Anda di halaman 1dari 12

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN TINGKAT

KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN TBC

DI PUSKESMAS CIKARANG

PROPOSAL SKRIPSI

YUNI ARSITA

0432950719044

PROGRAM STUDI FARMASI S-1

FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI

UNIVERSITAS BANI SALEH

BEKASI, 2023
.

41
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Sosiodemografi RespondenTuberkulosis

Penelitian ini dilaksanakan di Poli DOTS Puskesmas Cikarang dimana

pengumpulan data penelitian dilakukan pada bulan Februari-Mei tahun 2023.

Hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk data umum dengan

menggunakan tabel distribusi frekuensi. Data umum dalam penelitian ini

meliputi karakteristik pasien berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan dan

pekerjaan.

Sosiodemografi pasien merupakan data yang menggambarkan pasien

Tuberkulosis yang menjadi sampel pada penelitian ini, terdiri dari usia, jenis

kelamin, pendidikan dan pekerjaan. Berikut adalah data dan penjelasan lengkap

mengenai sosiodemografi responden Tuberkulosis.

1. Usia Respondena

Pembagian Usia pasien menurut (WHO, 2018) dapat dilihat pada tabel IV.1.

Tabel IV.1. Usia Responden

No Usia Frekuensi Presentase %


1 Pemuda 18-65 tahun 28 93,3%
2 Setengah baya 66-79 tahun 2 6,7%
Total 30 100%

Berdasarkan tabel IV.1 maka dapat dilihat bahwa distribusi usia

pasien Tuberkulosis di Puskesmas Cikarang yang paling banyak terjadi pada

pasien Pemuda dengan rentan usia 18-65 tahun sebanyak 28 (93,3%).

Tuberkulosis banyak menyerang usia produktif. Faktor resiko yang

dapat menyebabkan terjadinya penyakit Tuberkulosis pada usia tersebut


52
meliputi faktor lingkungan, malnutrisi, gaya hidup (merokok), serta sanitasi

lingkungan (WHO, 2018).

Penderita Tuberkulosis di kawasan Asia terus bertambah, sejauh ini.

Asia termasuk kawasan dengan penyebaran kasus Tuberkulosis tertinggi di

dunia. Empat dari lima penderita Tuberkulosis di Asia termasuk kelompok

usia produktif (Riskesdas, 2018). Hal ini terlihat pada data Kemenkes RI

(2021) yang menunjukan sebesar 75% kasus penderita Tuberkulosis di

Indonesia terdapat pada usia produktif antara 15-50 tahun. Tuberkulosis dapat

terjadi pada semua golongan umur dari bayi sampai usia lanjut. Hal ini

menyebabkan tingginya kejadian Tuberkulosis pada kelompok produktif

dapat menurunkan kualitas hidup seseorang yang seharusnya berada pada

masa produktif. Usia produktif merupakan usia dimana seseorang berada

pada tahap untuk bekerja atau menghasilkan sesuatu baik untuk diri sendiri

maupun orang lain, baik itu dalam rumah maupun di luar rumah (WHO,

2018).

Penelitian ini sesuai dengan penelitian Hayati di mana menyatakan

bahwa penderita Tuberkulosis berdasarkan usia adalah penderita dengan usia

15-50 tahun sebesar 92%. Hal ini disebabkan karena pada usia tersebut

mayoritas pasien banyak menghabiskan waktu dan tenaga untuk bekerja.

Dengan kurangnya waktu istirahat maka daya tahan tubuh lemah sehingga

rentan terkena penyakit Tuberkulosis. Selain itu diasumsikan karena pada

kelompok usia 15-50 tahun adalah kelompok usia yang mempunyai mobilitas

yang sangat tinggi sehingga kemungkinan terpapar dengan bakteri

Mycobacterium tuberculosis lebih besar.

53
2. Jenis Kelamin Responden

Berdasarkan data responden Tuberkulosis di Puskesmas Cikarang

diketahui adanya perbedaan jumlah pasien Tuberkulosis berdasarkan jenis

kelaminnya. Karakteristik jenis kelamin pasien dapat dilihat pada tabul IV.2.

Tabel IV.2. Jenis Kelamin Responden

No Jenis Kelamin Frekuensi Presentase %


1 Laki-laki 19 63,3 %
2 Perempuan 11 36,7 %
Total 30 100 %

Berdasarkan tabul IV.2 maka didapatkan hasil jenis kelamin laki-laki

sebnayak 63,3% dan perempuan sebanyak 36,7%. Penelitian ini menunjukan

bahwa posisi jenis kelamin laki-laki lebih banyak terkena penyakit

Tuberkulosis dibandingkan proporsi jenis kelamin perempuan.

Sesuai dengan teori Riskesdas, (2018) yang menjelaskan bahwa pada

jenis kelamin laki-laki rentan terkena Tuberkulosis karena faktor predisposisi

seperti merokok tembakau dan minum alkohol yang dapat menurunkan sistem

pertahanan tubuh. Hasil penelitian ini didukung oleh Makhfudli pada tahun

2020 yang menyimpulkan bahwa laki-laki memang lebih rentan terkena infeksi

kuman Tuberkulosis. Selain itu hal ini bisa dijelaskan pula bahwa laki-laki

mempunyai kesempatan untuk terpapar kuman Tuberkulosis dibandingkan

dengan perempuan, laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas di luar rumah

(termasuk mencari nafkah) sehingga kesempatan untuk terpapar bakteri

Tuberkulosis dari penderita Tuberkulosis lainnya lebih besar dibandingkan

dengan perempuan.

54
3. Tingkat Pendidikan Responden

Berdasarkan data responden Tuberkulosis di Puskesmas Cikarang

dengan penggolongan latar belakang pendidikan pasien dapat dilihat pada tabel

IV.3.

Tabel IV.3. Tiingkat Pendidikan Responden

NO Pendidikan Frekuensi Presentase %


1 Tidak Sekolah 2 6,7%
2 SD 5 16,7%
3 SMP 10 33,3%
4 SMA 11 36,7%
5 Perguruan Tinggi 2 6,7%
Total 30 100%

Hasil penelitian menunjukan bahwa persebaran penderita Tuberkulosis

sebagian besar adalah berpendidikan SMA dengan jumlah 11 (36,7%).

Berdasarkan hasil penelitian Arditia, (2018) menyebutkan bahwa sebanyak 32

orang (88,88%) mempunyai pendidikan tinggi yang baik, dan cukup baik

sebanyak 4 orang (11,11%). Peningkatan kepatuhan pada penyakit

Tuberkulosis memiliki kolerasi dengan tinggi rendahnya latar belakang

pendidikan responden. Semakin tinggi pendidikan, maka akan semakin

memiliki wawasan atau pengalaman yang luas dan cara berfikir serta cara

bertindak yang baik. Pendidikan yang rendah mempengaruhi tingkat

pemahaman terhadap informasi yang sangat penting tentang perilaku

kepatuhan dalam menjalani terapi pengobatan Tuberkulosis segala dampak

negatif yang akan ditimbulkannya, karena pendidikan rendah berakibat sulit

untuk menerima informasi baru serta mempunyai pola pikir yang sangat sempit

serta masih adanhya beberapa responden dengan latar belakang pendididkan

rendah yang memiliki perilaku tidak patuh dalam menjalani terapi pengobatan

Tuberkulosis (Riskesdas, 2018).

55
4. Pekerjaan Responden

Berdasarkan data responden Tuberkulosis di Puskesmas Cikarang

diketahui adanya perbedaan jumlah responden Tuberkulosis menurut status

pekerjaan. Karakteristik status pekerjaan responden dapat dilihat pada tabel

IV.4.

Tabel IV.4. Pekerjaan Responden

NO Pekerjaan Frekuensi Presentase %


1 Karyawan Swasta 11 36,7%
2 Wiraswasta 4 13,3%
3 Buruh Tani 2 6,7%
4 Ibu Rumah Tangga 9 30%
5 Tidak Bekerja 4 13,3%
Total 30 100 %

Pada tabel diatas diketahui bahwa kelompok responden untuk kategori

jenis status pekerjaan yang paling banyak ditemukan pada pekerja Karyawan

Swasta sebanyak 11 (36,7%). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh

peneliti secara langsung, didapatkan bahwa responden yang berada di

Puskesmas Cikarang yang menderita penyakit Tuberkulosis sebagian besar

bekerja sebagai karyawan swasta. Hal ini dekarenakan karyawan swasta sendiri

merupakan seseorang atau pegawai yang bekerja disuatu lembaga, perusahaan

intansi, atau perusahaan yang bukan milik pemerintah (BUMN), karyawan

swasta mendapatkan gaji yang sebelumnya telah diajukan dan disepakati oleh

kedua belah pihak yaitu karyawan dan perusahaan.

Karyawan swasta tidak semuanya bekerja di ruangan terbuka, ruangan

tertutp pun sangat memicu terkena penyakit Tuberkulosis. Ruangan yang

tertutup tanpa adanya ventilasi yang memadai hingga menyebabkan kurangnya

paparan sinar matahari (suhu yang lembab), menyebabkan kuman Tuberkulosis

dapat hidup lama disana. Hal ini dapat menginfeksi orang-orang yang ada

56
didalamnya secara mudah, terutama bagi mereka yang tinggal didalamnya

dalam waktu lama. Pekerja yang sehari-hari berhubungan langsung dengan

banyak orang dalam lingkungan tertutup memiliki resiko tertular lebih besar.

Selain itu, lingkungan pekerjaan yang diperparah oleh sistem ventilasi yang

kurang baik juga membuat profesi seperti kasir, custumer service rentan

menderita Tuberkulosis. Selain itu, beberapa responden tidak patuh dalam

menggunakan masker dan kurang waktu istirahat serta pola gaya hidup yang

tidak sehat sehingga akhirnya mengganggu kesehatannya serta mudah

mengalami penyakit Tuberkulosis (Arditia, 2018).

B. Analisi Univariat

1. Tingkat Pengetahuan tentang Tuberkolosis

Tabel IV.5. Tingkat pengetahuan tentang TB

Tingkat Pengetahuan Frekuensi Presentase %


Baik 21 70%
Cukup 9 30%
Kurang 0 0%
Total 30 100%

Tingkat pengetahuan responden tentang TB dapat dilihat pada Tabel

4.5. Pada tabel tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas responden

berpengetahuan baik. Pengetahuan dipengaruhi beberapa faktor yaitu

pendidikan dan penyuluhan tentang TB dari petugas kesehatan.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi 2021

persentase pendidikan tertinggi penduduk adalah lulus Perguruan Tinggi

sebesar 28,24%, SMA/SMK yaitu sebesar 25,57%, SMP sebesar 5,63% ,

SD sebesar 23,39% dan sisanya tidak sekolah 17,7%. Dan hasil penelitian di

Puskesmas Cikarang pendidikan terakhir terbanyak adalah SMA dan

57
selama melakukan pengobatan responden mendapatkan penjelasan tentang

TB dari dokter maupun dari petugas kesehatan. Hal ini sepemikiran dengan

penelitian Yuda (2018) menyampaikan bahwa sebagian besar responden

mempunyai pengetahuan yang baik (Yuda et al., 2018). Hasil penelitian

Wahyuni (2020) juga menyatakan bahwa pengetahuan responden tentang

TB mayoritas adalah baik (Wahyuni, 2020)

Pengetahuan merupakan bidang kognitif yang sangat berperan

penting dalam membentuk perilaku seseorang (over behavior)

(Notoatmodjo, 2018). Hal tersebut ada hubungannya dengan teori

Lawrence Green dalam (Notoatmodjo, 2018) bahwa pengetahuan menjadi

salah satu faktor predi sposisi yang menjadi dasar keinginan seseorang

melakukan sesuatu untuk perilaku patuh dalam pengobatan. Pengetahuan

responden TB yang baik didukung dengan latar pendidikan (Nur Fitria

& Mutia, 2019). Hal ini juga didukung menurut teori Notoatmodjo

(2018) yang mengatakan bahwa pengetahuan seseorang dipengaruhi tingkat

pendidikan, jika semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan mudah dalam

menerima informasi Penelitian Himawan et al., (2018) juga mengatakan

bahwa pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan,

semakin lama dalam menempuh pendidikan maka akan semakin baik tingkat

pengetahuan seseorang.

Selain dari faktor pendidikan, faktor lain yang dapat

mempengaruhi pengetahuan adalah adanya penyuluhan kesehatan oleh

petugas kesehatan mengenai TB yang rutin dan melakukan kunjungan dari

rumah ke rumah (Himawan et al., 2019). Seseorang yang mempunyai

pengetahuan tinggi berpeluang besar akan mudah menerima informasi

58
tentang kesehatan dan akan menggunakan fasilitas kesehatan dengan

baik. Perilaku kesehatan juga didasari oleh pengetahuan. Sehingga jika

semakin tinggi pengetahuan semakin tinggi pula kesadaran dan memiliki

dorongan untuk sembuh (Notoatmodjo, 2018).

2. Tingkat Kepatuhan

Tabel IV.6 Tingkat Kepatuhan

Tingkat Kepatuahan Frekuensi Presentase %


Tinggi 24 80%
Sedang 6 20%
Rendah 0 0%
Total 30 100%

Tingkat kepatuhan pada penderita TB paru dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan responden adalah

kepatuhan tinggi (80%) dan kepatuhan sedang 20%. Berdasarkan hasil

penelitian sebagian besar responden berpendidikan terakhirnya adalah

SMA, berjenis kelamin laki laki berusia tahun 18-65 tahun masih bekerja

dan berstatus sudah kawin sehingga memiliki kesadaran untuk ingin

sembuh dan patuh dalam pengobatan karena berperan sebagai kepala

keluarga. Responden banyak yang patuh karena setiap mengambil obat

petugas kesehatan memotivasi untuk patuh dalam minum obat dan

mendapatkan dukungan dari keluarga. Namun, masih ada enam responden

yang tingkat kepatuhannya sedang karena tingkat pengetahuan tentang TB

kurang. Dari empat responden tersebut ada alasan lain yaitu satu responden

hanya tinggal sendiri di rumah tidak ada keluarga atau tetangga yang

mengantar untuk kontrol ke puskesmas sedangkan dua responden mengatakan

59
memilih untuk berobat tradisional, merasa sudah sembuh dan hanya

menganggap batuk biasa sehingga tidak melanjutkan berobat.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Gunawan (2019) bahwa

90,7% responden patuh dan 9,3% tidak patuh (Adelia Ratna Sundari

Gunawan et al., 2019). Dan sejalan juga dengan hasil penelitian dari Sara &

Suprayitno (2020) bahwa responden patuh sebesar 84,6% (Sara &

Suprayitno, 2020). Menurut Pameswari (2021) mengatakan bahwa sebagian

besar pasien TB patuh pengobatan serta ingat dalam meminum obat

karena memiliki keinginan sembuh dari penyakitnya (Pameswari et al.,

2021).

C. Analisi Bivariat

Penelitian ini, untuk menilai tingkat pengetahuan dan tingkat

kepatuhan menggunakan skala ordinal. Sehingga menggunakan uji

spearman rank.

Tabel IV.7. Hubungan pengetahuan dengan tingkat kepatuhan minum

obat TB di Puskesmas Cikarang

Kepatuhan
Tinggi Sedang Total
Pengetahuan Baik F 20 1 21
% 95,2% 4,8% 100%
Cukup F 4 5 9
% 44,4% 55,6% 100%
Total F 24 6 30
% 80% 20% 100%
P-Value* Koefisien
0,001 0,582

Hubungan antara Pengetahuan tentang TB memiliki hubungan yang

signifikan dengan perilaku kepatuhan minum obat bagi penderita TB di Wilayah

Kerja Puskesmas Cikarang. Hasil Uji Spearman rank didapatkan p=0.001

menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang TB

60
dengan kepatuhan minum obat. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,582

menunjukkan bahwa kekuatan hubungan korelasi kategori cukup dan berkorelasi

positif sehingga jika semakin baik pengetahuan maka semakin tinggi pula tingkat

kepatuhan. Responden yang memiliki pengetahuan tentang TB baik dan cukup

semuanya patuh dalam minum obat anti tuberkulosis karena pengetahuan yang

baik dan cukup akan mengubah perilaku seseorang dan memiliki kesadaran untuk

patuh dalam pengobatan. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Saragih &

Sirait (2020) bahwa ada hubungan yang signifikan pengetahuan dengan kepatuhan

minum obat anti tuberculosis dengan nilai p=0,003 (Saragih & Sirait, 2020). Hasil

penelitian dari Bawihu, L. C. (2018) juga menyatakan bahwa terdapat hubungan

antara pengetahuan dengan kepatuhan dalam program pengobatan tuberculosis

paru dengan p=0,002 (Bawihu et al., 2018). Responden yang memiliki tingkat

pengetahuan yang kurang akan cenderung tidak patuh dalam minum obat.

Pengetahuan juga dapat dipengaruhi oleh persepsi, misalnya sebagian responden

memiliki persepsi dengan menyamakan kejadian yang dialami keluarganya yang

sama-sama terdiagnosa TB dan melakukan pengobatan pun akan tetap meninggal.

Sehingga semakin tinggi pengetahuan dan pendidikan maka semakin tinggi juga

kesadaran pasien terhadap penyakitnya serta semakin tinggi juga kesadaran dalam

melakukan pengobatan secara tuntas (Widyastuti, 2019).

61

Anda mungkin juga menyukai