaku pergerakan berusaha mencari rute yang terbaik
untuk melakukan pergerakannya, baik itu dari segi jarak maupun waktu tempuh. Pada
umumnya mereka akan mencari sampai pada akhirnya mereka akan menemukan suatu
pola rute yang stabil. Suatu pola rute yang arus pergerakannya dapat dikatakan stabil bila
setiap pelaku kendaraan tidak lagi berusaha mencari rute yang terbaik untuk mencapai
tujuan mereka karena rute yang dilalui mereka merupakan rute yang terbaik. Kondisi ini
dikenal dengan kondisi keseimbangan jaringan jaalan.

Namun berbeda halnya dengan kendaraan umum karena pada umumnya penumpang
kendaraan umum akan mencari rute yang dapat meminimumkan biaya. Biaya yang dapat
menjadi salah satu pertimbangan adalah biaya kemacetan, waktu tunggu, dan lain-lain.
Sehingga rute pun menjadi pengaruh bagi pengguna kendaraan umum untuk berusaha

2-29
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

menghindari tundaan tersebut. Kondisi ini akan berinteraksi dengan kondisi yang terjadi
pada kendaraan pribadi sehingga pada akhirnya akan menghasilkan kondisi keseimbangan
yang baru. Kondisi keseimbangan tersebut dikenal dengan kondisi keseimbangan jaringan
mutimoda. Pada tingkat yang lebih tinggi, pola pergerakan baru akan mempengaruhi
pemilihan moda, zona tujuan, dan waktu terjadinya pergerakan.

Suatu kondisi keseimbangan yang baru akan mempengaruhi tingkat pelayanan masing-
masing rute yang pada konteks pemodelannya perlu menaksir kembali MAT. Proses
penaksiran MAT ini perlu dilakukan berulang-ulang hingga didapat MAT dengan nilai biaya
perjalanan yang konsisten dengan arus yang terjadi pada semua sistem jaringan. Kondisi ini
dikenal dengan kondisi keseimbangan sistem.

Pembebanan lalu lintas hanya dilakukan bagi perjalanan yang menggunakan kendaraan,
sehingga hasil distribusi perjalanan harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam satuan mobil
penumpang (smp). Pembebanan lalu lintas harus dilakukan pada periode jam puncak di
setiap tahun tinjauan, sehingga diperoleh informasi mengenai dampak lalu lintas jalan yang
paling besar akibat dari pengembangan kawasan yang direncanakan. Kondisi puncak terjadi
karena kombinasi kondisi lalu lintas sekitarnya dan bangkitan lalu lintas dari pembangunan
baru.

Dampak lalu lintas sebenarnya merupakan selisih dari bangkitan pada kondisi puncak akibat
pembangunan baru dan bangkitan kondisi puncak dari penggunaan lahan sebelumnya.
Pembebanan lalu lintas dapat dilakukan dengan metode-metode yang umum digunakan
dalam kajian transportasi.

Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembebanan rute adalah memperkirakan asumsi
pengguna jalan mengenai pilihannya yang terbaik. Beberapa faktor yang mempengaruhi
pemilihan rute antara lain: waktu tempuh, biaya, kemacetan dan antrian, jenis maneuver,
jenis jalan raya, pemandangan, kelengkapan rambu dan marka, dan lain sebagainya. Faktor
uhtama dalam pemilihan rute adalah biaya pergerakan dan nilai waktu. Pada umumnya
biaya pergerakan dianggap proporsional dengan jarak tempuh.

MAT perjalanan akan dibebankan ke dalam jaringan jalan sehingga diperoleh volume arus
lalu lintas, kecepatan, dan waktu perjalanan dalam sistem. Data karakteristik lalu lintas baik
saat ini maupun di masa mendatang merupakan masukan utama dalam proses analisis,
terutama penanganan ruas prioritas.

2-30
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

MAT Perjalanan Data Jaringan I


N
P
U
T

Pemilihan Rute

Arus, Kecepatan, Waktu O


U
T
P
U
Analisis
T

Gambar 2. 7 Proses Pembebanan di Jaringan Jalan

2.5 Evaluasi Dampak Lalu Lintas

Hasil prakiraan lalu lintas berupa arus lalu lintas pada jam puncak di tahun-tahun tinjauan
harus diukur dampaknya terhadap ruas jalan dan persimpangan jalan yang dikaji. Adapun
elemen dampak lalu lintas jalan yang harus ditinjau dan metode pengukurannya
disampaikan pada tabel berikut.

Tabel 2. 4 Elemen Dampak Lalu Lintas dan Metode Pengukurannya


Elemen Dampak Indikator Dampak
Lokasi Metode Pengukuran
Lalu Lintas Lalu Lintas
Ruas jalan Lalu lintas a) Derajat kejenuhan; a) Analisis kapasitas ruas
kendaraan b) Kecepatan lalu jalan;
lintas di ruas jalan b) Analisis kecepatan arus
(kilometer per jam). bebas;
c) Analisis perilaku lalu
lintas untuk ruas jalan.

2-31
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Elemen Dampak Indikator Dampak


Lokasi Metode Pengukuran
Lalu Lintas Lalu Lintas
Persimpangan Lalu lintas a) Derajat kejenuhan; a) Analisis kapasitas
jalan kendaraan b) Tundaan (detik per untuk persimpangan
smp). bersinyal dan/ atau
persimpangan tak
bersinyal;
b) Analisis tundaan untuk
persimpangan bersinyal
dan/atau
persimpangan tak
bersinyal;
c) Analisis perilaku lalu
lintas untuk
persimpangan bersinyal
dan/ atau
persimpangan tak
bersinyal.

Untuk setiap elemen dampak lalu lintas jalan yang diukur harus ditetapkan apakah
menghasilkan masalah yang harus ditangani atau tidak. Pada tabel berikut disampaikan
kriteria berupa nilai batas dari indikator dampak lalu lintas jalan yang membutuhkan
penanganan.

Tabel 2. 5 Kriteria Dampak Lalu Lintas yang Membutuhkan Penanganan


Lokasi Elemen Indikator Dampak Kriteria Dampak Lalu Lintas yang
Dampak Lalu Lalu Lintas Membutuhkan Penanganan
Lintas
Ruas jalan Lalu lintas a) Derajat a) Derajat kejenuhan lebih
kendaraan kejenuhan; dari atau sama dengan
b) Kecepatan lalu 0,75;
lintas di ruas b) Kecepatan di jalan arteri
jalan (kilometer kurang dari 30 kilometer
per jam). per jam;
c) Kecepatan di jalan kolektor
kurang dari 20 kilometer per
jam.
Persimpangan Lalu lintas a) Derajat a) Derajat kejenuhan lebih dari
jalan kendaraan kejenuhan; atau sama dengan 0,75;
b) Tundaan (detik b) Tundaan lebih dari 30
per smp). detik per smp.

2.5.1 Arus Lalu Lintas

Dalam manual, nilai arus lalu lintas (Q) mencerminkan komposisi lalu lintas, dengan
menyatakan arus dalam satuan mobil penumpang (smp). Semua nilai arus lalu lintas (per
arah dan total) diubah menjadi satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan nilai
ekivalensi mobil penumpang (emp) yang diturunkan secara empiris untuk tipe kendaraan
berikut:

2-32
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

1. Kendaraan ringan (LV), termasuk mobil penumpang, minibus, pick up, truk kecil, dan
jeep;
2. Kendaraan berat (HV), termasuk truk dan bus;
3. Sepeda motor (MC)

Pengaruh kendaraan tak bermotor (UM) dimasukkan sebagai kejadian terpisah dalam faktor
penyesuaian hambatan samping.

Ekivalensi mobil penumpang (emp) untuk masing-masing jenis kendaraan tergantung pada
tipe jalan dan arus lalu lintas total yang dinyatakan dalam kend/jam. Tabel-tabel berikut
menjelaskan konversi nilai emp untuk ruas jalan perkotaan tak terbagi dan jalan perkotaan
terbagi serta konversi nilai emp untuk simpang bersinyal.

Tabel 2. 6 Emp Untuk Jalan Perkotaan Tak Terbagi

Arus Lalu emp


Tipe Jalan: Lintas Total MC
Jalan Tak Terbagi Dua Arah HV Lebar Jalur Lalu Lintas Wc (m)
(kend/jam) ≤6 >6
Dua lajur tak terbagi 0 1,3 0,5 0,40
(2/2 UD) ≥ 1800 1,2 0,35 0,25
Empat lajur tak terbagi 0 1,3 0,40
(4/2 UD) ≥ 3700 1,2 0,25
Sumber: MKJI, 1997

Tabel 2. 7 Emp Untuk Jalan Perkotaan Terbagi


Tipe Jalan: Arus Lalu Lintas emp
Jalan Satu Arah dan Jalan per Lajur
HV MC
Terbagi (kend/jam)
Dua lajur satu arah (2/1) 0 1,3 0,4
dan
Empat lajur terbagi (4/2 D) ≥ 1050 1,2 0,25
Tiga lajur satu arah (3/1) 0 1,3 0,4
dan
Enam lajur terbagi (6/2 D) ≥ 1100 1,2 0,25
Sumber: MKJI, 1997

Tabel 2. 8 Emp Untuk Simpang Bersinyal


emp untuk tipe pendekat
Jenis Kendaraan
Terlindung Terlawan
Kendaraan Ringan (LV) 1,0 1,0
Kendaraan Berat (HV) 1,3 1,3
Sepeda Motor (MC) 0,2 0,4
Sumber: MKJI, 1997

2-33
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Arus lalu lintas merupakan interaksi yang unik antara pengemudi, kendaraan, dan jalan.
Tidak ada arus lalu lintas yang sama bahkan pada keadaan yang serupa, sehingga arus pada
suatu ruas jalan tertentu selalu bervariasi. Walaupun demikian diperlukan paramater yang
dapat menunjukkan kondisi ruas jalan atau yang akan dipakai untuk desain. Parameter
tersebut adalah volume, kecepatan, kepadatan, tingkat pelayanan dan derajat kejenuhan.
Hal yang sangat penting untuk dapat merancang dan mengoperasikan sistem transportasi
dengan tingkat efisiensi dan keselamatan yang paling baik.

Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melintasi suatu ruas jalan pada periode
waktu tertentu, diukur dalam satuan kendaraan per satuan waktu. Manfaat data (informasi)
volume lalu lintas adalah:

a. Perencanaan suatu rute


b. Mengetahui fluktuasi arus lalu lintas
c. Distribusi arus lalu lintas dalam sebuah sistem jalan
d. Kecenderungan pemakai jalan

Data volume lalu lintas dapat berupa:

a. Volume lalu lintas berdasarkan arah arus:


1) Dua arah
2) Satu arah
b. Volume lalu lintas berdasarkan pergerakan arus:
1) Arus lurus
2) Arus belok
c. Volume lalu lintas berdasarkan jenis kendaraan, seperti antara lain:
1) Mobil penumpang atau kendaraan ringan.
2) Kendaraan berat (truk besar dan bus)
3) Sepeda motor
d. Volume lalu lintas berdasarkan waktu pengamatan survei lalu lintas, seperti 5 menit,
15 menit, 1 jam. Volume lalu lintas mempunyai istilah khusus berdasarkan bagaimana
data tersebut diperoleh yaitu:
1) ADT (Average Daily Traffic) atau dikenal juga sebagai LHR (Lalu Lintas Harian
Rata- rata) yaitu volume lalu lintas rata-rata harian pada suatu ruas jalan tertentu.
Pengumpulan data dilakukan selama x hari, dengan ketentuan 1 < x < 365,
kemudian hasilnya dirata-ratakan.

2-34
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

2) AADT (Average Annual Daily Traffic) atau dikenal juga sebagai LHRT (Lalu Lintas
Harian Rata-rata Tahunan), yaitu total volume lalu lintas satu tahun dibagi dengan
365 hari.
3) AAWT (Average Annual Weekday Traffic) yaitu volume lalu lintas yang diukur 24
jam pada hari kerja dibagi dengan jumlah hari kerja selama pengumpulan data.
4) Maximum Annual Hourly Volume adalah volume lalu lintas tiap jam yang terbesar
untuk suatu tahun tertentu.
5) 30 HV (30th) Highest Annual Hourly Volume) atau disebut juga sebagai DHV
(Design Hourly Volume), yaitu volume lalu lintas tiap jam yang dipakai sebagai
volume lalu lintas desain. Dalam setahun besarnya volume lalu lintas ini
dilampaui oleh 29 data.
6) Rate of Flow atau Flow Rate adalah volume lalu lintas yang diperoleh dari
pengamatan yang lebih kecil dari satu jam, akan tetapi kemudian dikonversikan
menjadi volume 1 jam secara linear.
7) Peak Hour Factor (PHF) adalah perbandingan volume lalu lintas satu jam penuh
dengan puncak dari flow rate pada jam tersebut.

2.5.2 Parameter Kinerja Ruas Jalan

Dalam mengevaluasi permasalahan lalu lintas perkotaan, perlu ditinjau klasifikasi fungsi dan
sistem jaringan ruas-ruas jalan yang ada. Klasifikasi berdasarkan fungsi jalan perkotaan
dibedakan antara jalan primer, kolektor, dan lokal. Sedangkan klasifikasi berdasarkan
sistem jaringan terdiri dari jalan primer dan sekunder (Direktorat Pembinaan Jalan Kota,
Nomor 10/ BNKT/ 1991) tentang Klasifikasi Jaringan Jalan Perkotaan). Kinerja untuk ruas
jalan perkotaan dapat dinilai dengan menggunakan parameter lalu lintas berikut ini:

1. Derajat Kejenuhan/ VCR (Volume Capacity Ratio)


Nilai VCR untuk ruas jalan di dalam daerah pengaruh didapat berdasarkan hasil survei
volume lalu lintas di ruas jalan serta survei geometrik untuk mendapatkan besarnya
kapasitas eksisting.
Kapasitas jalan adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat bergerak/
dilewatkan pada suatu ruas jalan tertentu dalam periode waktu tertentu. Kapasitas
jalan biasanya dinyatakan dengan kend/jam atau smp/jam. Persamaan dasar untuk
penentuan kapasitas adalah sebagai berikut:

C = C0 x FCW x FCSP x FCSF x FCCS

2-35
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Dimana:
C = kapasitas (smp/jam)
C0 = kapasitas dasar (smp/jam)
FCW = faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas
FCSP = faktor penyesuaian pemisahan arah (hanya untuk jalan tak terbagi)
FCSF = faktor penyesuaian hambatan samping, dan bahu jalan
FCSF = faktor penyesuaian ukuran kota

Selanjutnya besarnya volume lalu lintas pada periode mendatang akan dihitung
berdasarkan analisis peramalan lalu lintas. Besarnya faktor pertumbuhan lalu lintas
didasarkan pada tingkat pertumbuhan normal dan tingkat pertumbuhan bangkitan
yang ditimbulkan oleh adanya pembangunan.

2. Kecepatan Perjalanan Rata-Rata


Parameter kecepatan perjalanan didapat dari hasil survei floating car observer.
Bersamaan dengan ini akan didapatkan nilai waktu perjalanan rata-rata antar titik-titik
asal-tujuan di dalam daerah pengaruh serta nilai tundaan selama perjalanan tersebut.

3. Tingkat Pelayanan
Indikator tingkat pelayanan pada suatu ruas jalan menunjukkan kondisi secara
keseluruhan ruas jalan tersebut. Tingkat pelayanan ditentukan berdasarkan nilai
kuantitatif seperti VCR, kecepatan perjalanan, dan berdasarkan nilai kualitatif seperti
kebebasan pengemudi dalam bergerak/ memilih kecepatan, derajat hambatan lalu
lintas, serta kenyamanan. Secara umum tingkat pelayanan dapat dikelompokkan
sebagai berikut.

Tabel 2. 9 Indeks Tingkat Pelayanan Jalan


Tingkat
Kondisi Arus VCR
Pelayanan
Kondisi arus lalu lintas bebas dengan kecepatan
A 0,00 – 0,20
tinggi dan volume lalu lintas rendah.
Arus stabil, tetapi kecepatan operasi mulai dibatasi
B 0,20 – 0,44
oleh kondisi lalu lintas.
Arus stabil, tetapi kecepatan dan gerak kendaraan
C 0,45 – 0,74
dikendalikan.
Arus mendekati stabil, kecepatan masih dapat
D 0,75 – 0,84
dikendalikan. V/C masih dapat ditolerir.
Arus tidak stabil, kecepatan terkadang berhenti,
E 0,85 – 1,00
dan permintaan sudah mendekati kapasitas.
Arus dipaksakan, kecepatan rendah, volume di atas
F ≥ 1,00
kapasitas, dan antrian panjang (macet).
Sumber: Traffic Planning and Engineering, 2 nd Edition Pergamon Press Oxword, 1979

2-36
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Tabel berikut menunjukan beberapa kondisi lalu lintas pada ruas jalan arteri.

Tabel 2. 10 Tingkat Pelayanan Berdasarkan Kecepatan Perjalanan Rata-Rata


Kelas Arteri I II III
Kecepatan (km/jam) 56 - 72 48 - 56 40 - 56
Tingkat Pelayanan Kecepatan Perjalanan Rata-Rata (km/jam)
A ≥ 56 ≥ 48 ≥ 40
B ≥ 45 ≥ 38 ≥ 31
C ≥ 35 ≥ 29 ≥ 21
D ≥ 28 ≥ 23 ≥ 15
E ≥ 21 ≥ 16 ≥ 11
F ≥ 21 ≥ 16 ≥ 11
Sumber: Ofyar Z. Tamin, Jurnal PWK, Vol 9 No. 3 September 1998

2.5.3 Parameter Kinerja Simpang

Simpang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jaringan jalan. Simpang adalah
simpul dalam jaringan transportasi dimana dua atau lebih ruas jalan bertemu, di sini arus
lalu lintas mengalami konflik.

Simpang dapat didefinisikan sebagai daerah umum dimana dua jalan atau lebih bergabung
atau bersimpangan, termasuk jalan dan fasilitas tepi jalan untuk pergerakan lalu lintas di
dalamnya (Khisty C.J. dan Kent L.B., 2003). Menurut Khisty (2003), persimpangan dibuat
dengan tujuan untuk mengurangi potensi konflik di antara kendaraan (termasuk pejalan
kaki) dan sekaligus menyediakan kenyamanan maksimum dan kemudahan pergerakan bagi
kendaraan.

Pada persimpangan terdapat 4 (empat) jenis pergerakan arus lalu lintas yang dapat
menimbulkan konflik yaitu:

1. Berpotongan (crossing), dimana dua arus berpotongan langsung;


2. Bergabung (merging), dimana dua arus bergabung;
3. Berpisah (diverging), dimana daua arus berpisah;
4. Bersilangan (weaving), dimana dua arus saling bersilangan.

Pemilihan metode pengendalian tergantung pada besarnya arus lalu lintas yang harus
dilayani dan keselamatan. Ada empat cara pengendalian simpang yakni: prioritas, lampu
pengatur lalu lintas, bundaran, dan persimpangan tidak sebidang. Kadang-kadang lampu
lalu lintas digunakan pada bundaran, tapi bukanlah teknik yang baku, hanya digunakan pada
kasus-kasus tertentu saja.

2-37
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Tabel 2. 11 Kelebihan dan Kekurangan dari Masing-Masing Tipe Pengendalian Persimpangan


Pengendalian Persimpangan Kelebihan dan Kekurangan
Persimpangan Tidak Sebidang Dapat menampung lalu lintas tinggi
Tundaan minimal
Biaya pembangunan mahal
Lampu Lalu Lintas Lalu lintas ringan hingga sedang
Menampung arus berbelok yang tinggi dengan
menggunakan kanalisasi
Membutuhkan ruang yang relatif kecil
dibandingkan bundaran
Tundaan relatif akan besar pada jam-jam tidak
sibuk
Bundaran Lalu lintas ringan hingga sedang
Relatif baik untuk kendaraan berbelok dengan
menghilangkan gerakan memotong
Dapat digunakan untuk U-turn
Memerlukan lahan yang relatif besar
Memerlukan kebebasan henti di kaki-kaki
persimpangannya
Prioritas Lalu lintas ringan
Tundaan besar, khususnya pada jalan samping
Diperlukan kebebasan henti
Sumber: PHK TIK Universitas Widyagama Malang, 2008

Menurut MKJI (1997), arus lalu lintas (Q) untuk setiap gerakan (belok kiri QLT, lurus QST,
dan belok kanan QRT) dikonversikan dari kendaraan per jam menjadi satuan mobil
penumpang (smp) per jam dengan menggunakan ekivalen kendaraan penumpang (emp)
untuk masing-masing pendekat terlindung dan terlawan. Selain itu arus jenuh didefinisikan
sebagai besarnya keberangkatan rata-rata antrian di dalam suatu pendekat simpang selama
sinyal hijau yang besarnya dinyatakan dalam satuan smp per jam hijau (smp/jam hijau).

Adapun nilai arus jenuh suatu persimpangan bersinyal dapat dihitung dengan persamaan
berikut:
𝑺 = 𝑺𝟎 × 𝑭𝑪𝑺 × 𝑭𝑺𝑭 × 𝑭𝑮 × 𝑭𝑷 × 𝑭𝑳𝑻 × 𝑭𝑹𝑻
Dimana:
S = Arus jenuh (smp/ waktu hijau efektif)
S0 = Arus jenuh dasar (smp/ waktu hijau efektif)
FCS = Faktor koreksi arus jenuh akibat ukuran kota (jumlah penduduk)
FSF = Faktor koreksi arus jenuh akibat adanya gangguan samping
FG = Faktor koreksi arus jenuh akibat kelandaian jalan
FP = Faktor koreksi arus jenuh akibat adanya kegiatan perparkiran dekat lengan simpang

2-38
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

FLT = Faktor koreksi arus jenuh akibat pergerakan belok kiri


FRT = Faktor koreksi arus jenuh akibat pergerakan belok kanan

Besar setiap faktor koreksi arus jenuh sangat bergantung pada tipe persimpangan.
Penjelasan lebih rinci mengenai setiap faktor koreksi arus jenuh dapat ditemukan dalam
Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997.

Untuk pendekat terlindung, arus jenuh dasar ditentukan sebagai fungsi dari lebar efektif
pendekat (We):
S0 = 600 x We

Penentuan waktu sinyal untuk keadaan dengan kendali tetap dilakukan berdasarkan
metode Webster (MKJI, 1997) untuk meminimumkan tundaan total pada suatu simpang.
Pertama-tama menentukan waktu siklus (c), selanjutnya waktu hijau (g) pada masing-masing
fase (i).

Waktu Siklus Sebelum Penyesuaian

Volume lalu lintas mempengaruhi panjang waktu siklus pada fixed time operation. Panjang
waktu siklus akan mempengaruhi tundaan kendaraan rata-rata yang melewati simpang.

cua = (1,5 x LTI + 5)/(1-FRcrit)


Dimana:
cua = waktu siklus sinyal (detik)
LTI = jumlah waktu hilang per siklus (detik)
FR = arus dibagi dengan arus jenuh (Q/S)
FRcrit = nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada suatu fase sinyal
(FRcrit) = rasio arus simpang = jumlah FRcrit dari semua fase pada siklus tersebut

Berikut ini adalah waktu siklus yang disarankan untuk pengaturan fase yang berbeda.

Tabel 2. 12 Pengaturan Simpang

Waktu Siklus yang Layak


Tipe Pengaturan
(detik)
Pengaturan dua fase 40 – 80
Pengaturan tiga fase 50 – 100
Pengaturan empat fase 80 - 130
Sumber: MKJI, 1997

2-39
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Waktu Hijau

Pada umumnya pembagian waktu hijau pada kinerja suatu simpang bersinyal lebih peka
terhadap kesalahan daripada panjangnya waktu siklus.

gi = (cua – LTI) x FRcrit/(FRcrit)


Dimana:
gi = tampilan waktu hijau pada fase i (detik)
cua = waktu siklus sebelum penyesuaian
FR = arus dibagi dengan arus jenuh (Q/S)
FRcrit = nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada suatu fase sinyal
(FRcrit) = rasio arus simpang = jumlah FRcrit dari semua fase pada siklus tersebut

Waktu Siklus yang Disesuaikan

Waktu siklus yang disesuaikan (c) sesuai waktu hijau yang diperoleh dan waktu hilang (LTI).

c = g + LTI
Dimana:
c = waktu siklus yang disesuaikan

Kapasitas

Menurut MKJI (1997), perhitungan kapasitas dapat dibuat dengan pemisahan jalur tiap
pendekat. Pada satu lengan dapat terdiri dari satu atau lebih pendekat, missal dibagi
menjadi dua atau lebih sub pendekat. Hal ini diterapkan jika gerakan belok kanan
mempunyai fase berbeda dari lalu lintas yang lurus atau dapat juga dengan merubah fisik
jalan yaitu dengan membagi pendekat dengan pulau (canalization). Kapasitas (C) dari suatu
pendekat simpang bersinyal dapat dinyatakan sebagai berikut:

𝒈
𝑪 =𝑺×
𝒄
Dimana:
C = Kapasitas pendekat (smp/jam)
S = Arus jenuh (smp/ jam hijau)
g = Waktu hijau (detik)
c = Waktu siklus

2-40
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan diperoleh dari:

DS = Q/C
Dimana:
DS = Derajat kejenuhan
Q = Arus lalu lintas (smp/jam)
C = Kapasitas pendekat (smp/jam)

Panjang Antrian

Panjang antrian adalah panjangnya antrian kendaraan dalam suatu pendekat dan antrian
dalam jumlah kendaraan yang antri dalam suatu pendekat (kendaraan, smp). Dalam MKJI
(1997), antrian yang terjadi pada suatu pendekat adalah jumlah rata-rata antrian smp pada
awal sinyal hijau (NQ) yang merupakan jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya
(NQ1) dan jumlah smp yang datang selama waktu merah (NQ 2), yang persamaannya
dituliskan seperti berikut ini:

NQ = NQ1 + NQ2
Dimana:
NQ = jumlah rata-rata antrian pada awal sinyal hijau
NQ1 = jumlah smp yang tertinggal dari fase hijau sebelumnya
NQ2 = jumlah smp yang datang selama fase merah

Dari nilai derajat kejenuhan dapat digunakan untuk menghitung jumlah antrian (NQ) yang
merupakan sisa dari fase terdahulu yang dihitung dengan rumus:

1. Untuk DS > 5

 8 xDS  0,5 
NQ1  0,25 xCx DS  1  ( DS  1) 2  
 C 
Dimana:
NQ1 = jumlah smp yang tertinggal dari fase hijau sebelumnya
DS = derajat kejenuhan
C = kapasitas (smp/jam)

2. Untuk DS ≤ 0,5; NQ1 = 0


Jumlah antrian yang datang selama fase merah (NQ2) dengan rumus seperti berikut:

2-41
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

1  GR Q
NQ2  cx x
1  GRxDS 3600
Dimana:
NQ2 = jumlah smp yang datang selama fase merah
DS = derajat kejenuhan
GR = rasio hijau = (g/c)
Q = arus lalu lintas pada tempat masuk di luar LTOR (smp/jam)
c = waktu siklus (detik)

Panjang antrian (QL) didapatkan dari perkalian (NQmax) dengan luas rata-rata yang
dipergunakan per smp (20 m2) dan pembagian dengan lebar masuk (Wmasuk). NQmax didapat
dengan menyesuaikan nilai NQ dalam hal peluang yang diinginkan untuk terjadinya
pembebanan lebih POL (%) dengan menggunakan grafik seperti terlihat pada gambar di
bawah ini. Untuk perencanaan dan desain disarankan nilai P OL ≤ 5%, untuk operasional
disarankan POL = 5 - 10%.

Sumber: MKJI, 1997


Gambar 2. 8 Perhitungan Jumlah Antrian (NQmas) dalam smp

2.6 Penyusunan Rekomendasi Penanganan

Jika dampak lalu lintas jalan yang dihasilkan oleh rencana pengembangan kawasan telah
melampaui kriteria yang ditetapkan, maka harus disusun langkah-langkah penanganan

2-42
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

masalah yang perlu dilakukan. Pada dasarnya penanganan masalah dampak lalu lintas jalan
sangat kasus per kasus, tergantung dari karakteristik lokasi dan tingkat permasalahan yang
dihadapi. Oleh karena itu harus ditelusuri beberapa alternatif penanganan yang dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan efektivitasnya dalam menyelesaikan masalah serta
konsekuensi biayanya.

Berikut ini disampaikan beberapa alternatif penanganan masalah yang dapat dilakukan
untuk setiap elemen dampak lalu lintas jalan.

1. Alternatif Penanganan Masalah Lalu Lintas di Ruas Jalan


Permasalahan lalu lintas kendaraan di ruas jalan pada dasarnya disebabkan oleh
kapasitas ruas jalan yang tidak lagi mampu melayani volume lalu lintas secara ideal.
Penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kapasitas jalan,
antara lain melalui usaha manajemen lalu lintas, perbaikan geometrik, dan melakukan
pelebaran jalan.

2. Alternatif Penanganan Masalah Lalu Lintas di Persimpangan Jalan


Permasalahan di persimpangan jalan berasal dari ketidakmampuan persimpangan
jalan untuk melewatkan volume lalu lintas secara ideal. Penanganan yang dapat
dilakukan adalah dengan meningkatkan kapasitas persimpangan jalan, antara lain
dengan melakukan usaha manajemen lalu lintas, perbaikan geometrik, dan
pembangunan persimpangan tidak sebidang.

Menurut Tamin (2000) jenis penanganan masalah mengacu kepada kriteria evaluasi yang
meliputi derajat kejenuhan (DS) setiap ruas jalan, yang akan menentukan jenis penanganan
untuk ruas jalan dan persimpangan. Jenis penanganan di ruas jalan dikelompokkan menjadi:

a. Manajemen Lalu Lintas


Pada prinsipnya penanganan ini ditekankan pada pemanfaatan fasilitas ruas jalan
yang ada seperti:
1) Pemanfaatan lebar jalan secara efektif
2) Kelengkapan marka dan rambu jalan yang memadai serta seragam sehingga ruas
jalan dapat dimanfaatkan secara optimal baik dari segi kapasitas maupun
keamanan lalu lintas yang meliputi sistem satu arah, pengendalian parkir,
pengaturan lokasi rambu berbalik arah, pengendalian kaki lima, pengaturan belok
serta kelengkapan marka dan rambu jalan. Jenis penanganan ini dilakukan bila
derajat kejenuhan (DS) berada di antara 0,60 - 0,80.

b. Peningkatan Ruas Jalan

2-43
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Penanganan ini mencakup perubahan fisik ruas jalan yang berupa pelebaran atau
penambahan lajur sehingga kapasitas ruas jalan dapat ditingkatkan secara berarti.
Jenis penanganan ini dilakukan apabila nilai DS sudah lebih besar dari 0,80.

c. Pembangunan jalan baru


Jenis penanganan ini dilakukan bila pelebaran jalan atau penambahan jalur sudah
tidak memungkinkan, terutama karena keterbatasan lahan serta kondisi lalu lintas
yang nilai DS nya jauh lebih besar dari 0,80.

Sementara itu, jenis penanganan di persimpangan dengan lampu lalu lintas dan
persimpangan tanpa lampu lalu lintas dikelompokkan menjadi berikut:

a. Penanganan lampu lalu lintas baru


Penanganan ini dilakukan bagi persimpangan tanpa lalu lintas dengan arus lalu lintas
dari kaki persimpangan atau ruas jalan yang menuju persimpangan dan arus ini cukup
tinggi, sehingga titik konfliknya cukup berat dan kompleks.

b. Pengaturan kembali waktu lampu lalu lintas


Pendekatan ini dilakukan apabila fase dan waktu yang ada sudah tidak sesuai lagi
dengan kondisi volume lalu lintasnya, yang antara lain ditunjukkan dengan tingginya
nilai DS ruas jalan yang menuju persimpangan. Pendekatan dapat didasarkan pada
besarnya nilai DS ruas jalan yang sudah mendekati 0,80.

c. Perbaikan geometrik persimpangan


Penanganan ini meliputi pelebaran dan penambahan lajur kaki persimpangan,
pelebaran radius sudut tikungan, pemasangan pulau lalu lintas. Penanganan ini
dilakukan bila nilai DS ruas jalan yang menuju persimpangan sudah lebih besar dari
0,80.

d. Persimpangan tidak sebidang


Penanganan ini terutama diterapkan pada ruas jalan arteri serta yang kondisi lalu
lintas di kaki persimpangan atau DS ruas jalan yang menuju persimpangan tersebut
tidak bisa lagi diatasi dengan penanganan pengaturan kembali waktu lalu lintas dan
perbaikan geometri persimpangan.

Selanjutnya menurut Hobbs (1979), manajemen lalu lintas adalah suatu proses
memaksimumkan pemakaian sistem jalan yang ada dan meningkatkan keamanan jalan,
tanpa merusak kualitas lingkungan. Manajemen lalu lintas juga dapat menangani
perubahan-perubahan pada tata letak geometri, pembuatan petunjuk-petunjuk tambahan
dan alat-alat pengaturan seperti rambu-rambu, tanda-tanda jalan untuk pejalan kaki,

2-44
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

penyeberangan dan lampu untuk penerangan jalan. Abubakar, dkk. (1996) menjelaskan
bahwa manajemen lalu lintas adalah pengelolaan dan pengendalian arus lalu lintas dengan
melakukan optimasi penggunaan prasarana yang ada, baik pada saat sekarang maupun
yang akan direncanakan.

Tujuan dilakukan manajemen lalu lintas adalah:

a. Mendapatkan tingkat efisiensi dari pergerakan lalu lintas secara menyeluruh dengan
tingkat aksesibilitas yang tinggi dengan menyeimbangkan permintaan dengan sarana
penunjang yang tersedia.
b. Meningkatkan dan memperbaiki tingkat keselamatan dari pengguna yang dapat
diterima oleh semua pihak.
c. Melindungi dan memperbaiki keadaan kondisi lingkungan dimana arus lalu lintas
tersebut berada.
d. Mempromosikan penggunaan energi secara efisien ataupun penggunaan energi lain
yang dampak negatifnya lebih kecil daripada energi yang ada.

Manajemen lalu lintas tersebut dapat dilakukan dengan mengendalikan arus lalu lintas yang
ada seperti melarang atau membatasi pergerakan atau akses, dengan menggunakan suatu
rangkaian teknik desain rekayasa lalu lintas, tetapi dengan mengusahakan untuk
menetapkan suatu pola arus lalu lintas yang diinginkan untuk kepentingan efisiensi dan
keselamatan pergerakan secara keseluruhan. dengan sarana penunjang yang tersedia.

Teknik yang dapat dilakukan dalam manajemen lalu lintas adalah sebagai berikut:

a. Manajemen kapasitas dengan mengoptimalkan penggunaan kapasitas jalan seefektif


mungkin, dimana kelancaran lalu lintas merupakan syarat utama yang dibutuhkan.
Teknik yang digunakan adalah: perbaikan geometri simpang untuk meningkatkan
kapasitas secara optimum, manajemen ruas jalan dengan melakukan pemisahan tipe
kendaraan, kontrol on street parking (tempat dan waktu) dan pelebaran jalan, area
traffic control dengan membatasi tempat membelok, sistem jalan satu arah dan
koordinasi lampu lalu lintas.
b. Manajemen prioritas dengan mengutamakan penggunaan angkutan umum yang
bersifat massal untuk mengefisiensi penggunaan ruas jalan.
c. Manajemen permintaan (demand) dengan mengendalikan permintaan akan
pelayanan transportasi yang dibutuhkan. Strategi yang dilakukan adalah: merubah
rute kendaraan pada jaringan jalan dengan tujuan untuk memindahkan kendaraan
dari daerah macet ke daerah tidak macet, merubah moda perjalanan dari angkutan
pribadi ke angkutan umum pada jam sibuk dan kontrol terhadap penggunaan tata

2-45
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

guna lahan. Teknik yang dilakukan adalah melakukan kebijaksanaan parkir,


penutupan jalan, batasan fisik, dll.

2.7 Analisis Kebutuhan Parkir

Pada dasarnya parkir adalah kebutuhan umum yang awalnya berfungsi melayani. Sesuai
dengan fungsi tersebut, ruang parkir disesuaikan dengan permintaan seiring dengan
kebutuhan orang yang berkendaraan untuk berada atau mengakses suatu tempat. Pada
kondisi tertentukemudian akan terjadi pertambahan permintaan yang apabila tidak diikuti
dengan penambahan ruang parkir dapat menimbulkan masalah. Hal ini dapat diatasi
dengan menerapkan konsep manajemen parkir secara lebih baik. Pada kenyataannya
masalah parkir kini telah tumbuh menjadi isu yang serius, yang terjadi karena dorongan
urbanisasi, pesatnya tingkat pertumbuhan kendaraan, dan tekanan dari kondotelasi
produsen kendaraan bermotor. Kondisi parkir diperparah dengan masalah parkir illegal yang
masih muncul di banyak tempat.

2.7.1 Jenis Parkir

Terdapat beberapa jenis penggolongan parkir yang ditentukan berdasarkan kategori ruang
parkir, pengelolaan, dan karakteristik fisik, sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

a. Parkir dalam kategori ruang parkir; terdiri atas parkir badan jalan dan parkir di luar
badan jalan.
 Parkir pada badan jalan menggunakan badan jalan yang menjadi hal publik (jalan
lingkungan maupun jalan raya);
 Parkir di luar badan jalan adalah lahan parkir yang disediakan khusus di luar badan
jalan yang memiliki pintu masuk khusus (sistem parkir berbayar dengan lahan
parkir yang memiliki batas khusus).
b. Pengelolaan parkir dapat dibagi menjadi parkir umum dan swasta.
 Parkir umum terbuka untuk masyarakat umum dan berdurasi singkat;
 Parkir swasta disediakan untuk kelompok tertentu dari pengguna, seperti warga,
penyewa, dan parkir pelanggan (jika penerapan parkir kepada pelanggan
diberlakukan secara tegas);

2-46
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

 Kata-kata umum dan swasta di atas tidak mengacu kepada penyediaan parkir oleh
pemerintah atau sektor swasta. Bahkan lahan parkir milik swasta pun terbuka
sebagai ruang parkir umum di Indonesia.
 Parkir pada badan jalan hampir selalu berarti parkir umum;
 Parkir di luar badan jalan dapat berupa parkir umum atau parkir swasta.
c. Parkir di luar badan jalan dapat dikategorikan sesuai dengan karakteristik fisik.
 Taman parkir (bangunan luar di permukaan tanah)
o Menempati ruang terbuka, atau
o Berada dalam kompleks bangunan
 Multilevel
o Sebagai fasilitas yang berdiri sendiri parkir (gedung parkir, garasi parkir)
o Melekat atau berada dalam bangunan
 Parkir bawah tanah

2.7.2 Satuan Ruang Parkir

Satu ‘Satuan Ruang Parkir’ (SRP) adalah tempat untuk satu kendaraan. Dimensi ruang parkir
menurut Dirrjen Perhubungan Darat dipengaruhi oleh: (i) lebar total kendaraan; (ii) panjang
total kendaraan; (iii) jarak bebas; (iv) jarak bebas areal lateral. Penentuan SRP untuk mobil
penumpang diklasifikasikan menjadi tiga golongan, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. 13 Kebutuhan Satuan Ruang Parkir (SRP)


Jenis Kendaraan Satuan Ruang Parkir (m2)
1. Mobil penumpang
a. Golongan I 2,30 × 5,00
b. Golongan II 2,50 × 5,00
c. Golongan III 3,00 × 5,00
2. Bus/ truk 3,40 × 5,00
3. Sepeda motor 0,75 × 2,00

Sumber: Pedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir Direktorat Jenderal Perhubungan Darat

 Golongan I : karyawan/ pekerja, tamu/ pengunjung pusat kegiatan perkantoran,


perdagangan, pemerintahan, universitas;
 Golongan II : pengunjung tempat olah raga, pusat hiburan/ rekreasi, hotel, pusat
perdagangan eceran/ swalayan, rumah sakit, bioskop;
 Golongan III : orang cacat.

2-47
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Analisis terhadap Kebutuhan Ruang Gerak Parkir

Kebutuhan ruang gerak kendaraan parkir dipengaruhi oleh (i) sudut parkir; (ii) lebar ruang
parkir; (iii) ruang parkir efektif; (iv) ruang maneuver; dan (v) lebar pengurangan maneuver
(2,5 m). Standar kebutuhan gerak yang disarankan oleh Direktorat Perhubungan Darat dapat
dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. 14 Standar Kebutuhan Parkir


Sudut Parkir Lebar Ruang Parkir Ruang Parkir Efektif Ruang Manuver
(n) (m) (m) (m)
0 2,3 2,3 3,0
30 2,5 4,5 2,9
45 2,5 5,1 3,7
60 2,5 5,3 4,6
90 2,5 5,0 5,8
Sumber: Pedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir Direktorat Jenderal Perhubungan Darat

Analisis terhadap Standar Kebutuhan Ruang Parkir

Standar kebutuhan ruang parkir akan berbeda-beda untuk tiap jenis tempat kegiatan. Hal
ini disebabkan antara lain karena perbedaan tipe pelayanan, tarif yang dikenakan,
ketersediaan ruang parkir, tingkat kepemilikan kendaraan bermotor, dan tingkat
pendapatan masyarakat. Dari hasil studi Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, standar
kebutuhan ruang parkir untuk pusat perdagangan dapat disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 2. 15 Kebutuhan Ruang Parkir Per Luas Area


Peruntukan Kebutuhan Ruang Parkir SRP (mobil penumpang)
Pusat Perdagangan
Pertokoan 3,5 – 7,5 per 100 m2 luas lantai efektif
Pasar swalayan 3,5 – 7,5 per 100 m2 luas lantai efektif
Pasar 3,5 – 7,5 per 100 m2 luas lantai efektif
Pusat Perkantoran
Pelayanan bukan umum 1,5 – 3,5 per 100 m2 luas lantai
Pelayanan umum 1,5 – 3,5 per 100 m2 luas lantai
Sekolah 0,7 – 1,0 per jumlah siswa/ mahasiswa
Hotel/ tempat penginapan 0,2 – 1,0 per jumlah kamar
Rumah sakit 0,2 – 1,3 per jumlah tempat tidur
Bioskop 0,1 – 0,4 per jumlah tempat duduk

Sumber: Pedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir Direktorat Jenderal Perhubungan Darat

2-48
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

2.8 Teori Antrian

Teori antrian (queueing) sangat perlu dipelajari dalam usaha mengenal perilaku pergerakan
arus lalu lintas baik manusia maupun kendaraan (Morlok, 1978 dan Hobbs, 1979). Hal ini
disebabkan sangat banyak kejadian yang terjadi di sektor transportasi dan permasalahan
lalu lintas yang terjadi sehari-hari pada sistem jaringan jalan dapat dijelaskan dan
dipecahkan dengan bantuan analisis teori antrian.

Terjadinya antrian kendaraan selama waktu kemacetan adalah sumber utama


keterlambatan yang perlu dipertimbangkan yang akan berakibat pada menurunnya kinerja
sistem jaringan jalan. Pada kondisi yang sangat ekstrem, waktu keterlambatan yang
disebabkan antrian dapat berkonstribusi sebesar 90% dari total waktu perjalanan.

 Antrian kendaraan yang terjadi di depan pintu gerbang tol atau antrian kendaraan yang
terjadi pada setiap lengan persimpangan berlampu lalu lintas;
 Antrian kendaraan truk pada saat bongkar/ muat barang di pelabuhan;
 Antrian kapal laut yang ingin merapat di dermaga;
 Antrian kendaraan yang terjadi pada saat kendaraan ingin memasuki kapal feri di
terminal penyeberangan;
 Antrian manusia pada loket pembelian karcis di bandara stasiun kereta api, dan lain-
lain;
 Antrian manusia pada loket pelayanan bank, loket pembayaran listrik atau telepon,
serta pasar swalayan;
 Sangat banyak kejadian lainnya yang terjadi sehari-hari yang dapat dijelaskan dengan
bantuan analisis teori antrian.

Terdapat 3 (tiga) komponen utama dalam teori antrian yang harus benar-benar diketahui
dan dipahami yaitu: (Wohl dan Martin, 1967; Morlok, 1978; dan Hobbs, 1979):

1. Tingkat Kedatangan ()


Tingkat kedatangan yang dinyatakan dengan notasi  adalah jumlah kendaraan atau
manusia yang bergerak menuju satu atau beberapa tempat pelayanan dalam satu
satuan waktu tertentu, biasa dinyatakan dalam satuan kendaraan/ jam atau orang/
menit.

2. Tingkat Keberangkatan datau Pelayanan (), dan


Tingkat pelayanan yang dinyatakan dengan notasi adalah jumlah kendaraan atau
manusia yang dapat dilayani oleh satu tempat pelayanan dalam satu satuan waktu
tertentu, biasa dinyatakan dalam satuan kendaraan/ jam atau orang/ menit.

2-49
Penyusunan Dokumen Andalalin Pembangunan Masjid Raya Jawa Barat

Selain tingkat pelayanan juga dikenal Waktu Pelayanan (WP) yang dapat didefinisikan
sebagai waktu yang dibutuhkan oleh satu tempat pelayanan untuk dapat melayani
satu kendaraan atau satu orang, biasa dinyatakan dalam satuan menit/ kendaraan
atau menit/ orang, sehingga dapat disimpulkan bahwa:
1
𝑊𝑃 =
𝜇
Selain itu, dikenal juga notasi () yang didefinisikan sebagai rasio antara tingkat
kedatangan () dengan tingkat pelayanan () dengan persyaratan bahwa nilai tersebut
selalu harus lebih kecil dari 1.
𝜆
𝜌= <1
𝜇
Jika nilai  > 1, hal ini berarti bahwa tingkat kedatangan lebih besar dari tingkat
pelayanan. Jika hal ini terjadi, maka dapat dipastikan akan terjadi antrian yang akan
selalu bertambah panjang (tidak terhingga).

3. Disiplin Antrian
Disiplin antrian mempunyai pengertian tentang bagaimana tata cara kendaraan atau
manusia mengantri. Beberapa jenis disiplin antrian yang sering digunakan dalam
bidang transportasi atau arus lalu lintas adalah First In First Out, dan First Vacant First
Served.

2-50

Anda mungkin juga menyukai