Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Perioperatif
1. Definisi Perioperatif
Keperawatan perioperatif adalah praktik keperawatan yang akan
dilakukan secara berkesinambungan sejak keputusan untuk operasi diambil
hingga sampai meja pembedahan, dan berakhir di ruang rawat post operasi.
Hal ini dilakukan tanpa memandang riwayat atau klasfikasi pembedahan
(Maryunani, 2015)
Menurut Mutaqqin & Sari (2013) terdapat tiga fase perioperatif yaitu
fase pra operatif, fase intra operatif, dan fase post operatif.
a. Fase pra operatif dimulai saat keputusan untuk melakukan pembedahan
sampai berakhir di meja operasi. Pada tahap ini akan dilakukan
pengkajian secara umum untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien,
sehingga intervensi yang dilakukan perawat sesuai. Pengkajian pada
tahap pra operatif meliputi pengkajian umum, riwayat kesehatan dan
pengobatan, pengkajian psikososiospiritual, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan diagnostik.
b. Fase intra operatif dimulai saat pasien dipindahkan ke meja operasi dan
berakhir di ruang pemulihan atau ruang pasca anastesi. Pada tahap ini
pasien akan mengalami beberapa prosedur meliputi anastesi,
pengaturan posisi bedah, manajemen asepsis dan prosedur tindakan
invasif akan memberikan implikasi pada masalah keperawatan yang
akan muncul. Pengkajian pada tahap ini lebih kompleks dan dilakukan
secara cepat serta ringkas agar segera bisa dilakukan tindakan
keperawatan yang sesuai. Perawat berusaha untuk meminimalkan
risiko cedera dan risiko infeksi yang merupakan efek samping dari
pembedahan.
c. Fase post operatif dimulai saat pasien masuk ke ruang pemulihan
sampai pasien dalam kondisi sadar sepenuhnya untuk dibawa ke ruang
rawat inap. Proses keperawatan pasca operatif akan dilaksanakan
secara berkelanjutan baik di ruang pemulihan, ruang intensif, maupun

5
ruang rawat inap. Pengkajian pada tahap ini meliputi pengkajian
respirasi, sirkulasi, status neurologi, suhu tubuh, kondisi luka dan
drainase, nyeri, gastrointestinal, genitourinari, cairan dan elektrolit dan
keamanan peralatan.
2. Konsep Varikokelektomi
Ligasi dari vena spermatika interna dilakukkan dengan berbagai
teknik. Teknik yang paling pertama dilakukkan dengan memasang clamp
eksternal pada vena lewat kulit skrotum. Operasi ligasi varikokel termasuk
retroperitoneal, ingunal atau sublingual, laparoskopik dan mikrokroskopik
varikokelektomi.
a. Teknik retroperitoneal (palomo)

Gambar 2. 1 Teknik Retroperitoneal (Palomo)

Teknik retroperitoneal (palomo) memiliki keuntungan


mengisolasi vena spermatika interna kearah proksimal, dekat dengan
lokasi drainase menuju vena renalis kiri. Pada bagian ini, hanya 1 atau
2 vena besar yang terlihat. Sebagai tambahan, arteri testikular belum
bercabang dan seringkali berpisah dari vena spermatika interna.
Kekurangan dari teknik ini yaitu sulitnya menjaga pembuluh limfatik
karena sulitnya mencari lokasi pembuluh retroperitoneal, dapat
menyebabkan hidrokel post operasi. Sebagai tambahan, angka
kekambuhan tinggi karena arteri testicular terlindungi oleh pleksus
periarterial (vena comitantes), dimana akan terjadi dilatasi seiring
berjalannya waktu dan akan menimbulkan kekambuhan. Paralel

6
ingunal atau retroperitoneal kolateral bermula dari testis dan bersama
dengan vena spermatika interna kearah atas ligasi (cephald), dan vena
kremaster yang tidak terligasi, dapat menyebabkan kekambuhan. Ligasi
dari atreri testikular disarankan pada anak-anak untuk meminimalkan
kekambuhan, tetapi pada dewasa dengan infertilitas, ligasi arteri
testikular tidak direkomendasikan karena akan mengganggu fungsi
testis.
1) Pasien dalam posisi supinasi pada meja operasi
2) Insisi horizontal daerah iliaka dari umbilikus ke SIAS sepanjang 7-
10 cm tergantung besar tubuh pasien.
3) Aponeurosis M. External oblique
4) M. internal oblique terpisah 1 cm kearah lateral dari M. Rectus
abdominis dan M. Transversus abdominis diinsisi.
5) Peritoneum dipisahkan dari dinding abdomen dan diretraksi.
6) Pembuluh spermatik terlihat berdekatan dengan peritoneum,
sangatlah penting menjaganya tetap berdekatan dengan peritoneum.
7) Dilanjutkan memotong dinding abdomen menuju M. Psoas
posterior.
8) Dengan retraksi luas memudahkan untuk mengidentifikasi vena
spermatika, dan <10% kasus arteri spermatika mudah dilihat,
terisolasi dari seluruh struktur spermatik dan mudah dikendali.
9) Proses operasi ditentukan dari penemuan intra operatif. Pada kasus
dengan vena multipel, kolateral akan teridentifikasi dan seluruh
pembuluh darah dari ureter menuju dinding abdomen terligasi.
10) Pembuluh darah spermatika secara terinspeksi pada jarak 7-8 cm
dan diligasi dengan pemisahan/ pemotongan, kemudian dijahit
permanen.
11) Setelah hemostasis dipastikan, M. Oblique internal, M. Tranversus
abdominalis, dan M.Eksternal oblique ditutup lapis demi lapis
dengan jahitan yang dapat diserap.
12) Fasia scarpa ditutup dengan jaitan yang akan diserap
13) Kulit dijahit subkutikuler dengan jahitan yang dapat diserap.

7
b. Teknik Inguinal (Ivanissevich)

Gambar 2. 2 Teknik inguinal (Ivannisevich)

1) Insisi dibuat 2 cm diatas simfisis pubis.


2) Fasia M. External oblique secara hati-hati disingkirkan untuk
mencegah trauma N. Ilioinguinal yang terletak dibawahnya.
3) Pemasangan penrose drain pada saluran sperma.
4) Insisi fasia spermatika, kemudian akan terlihat pembuluh darah
spermatika.
5) Setiap pembuluh darah terisolasi, kemudian diligasi dengan
menggunakan benang yang non absorbable.
6) Setelah semua pembuluh darah kolateral terligasi, fasia M. External
oblique ditutup dengan benang yang absorbable dan kulit dijahit
subkitikuler.
c. Teknik Laparoskopik
Teknik ini merupakan modifikasi dari teknik retroperitoneal
dengan keuntungan dan kerugian yang hampir sama. Pembesaran
optikal dibutuhkan untuk melakukkan teknik ini, untuk memudahkan
menyingkirkan pembuluh limfatik dan arteri testikular sewaktu
melakukkan ligasi beberapa vena spermatika interna apabila vena
comitantes bergabung dengan arteri testikular. Teknik ini memiliki
beberapa komplikasi seperti trauma usus, pembuluh intra abdominal
dan visera, emboli, dan peritonitis. Komplikasi ini lebih serius
dibandingkan dengan varikokelektomi open.

8
d. Microsurgical varicocelectomy (Marmar-Goldstein)

Gambar 2. 3 Teknik microsurgical subinguinal

Microsurgical subinguinal atau inguinal merupakan teknik


terpilih untuk melakukkan ligasi varikokel. Saluran spermatika
dielevasi kearah insisi, untuk memudahkan pengelihatan, dan dengan
menggunakan bantuan mikroskop pembesaran 6x hingga 25x,
periarterial yang kecil dan vena kremaster akan dengan mudah diiligasi,
serta ekstra spermatika dan vena gubernacular sewaktu testis diangkat.
Fasia intra spermatika dan ekstra spermatika secara hati-hati dibuka
untuk mencari pembuluh darah. Arteri testikular dapat dengan mudah
diidentifikasi dengan menggunakan mikroskop. Pembuluh limfatik
dapat dikenali dan disingkirkan, sehingga menurunkan komplikasi
hidrokel.
e. Teknik Embolisasi
1) Embolisasi varikokel dilakukkan dengan anestesi intravea sedai dan
local anastesi.
2) Angiokateter kecil dimasukkan ke system vena, dapat lewat vena
femoralis kanan atau vena jugularis kanan.
3) Kateter dimasukkan dengan guiding fluoroskopi ke vena renalis kiri
(karena kebanyakan varikokel terdapat di sisi kiri) dan kontras
venogram.
4) Dilakukkan ISV venogram sebagai “peta” untuk mengembolisasi
vena.

9
5) Kateter kemudian dimanuever ke bawah vena menuju kanalis
inguinalis internal.
6) Biasanya vena atau cabangnya terembolisasi dengan injeksi besi
atau platinum spring-like embolization coils.
7) Vena kemudian terblok pada level kanalis inguinalis interna dan
sendi sakroiliaka.
8) Dapat ditambahkan sclerosing foam untuk menyelesaikan
embolisasi.
9) Pada tahap akhir, venogram dilakukkan untuk memastikan semua
cabang ISV terblok, kemudian kateter dapat dikeluarkan.
10) Dibutuhkan tekanan manual pada daerah tusukan selama 10 menit,
untuk mencapai hemostasis
11) Tidak ada penjahitan pada teknik ini. Setelah selesai, pasien
diobservasi selama beberapa jam, kemudian dipulangkan. Angka
keberhasilan proses ini mencapai 95%.
f. Indikasi
Indikasi dilakukan tindakan varikokelektomi (Danarto, 2021):
1) Infertilitas dengan produksi semen yang jelek
2) Ukuran testis mengecil
3) Nyeri kronis atau ketidaknyamanan dari varikokel yang besar
g. Komplikasi
Komplikasi pasca-tindakan pembedahan perbaikan varikokel
umumnya ringan. Semua pendekatan operasi varikokel memiliki risiko
kecil seperti infeksi luka, hidrokel, persistensi, atau kekambuhan
varikokel dan atrofi testis. Komplikasi yang umum terjadi pasca-
operasi adalah hidrokel. Hidrokel terjadi karena gangguan drainase
limfatik akibat operasi. Pada suatu meta-analisis, hidrokel terbentuk
pada 0,4% bedah mikro, pada 8,2% bedah retroperitoneal, pada 2,8%
laparoskopi, dan pada 7,3% bedah inguinal makroskopik. Komplikasi
insisi inguinal meliputi mati rasa pada skrotum dan nyeri
berkepanjangan (Singgih, 2022).

10
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Pre Operatif
a. Premedikasi
Merupakan pemberian obat-obatan sebelum anastesi, kondisi
yang diharapkan oleh anastesiologis adalah pasien dalam kondisi
tenang, hemodinamik stabil, post anastesi baik, anastesi lancar.
Diberikan pada malam sebelum operasi dan 1-2 jam sebelum anastesi
(Maryunani, 2015)
b. Tindakan Umum
1) Memeriksa catatan pasien dan program pre operasi
2) Pasien dijadwalkan untuk berpuasa kurang lebih selama 8 jam
sebelum dilakukan pembedahan
3) Memastikan pasien sudah menandatangani surat persetujuan
pembedah.
4) Memeriksa riwayat medis untuk mengetahui obat-obatan,
pernapasan dan jantung.
5) Memeriksa hasil catatan medis pasien seperti hasil laboratorium,
radiologi, EKG dan USG.
6) Memastikan pasien tidak memiliki alergi obat
c. Sesaat Sebelum Operasi
1) Memeriksa pasien apakah sudah menggunakan identitasnya.
2) Memeriksa tanda-tanda vital meliputi suhu, nadi, pernapasan dan
tekanan darah.
3) Mengkaji kondisi psikologis, meliputi perasaan takut atau cemas
dan keadaan emosi pasien
4) Melakukan pemeriksaan fisik.
5) Menyediakan stok darah pasien pada saat persiapan untuk
pembedahan.
6) Pasien melepaskan semua pakaian sebelum menjalani pembedahan
dan pasien menggunakan baju operasi.
7) Semua perhiasan, benda-benda berharga harus dilepas.
8) Membantu pasien berkemih sebelum pergi ke ruang operasi.

11
9) Membantu pasien untuk menggunakan topi operasi.
10) Memastikan semua catatan pre operasi sudah lengkap dan sesuai
dengan keadaan pasien
2. Pengkajian Intra Operatif
Pengkajian intra operatif merupakan pengkajian yang meliputi segala
hal terkait dengan proses pembedahan seperti dokumen kelengkapan
pasien, hasil pemeriksaan penunjang, keadaan psikologis dan fisologis
pasien. Hal-hal yang dikaji selama pasien menjalani anestesi total adalah
kondisi fisik, namun pada pasien yang menjalani anetsesi spinal hal yang
harus dikaji meliputi kondisi fisik dan psikologis, adapun data pengkajian
intra operatif meliputi :
a. Pengkajian status psikologis, apabila pasien dianastesi lokal dan pasien
dalam keadaan sadar maka sebaiknya perawat menjelaskan prosedur
yang sedang dilakukan terhadapnya dan memberi dukungan agar
pasien tidak cemas atau takut menghadapi operasi
b. Mengkaji tanda-tanda vital bila terjadi ketidaknormalan maka perawat
harus memberitahukan ketidaknormalan tersebut pada ahli bedah
c. Transfusi dan infus, memonitor cairan atau produk darah yang
terpasang pada pasien sudah habis atau belum.
d. Haluaran urin, normalnya manusia akan mengeluarkan urin sebanyak
1 cc/kgBB/jam (Maryunani, 2015).

3. Pengkajian Post Operatif


a. Setelah dilakukan pembedahan pasien akan masuk ke ruang pemulihan
untuk memantau tanda-tanda vitalnya sampai ia pulih dari anastesi dan
bersih secara medis untuk meninggalkan ruangan operasi. Dilakukan
pemantauan spesifik termasuk ABC yaitu airway, breathing,
circulation. Tindakan dilakukan untuk upaya pencegahan post operasi,
ditakutkan ada tanda-tanda syok seperti hipotensi, takikardi, gelisah,
susah bernapas, sianosis, SPO2 rendah.
b. suhu tubuh: normal fisiologis yaitu 36,5 0C-37,5 0C.
c. Kenyamanan, meliputi: terdapat nyeri, mual dan muntah

12
d. Balutan, meliputi: keadaan drain dan terdapat pipa yang harus
disambung dengan sistem drainase
e. Perawatan, meliputi: cairan infus, kecepatan, jumlah cairan, kelancaran
cairan. Sistem drainase: bentuk kelancaran pipa, hubungan dengan alat
penampung, sifat dan jumlah drainase.
f. Nyeri, meliputi: waktu, tempat, frekuensi, kualitas dan faktor yang
memperberat atau memperingan.
4. Diagnosa keperawatan
Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI)
diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian kritis mengenai respon
pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang di
alaminya baik yang berlangsung aktual atau potensial.
a. Pre Operatif
Diagnosa keperawatan berdasarkan Standar Diagnosa Keperawatan
Indonesia (2017) yang lazim muncul pada fase pre operatif antara lain:
1) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional operasi
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencidera fisiologis
b. Intra Operatif
Diagnosa keperawatan berdasarkan Standar Diagnosa Keperawatan
Indonesia (2017) yang lazim muncul pada fase intraoperatif antara lain:
1) Risiko perdarahan ditandai dengan tindakan pembedahan
2) Resiko cedera ditandai dengan prosedur pembedahan
c. Post Operatif
Diagnosa keperawatan berdasarkan Standar Diagnosa Keperawatan
Indonesia (2017) yang lazim muncul pada fase pre operatif antara lain:
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencidera fisik
2) Resiko hipotermi ditandai dengan terpaparnya suhu lingkungan
rendah
(PPNI, 2017)

13
5. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah segala jenis treatment yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan
dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan. Intervensi keperawatan untuk diagnosa yang mucul
pada fase pre,intra dan post operatif berdasarkan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2018) meliputi:

Tabel 2. 1 Intervensi Keperawatan pada fase pre,intra dan post operatif

NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI


Pre Operatif
1. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan Reduksi Ansietas (I.09314)
dengan krisis situasional keperawatan diharapkan cemas Observasi :
operasi (D.0080) dapat terkontrol, dengan a. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah ( misal : kondisi, waktu, stresor)
kriteria hasil (L.09093): b. Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
a. Secara verbal dapat c. Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan non verbal)
mendemonstrasikan Teraupetik :
teknik menurunkan a. Ciptakan suasana teraupetik untuk menumbuhkan kepercayaan
cemas b. Temani pasien untuk mengurangi kecemasan
b. Mencari informasi yang c. Pahami situasi yang membuat ansietas
dapat menurunkan cemas d. Dengarkan dengan penuh perhatian
c. Menggunakan teknik e. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
relaksasi untuk f. Tempatkan barang pribadi yang memberikan kenyamanan
menurunkan cemas g. Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
d. Menerima status h. Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan datang
kesehatan Edukasi :
a. Jelaskan prosedur serta sensasi yang mungkin dialami
b. Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan dan prognosis
c. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien
d. Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif
e. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
f. Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan
g. Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
h. Latih tekhnik relaksasi

14
Kolaborasi :
a. Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
2. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (I.08238)
dengan agen pencidera keperawatan diharapkan nyeri Observasi :
fisiologis (D.0077) berkurang dengan kriteria hasil a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
(L.08066): b. Identifikasi skala nyeri
a. Pasien mengatakan nyeri c. Identifikasi nyeri non verbal
berkurag d. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
b. Pasien tampak rileks e. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
c. Tanda – tanda vital f. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
dalambatas normal g. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
h. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Teraupetik :
a. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (misal : TENS,
hipnosis, akupresure, terapi musik, biofeedback ,terapi pijat, aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin.)
b. Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri (misal : suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan.)
c. Fasilitasi istirahat dan tidur
d. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi :
a. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
e. Ajarkan eknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgetik , jika perlu
Intra Operatif
1. Resiko perdarahan ditandai Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Perdarahan (I.02067)
dengan proses pembedahan keperawatan diharapkan resiko Observasi :
(D.0012) perdarahan tidak terjadi, a. Monitor tanda dan gejala perdarahan
dengan kriteria hasil b. Monitor nilai hematokrit/hemoglobin sebelum dan sesudah kehilangan darah
(L.02017): c. Monitor tanda-tanda vital ortostatik
a. Tidak ada tanda – tanda d. Monitor koagulasi

15
perdarahan hebat Teraupetik :
a. Pertahankan bedrest selama perdarahan
b. Batasi tindakan invasif, jika perlu
c. Gunakan kasur pencegah dekubitus
d. Hindari pengukuran suhu rektal
Edukasi :
a. Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
b. Anjurkan menggunakan kaus kaki saat ambulasi
c. Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk mencegah konstipasi
d. Anjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan
e. Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin K
f. Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan
Kolaborasi :
a. Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu
b. Kolaborasi pemberian produk darah , jika perluKolaborasi pemberian pelunak
tinja, jika perlu
2. Resiko cedera ditandai Setelah dilakukan tindakan Manajemen Keselamatan Lingkungan (I.04155)
dengan prosedur keperawatan diharapkan cedera a. Pastikan posisi pasien yang sesuai dengan tindakan operasi
pembedahan (D.0136) tidak terjadi, dengan kriteria b. Cek integritas kulit
hasil (L.14136): c. Cek daerah penekanan pada tubuh pasien selama operasi
a. Tubuh pasien bebas dari d. Hitung jumlah kasa, jarum, bisturi, depper, dan hitung instrumen bedah
cedera e. Lakukan time out
f. Lakukan sign out
Post Operatif
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (I.08238)
dengan agen pencidera fisik keperawatan diharapkan nyeri Observasi:
(D.0077) berkurang dengan kriteria hasil a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
(L.08066): b. Identifikasi skala nyeri
a. Pasien mengatakan nyeri c. Identifikasi nyeri non verbal
berkurag d. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
b. Pasien tampak rileks e. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
c. Tanda – tanda vital f. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
dalambatas normal g. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
h. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Teraupetik :
a. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri ( misal :

16
TENS, hipnosis, akupresure, terapi musik, biofeedback ,terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin.)
b. Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri (misal : suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan.)
c. Fasilitasi istirahat dan tidur
d. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakannyeri
Edukasi :
a. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
e. Ajarkan eknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgetik , jika perlu
2. Risiko hipotermi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipotermia (I.14507)
perioperatif ditandai dengan keperawatan diharapkan Observasi :
suhu lingkungan rendah hipotermi dapat dicegah a. Monitor suhu tubuh
(D.0141) dengan kriteria hasil b. Identifikasi penyebab hipotermia, ( Misal : terpapar suhu lingkungan rendah,
(L.14134): kerusakan hipotalamus, penurunan laju metabolisme, kekurangan lemak
a. Suhu tubuh dalam batas subkutan)
normal c. Monitor tanda dan gejala hipotermia
Teraupetik :
a. Sediakan lingkungan yang hangat ( misal : atur suhu ruangan)
b. Ganti pakaian atau linen yang basah
c. Lakukan penghangatan pasif (misal : selimut, menutup kepala, pakaiantebal)
d. Lakukan penghatan aktif eksternal (Misal : kompres hangat, botol hangat,
selimut hangat, metode kangguru)
e. Lakukan penghangatan aktif internal ( misal : infus cairan hangat, oksigen
hangat, lavase peritoneal dengan cairan hangat

17
6. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakuakan oleh perawat untuk membantu pasien mengatasi masalah
keperawatan yang dihadapai ke status kesehatan yang baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan mencangkup tingkatan
mandiri dan tindakan kolaborasi. Setelah merumuskan intervensi
keperawatan, selanjutnya perawat akan memberikan tindakan keperawatan
untuk mendukung proses pengobatan dan perawatan pasien. Proses
pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan pasien dan
faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan dan strategi
keperawatan serta kegiatan komunikasi.
(Tarwoto & Wartonah, 2015).
7. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk
dapat menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan
(Tarwoto & Wartonah, 2015). Evaluasi dalam keperawatan merupakan
kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk
mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur
hasil dari proses keperawatan. Meskipun evaluasi diletakkan di bagian
akhir proses keperawatan tetapi tahap ini merupakan bagian integral pada
setiap tahap proses keperawatan. Pengumpulan data perlu direvisi untuk
menentukan kecukupan data yang telah dikumpulkan dan kesesuaiannya
dengan hasil observasi.
C. Konsep Penyakit Varikokel
1. Definisi Varikokel
Varikokel secara klinis didefinisikan sebagai dilatasi abnormal dan
pembesaran sistem vena pleksus pampiniformis dan vena testis dengan
refluks darah vena secara terus-menerus (Singgih, 2022).
Varikokel merupakan kondisi pembesaran pembuluh darah vena pada
skrotum (kantung buah zakar). Pelebaran terjadi karena terjadi hambatan
aliran darah sehingga darah mengalir kembali ke skrotum. Varikokel mirip

18
dengan penyakit varises di tungkai kaki yang membedakan hanya
lokasinya. (Ikatan Ahli Urologi, 2021)

Gambar 2. 4 Varikokel

Varikokel umumnya terjadi disebelah kiri karena struktur pembuluh


darahnya yang memungkinkan untuk terhimpit oleh pembuluh darah lain
dan tekanan didalamnya lebih besar, meski demikian hampir 50% penderita
dengan varikokel mengalami pada kedua sisi. Varikokel diperkirakan
dijumpai pada sekitar 15% laki-laki pada populasi umum dengan sebagian
besar penderita varikokel berada pada usia reproduksi. Risiko varikokel
meningkat hingga 8 kali lebih besar bila memiliki keluarga dengan riwayat
varikokel.
2. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab
varikokel, tetapi dari pengamatan membuktikan bahwa varikokel sebelah
kiri lebih sering dijumpai daripada sebelah kanan (varikokel sebelah kiri
70–93 %). Hal ini disebabkan karena vena spermatika interna kiri bermuara
pada vena renalis kiri dengan arah tegak lurus, sedangkan yang kanan
bermuara pada vena kava dengan arah miring. Di samping itu vena
spermatika interna kiri lebih panjang daripada yang kanan dan katupnya
lebih sedikit dan inkompeten.
Jika terdapat varikokel di sebelah kanan atau varikokel bilateral patut
dicurigai adanya: kelainan pada rongga retroperitoneal (terdapat obstruksi
vena karena tumor), muara vena spermatika kanan pada vena renails kanan,
atau adanya situs inversus.

19
Secara umum etiologi varikokel ialah dilatasi atau hilangnya
mekanisme pompa otot atau kurangnya struktur penunjang/atrofi otot
kremaster, kelemahan kongenital. Proses degeneratif pleksus
pampiniformis.
a. Hipertensi vena renalis atau penurunan aliran ginjal ke vena kava
inferior.
b. Turbulensi dari vena supra renalis ke dalam juxta vena renalis internus
kiri berlawanan dengan kedalam vena spermatika interna kiri.
c. Tekanan segmen iliaka (oleh feses) pada pangkal vena spermatika.
d. Tekanan vena spermatika interna meningkat letak sudut turun vena
renalis 90º
e. Sekunder : tumor retroperitoneal, trombus vena renalis, hidronefrosis.
Faktor penyebab yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya
varikokel :
a. Faktor genetik. Orang tua dengan varikokel memiliki kecenderungan
menurunkan sifat pembuluh-pembuluh yang mudah melebar pada
anaknya.
b. Makanan. Beberapa jenis makanan yang dioksidasi tinggi, dapat
merusak pembuluh darah.
c. Suhu. Idealnya, suhu testis adalah 1-2 derajat dibawah suhu tubuh.
Suhu yang tinggi di sekitar testis dapat memicu pelebaran pembuluh
darah balik di daerah itu.
d. Tekanan tinggi disekitar perut.
3. Gejala dan Tanda Varikokel
Sebagian besar varikokel tidak menimbulkan keluhan dan tidak
memerlukan perawatan. Meski demikian, dapat didapatkan keluhan
a. Nyeri atau rasa tidak nyaman pada daerah skrotum
b. Keluhan memberat pada posisi berdiri atau saat beraktivitas fisik berat
c. Keluhan dapat membaik jika Anda terlentang
d. Pada varikokel derajat berat, tedapat gambaran seperti kantung cacing
pada skrotum yang dapat diraba atau bahkan dilihat
e. Gangguan pada fertilitas. (Ikatan Ahli Urologi, 2021)

20
4. Patofisiologi

Gambar 2. 5 Sistem Reproduksi Pria

a. Peningkatan Tekanan Vena


Perbedaan letak vena spermatika interna kanan dan kiri
menyebabkan terplintirnya vena spermatika interna kiri, dilatasi dan
terjadi aliran darah retrogard. Darah vena dari testis kanan dibawa
menuju vena cava inferior pada sudut oblique. Sudut ini, bersamaan
dengan tingginya aliran vena kava inferior diperkirakan dapat
meningkatkan drainase pada sisi kanan (Venturi effect) Vena renalis
kiri dapat juga terkompres di daerah proksimal diantara arteri
mesenterika superior dan aorta,dan distalnya diantara arteri iliaka
komunis dan vena. Fenomena ini dapat juga menyebabkan peningkatan
tekanan pada sistem vena testikular kiri
1) Anastomosis Vena Kolateral
2) Katup yang Inkompeten
Varikokel dapat menimbulkan gangguan proses spermatogenesis
melalui beberapa cara, antara lain:
1) Terjadi stagnasi darah balik pada sirkulasi testis sehingga testis
mengalami hipoksia karena kekurangan oksigen.
2) Refluks hasil metabolit ginjal dan adrenal (antara lain katekolamin
dan prostaglandin) melalui vena spermatika interna ke testis.
3) Peningkatan suhu testis.

21
4) Adanya anastomosis antara pleksus pampiniformis kiri dan kanan,
memungkinkan zat-zat hasil metabolit tadi dapat dialirkan dari
testis kiri ke testis kanan sehingga menyebabkan gangguan
spermatogenesis testis kanandan pada akhirnya terjadi infertilitas

Pathway
Peningkatan Anastomosis Vena Peningkatan
tekanan vena Kolateral tekanan vena

Varikokel

Stagnasi darah Refluks hasil Kenaikan Anastomosis antara


balik pada metabolik suhu testis pleksus pampiniformis
sirkulasi testis ginjal & adrenal kiri dan kanan

Hipoksia

Gg. Proses Spermatogenesis

Infertilitas Harga Diri Rendah

Bengkak
Disfungsi Seksual

Pembedahan Cemas

Kurang Pengetahuan

Post op: Nyeri

Resiko Infeksi

Gambar 2. 6 Patofisiologi Varikokel

Sumber : (Danarto, 2021)

22
5. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa teknik yang dapat digunakan sebagai pencitraan varikokel
adalah sebagai berikut (Danarto, 2021):
a. Angiografi/venografi
Venografi merupakan modalitas yang paling sering digunakan
untuk mendeteksivarikokel yang kecil atau subklinis, karena dari
penemuannya mendemonstrasikan refluks darah vena abnormal di
daerah retrograd menuju ke ISV dan pleksus pampiniformis. Karena
pemeriksaan venografi ini merupakan pemeriksaan invasif, teknik ini
biasanya hanya digunakan apabila pasien sedang dalam terapi oklusif
untuk menentukan anatomi dari vena. Biasanya, teknik ini digunakan
pada pasien yang simptomatik
Hasil positif palsu/negatif menunjukkan vena testikular
seringkali spasme, dan terkadang, ada spesifikasi dari vena dengan
kontras medium dapat sulit dinilai. Selebihnya, masalah dapat diatasi
dengan menggunakan kanul menuju vena testikular kanan.

Gambar 2. 7 Venogram testikular kiri

b. Ultrasonografi
Penemuan USG pada varikokel meliputi:
1) Struktur anekoik terplintirnya tubular yang digambarkan yang
letaknya berdekatan dengan testis.
2) Pasien dengan posisi berdiri tegak, diameter dari vena dominan
pada kanalis inguinalis biasanya lebih dari 2-5 mm dan saat
valsava manuever diameter meningkat sekitar 1 mm

23
3) Varikokel bisa berukuran kecil hingga sangat besar, dengan
beberapa pembesaran pembuluh darah dengan diameter ± 8 mm
4) Varikokel dapat ditemukan dimana saja di skrotum (medial,
lateral, anterior, posterior atau inferior dari testis)
5) USG Doppler dengan pencitraan berwarna dapat membantu
mendiferensiasi channel vena dari kista epidermoid atau
spermatokel jika terdapat keduanya
6) USG Doppler dapat digunakan untuk menilai grade refluks vena:
statis (grade I), intermiten (grade II) dan kontinu (gradeIII).
7) Varikokel intratestikular dapat digambarkan sebagai area
hipoekoik yang kurang jelas pada testis. Gambarnya berbetuk oval
dan biasanya terletak di sekitar mediastinum testis.
Dengan menggunakan diameter sebagai kriteria dilatasi vena,
Hamm,dkk. Menemukan bahwa USG memiliki sensitivitas sekitar
92,2%, spesifitas 100% dan akurasi 92,7%.
Hasil positif palsu/negatif menunjukkan kista epidermoid dan
spermatokel dapat memberi gambaran seperti varikokel. Jika
meragukan, USG Doppler berwarna dapat digunakan untuk diagnosis.
Varikokel intratestikular dapat memberi gambaran seperti ektasis
tubular.

Gambar 2. 8 USG Doppler Varikokel

24
c. Computerized Tomography Scan (CT-Scan)
CT-scan dapat digunakan sebagai salah satu pilihan modalitas
dalam evaluasi varikokel, tapi hal ini menjadi tidak praktis karena
paparan radiasi yang signifikan. Meskipun saat ini telah digunakan
protokol CT dosis rendah, ketersediaan USG luas dan biaya yang
rendah menyebabkan USG menjadi modalitas yang lebih disukai
dalam identifikasi dan evaluasi varikokel. Peningkatan resolusi
pencitraan dengan CT-scan, menyebabkan CT menjadi modalitas
tambahan yang sangat baik untuk studi anatomi retroperitoneal. Saat
ini, peran pencitraan CT dalam mendiagnosis varikokel masih minim
dan hanya digunakan untuk skenario klinis di mana dicurigai
kemungkinan adanya proses keganasan retroperitoneal.

Gambar 2. 9 Gambaran CT-scan pada Varikokel.

d. Magnetic Resonance Imagine (MRI)


Meskipun tidak umum dibahas dalam literatur, ada beberapa
penelitian yang diterbitkan mengenai panggunaan MRI untuk
diagnosis dan pencitraan varikokel. Manfaat yang diusulkan dari MRI
dibandingkan dengan modalitas pencitraan lain yang ada termasuk,
kurangnya ketergantungan operator dan penggambaran anatomi
retroperitoneal yang sangat rinci. Ketika dicurigai adanya varikokel
retroperitoneal, maka MRI dapat digunakan untuk mengonfirmasi dan
mengevaluasi lebih lanjut penyebab ini. secara khusus, MRI angiografi
telah diusulkan sebagai modalitas studi terhadap varikokel sekunder,
seperti sindrom nutcracker.

25
Gambar 2. 10 Pelebaran vena pleksus pampiniformis pada pasien varikokel seperti
yang ditunjukkan pada tanda panah

6. Penatalaksanaan
a. Tata Laksana Konservatif
Apabila varikokel disertai nyeri testis, sebaiknya diberi tata laksana
konservatif dan diobservasi berkala. Tata laksana konservatif meliputi
elevasi skrotum, pemberian non-steroid anti inflammation drug
(NSAID), dan membatasi aktivitas fisik.
b. Tata Laksana Bedah
Perbaikan varikokel merupakan tata laksana umum pada laki-laki
dengan infertilitas. Secara umum indikasi varikokelektomi meliputi:
1) Varikokel yang terpalpasi saat pemeriksaan fisik;
2) Pasangan diketahui mengalami infertilitas;
3) Pasangan wanita memiliki fertilitas normal atau kemungkinan
penyebab infertilitas yang dapat diobati;
4) Pasangan pria memiliki kualitas semen atau hasil abnormal dari tes
fungsi sperma.
Pengobatan varikokel harus dipertimbangkan jika semua indikasi
tersebut terpenuhi. Indikasi varikokelektomi pada remaja berdasarkan
perbedaan volume testis yang menetap lebih dari 20%. Perbaikan
bedah merupakan tata laksana varikokel yang paling umum dan dapat
dilakukan dengan teknik varikokelektomi terbuka (ligasi tinggi
retroperitoneal, inguinal, dan subinguinal), laparoskopi/robotik atau
varikokelektomi mikro. Embolisasi merupakan pilihan tepat untuk
kasus persisten atau rekuren setelah terapi perbaikan bedah. Embolisasi
perkutan melibatkan kanulasi sistem vena dan akses ke vena gonad

26
dengan embolisasi vena spermatika interna. Prosedur embolisasi
perkutan meliputi oklusi retrograd dan teknik antegrad. (Singgih, 2022)
7. Perawatan Pasca Operasi
Setelah operasi pasien dapat kembali ke aktivitas normal setelah 2
hari, namun tetap membatasi aktivitas berat. Setelah 2-4 minggu, pasien
dapat kembali ke aktivitas yang lebih berat bila tidak ada rasa nyeri. Nyeri
setelah prosefur varikokelektomi umumnya ringan namun dapat berlanjut
hingga beberapa hari atau minggu. Dokter akan memberikan obat anti-
nyeri untuk mengatasi hal tersebut.
Hindari mengejan saat BAB, apabila terjadi konstipasi dokter
mungkin memberikan obat untuk melunakkan BAB. Usahkan untuk
memastikan daerah sayatan tetap kering pada 48 jam pertama sampai
benar-benar sembuh. Analisis sperma ulang dapat dilakukan setelah 3
bulan pasca operasi karena menunggu waktu sperma untuk berkembang.
Apabila mengalami hal-hal berikut, segera konsultasikan dengan
Dokter:
a. Pembengkakkan di area buah zakar, disertai warna kemerahan nyeri
atau terdapat carian kekuningan
b. Demam dengan atau tanpa mual dan muntah
c. Nyeri hebat yang tidak membaik dengan obat atau kompres
(Ikatan Ahli Urologi, 2021)
D. Jurnal Terkait
1. Hasil penelitian yang dilakukan Paick dan Choi (2019) yang berjudul
“Varicocele and Testicular Pain : A Review” didapatkan 15% pria
menderita varikokel skrotum dan 2% sampai 10% mengeluh nyeri.
Mekanisme yang mungkin untuk nyeri termasuk kompresi serat saraf di
sekitarnya oleh kompleks vena yang melebar, peningkatan suhu testis,
peningkatan tekanan vena, hipoksia, stres oksidatif, ketidakseimbangan
hormonal, dan refluks metabolit toksik yang berasal dari adrenal atau
ginjal. Nyeri testis yang terkait dengan varikokel biasanya digambarkan
sebagai nyeri tumpul, nyeri, atau berdenyut di testis, skrotum, atau
selangkangan; jarang, bisa akut, tajam, atau menusuk. Manajemen nyeri

27
testis yang terkait dengan varikokel dimulai dengan pendekatan
konservatif, non-bedah dan periode observasi. Varikokelektomi pada
kandidat yang dipilih dengan cermat dengan varikokel yang teraba secara
klinis hampir 80% dari semua kasus nyeri testis.
2. Hasil penelitian yang dilakukan Muqsith (2018) dengan judul “Anatomi
dan Gambaran Klinis Varikokel” didapatkan varikokel lebih sering
terdeteksi pada populasi pria infertil dibandingkan dengan pria fertil,
terdiagnosis pada 20-40% pasien infertil. Umumnya dijumpai pada anak
remaja dan pria dewasa. Adanya varikokel dikaitkan dengan kegagalan dari
fungsi testis. Dengan mengetahui gambaran klinis dari varikokel
diharapkan para klinisi dapat lebih mudah dan cepat mendiagnosis serta
memberikan penatalaksanaan yang tepat sehingga memberikan prognosis
yang baik untuk penderita. Gambaran klinis yang sering dijumpai pada
pasien varikokel berupa benjolan di atas testis dan nyeri pada testis.
Varikokel dapat didiagnosis dengan melakukan beberapa pemeriksaan
seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
Ultrasonografi merupakan pilihan pertama, non invasif dan akurat dalam
mendeteksi varikokel.
3. Hasil penelitian yang dilakukan Nisa, PH, & Arisdiani (2018) dengan judul
“Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Ansietas Pasien Pre
Operasi Mayor” penelitian yang dilakukan pada 116 responden didapatkan
penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan yang mengalami
ansietas sedang sebanyak 98 (85,2%) dan ansietas berat sebanyak 17
(14,8%). Hasil penelitian yang dilakukan di ruang rawat inap menunjukan
bahwa dukungan keluarga pasien baik yang mengalami ansietas sedang
sebanyak 106 (94,6%) dan ansietas berat sebanyak 6 (5,4%). Penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara karakteristik
dukungan keluarga dengan tingkat ansietas pasien pre operasi mayor
dengan nilai p value <0,005. Keluarga disarankan dapat melakukan
dukungan terhadap anggota keluarga yang akan dilakukan tindakan
operasi.

28
4. Hasil penelitian yang dilakukan Widiyono dkk (2020) dengan judul
“Hubungan antara Usia dan Lama Operasi dengan Hipotermi pada Pasien
Paska Anestesi Spinal di Instalasi Bedah Sentral” didapatkan hasil dengan
sampel sebanyak 53 orang penelitian menunjukkan mayoritas responden
paska anestesi spinal berusia lansia sebanyak 22 orang (41,8%) dan lama
operasi responden paska anestesi spinal tergolong cepat yaitu sebanyak 33
orang (62,3%). Ada hubungan antara faktor usia (p=0,028) dan lama
operasi (p=0,005) dengan hipotermi paska anestesi spinal. Kesimpulan
penelitian ini yakni adanya hubungan antara usia dan lama operasi dengan
hipotermi pada pasien paska anestesi spinal.
5. Hasil penelitian yang dilakukan Maulana dkk (2018) dengan judul
Perbedaan Efektivitas Terapi Ciran Hangat Dan Selimut Penghangat
Terhadap Perubahan Suhu Tubuh Pada Pasien Pasca Operasi Di Ruang
Pulih Instalasi Bedah RSI Yatofa, didapatkan suhu tubuh 20 responden
sebelum diberikan terapi cairan hangat <36,5oC dengan kategori
hipotermia, setelah diberikan terapi cairan hangat selama 45 menit suhu
tubuh respponden meningkat di antara 36,6oC-37,5oC. sedangkan 20
responden setelah diberikan terapi selimut penghangat selama 60 menit
suhu tubuh respponden meningkat di antara 36,6oC-37,5oC. Hasil uji
statistic menggunakan Wilcoxon didapatkan Asymp.Sig.(2-tailed)=0,000
(<0,05) yang berarti pemberian terapi cairan hangat, selimut hangat dan
kain katun berpengaruh pada peningkatan suhu tubuh pasien pasca operasi
di ruang pulih, akan tetapi pemberian cairan hangat lebih efektif untuk
meningkatkan suhu tubuh pasien pasca operasi di ruang pulih.

29

Anda mungkin juga menyukai