Anda di halaman 1dari 4

Dari Kini Hingga Nanti

19 Nopember 2014 usia ku genap 21 tahun, dan aku sudah


menyelesaikan kuliah diploma ku, yang artinya aku tidak lagi masuk tanggungan
asuransi kesehatan ibu ku yang berstatus Pegawai Negeri sipil.

Pada tahun itu sedang ramai-ramainya orang membicarakan tentang


peralihan asuransi kesehatan dari kartu yang berwarna kuning menjadi kartu
putih yang bergoreskan warna hijau dan biru, yang kita kenal sekarang dengan
nama Kartu BPJS Kesehatan.

Mendengar kabar, isu , cerita dan pengalaman banyak orang dari TV,
internet maupun cerita langsung membuatku sangat berpikir keras karena ada
kata “Iuran” disana. Terlintas di benakku ,”koq bayar? Ia kalau sakit, kalau
enggak sakit uangnya kemana ?”

Di sisi lain tak sedikit pula masukan positif yang masuk, sehingga
akhirnya akupun datang dengan teman kuliah ku dulu, untuk melakukan
peralihan kartu ASKES ke BPJS. Disana Aku dijelaskan secara singkat, padat
dan sangat jelas bahwa aku sudah harus keluar dari tanggungan gajih ibuku ,
dan dibantu pula menentukan pilihan iuran yang wajib dibayar setiap bulannya.

5 tahun berlalu, awal tahun 2019 aku menikah, dan dibulan kemudiannya
aku langsung hamil. Dari sini lah aku mulai mengerti betapa pentingnya ,betapa
membantunya iuran yang ku cicil dari 5 tahun yang lalu.

Suatu hari aku merasa sangat tidak sehat. Badanku terasa panas, sakit
kepala hebat dan aku mual muntah berlebihan. “Apakah kamu baik-baik saja ?”
tanya ibuku, dan akupun menjawab “mah, jangan khawatir, ini hal yang wajar
saat hamil. Nanti aku minta Kris infus dirumah, pasti langsung segar kembali”
.Malam harinya aku meminta teman ku yang bernama Kris untuk merawatku
dirumah. Kris adalah teman seusiaku yang bekerja sebagai perawat di sebuah
puskesmas.

Keesokan harinya, kesehatan ku tidak begitu membaik. Aku masih


demam. Kris pun memberikan pilihan “Vi, mending kamu periksa ke puskesmas
atau langsung ke IGD, kan kamu lagi hamil. BPJS ada kan ?” Aku hanya terdiam.
Mengingat iuran BPJS ku yang entah kapan terakhir aku membayarnya. Aku
langsung menelpon suamiku yang bekerja diluar kota, dan suamiku pun
berpendapat yang sama dengan Kris. Malam itu aku langsung mendownload
aplikasi Mobile JKN untuk mengecek tunggakan dan kepesertaan BPJS. Benar
saja , tunggakan yang luar biasa! Lebih dari satu Juta Rupiah. Setelah
menghitung-hitung saldo dana taktis yg ku selip, oke fix besok bayar tunggakan
ke Bank sekaligus ke kantor BPJS.

“Selamat Pagi Bu, ada yang bisa kami bantu?” sapa pak satpam kantor
BPJS. “Oh iya Pak, Ini saya mau mengurus tunggakan kartu BPJS sekaligus
mau merubah data karena saya sudah menikah”, ungkap ku sembari
menyodorkan tampilan aplikasi JKN Mobile. Tak perlu waktu yang lama aku
langsung dibantu Pak Satpam untuk melengkapi formulir dan menghadap
petugas kantor BPJS.

Dalam waktu 1 jam, semua urusan ku selesai, dengan mengantongi


informasi yang cukup jelas dari petugas yang ganteng dan ramah itu (ehem) aku
melanjutkan urusanku untuk memeriksakan diri ke puskesmas.

Setibanya dipuskesmas, aku mendapatkan pelayanan yang sama dengan


peserta BPJS lain. Tak ada perbedaan yang spesifik antara pasien dengan BPJS
kelas I,II atau III. Karena jujur saja, sering kudengar isu-isu tentang perbedaan
perlakuan petugas terhadap pasien BPJS. Karena tadi aku memilih hak kelas II
yang cukup ramah dan bersahabat dikantongku. Akhirnya dokter menyarankan
ku untuk rawat inap di RS karena hasil cek lab darahku menunjukkan sebuah
kesimpulan yaitu penyakit Typoid.

Saat aku di rawat, suamiku tak bisa pulang karena tugas. Saat malam
hari ada kakak sulung ku yang menemani tidur, sedangkan siang hari aku
sendiri.

Ketika aku sedang asyik menonton Televisi, tiba-tiba datang seorang


perawat menghampiriku dan berkata, “Permisi Ibu Evi, selamat pagi . saya mau
konfirmasi tentang tagihan denda BPJS ibu agar kartu ibu bisa dipergunakan.”
Akupun terheran. Padahal aku sudah melunasi semuanya. “Mohon maaf
sebelumnya bu, tagihan apa lagi ya bu? Perasaan saya sudah melunasinya
sebelum saya periksa ke Puskesmas kemarin ?” Tanya ku sembari mengerutkan
kening.”Begini bu, jadi karena ada keterlambatan pembayaran iuran, ibu
dikenakan denda rawat inap tingkat lanjut, sehingga saat ibu menjalani
perawatan rawat inap, ibu harus membayar denda terlebih dahulu sesuai tagihan
di kantorpos. Jika ibu sdh membayar denda tersebut maka kartu BPJS ibu bisa
digunakan kembali,” jelas perawat itu dengan ramah. Akupun terdiam, wahh…
terjawab sudah pertanyaan kui selama ini. Aku sering menunggakkan tagihan,
dan setelah aku membayarnya pasti muncul tulisan denda RITL. “ Baik bu, nanti
keluarga saya yang mengurus secepatnya, terimakasih atas infonya,” jawabku.
Kemudian perawat itu pamit permisi keluar meninggalkanku.

Akhirnya kaka laki-laki ku mengurus semuanya . dan selesai hanya dalam


hitungan jam. Ahh,,, lega rasanya akhirnya bisa tidur dengan tenang di kamar
hotel putih ini.

Beberapa bulan berselang tibalah hari persalinan. Malam hari aku sudah
mulai keluar ciri lendir darah. Aku mulai panik, namun harus tetap merasa
tenang.. Aku sudah merencanakan persalinan di RS, karena aku ada riwayat
Asma yang mungkin akan menjadi resiko jika melahirkan dirumah, selain itu pula
karena aku ingin mempergunakan kartu BPJS ku. Dan selama hamil pun aku
memeriksakan kandungan ke puskesmas, dan beberapa kali konsultasi dokter
kandungan menggunakan kartu BPJS, dan itu semua tanpa biaya, wow hemat
sekali donk. Sebenarnya aku sempat ingin keklinik swasta untuk melahirkan,
karena kabar – kabar burung jika melahirkan di RS menggunakan BPJS tidak
dilayani seperti pasien yang umum atau yang kelas I dan teman-teman memang
banyak yang memilih klinik swasta. Namun karena beberapa pertimbangan
tentang kemungkinan terburuk pun sekaligus juga hemat dana , yah aku memilih
apapun itu nanti aku tetap lahiran pake BPJS di rumah sakit titik tanpa koma.

9 Oktober 2019 aku melahirkan putri pertamaku dengan berat 3,1 kg


didampingi suami dan kakak perempuanku. Aku melahirkan di ruang yang sama,
fasilitas yang sama, perawatan dan tindakan yang sama dengan pasien umum
dan pasien BPJS kelas I. Tidak ada perbedaan pelayanan, dan tidak ada
pembabayaran 1 rupiah pun sampai selesai perawatan rawat inap. Siapa yang
membayarnya? Apa ada donatur yang menjamin? Mungkin saat ini, kita bayar
iuran dan kita belum menikmatinya, namun kita membantu orang lain yang
memerlukan. Begitupula sebaliknya, saat kita sakit, kita dibantu oleh peserta
yang lain. Maka dari itu, tidak ada yang sia-sia saat kita melakukan pembayaran
iuran BPJS untuk gotong royong membantun sesama, dari kini hingga nanti.

Anda mungkin juga menyukai