Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bab ini dibahas secara berturut-turut tentang : (a) latar belakang

masalah, (b) rumusan masalah, (c) tujuan penelitian, (d) hipotesis penelitian, (e)

kegunaan penelitian, (f) ruang lingkup dan pembatasan penelitian, (g) asumsi

penelitian, (h) definisi operasional.

1.1 Latar Belakang Masalah

Usaha meningkatkan mutu pendidikan di tanah air ini merupakan tugas

yang tidak mudah karena dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : kualitas

tenaga pengajar, sistem penyampaian intruksional, perpustakaan yang memadai,

sarana penunjang pembelajaran, rasio guru murid yang sesuai dengan batas toleransi,

dan tersedianya pendukung dana.

Dari berbagai faktor yang diungkap tersebut, menurut Mantja (1993)

yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan ditinjau dari aspek manajemen

pendidikan dapat dikelompokkan ke dalam tiga faktor, yaitu : (a) faktor instrumental

sistem pendidikan, (b) faktor sistem manajemen pendidikan, termasuk di dalamnya

sistem pembinaan profesional guru, dan (c) faktor substansi manajemen Program

Pasca Sarjana pendidikan.

1
2

Tanpa mengabaikan peranan faktor penting lainnya, mutu profesional

guru telah ditemukan oleh berbagai studi sebagai faktor yang paling konsisten dan

kuat dalam mempengaruhi mutu pendidikan (Depdikbud, 1996). Hal ini dikarenakan

profesionalisasi guru adalah upaya seorang guru untuk mentarsformasikan

kemampuan profesional yang dimilikinya ke dalam proses belajar mengajar.

Guna merealisasi program tersebut Direktorat Pendidikan Dasar

Depdikbud (1993) telah menerangkan programnya antara lain : (1) peningkatan

kualitas guru melalui sistem pembinaan profesional guru, (2) peningkatan manajemen

Madrasah dan manajemen kelas, (3) peningkatan sistem evaluasi, (4) peningkatan

pelaksanaan kurikulum muatan lokal, dan (5) penuntasan wajib belajar 9 tahun.

Peningkatan kualitas guru melalui sistem pembinaan profesional

dimaksudkan untuk : (1) meningkatkan secara optimal kemampuan guru mengelola

kegiatan belajar mengajar, (2) meningkatkan kemampuan kepala Madrasah,

pengawas Madrasah serta para pembina lainnya untuk membantu guru dalam

mengelola dan melaksanakan pengajaran (Depdikbud, 1993).

Dari ketentuan di atas jelas bahwa pembinaan profesional tersebut tidak

hanya diajukan kepada guru, tetapi juga kepala Madrasah, penilik/pengawas

Madrasah dan pembina lainnya (pimpinan Yayasan, Kepala Kantor Depdiknas

Kecamatan, Kepala Seksi Pendidikan Dasar Depdiknas Kabupaten, Kepala Bidang

Pendidikan, Kepala Kantor Wilayah Depdiknas Propinsi), dan pada akhir sasaran

utamapembinaan adalah guru.


3

Pembinaan profesional bagi Kepala Madrasah dimaksudkan agar

masing-masing Kepala Madrasah dapat menjadi profesional dalam manajemen

Madrasah serta mampu membantu guru dalam memperbaiki proses belajar mengajar

dan mengelola kelas. Sedangkan pembinaan profesional bagi Pengawas Madrasah

dimaksudkan agar para pengawas mampu membantu, memperbaiki proses belajar

mengajar sekaligus mampu membantu Kepala Madrasah yang menjumpai kesulitan

dalam mengelola Madrasahnya sesuai dengan daerah yang dibinaannya.

Beberapa cara pembinaan profesionalisme guru yang dapat digunakan

oleh Kepala Madrasah (supervisor) untuk meningkatkan kinerja mengajar guru antara

lain : (1) rapat dewan guru, (2) penataran, (3) pertemuan pribadi, (4) pemanfatan guru

model, (5) kunjungan kelas, (6) pertemuan dalam kelompok kerja, (7) penerbitan

buletin profesional dan sebagainya (Depdikbud, 1995).

Teknik mana yang paling tepat dan paling baik dari beberapa cara

pembinaan tersebut, sangat tergantung pada situasi dan kondisi pada masing-masing

guru. Oleh sebab itu, setiap pembinaan harus selalu siap berupaya untuk dapat

meningkatkan kemampuan profesionalisme guru, sehingga benar-benar mampu

melaksanakan tugas sebagai pendidik (mengembangkan kepribadian siswa), dan

sebagai pelatih (mengembangkan keterampilan siswa).

Untuk melaksanakan tugas utama tersebut, seorang minimal harus

memiliki kemampuan dasar, yaitu : (a) menguasai kurikulum, (b) menguasai materi

setiap mata pelajaran, (c) menguasai metode dan teknik, (d) komit terhadap tugasnya,

(e) berdisiplin (Depdikbud, 1993). Penjelasan tentang kemampuan dasar itu adalah :
4

Pertama, guru harus menguasai kurikulum dan mampu menjabarkan menjadi

program-program pendidikan yang lebih operasional dalam bentuk rencana tahunan,

rencana catur wulan, rencana mingguan, sampai pada rencana harian yang

disampaikan di muka kelas. Kedua, setiap guru profesional harus menguasai mata

pelajaran yang diajarkannya dan harus yakin benar bahwa apa yang akan disampaikan

benar-benar telah dikuasai dan dihayati secara mendalam. Ketiga, guru harus

menguasai bagaimana cara menyampaikan setiap materi pelajaran pada siswa, karena

guru harus menguasai metode mengajar. Dengan menguasai banyak metode

diharapkan guru mampu menciptakan suasana belajar yang efektif. Keempat, tingkat

profesionalisme guru juga oleh komitmen terhadap tugasnya. Tugas guru akan

berjalan sukses manakala didukung oleh perasaan bangga terhadap tugasnya. Kelima,

komitmen guru terhadap tugasnya akan berdampak pada perilaku yang disiplin dalam

menjalankan tugas dan kewajibannya. Hal yang demikian akan bermuara pada

penanaman nilai dan sikap disiplin pada anak didiknya. Penanaman disiplin yang baik

dan kuat dalam proses pendidikan akan menghasilkan sikap mental, watak dan

kepribadian yang kuat pula pada siswa.

Hal di atas diperkuat juga dalam beberapa hasil penelitian tentang upaya

profesional guru ditunjukkan oleh penguasaan keahlian mengajar baik keajlian

menguasai materi pelajaran, penggunaan bahan pengajaran, pengelolaan kegiatan

belajar siswa, maupun untuk selalu memperkaya serta meremajakan kemampuannya

dalam mengembangkan program pembelajaran (Dipdikbud, 1996).


5

Dikembangkan P3G dan Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, ada sepuluh

macam antara lain : (1) mengembangkan kepribadian, (2) menguasai landasan

kependidikan, (3) menguasai bahan pengajaran, (4) menyusun program pengajaran,

(5) melaksanakan program pengajaran, (6) menilai hasil dan proses belajar mengajar,

(7) menyelenggarakan program bimbingan, (8) menyelenggarakan administrasi

Madrasah, (9) berinteraksi dengan teman-teman sejawat, dan (10) melakukan

penelitian sederhana untuk keperluan mengajar (Usman, 1992).

Tanpa mengabikan peranan kompetensi penting lainnya, ada tiga hal

yang perlu diperhatkan dalam hubungan supervisi pengajaran terhadap kinerja

mengajar guru. Supervisi pengajaran yang menjadi perhatian dalam penelitian ini

antara lain : (1) menyusun program pembelajaran, (2) pelaksanan pembelajaran, dan

(3) evaluasi pembelajaran.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini dilakukan

untuk memperoleh gambaran seberapa besar hubungan supervisi pengajaran yang

dilakukan oleh Kepala Madrasah terhadap peningkatan kinerja mengajar para guru

MI se Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo. Alasan dilakukan penelitian MI se

Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo adalah karena MI sering mendapat sorotan

atas kualitas lulusannya. Di ketahui bahwa untuk mengetahui hasil pendidikan dengan

kualitas yang memuaskan harus ditunjang beberapa faktor, antara lain tenaga

pendidik.
6

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimanakah gambaran tentang tingkat pelaksanaan supervisi program

pembelajaran, pelaksanaan supervisi kegiatan pembelajaran, pelaksanaan

supervisi penilaian pembelajaran oleh Kepala Madrasah dan Kinerja Mengajar

Guru MI se Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo ?

2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat pelaksanaan supervisi

program pembelajaran oleh Kepala Madrasah dan Kinerja Mengajar Guru MI se

Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo ?

3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat pelaksanaan supervisi

kegiatan pembelajaran oleh Kepala Madrasah dan Kinerja Mengajar Guru MI se

Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo ?

4. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat pelaksanaan supervisi

penilaian pembelajaran oleh Kepala Madrasah dan Kinerja Mengajar Guru MI se

Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo ?

5. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan bersama antara tingkat pelaksanaan

supervisi program pembelajaran, supervisi pelaksanaan pembelajaran, dan

supervisi penilaian pembelajaran oleh Kepala Madrasah dan peningkatan kinerja

mengajar guru MI se Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo ?

6. Seberapa besar sumbangan relatif dan sumbangan efektif antara tingkat

pelaksanaan supervisi program pembelajaran, supervisi pelaksanaan kegiatan

pembelajaran, supervisi penilaian pembelajaran oleh Kepala Madrasah dan


7

peningkatan kinerja mengajar guru MI se Kecamatan Wonoasih Kota

Probolinggo ?

7. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengalaman Kepala

Madrasah dengan peningkatan kinerja mengajar guru MI se Kecamatan

Wonoasih Kota Probolinggo ?

1.3 Tujuan Penelitian

2 Untuk menggambarkan tingkat pelaksanaan supervisi program pembelajaran,

pelaksanaan supervisi kegiatan pembelajaran, pelaksanaan supervisi penilaian

pembelajaran oleh Kepala Madrasah dan Kinerja Mengajar Guru MI se

Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo.

3 Untuk mengetahui pengaruh yang signifikan antara tingkat pelaksaan supervisi

program pembelajaran oleh Kepala Madrasah dan Peningkatan Kinerja Mengajar

Guru MI se Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo,

4 Untuk mengetahui pengaruh yang signifikan antara tingkat pelaksaan supervisi

kegiatan pembelajaran oleh Kepala Madrasah dan Peningkatan Kinerja Mengajar

Guru MI se Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo,

5 Untuk mengetahui pengaruh yang signifikan antara tingkat pelaksaan supervisi

penilaian pembelajaran oleh Kepala Madrasah dan Peningkatan Kinerja Mengajar

Guru MI se Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo,

6 Untuk mengetahui pengaruh bersama antara tingkat pelaksaan supervisi program

pembelajaran, pelaksaan supervisi kegiatan pembelajaran, pelaksaan supervisi


8

penilaian pembelajaran oleh Kepala Madrasah dengan Peningkatan Kinerja

Mengajar Guru MI se Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo,

7 Untuk mengetahui sumbangan relatif dan sumbangan efektif antara tingkat

pelaksanaan supervisi program pembelajaran, pelaksanaan supervisi kegiatan

pembelajaran, dan supervisi penilaian pembelajaran oleh Kepala Madrasah

dengan Peningkatan Kinerja Mengajar Guru MI se Kecamatan Wonoasih Kota

Probolinggo.

8 Untuk mengetahui hubungan antara tingkat Pengalaman Kepala Madrasah dengan

Peningkatan Kinerja Mengajar Guru MI se Kecamatan Wonoasih Kota

Probolinggo,

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan antara

lain :

1 Temuan penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi para pengambil

kebijaksanaan dalam menetapkan dan mengembangkan sistem pembinaan yang

mengacu pada pendekatan supervisi yang lebih sesuai dengan kebutuhan personal

dan profesionalisme guru.

2 Temuan penelitian dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain yang menaruh

minat terhadap pengembangan teori supervisi pengajaran yang dilakukan oleh

para supervisor (Kepala Madrasah dan Pengawas Madrasah), dalam meneliti

variabel-variabel yang berp


9

3 pengaruh terhadap peningkatan kinerja mengajar para guru, namun belum

terjangkau dalam penelitian ini.

4 Temuan penelitian ini dapat dijadikan informasi dan referensi relevan di bidang

kajian teori manajemen pendidikan yang bertalian dengan konsep supervisi dan

kinerja mengajar guru.

5 Temuan penelitian ini dapat dijadikan sebagai umpan balik bagi aparat pendidik

yang terlibat langsung dalam prose supervisi untuk bahan evaluasi terhadap

program supervisi pengajaran yang dilakukan.

1.5 Ruang Lingkup dan Pembatasan Penelitian

Sistem pembinaan profesional guru di Indonesia merupakan salah

satunya masuk padaaspek manajemen pendidikan. Sistem pembinaan profesional

guru ini dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan mengefektifkan

peranan para pejabat struktural terkait dalam hal ini Kepala Madrasah.

Ruang lingkup penelitian ini untuk melihat sejauh mana hubungan

layanan supervisi yang dilakukan oleh Kepala Madrasah dalam memberikan layanan

supervisi. Layanan ini dilakukan terhadap guru dalam membentuk perbaikan dan

peningkatan kinerja mengajar guru, berupa pelaksanaan supervisi program

pembelajaran, pelaksanaan supervisi kegiatan pembelajaran, pelaksanaan supervisi

penilaian pembelajaran. Ketiga aspek pelayanan tersebut merupakan teknik dari ilmu

administrasi pendidikan yang diyakini sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja

mengajar para guru MI se Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo.


10

Sedangkan pembatasan pada penelitian ini antara lain :

1.6 Aspek supervisi pengajaran sebagai variabel bebas yang dilihat pada penelitian ini

dibatasi hanya pada aspek pelaksanaan penyusunan program pembelajaran,

pelaksanaan kegiatan pembelajaran, dan pelaksanaan penilaian pembelajaran,

menurut persepsi guru.

1.7 Sampel yang digunakan pada penelitian ini dibatasi hanya kepada guru MI se

Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo.

1.8 Keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya maka penelitian ini didasarkan atas data

pada Semester I Tahun Ajaran 2005-2006.

1.9 Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data digunakan kuesioner, dengan

teknik angket instrumen kuesioner tertutup. Instrumen ini sangat menuntut

kejujuran dan kesungguhan responden dalam menjawabnya.

1.6 Asumsi Penelitian

Penelitian ini bertolak dari asumsi bahwa :

1 Kepala Madrasah sebagai supervisor telah melakukan supervisi pengajaran

terhadap para guru di Madrasahnya.

2 Kepala Madrasah dan Pengawas Madrasah dalam melaksanakan pelayanan

supervisi telah dibekali dengan pengalaman mengajar, pengetahuan praktis

tentang supervisi pengajaran melalui penataran serta buku-buku sebagai pedoman

praktis tentang pelaksanaan supervisi. Oleh karena itu diharapkan dapat


11

meningkatkan kemampuan dan keterampilan mereka saat melakukan supervisi

pengajaran sehingga diperoleh hasil yang optimal.

3 Setiap guru MI se Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo sudah pernah

disupervisi oleh Kepala Madrasahnya.

1.7 Definisi Operasional

Agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap istilah-

istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu diberikan definisi operasional

untuk beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Istilah tersebut antara

lain sebagai berikut :

a. Supervisi Pengajaran

Adalah semua usaha yang sifatnya membantu guru atau emlayani guru agar ia

dapat memperbaiki, mengembangkan, dan bahkan meningkatkan pengajarannya,

serta dapat pula menyediakan kondisi belajar murid yang efektif dan efesien demi

tercapainya tujuan penjaran (Mantja, 1998).

b. Peningkatan Kinerja Mengajar

Kinerja adalah sesuatu yang dicapai, kemampuan kerja, atau prestasi yang

diperlihatkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996).

Sedangkan peningkatan Kinerja Mengajar adalah upaya menjadikan lebih baik,

lebih efektif penampilan dalam mengajar, yang meliputi : pelaksanaan menyusun

program pembelajaran, pelaksanaan kegiatan pembelajaran, dan pelaksanaan

penilaian pembelajaran.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini disajikan uraian tentang : (a) pelaksanaan supervisi

pengajaran, (b) supervisi sebagai pembinaan profesionalisme guru dalam mengajar,

(c) tugas kepala Madrasah sebagai supervisor pengajaran, (d) persepsi, respon dan

sikap terhadap supervisi, (e) kinerja mengajar guru, dan (f) hubungan pelaksanaan

supervisi pengajaran dengan peningkatan kinerja mengajar guru.

2.1 Pelaksanaan Supervisi Pengajaran

Pembinaan profesional guru di Indonesia, pada jenjang Madrasah dasar

sampai dengan Madrasah menengah mulai dilaksanakan berdasarkan Pedoman

Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Pedoman ini merupakan salah satu pedoman

khusus yang dimaksudkan untuk menunjang kurikulum. Dengan pemberlakuan

kurikulum tersebut sekaligus pula dapat dianggap titik tolak dimulainya pembinaan

profesional guru atau disebut dengan supervisi pengajaran di dunia perMadrasahan di

Indonesia.

Dalam pembahasan tentang pelaksanaan supervisi pengajaran akan

diuraikan menjadi tiga bagian, yakni antara lain : (1) Pengertian supervisi pengajaran,

(2) Tujuan supervisi pengajaran, (3) Fungsi supervisi pengajaran, dan (4) Pendekatan

12
13

supervisi.

2.2 Pengertian Supervisi Pengajaran

Untuk dapat memahami pelaksanaan dari supervisi pengajaran di

Madrasah terutama dalam rangka meningkatkan kemampuan mengajar guru-guru

perlu dipahami terlebih dahulu pengertian supervisi pengajaran tersebut. Boadman,

Charles W, dan Harl. Rejing Wonoasih Kota Probolinggo (dalam Mantja, 1998)

menguraikan supervisi pengajaran sebagai usaha untuk mendorong,

mengkoordinasikan dan menuntun pertumbuhan guru-guru secara berkesinambungan

di suatu Madrasah, baik secara individu maupun kelompok, di dalam pengertian yang

lebih baik dan tindakan yang lebih efektif sehingga para guru dapat lebih mampu

untuk mendorong dan menuntun perkembangan setiap siswa secara

berkesinambungan menuju partisipasi yang paling cerdas dan kaya dalam kehidupan

dalam masyarakat demokratis modern.

Neageley dan Evans (1980) mengemukakan bahwa setiap layanan

kepada guru-guru menghasilkan perbaikan instruksional belajar dan kurikulum yang

disebut dengan supervisi. Sedang Mark (1974) menguraikan nilai supervisi ini

terletak pada perkembangan dan perbaikan situasi belajar mengajar yang

direfleksikan pada perkembangan siswa.

Supervisi menurut Biro Perencanaan Sekretariat Depdikbud (1988)

adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara langsung dilokasi tempat suatu kegiatan

pelaksanaan program atau rencana yang sedang berlangsung, supervisi lebih bersifat
14

bimbingan dan pemberitahuan secara profesional dari pada berupa pembekalan staf

atau bawahan dengan berbagai penegtahuan teoritis.

Dari beberapa definisi supervisi pengajaran tersebut, secara implisit

sebenarnya dapat diketahui bahwa atasan mempunyai wewenang memberi

pengarahan dan bimbingan kepada guru-guru tidak terbatas pada kegiatan

administrasi saja tetapi pada proses pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Atasan

yang dimaksud disini menurut Pidarta (1986) adalah kepala Madrasah dan wakil

kepala Madrasah.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat difornulasikan

bahwa supervisi pengajaran usaha yang sifatnya membantu guru atau melayani guru

agar ia dapat memperbaiki, mengembangkan, dan bahkan meningkatkan

pengajarannya, serta dapat pula menyediakan kondisi belajar siswa yang efektif dan

efesien demi pertumbuhan jabatannya untuk mencapai tujuan pendidikan dan

meningkatkan mutu pendidikan.

2.3 Tujuan Supervisi Pengajaran

Supervisi pengajaran merupakan bagian yang integral dengan sistem

pendidikan nasional. Oleh karena itu dalam membahas tujuan supervisi pengajaran

harus sejalan dan mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional.

Dalam usaha menciptakan situasi yang memungkinkan siswa dapat

belajar dengan baik dan guru dapat membimbingan dalam suasana kreatif agar para

guru merasa meningkatkan kareir dalam jabatan mengajar. Usaha untuk emmperbaiki
15

berbagai faktor yang turut menentukan proses belajar mengajar ialah dengan cara

membantu guru-guru agar mereka mampu memecahkan maslah-masalah yang

mereka hadapi. Sehubungan dengan itu, maka tujuan supervisi pengajaran menurut

Nawawi (1981) adalah berusaha untuk menolong guru-guru agar dapat tumbuh

menjadi guru yang lebih cakap dan lebih baik di dalam melaksnakan tugas-tugasnya.

Hariwung (1989) juga menguraikan bahwa tujuan supervisi pengajaran

adalah membantu guru untuk tumbuh dan berkembang dalam pengertian para guru

tentang mengajar dan kegiatan belajar di dalam kelas, memperbaharui keterampilan

mengajar untuk memperluas pengetahuan serta menggunakan persiapan mengajar.

Gliekman (1985) menguraikan bahwa tujuan supervisi pengajaran adalah untuk

membantu guru-guru belajar bagaimana meningkatkan kemampuan atau kapasitasnya

agar dapat mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan.

Sedangkan uraian yang lebih terperinci mengenai tujuan supervisi

pengajaran menurut Sahertian dan Mataheru (1982) adalah sebagai berikut : (a)

membantu guru-guru melihat dengan jelas tujuan-tujuan pendidikan, (b) membantu

guru-guru dalam mengembangkan pengalaman belajar, (c) membantu guru-guru

dalam menggunakan sumber pengalaman belajar, (d) membantu guru-guru dalam

memahami hubungan belajar siswa, (e) membantu guru-guru dalam menggunakan

alat dan metode pengajaran modern, (f) membantu guru-guru dalam menilai

kemampuan siswa dan hasil pekerjaan guru itu sendiri, (g) membantu guru-guru

dalam membina reaksi mental atau memental kerja guru dalam rangka perkembangan

pribadi jabatan guru, (h) membantu guru-guru agar para guru merasa gembira dengan
16

tugas yang diembannya, (i) membantu guru-guru agar elbih mudah mengadakan

penyesuaikan terhadap masyarakat dengan cara menggunakan sumber belajar dari

masyarakat, dan (j) membantu guru-guru waktu dan tenaga dicurahkan sepenuhnya

untuk pembinaan Madrasah.

Dari berbagai pendapat di atas jelas bahwa tujuan supervisi pengajaran

itu menunjuk bahwa supervisi pengajaran itu adalah sebagai bagian usaha dalam

rangka meningkatkan kemampuan profesi sebagai guru dan setia terhadap tujuan

umum pendidikan serta pengajaran, maupun untuk tumbuh menjadi guru yang

profesional.

2.4 Fungsi Supervisi Pengajaran

Peranan utama dari supervisi adalah ditujukan kepada “perbaikan

pengajaran”. Supervisi akan dapat memberikan bantuan terhadap program pendidikan

melalui bermacam-macam cara sehingga kualitas pendidikan akan dapat diperbaiki.

Oleh karena itu Ayer (dalam Sahertian dan Mataheru, 1981) mengemukakan fungsi

supervisi pengajaran adalah untuk memelihara program pengajaran yang ada sebaik-

baiknya sehinggaada perbaikan.

Supervisi memiliki kegiatan-kegiatan pokok di dalam melaksanakan

tugas dalam rangka emncapai tujuan supervisi. Kegiatan-kegiatan pokok supervisi ini

disebut fungsi. Charles dan Lovell (1975) mengemukakan ada tujuh fungsi supervisi

pengajaran antara lain : (a) pengembangan tujuan, (b) pengembangan program, (c)
17

koordinasi dan mengawasi, (d) motivasi, (e) pemecahan masalah, (f) pengembangan

profesional, (g) penilaian keluaran pendidikan.

Pidarta (1986) membedakan fungsi supervisi pengajaran itu atas dua

bagian, yaitu : (a) fungsi utama, yaitu membantu Madrasah yang sekaligus mewakili

pemerintah dalam makna mencapai tujuan pendidikan yaitu membantu

perkembangan individu para siswa, (b) fungsi tambahan, yaitu membantu Madrasah

dalam membina guru-guru agar dapat bekerja dengan baik dan dalam mengadakan

kontak dengan masyarakat dalam rangka menyesuaikan diri dengan tuntutan

masyarakat serta memelopori kemajuan masyarakat.

Kemudian Swearingen (dalam Sahertian dan mataheru, 1981)

memerinci fungsi supervisi pengajaran sebagai berikut :

1. Mengkoordinasi semua usaha Madrasah,

2. Memperlengkapi kepemimpinan kepala Madrasah,

3. Memperluas pengalaman guru,

4. Menstimulir usaha-usaha yang kreatif,

5. Memberikan fasilitas dan penilaian yang terus-menerus,

6. Menganalisis situasi belajar mengajar,

7. Memberikan pengetahuan dan skill kepada anggota staf,

8. Mengintegrasikan tujuan pendidikan dan membantu meningkatkan kemampuan

mengajar guru-guru.

Dari beberapa pendapat fungsi supervisi pengajaran tersebut dapat

dipersepsikan bahwa fungsi supervisi pengajaran itu ditujukan kepada perbaikan


18

pengajaran guru-guru. Dengan demikian supervisi pengajaran memberikan

keterampilan apa yang seharusnya atau sebaiknya dimiliki oleh seorang supervisor

untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

2.5 Pendekatan Supervisi

Sebagaimana disebutkan di depan bahwa pembinaan guru adalah

bantuan profesional yang diberikan oleh seorang pembina kepada guru dalam rangka

meningkatkan kemampuan profesionalismenya, terutama kemampuan mengajar.

Proses belajar mengajar tidak lepas dari interaksi aktif antara guru dan siswa dan hal

ini menjadi sentral layanan pembinaan guru. Karena itu orientasi pandangan

pembinaan guru sebenarnya juga berangkat dari orientasi pandangan mengenal

belajar.

Menurut Gliekman (1981) ada tiga pandangan mengenal belajar, yaitu :

(a) berasal dari psikologi behavioristik, (b) berasal dari psikologi humanistik, dan (c)

berasal dari psikologi kognitif.

Pertama, menurut psikologi behavioristik belajar dilaksanakan dengan instrumental

dari lingkungan. Guru mengkondisikan sedemikian rupa sehingga siswa mau belajar.

Dengan demikian belajar dilaksanakan dengan kondisioning, pembiasaan, peniruan,

kedaulatan guru dalam belajar relatif tinggi, sementara kedaulatan siswa relatif

rendah. Kedua, pandangan psikologi humanistik berpendapat bahwa belajar dapat

dilakukan sendiri oleh siswa, siswa menemukan sendiri mengenai sesuatu tanpa

banyak campur tangan dari guru. Jadi peranan guru dalam belajar dan mengajar
19

relatif rendah, sedangkan kedaulatan siswa dalam belajar relatif tinggi. Ketiga,

psikologi kognitif berpandangan bahwa belajar merupakan perpaduan dari usaha

pribadi dengan kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan, sehingga tanggung

jawab antara siswa dan guru sama-sama seimbang.

Berdasarkan pandangan psikologi tentang belajar di atas kemudian

Gliekman (1981) menggambarkan pandangan pembinaan guru sebagai berikut :

Diagram 2.1 : Pandangan Pembinaan Guru

Pandangan
Non Directife Collaboratife Directife
Pembinaan
Tanggung Jawab
Tinggi Sedang Tinggi
Guru
Tanggung Jawab
Rendah Sedang Tinggi
Pembina
Metode
Self Assessement Mutual Contrak Dilineated Standat
Pembinaan

(Diadaptasikan dari : Gliekman, C.D, 1981, Development Supervision, Alexandria :


SCD).

Berdasarkan diagram tersebut dapat diketahui bahwa pada pandangan

directife pembinaan guru, tanggung jawab guru rendah, sedangkan tanggung jawab

pembina tinggi. Pada pandangan non directife, berlaku sebaliknya yaitu tanggung

jawab guru tinggidan tanggung jawab pembina rendah. Sedangkan pada tanggung

jawab collaboratife tanggung jawab guru dan pembina sama-sama sedang.

Berdasarkan pandangan psikologi mengenai belajar dan mengajar serta

pandangan mengenai guru. Orientasi pembinaan guru tersebut menurut Gliekman

(1981) sebagai berikut :


20

a. Mendengar apa saja yang dikemukan oleh guru,

b. Pembina memperjelas mengenai apa yang dikemukakan/dimaui guru agar mau,

c. Mengemukakan kembali mengenai sesuatu hal bila merasa belum jelas,

d. Pembina mencoba mengemukakan persepsinya mengenai apa yang dimaksud

guru,

e. Pembina bersama guru memecahkan masalah-masalah yang dihadapi guru,

f. Pembina dan guru berunding/membuat kesepakatan mengenai tuga syang harus

dilaksanakan masing-masing atau bersama-sama,

g. Pembina mendeminserasikan tampilan tertentu agar guru melaksanakan hal-hal

tertentu,

h. Pembina mengadakan penyesuaian-penyesuaian bersama dengan guru, dan

i. Pembina menggambarkan kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi pembinaan

guru.

Kesimpulan perilaku pembinaan dalam melaksanakan pembinaan guru

tersebut dituliskan dalam sebuah garis kontinum yang disebut sebagai kontinum

perilaku pembinaan. Hal ini dituliskan dalam diagram sebagai berikut :


21

Diagram 2.2 : Kontinum Perilaku Pembinaan

P K M P P N D M S P
E L E R E E E E T E
N A N E M G M N A N
E R D S E O O G N G
G I O E C I N A D U
A F R N A S S R A A
S I O T H A T A R T
A K N A A S R H I A
N A G S N I A K S N
S I S A A
I I N S
I

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

g
p

Orientasi DIRECTIFE COLLABORATIFE NON


DIRECTIFE
Perilaku
Pembina
p=tanggung jawab guru maksimum g= tanggung jawab guru minimum

Berdasarkan diagram tersebut perilaku pembina tergantung dalam satu

garis kontinum. Pada orientasi directife semakin ke kanan tanggung jawab pembina

semakin maksimum, sebaliknya semakin ke kiri semakin minimum. Pada orientasi

non directife semakin ke kiri tanggung jawab pembina semakin maksimum,

sedangkan tanggung jawab guru semakin minimum. Sementara pada orientasi


22

collaboratife, baik tanggung jawab guru maupun pembina sama-sama berada dalam

keadaan sedang atau di kawasan tengah.

a. Orientasi Directife

Orientasi directife didasarkan pada psikologi behavioristik tentang

belajar. Jika tanggung jawab guru dalam mengembangkan dirinya sangat rendah,

maka dibutuhkan keterlibatan yang tinggi dari pembina. Dengan demikian guru akan

dapat dikondisikan sedemikian rupa sehingga mereka dapat mengembangkan dirinya

dengan baik.

Pembina yang berorientasi directif menampilkan perilaku-perilaku

yaitu : klarifikasi, presentasi, demonstrasi, penegasan, standarisasi, dan penguatan.

Hasil akhir dari pembinaan dengan orientasi ini berupa tugas guru. Pengkondisian

guru melalui lingkungan yang dibangun oleh pembina diharapkan memunculkan

perilaku guru sebagaimana yang diharapkan.

b. Orientasi Non Directife

Orientasi non directife dibangun dari psikologi humanistik tentang

belajar dan mengajar, bahwa belajar haruslah dilakukan dengan penemuan sendiri

oleh siswa. Dengan demikian tingkat tanggung jawab guru rendah, sementara

tanggung jawab siswa tinggi.

Dalam orientasi non directife, tanggung jawab guru dalam

mengembangkan dan membina dirinya sendiri adalah tinggi, sedangkan tanggung

jawab pembina dalam membina guru adalh rendah. Dengan demikian kedaulatan

lebih banyak ditangan guru dan pembina sekedar sebagai fasilitator saja.
23

Perilaku poko pembina dalam orientasi non directife ini adalah

mendengarkan, mengklarifikasikan, mendorong, mempresentasikandan bernegoisasi.

Sedangkan target akhir yang diinginkan adalah perencanaan oleh guru itu sendiri.

c. Orientasi Collaboratife

Orientasi collaboratife mendasarkan pada asumsi-asumsi yang

digunakan psikologi kognitif. Psikologi kognitif merupakan konfergensi antara

kontrol instrumen lingkungan dan usaha penemuan oleh diri sendiri. Karena itu

tanggung jawab guru dengan siswa sama-sama seimbang dan pada tingakat sedang.

Pandangan collboratife dalam pembinaan guru juga ada kedaulatan yang seimbang

antara pembina dan guru. Tanggung jawab mereka masing-masing yaitu sebagai guru

dan sebagai pembina sama-sama sedang.

Dalam orientasi collaboratife perilaku poko pembina adalah

mendengarkan, mempresentasikan, memecahkan masalah dan negoisasi. Targe akhir

yang ingin dicapai adalah terdapatnya kontrak antara pembina dengan guru.

Diantara ketiga orientasi supervisi tersebut manakah yang paling baik

untuk diterapkan dalam membina guru ? jawabnya adalah tergantung karekteristik

guru. Sebab dalam kenyataannya masing-masing guru memiliki karekteristik berbeda,

sehingga memerlukan pembinaan yang berbeda pula.

Gliekman (1981) mengemukakan karekteristik guru ini berdasarkan atas

tingkatan komitmen (level of commitmen), dan tingkatan abstraksi (level of

abstraction). Tingkat komitmen menunjukkan kepada usaha dan penyediaan waktu

dalam melaksankan tugasnya, sedangkan tingkat abstraksinya menunjukkan pada


24

kemampuan kognitif, pemikiran abstrak dan simbolis yang dapat dilakukan bahkan

kemampuan imajinatifnya.

Berdasarkan penggolongan karekteristik guru dari segi tingkatan

komitmen dan tingkatan abstraksinya, akhirnya dapat dibuat kategori guru dengan

cara menyilangkan dua macam garis kontinum ialah kontinum tingkatan abstraksi dan

kontinum tingkatan komitmen. Masing-masing kontinum tingkatan abstraksi bergerak

dari rendah sampai tinggi. Hal ini dapat dilihat diagram berikut ini :

Diagram 2.3 : Kontinum Tingkatan Abstraksi Guru

Rendah Sedang Tinggi


Bingung bila menghadapi Dapat memecahkan suatu Dalam menghadapi
masalah. masalah. masalah selalu dapat
mencari alternatif
pemecahan masalah.
Tidak mengetahui cara Dapat menafsirkan atas Dapat menggeneralisasi-
bertindak bila menghadapi dua kemungkinan kan berbagai alternatif
masalah. pemecahan masalah. pemecahan masalah.
Suka minta petunjuk. Sulit merencanakan Bisa membuat
pemecahan masalah secara perencanaan dan
komprehensif. memikirkan langkah
pemecahan.
Responsinya terhadap
masalah biasa.

(Gliekman, 1981)

Berdasarkan tingkat abstraksi dan tingkat komitmen guru dapat dibuat

paradigma kategori guru sehingga para pembina (supervisor) dapat memilih secara

tepat orientasi supervisi dapat memilih secara tepat orientasi supervisi yang membina

guru-guru.
25

TINGGI
T
i
n
Kuadran III Kuadran IV
g
Pengamat Analitif Profesional
k
a
t

R T
E I
N ----------------- Tingkat ----------------------------- Komitmen ------------- N
D G
A G
H A I
b
s
t
Kuadran I Kuadran II
r
Drop Out Kerjanya Tak Terarah
a
k
s
i
RENDAH

(Gliekman, 1981)

Berdasarkan diagram 4 tersebut kategori guru dapat dikelompokkan

menjadi empat bagian, yaitu :

a. Guru yang drop out, sebagaimana dikemukakan dalam diagram I. Guru yang

demikian mempunyai tingkat komitmen rendah dan tingkat abstraksi rendah.

Dalam membina guru pada kategori ini dapat menggunakan orientasi directife.

b. Guru yang kerjanya tidak terarah (unfocused warker), sebagaimana yang

dikemukakan pada kuadran II. Guru yang demikian (tingkat komitmennya tinggi,
26

namun tingkat abstraksinya rendah) pembina dapat menggunakan orientasi

collaboratife dengan titik tekan pada presentasi.

c. Guru yang pengamat analisi (analytic observer), sebagaimana dikemukakan

dalam kuadran III. Guru yang tinggi tingkat abstraksinya tetapi rendah tingkat

komitmennya dapat menggunakan orientasi collaboratife dengan titik tekan pada

negoisasi.

d. Guru yang profesional sebagian ada pada kuadran IV yang memiliki tingkat

komitmen dan abstraksi tinggi. Pembina dapat menggunakan orientasi directife.

Kecuali Gliekman, pakar lain yaitu Pohan dan Cross (dikutip oleh

Sergiovanni, 1982) membagi orientasi supervisi berdasarkan pada tujuan yang

hendak dicapai sehingga menghasilkan suatu pola hubungan.

a. Bila supervisi yang dilakukan bersifat administratif dan orientasi dasarnya adalah

manajerial, maka pola hubungan antara supervisor dan guru akan nampak sebagai

hubungan antara atasan dan bawahan.

b. Jika supervisi berorientasi empirik (klinik) maka pola hubungan akan nampak

seperti guru dan murid.

c. Bila orientasinya efisiensi, maka pola hubungan akan nampak seperti pamong

(senior) denga magang (union).

d. Bila supervisi berorientasi pada estetik, maka pola hubungan antara supervisor

dan guru akan nampak seperti kritikus dan perfomer.

e. Bila supervisi berorientasi pada petumbuhan dan perkembangan pribadi, pola

hubungan akan nampak seperti konselor dan konseli.


27

f. Bila supervisi berorientasi pada hasil belajar siswa, maka pola hubungan akan

namapk seperti elevator dengan yang dievaluasi.

Sementara Oliva (1984) berpendapat bahwa ada dua macam orientasi

supervisi yaitu direct dan indirect. Kedua orientasi ini didasarkan pada asumsi-asumsi

yang berbeda.

a. Orientasi direct, didasarkan pada asumsi bahwa :

1. Pengawasan dilakukan oleh atau atas dasar kewenagan seseorang yang

memiliki posisi dalam hirarki organisasi.

2. Pengawasan dilakukan oleh orang yang berpangkat lebih tinggi dan lebih ahli.

Orang yang pangkatnya lebih rendah mestinya dievaluasi oleh orang yang

pangkatnya lebih tinggi.

3. Bekerja itu sifatnya rasional, sehingga dalam supervisi tidak perlu

membicarakan perasaan dan hubungan pribadi.

4. Untuk menolong guru tidak perlu mendengarkan/memperhatikan.

5. Penghargaan yang penting adalah eksternal, terutama dari atasan.

6. Pada prinsipnya mengajar merupakan keterampilan yang dapat dikatakan

salah atau benar.

7. Belajar yang terbaik adalah mendengarkan apa yang seharusnya dikerjakan.

b. Orientasi Indirect

1. Pengawasan pada situasi tergantung pada tuntutan masalah.

2. Keahlian pada dasarnya pada ilmuan dan pengalaman dan bukan pada jabatan.
28

3. Hasil kerja guru merupakan alat evaluasi terbaik bagi pengukuran

performansi.

4. Penghargaan intristik adalah penting, di samping penghargaan ekstristik.

5. Belajar yang terbaik adalah dihadapkan pada situasi dan dibantu menemukan

cara pemecahannya sendiri.

6. Guru harus didengar dan dipahami oleh supervisor.

7. Bekerja tidak hanya rasional tetapi juga emosional.

8. Perlu penyelesaian masalah secara kolaboratif.

9. Mengajar itu suatu prose yang kompleks, berbeda antara orang yang satu

dengan yang lainnya sehingga sifatnya eksprimental.

Dari berbagai orientasi seperti yang telah dikemukakan di atas, pada

hakekatnya supervisi melibatkan hubungan manusia yang satu dengan yang lain

untuk mencapai suatu tujuan. Karena itu sulit untuk dilepas dari tata nilai, aturan,

norma yang dianut kedua belah pihak (guru dan supervisor). Secara luas tentu terkait

pula dengan latar belakang budaya tempat supervisi itu dilaksanakan.

Selain beberapa orientasi supervisi sebagaimana diuraikan di atas masih

ada pendekatan lain yang digunakan untuk membina guru-guru, yaitu : (a)

pendekatan ilmiah yang ditulis oleh John D. Mc. Neil, (b) pendekatan klinik yang

ditulis oleh Mooreen B. Garman, (c) pendekatan artistik yang ditulis oleh Eliot W.

Eisner (Sergiovanni, 1982).


29

a. Pendekatan Ilmiah

Pendekatan ilmiah dalam pembinaan guru ini terkait erat dengat

pengupayaan efektifitas pengajaran. Pendekatan ini memandang pengajaran sebagai

ilmu. Karena itu perbaikan pengajaran dapat dilakukan dengan menggunakan

metode-metode ilmiah yang rasional dan empirik.

Cara yang digunakan untuk memperbaiki pengajaran adalah dengan : (a)

mengimplementasikan hasil temuan dari para peneliti, (b) mengadakan penelitian

dibidang pengajaran, (c) menerapkan metode ilmiah dan bersikap ilmiah dalam

menentukan efektivitas pengajaran.

Jika para peneliti telah menemukan banyak hal mengenai keefektivan

pengajaran, menemukan teori-teori yang sudah diuji kebenarannya, maka tugas guru

dan pembina adalah memanfaatkannya. Dengan demikian kontribusi yang diberikan

oleh peneliti tersebut mencapai sasarannya. Tidak hanya itu, pengajaran yang

dilakukan oleh para guru juga dibangun di atas teori secara empirik telah teruji

berkali-kali dan meyakinkan.

Kecuali itu, guru bersama pembinanya juga perlu mengadakan

penelitian dibidang pengajaran, karena dengan demikian ia akan mendapat

pengalaman yang nyata dalam menetukan efektifit tidaknya pengajaran. Action

reserct perlu dilakukan bersama gurudan pembina, sehingga problem-problem

pengajarn di Madrasah dapat terpecahkan.

Dalam melaksankan program pembinaan guru, pembina juga perlu

menerapkan prosedur-prosedur sebagimana metode ilmiah. Pembina perlu


30

merumuskan masalah berdasarkan kerangka teori pengajarn, menyusun hipotesis,

mengumpulkan data, menganalisis data dengan menggunakan teknik analisis relevan.

Dengan menerapkan prosedur-prosedur demikian maka pembina kan mendapat

gambaran yang benar mengenai pengajarn yang dilakukan oleh guru bersama siswa-

siswanya. Untuk itu pembina harus bersikap ilmiah, objektif, dan jernih dalam

memandang persoalan dan mnjaga jarak dengan yang diamati.

b. Pendekatan Artistik

Pendekatan ini muncul sebagai reaksi terhadap pendekatan ilmiah. Elliot

W. Eisner (1981) dalam artikelnya berjudul An Artistic to Supervision menegaskan

bahwa kegagalan-kegagalan pembinaan guru dengan pendekatan ilmiah bersumber

dari kelamahan pendekatan ilmiah itu sendiri. Pendekatan ilmiah terlalu berani

menggeneralisasikan tampilan-tampilan pengajaarn yang tampak sebagai keseluruhan

peristiwa pengajaran. Apalagi kalau tampilan-tampilan penagajaran tersebut terisolasi

antara tampilan komponen yang satu dengan yang lain tidak ada hubungannya.

Padahal pengajaran mewrupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen

yang saling terkait.

Pembinaan kepada guru dengan pendekatan artistik dalam menangkap

pengajaran berusaha menerobos keterbatasan-keterbatasan tersebut dengan dengan

memperhatikan latar psikologis dan sosiologis para pelakunya. Pendekatan artistik

berpandangan bahwa keberhasilan pengajaran tidak dapat diukur dengan

menggunakan peristiwa pengajaran yang berada dalam konteks yang berbeda. Karena

itu pendekatan artistik merekomendasikan agar pembina dapat mengamati, merasakan


31

dan mengapresiasi pengajaran yang dilakukan oleh guru. Pembina harus mengikuti

mengajar guru dengan cermat, telaten dan utuh. Elliot W. Esiner melukiskan bahwa

pembina bagaikan menyaksikan tampilan-tampilan karya seni, yang tidak dapat

dilihat sebagian demi sebagian, namun harus dilihat secara menyeluruh dengan

pengamat yang cermat, turut merasakan dan mencoba menangkap maknanya. Dengan

kata lain pembina harus mengapresiasikan pengajaran guru.

Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam penerapan pendekatan

artistik ini adalah : (a) ketika mau berangkat ke lapangan pembina tidak boleh punya

pretensi apapun tentang pengajaran yang akan diamati, (b) mengadakan pengamatan

terhadap guru dengan cermat, teliti, utuh, menyeluruh serta berulang-ulang, (c)

memberikan interpretasi atas hasil pengamatan secara formal setelah pengajaran

selesai, (d) menyusuh hasil interpretasi dalam bentuk narasi, (e) menyampaikan hasil

interpretasi yang sudah dinarasikan kepada guru, (f) menerima balikan dari guru

terhadap yang telah dilakukan.

c. Pendekatan Klinik

Pendekatan klinik ini merupakan kovergensi antara pendekatan ilmiah

dan artistik yang sudah dilakukan secara kolegial antara guru dan pembina. Melalui

hubungan kolegial atau kesejawatan, diharapkan kemampuan mengajar guru dapat

ditingkatkan.

Sergiovanni (1979) menyatakan bahwa pendekatan guru dengan

pendekatan klinik adlah suatu pertemuan tatap muka antara pembina dan guru,
32

membahas tentang mengajar di dalam kelas guna perbaikan pengajaran dan

pengembangan profesi.

Pendekatan klinik dalam pembinaan guru pada mulanya dikembangkan

oleh Cogan, Goldhammer dan Welter dari Universitas Harvard pada tahun lima

puluhan dan enam puluhan. Asumsi yang mendasari pembinaan guru dengan

pendekatan klinik antara lain : (a) para guru dalam mengajar lebih suka

dikembangkan kemampuannya melalui pembinaan yang bersifat kolegial dibanding

jenis pembinaan yang lain, (b) pengajaran merupakan aktivitas yang kompleks, yang

dapat diisolasi komponen-komponennya sehingga menjadi pengajaran yang

sederhana. Karena itu dalam mengamati peristiwa pengajaran harus hati-hati, dan dari

hasil pengamatan inilah pembina bisa mengetahui langkah-langkah apa yang diambil

dalam rangka meningkatkan kemampuan mengajar guru.

Langkah-langkah yang ditempuh dalam penerapan pendekatan klinik

adalah : (a) pertemuan awal, (b) observasi, (c) pertemuan balikan.

Pada pertemuan awal dibangun hubungan kolegial yang akrabantara

pembina dengan guru, sehingga guru yakin bahwa pembina tidak bermaksud mencari

kesalahan, namun justru membantu meningkatkan kemampuan mengajarnya.

Aktifitas-aktifitas yang dilakukan pada tahap ini antara lain : (a) menciptakan suasana

kolegialitas, (b) membicarakan rencana pengajaran yang telah dibuat guru, (c)

memilih jenis keterampilan tertentu yang akan dilatihkan, (d) mengembangkan

instrumen yang akan digunakan untuk mengobservasi keterampilan mengajar guru

dan menyepakatinya.
33

Pada tahap observasi kelas, pembina mengadakan pengamatan terhadap

guru yang sedang mengajar dengan menggunakan lembar observasi yang telah

disepakati. Aktifitas-aktifitas yang telah dilakukan pada tahap yaitu : (a) memasuki

ruang kelas yang akan diajar oleh guru bersama-sama dengan guru yang akan

mengajar, (b) guru menjelaskan kepada siswa tentang maksud kedatangan pembina

ke ruang kelas, (c) guru mempersilahkan pembina untuk menempati tempat duduk

yang telah disediakan, (d) pembina mengobservasi penampilan mengajar guru dengan

menggunakan format observasi yang telah disepakati, (e) setelah proses belajar

mengajar, guru bersama-sama dengan pembina meninggalkan ruang kelas dan pindah

ke ruang khusus untuk melaksanakan aktifitas pembinaan.

Pada tahap pertemuan balikan aktivitas-aktivitas yang perlu dilakukan

adalah : (a) pembina mengdakan penguatan kepada guru yang baru saja mengajar

dalam suasana akrab sebagaimana pertemuan awal, (b) pembina bersama-sama guru

membicarakan kembali kontak yang pernah dimulai dari tujuan pengajaran sampai

evaluasi pengajaran, (c) pembina menunjukkan hasil observasi yang telah dilakukan

berdasarkan format yang telah disepakati, (d) pembina berdiskusi dengan guru

tentang hasil observasi yang telah dilakukan, dan (e) bersama-sama guru membuat

kesimpulan tentang hasil pencapaian latihan pengajaran yang telah dilakukan yang

diakhiri dengan pembuatan latihan berikutnya.

Dari ketiga pendekatan tersebut seperti halnya pada orientasi supervisi

tidak bisa lepas hubungannya dengan keterkaitan antara dua orang atau lebih dalam

rangka mencapai tujuan. Karena itu dalam menjalin hubungan tersebut juga tidak
34

lepas dari tata nilai dan pola sikap yang dianut oleh dua orang berinteraksi tersebut,

dan secara luas tentu terkait pula dengan latar budaya masing-masing individu.

2.6 Supervisi Sebagai Pengajaran profesionalisme Guru dalam Mengajar

Pada sub bagian ini akan dibahas mengenai profesionalisme guru, dan

peran supervisi dalam pembinaan profesionalisme guru dalam mengajar.

2.6.1 Profesionalisme Guru

Guru merupakan pelaksanaan terdepan dan memegang kunci

keberhasilan penigkatan sumber daya manusia. Untuk itu guru harus dapat

memainkan perannya sebagai tenaga profesional. Tugas guru sebagai profesi

merupakan tugas pokok dalam jabatan guru yaitu mendidik, mengajar, dan melatih.

Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup, mengajar berarti

mentransformasikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi,

sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan kepada subjek

pendidik.

Sebagai tenaga profesional guru harus memiliki beberapa karalteristik. Menurut

Worrel (1981), guru harus bersedia membuat rencana mengorganisasikan sesuatu dan

mampu memnberikan reinforcement. Peranan kompetensi guru dalam proses belajar

mengajar secara rinci dikemukakan oleh Adams dan Decey dalam Usman (1992),

antara guna berperan sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur

lingkungan, partispan, ekspiditor, perencana, supervisor, motivator, evaluatordan

konselor.
35

Dengan adanya persyaratan kompetensi profesional dalam rangka

membentuk guru-guru yang profesional, maka kompetensi profesional guru sekarang

ini dikembangkan pihak P3G dan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan

Menengah Depdikbud, ada sepuluh macam, yaitu : (1) mengembangkan kepribadian,

(2) menguasai landasan kepribadian, (3) menguasai landasan pengajaran, (4)

menyusun program pembelajaran, (5) melaksanakan program pembelajaran, (6)

menilai hasil dan proses belajar mengajar, (7) menyelenggarakan program bimbingan,

(8) menyelenggarakan administrasi Madrasah, (9) berinteraksi dengan sejawat dan

masyaarakat, (10) melakukan penelitian sederhana keperluan pengajaran (Usman,

1992).

2.6.2 Peran Supervisi Pengajaran dalam Pembinaan Profesionalisme Guru

Program peningkatan mutu pendidikan di Madrasah Dasar dicapai

bilamana proses belajar mengajar di kelas dapat berlangsung dengan baik, berdaya

guna dan berhasil guna. Hal itu bisa terlaksana apabila ditunjang dengan adanya

peningkatan kemampuan guru dalam mengelolanya. Sebab gurulah yang berperan

langsung dalam mendidik murid-muridnya. Guru adalah pelaksana terdepan

pendidikan anak-anak di Madrasah. Karena itu berhasil tidaknya upaya peningkatan

mutu pendidikan banyak ditentukan juga oleh kemampuan yang ada pada guru

adalam mengemban tugas pokok sehari-hari yaitu mengelola kegiatan belajar

mengajar.

Mengingat begitu pentingnya peranan guru dalam upaya peningkatan

mutu pendidikan, maka selayaknyalah kemampuannya perlu ditingkatkan, dibina


36

dengan baik, teratur, terus menerus sehingga benar-benar memiliki kemampuan yang

sesuai dengan tuntutan profesinya.

Perlu kiranya diketahui bahwa tugas guru di Madrasah tidaklah ringan

karena sebagian guru adalah guru kelas. Dengan demikian setiap guru harus

menguasai dan mampu mengajarkan berbagai mata pelajaran, padahal setiap

pelajaran, memiliki karakteristik tersendiri, baik yang menyangkut materi, metode

penyampaian maupun alat-alat belajar mengajarnya. Tentu saja hal ini bisa

menimbulkan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh guru yang kadang-kadang

diluar kemampuan untuk mengatasinya. Namun demikian hal tersebut tentunya tidak

mengurangi semangat dan dedikasi para seandainya mereka memiliki kemampuan

yang cukup sesuai profesinya.

Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan antara lain melalui

penataran-penataran, penyempurnaan kurikulum, pengadaan prasarana alat belajar

dan sebagainya. Namun demikian upaya-upaya tersebut kurang menpunyai dampak

yan nyata dalam kegiatan belajar mengajar di kelas apabila tidak di ikuti dengan

pembinaan profesionalisme bagi para guru . monitoring telah dilakukan , super visi

pun telah dilaksanakan dalam rangka pembinaa. Walaupun demikan, kenyataan

selama ini sebagai pembinaan propesional guru masih kurang mendukung usaha

pembaharuan dan peningkatan mutu pendidikan serta masi9h mempunyai banyak

kelemahan, hambatan dan kekurangan-kekurangannya, antara lain : (a) pembinaan

yang kurang memadai, (b) sikap mental yang masih perlu dibenahi dari kepala

Madrasah maupun guru, (c) kurangnya koordinasi antara berbagai pihak yang
37

berwenang di lapangan baik secara vertikal maupun horizontal sehingga berakibat

pengarahan dari berbagai pihak kadang-kadang membingungkan guru (Depdikbud,

1991/1992).

Sistem pembinaan yang kurang memadai, disebabkan : (a) pembinaan

masih ditekankan pada aspek administrasi dan mengabaikan aspek profesionalisme,

(b) tatap muka antara 37ocal37a dan masing-masing guru praktis sangat sedikit, (c)

37ocal37a sendiri banyak yang sudah lama tidak mengajar dan memerlukan bekal

tambahan agar dapat mengikuti perkembangan baru dalam berbagai mata pelajaran,

(d) pada umumnya masih menggunakan jalur tunggal dan serah yakni dari atas, dan

(e) potensi guru sebagai 37ocal37a guru lain kurang dimanfaatkan.

Sikap mental yang perlu dibenahi dari para 37ocal37a maupun guru

menyangkut hal-hal : (a) hubungan profesionalisme yang kaku dan kurang akrab

antara atasan dan bawahan akibat sikap otoriter 37ocal37a sehingga guru takut dan

bersikap kurang terbuka kepada 37ocal37a, (b) banyak 37ocal37a dan guru yang

merasa sudah cukup berpengalaman sehingga merasa tidak perlu belajar lagi, (c)

37ocal37a dan guru terlalu cepat merasa puas atas hasil belajar anak, (d) 37oca yang

bersemangat menerapkan hasil-hasil penataran akhirnya juga patah semangat karena

tidak diikuti guru yang lain, (e) banyak guru yang takut mencoba hal-hal baru yang

belum begitu dikuasainya dan merasa lebih tenang mengajar dengan cara lama.

Menyadari akan kenyataan dan kelemahan-kelemahan di atas maka

pemerintah berusaha untuk memperbaiki 37ocal37 dan mutu pendidikan dengan jalan

memperkenalkan 37ocal37 pembinaan 37ocal37a37e37al kepada para guru, kepala


38

Madrasah, pengawas Madrasah dan 38ocal38a lainnya. Sistem tersebut lebih

menekankan pada pembinaan dalam rangka pembinaan profesionalisme bagi

pengelola pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

Supervisi pendidikan di Madrasah lebih diarahkan untuk meningkatkan

kemampuan guru dalam rangka peningkatan proses belajar mengajar (depdikbud,

1992). Hal ini bisa dilakukan oleh kepala Madrasah atau siapa saja yang bertugas

sebagai supervisor melalui pemberian bantuan yang bercorak pelayanan dan

bimbingan 38ocal38a38e38al, sehingga guru dapat melaksanakan tugasnya dalam

proses belajar mengajar.

Dengan demikian jelas bahwa (pembinaan profesionalisme guru)

dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru dalam

melaksanakan tugas pokoknya sehari-hari yaitu mengelola proses belajar mengajar

dengan segala aspek pendukungnya sehingga berjalan dengan baik khususnya proses

belajar mengajar dan tujuan pendidikan dasar umumnya tercapai secara optimal.

Kemampuan-kemampuan tersebut meliputi : (a) kemampuan

merencanakan kegiatan belajar mengajar dengan baik, (b) kemampuan melaksanakan

kegiatan belajar mengajar dengan baik, (c) kemampuan menilai proses dan hasil

belajar, (d) kemampuan untuk memberikan umpan balik secara terus menerus dan

teratur, (e) kemampuan untuk menggunakan atau memanfaatkan lingkungan sebagai

sumber dan media pengajaran, (f) kemampuan membimbing dan melayani murid

yang mengalami kesulitan dalam belajar, dan (g) kemampuan mengelola dan
39

mengadministrasi kegiatan belajar mengajar dan ekstra kurikuler serta kegaitan-

kegiatan Madrasah lainnya (Depdikbud, 1992).

Pada dasarnya kegiatan pembinaan menyangkut dua belah pihak yang

dibina dan pihak yang melayani atau yang membina. Baik yang dibina maupun

39ocal39a harus sama-sama memiliki kemampuan yang berkembang secara serasi

sesuai kedudukan dan peran masing-masing. Oleh sebab itu sasaran pembinaan ini

adalah kedua pihak yaitu guru sebagai pihak yang dibina dan kepala Madrasah,

pengawas Madrasah serta lainnya sebagai pihak yang membina.

Agar pembinaan dapat berhasil guna maka dalam melaksanakan

pembinaan kepada para guru harus mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Pembina harus memiliki kepercayaan bahwa guru-guru memiliki potensi

untuk mengembangkan dirinya. Karena itu potensi tersebut harus dikembangkan

menjadi potensi yang nyata. Gejala adanya keinginan untuk mencoba dan

memulai suatu gagasan oleh guru menunjukkan adanya kesanggupan untuk

mengembangkan diri. Perlu diupayakan bagaimana agar guru-guru memiliki

dorongan untuk berprestasi sehingga merasa puas dalam pekerjaannya.

b. Hubungan antara guru-guru dengan para kepala hendaknya didasarkan

hubungan kerabat kerja. Dalam kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan

umumnya dan penyempurnaan proses belajar mengajar khususnya, hubungan

antara pengawasan dengan guru hendaknya dipandang sebagai hubungan anatra

yang memerlukan bantuan dan yang akan memberi bantuan. Agar yang

memerlukan bantuan dan pelayanan merasa puas diperlukan keterbukaan.


40

Masalah yang dihadapi guru-guru dalam proses belajar mengajar dikemukakan

secara terbuka. Dilain pihak pengawas dan kepala Madrasah harus peka terhadap

masalah yang dihadapi guru-guru. Atas dasar hubungan kerabat kerja bisa

diadakan diskusi atau setidak-tidaknya dapat diungkap cara-cara pemecahannya.

Dengan demikian terjadi dialog kepala Madrasah dan menganggap guru-guru

sebagai bawahan semata-mata akan melahirkan hubungan yang kaku. Sikap yang

demikian kurang menguntungkan bagi terwujudnya dialog kepala Madrasah

c. Pelayana 40ocal40a40e40al hendaknya didasarkan pada pandangan objektif.

Artinya setiap keadaan yang berhubungan dengan proses belajar mengajar harus

diterima apa adanya, jangan didasarkan pada perasaan subjektif atau

40ocal40a40e pribadi. Para pengawasan harus berani menyatakan bahwa

usahanya tidak berhasil atau berdasarkan 40ocal40a-alasan yang dapat diterima.

Sebaliknya guru harus berani mengakui, baik kepada dirinya, kepada rekan

sejawatnya maupun kepada pembinanya bahwa ia masih menghadapi prsoalan-

persoalan. Bila pengawas belum memiliki kesanggupan untuk menyelesaikan

suatu masalah, maka sangat bijaksana apabila ia tidak bersikap pura-pura

menguasai persoalan itu.

d. Pelayanan 40ocal40a40e40al hendaknya didasarkan atas hubungan manusiawi

yang sehat. Sebagai manusia biasa guru-guru tidak luput dari kesalhan ataupun

kekurangan, asal kekeliruan tersebut tidak dijadikan 40ocal40a untuk

menyelamatkan diri. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh guru-

guru hendaknya ditangani secara bijaksana, dengan tidak menyinggung martabat


41

kemanusiaannya, guru-guru adalah tenaga 41ocal41a41e41al yang memerlukan

landasan ynag diahami untuk melaksanakan tugasnya. Kesuksesan yang dicapai

oleh para guru sekalipun belum berarti hendaknya mendapatkan pengakuan yang

wajar dari kepala Madrasah atau pengawas Madrasah (Depdikbud, 1992).

Beberapa metode dan teknik 41ocal41a41e yang dapat dipakai dalam

rangka pembinaan profesionalisme guru Madrasah oleh para pengawas atauun kepala

Madrasah adalah : (a) kunjungan kelas secara berencana untuk memperoleh

gambaran tentang proses belajar mengajar yang dilaksanakan guru, (b) pertemuan

pribadi pada waktu yang telah disepakati antara 41ocal41a dan guru untuk

memecahkan masalah yang bersifat khusus, dengan cara berdialog langsung dengan

guru, (c) rapat rutin antara 41ocal41a dan guru dalam rangka memberi bantuan secara

umum melalui pertemuan secara berkala, (d) kunjungan antara Madrasah untuk tukar

menukar pengalaman guna menunjang pelaksanaan interaksi belajar mengajar, (e)

kunjungan Madrasah untuk mengetahui keadaan sebenarnya, (f) pertemuan secara

berkala di KKKS, KKG, dan KKPS untuk menyepakati cara mengajar yang baik

memecahkan masalah di lapangan, (g) kunjungan antar KKG, KKKS, KKPS untuk

saling tukar menukar pengalaman, tukar menukat tutor atau pemandu bidang studi,

(h) pelatihan dan penataran tingkat 41ocal untuk memenuhi kebutuhan guru secara

perorangan, (i) memanfaatkan media massa untuk mengetahui perkembangan dan

kebijakan pendidikan, dan (j) karya wisata untuk menambah wawasan tentang

sumber-sumber belajar sehingga dapat dimanfaatkan dalam pelaksanaan kegiatan

belajar mengajar (Depdikbud, 1993/1994).


42

2.7 Tugas Kepala Madrasah Sebagai Supervisor Pengajaran

Kepala Madrasah sebagai pemimpin pendidikan berperan sebagai

pemimpin organisasi kerja dibidang pendidikan. Dalam melaksanakan kepemimpinan

di Madrasah ia tidak saja berhadapan dengan guru-guru sebagai bawahan, tetapi juga

berhadapan dengan tenaga administrasi dan siswa yang saling terkait dengan siste,

pendidikan.

Peran kepala Madrasah harus mampu sebagai pemimpin yang dapat

menggerakkan semua potensi baik material maupun sumber daya manusia untuk

mencapai tujuan pendidikan nasional.

Untuk melihat bagaimana kepala Madrasah dalam mengelola

pendidikan khususnya di Madrasah, dapat dilihat dari pendapat Dirawat (1978)

menyatakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan dan kesiapan yang dimiliki

seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun,

menggerakkan dann jika perlu memaksa orang lain agar dapat menerima pengaruh

itu. Selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membentuk pencapaian sutau tujuan

tertentu. Jika dilihat dari batas-batas itu, ternyata seorang pemimpin harus mampu

melaksanakan segala sesuatu untuk mencapai tujuan.

Sebagai pemimpin pendidikan kepala Madrasah harus mampu

menciptakan situasi belajar mengajar yang dapat membuat para guru-guru dan siswa

lebih efektif dan efesien dalam aktifitasnya. Karena itu kepala Madrasah bertanggung

jawab atas kelancaran jalannya proses belajar mengajar di Madrasah.


43

Di samping itu tugas kepala Madrasah selain sebagai administrator

pendidikan ia juga bertugas sebagai supervisor pendidikan. Dalam hal ini kepala

Madrasah mempunyai peranan untuk mendayagunakan potensi yang dimiliki oleh

para guru dan staf dalam melaksanakan tugasnya serta membantu perkembangannya

dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu kepala Madrasah mutlak harus

mempunyai kemampuan yang cukup untuk melakukan pembinaan terhadap

bawahannya. Tanpa itu maka bawahan tidak akan dapat menerima kepala Madrasah

sebagai supervisor.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ngalim (1988) tugas kepala

Madrasah sebagai supervisor pengajaran hendaknya pandai meneliti, mencari,

menentukan syarat-syarat mana sajakah yang diperlukan bagi kemajuan Madrasahnya

sehingga tujuan-tujuan pendidikan di Madrasah itu maksimal mungkin dapat tercapai.

Dari uraian tersebut dapat diketahui betapa banyak dan besarnya

tanggung jawab kepala Madrasah seebagai supervisor pengajaran agar tercapainya

tujuan pendidikan yang telah dirumuskan dan direncanakan melalui program-program

pembelajaran selama satu semester atau catur wulan.

Secara umum, kegaitan atau usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh

kepala Madrasah sebagai supervisor pengajaran adalah : (a) mendiskusikan tujuan-

tujuan dan filsafat pendidikan dengan guru-guru, (b) mendiskusikan metode dan

teknik dalam rangka pembinaan dan pengembangan proses belajar mengajar, (c)

membimbing guru-guru dalam penyusunan program catur wulan atau program

semester dan program satuan pengajaran, (d) membimbing guru-guru dalam memilih
44

dan menilai buku-buku untuk perpustakaan Madrasah dan buku-buku bagi siswa, (e)

membimbing guru-guru dalam menganalisis dan menginterpretasi hasil tes dan

penggunaannya bagi proses belajar mengajar, (f) melakukan kunjungan kelas, (g)

mengadakan kunjungan observasi bagi guru-guru demi perbaikan cara mengajarnya,

(h) mengdakan pertemuan individual dengan guru-guru tentang masalah-masalah

yang mereka hadapi atau kesulitan-kesulitan yang mereka alami, (i) berwawancara

dengan orang tua siswa dan pengurus BP3 atau POMG tentang hal-hal yang

mengenai pendidikan anak-anak mereka (Ngalim, 1988).

Berdasarkan tugas-tugas kepala Madrasah sebagai supervisor

pengajaran seperti tersebut diatas maka diharapkan dapat kemampuan para guru-guru

dalam menyusun program pembelajaran, melaksnakan kegiatan pembelajaran, dan

membantu mengevaluasi pembelajaran yang telah dilaksanakan.

2.8 Persepsi, Respon, dan Sikap Guru terhadap Supervisi

Keefektifan menggunakan orientasi dan pendekatan 44upervise tidak

hanya tergantung pada karakteristik guru yang dikategorikan menjadi empat kuadran

sebagaimana diuraikan di atas, namun juga sangat dipengaruhi oleh persepsi,

44upervise44 sikap guru terhadap orientasi dan pendekatan 44upervise itu sendiri

yang dilakukan oleh supervisor. Peneliti tentang ini banyak dilakukan oleh para pakar

seperti yang dilakukan oleh Mantja (1989) dalam disertasinya tentang 44upervise

pengajaran d Madrasah.

Kindervater dan Wilen (dalam Mantja, 1998) menjelaskan bahwa

observasi kelas dan pertemuan 44upervise pada hakekatnya menyebabkan berbagai


45

kecemasan atau ketakutan bagi guru. Karena itu supervisor harus memahami dan

berusaha untuk meredam kecemasan-kecemasan tersebut atau paling tidak

mneguranginya. Jika hal ini diabaikan tentu tidak menghasilkan seperti yang

diharapkan. Disini letak pentingnya hubungan kolegial yang harmonis, sehingga

45upervise dapat tercapai.

Oliva (1984) mengemukakan bahwa George C. Kyte dalam

penelitiannya menyimpulkan bahw pengajaran dapat dimodifikasi secara positif

pertemuan 45upervise yang direncanakan secara baik. Banyak hal yang dpaat

didiskusikan antara supervisor dengan guru dalam kesempatan itu. Dengan melihat

manfaat pertemuan setelah observasi kelas. Marks dkk (1979) menyarankan agar

pertemuan yang sifastnya individual dijadikan salah satu teknik yang dapat

meningkatkan pengajaran guru. Penemuan Novell dan Phelps (1979) melaporkan

bahwa kepala Madrasah yang paling banyak melakukan observasi kelas dan

pertemuan setelah observasi. Sangat sedikit respon guru terhadap pernyataan

“Apakah mereka dilibatkan dalam observasi kelas atau pertemuan 45upervise ?” guru

yang dilibatkan penelitian pada umumnya merasa bahwa pertemuan 45upervise itu

tidak menguntungkan. Sebaliknya kepala Madrasah memberikan respon yang positif

dan mngakui keefektifan dalam pertemuan seperti itu. Padahal sebenarnya para guru

menyatakan keinginannya bahw aobservasi dan pertemuan yang lebih sering sangat

dibutuhkan. Namun sebaliknya kepala Madrasah merasa bahwa layanan yang

diberikan dianggap cukup. Blumberg dan Amiddon meneliti persepsi guru terhadap

perilaku kepemimpinan kepala Madrasah selama pertemuan 45upervise menemukan


46

bahwa guru yang dilibatkan dalam pertemuan menyatakan efektif prosedur pertemuan

yang diadasarkan atas persepsi mereka terhadap perilaku kepemimpinan kepala

Madrasah. Penelitian yang dilakukan oleh Blacboum (1983) menyimpulkan bahwa

para guru yang bersikap positif terhadap pertemuan 46upervise sifatnya evaluatif

kadang-kadang merasakan perilaku kesupervisian kepala Madrasah mereka lebih

kolaborative, namun kurang non directive. Ia juga mengemukakan bahwa guru

Madrasah memiliki persepsi yang lebih postif terhadap pertemuan yang sifatnya

evaluatif, jika dibandingkan dengan para guru Madrasah menengah.

Penelitian Blackbourn dan Moody (dalam Hemphill, 1984)

meyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara ras, pengalaman belajar,

usia dan persepsi guru terhadap pertemuan yang sifatnya evaluatif.

Penelitian mengenai sikap guru terhadap 46upervise dilakukan oleh

Neagley dan Evans (1980) memberikan kesimpulan, antara lain : (a) 46upervise yang

efektif didasarkan atas prinsip-prinsip yang sesuai dengan perubahan 46uperv dan

dinamika kelompok, (b) para guru menghendaki 46upervise yang dilakukan oleh

kepala Madrasah seharusnya seperti halnya yang seharusnya dikerjakan oleh tenaga

personil yang berjabatan supervisor, (c) kepala Madrasah tidak melakukan 46upervise

dengan baik, (d) semua guru membutuhkan 46upervise dan mengharapkan untuk

disupervisi, (e) para guru lebih menghargai (menilai positif) perilaku supervisor yang

“hangat”, saling mempercayai, bersahabat dan menghargai guru, (f) 46upervise

dianggap bermanfaat apabila direncanakan denga baik, menunjukkan sikap

membantu dan menyediakan model-model pengajaran yang dipandang efektif, (g)


47

memungkinkan peran serta guru yang cukup tinggi untuk pengambilan suatu

keputusan dalam pertemuan 47upervise, (h) mengutamakan pengembangan hubungan

insani, dan (i) menciptakan iklim organisasi yang terbuka, yang mampu

mengkondisikan pemantapan hubungan yang saling menunjang (supportif).

Kajian-kajian di atas tidak saja menyimpulkan adanya hubungan antara

persepsi, 47upervise47 sikap guru terhadap 47upervise (observasi dan pertemuan),

namun juga mengisyaratkan adanya kebutuhan yang didasari oleh guru untuk

memperbaiki dan meningkatkan keterampilan dalam proses belajar mengajar. Begitu

juga kepala Madrasah untuk meningkatkan keterampilan dan kegiatan dan layanan

47upervise.

Penelitian yang dilakukan oleh Mantja (1989) juga menyimpulkan

bahwa 47upervise47 sikap guru terhadap 47upervise ditentukan oleh kemanfaatan,

data pengamatan yang objektif, kesempatan menannggapi balikan, perhatian

supervisor terhadap gagasan guru. Supervisi yang teratur dan hubungan yang

diciptakan dapat mengurangi ketegangan emosional guru. Guru lebih menyukai

pendekatan 47upervise kolaboratif atau non directif.

2.9 Kinerja Mengajar Guru

Pada dasarnya guru telah memiliki kemampuan profesional yang

sifatnya kognitif, efektif, dan unjuk kerja, sehingga ia mampu melaksanakan tugas-

tugas kependidikan. (Tisma Amidjaja, 1980), namun akibat pertumbuhan dan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan pembangunan, maka

guru dituntut untuk terus menerus berupaya meningkatkan kinerja mengajarnya.


48

Dalam pembahsaan ini akan menguraikan pengertian kinerja, pengukuran dan

penilaian kinerja, serta peningkatan kinerja mengajar guru.

1. Pengertian Kinerja

Istilah kinerja mengambil istilah performansi yang memiliki kata lain.

Menurut manajemen istilah performansi atau disebut deengan kinerja. Kinerja dapat

berupa proses dan hasil kerja secara individu maupun organisasi. Hal ini berguna bagi

pengukuran efektifitas pencapaian tujuan dan pelaksanaan rencana. Menurut

Longenecker dan Pringel (1981), mengemukakan bahwa pengendalian kinerja berarti

pemantauan organisasi terhadap penetapan pencapaian tujuan dan pelaksanaan

rencana. Efektifitas penetapan tujuan dan pelaksanaan rencana ini relatif tergantung

sumber daya manusia dalam organisasi. Dengan demikian kinerja dapat berupa

kemampuan individu dalam melaksanakan tujuan dan rencana menurut standart

tertentu. Selanjutnya Smith (1976) mengaitkan kinerja dengan organisasi.

Menurutnya pengertian kinerja berhubungan dengan tugas aspek pokok yaitu :

perilaku, hasil dan efektifitas organisasi. Perilaku menunjukkan pada kegiatan dalam

pencapaian tujuan. Sementara hasil menunjukkan pada efektifitas perilaku individu,

baik bersifat objektif maupun subjektif, sedangkan efektif organisasi merupakan

langkah-langkah dalam pertimbangan hasil kerja organisasi yang menekankan pada

aspek-aspek proses.

2. Pengukuran dan Penilaian Kinerja

Pengukuran kinerja dilakukan dalam berbagai kegiatan, yang antara

kegiatan tersebut meliputi tahap proses dan tahap out put (pemanfaatan hasil). Dari
49

tahap pengukuran tersebut akan diperoleh data tentang kinerja. Data kinerja tersebut

setidaknya memiliki tiga tujuan pokok, yaitu tujuan 49irri49sional49e, tujuan

49irri49sio dan konseling, dan tujuan penelitian (Landy dan Farr, 1983). Data

tersebut dapat dimanfaatkan untuk menvalidasi prosedur seleksi, evaluasi program,

evaluasi motivasi dan kepuasan.

Untuk memperoleh informasi tentang kinerja terhadap berbagai

pendekatan, baik yang bersifat konseptual maupun operasional, yaitu melalui

pengukuran kinerja (Smith, 1976). Menurutnya ada tiga dimensi untuk

mengklafikasikan bentuk pengukuran antara lain : (a) rentang waktu pengukuran, (b)

spesifikasi pengukuran, dan (c) 49irri49sio pengukuran pada tingkat organisasi.

Rentang waktu pengukuran berarti hasil pengukuran kinerja dapat

diperoleh dengan segera setelah perilaku kerja selesai atau menyusul beberapa waktu

kemudian. Dimensi spesifikasi pengukuran dari suatu kerja bahwa pengukuran

difokuskan kepada aspek spesifikasi dari suatu kinerja atau diadasarkan pada nilai

kerja secara menyeluruh. Dimensi kerja dari pendekatan klafikasi pengukuran di atas

adalah dimensi kedekatan organisasi. Kedekatan dapat diartikan sebagai kesesuaian

dimensi yang memiliki tingkatan yaitu perilaku dan hasil efektifitas organisasi.

Tingkatan perilaku mengacu pada observasi langsung terhadap perilaku kerja.

Pada hakekatnya pengukuran kerja dimaksudkan untuk menilai kinerja.

Nilai kinerja tersebut adalah untuk mengukut efektifitas sumber daya manusia dalam

organisasi. Menurut Longnecker dan Pringel (1981) penilaian kerja itu harus : (1)

memberikan balikan kepada setiap individu dalam organisasi tentang kinerja dalam
50

suatu pekerjaan, (2) mengaitkan bentuk-bentuk hadiah seperti promosi, dan (3)

menunjukkan kepada pekerjaan cara-cara peningkatan kerja.

Hal-hal yang penting berkaitan dengan cara atau teknik penilaian

kinerja, termasuk komponen kekuatan dan kelemahan. Holley dan Junings (1987)

berpendapat bahwa komponen-komponen 50irri50 penilaian yang efektif mencakup :

(a) rehabilitas hasil penilaian harus konsisten (ajeg) sesuai dengan kinerja yang

sebenarnya, (b) validitas : penilaian harus mengukur apa yang seharusnya diukur,

berkaitan dengan pekerjaan dan sesuai dengan perilaku kerja yang diamati, (c)

standarisasi : penilaian dilakukan di bawah kondisi-kondisi yang standrt dan

terkendali, (d) pratikalisasi : 50irri50 penilaian harus mempunyai cara efesien dan

secara ekonomi dan tidak boros, (e) legalitas : 50irri50 penilaian divalidasi

berdasarkan petunjuk-petunjuk yang sama, (f) penilaian : program-program

pengembangan observasi keterampilan evaluasi serta peningkatan bimbingan

penilaian kerja.

3. Peningkatan Kinerja Mengajar Guru

Pengikatan kinerja mengajar guru identik dengan kemampuan

melaksanakan tugas guru serta meningkatnya motivasi kerja. Tingginya motivasi

kinerja guru diperoleh oleh persepsi mereka atas kemampuan melaksanakan tugas

guru. Faktor yang berpengaruh terhadap motivasi kerja dikemukakan Heraberg

(1979) yaitu 50irri50 kenaikan pangkat berdasarkan angka kredit dapat dinamakan

sebagai 50irri50 motivator yang memberikan kepuasan motivasi kerja, karena prestasi

kerja guru dihargai dalam bentuk angka kredit yang nantinya dapat digunakan dalam
51

mencapai kenaikan pangkat. Dengan 51irri51 kenaikan pangkat berdasarkan angka

kredit, guru juga dibebani tanggung atas profesi yang diembanntya. Tanggung jawab

tersebut pada gilirannya akan memberikan kepuasan dan merupakan 51irri51

motivator untuk berprestasi.

Dalam mengajar sebagai 51irri51 intruksional di dalamnya terkandung

beberapa komponen, yaitu tujuan pengajaran, materi pengajaran, metode mengajar,

alat pengajaran atau media pengajaran, evaluasi pengajaran dan situasi pengajaran.

Untuk dapat mengembangkan semua komponen dalam proses belajar mengajar itu

secara baik, maka seorang guru dituntut untuk memiliki berbagai kemampuan dalam

mengajar. Istilah kemampuan dalam buku Pola Pembaharuan Sistem Pendidikan

tenaga Kependidikan (1981) dikenal dan disebut dengan istilah kinerja atau

kompetensi.

Kemudian lebih lanjut dijelaskan pengertian kompetensi adalah

kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh seorang guru melalui pendidikan

atau latihan. Dalam hubungannya dengan tenaga 51irri51sional kependidikan dalam

hal ini guru-guru, kompetensi menunjuk kepada perbuatan yang bersifat rasional dan

membantu spesifikasi tertentu dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan, yang

didalamnya mencakup tiga dimensi, yakni : kompetensi pribadi, kompetensi

51irri51sional, dan kompetensi kemasyarakatan. Ketiga dimensi dalam

perwujudannya adalah perbuatan pelaksanaan tugas itu terjadi saling berhubungan

dan saling menunjang. Kemudian Borich dalam Wijono (1989.293) menguraikan

bahwa kemampuan atau kinerja guru itu meliputi : (1) kompetensi pengetahuan yang
52

menentukan perfektif kognitif guru, (2) kompetensi penampilan, yang menentukan

proses guru dalam mengajar, (3) kompetensi konsekwensi ynag menentukan tingkah

laku yang tampak sebagai bukti dari kesanglian guru dalam mengajar. Kemudian

Richey (1973) juga menguraikan bahwa kemampuan mengajar guru-guru itu adalah

mencakup beberapa aspek : (1) kemampuan memimpin, (2) kesehatan dan

kemampuan fisik, (3) tingkat pengetahuan yang cukup, (4) kemampuan intelektual

dan sifat ilmiah, (5) stabilitas emosional, dan (6) aspirasi 52irri52.

Demikian pula Harris, Ben, Kenneth, Vance, dan Daniel (1979)

mengajukan profile kompetensi guru adalah : (1) diagnosis awal, (2) diagnosis

khusus, (3) penentuan tujuan, (4) pengembangan rencana, (5) penggunaan material,

(6) berbagai metode, (7) penggunaan waktu secara efektif, (8) penggunaan catatan,

(9) modifikasi pengajaran, (10) pemeliharaan pengawasan, (11) pemeliharaan

lingkungan fisik, (12) menunjukkan antusias, (13) menjalankan dengan sukses, (14)

membangun hubungan, (15) komunikasi denga siswa, (16) evaluasi kemajuan siswa,

(17) komunikasi dengan orang tua dan lainnya, (18) pengetahuan pelajaran, (19)

keahlian dalam pelajaran, dan (20) sifat 52irri52sional.

Menurut model APKG (Depdikbud UT, 1984/1985) memberikan

penjelasan tentang kemampuan mengajar guru merupakan tiga kemampuan yang

esensial yang harus dimiliki seorang guru untuk melaksanakan tugas-tugas

instruksionalnya yang didalamnya mencakup : rancangan pengajaran, prosedur

pelaksanaan pengajaran, dan hubungan antar pribadi.


53

Untuk kemampuan rancangan pengajaran terdiri perencanaan

pengorganisasian bahan pengajaran, perencanaan pengelolaan kegiatan proses belajar

mengajar, perencanaan pengelolaan kelas, perencanaan penggunaan media, dan

perencanaan penilaian hasil belajar siswa.

Untuk mengajar di dalam kelas kemampuan minimal yang harus

dimiliki mencakup : menggunakan media, metode dan bahan latihan, berkomunikasi

dengan siswa, mendemonstrasikan khasanah metode mengajar, mendorong dan

menggalakan ketertiban siswa dalam pengajaran, mendemonstrasikan penguasaan

mata pelajaran, mengorganisasikan waktu, ruang, bahan dan perlengkapan,

melakukan evaluasi hasil belajar.

Untuk mengadakan hubungan pribadi, kemampuan minimal yang

seharusnya dimiliki oleh seorang guru adalah membantu mengembangkan sikap

positis pada diri siswa, bersikap terbuka dan luwesterhadap siswa dan orang lain,

menampilkan kegairahan dan kesunguhan dalam kegiatan belajar mengajar serta

dalam pelajaran yang diajarkan, mengelola interaksi pribadi dalam kelas.

Apabila ketiga kemampuan mengajar yang esensial ini dapat dimiliki

oleh seorang guru, maupun dapat diwujudkan dalam perbuatan mengajar itu, maka

akan terlaksananya suatu kegiatan belajar mengajar yang berkualitas.

Bertitik tolak dari beberapa pendapat tentang kinerja mengajar guru

tersebut, tampaknya kualitas kinerja mengajar tergambar dalam bagaimana efektifitas

guru itu di dalam melaksanakan program mengajarnya. Sehubungan dengan itu hasil

penelitian Ryan (dalam Richey, 1973) menguraikan bahwa 53irri-ciri perilaku guru
54

dalam mengajar yang efektif adalah : (1) siap siaga dan bersemangat, (2) tertarik pada

kegiatan siswa di dalam kelas, (3) suka cita dan optimis, (4) selalu mengontrol diri

dan tidak pernah tersinggung, (5) memiliki rasa humor, (6) menyadari kesalahan diri

sendiri, (7) objektif di dalam memperlakukan semua siswa, (8) sabar, (9) penuh

kegiatan dan simpatik dalam bekerja dengan siswa, (10) ramah tamah, (11)

membantu siswa dalam memahami diri dan masalahnya, (12) memuji dan memberi

hadiah bagi pekerjaan siswa, (13) menerima usaha-usaha siwa sebagai suatu yang

tulus, (14) mengantisifikasi reaksi siswa, (15) mendorong siswa untuk bekerja secara

lebih baik, (16) prosedur pengajaran direncanakan dengan baik, (17) prosedur

pengajaran secara fleksibal, (18) mengantisifikasi kebutuhan siswa, (19)

menstimulasi siswa melalui teknik dan materi yang menarik, (20) demonstrasi

praktek dan penjelasan-penjelasan sangat jelas, (21) pengarahan sangat jelas, (22)

mendorong siswa dalam menyelesaikan masalah sendiri dan menilai keberhasilannya,

(23) disiplin hormat, dan selalu positif, (24) membantu siswa dengan sungguh-

sungguh, dan (25) memecahkan masalah yang sulit.

Dari uraian di atas ternyata jela sekali dapat diketahui, bahwa antara

kemampuan atau kinerja mengajar guru dengan kualitas mengajarnya mempunyai

hubungan yang erat sekali, dan denga demikian pula masalah kualitas mengajar itu

merupakan masalah yang sangat komplek.


55

2.10 Hubungan Pelaksanaan Supervisi Pengajaran dengan Peningkatan Kinerja


Mengajar Guru

Pelaksanaan supervisi pengajaran yang meliputi aspek-aspek tujuan,

fungsi, dan pendekatannya jelas ada hubungannya dengan usaha peningkatan kinerja

mengajar para guru. Terlebih lagi kalau dilihat ruang lingkup binaannya utuh seperti

yang diuraikan dalam buku Pedoman Supervisi dan Pembinaan Profesional Guru

Madrasah Dasar (1991/1992) menyebutkan : (a) meningkatkan kemampuan guru-

guru dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar, (b) meningkatkan kemampuan

pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Dari kedua masalah pokok yang merupakan

ruang lingkup binaan supervisi pengajaran ini secara operasional lebih diperinci

antara lain sebagai berikut : (1) merencanakan kegiatan belajar mengajar dengan baik,

(2) kemampuan melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan baik, (3)

kemampuan menilai hasil belajar, (4) kemampuan untuk memberikan umpan balik

secara teratur dan terus menerus, (5) kemampuan membuat dan menggunakan alat

bantu mengajar secara sederhana, (6) kemampuan menggunakan/memanfaatkan

lingkungan sebagai sumber media pengajaran, (7) kemampuan membimbing dan

melayani siswa yang mengalami kesulitan belajar, (8) kemampuan mengelola dan

mengadministrasikan kegiatan belajar mengajar, ko dan ekstra kurikuler serta

kegiatan-kegiatan Madrasah lainnya.

Dengan adanya ruang lingkup binaan dalam pelaksanaan supervisi

pengajaran seperti yang diuraikan di atas denga didukung oleh kejelasan pelaksanaan

tujuannya berpedoman kepada fungsi dan peranan, maupun prinsip-prinsip dan


56

teknik-teknik yang tepat, maka kinerja mengajar guru-guru itu akan dapat

ditingkatkan, sebab pada dasarnya pelaksanaan supervisi pengajaran yang

dilaksanakan oleh kepala Madrasah ini adalah dalam rangka membantu guru-guru

untuk meningkatkan semua aspek kemampuannya yang diperlukan dalam mengajar.

Selanjutnya Kemp (1985) menguraikan hal-hal apa yang harus

diperhatikan sebagai elemen dalam suatu rancanagan pengajaran itu menjadi baik.

Elemen tersebut antara lain :

a. Menilai kebutuhan belajar untuk merancang sebuah program pengajaran,

menyertakan sasaran, hambatan dan prioritas yang harus dikenal.

b. Memilih topik-topik atau tugas-tugas yang harus ditangani atau menunjukkan

tujuan-tujuan umum yang harus dicapai menilai dengan seksama karakteristik

pelajar atau peserta latihan.

c. Mengenai muatan atau isi pelajaran dan menganlisis komponen tugas yang

berhubungan denga sasaran dan tujuan yang telah disebutkan.

d. Menyebutkan tujuan-tujuan pengajaran yang harus dicapai dalam bentuk isi

pengajaran dan komponen tugas.

e. Merancang kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan.

f. Memilih sumber daya untuk mendukung kegiatan pengajaran.

g. Merinci layanan pendukung yang diperlukan untuk mengembangkan dan

melaksanakan kegiatan-kegiatan atau menghasilkan materi-materi.


57

h. Mempersiapkan untuk melakukan evaluasi pengajaran dan hasil-hasil

program.

i. Menentukan persiapan para siswa atau peserta pelatihan untuk memperlajari

topik dengan memberikan postes kepada mereka.

Kesembilan elemen ini tidak saja semestinya harus ada dalam suatu

rancangan pengajaran, tetapi juga akan menggambarkan langkah-langkah yang

dilakukan dalam rancangan suatu pengajaran. Dalam hubungannya dengan langkah-

langkah menyusun suatu rancangan pengajaran, Gagne, dkk (1988) menguraikan ada

beberapa langkah yang harus dilalui, yaitu : (1) tujuan pengajaran, (2) analisis

pengajaran, (3) tingkah laku dan masukan karakteristik siswa, (4) perumusan tujuan,

(5) kriteria tes items, (6) strategi pengajaran, (7) materi pengajaran, (8) penilaian

formative, (9) penilaian sumative.

Dan pendapat-pendapat tersebut, semuanya yang disebutkan sebagai

elemen atau sebagai langkah-langkah yang dilalui dalam menyusun suatu rancangan

pengajaran, sebenarnya sekaligus juga menggambarkan kemampuan mengajar yang

bagaimana semestinya dimiliki oleh seorang guru, khususnya dalam merancang suatu

pengajaran.

Kalau ditelaah kembali ruang lingkup supervisi pengajaran yang

dilaksanakan oleh kepala Madrasah terhadap guru-guru, jelas sekali adanya hubungan

dengan jabaran kinerja mengajar guru baik menurut pendapat Kemp maupun Gagne.

Kemudian lebih lanjut dalam membahas hubungan pelaksaan supervisi

pengajaran terhadap peningkatan kinerja mengajar guru, juga didukung oleh beberapa
58

pendapat seperti Boadman, dkk (1961, Neagley dan Evans (1980) Marsk, Jams,

Emery, dan Joice (1980), Gorton (1976). Pada pokoknya menguraikan bahwa

pelaksanaan supervisi pengajaran adalah sebagai usaha untuk membnatu guru-guru.

Kemudian Pidarta (1985) mengungkapkan, bahwa terdapat hubungan signifikan

anatar pelaksanaan supervisi pengajaran itu dengan peningkatan profesi guru-guru

SMTA-SMTP di Jawa Timur, kemudian Bafadal (1990) menyimpulkan bahwa

pengawasan yang efektif mempunyai hubungan yang signifikan dengan kemampuan

profesional guru-guru agama wanita terutama dalam merencanakan pengajaran.

Dari uraian-uraian tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa

pelaksanaan supervisi pengajaran oleh kepala Madrasah apabila dilaksanakan atau

diimplementasikan dengan baik da betul kepada guru-guru MI akan meningkatkan

kinerja atau kemampuan mengajar guru, khususnya di dalam kelas.

2.1.1 Pengalaman Kepala Madrasah

Kepala Madrasah mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai pemimpin

dalam mengelola Madrasah bersama-sama denga tenaga kependidikan lainnya untuk

mencapai tujuan yang ingin dicapai yaitu tujuan pendidikan (Depdikbud, 1996).

Dalam mengelola Madrasah seorang kepala Madrasah perlu memiliki wawasan yang

luas setiap langkah dalam melaksanakan tugas kediknasannya senantiasa dilandasi

aturan yang berlaku. Karena aturan ini di satu sisi membatasi dan mencegah terhadap
59

penyimpangan yang dapat menghambat tercapainya tujuan pendidikan, disisi lain

memberi kesempatan yang luas dalam berkreatifitas dan beraktifitas dalam

menyelenggarakan Madrasah.

Kepala Madrasah yang memiliki latar belakang pendidikan dari

perguruan tinggi masa kerja yang cukup lama membekali upaya yang dilakukan

untuk meningkatkan kinerja mengajar guru.

2.12 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat

dikemukakan hipotesis penelitian ini sebagai berikut :

1. Terdapat pengaruh yang positif yang signifikan antara tingkat pelaksanaan

supervisi program pembelajaran oleh kepala Madrasah dengan peningkatan

kinerja mengajar guru MI se Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo.

2. Terdapat pengaruh positif yang signifikan antara tingkat pelaksanaan supervisi

kegiatan pembelajaran oleh kepala Madrasah dengan peningkatan kinerja guru MI

se Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo.

3. Terdapat pengaruh positif yang signifikan antara tingkat pelaksanaan supervisi

penilaian pembelajaran oleh kepala Madrasah dengan peningkatan kinerja guru

MI se Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo.

4. Terdapat pengaruh bersama yang positif signifikan antara tingkat pelaksanaan

supervisi program pembelajaran, supervisi pelaksanaan kegaiatan, dan supervisi

penilaian pembelajaran oleh kepala Madrasah dengan peningkatan kinerja guru

MI se Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo.


60

5. Terdapat pengaruh positif yang signifikan antara tingkat pengalaman kepala

Madrasah dengan kinerja mengajar guru MI se Kecamatan Wonoasih Kota

Probolinggo.

Anda mungkin juga menyukai