Anda di halaman 1dari 19

CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3

MANAJEMEN
PERPAJAKAN

3
Revisi: 00/2019
Hal. 1 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
CHAPTER 3
PERLAKUAN ATAS BIAYA DAN PENGHASILAN, MEMAKSIMALKAN PENGECUALIAN
PAJAK, MEMAKSIMALKAN PENGURANGAN PAJAK,
PENGHINDARAN TARIF PPH TERTINGGI

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang perlakuan
atas biaya dan penghasilan, memaksimalkan pengecualian pajak, memaksimalkan pengurangan
pajak, penghindaran tarif pph tertinggi.

Untuk meyakinkan bahwa atas seluruh obyek PPh Pasal 21 telah dipotong pajaknya, maka perlu
dilakukan rekonsiliasi antara data laporan keuangan baik yang berasal dari akun neraca maupun
akun biaya. Jika penghitungan PPh Pasal 21 dilakukan oleh bagian SDM, maka rekonsiliasi juga
harus dilakukan untuk data SDM dengan data SDM (seperti data payroll) dengan data yang ada di
bagian akuntansi/keuangan (seperti data ledger/buku besar). Rekonsiliasi ini sangat berguna
dalam rangka pelaksanaan pengendalian dan pembuktian bahwa seluruh obyek PPh Pasal 21
telah dipotong PPh-nya. Hal semacam ini akan memudahkan Wajib Pajak ketika diperiksa oleh
Petugas Pajak di kemudian hari.

Dalam hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan berlaku prinsip umum, yaitu
Taxability-Deductibility. Jika bagi karyawan merupakan taxable income (penghasilan yang Objek
PPh), maka di perusahaan menjadi deductible expense (biaya) atau sebaliknya jika di karyawan
merupakan non taxable income (bukan penghasilan yang bukan Objek PPh), maka di perusahaan
menjadi non deductible expense (bukan biaya). Perlakuan ini bergantung pada kebijakan yang
ditempuh oleh perusahaan. Dengan prinsip tersebut akan senantiasa terdapat pihak yang
dikenakan pajak, apakah di karyawan dalam bentuk PPh Pasal 21 atau di perusahaan dalam
bentuk PPh badan.

Namun demikian, terdapat beberapa penyimpangan dari prinsip umum tersebut bila diatur secara
khusus oleh ketentuan perpajakan. Misalnya terdapat pembayaran kepada karyawan yang bersifat
non taxable, tetapi bagi perusahaan tetap merupakan deductible expense atau terdapat
pembayaran kepada karyawan yang bersifat taxable, tetapi di perusahaan bersifat non deductible
expense.

Hal. 2 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
Taxability dan Deductibility Objek PPh Pasal 21

Strategi Memaksimalkan Pengurangan (Maximizing Deductions)

Prinsip Taxability Deductibility adalah prinsip yang menjelaskan tentang pos apa-apa saja yang
dapat/tidak dapat dikenai pajak penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak penghasilan) dan
pos apa-apa saja yang dapat/tidak dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto), yang
mekanismenya jika pada pihak pemberi kerja pemberian imbalan/penghasilan dapat dibiayakan
(pengurang penghasilan bruto), maka pada pihak karyawan merupakan penghasilan yang
dikenakan pajak. Sebaliknya bila pada pihak karyawan pemberian imbalan/penghasilan tersebut
bukan merupakan penghasilan, maka pada pihak pemberi kerja tidak dapat dibiayakan (bukan
pengurang penghasilan bruto).

Prinsip Taxability Deductibility merupakan prinsip dasar yang lazim dipakai dalam perencanaan
pajak, yang pada umumnya mengubah/menkonversikan penghasilan yang merupakan objek pajak
menjadi penghasilan yang tidak objek pajak atau sebaliknya mengubah biaya yang tidak boleh
dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan, dengan konsekuensi terjadinya perubahan
pajak terutang akibat pengubahan/konversi tersebut. Apakah perubahan jumlah pajak terutang
akan menjadi lebih besar atau lebih kecil atau sama dengan jumlah pajak terutang akibat koreksi
fiskal, apabila dilakukan pengubahan tersebut, tentunya harus dipertimbangkan mana alternatif
yang lebih menguntungkan perusahaan,.

Jika kondisi keuangan perusahaan dalam keadaan baik dan kinerja perusahaan menghasilkan
laba besar, maka salah satu alternatif yang direkomendasikan adalah dengan mengkaji mana
yang lebih menguntungkan antara memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk
tunjangan (uang) atau dalam natura (benefit in kind).

Prinsip Taxability-Deductibility Mengenai Imbalan (Natura/Uang)


Jenis Imbalan Perlakuan Biaya Bagi Perlakuan PPh Ps. 21
Perusahaan/Pemberi Kerja Bagi Penerima
Imbalan dalam bentuk Deductible Taxable
uang
Imbalan dalam bentuk Non Deductible Non Taxable
natura

Hal. 3 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
Sebagai penjabaran pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kind)
kepada para pegawai diberikan contoh sebagai berikut :

1. Dalam tahun 2010, PT. ABx menyediakan dokter dan pemberian obat-obatan dengan
cuma-cuma untuk pemeliharaan kesehatan para pegawainya sebanyak 1.000 orang,
termasuk ongkos melahirkan berjumlah Rp 360 juta setahun atau rata-rata biaya untuk
pemeliharaan kesehatan setiap pegawai setiap bulannya berjumlah (1/12 x 360 juta) :
1000 = Rp 30.000 atau sama dengan Rp 1.000 per orang per hari. Upah rata-rata
pegawainya diasumsikan masih sebatas UMR.

- Sebelum tax planning : Berdasarkan pasal 4 ayat 3 huruf d UU Pajak Penghasilan,


benefit in kind (seperti biaya berobat ke dokter dan obat) sebesar Rp. 360 juta bukan
merupakan objek pajak penghasilan (non taxable), sehingga tidak bisa dipajaki atas
penghasilan tersebut. Sebaliknya, dari sudut pandangan perusahaan yang
mengeluarkan biaya tersebut, secara komersial merupakan biaya yang dapat
dikurangkan dari penghasilan perusahaan, tetapi secara fiskal (pasal 9 ayat 1 huruf e.
UU PPh) merupakan biaya yang tidak boleh dikurangkan (non deductible), sehingga
harus dilakukan koreksi fiskal.

Konsekuensinya : Oleh karena biaya tersebut merupakan biaya fiskal yang tidak boleh
dikurangkan, maka akibat koreksi fiskal yang dilakukan oleh Dirjen Pajak, menimbulkan
tambahan pajak (PPh Badan) tahun 2010 sebesar : 25% % x Rp 360 juta = Rp 90 juta.

- Sesudah tax planning : Dengan mengubah pemberian dalam bentuk natura dan
kenikmatan (seperti dokter dan obat) menjadi tunjangan kesehatan (uang), maka
secara fiskal (pasal 4 ayat 1 huruf a UU PPh) tunjangan kesehatan yang diberikan
dalam bentuk uang tersebut merupakan penghasilan yang dipajaki (taxable) dan dilain
pihak berdasarkan pasal 6 ayat 1 huruf a biaya tunjangan kesehatan tersebut dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan (deductible).

Solusi yang dianjurkan : untuk menghindarkan koreksi fiskal tersebut, PT. ABx
memberikan tunjangan kesehatan (tunai) sebagai pengganti daripada penyediaan
dokter dan pemberian obat dengan cuma-cuma tersebut, yang akan menambah
penghasilan pegawai yang bersangkutan yang akan dipajaki (taxable) sebesar Rp 360
juta sedangkan dilain pihak bagi jumlah tersebut merupakan biaya yang boleh

Hal. 4 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
dikurangkan (deductible).

Pajak penghasilan yang dapat dihemat akibat dilakukan perubahan tersebut adalah
sebesar : 25 % x Rp 360 juta = Rp. 90 juta.
Sedangkan dampak pajak (PPh Pasal 21) bagi pegawai yang bersangkutan, akibat
penyediaan dokter dan pemberian obat-obatan diganti dengan tunjangan kesehatan
yang merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan, praktis tidak ada beban
tambahan pajak, karena penghasilannya (asumsi masih sebatas UMR) masih dibawah
Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Di satu sisi, ditinjau dari segi komersial, biaya fiskal yang besar tersebut tampaknya
seperti suatu pemborosan/inefisiensi karena adanya kebijakan pemberian tunjangan
kesehatan (tunai), namun harus pula diperhatikan bahwa kebijakan tersebut akan
berdampak pada laba sebelum pajaknya akan menjadi lebih kecil dan selanjutnya
beban PPh Badan yang terutang pun akan menjadi lebih kecil. Namun yang lebih
penting harus diperhatikan bahwa strategi perpajakan bukanlah satu-satunya alat untuk
pengambilan keputusan, jangan sampai strategi perpajakan ini menghambat strategi
komersial lainnya tetapi harus saling sinergis satu sama lainnya untuk mencapai tujuan
perusahaan.

2. Contoh lainnya, bagaimana memaksimalkan biaya yang deductible adalah dengan cara
mengubah biaya yang tadinya adalah non deductible menjadi deductible.

Misalnya dalam tahun 2019, PT. ABC menganggarkan biaya untuk ulang tahun
(anniversary) perusahaan sebesar Rp 500 juta setahun.

- Sebelum tax planning : Sesuai dengan Pasal 13 PP 94/2010, biaya ulang tahun
perusahaan tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai biaya deductible karena bukan
biaya 3M. Dari sudut pandangan perusahaan yang mengeluarkan biaya tersebut,
secara komersial merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
perusahaan, tetapi secara fiskal (pasal 9 ayat 1 huruf e. UU PPh) merupakan biaya
yang tidak boleh dikurangkan (non deductible), sehingga harus dilakukan koreksi fiskal.
Konsekuensinya : Oleh karena biaya tersebut bukan merupakan biaya fiskal yang
boleh dikurangkan, maka akibat koreksi fiskal yang dilakukan oleh Dirjen Pajak,
menimbulkan tambahan pajak (PPh Badan) tahun 2019 sebesar : 25% % x Rp 500

Hal. 5 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
juta = Rp 125 juta.

- Sesudah tax planning : Daripada menghamburkan biaya ulang tahun perusahaan


tersebut untuk hal-hal yang tidak produktif, lebih baik program tersebut dikonversikan
dengan tema yang mengedepankan kegiatan “sales conference” (dengan menyisipkan
acara ulang tahun perusahaan sebagai acara tambahan), maka secara fiskal
berdasarkan pasal 6 ayat 1, biaya sales conference tersebut dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto perusahaan (deductible) dengan mem-posting biaya kegiatan “sales
conference” tersebut sebagai biaya promosi, dan tentu saja pengeluaran biaya tersebut
harus dilengkapi dengan daftar nominatif biaya promosi, serta dokumen-dokumen
biaya yang sah.

Untuk menyakinkan bahwa objek pajak penghasilan pasal 21 telah dipotong pajaknya, berikut
daftar transaksi yang berhubungan dengan prinsip Taxability-Deductibility, yakni mana yang
menjadi objek pajak maupun bukan objek pajak baik bagi karyawan maupun perusahaan.

Tabel III-1
DAFTAR OBYEK DAN TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

NO. OBYEK PAJAK TARIF SIFAT


I. PPh Pasal 21
1. Penghasilan yang Diterima oleh Pegawai Pasal 17 (1) PKP = PB – (BJ +
Tetap a UU PPh IP) – PTKP
2. Uang Pensiun Bulanan yang Diterima Pasal 17 (1) PKP = (PB – BP)
Pensiunan a UU PPh – PTKP
3. Pegawai Tidak Tetap yg Penghasilannya Pasal 17 (1) PKP = (PB
Dibayar secara bulanan atau jumlah a UU PPh Disetahunkan –
kumulatif penghasilan yg diterima dlm PTKP Setahun)
satu bln kalender
telah melebihi Rp.4.500.000

4. Penghasilan yang diterima atau diperoleh


Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja
Lepas berupa upah harian, upah

Hal. 6 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
mingguan, upah satuan, upah borongan,
dan uang saku harian, sepanjang
penghasilan tidak dibayarkan secara
bulanan:
a. Upah/Uang Saku Harian atau Rata2 0% Tidak Terutang
Upah/Uang Saku Tidak < Rp450.000 PPh Pasal 21
dan jumlah kumulatif dlm satu bulan
kalender tidak > Rp.4.500.000
b. Upah/Uang Saku Harian atau Rata2 5% Jumlah
Upah/Uang Saku tidak > Rp450.000, penghasilan bruto
dan jumlah kumulatif dlm satu bulan dikurangi PTKP
yang sebenarnya
kalender tidak > Rp.4.500.000; atau
jumlah penghasilan kumulatif dalam 1
(satu) bulan kalender telah melebihi
Rp4.500.000,00

c. Penghasilan Kumulatif dlm Satu Pasal 17 (1) Tarif Pasal 17 (1)


Bulan Kalender > Rp 10,2 juta a UU PPh a UU PPh atas
jumlah Pengh.
Kena Pajak yang
disetahunkan.
5. Honorarium yang Diterima Dewan Pasal 17 (1) Penghasilan Bruto
Komisaris/ Pengawas yg tidak a UU PPh yang diterima
merangkap sebagai pegawai tetap
6. Jasa Produksi, Tantiem, Gratifikasi, Pasal 17 (1) Penghasilan Bruto
Bonus yang Diterima mantan pegawai a UU PPh yang diterima

7. Penarikan Dana pada Dana Pensiun oleh Pasal 17 (1) Penghasilan Bruto
Pensiunan a UU PPh yang diterima

8. Penerima penghasilan Bukan Pegawai Pasal 17 (1) 50% dari jumlah


yang menerima imbalan yang bersifat a UU PPh penghasilan bruto
berkesinambungan dapat memperoleh untuk setiap

Hal. 7 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
pengurangan berupa PTKP sepanjang pembayaran
ybs telah mempunyai NPWP dan hanya imbalan
memperoleh penghasilan dari hubungan
kerja dengan satu Pemotong PPh Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak
memperoleh penghasilan lainnya.
Bukan Pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pemberian jasa, meliputi:
1. tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas, yang terdiri dari
pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai, dan
aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara,
penyanyi, pelawak, bintang film,
bintang sinetron, bintang iklan,
sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain
drama, penari, pemahat, pelukis, dan
seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih,
penceramah, penyuluh, dan
moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang
termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi,
elektronika, fotografi, ekonomi dan
sosial serta pemberi jasa kepada
suatu kepanitiaan;
7. agen iklan;
8. pengawas atau pengelola proyek;

Hal. 8 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
9. pembawa pesanan atau yang
menemukan langganan atau yang
menjadi perantara;
10. petugas penjaja barang dagangan;
11. petugas dinas luar asuransi; dan/atau
12. distributor perusahaan multilevel
marketing atau direct selling dan
kegiatan sejenis lainnya;

9. Imbalan yg Bersifat Berkesinambungan


yg Diterima oleh Orang Pribadi Dalam
negeri Bukan Pegawai Selain tenaga
Ahli:

a. Bagi yg Telah Memiliki NPWP dan Pasal 17 (1) 50% dari jumlah
Hanya Menerima Penghasilan dari a UU PPh penghasilan bruto
Pemotong Pajak ybs.
b. Bagi yg Tidak Memiliki NPWP atau Pasal 17 (1) 50% dari jumlah
Menerima Penghasilan dari selain a UU PPh penghasilan bruto
Pemotong pajak ybs. x120%

10. Imbalan yg Tidak Bersifat Pasal 17 (1) 50% dari jumlah


Berkesinambungan yg Diterima oleh a UU PPh penghasilan bruto
Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan
Pegawai Selain tenaga Ahli

11. Penghasilan yang Diterima Peserta Pasal 17 (1) Jumlah


Kegiatan a UU PPh penghasilan bruto
untuk setiap kali
pembayaran yang
bersifat utuh
12. Uang Tebusan Pensiun, uang THT/JHT,
Pesangon, Uang THT/JHT, Pesangon
yg diterima pegawai/ mantan :

Hal. 9 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3

a. Rp. 0 juta s.d Rp. 50 juta 0% Penghasilan Bruto Final


b. > Rp. 50 juta s.d Rp. 100 juta 5% Penghasilan Bruto Final
c. > Rp. 100 juta s.d Rp. 500 juta 15% Penghasilan Bruto Final
d. > Rp. 500 juta 25% Penghasilan Bruto Final

13. Honorarium yang Dananya dari 15% Penghasilan Bruto Final


Keuangan Negara/Daerah yang diterima
oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI/Polri, kecuali PNS Gol II/d ke bawah
atau anggota Polri dengan pangkat
Pembantu Letnan Satu atau Ajun
Inspektur Tingkat Satu ke bawah

14. Penghasilan dari Pekerjaan, Jasa, dan Pasal 17 (1) PKP = (PB – (BJ +
Kegiatan yang Diterima oleh Tenaga a UU PPh IP) – PTKP
Asing (expatriate) yang telah berstatus
sebagai WPDN

Sumber : PER-Dirjen Pajak Nomor: 16/PJ/2016

Berasarkan Tabel diatas, maka Prinsip Taxability-Deductibility tersebut dapat dituangkan dalam
daftar untuk beberapa transaksi yang menjadi Objek PPh Pasal 21 dan perlakuan pajaknya
seperti terlihat dalam Tabel berikut ini :

Tabel III-3
Prinsip Taxability-Deductibility

No Objek PPh Pasal 21 Pemberi Pegawai Keterangan


Kerja (Taxable/Non
(PPh Taxable) *)
Badan)
1 Gaji, Lembur, Bonus, Intensif Deductible Taxable
2 Honorarium,Upah,Uang saku Deductible Taxable

Hal. 10 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
dan sejenisnya
3 Tunjangan yang diberikan Deductible Taxable
dalam bentuk uang
4 Honorarium yang Diterima Deductible Taxable
Dewan Komisaris/ Pengawas
yg tidak merangkap sebagai
pegawai tetap
5 Pesangon Deductible Taxable Dipotong PPh Final
6 Premi Jamsostek JKK/JKM, Deductible Taxable Bila tdk dimasukan sbg
Asuransi Kesehatan, penghasilan karyawan
kecelakaan, kematian, maka merupakan Non
beasiswa dan asuransi deductible
dwiguna yang ditanggung
pemberi kerja
7 Pemberian Non Non Taxable Kecuali yang diatur
Natura/Kenikmatan Deductible khusus, mis : kenikmatan
didaerah terpencil adalah
Biaya deductible
8 PPh Pasal 21 ditanggung Non Non Taxable Kenikmatan yang
Perusahaan Deductible diterima oleh pegawai
9 PPh Pasal 21 di Gross-Up Deductible Taxable
oleh Perusahaan
10 Iuran dana pensiun yang di Deductible Non Taxable Dana Pensiun telah
tanggung Perusahaan disahkan oleh Menteri
Keuangan
11 JHT yang ditanggung Deductible Non Taxable Taxable pada saat JHT
perusahaan (3,7%) diterima pegawai ybs.
12 Pengobatan Cuma-Cuma Non Non Taxable
(Langsung ke Rumah sakit) Deductible
13 Penggantian Pengobatan Deductible Taxable Bila dimasukan sebagai
penghasilan karyawan
14 Tunjangan Pengobatan Deductible Taxable Bila dimasukan sebagai
penghasilan karyawan
15 Pemberian Natura/ Deductible Non Taxable KEP.51/PJ/2009,

Hal. 11 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
kenikmatan didaerah Fasilitas Pajak di Daerah
terpencil Tertentu
16 Pemberian Makanan dan Deductible Non Taxable KEP.51/PJ/2009,
Minuman kepada seluruh Fasilitas Pajak di Daerah
karyawan ditempat kerja. Tertentu
17 Biaya Antar jemput karyawan Deductible Non Taxable KEP.51/PJ/2009,
Fasilitas Pajak di Daerah
Tertentu
18 Biaya Perjalanan dinas Deductible Taxable Hanya atas uang saku,
bila diberikan dalam
lump sum, maka
seluruhnya menjadi
objek PPh Pasal 21
19 Imbalan jasa profesional dan Deductible Taxable Jika pemberi jasa adalah
jasa lainnya WP badan maka objek
PPh psl 23
20 Tantiem Non Taxable SE-06/PJ.44/1999
Deductible
21 Bonus, Gratifikasi, Jasa Non Taxable SE-06/PJ.44/1999
Produksi yang dibebankan Deductible
ke laba ditahan
22 Pemberian natura dan Non Taxable Psl 13 UU PPh No.
kenikmatan yang diberikan Deductible 36/2008
oleh WP yang dikenai PPh
Final atau WP yang
menghitung pajaknya
berdasarkan Norma
Penghitungan khusus
(Deemed profit dan/atau
deemed tax)
23 Kendaraan dinas yang Deductible Non Taxable KEP-220/PJ/2002
digunakan untuk pegawai (50%)
tertentu karena pekerjan atau
jabatannya

Hal. 12 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
24 Akun piutang atau biaya Deductible Taxable
yang dibayar dimuka yang (bertahap)
berkaitan dengan Objek PPh
21
*) Taxable = Objek Pemotongan PPh Ps.21;
Non Taxable = Bukan Objek Pemotongan PPh Ps.21

Terapan Tax Planning Terkait Dengan PPh Pasal 21

1. Klausul Pajak di Dalam Perjanjian/Kontrak Kerja

Dalam beberapa kasus praktis tidak jarang terjadi timbul konflik dalam bisnis, dimana kewajiban
pemotongan PPh Pasal 21/Pasal 26 yang mestinya dipotong dari penghasilan orang pribadi
penerima penghasilan, sewaktu dilaksanakan pemotongannya pihak yang dipotong pajak tidak
bisa menerimanya sehingga berujung pada terjadinya dispute.

Secara normatif Undang-Undang perpajakan telah mewajibkan perusahaan pemilik proyek/


pemberi kerja melaksanakan pemungutan/pemotongan PPh Pasal 21 dari pihak ketiga,
sedangkan pihak pemberi jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong pajaknya dengan alasan pada
saat Perjanjian/Kontrak Kerja disepakati, masalah pajak tidak dibahas sehingga mereka
bersikukuh bahwa harga kontrak yang disepakati sudah tidak dipotong pajak lagi (Net)! Secara
hukum, alasan pihak kontraktor tersebut diatas memiliki justifikasi hukum yang kuat, sehingga bila
pada akhirnya pemilik proyek/pemberi kerja terpaksa mengalah dan harus menanggung pajaknya,
tentu merupakan tambahan beban yang seharusnya tidak perlu terjadi. Tambahan beban bagi
pemilik proyek/pemberi kerja tesebut adalah merupakan suatu jumlah yang signifikan yang
nantinya akan mengerus profit perusahaan.

Terkait dengan masalah perpajakan tersebut sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan,
antara lain meliputi:
· Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris, yang dikenakan tarif 50% (lima puluh persen)
dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas, sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong sebesar 50% x Nilai Proyek x Tarif PPh Ps. 17
ayat 1 huruf a.

Hal. 13 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
· Sehubungan dengan pemberian jasa selain pegawai, selain tenaga ahli, yang dalam
pemberian jasanya mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya dan/atau melakukan
penyerahan material/bahan, dengan pengenaan tarif sebesar Tarif PPh Ps. 17 ayat 1 huruf a
dari Nilai Proyek.

Fenomena tersebut sering terjadi dalam pembuatan Perjanjian/Kontrak Kerja yang tidak
mengindahkan aspek perpajakannya. Oleh sebab itu, sebelum Perjanjian/Kontrak Kerja
ditandatangani harus dipastikan :
· Pemuatan klausul pajak dalam Perjanjian/Kontrak Kerja, yang mensyaratkan pajak terutang
harus dihitung berdasarkan nilai kontrak (diluar harga pokok barang), yakni dikenakan dari nilai
bruto kontrak, dan untuk PPh Pasal 21/Pasal 26, Pemberi Kerja wajib memotong dari
pembayarannya.
· Klausul pajak secara eksplisit menyatakan siapa yang harus menanggung PPh Pasal 21/Pasal
26, sehingga pajak yang terutang dan pemotongannya didasarkan pada klausul tersebut.

Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 21, dan transaksi ini ditemukan
oleh fiskus pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, maka perusahaan pemilik proyek akan
dikenakan kewajiban untuk membayar PPh Pasal 21 yang terutang ditambah denda
keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.

Dari kasus ini jelas bahwa Tax Planning memerlukan dukungan dari beberapa divisi dalam
perusahaan pemilik proyek/pemberi kerja, antara lain divisi pengadaan/ logistik, divisi SDM, dan
divisi hukum. Untuk menghindari timbulnya kerugian di kemudian hari di luar anggaran yang
direncanakan, maka semua divisi yang terkait sudah harus mempertimbangkan aspek perpajakan
atas klausul Perjanjian/Kontrak Kerja yang hendak dibuat seperti beban pajak yang terutang dan
siapa yang akan menanggung pajaknya.

2. Pajak Ditanggung Pemberi Kerja atau Tunjangan Pajak Secara Gross-up?

Seringkali di dalam kontrak kerja ditemukan klausul yang menyatakan, bahwa nilai kontrak sudah
“net”, tidak termasuk pajak, atau “pajak ditanggung perusahaan/pemberi kerja.” Istilah tersebut
sebaiknya digunakan secara hati-hati, karena akan berdampak pada pemotongan pajak dan
pembebanan biaya di PPh Badan.

Hal. 14 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
· Tidak termasuk pajak, artinya pajak akan menjadi beban pemberi kerja, atau ditanggung
oleh perusahaan/pemberi kerja. Hal ini akan mengakibatkan PPh yang ditanggung oleh
perusahaan/pemberi kerja tidak dapat dibiayakan di SPT PPh Badan (non-deductible
expenses).

· Apabila ingin agar PPh yang ditanggung oleh pemberi kerja dapat dibiayakan, maka
penghitungan PPh harus menggunakan metode gross-up dari PPh hasil penghitungan gross-
up tersebut dimasukkan ke dalam nilai kontrak (termasuk invoice dan Faktur Pajak) atau
menambah penghasilan dari pihak yang memperoleh penghasilan. Dengan kata lain diberikan
“tunjangan pajak sebesar PPh yang terutang.”

Kita lihat ilustrasi honorarium pemberian jasa oleh orang pribadi berikut ini :

Net (Tidak Gross-up) Gross-up


Nilai Pekerjaan 10.000.000,- Nilai Pekerjaan 10.000.000,-
PPh 5% 500.000,- PPh 5% 526.316,-
Nilai Kontrak (net) 10.000.000,- Nilai Kontrak 10.526.316,-

Catatan :

1) Tarif honorarium untuk pemberian jasa oleh orang pribadi adalah Tarif Pasal 17 dari nilai bruto
dan PPh yang ditanggung pemberi kerja sebesar Rp 500.000,- tanpa gross-up dan tidak
mengubah nilai kontrak, maka sejumlah PPh tersebut tidak dapat dibiayakan.

2) PPh dihitung dengan metode gross-up dan menambah nilai kontrak. 5% x Rp 10.000.000,- x
100/(100 - 5) = Rp 526.316,-

PPh sejumlah tersebut menjadi unsur biaya yang bersifat deductible expenses, karena bagi si
penerima menjadi unsur penghasilan.
Mana yang lebih menguntungkan bagi perusahaan? Harus dipertimbangkan lebih jauh lagi.

Secara sederhana dapat diilustrasikan :

· Jika secara fiskal perusahaan masih merugi, gross-up justru akan menambah beban PPh
Pasal 21 tanpa mempengaruhi PPh Badan terutang, pengaruhnya pada kompensasi

Hal. 15 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
kerugian. Dari cash-flow timbul pengeluaran yang justru lebih besar, dan jika
mempertimbangkan time value of money mungkin saja manajemen memilih tidak perlu
melakukan gross-up.

· Sebaliknya jika perusahaan mendapat laba fiskal dan sudah dikenai PPh tarif tertinggi,
metode gross-up dapat menghasilkan penghematan dari selisih tarif antara PPh Badan
dengan tarif PPh Pasal 21 yang dikenakan.

Kasus ini juga dapat digunakan untuk mempertimbangkan, apakah perusahaan akan
menanggung PPh atas penghasilan karyawan atau akan diberikan tunjangan PPh dengan
metode gross-up.

3. Pemberian Uang Saku Secara Lump-Sum Atau Reimbursement

Masalah prosedur pembayaran uang saku dalam perjalanan dinas, pendidikan, ataupun jenis
pengeluaran perusahaan lainnya juga seringkali menimbulkan aspek pajak berbeda.

· Pembayaran secara lump-sum akan mengakibatkan PPh Pasal 21 dihitung dari


seluruh nilai yang dibayarkan, meskipun di dalamnya mungkin terdapat biaya lainnya, misal:
transportasi, akomodasi dan sebagainya.

Pengertian lump-sum di sini, perusahaan memberikan sekaligus dalam jumlah tertentu, yang
meliputi uang saku, transport, akomodasi, atau unsur biaya lainnya, tanpa disertai dengan
pertanggungjawahan dan bukti atas penggunaannya.

· Sedangkan dalam prosedur reimbursement, pembayaran disertai dengan kewajiban untuk


mempertanggungjawabkan penggunaan dana dengan meminta bukti pengeluaran. Apabila
terjadi kelebihan, harus dikembalikan ke perusahaan, apabila terjadi kekurangan dapat
dimintakan kembali (reimbursement). PPh Pasal 21 hanya akan dihitung dari uang saku atau
tunjangan berupa uang lainnya yang benar-benar diterima/diperoleh karyawan.

4. Pemberian Tunjangan Makan atau Disiapkan Makan Bersama?

Sejak berlakunya UU PPh Tahun 2000, makanan dan minuman bagi karyawan sudah boleh
dibiayakan di PPh Badan (deductible expenses). Mungkin perlu dikaji, apakah perusahaan masih

Hal. 16 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
hendak memberikan tunjangan makan atau hendak disiapkan makan bersama sebagai pengganti
tunjangan makan?

Dari sisi PPh Badan, dengan asumsi jumlah beban yang sama, keduanya tidak menimbulkan
pengaruh apapun karena sama-sama bisa dibiayakan (lihat Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh
2008), tetapi pemberian tunjangan makan akan mengakibatkan bertambahnya PPh Pasal 21.

Apabila hanya dipandang dari sisi fiskal, tentu lebih menguntungkan jika disiapkan makan
bersama untuk seluruh karyawan. Tetapi apabila dalam praktiknya menggunakan jasa catering,
harus diingat timbulnya kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari penghasilan
bruto!

Tentunya harus dikaji keseluruhan aspek terhadap perusahaan. Misalnya dari sudut psikologi
karyawan, apakah menimbulkan gejolak atau tidak? Menguntungkan atau merugikan, tentu harus
dilihat dari keseimbangan keseluruhan sistem yang ada.

5. Pemberian Tunjangan Kesehatan atau Diberikan Fasilitas Pengobatan?

Untuk biaya kesehatan perusahaan memiliki pilihan dengan memberikan tunjangan


kesehatan/mediral atau menyediakan fasilitas pengobatan bagi karyawan atau menggunakan
metode reimbursement biaya pengobatan.

· Bila perusahaan memilih memberikan tunjangan kesehatan, maka perlakuan pajaknya bersifat
taxable-deductible. Artinya, tunjangan kesehatan merupakan obyek PPh Pasal 21 bagi
karyawan (penghasilan) dan merupakan biaya bagi perusahaan.
· Bila perusahaan menyediakan fasilitas pengobatan bagi karyawan, maka perlakuan pajaknya
bersifat non taxable – non deductible. Artinya hal itu bukan penghasilan bagi karyawan dan
bukan biaya bagi perusahaan.

· Bila perusahaan menggunakan metode reimbursement dalam memberikan biaya pengobatan


maka perlakuan pajaknya;

§ bersifat non taxable – non deductible, bila persyaratan reimbursement dapat dipenuhi
yaitu tidak boleh ada mark up, bukti asli diserahkan ke perusahaan, bukti dibuat atas nama

Hal. 17 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
perusahaan atau atas nama karyawan qq perusahaan, dan diatur dalam kontrak kerja
antara perusahaan dengan karyawan.

§ bersifat taxable – deductible, bila persyaratan reimbursement di atas tidak dapat


dipenuhi. Dalam hal ini esensinya adalah bahwa karyawan menerima uang dari
perusahaan yang kemudian digunakan untuk membayar biaya pengobatan oleh karyawan.

Beberapa transaksi lainnya dalam hubungannya dengan kompensasi bagi karyawan akan
dibahas juga di dalam perencanaan pajak yang berkaitan dengan PPh Badan.

6. Meminimalkan Tarif Pajak (PPh Pasal 21)

Penerapan Tax Planning Dalam PPh Pasal 21, antara lain :

1. Pada perusahaan yang PPh badannya tidak dikenakan pajak bersifat final, diupayakan
seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan
kenikmatan (benefit in kinds) karena pengeluaran benefit in kind tersebut untuk tujuan
fiskal tidak dapat dibebankan sebagai biaya bagi perusahaan. Sebagai gantinya untuk
kesejahteraan pegawai diberikan dalam bentuk tunjangan, sehingga bisa dibiayakan
(mengurangi profit).

2. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak bersifat final, memberikan
tunjangan kepada karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan merupakan salah satu
pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum PPh Ps. 21. Pilihan pemberian dalam
bentuk kenikmatan/natura atau dalam bentuk tunjangan tidak mempengaruhi PPh Badan
karena pendapatan perusahaan sudah dikenakan PPh Final. Tetapi untuk tujuan
komersial, baik pemberian dalam natura/kenikmatan atau dalam bentu tunjangan tetap
bisa menjadi pengurang penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan netto.

3. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak bersifat final, contohnya
perusahaan jasa konstruksi, maka efisiensi PPh Pasal 21 karyawan dapat dilakukan
dengan cara memberikan semaksimal mungkin tunjangan karyawan dalam bentuk
natura/kenikmatan yang bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21, sebagai salah satu
pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum PPh Pasal 21, sedangkan pengeluaran
untuk pemberian natura dan kenikmatan tersebut tidak mempengaruhi besarnya PPh

Hal. 18 dari 19
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
3
badan. Contohnya pemberian penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai
(Pasal 9 ayat 1e UU PPh) dan penyediaan bus antar jemput pegawai (Per-51/PJ/2009),
kedua macam biaya tersebut dapat dibiayakan tetapi tidak menambah beban PPh Pasal
21 karena tidak diperlakukan menambah pendapatan dalam perhitungan PPh Pasal 21
karyawan.

BAHAN REVIEW
Mahasiswa diharapkan melakukan review terkait modul chapter diatas!

Hal. 19 dari 19

Anda mungkin juga menyukai