Anda di halaman 1dari 4

Cita-citaku

Oleh Hanifah Nur Fadilla, 1906349495

Semua orang pasti mempunyai cita-cita dan mereka mempunyai caranya


tersendiri untuk merealisasikan mimpi-mimpi yang telah dirancangnya sesempurna
mungkin. Begitu pula dengan saya. Saya mempunyai banyak sekali mimpi yang
telah saya rancang sejak kecil.

Kedua orang tua saya bekerja di bidang kesehatan. Ibu saya bekerja sebagai
seorang apoteker dan ayah saya bekerja sebagai seorang perawat. Kedua orang tua
saya bekerja di salah satu rumah sakit di Kabupaten Bogor. Ibu saya ditempatkan
di apotek rumah sakit dan ayah saya ditempatkan di bagian IGD.

Sejak kecil, saya sudah tidak asing dengan berbagai profesi yang ada di dunia
kesehatan karena saya sering diajak pergi ke tempat kerja orang tua. Sebagai orang
yang senang mengamati, saya sering mengamati bagaimana apoteker menyiapkan
obat untuk pasien, mengamati bagaimana dokter bekerja melayani para pasien, dan
tentunya mengamati bagaimana sigapnya para perawat bekerja merawat para
pasien. Secara keseluruhan, ada satu profesi yang membuat saya tertarik untuk
mencari tahu lebih jauh, yaitu profesi dokter. Semenjak hari itu, saya sudah
mengetahui tujuan saya.

Saya mencari tahu apa saja macam-macam spesialis di kedokteran. Setelah


mendapat banyak informasi, saya memutuskan ingin menjadi dokter spesialis
bedah. Setiap orang yang bertanya apa cita-citanya, saya selalu menjawab “pengen
jadi dokter bedah.” Semenjak masuk SMP, saya mulai belajar lebih rajin dari
sebelumnya agar bisa masuk ke SMA favorit di Kota Bogor, tetapi orang tua saya
menginginkan saya untuk tetap melanjutkan di pesantren.

Duduk di bangku SMA, saya mulai mencari tahu tentang universitas karena
saya belum tahu apa pun tentang universitas yang ada di Indonesia, termasuk nama
universitasnya. Universitas yang pertama kali saya tahu yaitu Universitas Gadjah
Mada, karena saya pernah mengunjunginya satu kali pada saat saya SD. Pada
akhirnya saya telah memutuskan universitas mana yang akan saya tuju, yaitu
Universitas Gadjah Mada atau UGM.
Selain mencari tahu tentang universitas, saya juga mencari tahu tentang jurusan
yang saya tuju, yaitu kedokteran. Saya sudah mengetahui jika kuliah kedokteran
membutuhkan waktu lebih lama dari jurusan lain. Saya bisa menerima itu, saya
berpikir kuliah kedokteran itu pasti lebih sulit karena mempelajari tentang tubuh
manusia, penyakit-penyakit, sedikit tentang obat, dan lainnya. Namun ada satu hal
yang membuat saya langsung menyerah, yaitu cara untuk masuk ke kedokteran
UGM.

Mengapa saya menyerah begitu saja? Karena guru BK di sekolah saya


bercerita, jika dari sekolah saya alumninya masih sedikit yang berkuliah di UGM
jadi untuk masuk ke UGM melalui jalur SNMPTN sangat sulit. Pada saat itu yang
saya pikirkan hanya masuk UGM lewat jalur SNMPTN. Jadi saya berpikir untuk
merubah cita-cita saya. Akhirnya saya mencari tahu lebih lanjut apa yang disuka
dan tentunya beserta universitasnya.

Saya yang sangat menyukai pelajaran kimia dan merasa sangat menguasai
memutuskan untuk nantinya kuliah di jurusan kimia IPB saja. Akhirnya saya
memberitahu orang tua tentang perubahan tujuan tersebut. Awalnya orang tua
setuju saja dan sangat mendukung apa pun pilihannya asalkan saya bisa
bertanggung jawab atas pilihan sendiri. Mulai hari itu, saya mulai melupakan mimpi
saya untuk menjadi dokter spesialis bedah.

Secara mengejutkan pada saat kelas 12, orang tua saya tiba-tiba menentang
pilihan saya untuk berkuliah di kimia IPB. Ibu saya berkata jika kuliah di jurusan
kimia itu sangat berisiko terkena kanker karena akan sering terpapar zat kimia yang
bersifat racun. Karena sangat teguh pendirian, akhirnya ketika SNMPTN 2018 saya
mengambil jurusan kimia di IPB. Saya berpikir akan diterima karena nilai yang
dirasa cukup untuk jurusan tersebut. Saya sangat berharap untuk diterima SNMPTN
agar bisa lebih tenang karena sudah mendapat kampus. Namun, nyatanya saya tidak
ditakdirkan berleha-leha setelah pengumuman SNMPTN, saya gagal SNMPTN
2018.

Setelah UN, saya mulai memantapkan pelajaran untuk persiapan SBMPTN


2018. Tiba saat pendaftaran SBMPTN, saya tetap memilih kimia IPB di pilihan
kedua karena sangat yakin akan diterima. Saya memilih farmasi UI di pilihan
pertama saya hanya untuk menyenangkan orang tua saya.

Tiba hari pengumuman, saya dinyatakan tidak lolos untuk yang kedua kalinya.
Semua ujian mandiri yang saya ikuti pun tidak ada yang lolos. Rasanya saya sangat
kecewa karena belum bisa memberikan yang terbaik. Saya merasa semua usaha
saya sia-sia karena saya tidak diberi apa yang saya inginkan. Saya tidak memiliki
opsi untuk kuliah di Perguruan Tinggi Swasta, akhirnya saya memutuskan untuk
menunda kuliah terlebih dahulu.

Di SBMPTN 2019 ini saya sudah memikirkan dengan matang apa yang akan
saya pilih nantinya. Saya mengajukan banyak pertanyaan kepada diri saya “Jika
nanti saya diterima di kimia, apa saja yang akan saya lakukan nanti? Hal apa yang
membuat saya ingin berkuliah di jurusan kimia? Apa saja yang akan saya lakukan
ketika sudah lulus nanti?.” Cukup banyak pertanyaan yang saya ajukan pada diri
saya dan cukup banyak pula yang tidak bisa terjawab. Terakhir, saya bertanya lagi
kepada diri sendiri “Bagaimana bisa jadi bermanfaat untuk banyak orang jika kamu
saja tidak tahu apa yang akan kamu lakukan nanti.” Setelah berpikir cukup lama,
akhirnya saya memutuskan untuk mengejar apa yang orang tua saya bilang, yaitu
mengambil farmasi.

Pendaftaran SBMPTN 2019 pun tiba. Saya menaruh farmasi UI di pilihan


pertama dan keperawatan UI di pilihan kedua. Saya memilih keperawatan UI itu
spontan saja. Tanpa pertimbangan apa pun dan tidak berpikir akan diterima di
pilihan kedua karena sangat optimis akan diterima di pilihan pertama.

Ketika membuka pegumuman, ternyata saya diterima di keperawatan UI. Saya


senang sekaligus kaget karena memang memilih jurusan ini tanpa berpikir panjang.
Saya sempat berpikir sepertinya saya tidak akan bisa mengikuti karena memang
tidak berminat. Namun, saya melihat ayah saya yang seorang perawat. Selain
bekerja di Rumah Sakit, ayah saya juga aktif mengikuti kegiatan relawan sebagai
tim medis di daerah yang terkena bencana. Melihat ayah, saya sadar jika sebenarnya
bercita-cita ingin menjadi orang yang bermanfaat bisa dengan menjadi seorang
perawat karena perawat memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu,
menjadi perawat juga merupakan tugas mulia yang tidak semua orang bisa karena
pastinya membutuhkan rasa empati yang besar.

Saya berharap dengan berkuliah di keperawatan, nantinya saya bisa menjadi


orang yang berguna di masyarakat. Bisa ikut berkontribusi dalam mensosialisasikan
ke masyarakat jika kesehatan itu suatu hal yang krusial. Tentunya saya juga ingin
mengubah stigma profesi perawat yang saat ini beredar di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai